Anda di halaman 1dari 12

BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1 Pengertian Filosofis/Filsafat


Filsafat atau filosofis secara etimologsi berasal dari Bahasa Yunani philia (=love,
cinta) dan sophia (=Wisdom, kebijaksanaan). Jadi jika ditinjau dari secara etimologis,
filsafat/filosofis memiliki arti cinta pada kebijakasanaan (Abidin,2011:9).
Menurut Sirajuddin (2004:2-3), filsafat/filosofis merupakan hasil proses berpikir
dalam mencari hakikat sesuatu secara sistematis, menyeluruh dan mendasar, seperti
pengetahuan tentang api dan lain-lain. Dalam arti yang sederhana Filsafat berarti cinta pada
pengetahuan atau kebijaksanaan. Pengertian cinta yang dimaksudkan disini adalah dalam arti
yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan dengan rasa keinginan itulah ia berusaha mencapai atau
mendalami hal yang dinginkan. Demikian juga yang dimaksudkan dengan pengetahuan, yaitu
dengan mendalam sampai ke akar-akarnya atau sampai ke dasar segala dasar.
Menurut dalam sejarah orang yang pertama kali mengenalkan istilah philosophia
adalah Pythagoras (572-497SM). Menurut Pythagoras, filsafat didefinisikan sebagai, The
Love Of wisdom. Menurutnya manusia yang paling tinggi nilainya adalah manusia pecinta
kebijakan (lover of wisdom), sedangkan yang dimaksud dengan wisdom merupakan kegiatan
melakukan perenungan tentang Tuhan. Pythagoras sendiri menggap kebijakan yang
sesungguhnya hanya dimiliki Tuhan semata-mata. Sedangkan menurut Aristoteles (384-332
SM), Filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di
dalamnya ilmu metafisikia, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (www.E-
jurnal.com, diakses tanggal 23 april 2018.)
Filsafat atau filosofis menurut Aristoteles, ada tiga tema kajian filsafat yakni,
Kenyataan, Nilai, dan Pengetahuan. Ketiga tema tersebut di kaji oleh tiga cabang besar
filsafat yakni Metafisika, Epistemologi dan Aksiologi. Salah satu kajian yang terdapat dalam
Aksiologi berkaitan dengan estetika yang meruapakn bagian filsafat yang mengkaji mengenai
keindahan, kesenian, kesenangan yang diakibatkan oleh suatu keindahan benda (Abidin,
2011:24-25).
Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwasanya Filsafat/Filosofis
merupakan hasil proses berpikir dalam mencari hakikat secara sistematis yang berkaitan
dengan cinta pada kebijaksanaan atau keindahan tertentu. Berdasarkan dengan judul
penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apa saja makna filosofis pada setiap segi
bangunan rumah adat Limas asli Palembang yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari
masyarakat Palembang.

2.2 Pengertian Kebudayaan


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 169), budaya adalah pikiran, akal
budi, adat istiadat, sesuatu mengenai suatu kebudayaan yang telah berkembang (beradab,
maju), sesuatu yang sudah menjadi kebudayaan yang sudah sukar dirubah.
Menurut Sobirin (2009: 48), budaya adalah sebuah kata yang mengandung banyak
arti menurut kamus bahasa Indonesia, kata budaya berasal dari bahasa sansekerta bodhya
yang berarti akal budi. Sinonim dari kata tersebut adalah kultur – sebuah kata benda yang
berasal dari bahasa Inggirs culture atau cultuur dalam bahasa Belanda atau kulltur dalam
bahasa Jerman. Kata culture itu sendiri secara harfiah berasal dari bahasa latin colere (dengan
akar kata ”calo” - kata kerja yang berarti mengerjakan tanah, mengolah tanah atau
memelihara ladang dan memelihara hewan ternak). Dilihat dari asal katanya, dengan
demikian, istilah kultur sesungguhnya lebih dikaitkan dengan kegiatan pertanian dan
peternakan. Agricultura – pengolahan tanah pertanian; aquacultura – budi daya/ ternak
binatang air; cultuur stelsel – tanam paksa dan masih banyak lagi istilah-istilah lain yang
menggunakan kata cultura atau culture memiliki konotasi dan berhubungan dengan kegiatan
tanam menanam atau pertanian dan peternakan.
Menurut Edgar Shein (1997: 12) dalam Wibowo (2010: 15), budaya adalah suatu
pola asumsi dasar yang ditemukan dan dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu karena
mempelajari dan menguasai masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal, yang telah
bekerja cukup baik untuk dipertimbangkan secara layak dan karena itu diajarkan pada
anggota baru sebagai cara yang dipersepsikan, berfikir dan dirasakan dengan benar dalam
hubungan dengan masalah tersebut.
Berdasarkan tiga pengertian budaya di atas dapat disimpulkan bahwa budaya
merupakan pola kehidupan dan kegiatan yang dilakukan oleh manusia dan lingkungan
sekitarnya yang dilakukan secara turun temurun dalam proses pembelajaran uantuk
menentukan cara hidupa dan menciptakan kecocokan dengan lingkungan sekitarnya.
Menurut Koentjaraningrat (2009: 165), ada tujuh unsur yang dapat kita sebut
sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah:
1. Bahasa
2. Sistem pengetahuan,
3. Organisasi sosial,
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi,
5. Sistem mata pencaharian hidup,
6. Sistem religi,
7. Kesenian
Menurut Setiadi (2012: 35), sistem kebudayaan suatu daerah akan menghasilkan
jenis-jenis kebudayaan yang berbeda. Jenis kebudayaan ini dapat dikelompokkan menjadi:
1. Kebudayaan material
Kebudayaan material antara lain hasil cipta, karsa, yang berwujud benda, barang
alat pengolahan alam seperti gedung, pabrik, jalan rumah, dan sebagainya.
2. Kebudayaan non-material
Kebudayaan non-material merupakan hasil cipta, karsa yang berwujud kebiasaan,
adat istiadat, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Non-material antara lain adalah:
a. Volkways (norma kelaziman)
b. Mores (norma kesusilaan)
c. Norma hukum
d. Mode (fashion)
Sedangkan, apabila kebudayaan dilihat dari dimensi wujudnya terbagi menjadi 3
(tiga), yaitu sebagai berikut:
1. Sistem budaya: kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, peraturan dan sebagainya.
2. Sistem Sosial: sistem sosial merupakan kompleks dari aktivitas serta berpola dari manusia
dalam organisasi dan masyarakat.
3. Sistem kebendaan: wujud kebudayaan fisik atau alat-alat yang diciptakan manusia untuk
kemudahan hidupnya.
Menurut Arifin (2007: 59), fungsi kebudayaan bagi masyarakat sangat besar, hal
ini disebabkan oleh dua aspek, yaitu:
1. Bermacam-macam yang harus dihadapi oleh masyarakat dan anggota-anggota masyarakat
misalnya kekuatan alam sekitar dan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat itu sendiri.
2. Manusia dan masyarakat memerlukan kepuasan baik di bidang spiritual maupun material.
Kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut sebagian besar harus dipenuhi oleh kebudayaan
yang bersumber pada masyarakat itu sendiri.
Suatu kebudayaan akan senantiasa mengalami perubahan, Nasution (2015: 19)
menyatakan bahwa pengertian perubahan kebudayaan adalah suatu keadaan masyarakat yang
terjadi karena ketidaksesuaian di antara unsur-unsur kebudayaan yang saling berbeda
sehingga tercapai keadaan yang tidak serasi fungsinya bagi kehidupan.
Menurut Riswandi (1992: 29-30), faktor-faktor penyebab perubahan kebudayaan
adalah sebagai berikut sebagai berikut:
1. Faktor penyebab perubahan kebudayaan yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri,
yaitu yang terdiri atas discovery dan invetion.
a. Discovery, yaitu penemuan-penemuan baru, baik berupa benda-benda maupun
ide/gagasan.
b. Invetion, yaitu penerapan dari penemuan-penemuan baru dalam masyarakat, artinya
masyarakat telah memakai atau menggunakan penemuan baru tersebut.
2. Faktor penyebab perubahan kebudayaan berasal dari luar masyarakat, yaitu yang terdiri
atas difusi, akulturasi, dan asimilasi.
a. Difusi kebudayaan yaitu proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu induvidu
ke induvidu lain dan dari satu masyarakat ke masyarakat lain.
b. Akulturasi kebudayaan yaitu suatu proses sosial yang terjadi apabila suatu masyarakat
dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing,
sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu diterima ke dalam kebudayaan sendiri
tanpa menghilangkan kebudayaan sendiri.
c. Asimilasi kebudayaan yaitu suatu proses sosial yang terjadi dua masyarakat dengan
kebudayaan yang berbeda melakukan kontak secara langsung dan terus menerus,
sehingga kedua kebudayaan masyarakat tersebut berubah sifatnya dari khas menjadi
kebudayaan campuran.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penelitian ini dimaksudkan untuk
mengetahui apakah Rumah limas dibangun dengan menggunakan adat isitadat Palembang
dan dipadukan dengan nilai-nilai agama. Disisi lain juga Rumah Limas dibangun dengan
perpaduan budaya melayu arab dan cina sehingga memiliki nilai-nilai tersendiri dari setiap
ukiran dan bentuk bangunannya.
2.3 Bentuk-bentuk Rumah adat Daerah Indonesia
Ada banyak sekali bentuk-bentuk rumah adat di Indonesia. Rumah adat merupakan
rumah khas yang hanya ada disuatu daerah tertentu. Rumah adat di setiap daerah di Indonesia
dibangun berdasarkan dengan keadaan alam dan bahan baku yang di dapat dari alam sekitar.
Salah contoh rumah adat yang ada di wilayah bugis (makasar, Sulawesi selatan). Di Sulawesi
selatan rumah adat daerah ini dinamakan Rumah Bugis. Dinamakan rumah panggung karena
rumah bugis dinilai memberikan efek fisik yang cukup baik dengan keaddan iklim dan cuaca
di Indonesia yang terkenal dengan iklim tropis dan lembab, sehingga dapat menimbulkan rasa
nyaman, aman dan tentram dari bencana alam maupun dari serangan hewan buas. (Saing,
2010:32).

Gambar 1.1 Rumah Bugis.


(sumber: Internet, tanggal 12 juli 2018)
Rumah panggung bugis tak jauh berbeda dengan rumah adat yang ada di wilayah
Gorontalo karena memang dua wilayah berada dalam satu pulau yang sama. Di wilayah ini
rumah dalam Bahasa setempat memilki penyebutan Bele. Rumah yang merupakan rumah
sisa-sisa peninggalan masa lalu yang berbentuk panggung yang oleh masyarakat setempat
dinamakan Rumah Budel, yaitu istilah masyarakat lokal dalam menyebut rumah warisan yang
tidak memiliki hak kepemilikan yang jelas karena ketika pemilik utama (orang tua)
meninggal dunia, tidak sempat meninggalkan hak waris kepada keturunannya sehingga
biasanya hanya sekedar untuk dihuni secara turun temurun oleh anak cucu, dan keturunan-
keturunan selanjutnya. Ketidakjelasan status kepemilikan dan kurang pahamnya masyarakat
terhadap nilai-nilai budaya yang terkandung dalam rumah ini membuat rumahrumah ini
dibiarkan rusak dan lambat laun rumah asli masyarakat gorontalo ini akan musnah tergilas
oleh proses modernisasi. Jika dilihat dari style pada rumah budel yang berbentuk panggung
terdiri atas dua jenis, yakni yang pertama, rumah berbentuk panggung yang jika dilihat dari
tampilan arsitekurnya sudah mengalami akulturasi (pengaruh kolonial, cina dan arab) dan
kedua rumah yang berbentuk panggung tetapi nuansa/muatan makna filosofi dan adat budaya
daerah gorontalo masih terasa/Nampak. (PDF, http:///Users/My%20PC/Downloads/Nilai-
nilai-Sejarah-dan-Filosofi-pada-Arsitektur-Rumah-Paggung-Masyarakat-Gorontalo, diakeses
tanggal 12 juli 2018).
Di wilayah sumatera terdapat banyak rumah adat khas dari daerah masing-masing
mulai dari wilayah Aceh sampai ke wilayah Lampung. Rumah adat Aceh atau krong bade.
Rumah adat aceh adalah rumah dengan menggunakan struktur panggung yang memiliki
tinggi 2-3 meter dari permukaan tanah. Secara keseluruhan rumah ini terbuat dari bahan kayu
kecuali bagian atapnya dan bagian lantainya. Pada umumnya rumah adat aceh memiliki atap
yang terbuat dari daun rumbia atau daun enau yang telah dianyam. Dan pada bagian lantainya
terbuat dari bambu yang telah disusun hingga menjadi sebuah lantai. Karena menggunakan
struktur panggung, rumah adat aceh memiliki ruang bawah tanah. Rumah adat gadang
merupakan rumah adat yang sangat khas dari wilayah sumatera barat atau kota padang. Pada
dasarnya rumah ini adalah rumah adat suku minangkabau, yang juga memiliki sebutan lain,
yaitu rumah godang. Rumah ini adalah salah satu rumah panggung yang memiliki ukuran
yang besar dan berbentuk persegi panjang. Rumah ini didesain khusus dengan sangat kuat
dengan bahan yang tidak mudah guyah mengingat wilayah padang merupakan salah satu
wilayah yang sangat rawan akan gempa bumi. (https://karyapemuda.com/rumah-adat-
sumatera/, diakses tanggal 12 juli 2018)

Gambar 1.2 Rumah Krong bade Gambar 1.3 Rumah Gadang/Godang


(sumber: Internet, tanggal 12 juli 2018)
Lain lagi dengan rumah adat khas dari wilayah Nusa Tenggara Barat. Di wilayah
ini terdapat dua jenis suku yang sangat mempengaruhi rumah di wilayah ini yakni, suku sasak
dan suku sembawa. Dalam penyebutan suku sasak, rumah diwilayah ini dikenal dengan nama
Bale. Di dalam etnis sasak juga terdapat bale yang dinamakan sembalun. Sembalun atau Bale
Sembalun terdapat di wilayah dataran tinggi atau diatas perbukitan di wilayah nusa tenggara
barat, lebih tepatnya di dekat perbukitan gunung rinjani. Sembalun dibangun diatas tanah
dengan satu ruang utama yang cukup luasa yang dijadikan tempat pertemuan dan kamar tidur,
serta ruangan lain seperti tempat harta benda, tempat mama (sebutan ibu suku sasak)
memasak. Lain lagi dengan rumah adat khas dari suku sumbawa yang dinamakan rumah
panggung. Berbeda dengan Sembalun dari suku sasak, rumah panggung sumbawa dibangun
daiatas tiang yang tingginya dari 1,5 sampai 3 meter dari atas permukaan tanah. Rumah
panggung sumbawa biasanya dibangun oleh masyrakat yang tinggal di pantai yang bekerja
sebagai nelayan, oleh karena itu dibangun diatas tiang untuk mengantisipasi gelombang
pasang air laut (Ahmad Muhidin,1991:63&128).
Gambar 1.4 Rumah Panggung Sembawa, Suku Sembawa
Gambar 1.5 Rumah Sembalun, Suku Sasak
(Sumber: Internet, tanggal 12 juli 2018)
Di wilayah sumatera selatan sendiri terdapat rumah adat khas yakni “Rumah
Limas”. Namun selain Rumah Limas ada juga “Rumah Ulu” yang merupakan rumah dari
pedesaan atau “uluan” wilayah sungai musi Sumatera Selatan. Nama rumah ulu berasal dari
kata uluan yang bermakna pedesaan, uluan juga sebutan bagi masyarakat yang tinggal di
bagian hulu Sungai Musi. Semua bagian rumah ulu terbuat dari kayu, dengan bagian bawah
ditopang oleh batang pohon unglen. Pemilihan batang pohon unglen bukan tanpa sebab,
batang pohon ini diyakini bisa bertahan hingga ratusan tahunSecara umum, rumah ulu dibagi
menjadi tiga bagian yaitu, ruang depan, ruang tengah, dan ruang belakang. Ketiga bagian
tersebut terbagi menjadi beberapa bagian, seperti garang atau lintut, haluan dan kakudan,
ruang gedongan atau ambin, dan ruangan dapur. Garang atau lintut merupakan ruangan yang
difungsikan sebagai tempat untuk bercengkrama para pemilik rumah, yang biasa dilakukan
setiap sore hari setelah melakukan rutinitas kerja (Sukanti,2012:8).

Gambar 1.6 Rumah Ulu


(sumber Internet, 16 juli 2018)
2.4 Rumah Limas Di Palembang
Di wilayah kota Palembang terdapat banyak bangunan Rumah Tradisional
antaranya Rumah panggung, Rumah Rakit, dan Rumah Limas. Rumah panggung merupakan
rumah tradisonal yang berdiri diatas tiang-tiang yang tingginya bervariasi. Hal ini
dikarenakan Palembang dahulu dan sekarang adalah wilayah yang selalu digenangi air karena
wilayahnya yang rendah dan terdapat banyak sungai dan anak sungai. Sedangkan rumah
Rakit merupakan rumah tradisional yang berada diatas air di sungai musi. Rumah rakit
dahulu hanya dibangun masyrakat Tionghoa yang tidak diizinkan mendirikan bangunan
diatas daratan pada masa kesultanan Palembang Darusslam. Dan terakhir Rumah Limas
adalah rumah tradisional masyarakat Palembang yang telah ada sejak zaman kesultanan
Palembang. Sangat mudah mengenali rumah Limas karena dapat dilihat dari bentuk atapnya
yang berbentuk Limas (wawancara Setiawan, tanggal 16 juli 2018).
Rumah Limas merupakan rumah asli dari daerah Palembang, Sumatera Selatan.
Rumah Limas adalah rumah tempat tinggal yang dipakai oleh keluarga untuk membina suatu
kehidupan berkeluarga, baik kehidupan sehari-hari maupun pada hari-hari tertentu,
termasuklah di dalamnya upacara-upacara adat yang ada hubungannya dalam keluarga itu
sendiri (Akib, 1975:6). Rumah limas merupakan salah satu rumah tradisional yang yang
cukup terkenal diantara berbagai rumah tradisional yang lainnya di sumatera selatan. Rumah
Limas terkenal karena corak, bentuk dan kepadatan arsitektur ukir seni didalamnya, serta
penataan ruangan yang sangat mencerminkan tingginya tingkatan budaya suku bangsa yang
memilikinya.
Rumah ini dikatakan rumah Limas karena bentuk atapnya yang menyerupai
priamida terpenggal. Dilihat dari samping, rumah ini terdiri dari tiga sampai lima bagian,
masing-masing adalah bagian depan, tengah, dan belakang. Rumah Limas di wilayah jawa
memilki beberapa detail perbedaan yang cukup mencolok dengan beberapa rumah limas yang
ada di Palembang. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari bagian lantai yang bertingkat-tingkat,
pembagian ruangan, bentuk pintu, pondasi rumah dan bentuk atap itu sendiri (Sukanti,
2006:2). Kutipan Djohan Hanafiah dalam makalahnya yang berjudul nilai-nilai tradisonal
rumah limas (Sukanti, 2006: 17) menyebutkan:
“Kapan Sebetulnya rumah Limas Palembang Lahir tidak begitu
jelas. Tetapi secara analogi melihat bentuk dan fungsi serta
lambang-lambang yang ada pada rumah limas tersebut dapat
diperkirakan rumah tersebut setidaknya telah ada sejak tranformasi
dari jawa budha ke jaman pengaruh islam”.
Namun memang pada dasarnya, rumah limas di Palembang merupakan aplikasi
rumah limasan yang ada di daerah jawa. Menurut Syarofie (2012:19),rumah Limas juga
memilki persamaan dengan rumah limas di daerah Jawa. Di Daerah Jawa, terdapat rumah
Limasan. Kata Limasan sendiri berasal dari kata Limosan (Limabelasan) diambil dari jumlah
molo, yaitu blandar atas yang menentukan konstruksi atap. Dalam arsitektur Jawa, bagian
atap yang ditopang oleh Soko Guru disebut dengan gajah. Dalam Bahasa Kawi ataupun
Jawa Kuno, disebut dengan liman. Dalam Bahasa Kawruh kalang, jika gajah atau liman
dijejerkan atau dibuat bersap-sap akan terjadi bentuk liman-sap, sehingga pada
perkembangannya disebut dengan Limasan.
Menurut Akib (1975:6), Kata Limas sendiri berasal dari dua kata yakni kata Lima
dan Emas. Lima berarti angka 5 dan emas berarti logam yang mulia. Oleh sebab itu, maka
Lima Emas yang terkandung di dalam maksud kata Limas adalah sebuah panca tujuan dalam
Rumah limas yakni :
Emas pertama adalah keagungan atau kebesaran
Emas kedua adalah rukun damai
Emas ketiga adalah adab sopan santun
Emas keempat adalah aman subuh Sentosa dan,
Emas kelima adalah makmur sejahtera.
Hanafiah (wawancara tanggal 5 juni 2018), bahwasannya Rumah Limas di
Palembang terdapat di dua wilayah yakni di wilayah daratan dan di wilayah pinggiran sungai
musi. Rumah limas di daratan kota Palembang biasanya hanya memakai tiang dengan ukuran
1 meter sampai 1,5 meter, berbeda dengan di wilayah pinggiran sungai musi masyarakat
Palembang biasanya membangun Rumah Limas dengan tinggi Botekan (Pondasi rumah
dalam Bahasa Palembang) dengan tinggi sekitar 2 sampai 3 meter diatas permukaan air. Hal
ini dimaksudkan jika air sungai musi Pasang maka rumah tidak akan tergenang. Rumah
Limas terdahulu memang lebih banyak didirikan diatas pinggiran sungai musi untuk
memudahkan aktivitas masyarakat Palembang yang menjadikan sungai musi sebagai mata
pencaharian dan kehidupan mereka sehari-hari.

Gambar 1.7 Rumah Limas


(sumber: Internet, 12 juli 2018)
2.5 Wilayah Kota Palembang

Kota Palembang adalah ibukota dari provinsi Sumatera Selatan. Kota Palembang
juga dinobatkan sebagai kota tertua di Indonesia berdasarkan dengan prasasti kedudukan
bukit yang berangka 16 juni 682 masehi. Kota Palembang memiliki luas wilayah 358,55
km²[4] yang dihuni 1,8 juta orang dengan kepadatan penduduk 4.800 per km².ecara geografis,
Palembang terletak pada 2°59′27.99″LS 104°45′24.24″BT. Luas wilayah Kota Palembang
adalah 358,55 Km² dengan ketinggian rata-rata 8 meter dari permukaan laut.
(www.kotaPalembang.go.id, Diakses tanggal 3 oktober 2017)
Nama Palembang konon menurut penduduk setempat berasal dari Bahasa jawa
“Limbang” yang mempunyai arti mmembersihkan logam atau benda-benda lain. Adapun
“Pa” adalah kata depan yang berasal juga dari Bahasa jawa jika mereka hendak menyebut
suatu tempat. Sumber lokal lainnya menyebut bahwa nama Palembang diambil dari
pengertian tempat mencuci emas dan biji timah di sekitar Muara Ogan, Kertapati. Namun
Kebanyakan masyarakat Palembang lebih mngenal kata Palembang sebagai tempat yang
selalu digenangi air. Hal ini tentunya cukup dibenarkan mengingat wilayah Palembang pada
kenyataannya memang berada di daerah rawa yang dipengaruhi oleh pasang dan surut air
sungai musi (Sukanti, 2006:8-9).
Wilayah kota umumnya memiliki tanah “alluvial”,liat dan berpasir dengan lapisan
yang masih muda sehingga banyak mengandung minyak bumi, dan tidak terlalu cocok untuk
area pertanian. Tanah ini relative datar dengan sebagian besar didominasi tanah yang
tergenang air, baik pada waktu hujan maupun setelah turun hujan, terlebih ketika pasang dan
hujan datang. Jarak Palembang yang relative dekat dengan selattan pulau bangka yang hanya
berjarak sekitar 95 km membuat kondisi alamnya sangat dipengaruhi oleh perilaku pasang
surut air laut yang kadangkala bisa mencapai ketinggian antara 3 sampai 5 meter. Kota ini
juga merupakan daerah tropis dengan suhu yang cukup panas mencapai 23,4 sampai 31,7
derajat celcius. Curah hujan yang turun di Palembang terbanyak terjadi di dalam bulan april
sebesar 388 mm dan bulan September menduduki posisi hujan yang paling rendah di
Palembang dengan berkisar 10 mm. (Irwanto, 2010:7)
Palembang terkenal sebagai kota industri dan kota perdagangan. Posisi geografis
Palembang yang terletak di tepian Sungai Musi dan tidak jauh dari Selat Bangka. Hal ini
menjadi anugerah alam yang sangat menguntungkan. Walaupun tidak berada di tepi laut,
Kota Palembang mampu dijangkau oleh kapal-kapal dari luar negeri. Terutama dengan
adanya Dermaga Boom Baru dan Dermaga pasar 16 ilir. Selain itu, Palembang memiliki
dialiri sungai musi yang membelah wilayah menjadi dua bagian yakni wilayah ulu dan ilir.
Namun juga memiliki anak-anak sungai kecil. Wilayah Palembang yang rendah
menyebabkan sering terjadinya banjir ketika hujan turun ataupun sungai Musi dengan
meluap. Kota Palembang terletak pada kedua tepi sungai musi dimana sungai ogan pada
bagian barat di dekat wilayah kertapati dan sungai Komering pada bagian timur dekat dengan
wilayah Plaju dan dekat dengan sungai Gerong dimuka pulau Kemaro (Sukanti, 2006:7)
Secara geografis wilayah Kota Palembang berada antara 2º 52’ – 3º 5’ LS dan 104º
37’- 104º52” BT dengan luas wilayah 400,61 Km² dengan batas-batas sebagai berikut:

 Batas Utara : Kabupaten Banyuasin.


 Batas Selatan : Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kabupaten Banyuasin.
 Batas Timur : Kabupaten Banyuasin.
 Batas Barat : Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Ogan
Komering Ilir.

Kota Palembang terdiri dari 16 Kecamatan dan 107 Kelurahan dengan jumlah
penduduk 1.611.309 jiwa (tahun 2016). Kecamatan dengan luas wilayah terbesar yaitu
Kecamatan Sukarami (98,56 Km²), sedangkan kecamatan dengan luas terkecil yaitu
Kecamatan Ilir Barat (6,5 Km²). Kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi
terdapat di Kecamatan Ilir Timur I (13.882 jiwa/Km²), sedangkan kecamatan dengan tingkat
kepadatan penduduk terendah yaitu Kecamatan Gandus (766 jiwa/ Km²)
(http://www.gosumatra.com/kota-palembang, diakses tanggal 14 oktober 2017

Tahun Jumlah penduduk


2000 1.251.776 jiwa
2002 1.262.685 jiwa
2004 1.312.551 jiwa
2006 1.369.239 jiwa
2008 1.417.047 jiwa
2010 1.455.284 jiwa
2012 1.503.485 jiwa
2014 1.558.491 jiwa
2016 1.611.309 jiwa
Tabel 1.1 Jumlah Penduduk kota Palembang.
(sumber : Badan Pusat Statistik Kota Palembang)

Dari table diatas, dapat diketahui bahwasannya jumlah penduduk kota Palembang
mengalami peningkatan yang cukup signifikan setiap tahunnya. Dari tahun 2000 saja dapat
dilihat jumlah penduduk kota Palembang berjumlah 1. 415.776 jiwa orang. Hal ini
mengalami pertumbuhan kelahiran yang cukup signifikan dari tahun ke tahun sampai tahun
2016 jumlah penduduk kota Palembang telah mencapai 1.611.309 jiwa orang. Ini
menandakan bahwa kota palemabang sudah mulai berkembang pesat seiring dengan
kemajuan zaman modern dengan menjadi kota metropolitan.

Anda mungkin juga menyukai