Anda di halaman 1dari 11

STRATEGI PENCEGAHAN PERKAWINAN ANAK

(Studi terhadap pelaksanaan Surat Edaran Gubernur Jawa Timur Nomor

474.14/810/109.5/2021 di KUA Kecamatan Kras Kabupaten Kediri)

A. Konteks Penelitan

Dalam pandangan Islam, perkawinan itu bukanlah hanya urusan perdata

semata. Bukan pula sekedar urusan keluarga dan masalah budaya tetapi masalah

dan peristiwa agama, oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi

sunnah Allah dan sunnah Nabi, dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah serta

petunjuk Nabi. Disamping itu, perkawinan itu juga bukan untuk mendapatkan

ketenangan hidup sesaat, tetapi untuk selama hidup. Oleh karena itu, Seseorang

mesti menentukan pilihan pasangan hidupnya itu secara hati-hati dan di lihat dari

berbagai segi.1

Hukum asal pernikahan adalah mubah (diperbolehkan) sehingga siapapun

boleh melaksanakannya. Bahkan, Pernikahan merupakan perbuatan yang pernah

dilakukan oleh para rasul (sunnah). Tentang hal ini sebagaimana firman Allah

SWT Q.S. ar – Ra’ad ayat 38.

‫ك َو َج َع ْلنَا لَهُ ْم اَ ْز َواجًا َّو ُذ ِّريَّةً ۗ َو َما َك>>انَ لِ َر ُس>وْ ٍل اَ ْن يَّأْتِ َي‬ ُ ‫َولَقَ ْد اَرْ َس ْلنَا ر‬
َ >ِ‫ُس>اًل ِّم ْن قَ ْبل‬

ٌ‫بِ ٰايَ ٍة اِاَّل بِا ِ ْذ ِن هّٰللا ِ ۗ لِ ُكلِّ اَ َج ٍل ِكتَاب‬

Artinya:

Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad)

dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Tidak ada hak bagi

1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia:antara Fiqih Munakahat dan Undang-
undang Perkawinan (Jakarta : Kencana, 2006), 48.
seorang rasul mendatangkan sesuatu bukti (mukjizat) melainkan dengan izin

Allah. Untuk setiap masa ada Kitab (tertentu).

Meskipun hukum perkawinan adalah boleh (mubah), Namun pada tataran

selanjutnya, Hukum pernikahan itu sangat bergantung pula kepada keadaan orang

yang bersangkutan baik dari segi psikologis, materi, maupun kesanggupannya

memikul tanggung jawab.2 Maka seseorang yang akan melangsungkan

perkawinan harus telah dewasa supaya tujuan perkawinan dapat diwujudkan.

Pernikahan yang dilakukan pada usia dini dapat hanya memangkas potensi

untuk tumbuh dan berkembang, namun juga menutup kemungkinan mereka untuk

mendapatkan pekerjaan yang lebih baik karena keterbatasan jenjang pendidikan.

Tidak hanya itu secara biologis alat-alat reproduksi anak masih dalam tahap

menuju kematangan, sehingga belum siap melakukan hubungan seks dengan

lawan jenisnya apalagi hingga melahirkan yang nantinya akan membahayakan

jiwa anak dan ibunya.3

Sedangkan dari sisi psikologi, pernikahan dini dapat mengakibatkan

dampak psikis yang buruk pada pihak yang belum siap. Hal tersebut terjadi jika

dalam pernikahan terjadi kekerasan- kekerasan yang kemudian berdampak pada

kondisi psikologis pelaku pernikahan dini. Tidak jarang pernikahan usia dini juga

dapat menimbulkan pertengkaran-pertengkaran yang disebabkan keegoisan

masing-masing pihak yang kemudian diakhiri dengan perceraian.4

2
D.A.Pakih Sati, Panduan Lengkap Pernikahan Fiqh Munakahat Terkini (Jogjakarta: Bening, 2011),
18.
3
kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat, Menelusuri Makna dibalik Fenomena
Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat, (Jakarta: Kementerian Agama RI
Badan Litbang dan Diklat, 2013), 85.
4
ibid
Secara psikologis dan biologis seseorang matang bereproduksi dan

bertanggung jawab sebagai ibu rumah tangga antara usia 20-25 tahun atau 25 - 30

tahun, jika di bawah usia tersebut maka terlalu cepat dan pre-cocks (matang

sebelum waktunya).5 Atas penjelasan tersebut, ketika seseorang yang belum

matang secara fisik maupun mental melakukan penikahan maka kemungkinan

kondisi keluarga mereka kurang bahkan tidak harmonis.

Asas penting lain yang di usung Undang-Undang perkawinan Islam di

dunia Islam adalah asas kematangan atau kedewasaan calon mempelai.

Maksudnya, Undang-Undang perkawinan menganut prinsip bahwa setiap calon

suami dan calon istri yang hendak melangsungkan akad pernikahan, harus benar-

benar telah matang secara fisik maupun psikis (rohani), atau harus sudah siap

secara jasmani maupun rohani, Sesuai dengan yang tertera dalam pengertian

perkawinan itu sendiri” perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita”. Berkenaan dengan asas kematangan ini, salah satu

standard yang digunakan adalah penetapan usia kawin (nikah).6

Undang-Undang Negara Indonesia telah mengatur batas usia perkawinan.

Dalam Undang-Undang No. 16/2019 tentang Perubahan atas Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan hanya di

izinkan jika pihak pria dan wanita telah mencapai umur 19 tahun. 7 Kebijakan

pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui

proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak

5
Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat, Menelusuri Makna dibalik Fenomena
Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat, 234.
6
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005), 183.
7
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Jakarta: Sekretariat Kabinet RI. 2019.
benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental. Begitu pula di

dalam Undang- Undang No. 35 Tahun 2014 ratifikasi dari undang- undang No 23

tahun 2002 tentang perlindungan anak di sebutkan dalam pasal 26 ayat (1) huruf c

bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk mencegah terjadinya

perkawinan pada usia anak.8

Ketentuan batas usia kawin ini juga disebutkan dalam KHI pasal 15 ayat

(1) di dasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga

perkawinan. Ini sejalan dengan prinsip yang diletakkan UU perkawinan, bahwa

calon suami istri harus telah masak jiwa dan raganya, agar tujuan perkawinan

dapat di wujudkan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat

keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus di cegah adanya perkawinan

antara calon suami istri yang masih di bawah umur.

Ketentuan mengenai pembatasan usia nikah ini menjadi penting karena

pada prinsipnya dimaksudkan agar calon pengantin diharapkan sudah

memiliki kematangan berfikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang

memadai, sehingga meminimalisir terjadinya keretakan rumah tangga yang

berakhir dengan perceraian karena pasangan tersebut sudah memiliki kesadaran

dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan

pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.

Dalam kehidupan masyarakat pernikahan usia dini masih sering terjadi,

terlebih di pedesaan. Salah satunya di Kecamatan Kras, yang mana merupakan

wilayah ujung selatan Kabupaten Kediri dengan angka pernikahan usia dini yang

cukup tinggi.

8
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas UU 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, Jakarta: Sekretariat Kabinet RI. 2014.
Biasanya ekonomi menjadi faktor utama seseorang melaksanakan

pernikahan usia dini namun tidak demikian yang terjadi di kecamatan Kras.

Pendidikan yang rendah menjadi faktor utamanya dan dorongan orang tua

menjadi salah satu faktor pendukung, bahkan beberapa orang tua sanggup

membiayai rumah tangga anaknya. Orang tua akan lebih mendukung anaknya

menikah di usia belia daripada anaknya sekolah sampai jenjang yang yang lebih

tinggi. Hal tersebut yang menyebabkan masyarakat Kecamatan Kras masih kurang

memperhatikan usia menikah dan tidak memikirkan dampaknya, baik dari segi

kesehatan maupun psikologis.

Melihat dampak negatif pernikahan usia dini yang begitu besar bagi anak

maupun bagi kehidupan rumah tangga serta keinginan untuk menciptakan sumber

daya manusia yang berkualitas, maka pemerintah Provinsi Jawa Timur lewat

Gubernur Jawa Timur mengeluarkan Surat Edaran Nomor 474.14/810/109.5/2021

tentang pencegahan perkawinan anak. Surat tersebut di latarbelakangi di wilayah

Jawa Timur angka perkawinan anak di bawah umur tahun 2020 setara dengan

4,97 persen dari total 197.068 pernikahan.9 Dan juga sebagai upaya untuk

meminimalisir terjadinya pernikahan anak.

Dalam surat edaran tersebut berisi untuk memerintahkan atau mengajak

semua stakeholder, salah satunya yaitu KUA, karena KUA merupakan

instansi/lembaga yang berperan dalam mencegah perkawinan di bawah umur. Hal

ini merupakan bentuk perhatian pemerintah terhadap kemaslahatan rumah tangga

untuk menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah warohmah.

9
“cegah pernikahan dini wajib belajar 12 tahun layak digiatkan lagi”, Portal Resmi DPRD Prov.
Jatim, https://dprd.jatimprov.go.id, diakses tanggal 7 Februari 2021.
Kantor Urusan Agama (KUA) adalah unit kerja terdepan Kementrian

Agama RI (Kemenag) yang melaksanakan tugas pemerintah di bidang Agama di

wilayah kecamatan (KMA No.517/2001) dan PMA No.11/2007). Dikatakan

sebagai unit kerja terdepan, karena KUA secara langsung berhadapan dengan

masyarakat.

Aparat KUA harus mampu mengurus rumah tangga sendiri dengan

menyelenggarakan menejemen kearsipan, administrasi surat-menyurat dan

statistik serta dokumentasi yang mandiri. Selain itu, harus mampu menjalankan

pelayanan di bidang pencatatan nikah dan rujuk (NR) secara apik, oleh karena

pelayanan itu sangat besar pengaruhnya dalam membina kehidupan keluarga

warahmah.

Lebih dari itu, aparat KUA bertugas mengurus dan membina tempat

ibadah umat islam (masjid, langgar/mushalla) membina pengamalan agama Islam,

zakat, wakaf, baitul mal dan ibadah sosial, kemitraan umat Islam, kependudukan

serta pengembangan keluarga sakinah, sesuai kebijakan masyarakat Islam

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.10

Dalam bidang konsultasi atau nasehat perkawinan, KUA melalui BP4

(Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan) yang merupakan

bagian dari struktur keorganisasian KUA (di tingkat kecamatan) bertugas

melaksanakan kegiatan edukasi dan pelayanan masyarakat kepada pria dan wanita

sebelum menikah maupun sesudah menikah, yang juga bermanfaat bagi upaya

pencegahan pernikahan yang tidak sesuai dengan agama dan Negara.11

10
Badan Penasihatan, Pembinaan dan pelestarian Perkawinan (BP4), Hasil Munas Ke XIV (Jakarta:
BP4 Pusat 2009), 16
11
Ibid
Berdasarkan permasalahan diatas, maka peneliti tertarik untuk menjadikan

pernikawinan anak sebagai objek penelitian dengan judul “Strategi Pencegahan

Perkawinan Anak (Studi terhadap pelaksanaan Surat Edaran Gubernur Jawa

Timur Nomor 474.14/810/109.5/2021 di KUA Kecamatan Kras Kabupaten

Kediri)”.

B. Fokus Penelitian

Dari paparan konteks penelitian di atas, fokus penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Bagaimana strategi KUA kecamatan Kras Kediri dalam pencegahan

perkawinan anak berdasarkan surat edaran Gubernur Jawa Timur Nomor

474.14/810/109.5/2021?

2. Bagaimana hambatan dan hasil KUA Kecamatan Kras Kediri dalam

pencegahan perkawinan anak ?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu kepada fokus penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini

adalah:

1. Untuk Mengetahui strategi KUA kecamatan Kras Kediri dalam pencegahan

perkawinan anak berdasarkan surat edaran Gubernur Jawa Timur Nomor

474.14/810/109.5/2021.

2. Untuk Mengetahui hambatan dan hasil KUA Kecamatan Kras Kediri dalam

pencegahan perkawinan anak.

D. Kegunaan Penelitian
Adapaun Kegunaan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah

diharapkan penulis bisa memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis

bagi semua pihak;

1. Kegunaan secara teoritis

a. Dapat menambah pengetahuan, pengalaman dan wawasan bagi penulis

serta pembaca mengenai masalah yang diteliti.

b. Bisa melengkapi khazanah keilmuan atas penelitian terdahulu mengenai

masalah yang berkaitan dengan obyek penelitian.

c. Bisa digunakan sebagai salah satu rujukan bagi penulis mendatang atas

objek penelitian yang berdekatan dengan pencegahan perkawinan anak.

2. Kegunaan Secara Praktis

a. Untuk memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan

gelar sarjana S1.

b. Bagi masyarakat atau bagi pembaca dapat memberikan kontribusi

pemahaman tentang pernikahan dini.

E. Telaah Pustaka

Penelitian terdahulu dibutuhkan untuk memperjelas, mempertegas dan

membandingkan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yang memiliki

kesamaan tema, yakni pernikahan mahasiswa. Hal ini agar mencegah adanya

plagiasi dalam penelitian yang dilakukan selanjutnya.

Pertama, penelitian yang dilakukan Dania Eka Lestari Mahasiswa

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2017, dengan judul
skripsi “Upaya Pencegahan Pernikahan Usia Dini di Desa Ketundan Kecamatan

Pakis Kabupaten Magelang Perspektif Sosiologi Hukum Islam”. Penelitian ini

bertujuan untuk memahami pencegahan pernikahan usia dini yang dilakukan di

Desa Ketundan apabila ditinjau dari segi normatif yang telah sesuai dengan kaidah

fikih, dari segi yuridis telah sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 dan Pasal 60 KHI, dan dari segi sosiologis telah sesuai namun tidak

diterima masyarakat secara maksimal karena pemikiran masyarakat yang masih

tradisional.

Kedua, jurnal penelitian yang dilakukan Derry Istiawan mahasiswa

Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Airlangga. Menulis “Pencegahan

Pernikahan Anak Usia Dini di Dusun Gembor Kecamatan Tiris kabupaten

Probolinggo”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum pencegahan

pernikahan Anak usia dini di Dusun Gembor adalah orang tua menyekolahkan

anak ke pondok pesantren Nurul Jadid dan himbauan dari modin agar tidak nikah

usia dini.

Ketiga, penelitian yang dilakukan Gita Citra Anggrainy tahun 2020

mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Menulis

Skripsi “strategi keluarga dalam mencegah perkawinan di usia anak Studi di Desa

Sukonolo Kacamatan Bululawang Kabupaten Malang”. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa pandangan keluarga di Desa Sukonolo terhadap perkawinan

anak terbagi menjadi dua, setuju dan tidak setuju. Para keluarga di Desa Sukonolo

setuju dengan perkawinan anak daripada terjadi penyimpangan seks, sedangkan

para keluarga yang tidak setuju dengan perkawinan anak menyadari dampak

buruk yang akan timbul dari perkawinan anak. Penjagaan yang dilakukan oleh
keluarga di Desa Sukonolo dalam mencegah terjadinya perkawinan anak adalah

dengan memasukkan anak mereka ke pondok pesantren, mengedukasi tentang

perlunya menjaga jarak dengan lawan jenis dan juga pengawasan ibu terhadap

kegiatan anak – anaknya.


BAB II

Anda mungkin juga menyukai