Anda di halaman 1dari 38

1

Berani Mimpi
‘gan yu meng xiang’
===============

Alkisah, di sebuah desa miskin ada satu sekolah dasar. Hanya sedikit muridnya
karena kebanyakan anak-anak di desa itu mambantu orang tuanya mencari nafkah.
Suatu hari, satu-satunya guru yang ada di sekolah itu sedang memberi pelajaran
mengarang. Setelah menjelaskan cara-cara mengarang cerita, si guru memberikan
pekerjaan rumah. “Anak-anak, pekerjaan rumah hari ini adalah mengarang dengan
judul ‘wo de yuan wang’, ‘cita-citaku’. Besok, hasil karangan kalian dibaca di depan
kelas satu per satu.”
Keesokan harinya, murid-murid maju ke depan kelas dan membacakan
karangannya masing-masing. Kebanyakan mereka bercita-cita menjadi guru, petani
atau pegawai pemerintah, dll. Sang guru selalu manggut-manggut tanda setuju. Lalu
tiba giliran seorang murid yang paling muda usianya. Bajunya tambal sulam,
tubuhnya kurus kecil, tetapi suaranya sangat lantang. “Kalau besar nanti, aku ingin
punya rumah besar di atas bukit, dengan pemandangan yang indah, berdampingan
dengan pondok-pondok kecil di sekelilingnya untuk tempat peristirahatan. Berderet
pohon cemara dan pohon-pohon yang rindang di antara rumah-rumah itu. Ada
taman bunga tertata apik, dengan beraneka bunga dan warna. Ada kebun buah
dengan buah-buahan lezat yang bisa dipetik oleh penghuni rumah dan penduduk
sekitarnya. Saya ingin jadi orang sukses dan bahagia bersama dengan keluarga besar
dan para tamu yang datang ke sana..”
Mendengar suara lantang si murid kecil itu, kontan seisi kelas tertawa
bersamaan. “Dasar pemimpi..!” ejek murid yang lain. Mereka mencemooh cita-cita
si murid kecil. Melihat kegaduhan itu si guru jadi marah-marah. Ia menganggap
biang kerok adalah si murid kecil. Si guru menegurnya, “Yang kamu tulis itu bukan
cita-cita, tapi itu impian yang tidak mungkin terjadi. Kamu harus tulis ulang tentang
cita-citamu yang sebenarnya.” Perintah sang guru.
“Guru, ini adalah cita-citaku yang sebenarnya. Ini bukan hanya mimpi, ini bisa
menjadi kenyataan,” murid kecil bersikeras.
“He.. kamu hidup di desa yang miskin, keluargamu juga keluarga miskin.
Bagaimana kamu akan mewujudkan cita-cita seperti itu? Dasar pemimpi..! Buat
karangan yang masuk akal saja!” teriak si guru mulai tidak sabar.
“Aku tidak mau cita-cita yang lain. Ini ‘wo de yuan wang’, ‘cita-citaku’, tidak
ada yang lain..” si murid kecil ngotot.
“Besok kamu harus bawa karangan yang baru. Jika tidak kamu perbaiki
karanganmu itu, kamu akan mendapat nilai jelek.,” si guru mulai mengancam.
Namun keesokan harinya, si murid kecil ke sekolah tanpa membawa karangan baru.
Walau diancam dan dipermalukan, dia tetap pada cita-citanya semula. Karena
sikapnya yang keras kepala dan tidak mau mengikuti perintah guru, akhirnya ia
mendapat nilai paling jelek di kelas.
Tanpa terasa waktu terus berjalan. Tiga puluh tahun kemudian, si guru masih
tetap mengajar di sekolah dasar itu. Suatu hari, ia mengajak murid-muridnya belajar
sambil berwisata ke sebuah kebun buah di atas bukit yang sangat terkenal. Kebun
buah itu berada di desa tetangga, tidak berapa jauh dari desa tempat mereka tinggal.
Sesampai di kebun buah yang luas dan indah itu, si guru dan murid-muridnya
berdecak kagum. Kebun buah itu ternyata dilengkapi dengan sebuah taman bunga
yang luas, dikelilingi pepohonan yang rindang nan sejuk. Yang lebih mengagumkan,
di dekatnya terdapat sebuah rumah besar bak istana. Tinggi menjulang, megah, dan
sangat indah arsitekturnya.
“Orang yang membangun istana ini pastilah orang yang sangat hebat.. Mengapa
baru sekarang aku tahu ada tempat seindah ini..,” gumam si guru terkagum-kagum.
Tiba-tiba terdengar jawaban. “Bukan orang hebat yang membangun rumah ini..
hanya seorang murid yang bandel yang berani bermimpi punya cita-cita besar. Pasti,
yang lebih hebat adalah guru yang dulu mendidik bocah bandel itu.. mari masuk ke
dalam rumah. Kita nikmati teh dan buah-buah terbaik dari kebun ini..,” ujar si
pemilik rumah itu dengan ramah.
Mendengar ucapan itu, mendadak si guru terpana dan teringat siapa yang berdiri
di depannya. Dia adalah si murid kecil yang keras kepala yang mendapat nilai jelek
waktu itu. Sekarang dia telah menjelma menjadi pengusaha yang sangat sukses.
Matanya berkaca-kaca, merasa bersyukur sekaligus menahan malu karena 30 tahun
yang lalu dirinya melecehkan cita-cita anak itu.
Pembaca yang budiman.
Bila kita mau menyadari dan meneliti dengan cermat sebenarnya banyak
prestasi spektakuler dari abad sebelum masehi sampai abad milenium ini. Semuanya
lahir dan dimulai dari sebuah embrio ‘gan yu meng xiang’ yaitu berani mimpi.
Karena impianlah sebuah pesawat terbang tercipta.
Karena impianlah kita bisa menikmati kecanggihan computer. Karena impianlah
kita bisa berkomunikasi dengan telepon tanpa kabel. Karena impian pula kehidupan
kita bisa kita ubah menjadi lebih berkualitas.
Tentu, untuk merealisasikan setiap impian ini, kita membutuhkan kekuatan yang
lain. Kekuatan itu harus ditumbuhkembangkan dari dalam diri kita sendiri, yaitu
berani mencoba, berani berjuang, berani gagal, dan terakhir berani sukses.
Seringkali terjadi, penghambat kesuksesan seseorang bukan disebabkan oleh
kekurangan-kekurangan yang dimilikinya. Tetapi lebih karena tidak adanya cita-cita
yang diyakini dengan kuat dan diperjuangkan dengan sikap pantang menyerah!
Bercerita tentang pengalaman saya sendiri, saat saya berani bermimpi menjadi
seorang bintang film Hong Kong karena saya merasa memiliki kepandaian kungfu,
berwajah cukup tampan, dan bertubuh atletis. Dengan latar belakang keluarga
miskin, pendidikan rendah, kerja sebagai karyawan toko dan salesman, tidak punya
pengalaman, tapi bercita-cita jadi bintang film di luar negeri.
2
Bukankah itu hal yang tidak wajar menurut latar belakang saya? Banyak nada
cemoohan dan kesangsian setiap kali orang mendengar impian saya itu. Sebagian
sahabat tidak percaya dengan kemampuan saya dan menganggap angan-angan saya
itu terlalu tinggi. Sebagian lagi khawatir kalau keinginan saya itu bakal tidak
tercapai. Mereka kasihan melihat saya akan kecewa atau frustrasi. Namun akhirnya,
dengan tekad membaja dan perjuangan keras, saya toh mampu mewujudkan mimpi
menjadi bintang film Hong Kong.
Cemoohan atau kesangsian orang lain terhadap cita-cita yang tinggi sebenarnya
juga selalu dihadapi oleh orang-orang besar di dunia ini. Tetapi orang-orang besar
tidak pernah berhenti hanya karena ejekan atau kesangsian orang banyak atas
impian-impian besarnya. Karena, bagi orang-orang besar yang bermental kaya,
ejekan dan cemooh adalah vitamin gratis yang justru mereka perlukan sebagai
cambuk dan pemacu untuk berusaha lebih keras lagi.
Sebab itu, jika ada orang yang mengejek atau mencemooh mimpi-mimpi kita,
jangan pernah berkecil, hati. Hanya satu jawabannya, kuatkan tekad dan semangat,
lalu ‘fen dou’ ‘berjuang dengan sekuat tenaga, dan buktikan bahwa kita mampu dan
berhak untuk mendapatkan yang terbaik bagi hidup kita. -0-

2
Nilai Sebutir Nasi
‘yi li mide jia zhi’
=================

Dikisahkan dalam sebuah kerajaan kecil, sang raja mempunyai seorang putera
yang sangat dimanjakan. Merasa sebagai anak semata wayang sekaligus putera
mahkota kerajaan, dia tumbuh menjadi remaja yang urakan, tidak tahu sopan santun,
dan tidak mau menghargai orang lain. Ia bahkan suka melecehkan para
pengasuhnya. Karena itu, pangeran kecil ini dibenci dan dihindari oleh para
pengasuh maupun pegawai istana lainnya.
Walau dibenci dan dijauhi, pangeran kecil ini masih punya satu-satunya sahabat
seusia yang setia kepadanya, yaitu si bocah laki-laki anak dari si juru masak istana.
Si bocah tinggal di bangunan kecil jauh di belakang istana kerajaan. Karena dilarang
menginjakkan kakinya di istana, maka sang pangeran kecillah yang biasanya datang
bermain ke rumah bocah. Suatu hari, pangeran kecil meminta si bocah untuk
menemaninya makan siang di ruang makan istana. Bukan menemani makan, tetapi
berdiri manis menunggui sambil melihat sang pangeran makan. Sesaat sebelum
makan, Pangeran kecil terlihat menundukkan kepala sambil mulutnya berkomat-
kamit seolah sedang berdoa.
Sejenak kemudian, pangeran kecil mulai melahap hidangan yang tersaji di meja
makan. Semua jenis makanan yang enak-enak dan mahal dicicipi. Pangeran
3
bersantap sambil bertingkah seperti orang yang sedang kelaparan dan ingin
menghabiskan semua makanan di atas meja. Kadang ia hanya mencuil dan
menggigit makanannya, lalu memuntahkan dan membuang sisanya di meja. Meja
makan jadi berantakan dan sisa-sisa makanan berserakan di mana-mana. Sang
Pangeran seperti sedang mengolok-olok sahabatnya yang hanya berdiri
memandanginya. Tapi bukannya merasa dihina, si bocah kecil itu malah tersenyum-
senyum sedari tadi. Pangeran kecil pun jadi tersinggung dan marah melihat kelakuan
sahabatnya.
“Hai.. apa yang kamu tertawakan? Beraninya kamu tertawa seperti itu di
hadapanku? Kamu iri melihat aku makan enak? Teriak pengeran kecil.
“Tidak, tidak ada apa-apa..” jawab si bocah.
“Kalau tidak ada apa-apa, mengapa kamu tertawa? Apanya yang lucu?” Tanya
sang pengeran sengit.
“Pangeran jangan cepat marah. Hamba sungguh senang dan tidak menyangka
sama sekali, bahwa seorang pangeran pun ternyata juga berdoa sebelum makan. Apa
yang pangeran ucapkan dalam doa tadi?” Tanya si bocah.
“Walau aku seorang pangeran, aku juga orang beragama. Di agamaku sejak kecil
diajarkan, supaya setiap hendak makan mengucapkan ‘gan xie’ doa terima kasih
kepada Yang Maha Kuasa, atas pemberian makanan yang dihidangkan untukku,”
jelas sang pangeran dengan bangga.
Si bocah kecil tetap saja tersenyum-senyum. Tapi kali ini ia berani berkata
demikian, “menurut pendapat hamba yang mulia. Rasa syukur dan terima kasih
akan lebih berarti bila ditujukan juga kepada orang-orang yang telah menyediakan
semua bahan makanan, dan memasak hingga tersaji hidangan di meja ini,” kata si
bocah. “Lihat sisa makanan yang berceceran di piring dan meja itu. Perlu berapa
orang untuk membuat itu semua?”
“Apa maksud kata-katamu itu? Aku kan seorang pangeran yang boleh berbuat
apa saja sesuai dengan kehendakku..” kilah sang pangeran kecil. Si sahabat tiba-tiba
menarik tangan sang pangeran dan mengajaknya menuju dapur istana. Ia bawa sang
pangeran menyaksikan bagaimana juru masak istana dan para pekerja dapur begitu
sibuk menyiapkan makanan serta membuat berbagai macam masakan.
Saat mereka berkeliling, dari pintu belakang istana tampak seorang petani
sedang membawa sekarung beras sebagai hantaran wajib ke istana. Pangeran kecil
menyapa si petani bak seorang raja yang berkuasa. “Hai.. Paman.. terima kasih atas
persembahanmu. Bagai mana panen padi kali ini?” tanya sang pangeran berlagak
bijak.
“Panen kali ini buruk sekali, Tuan,” jawab si petani ketakutan. “Sudah tiga bulan
kami bekerja keras, dari membajak, menanam, mengairi sawah sampai memupuk
tanaman, tapi hasilnya sia-sia. Sawah ladang dihancurkan tikus dan hama wereng.
Jadi, ampuni kami karena hanya mampu mempersembahkan sekarung beras ini.
Hanya itu yang kami punya. Karena kami pun belum tahu bagaimana memberi
makan anak istri kami,” ujarnya sambil menghela nafas panjang.
4
Mendengar jawaban itu, pangeran kecil tersentak dan baru tersadar. Ternyata
rakyatnya sangat menderita dan terancam kepalaran. Sementara dirinya malah
menyia-nyiakan dan membuang-buang makanan yang begitu berharga. Sang
pangeran kecil kemudian lari meninggalkan tempat itu karena merasa malu pada diri
sendiri. Sejak peristiwa itu, tingkah laku pangeran kecil berubah total. Ia menjadi
anak yang sopan dan mau menghargai orang lain. Setiap kali makan, ia selalu
mengingatkan dirinya sendiri, ‘bu yao liu xia yi li mi’. “Jangan sisakan sebutir nasi
di piringmu..!”
Pembaca yang budiman.
Sejak kecil kita telah dididik untuk selalu berdoa dan ‘gan en’ mengucap syukur
atas semua berkat yang diberikan Tuhan kepada kita. Mengucap syukur bukan
sekedar berdoa, bukan pula sekedar melaksanakan formalitas ritual beragama. Tetapi
lebih dari itu, rasa syukur kita harus disertai dengan sikap menghargi dan
menghormati orang lain dalam kehidupan sehari-hari.
Sebelum sebutir nasi yang kita makan sehari-hari memuaskan dan
mengenyangkan perut kita, betapa banyak kerja dan kegiatan yang mendahuluinya.
Bila kita menghargai arti sebutir nasi serta orang-orang yang menghasilkannya,
maka dasar pengertian dan kebijakasanaan itu akan melahirkan sikap mental positif
dalam kehidupan kita.
Doa dan syukur harus didasarkan pada perbuatan nyata dari pengertian yang
benar mengenai apa yang kita lakukan. Jika setiap doa yang kita ajarkan kepada
anak-anak kita disertai dengan pengertian kebijakan untuk menghargai segala usaha
dan jerih payah orang lain, serta tidak menyia-nyiakan berkat yang sedang kita
nikmati, niscaya, mereka kelak akan tumbuh menjadi orang-orang yang luhur budi
pekertinya. Sekali lagi, ingat, ketika kita makan: ‘bu yao liu xia yi li mi’ “Jangan
sisakan sebutir nasi di piringmu.” -0-

5
3
Kakek Berusia 10 Tahun
‘shi sui lao ren’
===================
Dikisahkan, di bawah sebuah pohon yang rindang, tampak sekelompok anak-
anak sedang menyimak pelajaran yang diberikan oleh seorang guru. Uniknya, di
antara anak-anak itu, terlihat seorang kakek duduk bersama mereka, ikut menyimak
pelajaran yang diberikan sang guru. Kejadian aneh itu ternyata menarik perhatian
seorang pemuda yang kebetulan melewati tempat tersebut. Seusai pelajaran, pemuda
yang penasaran tadi menghampiri sang kakek. Bertanyalah dia kepada si kakek:
“Kek, apakah kakek seorang guru?”
“Bukan..” jawab si kakek.
“Kalau bukan guru, mengapa kakek ikut duduk bersama anak-anak tadi?” si
pemuda tambah penasaran.
“Apa salahnya duduk dengan anak-anak itu? Ketahuilah aku tadi sedang belajar
bersama anak-anak itu.”
“Lho, pelajaran itu tadi kan untuk anak-anak.. bukan untuk orang tua seperti
kakek?” Memangnya berapa umur kakek, kok tidak malu belajar bersama dengan
anak-anak itu?”
“Umurku tahun ini tepat 10 tahu..” jawab si kakek sambil tersenyum.
“Ah.., kakek bercanda! Kalau menurut perkiraanku, paling tidak umur kakek
sudah 70-an tahun..” si pemuda menebak sambil tetap penasaran.
“Ha ha ha, tebakanmu benar anak muda. Bila dihitung dari saat aku lahir hingga
saat ini, umurku memang 70 tahun. Tetapi 60 tahun yang telah kulewati janganlah
dihitung. Yang benar-benar dapat dihitung adalah kehidupanku yang sepuluh tahun
terakhir ini,” jawab si kakek penuh misteri.
Si pemuda pun makin dibuat bingung oleh penjelasan kakek tua tadi. Mengapa
masa 60 tahun itu tidak dihitung? Apa artinya?”
Sambil menghela nafas panjang si kakek menjawab, “sejak kecil sampai usia 20
tahun, seharusnya itulah usia terbaik untuk belajar. Tetapi aku gunakan waktu itu
hanya untuk bermain dan bersantai-santai. Sebab semua keinginan dan kebutuhanku
disediakan berlimpah-limpah oleh orang tuaku. Lalu 20 tahun berikutnya, waktu
yang seharusnya untuk berjuang dan meniti karir, malah aku gunakan untuk berfoya-
foya dan menghabiskan harta orangtuaku. Dan 20 tahun ketiga, waktu yang
seharusnya untuk mengumpulkan tabungan masa pensiunku, malah kugunakan
untuk bertamasya tak karuan tujuannya. Semua harta yang tersisa kuhambur-
hamburkan karena aku hanya mengejar kesenangan sesaat. Coba pikir, bukankah 60
tahun yang telah kulewati itu sia-sia belaka?”
6
“Bagaimana dengan 10 tahun terakhir?”
Dengan mata berkaca-kaca si kakek berkata, “Sepuluh tahun terakhir ini aku
baru sadar ‘jue wu’, bahwa 60 tahun hidupku telah kulalui tanpa makna, tanpa
tujuan, dan tanpa cita-cita.. Aku sudah bangkrut, jatuh miskin, sebatang bara, tidak
punya teman yang bisa membantu, dan hanya hidup dari belas kasihan orang lain.
Tetapi sejak kesadaran itu muncul, aku merasa seperti baru lahir kembali dan
memutuskan untuk belajar hidup dari awal lagi.
Setelah berhenti sejenak, si kakek meneruskan kata-katanya, “Anak muda..
jangan meniru kehidupan seperti yang telah aku jalani. Karena, waktu adalah modal
utama yang dimiliki setiap manusia. Pergunakanlah dengan sebaik-baiknya untuk
belajar, berusaha, dan berkarir. Gunakan waktumu untuk tujuan yang mulia, maka
kelak di hari tuamu kau akan merasa bahagia. Karena kehidupanmu bukan hanya
berguna bagi dirimu sendiri, tetapi juga harus berarti bagi orang lain.”
Pembaca yang budiman.
Kisah tadi sungguh menggambarkan sebuah perjalanan hidup yang sia-sia dan
tak berguna. Ini merupakan pelajaran berharga bukan saja untuk anak-anak dan
orang muda, tetapi juga untuk kita semua. Jangan sampai kita menyia-nyiakan waktu
selagi kita memilikinya. Apalagi saat kita masih berkemampuan penuh meraih
segala sesuatu yang kita inginkan, yang terbaik bagi hidup kita. Waktu adalah
modal utama dan kekayaan paling berharga yang dimiliki setiap orang. Maka tak
salah jika ada ungkapan ‘shi jian shi jin qian’ ‘time is money’ Waktu adalah nyawa
dan apa yang didapat dalam hidup itu ditentukan oleh sang waktu.
Semua orang memiliki waktu yang sama, 24 jam dalam sehari semalam.
Meskipun demikian apa yang didapat maupun yang dihasilkan oleh setiap individu
tidaklah sama. Orang-orang tertentu bisa mendapatkan penghasilan puluhan bahkan
ratusan juta, sementara orang yang lain hanya mendapatkan penghasilan belasan atau
puluhan ribu belaka. Dalam jangka waktu yang sama, sejumlah orang dapat
melakukan berbagai kegiatan strategis, tetapi orang-orang yang lain justru
membunuh waktu dan melakukan hal tidak bermanfaat.
Modal waktu yang dimiliki semua orang sama jumlahnya tetapi hasil yang
didapat bisa berbeda. Mereka yang mengerjakan pekerjaan dengan efisien dan
efektif, hasilnya pasti yang terbaik. Sebaliknya, yang tidak mau mengerjakan
pekerjaannya dengan efisien dan efektif, hasilnya pasti bukan yang terbaik. Itulah
makna kualitas hidup. Orang-orang yang memiliki kebiasaan hidup efektif,
biasanya mampu mendapatkan manfaat dan nilai tertinggi dari waktu yang
dimilikinya. Merekalah orang-orang yang sukses ‘cheng gong zhe’ alias the winner.
Sebaliknya, orang-orang yang kebiasaan hidupnya tidak efektif, pasti hanya
mendapatkan sedikit manfaat dari waktu yang dimilikinya. Merekalah orang-orang
yang gagal ‘shi bai zhe’ alias the loser.
Mari manfaatkan waktu dengan melakukan banyak hal yang berguna untuk
mendapatkan hasil terbaik. Buang semua kebiasaan-kebiasaan yang tidak bermanfaat
dan jauhi sifat suka memboros-boroskan waktu dalam mengerjakan apapun. Jika kita
7
mampu mengisi waktu dengan baik dan melakukan banyak hal bermanfaat, niscaya
kita tidak akan pernah menyesali masa-masa yang pernah kita lewati, seperti si
kakek berusia sepuluh tahun tadi. -0-

4
Gema Kehidupan
‘sheng ming de hui yin’
==============
Alkisah, seorang ayah untuk pertama kalinya mengajak anaknya yang berumur
sepuluh tahun pergi berlibur ke daerah pegunungan. Tempat yang dituju itu ternyata
sangat indah, berhawa sejuk, dan membawa suasana yang hening dan tenteram.
Banyak pohon menjulang tinggi di antara bukit-bukit dan pegunungan. Ayah dan
anak itu berjalan-jalan menikmati eloknya pemandangan. Saking senangnya, sesekali
bocah kicil itu melompat-lompat dan berlari-lari ke sana kemari.
Suatu ketika, karena kurang hati-hati saat berlari-larian, anak itu tergelincir
jatuh. “Aduuuh..!” teriaknya kesakitan. Dan saat hampir bersamaan, jelas terdengar
suara “Aduuuh..” berulang-ulang di sisi pegunungan. Anak itu terheran-heran.
Penasaran dan ingin tahu dari mana asal teriakan yang menirukan suaranya tadi, si
anak berteriak lagi dengan suara lebih keras.
“Hai.. siapa kamu...?”
Sesaat kemudian ia menerima jawaban yang hampir sama kerasnya, “Hai.. siapa
kamu..?”
Setelah itu suasana kembali hening dan hanya desau angin yang terdengar. Anak
kecil itu makin gusar karena hanya mendengar suaranya ditirukan, tetapi tidak
melihat orang yang menirukan suaranya. Lalu dengan marah sekali ia berteriak
sekeras-kerasnya, “Pengecut kamu..!”
Dan sesaat kemudian ia pun langsung menerima jawaban yang sama nadanya,
“Pengecut kamu…!”
Dengan pandangan yang heran bercampur kesal, anak itu menatap ayahnya.
“Ayah, siapa orang yang iseng menirukan teriakan-teriakanku tadi? Mengapa semua
teriakanku dia tirukan persis sama? Tanya anak itu.
Ayahnya tersenyum bijak dan berkata, “Anakku, perhatikan baik-baik…”
Kemudian sang ayah berteriak dengan keras sekali ke arah pegunungan, “Kamu
hebat..!” Terdengar jawaban bunyi yang sama kerasnya dan berulang, “Kamu
hebat..!”
Melihat roman muka anaknya yang masih keheranan, lelaki itu kembali berteriak
keras-keras. “Kamu luar biasa..! Dan sama seperti teriakan-teriakan sebelumnya
yang diikuti dengan suara yang persis sama. “Kamu luar biasa..!”

8
Anak itu tetap saja keheranan sambil terus memandang ayahnya. Tampak sekali
ia tak sabar menunggu penjelasan ayahnya. Sang ayah pun berkata, “Wajar saja kau
heran, anakku. Ini pengalaman pertamamu berada di tempat yang berbukit-bukit dan
bergunung-gunung. Orang menyebut suara yang memantul balik tadi sebagai ‘hui
yin’ atau gema. Itulah pantulan suara.”
Sang ayah melanjutkan penjelasannya, “Sama dengan gema tadi, anakku.
Kehidupan ini juga akan selalu memantulkan kembali apa pun yang kita beri
kepadanya. Maksudnya, apa pun yang telah engkau pikirkan, katakan, dan lakukan,
maka akan seperti itu pula hasil yang kau dapat. Jika setiap saat engkau berfikir
positif, mengucapkan kata-kata bijak, selalu berbuat kebaikan, rajin belajar dan
berdisiplin, maka hidup akan menggemakan begitu banyak kebaikan ke dalam
hidupmu. Kau akan beroleh penghormatan karena kecakapan berfikirmu., beroleh
penghargaan karena kepandaianmu berbicara, beroleh kasih dan pertolongan dari
sesama karena kebaikanmu, dan dengan demikian kau akan mendapatkan kehidupan
yang sukses. Apakah kau mengerti?
Dan si anak pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Pembaca yang budiman.
Kisah di atas mengandung kebijakan yang mendalam dan berharga bagi kita.
Kebijakan terdalam dari kisah tadi menyatakan bahwa hidup kita adalah cerminan
dari apa yang kita pikirkan, kita ucapkan, dan kita lakukan. Jika kita selalu berfikir
negatif, penuh kekhawatiran, dan kecurigaan, maka kehidupan akan memberi reaksi
yang sama negatifnya pada kita. Lingkungan atau orang-orang di sekitar kita pun
akan terbawa atau ikut terpengaruh untuk menjadi berperilaku negatif, penuh
kecurigaan, dan tidak mau percaya kepada kita. Dampaknya, kehidupan kita bisa
dirusak oleh sebab-sebab yang kita munculkan sendiri. Sebaliknya jika kita
senantiasa memiliki hati yang penuh kasih, berfikir positif, mengucapkan kata-kata
yang positif pula serta berperilaku baik kepada siapa saja, maka kehidupan akan
memberikan reaksi yang sama positifnya. Hidup kita pun akan dikelilingi orang-
orang yang penuh kasih, berfikiran positif dan tentu saja banyak kebaikan akan
mendatangi kita.
Prinsip di atas sejalan dengan kata mutiara mandarin yang mengatakan ‘ren
sheng de hui yin’ yang bisa diartikan hidup akan memberikan kembali apa yang
telah kita berikan. Dalam kehidupan ini, kesuksesan hari ini tidak tercipta oleh
karena kebetulan dan keberuntungan semata. Setiap keberhasilan dalam bidang apa
pun, pasti terwujud karena akumulasi dari usaha-usaha yang pernah kita lakukan
sebelumnya. Begitulah makna ‘ren sheng de hui yin’ gema dalam kehidupan kita ;
apa yang kita beri itulah yang akan kita dapatkan!
Maka baik buruknya kehidupan seseorang sesungguhnya berada dalam kendali
hati, pikiran, ucapan dan perbuatan orang itu sendiri. Bahwa lingkungan atau orang
lain berpengaruh pada kahidupan kita itu benar. Tetapi, kehidupan kita sama sekali
tidak ditentukan oleh orang lain. Sebab, kita memiliki hak dan kekuatan untuk
menentukan pilihan.
9
Jadi pesannya jelas sekali, mari kita penuhi hidup ini dengan banyak hal positif.
Dan jika kita ingin lebih berhasil, maka kita harus berani memberi yang terbaik dari
yang kita miliki. Sebab, memberi yang terbaik akan mendapatkan yang terbaik. -0-

5
Susu dan Sepotong Roti
‘niu nai yu mian bao’
=======================

Di suatu malam yang pekat, tampak seorang pemuda pengembara sedang


berlari-lari kecil di tengah hujan badai. Ia berusaha menemukan sebuah tempat
berteduh yang bisa melindungi tubuhnya dari derai hujan badai. Pemuda
pengembara itu mencoba berteduh di bawah sebuah pohon, lalu berpindah ke teras
sebuah rumah sederhana, yang tak jauh dari tempatnya berteduh saat itu.
Dengan tubuh basah kuyup, ia mencoba beristirahat dan melepaskan lelah.
Rupanya, pemuda pengembara itu sedang kehabisan bekal makanan. Ia menggigil
kedinginan sekaligus harus menahan rasa lapar yang menggigit, hingga kepalanya
berkunang-kunang.
Tak lama kemudian datang seorang perempuan setengah baya. Ternyata
perempuan itu adalah pemilik rumah, yang terasnya dijadikan tempat berteduh oleh
pemuda pengembara tadi. Melihat kedatangan si pemilik rumah, pemuda itu buru-
buru memohon izin dengan sopan. “Maaf, Bu.. Saya hanya numpang berteduh.
Mohon ibu tidak merasa terganggu dan mengijinkan saya berteduh barang sesaat..”
Sambil menganggukkan kepala dan tersenyum bijak perempun itu bergegas
masuk ke dalam rumah. Tak lama berselang ia kembali dengan membawa
semangkuk susu hangat dan sepotong roti. “Nak, kelihatannya kamu kedinginan dan
kelaparan. Ini ada semangkuk susu dan sepotong roti untuk menghangatkan perutmu.
Maaf, hanya ini makanan yang ibu punya,” kata perempuan pemilik rumah.
“Ooh, terima kasih, Bu.” Pemuda pengembara menerima pemberian itu dengan
suara dan tangan gemetaran. Lalu sambil malu-malu dan rasa syukur teramat dalam,
ia langsung menghabiskan roti dan susu hangat di hadapannya.
Tahun berganti tahun. Dikisahkan di sebuah rumah pengobatan yang besar dan
terkenal, tengah berlangsung kesibukan yang luar biasa. Beberapa orang sedang
menandu seorang perempuan tua dalam keadaan pingsan. Tampak kondisinya sangat
kritis akibat penyakit akut yang dideritanya selama bertahun-tahun. Untuk
menyelamatkan nyawanya, kepala tabib memutuskan melakukan tindakan operasi.
Beberapa hari kemudian, usai menjalani operasi dan memasuki proses
penyembuhan, perempuan tua itu tampak bingung dan tidak tenang. Pikirannya terus
tertuju kepada biaya pengobatan dan perawatan yang sudah pasti sangat mahal.
”Dari mana aku bisa membayarnya?” tanyanya dalam hati. Ia memberanikan diri
menanyakan besarnya biaya pengobatan kepada si perawat. Tak lama berselang, si
10
perawat mendatanginya kembali dengan membawa sepucuk surat. Dengan perasaan
gundah diterimanya surat tersebut dan segera pula dibacanya.
“Ibu yang baik. Perkenalkan, saya adalah tabib kepala yang mengoperasi dan
merawat ibu. Seluruh biaya pengobatan telah saya lunasi. Ini sebagai tanda
terimakasih saya atas pemberian semangkuk susu dan sepotong roti yang pernah ibu
berikan dahulu. Sayalah si pemuda yang kelaparan yang dulu berteduh di teras
rumah ibu. Semoga Tuhan memberi kesehatan dan umur panjang kepada ibu. Salam
sejahtera.”
Selesai membaca surat itu, meneteslah air mata haru bercampur lega. Perempuan
tua itu tidak pernah menyangka, bahwa perbuatan kecil tanpa pamrih yang
dilakukannya bertahun-tahun yang lalu, ternyata membuahkan kebaikan yang tidak
terkira di kemuian hari. Bukan hanya jiwanya terselamatkan, tetapi seluruh biaya
pengobatannya pun lunas, tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun. “Hidupku
sungguh beruntung..” bisik perempuan tua itu bahagia.
Pembaca yang budiman.
Kisah tadi sungguh luar biasa dan mengajarkan kepada kita akan pentingnya
melakukan perbuatan baik, sekecil apa pun perbuatan baik itu. Kisah tadi juga
mengingatkan saya pada kata mutiarta berbahasa mandarin yang berbunyi: ‘Ren wei
e, huo sui wei zhi fu yi yuan li’ ‘orang yang berbuat jahat, walau bencana belum
tiba, tetapi rejeki telah menjauhinya.’ ‘Ren wei shan, fu sui wei zhi huo yi yuan li’.
‘Orang yang berbuat baik, walau rejeki belum tiba tetapi bencana telah
menjauhinya.’
Kata mutiara di atas sesuai dengan gagasan saya bahwa keberuntungan dapat
diciptakan dan dimiliki oleh siapa saja. Keberuntungan tidak muncul,. Begitu saja,
tetapi melalui sebab-sebab yang kita ciptakan, yang biasanya berbentuk tindakan-
tindakan tertentu. Tidak ada keberuntungan yang berasal dari ruangan hampa. Tidak
ada keberuntungan tanpa diawali sebuah tindakan, baik yang disadari dan sengaja
dilakukan untuk tujuan tertentu, atau tindakan yang dilakukan secara mekanis. Jadi,
keberuntungan adalah akibat dari sebab-sebab yang kita ciptakan atau kita perbuat.
Seperti pepatah mandarin; ‘hao xin you hao bao’ yang artinya kebaikan
mendatangkan kebaikan atau balasan yang setimpal. Kebaikan-kebaikan yang telah
kita lakukan, biasanya atau besar kemungkinan mendatangkan rentetan kebaikan
pula dikemudian hari. Demikian juga dengan keberuntungan. Satu keberuntungan
akan mengundang keberuntungan-keberuntungan lainnya. Satu kesuksesan pun akan
mengundang kesuksesan-kesuksesan lainnya.
Jadi mari kita bersihkan hati, jauhi niatan-niatan melakukan perbuatan jahat,
tidak menyenangkan menyakiti orang lain, atau merendahkan harga diri dan
martabat orang. Setiap kali ada hasrat dan pikiran tak terkendali yang mengarah pada
perbuatan jahat, ingatlah selalu; orang yang suka berbuat jahat dijauhi rezeki dan
didekati bencana. Sebaliknya, orang yang suka berbuat baik dijauhi bencana dan
didekati rezeki.

11
Mari kita membiasakan diri melakukan perbuatan-perbuatan baik setiap hari.
Sekecil apa pun perbuatan itu. Sesungguhnya orang yang berbuat baik adalah orang
yang benar-benar beruntung hidupnya. –0-

6
Aku adalah Rajawali
‘wo shi lao ying’
====================

Cerita ini berawal saat terjadinya gempa bumi yang dahsyat di sebuah tempat
yang jauh dari keramaian. Pohon-pohon bertumbangan, angin berhembus kencang,
suara gaduh terdengar di mana-mana, tanah pun retak-retak dan terbelah. Setelah
bencana berlalu, seorang petani muda melintas di tempat itu. Tak sengaja ia melihat
sebuah sarang burung yang terkoyak dan jatuh di tanah. Petani muda itu mengorek-
ngorek sarang dan menemukan sebutir telur di dalamnya. Ia penasaran melihat
ukuran telur yang jauh lebih besar dibandingkan telur ayam peliharaannya. Ia pun
bergegas membawanya pulang dan kemudian meletakkannya di antara telur-telur
ayam agar dierami si induk ayam.
Beberapa minggu kemudian, telur besar itu menetas mengikuti telur-telur kecil
yang sudah menetas lebih dahulu. Dari tetasan telur besar itu muncul seekor unggas
mirip ayam tetapi dengan bentuk dan ukuran yang berbeda sekali. Induk ayam
mengira unggas itu sama saja dengan anak-anaknya yang lain. Maka sejak itu si
unggas hidup bersama anak-anak ayam. Ia makan, berjalan, bersuara, dan bemain-
main layaknya anak-anak ayam. Dia pun merasa sebagai bagian dari keluarga ayam-
ayam itu.
Suatu hari, tinggi di udara tampak seekor burung rajawali terbang dengan gagah
perkasa. Sebentar-sebentar menukik, berputar-putar, melayang-layang, sambil
memekikkan suaranya yang menakutkan. Dari ketinggian itu matanya yang tajam
sedang mengawasi dan mencari sasaran-sasaran yang hendak dimangsa. Sementara
itu, di bawah tampak si unggas muda sedang mengintip kegagahan si rajawali.
“Wah, apa yang terbang di atas itu? Hebat sekali! Begitu besar, gagah, dan
kepak sayapnya indah sekali. Suaranya juga dahsyat, terdengar sampai di bawah
sini,” gumamnya penuh bersemangat. Sejenak kemudian, ia berubah menjadi sedih.
“Seandainya aku bisa terbang… Aku pasti bangga dan bahagia sekali..,” bisik si
unggas muda.
Hingga suatu hari, si rajawali terbang agak rendah dan berputar-putar
mengelilingi si unggas muda. “Hai.. kamu..!” teriak si rajawali. “Mengapa kamu
hanya mendongak ke atas, berjalan kesana-kemari..? Ayo terbang..!”

12
Si unggas muda terkaget-kaget. “A a a … aku? Kau suruh aku terbang?
Bercanda kamu! Aku tidak mungkin bisa terbang. Aku ditakdirkan berjalan dengan
kedua kaki ini.” jawab si unggas muda.
“Salah..! Kamu ini seekor rajawali ‘ni shi lao ying’. Kamu bisa terbang sama
seperti aku!” terak si rajawali, mengingatkan.
“Tidak! Aku berbeda dengan kamu! Aku memang memimpikan bisa terbang
seperti kamu, tapi inilah nasibku. Selamanya aku tidak akan pernah bisa menjadi
sepertimu.”
Si rajawali pun kehilangan kesabaran. Ia mengepakkan sayap, terbang ke atas,
lalu secepat kilat ia menukik dan menyambar si unggas muda. Ia membawa unggas
muda itu terbang tinggi sekali. Sambil terus mencengkram si unggas muda, si
rajawali berteriak, “Sekarang bersiaplah! Aku akan melepasmu.. kepakkan sayapmu
sekuat tenaga!”
Dan, hup.. begitu dilepas, si unggas muda mengepakkan sayapnya sekuat tenaga
sambil berterian ketakutan. Sesaat kemudian, ia mulai bisa mengatur keseimbangan
dan barulah ia sadar. “Hah.. aku tidak jatuh! Aku bisa terbang! Aku sungguh-
sungguh terbaaang!” pekikan suaranya terdengar keras sekali.
Dengan takjub dan hati penuh kegembiraan yang luar biasa, si unggas muda
mengawali hidup baru dengan kesadaran penuh. “Aku adalah seekor rajawali ‘wo shi
lao ying’! Tempatku bukan hanya di daratan dan tidak perlu berjalan kaki mencari
makan. Tempatku juga di udara, terbang bebas menjelalahi alam semesta!”
Pembaca yang budiman.
Kisaah rajawali muda tadi mengingatkan kita pada potensi-potensi diri yang
terpendam. Sebagai manusia berakal budi, bukannya kita tidak memiliki
kemampuan. Tetapi seringkali kemampuan itu tidak muncul di permukaan hanya
karena kita tidak menyadari potensi dalam diri kita. Kemampuan itu tenggelam
karena kita tidak memiliki keberanian untuk mencoba. Seperti bunyi kata-kata
mutiara yang sering saya ucapkan: Apa yang tidak mungkin sering kali hanya
karena tidak pernah dicoba.
Bila mengingat kembali latar belakang pendidikan formal saya yang SD saja
tidak tamat, maka rasa-rasanya sangat mustahil jika sekarang ini saya dinobatkan
sebagai seorang motivator. Bahkan oleh rekan-rekan media dan khalayak ramai saya
dijuluki sebagai The Best Motivator atau Motivator no. 1 Indonesia. Berbicara di
atas panggung, berbagi semangat di depan ratusan hingga ribuan audience, berbagi
pengalaman di forum-forum, seminar, sungguh merupakan rentetan pengalaman
yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.
Tanpa pernah terpikir ingin menyalahkan kedua orangtua saya, saya tidak ke
sekolah bukan karena bodoh, tetapi karena keadaanlah yang menyebabkan saya tidak
bisa melanjutkan sekolah. Dengan latar belakang seperti itu, sesungguhnya sangat
wajar sekali jika hari ini saya hidup miskin, bodoh, gagal, dan hanya bekerja sebagai
pelayan atau pekerja rendahan lainnya.

13
Saya sadar, dengan pendidikan formal, yang sangat minim, saya harus memacu
diri dan mengisi kehidupan ini dengan tekad untuk terus belajar dan belajar, bekerja
keras, dan ulet dalam menjalani hidup. Saya tidak mau menyerah kepada keadaan
dan saya harus selalu mendasari perjuangan saya dengan niat baik. Saya belajar dan
berjuang tanpa tanpa kenal lelah. Dan ternyata, tidak ada perjuangan yang sia-sia,
sekalipun hasil perjuangan itu tidak selalu bisa dinikmati dan memanen hasil
pembelajaran dan perjuangan keras selama ini. Hari ini saya bisa berdiri tegak dan
menyapa setiap orang dengan bangga; Salam sukses Luar Biasa! Saya juga berupaya
selalu berbagi kepada setiap orang yang mau menerima pengertian filosofi hidup
saya, yaitu: ‘cheng gong shi wo men de quan li’ Succes is My Right. Sukses adalah
hak saya, hak Anda, dan hak siapa saja yang mau berjuang untuk itu. Mari gali,
temukan, dan kembangkan potensi yang ada di dalam diri kita! Niscaya kita akan
mendapati betapa luar biasanya diri kita. -0-

7
50 Tahun Salah Paham
‘wu hui ban shi ji’
======================
Dikisahkan, di sebuah gedung pertemuan yang amat megah, seorang pejabat
senior istana sedang menyelenggarakan pesta ulang tahun perkawinannya yang ke
50. Peringatan kawin emas itu ramai didatangi oleh tamu-tamu yang penting seperti
para bangsawan, pejabat istana, pedagang besar, serta seniman-seniman terpandang
dari seluruh pelosok negeri. Bahkan kerabat serta kolega dari kerajaan-kerajaan
tetangga juga hadir. Pesta ulang tahun perkawinan pun berlangsung megah dan
sangat meriah.
Setelah berbagai macam hiburan ditampilkan, sampailah pada puncak acara,
yaitu jamuan makan malam yang sangat mewah. Sebelum menikmati jamuan
tersebut, seluruh hadirin mengikuti prosesi penyerahan hidangan istimewa dari sang
pejabat istana kepada istri tercinta. Hidangan itu tak lain adalah sepotong ikan mas
yang diletakkan di sebuah piring besar yang mahal. Ikan mas itu dimasak langsung
oleh koki kerajaan yang sangat terkenal.
“Hadirin sekalian, ikan mas ini bukanlah ikan yang mahal. Tetapi, inilah ikan
kegemaran kami berdua, sejak kami menikah dan masih belum punya apa-apa,
sampai kemudian di usia perkawinan kami yang ke 50 serta dengan segala
keberhasilan ini. Ikan mas ini tetap menjadi simbol kedekatan, kemesraan,
kehangatan, dan cinta kasih kami yang abadi,” kata sang pejabat senior dalam pidato
singkatnya.
Lalu, tibalah detik-detik yang istimewa yang mana seluruh hadirin tampak
khidmat menyimak prosesi tersebut. Pejabat senior istana mengambil piring, lalu
memotong bagian kepala dan ekor ikan mas. Dengan senyum mesra dan penuh
14
kelembutan, ia berikan piring yang berisi potongan kepala dan ekor ikan mas tadi
kepada istrinya. Ketika tangan sang istri menerima piring itu, serentak hadirin
bertepuk tangan dengan meriah sekali. Untuk beberapa saat, mereka tampak ikut
terbawa oleh suasana romantis, penuh kebahagiaan, dan mengharukan tersebut.
Namun suasana tiba-tiba jadi hening dan senyap. Samar-samar terdengar isak
tangis istri pejabat senior. Sesaat kemudian, isak tangis itu meledak dan memecah
kesunyian gedung pesta. Para tamu yang semula ikut tertawa bahagia mendadak jadi
diam menunggu apa gerangan yang akan terjadi. Sang pejabat tampak kikuk dan
kebingungan. Lalu ia mendekati istrinya dan bertanya, “Mengapa engkau menangis,
istriku?”
Setelah tangisan reda, sang istri menjelaskan. “Suamiku.. sudah 50 tahun usia
pernikahan kita. Selama itu aku telah dengan setia melayanimu dalam suka dan duka
tanpa pernah mengeluh.. Demi kasihku kepadamu, aku telah rela selalu makan
kepada dan ekor ikan mas selama 50 tahun ini. Tetapi sungguh tak kusangka, di hari
istimewa ini engkau masih saja memberiku bagian yang sama. Ketahuilah suamiku,
itulah bagian yang paling tidak aku sukai,” tutur sang istri.
Pejabat senior terdiam dan terpana sesaat. Lalu dengan mata berkaca-kaca pula,
ia berkata kepada istrinya, “istriku tercinta.. 50 tahun yang lalu saat aku masih
miskin, kau bersedia menjadi istriku. Aku sungguh bahagia dan sangat
mencintaimu. Sejak itu aku bersumpah pada diriku sendiri, bahwa seumur hidup aku
akan bekerja keras, membahagiakanmu, membalas cinta kasih dan pengorbananmu.”
Sambil mengusap air matanya, pejabat senior itu melanjutkan, “Demi Tuhan,
setiap kali makan ikan mas, bagian yang paling kusukai adalah kepala dan ekornya.
Tapi sejak kita menikah, aku rela menyantap bagian tubuh ikan mas itu. Semua
kulakukan dengan sumpahku untuk memberikan yang paling berharga buatmu.”
Sang pejabat terdiam sejenak. Lalu ia melanjutkan lagi, “Walaupun telah hidup
bersama selama 50 tahun dan selalu saling mencintai, ternyata kita tidak cukup
saling memahami. Maafkan aku, hingga detik ini belum tahu bagaimana cara
membuatmu bahagia.” Akhirnya, sang pejabat senior memeluk istrinya dengan erat.
Tamu-tamu terhormat pun tersentuh hatinya melihat keharuan tadi dan mereka
kemudian bersulang untuk menghormati kedua pasangan itu.
Pembaca yang budiman.
Bisa saja, sepasang suami istri saling mencintai dan hidup serumah selama
bertahun-tahun lamanya. Tetapi jika di antara keduanya tidak ada saling keterbukaan
dalam berkomunikasi, maka kemesraan mereka sesungguhnya rawan dengan
konflik. Mungkin karena khawatir bisa menyinggung atau menyakiti perasaan
pasangan, maka perbedaan-perbedaan kecil atau ketidakpuasan itu biasanya
dipendam atau tidak diungkapkan.
Sesungguhnya, kebiasaan memendam masalah itu cukup riskan karena seperti
menyimpan bom waktu dalam keluarga.Kalau perbedaan tetap disimpan sebagai
ganjalan di hati, tidak pernah dibicarakan secara tulus dan terbuka, dan
ketidakpuasan terus bermunculan, maka konflik akan semakin tak tertahankan dan
15
akhirnya bisa meledak. Jika keadaan sudah seperti ini, tentulah luka yang
ditimbulkan akan semakin dalam dan terasa lebih menyakitkan.
Kisah di atas mengingatkan kita supaya kita selalu membangun pola komunikasi
keluarga yang terbuka dengan dilandasi kasih, kejujuran, kesetiaan, kepercayaan,
pengertian, dan kebiasaan berfikir positif. Setiap anggota keluarga, baik sang ayah,
ibu, dan anak-anak harus memahami pentingnya keterbukaan dalam komunikasi
keluarga. Setiap anggota keluarga harus menyadari peran, fungsi, dan tugas masing-
masing, dan kemudian bersama-sama berusaha mencapai tujuan-tujuan keluarga.
Keterbukaan dalam keluarga adalah suatu kebutuhan yang mendasar sekali. Jika
kita berhasil membangun kebiasaan komunikasi yang terbuka, maka banyak
persoalan seperti perbedaan, ketidakpuasan, dendam, dan pertengkaran yang akan
dapat dicairkan atau diselesaikan lebih dini. Dengan cara itu, banyak bibit-bibit
persoalan dapat diatasi dan dicegah supaya tidak melebar atau bertambah parah. Jika
setiap masalah bisa diselesaikan dengan bijak, maka hasilnya adalah rasa nyaman,
tentram, dan kebahagiaan dalam keluarga. -0-

8
Pagar dan Paku
‘li ba yu ding zi’
================

Dikisahkan di sebuah kota kecil, tinggallah seorang saudagar yang masih muda
usia. Ia berwajah tampan, berkulit putih, berperawakan tinggi besar, dan hidup
bergelimang harta kekayaan. Sayangnya, sikapnya sangat sombong, tinggi hati, mau
menang sendiri, suka menyinggung perasaan orang lain, bahkan sering menindas
orang-orang kecil di sekitarnya. Karena tabiat buruk tersebut, lama kelamaan ia
mulai dijauhi dan dikucilkan oleh orang-orang di sekitarnya. Merasa dirinya
semakin tersingkir, pikiran saudagar muda ini menjadi kalut. Hatinya tidak senang,
dan menyimpan amarah mendalam.
Suatu hari si saudagar muda memutuskan mendatangi seorang guru bijak demi
meminta saran dan nasehatnya. Ia mengemukakan keinginannya supaya orang-orang
di sekitarnya tidak lagi menjauhi atau mengucilkan dirinya. Sang guru yang bijak
mendengarkan semua penuturannya. Setelah memahami duduk persoalannya, sang
guru berkata dengan bijak, “Anak muda, setiap saat kamu berbuat jahat, menyakiti
hati orang lain, tandailah perbuatanmu itu dengan menancapkan satu paku besar di
atas pagar depan rumahmu. Demikian seterusnya. Begitu pagar rumahmu telah
penuh, dengan tancapan paku, datanglah kembali kepadaku.
Maka, pulanglah si saudagar muda ke rumahnya dan menjalankan nasehat sang
guru yang bijak. Sejak saat itu, setiap kali ia berbuat jahat atau menyakiti hati orang
lain, ia tancapkan sebuah paku besar di atas pagar rumahnya. Selang beberapa bulan
kemudian, pagar rumahnya telah penuh oleh tancapan paku-paku besar. Walau
16
demikian perubahan situasi yang diharapkannya tidak terjadi. Orang-orang di
sekitarnya tetap saja menjauh dan tidak mau berhubungan dengannya. Ia merasa
lelah, hatinya tidak bahagia, dan tetap tidak paham dengan nasehat sang guru yang
bijak.
Si saudagar muda pun kembali mendatangi sang guru. Kedatangannya sudah
diduga, dan berkatalah sang guru, “Hai anak muda, pagar rumahmu pasti sudah
dipenuhi paku. Sekarang, cobalah buat sebaliknya. Begini, setiap kali kau urung
berbuat jahat, atau setiap kali kau telah berbuat baik kepada orang lain, cabut satu
paku dari pagar rumahmu. Bila seluruh paku di pagar rumahmu telah habis kau
cabuti, datanglah kembali ke sini.”
Untuk kedua kalinya, saudagar muda mematuhi nasehat sang guru. Setiap hari,
ia berusaha keras mengendalikan sikap buruknya dan mengubahnya menjadi
perbuatan penuh kebaikan. Setiap kali mampu menahan diri atau sebaliknya berhasil
melakukan satu perbuatan baik, satu paku besar dicabut dari pagar. Beberapa bulan
kemudian paku-paku besar di pagar pun habis dicabutnya sendiri. Tanpa disadarinya
ia telah berubah menjadi orang yang lebih sabar, mau mengerti orang lain, dan lebih
bijak.
Untuk ketiga kalinya saudagar muda datang kepada sang guru dan menceritakan
segala pebuatannya. “Engkau sudah menjadi orang yang berbeda. Kau lebih sabar,
lebih bijak, mau dan mampu berbuat baik. Nah, pelajaran apa yang bisa kau petik?
Sang guru melanjutkan, “Perhatikan baik-baik kata-kataku ini. Lihat kembali pagar
rumahmu. Bukankah setelah paku-paku tadi kau cabut, ada lubang-lubang bekas
tancapan? Mau ditutupi atau dipoles seperti apapun, tetap saja pagar itu tidak bisa
mulus seperti sediakala. Renungkanlah hikmat ini.. dan jagalah perbuatanmu.”
Pembaca yang budiman.
Memang realitasnya tidak semua orang mau atau sanggup memberikan maaf
setulus-tulusnya. Bekas dari kesalahan itu biasanya sulit diobati. Apalagi kalau
kesalahan itu sungguh-sungguh melukai seseorang, menjatuhkan harga dirinya, atau
menimbulkan penderitaan batin yang panjang. Pada situasi seperti ini seseorang akan
sulit sekali mendapatkan maaf dari orang yang pernah disakiti. Perbuatan buruk
memang sering menimbulkan dendam yang sulit dihilangkan hanya dengan
permintaan maaf. Hal ini sangat manusiawi.
Sementara itu, setiapkali kita berbuat buruk atau melakukan kesalahan terhadap
orang lain, kita pun harus dengan berani mengakui kesalahan, lalu dengan tulus dan
lapang dada meminta maaf. Lebih baik lagi jika kita berani berjanji untuk tidak
mengulangi lagi perbuatan atau kesalahan tersebut. Meminta maaf semacam ini
adalah suatu perbuatan yang sangat terpuji. Dan orang yang berani meminta maaf
secara jujur adalah orang yang bijaksana.
Tapi harus diingat, memint maaf saja tidak berarti menghilangkan dosa yang
telah kita perbuat terhadap orang yang kita sakiti. Itu sebabnya kita mengenal
adanya akibat atau hukuman atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.

17
Karenanya, alangkah baiknya jika kita mau membangun kebiasaan untuk selalu
menjaga cara bicara, bersikap dan bertindak dengan hati-hati dan bijaksana.
Kebiasaan ini bisa dibangun di atas pengertian dan sesungguhnya semua orang
tanpa kecuali, berhak mendapat perlakuan sebagai manusia seutuhnya. Terlepas dari
apa pun status sosialnya, suku atau rasnya, agama, latar belakang pendidikan, miskin
atau kaya, semua orang harus diperlakukan dengan sebaik dan semanusiawi
mungkin.
Seperti pepatah bijak yang mengatakan. Punya satu musuh kebanyakan, punya
seribu teman kekurangan. Mari, kita jaga ucapan, jaga hati dan pikiran, jaga sikap
dan perilaku kita, dan jangan pernah jadikan itu semua sebagai paku-paku yang
melukai hati sesama kita. Sebaliknya, mari jadikan hati, pikiran, sikap, perilaku, dan
ucapan-ucapan kita sebagai berkat bagi sesama. Jika kita mampu melakukan hal ini,
kita akan menjadi lilin-lilin penjaga perdamaian dan membuat dunia ini menjadi
tempat yang, lebih indah untuk didiami bersama-sama. -0-

9
Ketergantungan yang salah
‘cuo wu de yi lai’
===========================

Dikisahkan, di tepi sebuah hutan, tampak dua lelaki muda sedang berlari
pontang panting sambil berteriak-teriak minta tolong. Rupanya mereka sedang
dikejar-kejar seekor serigala besar yang liar dan kelaparan. Kebetulan teriakan
mereka didengar oleh seorang pemburu yang berada tidak jauh dari tempat itu. Si
pemburu bergegas datang dengan senapan berburu siap di tangan. Setelah
mendapatkan posisi yang tepat, si pemburu langsung menembakkan senapannya.
Dor.. dor.. ! Dua tembakan beruntun tepat mengenai sasaran dan langsung
merobohkan serigala itu.
Kedua laki-laki muda itu pun bersyukur sekali setelah selamat dari maut. Masih
dengan tubuh gemetaran dan berlinang air mata, keduanya mendekati si pemburu
dan memperkenalkan diri. “Terima kasih bapak telah menolong kami. Jika tidak ada
bapak mungkin kami berdua sudah dimangsa oleh serigala buas tadi..” Setelah saling
berkenalan, ketiganya sepakat untuk menjadikan serigala yang tewas tadi sebagai
santap malam bersama. Segeralah mereka bertiga membuat api untuk
menghangatkan diri sekaligus memanggang daging serigala.
Sambil menyantap daging serigala bakar itulah kedua laki-laki muda tadi
menceritakan asal usul dan pekerjaan mereka. Ternyata laki-laki muda yang satu
adalah seorang pedagang beras dan minyak. Sedangkan laki-laki muda yang satunya
lagi bekerja sebagai penjual senapan. Hari itu, mereka baru saja selesai jual-beli
18
barang dagangan di sebuah desa di seberang hutan. Setelah puas berbincang dan
saling bertukar cerita, mereka sepakat untuk bertemu kembali tiga bulan kemudian di
tempat itu.
“Sebagai tanda terima kasih, saya akan membawakan segerobak beras dan
minyak goreng untuk mencukupi kebutuhan keluarga Bapak selama tiga bulan,”
janji si pedagang beras. Si penjual senapan tidak mau kalah. “Karena Bapak sudah
menyelamatkan nyawa saya, saya akan bawakan hadiah berupa senapan terbaru
beserta seribu butir peluru.”
Esok harinya mereka bertiga berpisah dengan perasaaan puas di hati masing-
masing. Kedua laki-laki muda itu meneruskan perjalanannya, sementara si pemburu
pulang ke rumah sambil membawa sisa daging serigala. Setibanya di rumah, dengan
semangat ia menceritakan kisah kepahlawanannya kepada istri dan anaknya.
“Istriku, mulai saat ini, kamu tidak perlu lagi bekerja susah payah. Karena tak lama
lagi, pemuda yang kuselamatkan nyawanya itu akan datang menemuiku dengan
membawa segerobak beras dan minyak. Senapan tuaku ini pun sudah saatnya
dimusnahkan, karena aku akan mendapat ganti senapan baru beserta seribu peluru
dari pemuda yang satunya lagi. Nasib baik sedang berpihak kepada kita. Kini tiba
waktunya untuk bersantai dan istirahat panjang dari kerja keras.
Singkat cerita, tiga bulan berlalu sudah, tetapi kedua pemuda itu tidak juga
datang di tempat yang sudah disepakati. Hingga bulan keempat berlalu, barulah si
pedagang beras tergopoh-gopoh datang membawa segerobak beras dan minyak.
“Maaf, saya datang terlambat sebulan. Desa saya tertimpa musibah banjir sehingga
panen gagal. Ini beras dan minyak yang saya janjikan dulu,” kata si pedagang beras.
Si pemburu langsung tertunduk lesu setelah memandangi si pedagang beras dan
gerobaknya yang berisi bahan-bahan makanan. Belum sempat mengucapkan sepatah
katapun, tiba-tiba muncul si penjual senapan beserta barang bawaannya.
“Maafkan saya datang terlambat. Di kotaku sedang terjadi kerusuhan. Semua
jenis senjata dilarang diperjualbelikan dan peluru susah didapat. Jadi baru sekarang
saya bisa membawa kemari senapan dan peluru yang saya janjikan dulu,” kata si
penjual senapan memohon maaf.
Si pemburu masih tertunduk lesu dan sesekali mengusap air matanya. Tubuhnya
kurus kerontang dan nafasnya tersengal-sengal. “Terima kasih, kalian akhirnya
datang juga,” katanya pelan sekali. “Tetapi semua pemberian ini percuma saja.
Pemberian kalian tidak akan bisa menghidupkan lagi anak dan istriku. Ketahuilah..
berbulan-bulan kami menunggu hantaran barang kalian sambil menahan lapar.
Akhirnya anak-istriku tak tahan dan mati keparan..” Usai mengatakan cerita yang
menyayat hati itu, si pemburu menghembuskan nafas yang terakhir. Kedua pemuda
itupun menangis pilu menyesali keterlambatan mereka sehingga menyebabkan
terjadinya peristiwa tragis tersebut.
Pembaca yang budiman.
Menggantungkan diri pada pemberian, bantuan atau belas kasihan orang lain,
dan pada saat yang sama hidup bermalas-malasan, jelas merupakan sikap hidup yang
19
salah dan akan fatal akibatnya. Karena, tak peduli apa pun dan bagaimana pun
keadaan kita, ‘dui zi ji fu ze’ kita sendirilah yang harus bertanggung jawab kepada
hidup kita sendiri. Walau tahu akan fatal akibatnya, namun banyak orang
menempuh sikap hidup seperti itu.
Banyak contoh, misalnya seorang anak tergantung pada bantuan orangtuanya.
Ada juga anak yang hanya mengandalkan warisan orangtuanya. Dalam keluarga, ada
pula sanak saudara yang terus menerus mengharapkan belas kasihan anggota
keluarga lainnya. Ketergantungan itu bisa saja selalu diikuti dengan sikap malas dan
tidak mau berupaya lebih keras untuk mengubah kehidupan sendiri.
Orang yang bergantung seperti itu berarti menyerahkan nasibnya pada kendali
orang lain atau sesuatu yang berada di luar dirinya. Orang seperti itu pilihan
hidupnya sangat terbatas. Jika ada kajian-kajian yang tidak biasa atau masalah-
masalah yang lebih berat, ia tidak akan mampu mengatasinya. Lebih sering terjadi,
dia akan menjadi korban dari situasi ketergantungan yang dipeliharanya.
Oleh sebab itu, akan jauh lebih baik jika kita menempuh cara dan sikap hidup
yang mandiri. Kemandirian harus disertai dengan kerja keras, keberanian,
keyakinan, dan kepercayaan diri yang tinggi. Bersikap mandiri tidak berarti menolak
kerjasama dengan orang lain. Justru kemandirian merupakan modal awal dalam
bekerjasama secara saling menguntungkan dengan pihak lain.
Selama niat dan upaya kita berlandaskan kebenaran dan kejujuran, niscaya usaha
kita diridhoi oleh Yang Maha Kuasa. -0-

10
Kekayaan Sejati
‘zhen zheng de cai fu’
================

Pada suatu pagi yang cerah, seorang saudagar tua sedang berjalan-jalan di
sekitar rumahnya yang megah bak istana. Ketika sampai di dekat pintu gerbang, ia
mendapati seorang anak muda berbadan tegap dan berwajah tampan sedang duduk
murung di situ. Sebentar-sebentar tampak pemuda yang berbaju lusuh itu menghela
nafas dalam-dalam. Melihat saudagar tua hendak mendekat, pemuda itu segera
menundukkan kepalanya menahan malu. Saudagar tua penasaran, apa gerangan yang
membuat si pemuda tampak lesu dan rendah diri.
“Pagi ini cuaca begitu cerah, udara begitu segar dan burung bernyanyi di mana-
mana. Lihat betapa indahnya dunia ini. Tapi mengapa engkau tampak murung?
Apakah kamu sedang ditimpa kemalangan?”
Sambil menggelengkan kepala, pemuda itu menjawab, “Tuan, bagiku pagi hari
ini sama saja dengan hari-hari kemarin. Membosankan dan menyedihkan.
Bagaimana tidak? Saya ini orang miskin dan nasibku selalu jelek. Rumah tidak
20
punya, pekerjaan tidak punya, untuk makan pun saya kesulitan. Bagaimana saya
tidak boleh murung?
Mendengar ratapan pemuda itu, si saudagar tua tersenyum bijak. “Hem..,
seharusnya kau tidak perlu bermuram durja seperti itu. Justru kau harus gembira
karena sesungguhnya engkau sangat kaya..”
Pemuda itu terhenyak. “Apa Tuan bilang? Saya ini sangat kaya? Tolong Tuan
jangan permainkan saya!” ujar si pemuda kesal.
“Ha ha ha.. jangan marah-marah dulu. Akan kubuktikan, sesungguhnya kau kaya
raya,” ungkap saudagar tua. “Jawab pertanyaanku.. Jika aku bayar 10 tael emas,
maukah kau menukar kesehatan badanmu, dan besok kamu menderita sakit?”
“Saya tidak mau..!” jawab si pemuda tegas.
“Baik. Aku naikkan penawaranku. Jika aku bayar lagi 20 tael emas, maukah kau
menukarkan keremajaanmu dan besok kau berubah menjadi kakek-kakek
sepertiku?”
“Gila.. masih muda disuruh jadi kakek-kakek? Tak usah ya..!”
“Jika aku tambahkan lagi 30 tael emas, maukah kau menukarkan ketampanan
wajahmu dan besok kau berubah muka menjadi orang jelek dan menyeramkan?”
“Saya tidak mau..!”
“Hebat.. Aku tambah lagi! Sekarang aku bayar 40 tael emas! Nah, maukah kau
menukar kebijaksanaanmu dan besok kamu berubah menjadi orang bodoh dan
idiot?”
“Tidak mau..! Buat apa hidup kalau tidak punya otak? Tidak!”
Saudagar tua tampak semakin tertantang untuk memberikan kebijaksanaannya.
“Baiklah, ini penawaran terakhir. Dari semua jumlah yang kutawarkan tadi, aku
tambahkan 50 tael emas! Dan... maukah kau menukar nuranimu sehingga besok kau
boleh mulai menipu dan membunuh orang sesuka hatimu?”
“Gila..! Tuan, saya bukan orang seperti itu. Saya masih punya harga diri dan hati
nurani. Saya tidak mungkin menerima tawaran Tuan. Tidak.. sekali lagi tidak!”
pekik pemuda itu.
“Nah, anak muda.. aku sudah menawarkan kepadamu total 150 tael emas! Itu
jumlah yang sangat-sangat besar. Tetapi, tetap saja tidak satu pun dari dirimu yang
bisa aku beli. Berarti, apa yang kau miliki dan tidak mau kau jual tadi pasti
merupakan sesuatu yang tidak ternilai harganya. Sesungguhnya kekayaan yang
melekat pada dirimu memang nilainya jauh melebihi 150 tael emas. Itulah modal
dan kekayaanmu yang sesungguhnya. Aku sudah buktikan bukan, bahwa kau
memang kaya. Maka mulai saat ini juga, berhenti meratapi nasib dan mulailah
berusaha!” kata saudagar tua.
Mendengar nasehat tersebut, anak muda tadi seketika tersadar. Ia pun segera
bangkit dan berucap, “Tuan, terima kasih atas penawaran kebijakanmu. Berapa pun
yang Tuan tawarkan, saya memang tidak akan mau menukar apa pun yang saya
miliki. Saya sungguh malu dan menyesal telah menyia-nyiakan masa muda saya
dengan selalu murung, menyesali nasib, dan malas berusaha. Sekarang saya sadar,
21
ternyata saya bukanlah orang miskin. Saya punya modal yang cukup. Saya berjanji
untuk mempertahankan modal ini, tidak mengeluh lagi, tidak menyesali nasib, dan
akan rajin berusaha untuk menambah kekayaan saya. Sekali lagi terima kasih,
Tuan!” Dan anak muda itu segera bergegas pergi untuk memulai lembaran-lembaran
hidup baru.
Pembaca yang budiman.
Kisah di atas mengandung makna yang sangat dalam dan pantas untuk
ditularkan kepada semua orang. Benar bahwa dibandingkan dengan harta kekayaan,
berapa pun itu besarnya, maka potensi diri dan kehidupan kita saat ini tentulah
memiliki nilai yang jauh lebih berharga. Sebab, selama kita masih mempunyai
kehidupan, punya akal budi, kebijaksanaan, tubuh yang sehat, dan hati nurani yang
bersih, maka apa pun yang kita inginkan suatu hari nanti pasti dapat kita raih. Asal
kita mau bekerja keras dan berjuang dengan sepenuh hati untuk mencapainya.
Seperti kata pemikir besar William James; “manusia dapat mengubah seluruh
kehidupannya dengan cara mengubah pola pikir dan sikap mentalnya.” Jika kita mau
dan mampu mengubah pola pikir, maka peluang mengubah kehidupan akan terbuka
lebar. Karena pada hakekatnya, setiap manusia berhak menikmati hidup kaya, sehat,
tentram, bermartabat dan bahagia.
Dalam pandangan saya, ‘ming yun zhang wo zai zi ji shou li’, kemiskinan
material sesungguhnya berasal dari kemiskinan mental. Jika kehidupan kita setiap
hari hanya diisi dengan menggerutu, murung, menyesali nasib, apatis, pesimis,
malas, dan sikap negatif lainnya, jelas kita telah mengidap penyakit miskin mental.
Siapa pun yang terjangkit penyakit miskin mental ini, sudah pasti dia akan sulit
mengubah nasibnya. Apalagi mengubah hidup miskin menjadi hidup penuh
kemakmuran.
Modal yang ada di dalam diri kita itulah kekayaan yang sejati. Jika kita
mengaikan modal itu dan hidup kita terpuruk, maka salah besar kalau kita salahkan
nasib. Apalagi menganggap Tuhan tidak adil. Jadi jangan sia-siakan waktu hanya
untuk berkeluh kesah dan meratapi nasib jelek. Ming yun zhang wo zai zi ji shou li.
Perubahan nasib ada di tangan kita sendiri. Yang pasti, Tuhan akan memberikan
jalan kepada mereka yang berjuang keras untuk memperbaiki kehidupannya. -0-

22
11
Nilai Diri
‘zi wo jia zhi guan’
==============

Alkisah, di sebuah keluarga yang sederhana, tinggallah seorang janda dengan


dua orang anak. Si ibu ini harus bekerja keras menghidupi dan membiayai sekolah
kedua anaknya. Ia berharap supaya kedua anaknya menjadi orang sukses di masa
mendatang. Sayangnya, si bungsu tumbuh dengan kemampuan otak di bawah rata-
rata. Ia tidak cerdas seperti kakaknya, sehingga tumbuh menjadi anak pemalu,
rendah diri, penakut, dan sering diejek teman-teman sekolahnya.
Sementara, akibat beban hidup yang berat, si ibu sering melampiaskan
kemarahannya kepada si bungsu. Akibat ejekan teman-teman dan juga kata-kata
kasar ibunya, si bungsu pun semakin kecil hatinya. “benar apa yang mereka katakan
selama ini. Aku ini memang bodoh, goblog, tolol, bego..! bisanya hanya
menyusahkan dan memalukan ibuku sendiri!” keluhnya.
Si bungsu terus kecewa dengan dirinya sendiri. Setiap bangun pagi, ia menatap
bayangan wajahnya di cermin, lalu menyapa lirih..”Selamat pagi bego..! Si bego
sedang mencuci muka.. si tolol sedang menyikat gigi.. Si bodoh lagi mandi.. si
goblok berangkat ke sekolah..” begitulah si bungsu selalu mengawali hari-harinya.
Tanpa henti-henti ia menjadikan ejekan teman-temannya dan ucapan kasar ibunya
sebagai menu sarapan pagi.
Tahun berlalu, si bungsu pun tumbuh menjadi seorang pemuda. Sekali pun
begitu, sebutan-sebutan yang menghina dulu masih disandangnya. Suatu hari negara
mewajibkan semua pemuda yang sudah cukup umur menjalani wajib militer. Si
bungsu pun dikenai kewajiban itu dan harus mengikuti berbagai macam ujian.
Ketika hasil ujian hendak diumumkan, dia sudah pesimis duluan. “Ah.. aku si tolol,
aku pasti gagal ujian lagi!” ucapnya dalam hati.
Lalu tibalah giliran si bungsu menghadap Dewan Penguji untuk mengetahui
hasil; ujiannya. Sambil menundukkan kepala, ia memasuki ruangan Dewan Penguji.
Tidak disangka-sangka, hasil ujiannya mendapat nilai tertinggi. “Anda luar biasa!
Anda sungguh pemuda yang hebat dan sangat berbakat,” kata salah satu anggota
Dewan Panguji. Mendapat pujian seperti itu, si bungsu seolah tidak mempercayai
telinganya sendiri. Ia termangu-mangu dan tak bisa berkata sepatah pun. Matanya
berkaca-kaca karena kata-kata pujian itu sungguh-sungguh mempengaruhi jiwa dan
mentalnya.
Pujian itu terus menggema di hatinya dan menumbuhkan motivasi yang luar
biasa. Ia seolah menemukan sisi baru dalam dirinya, yang selama ini terpendam dan
tidak pernah dia sadari. Sejak saat itu, tertanam dalam diri si bungsu bahwa dirinya
adalah manusia istimewa. “Aku orang hebat.. Aku orang berbakat.. ‘wo shi yu zhong
bu tong de ren’ Aku orang luar biasa.. Orang hebat sedang mencuci muka. Si hebat
23
sedang menyikat gigi. Pemuda berbakat ini lagi mandi..” Itulah sugesti baru yang
diucapkannya setiap kali memulai hari-harinya.
Dan kepercayaan diri yang meningkat luar biasa itu akhirnya menghantarkan si
bungsu ke puncak tangga kesuksesan. Dua puluh tahun kemudian, setelah selesai
wajib militer ia berhasil menjadi pengusaha sukses, disegani, dan menerima banyak
penghargaan.
Pembaca yang budiman.
Tepat sekali ungkapan yang mengatakan ‘ni shi suo xiang xiang de ni’ yang
artinya Anda adalah apa yang Anda pikirkan. Pola pikir dan keyakinan adalah
kekuatan di belakang sistem sukses yang ada di dalam diri kita. Apa pun yang kita
bayangkan dan kita yakini terus menerus dalam benak ini, pada akhirnya akan
terwujud dalam kenyataan. Maka dari itu, kalau kita selalu berkata, “mana mungkin
aku bisa sukses..?”, “Aku sulit berhasil..!”, “Sia-sia aku mencoba, paling gagal
lagi..!”, maka kecendrungan sikap mental seperti ini akan terwujud di alam nyata,
yaitu berupa kegagalan.
Sebaliknya, kalau kita berkata pada diri sendiri ‘wo bi ding cheng gong’ “Aku
pasti bisa sukses!”, “Aku pasti dapat..!”, “Aku pasti mampu..!”, maka besar
kemungkinan kita pun akan termotivasi, berusaha lebih keras dengan berbagai cara,
sehingga akhirnya kesuksesan itu bisa diraih persis seperti yang kita yakini dan kita
pikirkan. Bahkan tak jarang, hasilnya jauh lebih hebat dan mencengangkan,
dibanding yang kita perkirakan sebelumnya. Inilah keajaiban hukum-hukum pikiran.
Keyakinan menjadikan apa saja yang kita pikirkan menjadi terwujud di alam nyata.
Potensi terbaik kita kadang terpendam semata karena kita tidak menyadari
keberadaannya. Terhalangnya potensi diri sering kali ditimbulkan oleh sebab dari
dalam. Misalnya dari bagaimana cara kita berfikir, menggali, memahami, dan
menghargai diri sendiri. Jika tidak mampu mengenali kelebihan diri dengan baik,
bisa jadi kita malah meyakini sesuatu yang salah, seperti contoh cerita di atas.
Akibatnya, kita jadi rendah diri sehingga potensi kita terhalang dan tidak
memberikan manfaat maksimal. Kita menjadi “miskin” hanya karena kita tidak tahu
bagaimana memanfaatkan “kekayaan” kita.
Untuk keluar dari belenggu itu, salah satu cara yang terbaik adalah dengan
berinteraksi dengan orang-orang sukses. Jika kita bergaul, belajar, bekerjasama, dan
selalu berkomunikasi dengan orang-orang sukses, maka energi dan spirit mereka
bisa menular kepada kita. -0-

24
12
Bakti Sang Cucu
‘xiao shun de sun zi’
================

Dikisahkan, seorang nenek tua renta tinggal di sebuah rumah bersama seorang
anak perempuan, menantu, dan seorang cucu laki-laki. Mereka tinggal di tempat
terpencil di pinggir hutan, hidup dalam penderitaan dan kemiskinan. Sejak suaminya
meninggal, seorang diri si nenek harus bekerja keras menghidupi anak
perempuannya yang masih kecil. Hari demi hari, kehidupan nenek dan anak semata
wayangnya tidak berangsur-angsur membaik. Bahkan ketika anak perempuannya
diperistri seorang tukang kayu. Mereka tetap hidup dalam kemiskinan.
Karena pekerjaan sangat berat harus dijalani sejak muda, rontoklah daya tahan
tubuh si nenek. Di usia tua, kondisi fisiknya menjadi sangat lemah, otaknya nyaris
pikun, dan ia sering sakit-sakitan. Melihat keadaan si nenek yang hidup segan mati
tak mau, si anak dan menantu jadi gundah gulana hatinya. Mereka merasa terbebani
dan sangat kerepotan karena harus merawatnya seperti anak kecil. Dan entah sampai
kapan pekerjaan membosankan itu harus mereka lakukan. Lalu timbul niat jahat di
benak keduanya, yaitu menyingkirkan si nenek supaya mereka segera lepas dari
beban.
Suatu pagi, anak dan menantu dengan ramah mengajak si nenek berjalan-jalan
ke tengah hutan. Alasannya, udara segar di hutan perlu untuk kesehatan si nenek.
Melihat keramahan anak dan menantunya, si nenek yang setengah pikun menurut
saja.lalu si anak perempuan menggandeng ibunya menuju hutan, sementara si
menantu berjalan di belakang sambil memanggul sebuah kurungan bambu. Rupanya,
kejadian yang tidak biasa itu mengundang kecurigaan si cucu. Dengan perasaan
penuh tanda tanya, diam-diam si cucu mengikuti ketiganya dari kejauhan.
Sesampaiknya di tengah hutan, si nenek langsung dimasukkan ke dalam
kurungan bambu. Setelah yakin semua sudah disiapkan sesuai rencana, anak dan
menantu meninggalkan si nenek begitu saja di hutan. Dari tempat
persembunyiannya, si cucu terus mengawasi kejadian itu. Begitu ayah dan ibunya
pergi, dengan air mata berlinang si cucu segera membebaskan neneknya. Ia
membawa si nenek ke tempat yang lebih aman dan kemudian bergegas pulang
sambil menyeret kurungan bambu.
Sore harinya, sesampai di rumah ia perlihatkan kepada kedua orangtuanya
kurungan bambu yang sudah kosong dan tergores di sana-sini. Si anak berkata
kepada orang tuanya, “Ayah, Ibu.. saya temukan kurungan bambu ini di tengah
hutan..”demi mengetahui kurungan itu sudah kosong, mereka saling memandang dan
menarik nafas lega. Dalam bayangan mereka, si nenek sudah tewas di mangsa oleh
binatang buas.

25
Kemudian, sambil berpura-pura tidak tahu kejadian sebenarnya si ayah bertanya,
“Lalu, untuk apa kurungan seperti itu kamu bawa pulang?”
Si anak menatap tajam ayahnya, “Ayah.. saya akan simpan kurungan ini. Suatu
hari nanti apabila ayah dan ibu telah tua renta dan sakit-sakitan seperti nenek, saya
akan masukkan ayah dan ibu kedalam kurungan ini, dan saya tinggal di hutan supaya
dimangsa binatang buas. Sama seperti yang ayah dan ibu lakukan terhadap nenek
tadi..”
Mendengar ucapan anaknya tadi, suami istri itu terkejut bukan main. Mereka
merasa malu karena justru anaknyalah yang mengajarkan kepada mereka tentang
bagaimana menghargai kasih orang tua dan tanggung jawab sebagai anak. Mereka
mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya, serta memohon supaya anaknya
tidak melakukan kejahatan serupa. Mereka juga berjanji akan memperlakukan si
nenek dengan sebaik-baiknya. Sejak peristiwa itu, kehidupan keluarga itu berubah
drastis. Si nenek mendapat perlakuan baik, anak dan menantunya juga hormat
kepadanya, sementara si cucu bertumbuh menjadi anak yang pandai dan berbudi
baik.
Pembaca yang budiman.
Sebuah kata mutiara mandarin menyatakan ‘ren sheng shi yi zheng ze ren’ hidup
adalah sebuah tanggung jawab. Dengan kata lain, di dalam hidup kita ini ada
tanggung jawab kepada Tuhan, orangtua, keluarga, diri kita sendiri, terhadap
sesama, negara dan alam sekitar. Jika kita hidup hanya untuk memikirkan
kepentingan dan keuntungan diri sendiri, sementara kita mengabaikan tanggung
jawab, apalagi membuat pihak lain menderita, maka bisa dipastikan hidup kita akan
kesepian dan menderita.
Kita semua memiliki hak dan tanggung jawab yang sama, dan keduanya harus
berlangsung seimbang. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan misalnya, tak
mungkin hanya menuntut hak tetapi melupakan kewajiban. Sebaliknya, tak
mungkin pula hanya memenuhi kewajiban tanpa pernah mendapatkan hak.
Ketidakseimbangan antara keduanya selalu mendatangkan konflik, penderitaan,
kerugian, dan kesengsaraan. Prinsip ini berlaku juga dalam berbagai aspek
kehidupan, baik dalam aspek hubungan keluarga, dalam lapangan pekerjaan,
hubungan sosial, organisasi kemasyarakatan, kenegaraan, dll.
Dalam contoh dongeng di atas digambarkan, betapa seorang anak hanya mau
mendapatkan haknya saja, yaitu hak untuk mendapat penghidupan, perlindungan,
dan perawatan sewaktu belum dewasa. Tetapi setelah dewasa, si anak lupa dengan
kewajibanya membalas budi kepada orangtua yang telah bersusah payah
membesarkannya.
Sesungguhnya, sejelek apa pun rupa maupun sifat orangtua kita, mereka tetap
layak dan harus dihormati. Seburuk apa pun kondisi mereka, kita harus melayani
mereka dengan tulus.
Mungkin zaman telah berubah dan semakin banyak orangtua yang merasa tidak
membutuhkan uluran tangan anak-anaknya. Mereka tidak mau menggantungkan diri
26
mereka kepada anak, tidak mau membebani si anak, atau merasa mampu hidup layak
atas tabungan pensiun dan jerih payah sendiri.
Tetapi, nilai moral bahwa seorang anak wajib memuliakan orangtuanya pada
saat mereka tua, tetap tidak boleh dihilangkan. Ajaran budi pekerti ini pantas untuk
dipegang teguh dan ditularkan kepada anak cucu kita.
Mengapa demikian? Sebab, pada saatnya nanti kita menjadi orantua dan
beranjak memasuki kehidupan usia lanjut, kita akan mendapatkan penghargaan yang
sama dari anak cucu kita. Hal ini akan terwujud jika kita dulu mau memuliakan
orangtua kita, mau mengajarkan budi pekerti yang luhur, dan memberi keteladanan
dengan cara menjalankan apa yang kita ajarkan kepada anak-anak kita. -0-

13
Keranjang Kehidupan
‘ren sheng de bao fu’
=====================

Alkisah, di sebuah kerajaan kecil ada seorang pemuda desa yang jujur dan
idealis yang tengah menanjak kariernya. Setelah beberapa tahun mengabdi sebagai
pengawal kerajaan, akhirnya ia dipromosikan sebagai pejabat pengawas keuangan.
Karena kejujuran dan idelismenya itulah, ia dianggap mampu mengawasi kauangan
kerajaan yang dikorupsi oleh pejabat-pejabat lainnya. Tugas sehari-harinya
mengawasi aliran pajak yang masuk ke kas kerajaan.
Sebagai pengawas keuangan kerajaan, pemuda itu menjadi tokoh terhormat dan
disegani di antara pejabat-pejabat kerajaan lainnya. Hanya saja, pekerjaan itu
memberikannya beban target yang begitu berat. Ia harus mengatasi kebocoran
keuangan dan menindak pejabat yang korup. Akibatnya baru beberapa bulan
memangku posisinya itu si pemuda sudah panen ancaman dan tekanan.
Merasa hidup selalu tertekan dan terancam, hatinya gundah dan mulai goyah.
“Jabatanku terpandang, tetapi konsekuensinya sangat berat. Bagaimana cara
bertahan di sini tetapi tidak menanggung beban seberat sekarang?” tanyanya dalam
hati. Setelah merenung namun tidak menemukan jawaban, ia teringat pada kakek
bijak yang jadi tokoh panutan di desanya. Ia memutuskan menemui sang kakek
untuk meminta nasehat.
Singkat cerita, ia tiba di rumah sang kakek bijak dan menceritakan semua
persoalannya. Setelah mendengar dengan saksama, kakek bijak memberi pemuda itu
sebuah keranjang besar. “Ayo panggul keranjang ini dan ikuti aku,” perintah si
kakek. Sejenak pemuda itu ragu-ragu. “Wah, aku ini pejabat penting kerajaan kok

27
disuruh memanggul keranjang? Apa maksud kakek ini?” gumamnya. Tapi akhirnya
ia ikuti saja perintah tadi.
Lalu, kakek bijak mengajak si pemuda berjalan menyusuri jalan-jalan pedesaan.
“Nah, tugasmu sekarang adalah memungut setiap batu yang kamu temukan di tengah
jalan, lalu masukkan ke dalam keranjang yang kau gendong itu,” perintah si kakek
bijak. Pemuda ini hendak menolak, tetapi tak satu pun kata terucap dari mulutnya.
Akhirnya ia hanya menurut saja. Setelah cukup jauh mereka berjalan, keranjang
hampir penuh batu-batuan. Nafas si pemuda mulai tersengal-sengal dan jalannya
terseok-seok karena kepayahan.
“Apa beban di pundakmu semakin berat?” kakek bijak bertanya.
“Yah.. pastilah, Kek. Pundak saya mau copot rasanya,” jawab si pemuda.
Sesampainya di bawah pohon rindang si kakek bijak meminta pemuda itu
beristirahat dan menaruh keranjangnya. “Dengarlah anak muda. Keranjang dan batu-
batuan itu sesungguhnya hampir sama dengan kehidupanmu saat ini. Saat engkau
baru lahir di dunia, Kau sama seperti keranjang kosong tadi. Lalu dalam perjalanan
hidupmu, kau pungut apa pun yang kau inginkan dan memasukkannya ke dalam
keranjang kehidupanmu. Apa saja yang kau pungut itu? Ya, masa remajamu, masa
dewasamu, pekerjaanmu, tanggung jawabmu, idealismemu dan masalahmu.semua
itu ada harganya. Semakin jauh perjalanan, semakin berat pula keranjang
kehidupanmu,” jelas si kakek panjang lebar.
“Bagaimana supaya keranjangku bisa lebih ringan, Kek?” tanya si pemuda.
Bukannya menjawab, si kakek malah bertanya demikian: “Anak muda, maukah
engkau benar-benar meninggalkan semua yang kau punyai saat ini, yaitu keluarga,
prestasi, jabatan, dan idelismemu?”
Anak muda itu menggelengkan kepala. “Tentu saja tidak, Kek. Semua prestasi
dan kesuksesan itu kudapatkan dengan berjuang keras. Saya juga masih punya hasrat
besar membersihkan kerajaan dari para koruptor,” jawb si pemuda.
“Nah, sepanjang kehidupan kita, yang namanya masalah, kesulitan, hambatan,
dan tantangan pasti selalu ada. Tidak ada kehidupan tanpa itu semua. Setiap kali kita
berhasil melewati suatu masalah, kita pasti bertumbuh menjadi lebih matang. Lalu
muncul ujian baru lagi, begitu seterusnya. Itulah kehidupan,” jelas si kakek bijak.
Pemuda itu manggut-manggut dan mulai mendapat gambaran. Si kakek
melanjutkan, “Semakin besar prestasi kita, pasti semakin besar pula beban di pundak
kita. Nasehatku, bila semua yang engkau peroleh tidak ingin kau lepaskan, terimalah
konseksuensinya. Tapi jangan anggap semua pencapaianmu itu sebagai beban
semata. Anggaplah itu sebagai tanggung jawab yang membahagiakan. Maka, seberat
apapun beban itu, kamu tidak akan begitu merasakannya lagi. Dan perlu kamu ingat,
setiap manusia berkewajiban memikul tanggung jawabnya masing-masing.
Tanggung jawab itu tidak dapat dialihkan ke pundak orang lain. Apakah kamu
mengerti?

28
Pembaca yang budiman.
Begitu pentingnya pengertian tentang tanggung jawab dalam kehidupan kita ini.
Entah berperan sebagai ibu rumah tangga, kepala keluarga, sebagai anak, termasuk
sebagai pejabat pemerintah, pimpinan perusahaan, pengusaha, profesional,
wiraswasta, pedagang, atau karyawan, kita tak bisa lari dari keranjang beban
kehidupan. Semua peran yang kita jalani pasti memiliki fungsi dan tanggung
jawabnya sendiri-sendiri. Jika kita mendapat peran, fungsi, maupun tugas tertentu
dalam keluarga, organisasi, maupun masyarakat, kita harus siap dan berani
mempertanggungjawabkannya dengan segala konsekuensi.
Dari puluhan tahun pengalaman saya sebagai pengusaha dan motivator, saya
berani memastikan bahwa ‘cheng gong zhe shi fu ze ren de ren’ orang sukses adalah
orang yang bertangung jawab. Mereka berhasil karena selalu bertanggung jawab
terhadap pekerjaan, profesi, dan keputusan-keputusan yang diambil. Orang sukses
mampu melihat tanggung jawab sebagai tantangan yang harus dihadapi. Mereka
tidak pernah mengalihkan beban dan tanggung jawab pribadi kepada orang lain.
Karena kemampuan melihat beban dan tanggung jawab sebagai peluang itulah maka
orang sukses mendapat lebih banyak peluang dibanding orang lain.
Jadi, peluang itu sesungguhnya ada di mana-mana dan menghampiri siapa saja.
Namun sebagian peluang terkadang datang dalam wujud beban kehidupan sehingga
banyak orang menghindarinya. Maka dari itu, jangan mudah mengeluh, menyerah,
atau patah semangat jika mendapat tantangan, tanggung jawab, atau target, serta
konsekuensi beban yang terkandung di dalamnya. -0-

14
Tukang Gembok dan Muridnya
‘suo jiang yu tu di’
===============================

Alkisah, seorang ahli kunci yang sangat termasyhur bermaksud mewariskan satu
ilmu tertinggi dalam dunia perkuncian. Ahli kunci ini memiliki dua orang murid
yang sama-sama pandai. Setelah beberapa tahun dididik, merek sudah mahir dan
menguasai semua tehnik membuka segala jenis gembok. Hanya saja ilmu tertinggi
itu harus diwariskan hanya kepada satu orang yang benar-benar memenuhi kriteria.
Maka disiapkanlah dua peti yang tergembok rapat dan di dalamnya diisi satu
bungkusan barang berharga. Kedua peti itu di tempatkan didua kamar yang
bersebelahan. Berikutnya, murid pertama dan murid kedua disuruh masuk ke dalam
kamar-kamar tadi secara bersamaan. “Tugas kalian adalah membuka gembok peti-
peti di dalam kamar itu. Ayo, laksnakan..!” perintah si ahli kunci. Tidak lama
kemudian murid pertama keluar lebih dahulu dari kamar dan tampak berhasil
29
menyelesaikan tugasnya. Sang ahli kunci langsung bertanya, “bagus.. kau berhasil.
Apa isi peti itu?”
Dengan rasa percaya diri dan perasaan penuh kemenangan murid pertama
menjawab, “Di dalam peti itu ada sebuah bungkusan. Dan di dalam bungkusan itu
ada sebuah permata yang berkilauan.. indah sekali..”
Mendengar jawaban yang polos itu, si ahli kunci tersenyum bijak. Ia segera
menoleh ke arah murid yang ke dua yang baru saja keluar dari kamar yang satunya.
Ia langsung menanyakan hal yang sama, “Bagus.. kau juga berhasil. Apa isi peti
itu?”
Mengetahui dirinya kalah cepat dalam membuka peti, murid ke dua hanya
menjawab dengan pelan. “Saya hanya membuka gembok peti itu, lalu keluar. Saya
tidak membuka petinya, apalagi melihat isinya.”
Mendengar jawaban itu, si ahli kunci tersenyuim puas. “baiklah. Berdasarkan
hasil; ujian tadi, maka kau, murid kedua.. kaulah pemenangnya. Engkaulah yang
akan mewarisi ilmu tertinggi dalam dunia perkuncin yang aku miliki,” demikian si
ahli kunci memutuskan.
Keputusan itu kontan membuat murid pertama kaget setengah mati. “Guru..!”
teriak murid pertama. “Bukankah saya yang berhasil membuka gembok lebih cepat.
Mengapa justru dia yang dipilih sebagai pewariis ilmu tertinggi?” tanya murid
pertama.
Mendengar ungkapan kekecewaan muridnya itu, si ahli kunci tersenyum bijak.
“Murid-muridku, dengarlah.. Profesi kita adalah tukang kunci dan tugas kita adalah
membantu orang membuka gembok yang kuncinya hilang atau rusak. Jika gembok
sudah dibuka, tugas kita selesai, kalau kita juga ingin melihat isinya, itu berarti
melanggar kode etik profesi kita sebagai ahli kunci.”
Si ahli kunci meneruskan nasehatnya, “Tidak peduli apapun pekerjaan kita,
moral dan etika profesional harus dijunjung tinggi. Tanpa moral dan etika, maka
seorang ahli kunci bisa dengan mudah beralih profesi menjadi pencuri. Kalian
mengerti?”
Mendengar hal itu, murid pertama mengangguk-anggukkan kepala. Dia
menyadari di mana letak kesalahannya. Dia juga bersyukur telah mendapat satu lagi
pelajaran moral yang sangat berharga sebelum terjun ke tengah-tengah masyarakat.
Walaupun kecewa karena dirinya tidak bisa menjadi pewaris ilmu tertinggi sang
guru, ia merasa mendapatkan satu lagi ilmu yang sangat berharga. Ilmu itu adalah
ilmu mengenai moral dan etika profesional. Sejak saat itu murid pertama berjanji
pada diri sendiri, kelak dalam menjalankan profesinya, ia akan menjadi seorang ahli
kunci profesional yang menjunjung tinggi moralitas dan etika profesinya.
Pembaca yang budiman.
Memang tepat apa yang diilustrasikan dalam cerita tadi. Kita sebagai seorang
profesional di bidang apa pun harus mampu melakukan tugas dan pekerjaan sesuai
dengan lingkup profesionalisme kita. Jika tidak mengerti fungsi dan tanggung jawab
sebagai profesional dengan benar, apalagi tidak memiliki etika dan moral, kita akan
30
mudah terperosok ke dalam kesalahan-kesalahan profesi. Jika tidak tegas dalam
mengontrol atau mengendalikan godaan pikiran negatif, kita bisa terjerumus dalam
pelanggaran-pelanggaran, yang akibatnya bisa sangat fatal pada karir dan masa
depan kita, bahkan bisa mempermalukan keluarga.
Dalam perjalanan hidup saya sebagai motivator dan pengusaha, saya sering
mendapati betapa banyak orang-orang pandai, cerdas, berbakat, bersemangat, dan
berprestasi, tetapi akhirnya jatuh gara-gara mereka tidak memperhatikan masalah
etika dan moral. Ini sungguh menyedihkan. Betapa karir dan keberhasilan yang
dirintis sekian lama, akhirnya rontok oleh ketidakwaspadaan dan kurangnya
pengendalian diri.
Sebaliknya, saya juga sering menemukan batapa orang-orang yang
kemampuannya biasa saja, tetapi karena bisa menjalankan pekerjaan secara
profesional, penuh etika dan moralitasnya tinggi, akhirnya prestasinya melejit dan
mereka meraih kesuksesan. Kalau kita dapat menjalankan etika dan moralitas secara
sinergis dalam profesi kita, maka akan terbangun ‘xin yong’ atau sifat dapat
dipercaya. Saya berani mengatakan, xin yong atau trust adalah mata uang yang
berlaku di mana-mana. Bahkan lebih dari itu, xin yong adalah leverage atau daya
ungkit yang bisa menjadi pemicu karir maupun kesuksesan kita sebagai seorang
profesional. Sebab itulah, bangunlah xin yong dengan cara menjalankan profesi
masing-masing secara etis dan bermoral. -0-

15
Semangat Juang Si Keledai
‘lu zi de dou zhi’
==========================

Alkisah seorang pedagang sedang mengadakan perjalanan jauh dengan


membawa seekor keledai tua yang penuh beban di punggungnya. Setelah berjalan
hampir sehari penuh, ia beristirahat di bawah pohon yang rindang. Karena kasihan
melihat keledainya kelelahan, pedagang melepaskan beban berat dari punggung
keledai. Si Keledai tampak beristirahat tanpa diikat dan dibiarkan memakan daun-
daun di sekitar tempat itu.
Pedagang sangat kelelahan dan tampak sangat menikmati istirahatnya. Setelah
menyantap sedikit bekal, ia mulai terkantuk-kantuk. Tanpa disadarinya, si keledai
asyik berkeliaran agak jauh dari tempatnya beristirahat. Ketika pedagang mulai
mendengkur dan menikmati mimpi indahnya, si keledai tua malah semakin jauh
meninggalkannya. Tiba-tiba, si pedagang terjaga saat mendengar ringkikan suara si
keledai. Tergopoh-gopoh ia berlari menuju tempat asal lengkingan suara tadi.
Sesaat kemudian, betapa kaget ketika ia melihat keledai tuanya terperosok ke
sebuah lubang yang agak dalam dan digenangi air. Si keledai terus menjerit-jerit dan
31
bergerak tak terkendali karena panik. Makin lama jeritan keledai itu makin
memilukan. Si pedagang pun jadi panik dan tidak tahu harus berbuat apa.
Rupanya jeritan keras dan memilukan itu juga didengar penduduk sekitar dan
beberapa orang yang kebetulan melewati tempat tersebut. “Tuan, apa yang terjadi,
sampai keledaimu terperosok ke lubang yang dalam itu?” tanya seseorang di
antaranya.
“Aku tadi tertidur dan tahu-tahu keledai tuaku yang malang sudah ada di lubang
ini. Apa yang harus kulakukan supaya dia bisa keluar hidup-hidup?”
Setelah mempertimbangkan situasinya, orang-orang itu menyarankan sipaya si
pedagang merelakan saja keledai tuanya. “Hari sudah sore, kita tidak punya tali
untuk mengangkatnya. Daripada menderita berkepanjangan di dalam lubang, Tuan
relakan saja. Mari kami bantu menimbun keledai itu dengan tanah,” kata salah
seorang diantaranya. Si pedagang tersentak. Ia melongok ke lubang dan semakin iba
saja melihat keledainya kepayahan. Akhirnya ia mengangguk tanda setuju.
Tak berapa lama, mereka mulai menimbun keledai tua dengan tanah dan pasir.
Saat tanah dan pasir menipa punggung keledai, dia kaget, ketakutan, dan kembali
menjerit-jerit kesakitan. Tatapi tanah dan pasir terus menimpa dari atas. Dalam
kepanikan itulah sikeledai tua menggerak-gerakkan dan mengguncang-guncangkan
badannya supaya tanah dipunggungnya jatuh ke bawah. Sementara itu, kakinya terus
bergerak dan menginjak-injak tanah yang jatuh dari punggungnya.
Begitu seterusnya, air yang tadinya merendam kaki keledai lama-lama tertimbun
oleh tanah. Semakin banyak tanah dan pasir digelontorkan ke bawah, semakin
dangkal pula lubangnya. Keledai tua yang semua sudah kepayaahan itu tiba-tiba jadi
tambah semangat menguncang-guncangkan punggungnya, dan menginjak-injak
tanah di dasar lubang. Si pedagang dan orang yang membantunya jadi terheran-heran
menyaksikan kejadian itu. Mereka juga makin bersemangat menggentontorkan pasir
dan tanah ke dalam lubang.
Tepat menjelang matahari terbenam, lubang itu sudah makin dangkal dan tiba-
tiba..huppp! si keladai tua berhasil meloncat keluar dari lubang. Semua orang
berteriak penuh semangat dan bertepuk tangan menyaksikan pemandangan yang luar
biasa itu. Si keledai selamat karena semangat juangnya yang tinggi, terus berusaha,
dan pantang menyerah.
Pembaca yang budiman.
Kisah yang luar biasa ini mengajarkan kepada kita tentang pentingnya semangat
pantang menyerah dalam menghadapi beban hidup yang datang bertubi-tubi. Keledai
tua yang kelelahan dan terperosok ke dalam lubang itu ibaratnya seorang yang
tengah dirundung kemalangan atau persoalan berat. Sama halnya dengan si keledai,
bila kemalangan sedang jatuh menimpa, jangan hanya diam, pasrah, atau menerima
nasib semata. Sebab jika kita diam, berarti kita siap untuk ditimbun hingga tamatlah
riwayat kita. Oleh kerena itu gunakan sekecil apapun kesempatan yang ada untuk
mengatasi persoalan.

32
Contoh di atas memperlihatkan bagaimana seekor keledai – jenis binatang yang
biasanya dianggap paling malas dan paling bodoh di dunia – ternyata bisa selamat
karena manggunakan naluri dan semangat untuk bertahan hidup. Dua karunia Tuhan
yang luar biasa itu saja sudah bisa mengubah nasib si keledai, dari nasib buruk
terkubur hidup-hidup menjadi nasib baik, yaitu lolos dari lubang kematian. Nah,
bagaimana dengan kita manusia yang dikaruniai akal budi?
Akal budi, inilah karunia Tuhan yang luar biasa yang dimiliki oleh setiap
manusia di muka bumi ini. Karunia inilah yang membuat derajat manusia lebih
tinggi dibanding segala mahluk lainnya. Maka, alangkah sia-sianya jika manusia
tidak mampu memanfaatkan karunia akal budi untuk mengubah kehidupannya; dari
kegegalan jadi keberhasilan, dari kemalangan jadi keberuntungan, dari kemiskinan
menjadi kekayaan, dari kebodohan menjadi kepandaian, dari ketertinggalan menjadi
kemajuan, dari kejahatan menjadi kebajikan, dari hambatan menjadi peluang, dari
kekalahan menjadi kemenangan, dan masih banyak lagi.
Jadi ‘yong bu hou tui’ atau jangan pernah menyerah jika sedang menghadapi
cobaan dan masalah yang berat. Terus bergerak, guncangkan beban yang
menghampiri kita, jangan hanya diam dan pasarah menunggu sang waktu
menentukan hitam atau putihnya kehidupan kita. Gunakan kemampuan akal budi
yang luar biasa ini untuk memecahkan setiap masalah. Dan keluarlah sebagai
seorang pemenang kehidupan. -0-

16
Rahasia Kesempatan
‘ji hui de mi mi’
====================

Suatu pagi, tidak jauh dari sebuah pasar, tampak seorang pemuda sedang tidur
bermalas-malasan. Walau pasar dipenuhi oleh para penjual dan pembeli yang
berlalu-lalang, namun si pemuda tampak tenang-tenang saja dengan kemalasannya.
Kebetulan lewatlah seorang pedagang yang baru saja berhasil menjual dagangannya.
Si pedagang tampak keheranan melihat tingkah pemuda tadi. Ia menghampiri dan
bertanya, “Anak muda, pagi begitu indah. Semua orang sibuk bekerja, tapi mengapa
engkau hanya tidur-tiduran di sini?”
Sambil memicingkan sebelah mata, si pemuda menjawab dengan suara malas,
“Aku sedang menunggu kesempatan.”
Mendengar jawaban seperti itu, si pedagang tampak keheranan. “Apakah engkau
tahu seperti apa bentuk kesempatan yang kamu tunggu?”
Pemuda itu menggelengkan kepala. “Kata orang, aku harus menunggu
kesempatan datang, baru kemudian nasibku bisa berubah baik. Lalu aku bisa kaya,

33
bisa sukses, bisa memiliki apa saja yang aku mau. Karena itulah aku dengan sabar
menunggu kesempatan datang di sini,” jelas si pemuda ogah-ogahan.
“Bentuknya saja kamu tidak tahu, buat apa kamu tunggu? Lebih baik ayo ikut
membantu aku melakukan hal-hal berguna. Kelak nasibmu akan berubah jika kau
mau belajar mengikuti jejakku,” bujuk si pedagang.
“Ah, omong kosong.. Pergi sana! Jangan menggangguku lagi! Teriak si pemuda
kesal.
Karena dihardik, si padagang buru-buru pergi meninggalkan si pemuda itu
sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sesaat kemudian datang seorang kakek tua
menghampiri si pemuda. Kakek tua masih sempat memandangi langkah kepergian si
padagang. Lalu ia menoleh kepada si pemuda. “”Hai.. anak muda. Aku perhatikan,
sudah lama kamu tidur-tiduran menunggu kesempatan di tempat ini. Apa kau sudah
mendapatkan kesempatan itu?”
Si pemuda dengan ogah-ogahan menjawab dengan menggelengkan kepalanya.
“Lho, bukankah kesempatan itu baru saja menghampirimu? Mengapa tidak kau
tangkap, tapi malah kau usir? Orang yang kau usir tadi adalah seorang pedagang
besar dari negeri seberang yang kaya raya. Mengapa tidak kau terima ajakannya?” si
kakek keheranan. Mendengar ucapan itu, si pemuda seolah baru tersadar dari
mimpinya. Ia bergegas bangkit dan berteriak-teriak memanggil si pedagang tadi.
Namun sayang, pedagang itu sudah tidak tampak lagi. Walau begitu si pemuda tetap
memanggil-manggil dia.
“Percuma berteriak-teriak. Kesempatan itu sudah berlalu,” ujar si kakek.
Pemuda itu tampak sedih dan ingin menangis. Ia tertunduk lesu dan tidak tahu harus
berbuat apa untuk mendapatkan kesempatan. Karena pikirannya yang sempit,
kesempatan berlalu begitu saja dan penantiannya pun sia-sia belaka.
Merasa kasihan, si kakek tua memberikannya nasehat. “Anak muda.. jika kau
ingin mendapatkan kesempatan, cari tahu rahasianya. Ketahuilah, kesempatan itu
tidak bisa kau tangkap jika kau tidak mengenalinya. Saat kau serius
menginginkannya, kesempatan belum tentu datang. Namun saat kau tidak serius,
mungkin dia sedang menghampirimu. Saat dia datang tadi, kau tidak mengenalinya.
Akhirnya dia lewat begitu saja dan belum tentu akan datang lagi.”
“Kalau begitu, aku harus bagaimana, Kek? Apakah seumur hidup aku tidakl
akan memiliki kesempatan lagi?
“Baiklah. Kakek beritahu satu rahasia lagi. Kesempatan datang pada setiap
orang tidak hanya sekali seumur hidup. Bila yang satu terlewatkan, suatu ketika pasti
akan datang kesempatan lain. Tetapi dia tidak datang dengan sendirinya.
Kesempatan harus diciptakan dan diperjuangkan.”
“Baik, Kek. Aku akan berusaha mengikuti nasehatmu,” janji si pemuda. Si
kakek lalu menambahkan satu nasehat lagi. “Kau juga harus tahu, tidak ada satu saat
pun yang benar-benar tepat untuk memulai mencari dan menemukan kesempatan
anak muda, jangan hanya menunggu. ‘xian zai kai ahi’ Mulailah sekarang, saat ini!
Mulailah berusaha, bekerja, berjuang, dan kesempatan pasti akan tiba pada
34
waktunya. Dan saat kesempatan tiba di hadapanmu, kamu telah siap
menyambutnya.”
Dengan gembira si anak muda mengucapkan terima kasih. Walau di dalam
hatinya ada penyesalan karena telah kehilangan kesempatan , tapi dia tahu bahwa
bila dirinya mau mulai berusaha dan berjuang, maka suatu hari nanti kesempatan
pasti datang padanya.
Pembaca yang budiman.
Begitu banyak dari kita terperangkap oleh anggapan keliru, bahwa jika kita
sedang beruntung maka kesempatan sudah pasti akan muncul dengan sendirinya.
Sementara ketika kesempatan tidak datang juga, akhirnya kita hanya menunggu,
menunggu, dan terus menunggu. Jelas mind set atau pola pikir seperti ini sudah
ketinggalan zaman dan bahkan menyesatkan. Terbukti, mereka yang memiliki pola
pikir seperti ini biasanya malah tidak pernah dihampiri oleh kesempatan. Kalau pun
kesempatan mendatangi, mereka tidak mengenali dan akhirnya malah
melewatkannya.
Miliki pola pikir yang sehat seperti ini: kita sebagai manusia mempunyai hak
untuk memilih kesempatan. Berarti, kita bisa memilih kesempatan apa saja yang kita
inginkan. Caranya, dengan memutuskan, menciptakan, dan memperjuangkan
kesempatan. Memutuskan berarti menciptakan komitmen untuk mendapatkan
kesempatan melalui keaktifan kita. Menciptakan berarti mengambil langkah-langkah
pasti supaya peluang-peluang tercipta atau mendatangi kita karena sikap proaktif.
Sementara memperjuangkan berarti membuat usaha-usaha yang benar supaya
kesempatan dapat dimanfaatkan dan memberikan hasil seperti yang kita inginkan.
Kadangkala, kesempatan itu pada awalnya tampak sepele sekali. Tapi jangan
meremehkan sekecil apa pun kesempatan itu. Berdasarkan pengalaman saya
seringkali pencapaian besar justru diawali dari kesempatan-kesempatan kecil, yang
umumnya dilewatkan oleh banyak orang. Dan benar, hanya orang-orang yang
mampu mengenali kesempatan saja yang bakal mendapat manfaat besar darinya.
Mereka yang berhasil biasanya jeli ‘zheng qu xiao ji hui’ memanfaatkan kesempatan
-kesempatan kecil dan kemudian melakukan tindakan-tindakan yang tepat untuk
memdapatkan manfaat terbesar. Merekalah yang disebut sebagai ‘xing yun de ren’
atau orang-orang yang beruntung. Semoga anda termasuk orang yang beruntung itu.
-0-

Buku dipinjam dari


Perpustakaan Umum Kota Sibolga
Diketik untuk koleksi pribadi
Pdt. Sahat Parulian Nababan, STh
Sibolga, 19 Agustus 2010
=========================

35
16
Wisdom & Success

Classical
Motivation Stories 2

Andrie Wongso
36
37
38

Anda mungkin juga menyukai