Anda di halaman 1dari 19

1

“Kak dafa Kak dafa bangun, gurunya uda datang tuh”, Difa mengayun ayunkan
tangan Dafa agar terbangun dari tidurnya.
“Kak Dafa ayo cepat”
Suara Difa yang menggelegar tak cukup susah untuk membangunkan Dafa. Dafa
pun terbangun dari tidurnya dibantu oleh Difa. Yah, sejak kecelakaan yang
menewaskan kakanya itu, Dafa kehilangan penglihatannya. Entah sampai kapan
Dafa bisa kembali menikmati penglihatannya takkan pernah bisa di duga. Dafa dan
keluarganya hanya bisa menunggu panggilan dari rumah sakit untuk giliran
mendapat pendonor.
Selama 3 tahun terakhir, hanya Difa yang bersedia menemani Dafa. Maklum,
mereka bertetangga dan baik keluarga Dafa maupun Difa adalah rekan bisnis yang
cukup lama.
“cepet mandi Kak, aku tunggu di luar”
“ini handuknya, uda hafal kaaann sama tempat gayungnyaa”, ejek Difa ke Dafa
karena setiap kali masuk kamar mandi pasti terdengar suara gayung terjatuh.
“Diem kamu”, Dafa menyauti dengan nada kesal lalu ia menutup kamar mandinya.
Selama Dafa kehilangan penglihatannya, keluarganya memutuskan untuk
menyekolahkan Dafa di rumah. Apasih istilahnya,, yah bener ithuu Home Schooling.
Maira-Mama Dafa tidak tega jika putra satu-satunya sekarang harus menderita dan
menerima ejekan temannya.
Maira yang awalnya selalu menitipkan Dafa ke Dina-Mama Difa karena terlalu
sibuk mengurusi cabang bisninya yang ada di Bali, kini dia mengalah hanya untuk
menemani dan merawat putranya. Hanya Zain-Papa Dafa yang mengurus bisnis-
bisnis kulinernya itu.
Keputusan Maira tersebut kini membuat Dina yang harus menggantikannya
mengurus bisnis di Bali. Maka tak heran jika Difa yang sekarang menetap di rumah
Maira.
“Tante Ira, Dipanggil Dafa nihh buruan katanya”, teriak Difa seperti biasa ketika
Dafa selesai mandi. Harap maklum Dafa harus berganti pakaian dan dia tidak bisa
melakukannya sendiri.
“Difa kebawah dulu ya sayang, Bu Guru sudah nunggu dari tadi”, pinta Maira
dengan mengelus pipi Difa.
“siap tante”, dengan suara cemprengnya Difa berlagak hormat layaknya saat
upacara bendera.
Dan benar sekali, guru privat mereka sudah bersiap di ruangan yang disediakan
Maira. Ada dua guru disana, yaah karena Dafa tak bisa melihat maka perlu guru
khusus untuk Dafa.
Sangat disayangkan waktu itu karena Difa tidak mau sekolah di sekolah biasa, dia
hanya ingin menemani Dafa. Hal inilah yang menyebabkan Difa ikut Home Schooling
seperti Dafa.
“Bu gurunya Dafa, nanti Dafa kasih tugas yang banyak aja, biar dia gak banyak
tidur kalo di rumah”, pinta Difa yang sangat menggemaskan mengundang tawa
dari guru mereka.
“kalo Dafa tugasnya banyak, berarti Difa juga harus dikasih tugas banyak dong”,
balas guru Difa dengan ketawa kecilnya.
“yaah jangan deh bu guru, kasih dikit aja ke Dafanya kalo gituh”, ucap gadis 11
tahun tersebut.
Tak lama kemudian Dafa datang sendiri tanpa ditemani Maira dengan membawa
tas ransel kesayangannya. Difa yang usil tak henti-hentinya menggoda Dafa.
“Dafa ganteng, mau dibantuin Difa nggak?”
Tak ada sautan dari Dafa
“Dafa ganteng, jalannya dicepetin dikit dongg, mau nggak dibantuin Difa, Difa lagi
baik nih”
Masih tak ada sautan dari Dafa
“Dafa ganteng, kok diem aja sih”
Dafa masih tidak menyauti
“aahhhhh Dafa Ganteng, tasnya kok dipeluk terus, nanti diambil Difa looo.. “
“Diem kamu Dif”, saking sensitifnya saat Difa menyangkut pautkan barang
kesayangannya membuat Dafa menanggapi godaan Difa.
“Dafanya marah bu guru”, Difa dengan gemasnya melaporkan Dafa ke gurunya.
Karena muridnya sudah lengkap, akhirnya guru tersebut pun angkat bicara tentang
keusilan Difa.
“waahh Difa sekarang bandel yaa, mainnya sekarang goda-godain Dafa”
“kan Dafa nya uda dateng nih, dimulai ya belajarnya”
Sesuai pinta Maira, Home Schooling yang dijalani Difa dan Dafa berlangsung
selayaknya sekolah biasa, tidak ada jam khusus ataupun materi khusus. Guru-guru
yang ditugaskan pun berasal dari sekolah Dafa dan Difa dulu. Yaps, materi ada,
fasilitas ada, perintah pun mudah.
¢¢¢¢¢¢
Permulaan yaaa mangkanya dimulai awal, ya gini, kecil dulu gedenya nanti....#geje

2
Maira terlihat mondar-mandir di teras, dia membingungkan Dafa. Bagaimana jika
Dafa tidak mendapatkan pendonor, bagaimana nanti jika Dafa tidak bisa melihatku lagi,
bagaimana dengan masa depannya nanti.. Pikiran Maira jelas sudah melantur kemana-
mana. Tanpa sengaja sebutir air jatuh dari pelipis matanya.
“aahhhhh, aku ini mikir apa cobak. Aku harus cari rumah sakit lain”
“eh”
Kedatangan Dafa dengan tiba-tiba memeluk Maira dari belakang sontak
mengagetkan Maira. Dafa sangat erat memeluk mamanya.
“ma, papa kapan pulang? “
“Dafa pengen jalan-jalan kayak dulu”
Maira langsung membungkukkan badanya menyetarai Dafa, “kamu mau kemana
sayang? Mama akan suruh papamu pulang”
“Dafa pengen ke pantai ma, meskipun Dafa tidak bisa melihat setidaknya Dafa bisa
menghirup udara segar pantai ma”
“waaaahh pantaii, Difa mau ikut tante Difa mau ikut”, cerocos Difa dengan suara
cemprengnya dari balik pintu, entahlah sejak kapan gadis itu pandai menguping.
“ma, ada suara petir barusan ma, mama denger ndak?”
“hellooo hai bai bai Dafaaaa, aku itu princess bukan petir”, bantah gadis kecil itu.
Nyata sekali dia keseringan liat film india yang tayang di televisi.
“sudah sudah, kita perginya bareng-bareng tapi nunggu papanya Dafa pulang dulu
yaa”, lerai Maira.
Memang sudah sangat lama setelah kecelakaan itu terjadi, kecelakaan yang
menewaskan Dama-Kakak Dafa dan membutakan mata Dafa. Kayaknya sudah tiga
tahun yang lalu kejadian tersebut. Iya benar sudah tiga tahun Dafa menjadi anak
semata wayang Maira dan Zain, sudah tiga tahun Maira berusaha mencari pendonor
untuk Dafa, sudah tiga tahun Dafa berjuang dalam kegelapan, yaa Dafa lah disini
yang sekarang menjadi tokoh utama dalam kehidupan Maira dan Zain. Sudah lama
juga keluarga kecil tersebut melupakan liburan rutinnya. Yah semenjak kejadian itu,
mereka memfokuskan Dafa agar aman di rumah.
***
“Difa.... Difa.... Difa....”, Dafa berusaha mencari Difa menyusuri ruang tengah hingga
teras hingga balik lagi ruang tengah dengan jalannya yang menerka-nerka.
Sudah sepuluh menitan Dafa berjalan dan berteriak memanggil nama Difa, tapi
tetap tak ada sahutan dari gadis bandel itu. Yaahh bukan apa-apa, emang aslinya
Difa bandel dan seneng banget ngusilin Dafa. Difa memang sengaja diam dan
membiarkan Dafa berkeliling keliling gak jelas.
“non itu kasian den Dafa, pasti capek, kasian non” bisik mbok Umi kepada Difa
yang tak tega melihat Dafa.
“biarin Mbok” bisik Difa sambil cekikikan
“mbok umiii, itu suara mbok kan, mbok dimana? Bisa bantu Dafa mbok? “
“mbok umiiii..... Difa.... ”, Dafa memastikan sekali lagi bahwa suara yang didengar
adalah suara mbok umi dan Difa
Mbok Umi yang tak tega melihat Dafa, tak membiarkan Difa melanjutkan
keusilannya. Mbok Umi berdiri dengan cepat lalu berlari menghampiri Dafa.
“mbok Dafa haus, Dafa bisa minta tolong ambilin Dafa minum mbok, air putih saja”,
pinta Dafa dengan mengusap keringat di dahinya.
“kenapa den Dafa tidak bilang daritadi kalau den Dafa haus, tau gitu daritadi bibik
menghampiri den Dafa”
Emang dasar bocah ya, seneng banget lihat temannya menderita tak terkecuali si
Difa. Difa yang tadinya mendengar keluhan Dafa (maksudnya Dafa yang kehausan),
dia pun menghampiri Dafa. Difa kali ini merasa bersalah banget sama Dafa. Melihat
keringat Dafa yang masih tetes menetes membuat Difa semakin menyesali
keusilannya.
“Kak Dafa, kakak berkeringat”, sikap perhatian Difa tiba-tiba muncul seketika dan
secara reflek Difa mengambil tisu di meja dan mengusapi keringat di dahi Dafa.
“kakak pasti capek ya Kak, dari tadi kak Dafa muterin rumah”, pertanyaan Difa kini
akan mematikan dirinya sendiri.
“Kamu kok tau? Jangan-jangan.... “ pembicaraan Dafa kali ini belum selesai tapi Difa
langsung memotongnya.
“hehehe maafkan Difa kak, tadi Difa sengaja diam. Maaf Kak, Difa ngaku salah”,
rengek Difa agar Dafa memaafkannya.
“jahat banget sih Dif, cobak kamu diposisi aku, tega banget”, nada kekesalan Dafa
kini tak lagi ia sembunyikan. “bakal aku aduin ke mama nanti, biarin kamu gak di
ajak liburan”, Ancam Dafa
Keusilan Difa kali ini memang keterlaluan. Difa sangat menyesalinya dan berusaha
minta maaf ke Dafa. Namun, Dafa kali ini tak membebaskan Difa begitu saja. Sudah
terlalu sering bahkan tiap hari Difa selalu mengusili Dafa. Mengingat dulu sebelum
Dafa kehilangan penglihatannya, Dafalah yang sering menghibur Difa dikala sedih
dan diejek teman-temannya. Dafa heran sekali, Difa yang dulunya cengeng sering
nangis jika diusili teman kelas sekarang malah pinter dan sering ngusilin temen
sendiri.
**
“Kak Dafa, Difa minta maaf, Difa janji gak ngulang lagi, Difa masuk yaaaa”, Difa
yang sedari tadi mengoceh minta maaf ke Dafa kini semakin melemas ucapannya,
yah mungkin karena uda capek sampai-sampai suara cemprengnya jadi lembek.
“Kak Dafa, Difa uda minta maaf juga kok ke Tante Maira, Tante maafin Difa kok,
Tante masih mau ngajak Difa liburan kak, tinggal kak Dafa nih yang belum maafin
Difa”, ocehan Difa kini semakin melemah.
Pantas saja, sekarang sudah pukul delapan malam dan sudah waktunya anak kecil
bobok. Suara Difa melemah bukan karena capek melainkan karena mengantuk.
Buughh
Yaahhh Difanya terlelap deh, Difa yang sedari tadi duduk posisinya cukup nyaman
untuk mengerjapkan mata. Dengan kepalanya yang menyantap pintu kamar Dafa
membuat tidurnya semakin pulas. Ups pingsan atau beneran tidur nih Dif.
Kondisi rumah dalam keadaan sepi saat itu, mbok Umi tentu saja sudah balik ke
habitatnya sejak sore tadi. Maira juga selalu bertugas malam di tempat kerjanya, tak
lain tak bukan ya karena waktu pagi siang sorenya hanya untuk Dafa.
Kasian sekali kamu nak, tidak ada yang membopongmu ke pulau kapuk.
Tepat pukul sepuluh malam, Maira menyelesaikan pekerjaannya di ruang kerja. Dia
merapikan segala arsip pentingnya dan bergegas menghampiri putra
kesayangannya. Sebelum memasuki pintu kamar Dafa, Maira sudah di kagetkan
dengan tergeletaknya Difa. Yah, posisi tidurnya tentu sudah berubah.
“Difa, Dif.....Difa.... Bangun sayang.. “
“kakak maafin Difa Kak”, spontan kata itu keluar dari mulut Difa. Difa pun
terbangun dari tidurnya. Dan malunya dia, karena yang didapati dihadapannya
bukanlah Dafa melainkan Maira.
“Ah Tante Ira”
“kenapa kamu tidur disini Difa, kamu gak masuk? “, heran Maira
Kamar Dafa dan Difa memang dalam satu ruangan. meski dalam ruangan yang
sama, tentunya mereka memiliki ranjang sendiri-sendiri. Ranjang Difa khas dengan
warna pink dan hello kitty nya sedangkan ranjang Dafa khas dengan warna kuning
dan spongebobnya. Sesuai banget dengan kartun favorit mereka.
“Dafa tidak maafin Difa Tant, mangkanya Difa gak berani masuk”
Tanpa penjelasan panjang lebar dari Difa, Maira langsung mengajak Difa berdiri dan
menggandengnya masuk ke dalam ruangan seluas 7x4 m di depannya. Maira
menemani Difa sampai terlelap di ranjangnya. Selang 5 menit kemudian Maira
menghampiri Dafa dan mengusap rambut lurus putranya yang sudah terlelap.
Maira sangat menyayangi putranya, Dafa.
**
Esok hari telah tiba, kegiatan rutin Difa membangunkan Dafa akan segera dimulai.
“Kak Dafa.... Bangun kak”, kali ini hanya suara Difa yang Difa andalkan, Difa masih
belum berani menyentuh bahkan menggoyah goyahkan tubuh Dafa seperti biasa
saat dia membangunkan Dafa.
“hhhooammmm”, tak perlu lama akhirnya terdengar suara Dafa yang hendak
terbangun
“eh Kak Dafa uda bangun, sini Difa bantuin”
“tumben baik”
“kan biasanya gitu kak”, lirih Difa yang masih belum berani bersikap biasa dengan
Dafa
“biasanya? Biasanya kan kamu cuma bisa ngusilin aku” ucap Dafa sinis
“ahhhh ithuuu.... Maaf kak, udah ndak lagi deh. Difa nyesel. Difa minta maaf”
“tumben pake nyesel”
“enngg ngg.... Kata kak Dafa kemm mmarinn.. Hati Difa rasanya tertusuk saat kak
Dafa bbi bilang coba jadi kak Dafa.... Difa gak bisa bayangin jadi Kak Ddafa. D Dd
Difa mm min Minta maaf kak”, ucap Difa sedikit terbata. kecil kecil uda pake hati aja
yaa
“aku ngomong gitu ya, yaudah deh”
“yauda apa kak”
“ya ya yaudah dimaafin, asal gak usil lagi”, lirih Dafa sambil meraba dan mencubit
pipi chubby Difa
Difa sangat senang sekali, rasanya ada manis-manisnya gitu. Untuk pertama kalinya
Dafa menyentuh pipinya dan ekspresi Dafa saat mencubitnya...... Waahh pastinya
akan selalu dibayangkan oleh Difa.
“ahhh kak Dafa kok lucu banget sih ekspresinya tadi, Difa pengen lagi”
“waahh Difa pasti nggemesin banget sampe ekspresi kak Dafa kayak gitu, ya
allaaahhh senyumnya kak Dafa.... ”
“ah tau ah, kak Dafa kan gak bisa lihat Difa, untuk menyentuh pipi Difa aja meraba
dulu.. Masak iya kak Dafa gemes lihat Difa, gak mungkin ah”
Difa uring-uringan dengan dirinya sendiri tiada henti. Anak yang sangat polos. Difa
masih tak bisa berhenti ngoceh kesana kemari dan ber ah ria.
Tak seperti biasanya, maira kini datang tanpa panggilan untuk bersiap mendandani
Dafa. Yah, hari ini tepatnya pagi ini Maira harus menemani Mbok Umi belanja
bahan-bahan masakan ke pasar untuk menyambut suaminya. Bukan tak
mempercayakan kepada Mbok umi, tapi memang Maira ingin melibatkan dirinya
untuk meladeni suami tercinta.
Hari ini tepat kepulangan Zain-papa Dafa ke rumah dan juga keluarnya hasil ujian
Dafa dan Difa. Maira sudah janji kepada Dafa dan Difa jika nilauli mereka tidak ada
yang C maka liburan ke pantainya jadi lusa, tapi jika salah satu dari mereka ada
yang mendapat nilai C maka liburannya diurungkan. Waaahh sedih dong.
**
“maa gimana nilai Dafa? “
“kamu pinter sayang, nilai kamu A semua hanya ada 3 nilai B tanpa ada nilai C.
Kamu hebat Dafa”, seru Maira sambil memeluk dafa.
“eh Dif, nilai kamu gimana?”, tanya Dafa serius
“emmmmm nilai aku..... “, belum juga menyelesaikan jawabannya Dafa tiba tiba
memotong ucapan Difa.
“kita pasti jadi kaannn ke pantainya”, semangat Dafa semakin bergejolak
“mm nilai aak k akku.....”

¢¢¢¢¢¢
Ceitanya masih kecil aja nih, baca terus dan tunggu gedenya!

3
Sebuah nilai takkan pernah bisa ditebak, meski pepatah mengatakan usaha
takkan menghianati hasil, tapi keberuntungan tentu akan melawan usaha untuk
menghianati hasil.
“mm nilai aak k akku.....”
“tant, ini kayaknya ada yang salah nih”, kaget Difa dan menyodorkan hasil
raportnya ke Maira
Ucapan Difa barusan tentu saja mengagetkan Dafa. Dafa seketika berusaha
menghampiri Difa yang berada dua meter dihadapannya.
“Dif, yang jelas dong kalo ngomong, kita jadi ke pantai kannn”
Dasar anak kecil, Dafa lebih mementingkan liburannya tanpa penasaran dengan
nilai yang diperoleh Difa.
Difa yang heran dengan hasilnya, ia langsung berdiri dan menghampiri Maira. Tak
lupa juga Difa menenteng raport hasil belajarnya.
“tant, ini nih masak nilai aku A semua. Pasti ada yang salah nih, kan gak bagus kalo
gak ada variasinya” ujar Difa yang masih terheran-heran
“waahhhh,, nilai Difa A semua yaa. Itu tandanya kamu pinter sayang. Kamu harus
bersyukur dong dapat nilai sempurna”
“tapi tant, kan jelek” gerutu Difa
Maira tertawa tiada henti melihat tingkah lucu Difa. Mbok Umi yang baru saja lewat
dan mendengar gerutu Difa juga tiada henti menertawakannya.
“aneh-aneh aja non Difa”, gumam Mbok Umi
Difa yang sedikit malu karena ditertawakan, kini ia mulai celingak celinguk mencari
Dafa.
“eh Kak, ngapain Kak Dafa disana?”
Emang dasar si Difa, jelas-jelas tadi Dafa berusaha menghampirinya, eh malah
sekarang bertanya tanpa beban. Untung saja Dafa tidak marah dan langsung
bberusaha berbalik ke dekat Maira.
Nilai Dafa tidak ada yang C, nilai Difa malah A semua. Jadi kesimpulannya liburan
ke pantai siap diadakan lusa nanti. Kini hanya tinggal menunggu Zain sampai di
rumah.
**
“Difa sayang,, bangun sayangku cintaku”
“difaaa”
“ayo bangun sayang”
Suara Dina yang serak-serak becek cukup susah untuk membangunkan Difa. Tapi
tiba-tiba dari seberang ranjang sudah terdengar bunyi jejak orang berjalan.
“tante Dina, itu tante Dina yaa”
“Dafa bener kan itu tante Dina”
“tante Dina”, Dafa memanggilnya sekali lagi karena masih tidak didapati sautan
dari Dina.
Rupanya Dina menghampiri Dafa dan menggandeng Dafa sampai duduk di
samping ranjang Difa.
“tanten Dina kapan pulang? Tante nanti ikut liburan ke pantai yaa..” pinta Dafa
sambil menggenggan erat tangan Dina yang masih di raihnya.
“mm emm Mamaa”, kaget Difa setelah dia membelalakkan matanya.
Difa berkali-kali mengucek matanya masih tak mempercayai Dina yang ada di
hadapannya. Difa dengan sengaja mencubit Dafa untuk menyadarkannya bahwa ini
bukan mimpi.
“Aw, sakit. Kok malah Dafa dicubit sih”
“maaf Kak maaf, Difa kira ini mimpi, berarti ini mama Difa beneran bukan mimpi
yaa”
“eh harusnya tuh kamu cubit diri kamu sendiri tau”, kesal Dafa
Kelakuan kedua bocah tersebut tak hentinya mengundang tawa bagi Dina. Rasanya
Dina ingin sekali menetap lama disamping Difa dan Dafa.
Sayangnya kedatangan Dina hanya untuk menyapa keluarga sahabatnya dan
menyambangi anak semata wayangnya. Dina tak punya waktu lama meski sekedar
untuk menginap satu malan di kediaman Maira.
Dina mendapat tugas untuk menangani pengembangan kulinernya ke negeri
seberang. Tujuan utama Dina mampir ke kediaman Maira ya tentunya untuk
melihat putrinya dan berpamitan dengan sahabatnya tersebut.
**
“maira, maaf sekali aku harus merepotkanmu menjaga putriku”
“3 jam lagi jadwal penerbanganku Maira, aku titip Difa ke kamu yaa. Aku harus
segera pergi. Salam juga untuk Zain”
Tidak ada perpisahan yang dramatis karena kepergian Dina. Difa pun sudah
terbiasa dengan kesibukan mamanya. Kalem-kalem aja Difa menyikapinya.
**
Suasana ruangan DD sangat hening karena keduang penghuninya sibuk dengan
sendirinya. Si Dafa sibuk tidur dan Difa sibuk mainin Pou di gadgetnya.
“ah bosen ah, si Dafa nih tidur melulu, Difa kan gak ada temen main jadinya”
“kak Dafa bangun dong.. Iih kok tidur terus sih, nyebelin banget”
Difa yang saking sebelnya menarik selimut yang menutupi wajah Dafa agar Dafa
terbangun. Bukan malah Dafa terbangun , tapi Difa yang melongo melihat Dafa.
“waah kak Dafa ternyata cakep juga ya, kayak pemain sinetron anak awan di
televisi”... “waahhh, bibirnya kak Dafa merah banget kalau tidur”, gumam Difa
tiada henti dalam hatinya. Eksperinya yang melongo dengan mulut yang
mengangah sudah dipastikan Difa siap mengikuti lomba goyang dumang. Tanpa
disadari, Difa mendekatkan telunjuknya ke bibir merah Dafa. Hal itu tentu saja
mengagetkan Dafa dan membuatnya terbangun.
“siapa?.... Mama? Difa? “
“Difa kak”, kaget Difa melihat Dafa gelagapan. Haduuh gimana kalau kak Dafa melihat
ekspresiku tadi, bisa gawat.. Ahhhh untungnya kak Dava tidak bisa melihat Difa.
“kenapa Dif, kamu gak tidur? Mama kan uda nyuruh kita tidur supaya nanti
berangkatnya tidka ngantuk”
Yah benar sekali, sore nanti Maira sudah menjadwalkan keberangkatan liburan ke
pantai. Bukan maksud apa-apa, hanya saja biar tidak terlalu lama terkena angin
pantai. Cukup menikmati malam untuk camp dan bakar-bakar serta pagi untuk
menikmati kesejukan dan ombak pantai.
“kak Dafa ganteng”, spontan Difa
“apa Dif”, Dafa menciba memastikan apa yang didengarnya barusan.
“enn ennggak kak, Difa tidak ngantuk, Difa mau ajak kak Dafa main di halaman.
Difa yang salah tingkah langsung saja menarik lengan Dafa meninggalkan
ranjangnya dan menuju halaman belakang rumahnya. Keusilan yang dilakukan Difa
sepanjang menuju halaman membuatnya rileks dan melupakan perkataannya tadi.
“mau main apa Dif? Seperti biasa kah mainnya aku yang cari kamu?
“tidak kak, ini Difa lagi siapin banyak botol, Difa isi air dulu”
“mainnya gimana? Kan Dafa gak bisa lihat Dif..”, kesal Dafa yang tak kunjung di
kaish tau permainannya.
“gini kak, ini botol-botolnya uda aku isi penuh dengan air, nanti aku taruh dipojok
halaman dekat dapur. Tapi Kak Dafa nanti berdirinya di pokok yang berlawanan
diseberang sana”
“ditengah halaman udah aku gambar lingkaran gede banget, lihat tuh kak, heheh”,
Plaakk
Hantaman tangan lembut Dafa mengenai bahu Difa.
“aku gak bisa lihat Difaaaa”, kesal Dafa dengan penuh penekanan.
“kan ada Difa yang jadi matanya kak Dafa”, goda Difa yang sok manis dihadapan
Dafa.
“lalu?”
“ya lalu kak Dafa gausa malu dengan godaan Difa barusan dong”, ujar Difa kePDan
“maksudnya lalu gamenya gimana Difaaa?”
Emmh, malu tuh Difa. Kids jaman now banget.
“nanti kak Dafa aku arahin berjalan dari pojok menuju lingkaran tengah baru kak
Dafa bisa lemparin bola kasti ini ke arah botol yang dipojok sana”, penjelasan Difa
panjang lebar dan memberika bola berwarna hijau itu ke tangan Dafa.
“jadiii, aku yang main aku yang capek dong ceritanya”, bingung Dafa
“kan Difa juga ngarahin Kak, itu namanya Difa juga ikut main, Cuma Difa gak
capek aja. Gitu kak”
“yasudahlah pokok kamu senang”
Tiba-tiba pipi Difa merah merona. Pikirnya Dafa romantis banget padahal ya Dafa
mengucapkannya biasa saja. Kini Difa semakin sering memandangi Dafa, sampai-
sampai dia salah terus saat mengarahkan Dafa ke posisi dimana dia harus melempar
bola.
“Difa yang bener dong, aku jadi bingung nih”
“ini udah bener kali kak, kak Dafanya aja yang malah muter muter terus”
Difa selalu saja memutar balikkan faktanya. Fakta yang nyatanya Difa lebih
memandangi Dafa dari pada mengarahkan Dafa.
“semangat kak Dafa yeye semangat kak Dafa, kanan kak.. Luruss.. Dikit lagi.. Kiri
kiri.. “, teriak Difa dari pinggir halaman
“ayo kak Dafa, lempar yang keras, ntar kalo.... “
Buuuugkkk
7 botol air mineral yang diisi air oleh Difa ditumpahkan oleh satu lemparan bola
Dafa. Lemparan itu cukup keras yang awalnya mengenai 3 botol yang langsung
terjatuh, diikuti 2 botol yang masih bergoyang-giyang dan akhirnya terjatuh. 2
lagiiii... Ya 2 lagi terkapar karena ketimpahan mangga yang jatuh dari atas pohon.
“kak Dafaaa hebatttt swmua botolnya jatuh”, teriak Difa sambil berlalu menuju
Dafa.
Difa menggandeng Dafa dari tengah halaman untuk menepi. Difa sudah
menyiapkan mangga yang sedari tadi dikupasnya untuk dimakan bareng Dafa.
“kak Dafa capek yaaa”
“Difa udah nyiapan mangga di meja sana, kita makan bareng yuk kak”
“ooo jadi daritadi kamu ngarahin aku sambil ngupas mangga ya Dif, pantesan”
“ii iiya kak”, bohong Difa
Sesampainya di tujuan lebih tepatnya meja yang ada ditepian halaman rumah, Dafa
dan Difa asik ngobrol sambil menyantap mangga yang dikupas Difa.
Difa sangat mengenal Dafa. Difa sangat tau apa yang disukai Dafa, termasuk
mangga. Kedua bocah asik banget berebutan mangga sampai lupa kalau waktunya
mandi sore telah tiba.
“kak Dafa, Difa boleh tanya gak ke kak Dafa?”
“apa Dif.. “
“kalo dd di Difa sss ss sukk suka sama kak Dafa gg gimana?”, gadis cantik itu mulai
berani mengutarakan perasaannya dengan tergagap-gagap.
Sejak kemarinnya kemarin Difa memang selalu saja dan tak pernah berhenti
memandangi Dafa. Tak seperti biasanya yang selalu mengusili Dafa. Sejak Dafa
mencubit pipinya, gadis itu mulai sering sekali berada di samping Dafa, menemani
jalan-jalan, mengajak bermain, membantu menyuapi makan, bahkan membantu
Dafa belajar kala itu liburan tengah semester.
“eh... Kecil – kecil uda main suka sukaan anak papa ini”, tiba-tiba Zain datang dan
mengacak rambut Difa. Zain membawa dua gelas susu untuk kedua bocah itu dan
menyuruh untuk segera meminumnya.
Difa yang malu tertangkap basah oleh Zain akhirnya dia salah tingkah dan beranjak
meninggalkan Zain dan Dafa tanpa meminum susunya. Sesegera mungkin Difa
menuju kamar dan mendecak sebal.
“ck,, kenapa om Zain datang disaat yang tidak tepat sih”
“arrrgghh Difa kan jadi gak tau jawabannya kak Dafa”
“ih bikes bikes bikes, bikin sebel”
Saat Difa melirik jam beker yang ada di meja ranjangnya, Difa langsung tergopoh-
gopoh mengambil handuk dan bergegas mandi. Yah sekarang sudah jam 3, itu
berati sudah tinggal 1 jam lagi rencana keberangkatan liburan mereka.
**
“ma.. Barangnya uda masuk semua?”, teriak Zain dari samping R3nya.
“sudah pa, tunggu sebentar, anak-anak belum turun dari kamar”
Tak lama kemudian Dafa menuruni tangga, tentunya di gandeng oleh Difa. Kali ini
Difa terlihat sangat polos dengan rok dan sweeter maroonnya. Rambutnya yang
dikuncir kuda, memperlihatkan paras cantiknya. Tapiii, Dafa..
“Dafa sayang,, haduh nak, kenapa kamu pakai jas sayang. Kita kan mau ke pantai
bukan mau kondangan”, heran Zain
“wah, gak beres ini.. Ini pasti kerjaan Difa”, sahut Maira
Terdengar suara cekikan dari Difa. Dilihatnya lucu mungkin tampilan Dafa yang
gak nyambung banget dengan tujuan liburannya.
“Difa gak nemuin jaket kak Dafa tant. Kalo kak Dafa gak pake jaket nanti kak Dafa
kedinginan kalo kak Dafa kedinginan nanti kak Dafa sakit kalo kak Dafa sakit kan
jadinya Difa gak ada yang nemenin tant”, penjelasan Difa tentang kelakuan yang
gak nyambung sama sekali.
“ya ampuun Difa, jaket Dafa udah tante bawa di mobil Difa sayang”
“gapapa ma, pake ini Dafa jadi anget kok ma”, sahutan Dafa membuat Zain Maira
dan Difa terbengong. Kayaknya anak ini kurang waras.
“tuh kan tant, kak Dafa aja suka sama pilihan Difa”, pipi Difa tiba-tiba merona dan
merunduk gak jelas.
“waaaah sekarang Dafa sudah bisa belain Difa ya mam, kayaknyyyaaaa..... “,
candaan Zain spontan saja keluar untuk menggoda Difa yang daritadi sudah
gelagapan.
**
Mengingat Zain yang yang tadinya memergoki Difa bilang suka ke Dafa membuat
Difa menjadi bahan obrolan sepanjang perjalanan. Maira yang mendengar cerita
Zain sampai ketawa tiada henti. Mereka tak henti hentinya menertawakan Difa
sampai akhirnya Difa menjaga jarak dengan Dafa.
Dengan tingkanya yang lucu, Difa memindahkan tas ranselnya dan melepas
jaketnya untuk dijadikan pembatas dengan Dafa. Difa hanya diam mendengar
godaan Zain dan Maira ditambah Dafa yang juga ikut menggodanya.
Tiga jam perjalanan bukan waktu singkat dalam perjalanan. Tak heran jika kedua
bocah itu sudah tertidur pulas d bangku jok kedua. Anehnya lagi meskipun Difa
memberikan batas pada tempat mereka, bisa saja mereka tertidur dengan
bergandengan tangan. Suasana ini menjadi momen tersendiri bagi Zain. Akhirnya
Zain memotret kedua bocah itu tanpa sepengetahuan Maira.
Setelah mengurus semuanya termasuk biaya masuk lokasi dan pendirian tenda dan
lainlainnya, Maira dan Zain membopong kedua bocah itu ke lokasi camp. Belum
setengah perjalanan, Difa terbangun dari tidurnya dan meminta untuk jalan sendiri.
Karena dirasa canggung, Difa pun menyentil-nyentil kaki Dafa. Dafa yang
digendong Maira akhirnya terbangun. Kali ini Dafa masih sangat nyaman berada di
gendongan Maira.
“kak Dafa turun dong, masak Difa dibiarin jalan sendirian sih”, gerutu Difa
Tanpa malu Difa pun menarik narik kaki Dafa agar segera turun. Dan benar sekali
Dafa akhirnya turun dari gendongan mamanya.
“kak Dafa sini Difa gandengin”, ujar Difa tanpa basa-basi
Kedua bocah itu jalan bergandengan dibelakang Maira dan Zain. Mereka asik
ngobrol dengan sendirinya dan tanpa mereka sadari Zain dan Maira sudah berada
jauh didepannya.
“Dif, Difa beneran suka aku ya?”, pertanyaan Dafa polos
“kak Dafa maunya beneran apa bohongan.. “,
“ya beneran aja, kan kalo bohong kata mama gak boleh Dif”, jawab Dafa dengan
santainya.
“kalo gitu kak Dafa ya gausa nanyain Difa, gimana sih”, sinis Difa
“nanti kalo gede Difa jadi ceweknya aku ya Dif, kamu mau kan?”, ucap Difa dengan
lirih.
Emmm kenapa gak sekarang aja sih kak, kan sekarang anak kecil udah banyak yang pacaran,
gumam Difa dalam hati.
“kalo nanti aku gak bisa lihat terus, Difa mau kan jadi matanya Dafa?”, lanjut Dafa
dengan serius. Entah sejak kapan bocah ini belajar bicara panjang lebar penuh
drama. Mungkin turunan dari papanya kali.
“ng ngg.... Dif Dif Difa pasti ak kan ada d ss ssam ping kak Dafa ter rus kok”, jawab
Difa agak sedikit terbata-bata. Difa kaget dengan perkatan-perkataan yang
diucapkan Dafa.
Dafa kini mulai berani melihat Difa dengan hatinya, Dafa mulai melihat seriusnya
Difa bukan kekonyolan seperti beberapa bulan lalu. Beberapa hari ini dengan
tindakan Difa yang selalu mendekati Dafa mengajarkan Dafa untuk belajar tentang
menyadari keseriusan dengan rasa ketulusan dengan rasa keikhlasan dengan rasa.
Disini ternyata mata bukan segalanya, tapi perasaanlah yang lebih membimbing
Dafa. Dafa merasakan besarnya kasih sayang yang diberikan orang-orang
terdekatnya.
Dafa mulai meraba rambut panjang Difa dan mulai mengacak-acaknya. Difa yang
tidak terima akhirnya berbalas kepada Dafa. Mereka merauk-rauk muka dan
sebagainya sampai akhirnya Difa membatu karena tangan mulus Dafa berhenti di
pipi chubby Difa.
Dafa mulai meraba setiap lekuk wajah Difa dan berusaha untuk selalu
mengingatnya. Yang Dafa takutkan hanya satu yaitu penglihatannya tak bisa
kembali lagi. Difa hanya diam mematung menerima setiap sentuhan Dafa di
wajahnya, mulai matanya hidungnya mulutnya pipinya sampai rahangnya.
“kak Dafa pasti akan mengingatnya”, ujar Difa seakan memahami maksud
sentuhan Dafa.
“diam dan tetaplah jadi mataku Difa”, jawaban Dafa seolah jadi bius ampuh bagi
Difa.
Difa mematung cukup lama. Aampai akhirnya dia sadar bahwa Dafa sudah
berusaha berjalan menuju tempat Maira dan Zain. Dengan spontan, Difa berlari
menggapai posisi Dafa.
“kak Dafa matanya kok ditinggalin siiihhh”, rengek Difa konyol
“matanya mematung sih, jadi ditinggalin aja deh”, Dafa dengan entengnya
membalas kekonyolan difa

¢¢¢¢¢¢
Proses gede yaa

4
Senyumanmu tak akan kulupa,
Mata indahmu tak akan kulupa,
Kata manismu tak akan kulupa,
Terutama JANJIMU tak akan kulupa.

Sudah tiga tahun lamanya setelah liburan terakhir kali di pantai. Kini liburan akhir
semester berlangsung di tempat yang sama seperti waktu itu.
Yah, ini gue. Difa Lazuardi Fanania. Gue sekarang uda merasa gede karena gue uda
duduk di bangku dua SMP. Gue masih tetep sama, jadi matanya si Dafa, Mizola
Dafa Adrian. Gue juga masih tetep sama kok, yaahh masih suka sama Dafa. Gue uda
gak terbiasa panggil dia kaka lagi. Mungkin uda terlalu kebawa perasaan kali ya.
Dan asal kalian tau yaa.. Sangking gue pedulinya sama si Dafa, gue tuh lebih milih
sekolah di tempat Dafa, yah sekolahnya orang buta-buta ini ups maksud gue
sekolahnya orang yang tuna netra ini. Gue seakan-akan jadi guru tau nggak disini.
Bukan maksud sok pinter sih, tapi emang gue pinter, pakek banget. Segitu dulu deh
perkenalan gue.
“Daf, buruan giliran lo yang terakhir”
Secara tidak langsung Difa kayaknya uda ngenalin gue deh. Seperti yang kalian tau
nama gue Mizola Dafa Adrian dan gue bukan saudara kembarnya Difa. Gue tinggal
seatap sama Difa uda lama, nyokapnya Difa nitipin dia ke nyokap gue. Gue jelasin
biar kalian semua gak salah paham. Gue emang minta Difa jadi mata gue, gue yang
nyuruh Difa selalu ada di sampung gue, ya karena gue sayang Difa uda dari kecil.
ciyeee ciyeee. Dia yang uda tau susah seneng gue. Tapi asal kalian tau ya, gue gak
pernah minta Difa buat sekolah di sekolahan gue. Difa yang selalu cerita ke gue,
kalo gue tuh ganteng, kulit gue putih, alis gue tebel, bibir gue merah, hidung gue
mancung, banyak lah kelebihan gue. Pokoknya intinya tuh gue ganteng dan bikin
Difa mbuntutin gue mulu. Gue rasa cukup
Plaakk
Sambaran tangan mungil itu tepat mengenai sasaran
“eh dasar lo, perkenalan apaan, yang ada lo tuh bikin malu gue”, bisik Difa sembari
menutuo nutupi wajahnya.
“malu apanya? Orang yang lain terhibur kok”, jawab Dafa dengan entengnya
“somplak loo”
Acara perkenalan diri dan mengenalkan teman dekat pun selesai juga. Kini acaranya
selanjutnya akan dimulai. Guru-guru SMP Tuna Netra ini sudah menyiapkan segala
peralatan dan perlengkapan untuk kegiatan api unggun. Difa yang seolah-olah jadi
guru disana pun ikut membantu menyiapkan segalanya.
Semua murid sudah berkumpul di area yang sudah disiapkan dan acara akan segera
dimulai. Nyanyia-nyanyian sumbangan dari beberapa siswa pun mengalun dengan
sangat merdunya. Termasuk Dafa yang juga ikut menyumbangkan sebuah lagu.
Dan tentu saja, nyanyian Dafa membuat Difa meleleh dan mencair dan membanjir.
Selama penyalaan api unggun tangan Difa tak lepas menggenggam tangan Dafa.
Kehangatan tentu terasa dua kali lipat malam itu. Mereka yang mulai menginjak
remaja, tentu mengerti perasaan mereka masing-masing. Yah, meskipun mereka
saling membual jika dibilang pacaran.
“Dafa genggam terus tangan Difa yaa”, pinta Difa dan menempatkan tangan Dafa
ke saku jaketnya dan didapatinya senyum Dafa yang mempesona ketika ia
mendongakkan kepalanya.
“kok senyum aja sih Daf, bisu yaa”, kesel Difa
“orang senyum tuh artinya seneng tau, sinis aja lo”
“Dafa seneng Difa ya”, Difa mulai penasaran dan menjebak Dafa agar membalas
perasaannya
“iya, seneng banget kalo lo diem Dif”
Jawaban Dafa membuat Difa manyun 7 cm, gak kebayangkan tuh betapa
monyongnya. Akakkaka
“Dafa tuh ya seneng banget kalo liat Difa diem, Dafa ngebayanginnya itu enak. Difa
pasti cantik, Difa pasti anggun, Difa pasti sayang banget sama Dafa, Difa itu nurut
sama omongannya Dafa. Kalo lo nyerocos terus ya gue jadi males ngeladenin elu”,
Dafa berusaha menjelaskan alasanya tak membalasi Difa
“ya gue minta maaf deh, lo emang kudu mbayangin gue itu cantik karena emang
gue cantik tau”, cerocos Difa kePDan
“tuh kan ngomongnya kayak sepur lagi, gue tuh suka elu diem, tetep di samping
gue, nemenin gue, dan satu lagi jadi mata gue”
“siap bossku”, ujar Difa dengan semangat empat limanya.
Belum juga diam lima menit, Difa sudah mulai membuka suaranya. Emang
bawakan dari oroknya kali ya tuh anak gak bisa disuruh diem.
“lo mau janji sama gue?”
“apa”, jawab Dafa ketus
“lo bakal sama gue kan nanti, maksudnya nantii nn ann nanti kaya om Zain dan
tante Maira”, Difa menanyakan dengan malu-malu keong.
“dulu lo kan uda janji jadiin gue cewek lo”, lanjutnya yang semakin sangat melirih
“uda jauh ya omongan lo, uda ngerasa gede? “
“gue cuma mau jawaban bukan pertanyaan”
“dengerin ya Difa yang cantik, gue gak perlu ngomong berkali-kali, yang gue janjiin
ke lo dulu itu emang bener gue ingin kok, tapi bukan sekarang”
Gue masih ngerasa gak pantes buat lo Dif, gue gak mau bikin lo malu dengan kondisi gue
saat ini. Satu-satunya harapan gue saat ini gue cuma pengen ngelihat senyum lo,
kebahagiaan lo dengan mata gue. Gumamnya dalam hati
**
Malam itu, Dafa meninggalkan Difa tanpa pamit. Lokasi tidur cewek terlalu jauh
untuk Dafa hanya sekedar berpamitan.
Maira dan Zain secara mengagetkan menjemput Dafa di lokasi, mereka membawa
kabar gembira dari Dina. Ada salah satu rumah rumah sakit di Singapura yang
menerima pengajuannya. Itu artinya Dafa akan segera melihat. Maira dan Zain tak
henti-hentinya menitikkan air mata. Mereka sampai lupa dengan keberadaan Difa
yang kala itu menjalani liburan dengan Dafa. Mereka juga hanya berpamitan
dengan satu penjaga yang masih terjaga bersama Dafa. Tidak ada yang tau lagi
mengenai kepergian Dafa karena waktu itu Dafa lagi duduk di pos penjaga
menemani pak penjaga ngopi.
Sangking senangnya Dafa sendiri tak sempat meminta mamanya untuk mengabari
Difa di lokasi, yah mereka tidak diperbolehkan membawa gadget saat liburan. Dafa
hanya menuruti mamanya untuk segera bersiap-siap menetapkan kesiapan. Zain
dan Maira dengan cepet menyiapkan perlengkapan dan kebutuhan untuk beberapa
waktu menetap disana. Yah keberangkatan yang diambil Maira sangat mendadak
karena Maira ingin secepatnya sampai disana.
“ma, Difa”, Dafa berusaha mengingatkan mamanya untuk menghubungi Difa
“nanti Difa pasti dihubungi mamanya sayang, tante Dina tadi sudah pulang kok.
Difa nanti gak sendiri, ada tante Dina disampingnya”, Maira berusaha menjelaskan
panjang lebar.
**
“Bu, lihat Dafa gak bu?”
“tidak Dif, coba kamu cari di aula cowok”
Difa sudah muter-muter, ke lokasi pantai, aula cowok, toilet, Difa masih belum
menemukan Dafa. Kemana perginya Dafa, Difa gak punya peta kayak Dora.
Sampai pada akhirnya ada satu guru yang menghampiri Difa.
“Difa, kemari nak kemari”
“iya bu”
“menurut bapak penjaga di depan , Dafa semalam dijemput orang tuanya. Mereka
terlihat terburu-buru gitu”
“emang Dafa kenapa bu? “
“tadi ibu tanya sih katanya Dafa gak terlihat sakit, hanya saja orang tuanya terburu-
buru membawanya. Kamu mau pulang Dif? Mungkin saja kamu mau memastikan
keadaan Dafa. Nanti ibu ijinkan”
Akhirnya Difa pun memutuskan untuk pulang ke rumah. Karena posisinya terburu-
buru juga, Difa pun dibarengkan dengan mobil muatan barang yang harus balik
duluan ke sekolah. Gapapa ya dif
Sesampainya di rumah, Difa hanya disambut oleh mbok Umi. Suasana dalam
keadaan sepi, Maira, Zain dan Dafa tidak ada di rumah. Mbok Umi pun hanya
dipamiti pergi untuk beberapa waktu saja.
“Difaa sayang, kamu uda pulang?”, terdengar suara dari dalam.
Sosok itu mulai mendekat dan menampakkan dirinya dihadapan Difa.
“mamaaa.. “, kaget Difa dan berlari menuju Dina.
Difa bercerita dan menanyakan semuanya ke Dina. Tanpa menunggu lama, Dina
yang mengetahui semuanya dengan terpaksa menceritakan ke anak semata
wayangnya. Difa sangat terkejut mendengarnya bahkan Difa sempat meneteskan air
mata bahagianya.
Dafa bakalan bisa melihat lagi, gue gak sabar nunggu lo daf, gumamnya
“sayang,, lusa kita pindah ke jakarta, kamu juga pindah sekolah disana. Bisnis mama
mengharuskan mama menetap disana. Mama gak mungkin ninggalin kamu disini.
Jadi bersiaplah.”
“mama uda beliin rumah untuk kamu, mbok Umi juga ikut kita kok”
“tapi ma, Daf..... “
Belum juga selesai menyebut nama Dafa, Dina sudah memotongnya.
“Difa gak usah nungguin Dafa”

Anda mungkin juga menyukai