Kepuasan Konsumen
Kepuasan Konsumen
“
di tanah air
Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 5
Daftar Isi
PENGANTAR 6
MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTUR JENDERAL STANDARDISASI DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
1 8
CITA – CITA PEMBANGUNAN PERDAGANGAN
2 16
DIREKTORAT JENDERAL STANDARDISASI DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN:
PILAR – PILAR PENINGKATAN DAYA SAING DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
3 36
PEMBANGUNAN STANDARDISASI:
MEMBANGUN MUTU DAN DAYA SAING
4 44
PEMBANGUNAN PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN:
PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN
5 48
PELAKSANAAN PENGAWASAN BARANG BEREDAR DAN JASA:
PENGENDALIAN EFEKTIF UNTUK KESELAMATAN, KEAMANAN, KENYAMANAN KONSUMEN,
DAN LINGKUNGAN (K3L)
6 54
PEMBANGUNAN METROLOGI LEGAL:
AKURASI UNTUK KEPERCAYAAN
7 62
PENGEMBANGAN MUTU BARANG
MENINGKATKAN MUTU BARANG UNTUK DAYA SAING BERKELANJUTAN
Oleh:
Sekretariat Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen
Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia
6 Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
MENTERI PERDAGANGAN
REPUBLIK INDONESIA
1 Cita - cita
Pembangunan
Perdagangan
Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk lebih dari 230
juta jiwa yang menempati peringkat ke-4 di dunia memiliki cita-cita pembangunan nasional
seperti yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Melalui cita-cita tersebut,
pembangunan nasional diimplementasikan melalui visi serta arah pembangunan jangka
panjang (tahun 2005–2025), yaitu menjadi
Untuk menuju kepada kemandirian, Indonesia harus menjadi Negara yang memiliki serta
mampu berdaya saing. Untuk mencapai hal tersebut, di antara komponen utama arah
pembangunan yang harus dicapai adalah adanya penguatan perekonomian domestik
dengan orientasi dan berdaya saing global dimana pembangunan perdagangan berperan
penting dalam kerangka mewujudkannya.
Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 9
Sesuai dengan arahan pembangunan nasional jangka panjang tahun 2005-2025 yang
tercantum di dalam Undang-undang nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN), untuk menuju kepada kemandirian, Indonesia harus
menjadi Negara yang memiliki serta mampu berdaya saing. Untuk mencapai Negara yang
berdaya saing, di antara komponen utama arah pembangunan yang harus dicapai adalah
adanya penguatan perekonomian domestik dengan orientasi dan berdaya saing global
dimana pembangunan perdagangan berperan penting dalam mewujudkan arah tersebut.
Terkait langsung dengan pembangunan perdagangan, pembangunan jangka panjang
menekankan pada 2 (dua) komponen penting yaitu di bidang perdagangan luar negeri dan
perdagangan dalam negeri. Di bidang perdagangan luar negeri, proses maupun kebijakan
perdagangan harus lebih mendatangkan keuntungkan dan mendukung perekonomian
nasional agar mampu memaksimalkan manfaat sekaligus meminimalkan efek negatif dari
proses integrasi dengan dinamika globalisasi.
Sedangkan di bidang perdagangan dalam negeri proses dan kebijakan perdagangan
diarahkan untuk memperkokoh sistem distribusi nasional yang efisien dan efektif yang
menjamin kepastian berusaha dalam kerangka mewujudkan berkembangnya lembaga
perdagangan yang efektif dalam perlindungan konsumen dan persaingan usaha secara sehat,
terintegrasinya aktivitas perekonomian nasional dan terbangunnya kesadaran penggunaan
produksi dalam negeri, meningkatnya perdagangan antar wilayah/daerah, serta terjaminnya
ketersediaan bahan pokok dan barang strategis lainnya dengan harga yang terjangkau.
Dalam merealisasikan cita-cita jangka panjang Negara Indonesia, RPJPN dijembatani oleh
arahan pembangunan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJMN) ke-2 periode 2010 – 2014. Terkait dengan pembangunan perdagangan, di dalam
RPJMN diatur lebih terperinci mengenai arah kebijakan dan strategi nasional di bidang
perdagangan, yaitu meningkatkan daya saing produk ekspor nonmigas untuk mendorong
peningkatan diversifikasi pasar tujuan ekspor serta peningkatan keberagaman, kualitas, dan
citra produk ekspor.
Untuk mencapai arahan pembangunan perdagangan seperti yang ditentukan melalui RPJMN
tersebut, strategi yang dilakukan adalah melalui: Meningkatkan produk ekspor bernilai
tambah tinggi, terutama untuk produk-produk yang berbasis pada sumber daya alam serta
10 Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
memanfaatkan teknologi tingkat menengah; Mendorong ekspor produk kreatif dan jasa yang
terutama dihasilkan oleh usaha kecil menengah (UKM); Mengupayakan diversifikasi pasar ekspor
agar tidak bergantung pada negara tertentu dan mengupayakan melakukan ekspor pada negara
tujuan akhir dimana produk akan dikonsumsi; Mendorong pemanfaatan berbagai skema preferensi
perdagangan dan kerjasama perdagangan internasional yang lebih menguntungkan kepentingan
nasional; Mendorong pengembangan ekspor wilayah perbatasan yang dapat dimanfaatkan sebagai
pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga; serta Memperkuat
kelembagaan perdagangan luar negeri yang mendorong efektivitas pengembangan ekspor nonmigas.
Penguatan perekonomian domestik dengan orientasi dan berdaya saing global seperti yang ditetapkan
dalam kerangka mencapai arah pembangunan Indonesia mensyaratkan adanya pembangunan
perdagangan dalam negeri yang kokoh. Karenanya, di dalam RPJMN kebijakan pembangunan
perdagangan dalam negeri diarahkan untuk meningkatan penataan sistem distribusi nasional yang
menjamin kelancaran arus barang dan jasa, kepastian usaha, dan daya saing produk domestik.
Untuk mendukung arah kebijakan tersebut, RPJMN menetapkan strategi pembangunan perdagangan
dalam negeri sebagai berikut:
1. Meningkatkan integrasi perdagangan antar dan intrawilayah melalui pengembangan jaringan
distribusi perdagangan, untuk mendorong kelancaran arus barang sehingga ketersediaan barang
dan kestabilan harga dapat terjaga.
2. Meningkatkan iklim usaha perdagangan, melalui persaingan usaha yang sehat dan pengamanan
perdagangan, untuk mendorong pengembangan usaha kecil menengah, peningkatan usaha ritel
tradisional dan modern, bisnis waralaba, termasuk pengembangan pola kerjasama yang saling
menguntungkan antarpelaku usaha.
3. Mendorong terciptanya pengelolaan resiko harga, transparansi harga, pemanfaatan alternatif
pembiayaan, dan efisiensi distribusi melalui peningkatan efektivitas perdagangan berjangka,
sistem resi gudang, dan pasar lelang.
4. Meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dengan memaksimalkan potensi pasar domestik
melalui pemanfaatan daya kreasi bangsa.
5. Memperkuat kelembagaan perdagangan dalam negeri yang mendorong terwujudnya persaingan
usaha yang sehat, efektivitas perlindungan konsumen serta menciptakan perdagangan berjangka,
sistem resi gudang, dan pasar lelang yang efisien.
Strategi pembangunan perdagangan, khususnya pembangunan perdagangan dalam negeri,
diimplementasikan melalui fokus prioritas dan kegiatan prioritas untuk periode lima tahun ke depan.
Adapun fokus dan kegiatan prioritas tersebut adalah:
Peningkatan jaringan distribusi untuk menunjang pengembangan logistik nasional, yang didukung
oleh kegiatan Peningkatan Kelancaran Distribusi Bahan Pokok; Pengembangan Sarana Distribusi
Perdagangan; dan Koordinasi Penataan dan Pengembangan Sistem Logistik Nasional.
Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 11
Penguatan pasar domestik dan efisiensi pasar komoditi, yang didukung oleh kegiatan Pengembangan
Kelembagaan dan Pelaku Usaha Perdagangan; Pemberdayaan Dagang Kecil dan Menengah;
Pengembangan Ekonomi Kreatif; Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri termasuk
kampanye Aku Cinta Indonesia; Pembinaan dan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi;
dan Pembinaan dan Pengawasan Pasar Lelang dan Sistem Resi Gudang.
Peningkatan efektivitas pengawasan dan iklim usaha perdagangan, yang didukung oleh kegiatan
Penegakan Hukum Persaingan Usaha; Pengembangan dan Harmonisasi Kebijakan Persaingan;
Pengembangan Kebijakan dan Pemberdayaan Perlindungan Konsumen; Penguatan Lembaga
Perlindungan Konsumen Nasional; serta Peningkatan Tertib Ukur; Peningkatan Efektivitas
Pengawasan Barang Beredar dan Jasa; dan disertai dengan Pengembangan Mutu Barang.
Kementerian Perdagangan sebagai Penggerak Pertumbuhan dan Daya Saing
Kementerian Perdagangan, sebagai salah satu stakeholders perumus, pelaksana, sekaligus
pengembangan kebijakan perekonomian nasional, memegang peranan kunci dalam mewujudkan
arah pembangunan Negara Indonesia seperti yang dijabarkan dalam RPJPN dan RPJMN.
Dalam kerangka mendukung dan mewujudkan arah pembangunan nasional, terutama di bidang
pembangunan perdagangan, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia menetapkan Visinya,
yaitu:
”Perdagangan Sebagai Sektor Penggerak Pertumbuhan dan Daya Saing Ekonomi serta
Pencipta Kemakmuran Rakyat Yang Berkeadilan”
Lebih lanjut visi ini diwujudkan melalui Misi, yakni:
a. Meningkatkan kinerja ekspor nonmigas secara berkualitas.
b. Menguatkan pasar dalam negeri.
c. Menjaga ketersediaan bahan pokok dan penguatan jaringan distribusi nasional.
Sebagai penjabaran atas Visi dan Misi Kementerian Perdagangan, untuk periode 2010-2014 tujuan
pembangunan perdagangan yang ingin dicapai adalah:
1. Peningkatan akses pasar ekspor dan fasilitasi perdagangan luar negeri
2. Perbaikan iklim usaha perdagangan luar negeri
3. Peningkatan daya saing ekspor
4. Peningkatan peran dan kemampuan diplomasi perdagangan internasional
5. Perbaikan iklim usaha perdagangan dalam negeri
6. Peningkatan kinerja sektor perdagangan dan ekonomi kreatif
7. Peningkatan perlindungan konsumen dan pengamanan pasar dalam negeri
8. Stabilisasi dan penurunan disparitas harga bahan pokok
9. Penciptaan jaringan distribusi yang efisien
12 Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
a. Penciptaan sistem logistik yang efisien untuk menjaga kelancaran distribusi bahan pokok dan
meminimasi disparitas harga antar daerah.
b. Fasilitasi Usaha Mikro Kecil, dan Menengah (UMKM), antara lain melalui: revitalisasi pasar
tradisional, pendidikan dan pelat ihan ekspor bagi UMKM, fasilitasi produk UMKM untuk masuk
dalam distribusi pasar ritel modern, fasilitasi desain, branding dan kemasan, dan promosi.
Pemantapan nilai-nilai baru yang positif dan produktif dalam rangka memantapkan budaya dan
karakter bangsa yang dilakukan melalui:
a. Aktivasi secara intensif gerakan Aku Cinta Indonesia yang akan memacu rasa percaya diri
bangsa untuk berkarya serta meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap produk dalam negeri
dengan mengkonsumsi produk-produk dalam negeri.
b. Pencitraan Indonesia baik ke dalam maupun ke luar negeri.
c. Pengembangan Ekonomi Kreatif yang mendukung penciptaan nilai tambah terhadap produk-
produk dalam negeri dan pengembangan jasa kreatif yang dapat mendukung pertumbuhan
ekonomi Indonesia.
Penataan dan peningkatan peranan kelembagaan perdagangan yang dilakukan melalui penataan
waralaba, kemitraan usaha, distributor, keagenan, ritel, trading house, eksportir, dan lembaga
perlindungan konsumen agar masyarakat dapat terlibat secara luas dalam aktivitas perekonomian
perdagangan.
Berlandaskan Visi, Misi, Tujuan, serta Langkah Strategis tersebut, Kementerian Perdagangan
menetapkan program-program pelaksanaan yang terdiri dari sembilan program utama, yaitu:
(1) Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya Kementerian Perdagangan;
(2) Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur Kementerian Perdagangan; (3) Pengawasan
dan Peningkatan Akuntabilitas Aparatur Negara Kementerian Perdagangan; (4) Penelitian dan
Pengembangan Perdagangan; (5) Pengembangan dan Pengamanan Perdagangan Dalam Negeri;
(6) Peningkatan Perdagangan Luar Negeri; (7) Peningkatan Kerjasama Perdagangan Internasional;
(8) Pengembangan Ekspor; dan (9) Peningkatan Efisiensi Pasar Komoditi.
14 Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Sesuai dengan amanat pembangunan perdagangan yang dijabarkan dalam arah pembangunan
nasional jangka panjang dan jangka menengah, pertumbuhan ekonomi harus diiringi dengan
penguatan perdagangan dalam negeri untuk menjaga kestabilan harga dan ketersediaan
barang domestik serta menciptakan iklim usaha yang sehat.
Untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaan barang domestik, faktor penting yang harus
dipenuhi adalah adanya pengamanan atas keberadaan, keberlangsungan, serta daya saing
dari produk-produk barang dan jasa yang dihasilkan di dalam negeri. Sedangkan untuk
menciptakan iklim usaha yang sehat, diperlukan proses, mekanisme, serta aturan yang
membangun keadilan bagi pelaku usaha dan perlindungan bagi konsumennya.
Mempertimbangkan pentingnya hal di atas, strategi pembangunan perdagangan
mengarahkan peningkatan efektivitas pengawasan dan iklim usaha perdagangan sebagai
fokus prioritas dengan kegiatan prioritas yang diantaranya adalah Pengembangan Kebijakan
dan Pemberdayaan Perlindungan Konsumen, Penguatan Lembaga Perlindungan Konsumen
Nasional, serta Peningkatan Tertib Ukur, dan Peningkatan Efektivitas Pengawasan Barang
Beredar dan Jasa.
Selain itu, Kementerian Perdagangan juga menetapkan program Pengembangan dan
Pengamanan Perdagangan Dalam Negeri sebagai satu dari Sembilan program utamanya yang
dilakukan untuk mendukung pengembangan dan penguatan perdagangan dalam negeri yang
menitikberatkan pada pengembangan sistem distribusi nasional dan penguatan kelembagaan
perdagangan serta pengamanan pasar dalam negeri.
Arah pelaksanaan dari program Pengembangan dan Pengamanan Perdagangan Dalam Negeri
dikembangkan dengan diantaranya adalah:
Pengembangan kebijakan dan pemberdayaan perlindungan konsumen melalui penyusunan
dan penyempurnaan kebijakan di bidang perlindungan konsumen, peningkatan pemberdayaan
perlindungan melalui sosialisasi, pelatihan, forum-forum koordinasi, dan klinik konsumen.
Penguatan lembaga perlindungan konsumen melalui fasilitasi pembentukan BPSK (Badan
Penyelesaian sengketa Konsumen), penguatan LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat), dan fasilitasi BPKN (Badan perlindungan Konsumen Nasional),
pemutakhiran database perlindungan konsumen serta penerapan kewajiban label yang
mengakomodir 103 jenis barang dengan 726 nomor HS baik produk dalam negeri maupun
impor, khususnya produk hasil industri yang berkaitan dengan kesehatan, keselamatan,
keamanan dan lingkungan (K3L), SNI wajib, persyaratan pemenuhan NPIK, dan kewajiban
layanan purna jual.
Peningkatan tertib ukur melalui penyusunan dan penyempurnaan kebijakan terkait
kemetrologian, peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kemetrologian, peningkatan jenis
dan jumlah alat Ukur Takar Timbang dan Perlengkapannya (UTTP) yang dapat dilakukan tera
dan tera ulang, pengawasan terhadap penggunaan dan peredaran UTTP, peredaran Barang
Dalam Keadaan Terbungkus (BDKT), dan penggunaan Satuan Sistem Internasional (SI), serta
peningkatan ketertelusuran standar secara nasional.
Peningkatan efektivitas pengawasan barang beredar dan jasa melalui penyusunan dan
penyempurnaan kebijakan terkait pengawasan barang dan jasa, peningkatan kualitas SDM
pengawasan barang dan jasa, sosialisasi dan publikasi hasil pengawasan, dan peningkatan
kegiatan pengawasan.
Peningkatan tatakelola yang baik melalui peningkatan dukungan manajemen dan dukungan
teknis lainnya dalam kerangka peningkatan pengembangan dan pengamanan perdagangan
dalam negeri.
Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 15
Pilar - Pilar
Peningkatan Daya Saing dan
Perlindungan Konsumen
No consumer protection without market surveillance
No market surveillance without technical regulation
No technical regulations without standards
No standards without measurements
Globalisasi perdagangan dunia yang terjadi saat ini memberikan dampak yang bersifat positif
maupun negatif. Di satu sisi, globalisasi merupakan peluang sekaligus tantangan bagi perkembangan
perdagangan di pasar dalam negeri maupun industri domestik. Dengan tumbuhnya persaingan
usaha yang kian ketat menuntut pelaku usaha untuk selalu meningkatkan daya saingnya, baik dari
segi kualitas produk maupun daya saing harga melalui efisiensi produksi. Positifnya, hal tersebut
mengakibatkan banyaknya pilihan barang kebutuhan yang tersedia bagi konsumen dengan kualitas
dan harga yang bersaing.
Namun di sisi lain dengan maraknya variasi atas barang dan jasa yang beredar, diduga banyak
pula barang dan jasa yang tidak sesuai ketentuan sehingga merugikan konsumen dan menimbulkan
persaingan usaha yang tidak sehat. Hal tersebut dapat saja timbul sebagai akibat persaingan usaha
yang ketat sehingga mendorong para pelaku usaha yang tidak sanggup meningkatkan efisiensi
produksi untuk mengurangi biaya produksi melalui pengurangan kualitas barang dan jasa yang
diberikan.
Selain itu, globalisasi perdagangan juga membawa dampak bagi perkembangan dan keberlangsungan
produk-produk barang maupun jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha serta industri di dalam negeri.
Peningkatan kualitas dan daya saing bagi produk-produk yang dihasilkan di dalam negeri menjadi
mutlak diperlukan jika tidak ingin kalah bersaing dengan derasnya arus barang impor dari luar negeri.
Dari fenomena yang berkembang tersebut, guna mengantisipasi terjadinya persaingan usaha yang
tidak sehat yang berujung pada kerugian bagi konsumen serta dalam upaya menjaga keamanan
dan keberlangsungan perdagangan dalam negeri, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian
Perdagangan menetapkan pencapaian kondisi perdagangan Indonesia di antaranya sebagai berikut:
a. Pentingnya peran standardisasi dan metrologi dalam sektor perdagangan. Melalui penerapan
standar dan metrologi diharapkan dapat memperlancar arus perdagangan antar negara melalui
harmonisasi standar baik domestik maupun internasional dan persyaratan teknis. Harmonisasi
standar dan persyaratan teknis akan membentuk kondisi “One Standard – One Test – Accepted
Everywhere”, sehingga arus perpindahan barang dan jasa dalam perdagangan internasional
menjadi semakin lebih mudah dan mampu meningkatkan kepercayaaan masyarakat internasional
atas produk domestik Indonesia. Hal ini akan meningkatkan daya saing produk-produk Indonesia
di pasar internasional.
b. Sistem hukum di bidang standardisasi dan perlindungan konsumen dan penegakan hukum lahir
dan berkembang secara positif mengikuti kecepatan dinamika perekonomian dalam kerangka
menopang eksistensi usaha, memberikan kepastian usaha, serta memperkuat kredibilitas
kebijakan perekonomian.
18 Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
c. Pasar domestik yang semakin aman dalam menghadapi terbukanya akses pasar ke dalam
negeri dengan adanya sistem jaminan mutu melalui penerapan dan pemberlakuan standar dan
persyaratan teknis yang akan meningkatkan perlindungan konsumen terhadap produk yang
membahayakan keselamatan, kesehatan, keamanan, dan lingkungan (K3L).
d. Sektor standardisasi dan perlindungan konsumen diharapkan mampu memberikan kontribusi
positif atas penciptaan lapangan kerja, lingkungan hidup, kebudayaan, dan keamanan nasional
serta pembentukan norma sosial bangsa.
e. Kapasitas Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) semakin membaik dan memperoleh pengakuan
internasional. Pelaksanaan standardisasi tidak terlepas dari proses penilaian kesesuaian yang
dilaksanakan oleh LPK. Karenanya, kapasitas dan pengakuan dari pihak internasional terhadap
LPK yang ada di Indonesia akan mempengaruhi tercapainya kondisi “One Standard – One Test
– Accepted Everywhere” yang akan meningkatkan efisiensi dalam perekonomian.
Berdasarkan pencapaian kondisi perdagangan yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan
tersebut maka peran dari komponen standardisasi, pemberdayaan konsumen, pengawasan barang
dan jasa, metrologi legal, serta pengembangan mutu barang dalam melindungi konsumen dalam
negeri dan mengamankan perdagangan nasional menjadi semakin penting.
Mekanisme Kerja
Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen
Pengembangan
Kebijakan
Daya Saing Ekspor
Akses
Penguatan pasar ekspor &
fasilitasi ekspor
Kapasitas Lembaga &
SDM
Perlindungan
& Kesadaran
Pengamanan Konsumen
pengelolaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen
ditujukan untuk melindungi konsumen, meningkatkan daya saing produk sekaligus mengamankan
pasar dalam negeri.
Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen mempunyai tugas merumuskan
serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang standardisasi dan perlindungan
konsumen.
Dalam pelaksanakan tugasnya, Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen
menyelenggarakan fungsi, antara lain:
a. Perumusan kebijakan di bidang standardisasi dan perlindungan konsumen;
b. Pelaksanaan kebijakan di bidang standardisasi dan perlindungan konsumen;
c. Penyusunan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang standardisasi dan
perlindungan konsumen;
d. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang standardisasi dan perlindungan konsumen.
Mengacu pada visi Kementerian Perdagangan yang direfleksikan dengan fungsi pembangunan
standardisasi dan perlindungan konsumen, diperlukan dua kondisi dasar yang harus dicapai, yakni
pertama adalah terwujudnya suatu sistem standardisasi dan perlindungan konsumen yang menjadi
acuan dalam pelaksanaan kegiatan standardisasi dan perlindungan konsumen khususnya di bidang
perdagangan. Kedua adalah terlaksananya aktivitas pengamanan pasar dalam negeri melalui
kegiatan-kegiatan pengawasan maupun pemberdayaan konsumen.
Berdasarkan Visi Kementerian Perdagangan dan kondisi dasar di atas, Direktorat Jenderal
Standardisasi dan Perlindungan Konsumen mengembangkan misi untuk periode 2010 - 2014 adalah:
1. Peningkatan daya saing ekspor.
2. Peningkatan pengawasan dan perlindungan konsumen.
Dalam mewujudkan misi Mengembangan Sistem Standardisasi dan Perlindungan Konsumen
diperlukan terciptanya dua kondisi yakni tersedianya kebijakan di bidang standardisasi dan
perlindungan konsumen serta tersedianya kelembagaan dan sumber daya manusia yang akan
menggerakkan kebijakan tersebut. Sedangkan dalam mewujudkan Misi Mengamankan Pasar Dalam
Negeri diperlukan tiga kondisi yakni terselenggaranya pengawasan barang beredar dan jasa, tertib
ukur, dan pemberdayaan konsumen.
20 Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Dari kondisi tersebut, pembangunan standardisasi dan perlindungan konsumen menetapkan tujuan
yang akan dicapai untuk periode 2010-2014 adalah:
1. Diversifikasi Pasar Ekspor.
2. Pengembangan Kebijakan Standardisasi dan Perlindungan Konsumen.
3. Kelembagaan Standardisasi dan Perlindungan Konsumen.
4. Mengembangkan SDM Perlindungan Konsumen.
5. Peningkatan Pengawasan Barang/Jasa dan Kemetrologian.
6. Peningkatan Layanan Perlindungan Konsumen dan Kemetrologian.
Pengembangan Direktorat
Direktorat Standardisasi Mutu Pemberdayaan Konsumen
Perlindungan
Standardisasi
Konsumen
Direktorat
Direktorat Metrologi Pengawasan Barang Beredar dan Jasa
Infrastruktur
Mutu & K3L
Metrologi Pengawasan
Legal Pasar
Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 23
Kerja Bersama
Dalam melaksanakan peran, tugas beserta fungsinya, Direktorat Jenderal Standardisasi dan
Perlindungan Konsumen ditunjang oleh satu unit pendukung dan empat unit pelaksana teknis, yaitu:
I. Sekretariat Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen
Bertugas melaksanakan pelayanan teknis dan administratif kepada seluruh satuan organisasi di
lingkungan Direktorat Jenderal dengan fungsi, antara lain:
• engkoordinasikan, penyusunan rencana, dan program serta anggaran, pemantauan
M
program, pelaksanaan urusan administrasi kerja sama evaluasi serta pelaporan di bidang
standardisasi dan perlindungan konsumen;
• engkoordinasikan dan menyiapkan telaahan hukum, penyusunan rancangan peraturan
M
perundang-undangan, serta evaluasi dan pelaporan di bidang standardisasi dan perlindungan
konsumen;
• Melaksanakan urusan administrasi keuangan direktorat jenderal.
2. Direktorat Standardisasi
Bertugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan pedoman, norma,
standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan
kebijakan di bidang standardisasi barang dan jasa sektor perdagangan dengan fungsi, antara
lain:
• enyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penyusunan dan penerapan
P
standar, kelembagaan dan informasi standar serta kerja sama standardisasi sektor
perdagangan;
24 Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
• enyiapan penyusunan pedoman, standar, norma, prosedur, kriteria, serta pemberian bimbingan
P
teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan di bidang penyusunan dan penerapan standar,
kelembagaan dan informasi standar serta kerja sama standardisasi sektor perdagangan.
3. Direktorat Pemberdayaan Konsumen
Bertugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan pedoman, norma, standar,
prosedur, dan kriteria serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan di bidang
pemberdayaan konsumen dengan fungsi, antara lain:
• enyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kerja sama, informasi dan publikasi,
P
analisa penyelenggaraan perlindungan konsumen, bimbingan konsumen dan pelaku usaha, fasilitasi
kelembagaan pemberdayaan konsumen;
• enyiapan penyusunan pedoman, standar, norma, prosedur, kriteria, serta pemberian bimbingan
P
teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan di bidang kerja sama, informasi dan publikasi, analisa
penyelenggaraan perlindungan konsumen, bimbingan konsumen dan pelaku usaha, fasilitasi
kelembagaan pemberdayaan konsumen.
4. Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa
Bertugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan pedoman, norma, standar,
prosedur, dan kriteria serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan di bidang
pengawasan barang beredar dan jasa dengan fungsi, antara lain:
• enyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan produk pertambangan dan
P
aneka industri, pengawasan produk pertanian, kimia dan kehutanan, pengawasan jasa, bimbingan
dan operasional penyidik pegawai negeri sipil, dan kerja sama pengawasan barang beredar dan
jasa;
• enyiapan penyusunan pedoman, standar, norma, prosedur, kriteria, serta pemberian bimbingan
P
teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan produk pertambangan dan aneka
industri, pengawasan produk pertanian, kimia dan kehutanan, pengawasan jasa, bimbingan dan
operasional penyidik pegawai negeri sipil, dan kerja sama pengawasan barang beredar dan jasa.
5. Direktorat Metrologi
Bertugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan pedoman, norma, standar,
prosedur, dan kriteria serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan di bidang
metrologi legal dengan fungsi, antara lain:
• Penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan peningkatan di bidang sarana, kerja sama,
kelembagaan, penilaian kelembagaan, alat ukur, timbang, takar, standar ukuran, sumber daya
manusia kemetrologian, dan pengawasan sektor metrologi legal;
• Penyiapan penyusunan pedoman, standar, norma, prosedur, kriteria, serta pemberian bimbingan
teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan di bidang sarana, kerja sama, kelembagaan, penilaian
kelembagaan, alat ukur, timbang, takar, standar ukuran, sumber daya manusia kemetrologian, dan
pengawasan sektor metrologi legal.
6. Direktorat Pengembangan Mutu Barang
Bertugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan penyusunan pedoman, norma, standar,
prosedur, dan kriteria serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan di bidang
pengembangan mutu barang dengan fungsi, antara lain:
• Penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan peningkatan di bidang verifikasi bimbingan
dan kerjasama mutu barang, serta pengembangan sumber daya manusia fungsional penguji mutu
barang;
• Penyiapan penyusunan pedoman, standar, norma, prosedur, kriteria, serta pemberian bimbingan
teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan di bidang verifikasi bimbingan dan kerjasama mutu
barang, serta pengembangan sumber daya manusia fungsional penguji mutu barang.
Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 25
Struktur Organisasi
Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen
Kementerian Perdagangan
DIREKTORAT JENDERAL
STANDARDISASI DAN
PERLINDUNGAN KONSUMEN
SEKRETARIAT
DIREKTORAT JENDERAL
Dalam rangka penguatan Lembaga Perlindungan Konsumen di Indonesia, Direktorat Jenderal Standardisasi dan
Perlindungan Konsumen diamanatkan untuk melakukan pembinaan terhadap administrasi penyelenggaran Badan
Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk
membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen yang berfungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada
pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.
Dukungan terhadap BPKN tersebut diberikan melalui pembinaan dukungan administrasi dan pelaksanaan tugas teknis
lainnya yang diselenggarakan oleh Sekretariat Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen kepada
Sekretariat BPKN. Sedangkan dalam pengambilan kebijakan dan pelaksanaan tugasnya, BPKN merupakan institusi
independen yang bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden.
26 Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Program Prioritas
Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen
Dalam menetapkan arah kebijakan yang kelak akan dilaksanakan melalui program-program
prioritasnya, Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen mengacu pada
3 (tiga) Pilar Utama Kebijakan Kementerian Perdagangan, yaitu Stabilisasi dan Penguatan
Pasar Dalam Negeri, Ekspor dan Kerjasama Internasional, serta Reformasi Birokrasi dan
Good Governance yang disertai dengan 3 (tiga) semangat kebijakan, yaitu Semangat Hilirisasi,
Semangat Substitusi Impor, serta Semangat Perlindungan Konsumen.
Berdasarkan landasan dan semangat kebijakan Kementerian Perdagangan tersebut, Direktorat
Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen menetapkan 5 (lima) Pilar Kebijakan
dalam kerangka pembangunan Standardisasi dan Perlindungan Konsumen di Indonesia.
5 Pilar Kebijakan
Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen
PASAR EKSPOR/
MITRA DAGANG
5. Pengembangan
Mutu Barang
Ekspor
Impor
2. Peningkatan
4. Peningkatan Pengawasan Barang 3. Gerakan
Tertib Ukur Beredar Konsumen Cerdas
PASAR DOMESTIK
1. Regulasi Standar
& Perlindungan
Konsumen
Secara garis besar, program prioritas serta keterkaitan antar program dari Direktorat Jenderal
Standardisasi dan Perlindungan Konsumen dapat digambarkan melalui penjelasan berikut:
I. Regulasi Teknis Standardisasi dan Perlindungan Konsumen
Merupakan program payung dari Perumusan dan Penerapan Regulasi Teknis yang ‘Pro
Konsumen’. Tujuan dari adanya program ini adalah dalam rangka memberikan perlindungan
kepada konsumen terhadap produk dalam negeri maupun produk impor yang beredar di pasar
melalui aspek K3L, memberikan kepastian hukum kepada produsen dalam menjalankan usaha,
serta menyediakan data dan informasi tentang hasil uji produk, terutama yang merupakan
concern nasional (hot issues).
Alur kerja dari program Perumusan dan Penerapan Regulasi Teknis yang ‘Pro Konsumen’
adalah teridentifikasinya materi-materi kebutuhan guna penyusunan & penerapan regulasi yang
dilanjutkan dengan proses penyusunan regulasi teknis yang disertai dengan pembentukan Tim
Terpadu Penerapan Regulasi Teknis.
Adapun hasil yang dicapai dari pelaksanaan program ini adalah tersusunnya draft peraturan
teknis serta terhimpunnya data dan informasi mengenai hasil uji produk.
Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 29
II. Trade Support Programme (TSP) 2 dan Information Management System (IMS).
Program ini bertujuan untuk memfasilitasi integrasi produk ekspor Indonesia ke pasar internasional
terutama Uni Eropa, meningkatkan kapasitas infrastruktur mutu ekspor (EQI) guna mendukung
akses produk Indonesia ke pasar internasional, serta meningkatkan kesesuaian produk ekspor
Indonesia dengan standar internasional.
Pelaksanaan Program TSP 2 melibatkan pemangku amanah standardisasi dan perlindungan
konsumen di Indonesia, yaitu Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian,
Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Standardisasi Nasional
(BSN) - Komite Akreditasi Nasional (KAN), dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM).
Melalui Annual Programme Estimate (APE) yang merupakan garis besar kegiatan yang dilakukan
sepanjang tahun 2012 di tiap Kementerian atau Badan, dalam kerangka pelaksanaan TSP 2
Kementerian Perdagangan memiliki agenda kerja yaitu Membangunan Information Management
System (IMS) on Standards and Technical Regulations, Training on International Standards and
Export Destination Countries Technical Regulations, serta mengadakan peralatan pengujian
untuk meningkatkan kapasitas Pengembangan Mutu Barang menjadi reference lab yang diakui
di European Union (EU).
b. Penguatan 73 BPSK melalui pelatihan kepada anggota BPSK dan sekretariat BPSK baik
untuk pemula maupun lanjutan; Fasilitasi bagi anggota dari 3 BPSK pemenang penghargaan
untuk melakukan pembelajaran ke luar negeri (India, Hongkong, dan Malaysia); Bantuan
biaya operasional penanganan kasus kepada 15 BPSK yang menerima penghargaan
BPSK terbaik; Bantuan sarana operasional (komputer, printer, fillling kabinet, meja sidang,
kursi dan papan nama) kepada 73 BPSK, dan Penyelenggaraan Musyawarah Nasional
BPSK.
c. Fasilitasi kepada LPKSM melalui Aktivasi sosialisasi atau forum komunikasi LPKSM.
Disamping kegiatan prioritas, dalam rangka membangun perlindungan konsumen yang disertai
pemberdayaan secara efektif, Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen
melalui Direktorat Pemberdayaan Konsumen juga merancang adanya kegiatan inisiatif, yaitu:
1. Kegiatan Edukasi dengan Membangun Jaringan Konsumen yang Lebih Luas melalui
Kerjasama dengan Ormas (PP Muhamadiyah, PP Aisyiah, NU, Muslimah NU, Anshor, PPGI,
dll) yang disertai dengan Penyusunan dan perbanyakan Modul Edukasi untuk Dai dan aktivis
Ormas.
2. Penyelenggaraan Hari Konsumen Nasional dengan sub-kegiatan di antaranya berupa Gelar
aktivasi dan Layanan Konsumen oleh BPSK, LPKSM, Penggiat PK, Instansi/Lembaga
terkait, Seminar Perlindungan Konsumen, Lomba foto, lomba menulis konsumen muda,
lomba mewarnai konsumen cilik, Pemberian Penghargaan Penggiat PK, Wartawan Peduli
Konsumen, Primaniaga.
3. Pengembangan Kerjasama Kelembagaan Asean Comittee On Consumer Protection (ACCP)
dengan sub-kegiatan berupa Operasionalisasi INARAPEX (Indonesia Rapid Alert System and
Information Exchange), Consumer Complaint Online, dan Workshop WG -ASEAN RAPEX.
Rencana Aksi terhadap Deliverables adalah kegiatan-kegiatan utama yang menjadi target pencapaian
serta penyelesaian pada periode yang ditetapkan berdasarkan acuan Program Prioritas. Kegiatan-
kegiatan utama Direktorat Standardisasi dan Perlindungan Konsumen untuk periode tahun 2013,
secara umum di antaranya adalah:
• Mendukung Finalisasi Regulasi Teknis Untuk Mainan Anak, Elektronik dan Pakaian Jadi
serta Produk Tertentu Lainnya di Bidang Standardisasi dan Perlindungan Konsumen
3 Pembangunan Standardisasi
Secara global, perkembangan standardisasi di dunia terdiri atas empat tahapan penting yang
berkaitan dengan isu:
• Manajemen mutu dan kualitas, seperti ISO 9001, Good Agricultural Practices, serta Good
Manufacturing Practices. Standar ini umumnya diterapkan dan menjadi persyaratan antara
Business to Business;
• Manajemen lingkungan (ISO 14001) yang lebih terkait dengan persyaratan Business to Consumer;
• Manajemen sosial dan tenaga kerja (SA 8000 dan Fairtrade) yang benyak terkait dengan
persyaratan Business to Consumer maupun Business to Producer;
• Manajemen sumber daya alam (Forest Stewardship Council/ FSC dan Carbon Labelling).
38 Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Environmental Issues
(ISO 14001)
Indonesia sebagai negara yang ingin terus meningkatkan ekspor ke negara maju seperti USA,
Jepang dan Uni Eropa perlu secara dinamis mendorong pelaku usahanya untuk menerapkan
standar yang diberlakukan di negara tujuan. Penerapan standar sebagai fasilitasi perdagangan dunia
meningkat secara signifikan sejak era 1990-an. Gambar berikut menunjukan perkembangan standar
dan regulasi teknis dalam memenuhi persyaratan Business to Business, Business to Consumer dan
akhirnya berkembang menjadi Business to Society.
Selain standar yang tertuang dalam regulasi teknis, terdapat private standard yang dipersyaratkan
oleh sektor swasta dimana pemenuhannya dilakukan secara sukarela (voluntary). Direktorat
Standardisasi bertujuan meningkatkan kesadaran dunia usaha untuk menerapkan sistem sertifikasi
sukarela tersebut. Hal ini dimaksudkan dapat meningkatkan akses pasar produk Indonesia di negara
tujuan ekspor dengan memanfaatkan niche market serta mendapatkan harga yang lebih tinggi
dari harga normal (premium price). Beberapa macam bentuk sertifikasi sukarela adalah fair trade,
organic, carbon foot print dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk
tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan
memperhatikan syarat-syarat berupa keselamatan, keamanan, kesehatan lingkungan hidup,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman, serta berdasarkan perkembangan
masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah standar yang ditetapkan
oleh Badan Standar Nasional (BSN) dan berlaku secara nasional.
Penerapan SNI pada dasarnya adalah bersifat sukarela, artinya kegiatan dan produk yang tidak
memenuhi ketentuan SNI tidak dilarang untuk diperdagangkan. Dengan demikian, untuk menjamin
Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 39
keberterimaan dan pemanfaatan SNI secara luas, penerapan norma keterbukaan bagi semua
pemangku kepentingan, transparansi dan tidak memihak, serta selaras dengan perkembangan
standar internasional merupakan faktor yang sangat penting.
Namun, guna menjalankan kepentingan Negara dalam melindungi kepentingan umum, keamanan,
perkembangan ekonomi nasional, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup, pemerintah dapat
memberlakukan SNI tertentu atas produk-produk tertentu secara wajib.
Pemberlakuan SNI wajib dilakukan melalui penerbitan regulasi teknis oleh instansi pemerintah yang
memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan atas kegiatan dan peredaran produk. Dalam hal ini,
kegiatan dan produk yang tidak memenuhi ketentuan SNI menjadi terlarang untuk diperdagangkan.
Ketentuan tersebut berlaku secara universal baik kepada produk yang diproduksi di dalam negeri
maupun produk impor yang masuk ke dalam pasar domestik.
Meski demikian, pemberlakuan SNI wajib tetap dijalankan berdasarkan prinsip kehati-hatian dalam
rangka menghindari sejumlah dampak seperti adanya hambatan dalam persaingan usaha yang
sehat, hambatan untuk melakukan inovasi, maupun menghambat perkembangan Usaha Kecil
Menengah (UKM).
Aspek terbaik yang dapat diterima semua pihak adalah mendorong penerapan SNI wajib atas
kegiatan atau produk yang memiliki tingkat risiko yang cukup tinggi terutama yang menyangkut
aspek Keselamatan, Keamanan, Kesehatan, dan Lingkungan (K3L), sehingga pengaturan kegiatan
pengawasan dan peredaran produk mutlak diperlukan.
Di Indonesia, sepanjang periode tahun 2005 hingga 2011 pemberlakuan standar wajib mengalami
peningkatan yang cukup pesat. Sampai dengan tanggal 10 Mei 2011 tercatat 83 Standar Nasional
Indonesia (SNI) yang telah diberlakukan standar wajib. Dengan demikian produk-produk yang diatur
dalam SNI tersebut harus memenuhi persyaratan teknis yang dipersyaratkan apabila diedarkan di
pasar domestik. Kondisi tersebut berlaku untuk seluruh produk baik produk yang diproduksi di dalam
negeri maupun produk eskpor.
Pemberlakuan SNI wajib perlu didukung oleh pengawasan pasar, baik pengawasan pra-pasar untuk
menetapkan kegiatan atau produk yang telah memenuhi ketentuan SNI wajib tersebut maupun
pengawasan pasca-pasar untuk mengawasi dan mengkoreksi kegiatan atau produk yang belum
memenuhi ketentuan SNI yang telah diberlakukan wajib.
40 Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Apabila fungsi penilaian kesesuaian terhadap SNI yang bersifat sukarela merupakan pengakuan,
maka bagi SNI yang bersifat wajib penilaian kesesuaian merupakan salah satu persyaratan yang
harus dipenuhi oleh semua pihak yang terkait. Dengan demikian penilaian kesesuaian berfungsi
sebagai bagian dari pengawasan pra-pasar yang dilakukan oleh regulator.
Non tariff barrier yang populer saat ini adalah penerapan regulasi teknis. Namun demikian, penerapan
regulasi teknis tersebut harus sesuai dengan perjanjian yang telah diatur oleh organisasi perdagangan
dunia (WTO) yang tertuang dalam Technical Barrier to Trade (TBT) Agreement. Perkembangan
penyusunan regulasi teknis di Indonesia saat ini masih mengacu pada penggunaan Standar
Nasional Indonesia (SNI) yang diwajibkan sementara pengertian dari standar adalah sukarela dan
yang wajib adalah peraturannya. Oleh karena itu beberapa negara hanya memberlakukan beberapa
persyaratan tertentu terkait dengan K3L yang harus dipenuhi pelaku usaha, dan bukan keseluruhan
standar.
Untuk mengantisipasi semakin meningkatnya peredaran produk yang kurang terjamin aspek
Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Lingkungan Hidup (K3L) di pasar serta masih belum
optimalnya penggunaan SNI sebagai acuan dalam penyusunan regulasi teknis, Direktorat
Standardisasi merencanakan melakukan penyusunan regulasi teknis berbasis sebagian parameter
SNI atau persyaratan teknis lainnya untuk menjamin terwujudnya perlindungan konsumen terhadap
barang non-standar.
Saat ini perdagangan sektor jasa mengalami peningkatan yang terusmenerus dan signifikan. Oleh
karena itu standardisasi jasa merupakan hal penting untuk dapat diterapkan secara benar sehingga
perlindungan konsumen juga tetap dapat diwujudkan.
Penilaian kesesuaian akan bergantung dari kapasitas Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) yang
terdiri dari Lembaga Sertifikasi, Laboratorium, dan Lembaga Inspeksi. Kapasitas LPK tidak hanya
dilihat dari segi ketersediaan jumlah yang cukup saja namun turut mempertimbangkan aspek
kemampuan dalam melaksanakan penilaian kesesuaian itu sendiri. Sehingga kapasitas sumber
daya manusia yang ada juga memiliki peranan yang vital.
Tahun 2007 telah diterbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 14/M-DAG/PER/3/2007 tentang
Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib
Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan. Dalam Permendag tersebut mulai diberlakukan
aturan mengenai pengawasan pra-pasar dan di pasar pemberlakuan SNI Wajib yang mana salah
satu poinnya mewajibkan LPK yang mengeluarkan sertifikat kesesuaian terhadap barang yang
diberlakukan SNI Wajib untuk didaftarkan pada Pusat Standardisasi Kementerian Perdagangan
yang kini bertransformasi menjadi Direktorat Standardisasi.
Setelah diberlakukannya Permendag tersebut, proses pendaftaran terhadap LPK yang mengeluarkan
SPPT SNI yang telah diberlakukan wajib dimulai pada tahun 2007 dengan jumlah LPK terdaftar
sebanyak 12 lembaga. Seiring dengan peningkatan pemberlakuan SNI Wajib yang diberlakukan oleh
kementerian teknis, jumlah LPK terdaftar turut mengalami peningkatan hingga mencapai 19 lembaga
pada tahun 2009.
Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 41
Partispasi Direktorat Standardisasi dalam Trade Expo Indonesia (TEI), 17 - 21 Oktober 2012
Dari segi ruang lingkupnya, LPK yang terdaftar di Direktorat Standardisasi telah mencakup seluruh
produk SNI yang telah diberlakukan wajib. Dari segi luasan ruang lingkup, Lembaga Sertifikasi
Produk Pusat Standardisasi Kementerian Perindustrian (LSPro – Pustand Depperin) merupakan
LPK dengan ruang lingkup terbesar yang mencakup 43 produk SNI wajib. Sementara itu, Lembaga
Sertifikasi Produk Balai Riset dan Standardisasi Industri Bandar Lampung (LSPro Lampung) dan
Lembaga Sertifikasi Produk Agro-Based Industry Product Certification Services (LSPro ABI-Pro)
merupakan LPK dengan ruang lingkup terkecil yang keduanya hanya melayani sertifikasi produk
tepung terigu sebagai bahan makanan.
Liberalisasi ekonomi membuat perdagangan dunia semakin terbuka. Indonesia sebagai anggota
masyarakat internasional tidak dapat menghindar dari hal tersebut, dan tidak dapat mengisolasi
ekonomi dalam negeri dari dunia luar hanya karena ingin menyelamatkan pasar domestik. Oleh
karena itu produk Indonesia harus kompetitif sehingga dapat turut bermain dalam percaturan
perdagangan dunia. Free Trade Area (FTA) memberikan fasilitas bahwa arus barang dua arah akan
bebas/ sedikit hambatan dan bebas tarif atau lebih rendah dibandingkan tanpa FTA.
Meskipun demikian, terbentuknya Free Trade Area (FTA) juga memberikan tantangan tersendiri bagi
negara yang bergabung. Tantangan tersebut dapat memberikan dampak negatif maupun positif.
Dengan bergabung dalam FTA, diharapkan kita dapat memperoleh manfaat seperti terfasilitasinya
perdagangan, akses pasar yang lebih luas, dan meningkatnya daya saing produk nasional dalam
perdagangan internasional.
Indonesia membentuk beberapa FTA antara lain AFTA, ASEAN - China FTA (ACFTA), Australia New
Zealand FTA (AANZFTA) dan lain-lain. Untuk itu FTA tersebut harus dapat dimanfaatkan seoptimal
mungkin untuk memfasilitasi perdagangan sehingga dapat meningkatkan akses pasar.
Fasilitasi perdagangan antara lain dapat diwujudkan melalui pembentukan Mutual Recognition
Arrangement (MRA) kerjasama teknis untuk TBT. Melalui kesepakatan ini Negara Negara yang
membentuk FTA diharapkan dapat mengurangi terjadinya kasus penolakan barang ekspor karena
non-compliance. Melalui kesepakatan ini diharapkan dapat tercipta saling keberterimaan sertifikat
dan hasil uji antar lembaga penilaian kesesuaian. Dengan demikian sertifikat produk maupun hasil
uji dapat diterima secara otomatis tanpa dilakukan pengujian ulang.
42 Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Di tingkat ASEAN, dengan dibentuknya ASEAN Free Trade Area (AFTA) mendorong aktivitas
perdagangan antara Indonesia dengan mitra ASEAN menjadi semakin vital. Pemerintah Indonesia
turut menyepakati pengembangan perdagangan atas 12 (dua belas) sektor prioritas yang meliputi
(1) Electric and Electronic Equipment, (2) Wood Based Product, (3) Automotives, (4) Rubber
Based Product, (5) Textiles and Apparels, (6) Agro Based Products, (7) Fisheries, (8) e-ASEAN, (9)
Healthcare, (10) Air Travel, (11) Tourism dan (12) Logistics. Pengintegrasian 12 (dua belas) sektor
prioritas tersebut, merupakan bagian dari skenario besar ASEAN guna membentuk pasar tunggal
ASEAN, yaitu ASEAN Economic Community (AEC) yang ditargetkan terlaksana pada tahun 2020
secara menyeluruh dan 2015 untuk negara-negara utama termasuk Indonesia.
Pengembangan 12 sektor prioritas tersebut tidak terlepas dari kebutuhan akan adanya standar yang
sama yang dipergunakan oleh seluruh pihak. Proses penyeragaman standar tersebut kemudian
dikenal sebagai proses harmonisasi standar, dimana negara-negara anggota ASEAN menyesuaikan
standar domestiknya dengan standar internasional yang berlaku. Dengan harmonisasi standar
diharapkan dapat memperlancar arus perdagangan antar negara dikarenakan adanya persepsi yang
sama mengenai penilaian terhadap standar barang yang akan diperdagangkan.
Dalam menjawab tantangan di bidang standardisasi tersebut, tahun 1983 ASEAN membentuk
ASEAN Consultative Committee on Standards & Quality (ACCSQ) sebagai forum ASEAN yang
membahas permasalahan MSTQ (Measurement, Standards, Testing and Quality). ACCSQ bertujuan
untuk memfasilitasi dan meng-eliminasi hambatan perdagangan terkait dengan standar dan penilaian
kesesuaian, dimana keanggotaannya diwakili oleh National Standards Body (NSBs) dari masing-
masing negara anggota ASEAN.
ACCSQ membentuk 12 (dua belas) kelompok kerja yang terdiri dari Working Group on Standards
and Mutual Recognition Arrangements (WG1), Working Group on Accreditation and Conformity
Assessment (WG2 –),Working Group on Legal Metrology (WG 3), Joint Sectoral Committee for
ASEAN Sectoral MRA for Electrical and Electronic Equipment (JSC EE MRA), ASEAN Cosmetic
Committee (ACC), Pharmaceutical Product Working Group (PPWG), Prepared Foodstuff Product
Working Group (PFPWG), Automotive Product Working Group (APWG), Traditional Medicines and
Health Supplements Product Working Group (TMHSPWG), Medical Device Product Working Group
(MDPWG), Wood-Based Product Working Group (WBPWG), dan Rubber-Based Product Working
Group (RBPWG).
Kedua belas kelompok kerja tersebut bertugas untuk membahas proses harmonisasi standar
antar negara ASEAN sehingga dapat terbentuk satu standar tunggal ASEAN yang selaras dengan
ketentuan TBT dan SPS WTO. Dengan adanya standar tunggal ASEAN yang ditandai dengan
ASEAN Mark diharapkan dapat membantu terwujudnya integrasi pasar bersama ASEAN melalui
adanya saling keberterimaan terhadap barang memenuhi standar yang telah diharmonisasikan.
Sampai sejauh ini telah dicapai berberapa kesepakatan penting mengenai harmonisasi standar pada
forum ACCSQ. Kesepakatan-kesepakatan tersebut meliputi:
1. the ASEAN Framework Agreement on Mutual Recognition Arrangements (MRAs) pada bulan
Desember 1998 sebagai payung bagi perintisan saling pengakuan/MRA sektoral.
2. the ASEAN Sectoral MRA Agreement on Electrical and Electronic Equipment pada 5 April 2002
sebagai payung bagi perintisan saling pengakuan/MRA sektoral dibidang peralatan elektronik
dan kelistrikan serta pembentukan JSC EE MRA utk pengawasan pelaksanaan ASEAN EE MRA.
3. the ASEAN Harmonized Cosmetic Regulatory Scheme pada 2 September 2003 sebagai payung
bagi perintisan saling pengakuan/MRA sektoral dibidang kosmetik serta pembentukan ACC
untuk pengawasan pelaksanaan ACHRS.
Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 43
4. the ASEAN Agreement on Harmonized Electrical and Electronic Equipment Equipment Regulatory
Regime (AHEEERR) pada 9 Desember 2005 sebagai payung bagi harmonisasi regulasi teknis
dibidang peralatan elektronik dan kelistrikan serta pembentukan JSC EEE utk pengawasan
pelaksanaan ASEAN EEE RR.
5. AHEEER tersebut akan diberlakukan efektif pada tanggal 1 Januari 2011 saat ini telah disampaikan
ratifikasi (AHEEER) ke Presiden untuk ditandatangani.
Standardisasi Ke Depan
Tahun 2012, Direktorat Standardisasi akan mendorong para pelaku usaha untuk memanfaatkan
sistem sertifikasi sukarela seperti fair trade. Sertifikat dan label fair trade dapat memberikan
keuntungan yang lebih kepada petani karena produk fair trade dihargai lebih tinggi daripada produk
yang tidak berlabel fair trade dimana sebagian keuntungan harus diberikan kepada petani.
Sebagai langkah awal, Direktorat Standardisasi akan memfokuskan pemanfaatan sistem sertifikasi
fair trade terhadap produk Kakao dan turunannya. Kegiatan ini dapat dituangkan ke dalam sosialisasi
kepada para pelaku usaha, pemerintah daerah, petani maupun perusahaan perkebunan. Kegiatan
pendukung lainnya juga akan dilakukan melalui saling keberterimaan sertifikat produk dan hasil uji,
sehingga sertifikat dan hasil uji yang diterbitkan Lembaga Penilaian Kesesuaian Indonesia dapat
diterima oleh Negara tujuan impor tanpa pengujian yang berulang.
44 Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
4 Pembangunan
Perlindungan Konsumen
Pemberdayaan dan
Perlindungan
Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 45
5 Pengawasan
Barang Beredar dan Jasa
PENGENDALIAN EFEKTIF UNTUK
KESELAMATAN, KEAMANAN,
KENYAMANAN KONSUMEN DAN
LINGKUNGAN (K3L)
Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 49
dari pelaku usaha harus sesuai dengan yang diperjanjikan serta tersedianya suku cadang dan/
atau fasilitas purna jual/ perbaikan.
Selain itu, untuk pengawasan terhadap usaha jasa tertentu perlu dilakukan pemeriksaan
kompetensi profesi yang dapat diukur dengan sertifikat standard kompetensi kerja. Hal tersebut
dilakukan untuk menjamin kualitas jasa yang diterima oleh konsumen sesuai dengan harapan
konsumen serta aman dan tidak merugikan konsumen.
Dalam melaksanakan pengawasan terhadap barang dan jasa diterapkan beberapa mekanisme,
yaitu:
• Pengawasan berkala
Pengawasan ini dilakukan secara berkala setiap tahun untuk memonitor barang dan jasa
yang beredar di pasar serta untuk menjamin bahwa konsumen akan mendapatkan barang
dan jasa yang sesuai dengan standar atau ketentuan lainnya.
• Pengawasan khusus
Pengawasan khusus dilakukan sebagai tindak lanjut dari pengaduan konsumen dan/atau
sebagai tindak lanjut dari pengawasan berkala apabila pada pengawasan berkala tersebut
ditemukan indikasi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
• Crash program pengawasan
Pengawasan ini dilakukan sebagai tindak lanjut dari indikasi adanya pelanggaran ataupun
sebagai tindak lanjut dari pengaduan konsumen. Pengawasan ini dilakukan secara
berkoordinasi dengan instansi terkait lainnya serta dengan mengikut sertakan wartawan dari
media massa. pengawasan ini juga berguna untuk memberikan informasi kepada konsumen
mengenai barang dan jasa yang dapat merugikan konsumen karena tidak sesuai dengan
ketentuan, peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pelatihan Petugas Pengawas Barang dan Jasa (PPBJ) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Perlindungan Konsumen (PPNS-PK)
Pengawasan yang efektif akan membutuhkan sumber daya manusia yang kompeten di bidang
pengawasan. Untuk dapat memenuhi kebutuhan sumber daya pengawasan, maka dilakukan
pelatihan Petugas Pengawas Barang dan Jasa (PPBJ) dan pelatihan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Perlindungan Konsumen (PPNS-PK).
52 Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Pelatihan PPBJ dan PPNS-PK ini merupakan kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka
pengembangan sumber daya yang dibutuhkan dalam pengawasan yang kemudian dilakukan
bimbingan teknis secara berkala setiap tahunnya. Melalui kegiatan pelatihan ini, diharapkan
kegiatan pengawasan barang dan jasa akan menjadi efektif dan efisien karena didukung oleh
PPBJ dan PPNS-PK yang kompeten di bidang pengawasan barang dan jasa.
Petunjuk teknis pengawasan barang dan jasa merupakan salah satu pedoman bagi PPBJ, PPNS-
PK, dan pegawai atau pejabat yang bertugas pada unit yang membidangi perdagangan dalam
negeri yang ditugaskan oleh atasannya dalam melaksanakan kegiatan pengawasan. Dengan
adanya petunjuk teknis, maka pelaksanaan kegiatan pengawasan dalam rangka perlindungan
terhadap konsumen akan lebih terarah dan terpadu serta akan memudahkan PPBJ dan PPNS-
PK dalam melaksanakan kegiatan pengawasan sehingga diharapkan akan mencapai hasil yang
maksimal dalam rangka perlindungan terhadap konsumen.
AKURASI
UNTUK KEPERCAYAAN
Metrologi adalah kegiatan yang mencakup semua aktivitas yang diperlukan untuk dapat
melakukan pengukuran yang benar, tertelusur dan diakui kebenarannya dalam tingkat
nasional, regional maupun internasional.
Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 55
Dalam perkembangannya, ketika pengukuran diperlukan guna mendukung industri dalam memperoleh
keberterimaan produk mereka di pasar global dan untuk melindungi kepentingan masyarakat serta
pelaku usaha, Metrologi berkembang menjadi tiga kategori, yaitu Metrologi Industri, Metrologi Legal,
dan Metrologi Ilmiah.
Untuk Metrologi Legal, hal ini mencakup semua kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan
persyaratan legal mengenai pengukuran, satuan pengukuran, alat ukur dan metode pengukuran.
Kegiatan ini dilakukan oleh atau atas nama otoritas pemerintah untuk menjamin tingkat kredibilitas
hasil pengukuran yang layak pada area yang diwajibkan oleh pemerintah. Metrologi Legal bukanlah
sebuah disiplin di dalam Metrologi, melainkan aplikasi ilmu kemetrologian untuk memperoleh
ketertelusuran dan acuan yang tepat dan dapat berlaku untuk setiap besaran yang tercakup dalam
kegiatan kemetrologian.
Metrologi Legal ditujukan untuk memastikan kebenaran pengukuran dalam kegiatan-kegiatan yang
terkait dengan keadilan transaksi, kesehatan masyarakat, perlindungan hukum, dan keselamatan.
Karenanya Metrologi Legal tidak hanya berlaku bagi pelaku perdagangan, melainkan juga ditujukan
untuk perlindungan setiap warga negara dan masyarakat secara keseluruhan, misalnya penegakan
hukum, kesehatan, keselamatan dan perlindungan lingkungan hidup.
Metrologi Legal umumnya mencakup pengaturan berkaitan dengan satuan pengukuran, hasil
pengukuran (misalnya barang dalam keadaan terbungkus) dan terhadap alat ukur. Pengaturan
tersebut meliputi kewajiban hukum berkaitan dengan hasil pengukuran dan alat ukur, dan juga
pengendalian legal yang dilakukan oleh atau atas nama pemerintah.
Kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah adalah menetapkan peraturan perundang-undangan,
mengendalikan pengukuran melalui pengawasan pasar dan mengembangkan serta memelihara
infrastruktur yang dapat mendukung akurasi pengukuran tersebut (melalui ketertelusuran) yang
sangat mendasar untuk melengkapi peran pemerintah.
Tujuan akhir dari Metrologi Legal adalah untuk memberikan kepercayaan terhadap hasil pengukuran
dengan pengaturan legal, kebutuhan dan persyaratan hasil pengukuran harus dipertimbangkan
sebelum menetapkan persyaratan terhadap alat ukur.
Metrologi Legal dapat mencakup empat kegiatan utama, yaitu:
1. penetapan persyaratan legal;
Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 57
2. pengendalian atau penilaian kesesuaian produk atau kegiatan yang tercakup dalam regulasi;
3. pengawasan produk dan kegiatan yang tercakup di dalam regulasi; dan
4. pendirian infrastruktur yang memadai untuk memastikan ketertelusuran dari pengukuran atau
alat ukur yang tercakup di dalam regulasi.
Metrologi Legal diperlukan bila kekuatan pasar tidak cukup terorganisir atau tidak cukup kompeten
atau tidak seimbang, sehingga pemerintah senantiasa bertindak sebagai wasit untuk memastikan
keadilan dalam kondisi-kondisi tersebut. Dalam prakteknya, tidak semua kegiatan mengukur
memerlukan keterlibatan pemerintah secara langsung sebagai wasit yang harus menjamin keadilan
dalam kegiatan pertukaran atau transaksi yang melibatkan pengukuran.
Dalam contoh transaksi perdagangan, kedua belah pihak memiliki kemampuan dan kompetensi
yang seimbang untuk memastikan dapat memperoleh keuntungan ekonomi yang setimbang dengan
investasi yang telah dilakukannya. Demikian pula, bagi lembaga penelitian, kegiatan kemetrologian
diperlukan dalam proses penelitian dan pembuatan prototipenya untuk memastikan bahwa produk
penelitiannya dapat diterima atau dibeli oleh pasar, sedemikian hingga dalam kasus ini tidak
diperlukan pula keterlibatan pemerintah secara langsung sebagai wasit yang menjamin keadilan
transaksi antara peneliti dengan pembeli produk penelitian.
Secara teknis, kegiatan untuk memastikan ketertelusuran pengukuran ini dapat dilakukan oleh
pemerintah dan pihak swasta. Partisipasi pihak swasta sangat diperlukan, karena sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan industri, cakupan besaran
yang harus dapat dipastikan ketertelusurannya menjadi semakin banyak, dan perkembangan
ini akan terus berjalan. Untuk memastikan bahwa pengukuran yang dilakukan memiliki tingkat
kebenaran yang layak, pemerintah perlu untuk mengembang-kan sistem pengakuan kompetensi
terhadap pihak-pihak yang melakukan kegiatan kemetrologian, sehingga transaksi-transaksi yang
dilaksanakan tanpa kehadiran pemerintah secara langsung sebagai wasit, tetap terjamin keadilan
dan keterpercayaannya.
Kegiatan Metrologi Legal dan kegiatan kemetrologian lainnya pada dasarnya merupakan aplikasi
dari metrologi, yang tujuan utamanya untuk mewujudkan kepercayaan terhadap hasil pengukuran
melalui penciptaan rantai ketertelusuran ke acuan yang sama. Supaya setiap pihak di suatu negara
dapat memiliki tingkat kepercayaan yang sama terhadap hasil pengukuran, tentunya diperlukan
acuan pengukuran nasional yang dapat diakses oleh semua pihak yang berkepentingan dengan
kegiatan kemetrologian. Lebih jauh lagi, dalam konteks transaksi lintas negara, diperlukan standar
pengukuran yang dapat diterima oleh semua negara, sedemikian hingga hasil-hasil pengukuran
dari suatu negara dapat diterima dan dipercaya oleh negara-negara lain. Untuk mewujudkan hal ini,
diperlukan standar pengukuran yang bersifat universal dan dapat mengakomodasi perkembangan
ilmu dan teknologi yang menggerakkan pasar.
58 Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Peran negara dalam kegiatan kemetrologian adalah untuk memberikan piranti yang diperlukan dalam
menjamin kepercayaan terhadap hasil pengukuran. Hal ini mewajibkan pemerintah melaksanakan
langkah-langkah yang diperlukan untuk mempromosikan metrologi, mengembangkan infrastruktur
kemetrologian yang memadai, mendukung penelitan metrologi untuk melindungi masyarakat dan
pelaku usaha terhadap kecurangan-kecurangan yang berkaitan dengan pengukuran. Kegiatan ini
harus diatur di dalam kebijakan yang komprehensif dan koheren, sehingga diperlukan peraturan
perundang-undangan kemetrologian.
Untuk memastikan bahwa UTTP yang digunakan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya,
pemerintah harus dapat memastikan kesesuaian awal UTTP dengan spesifikasi yang telah diatur
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain pada tahap desain UTTP dengan
menerapkan mekanisme persetujuan tipe (type approval), dan pada tahap manufacturing dengan
mekanisme peneraan (initial verification). Selanjutnya agar dapat memonitor bahwa UTTP tetap
pada kinerja sifat metrologisnya seperti yang ditetapkan dan umur (life time) UTTP tetap pada kinerja
tersebut maka dilakukan peneraan ulang (reverification) oleh institusi yang memiliki kemampuan
yang sesuai dan pengawasan (market surveillance) terhadap UTTP oleh instansi pemerintah.
Proses pengukuran atau penyelenggaraan kegiatan Metrologi Legal di Indonesia diatur melalui
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1981 tentang Metrologi Legal, yang bertujuan untuk melindungi
kepentingan umum melalui adanya jaminan dalam kebenaran pengukuran serta adanya ketertiban
dan kepastian hukum dalam pemakaian satuan ukuran, standar satuan, metoda pengukuran dan alat-
alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya, dalam hal ini penyelenggaraan kegiatan Metrologi
Legal tersebut diamanatkan kepada Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang Metrologi Legal.
Sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, maka
dalam rangka efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan Metrologi Legal, urusan penyelenggaraan
Metrologi Legal menjadi urusan pilihan bagi Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
melalui Unit Kerja dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen 59
Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2009 tentang Unit Kerja dan Unit Pelaksana Teknis Metrologi
Legal dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51 tahun 2009 tentang Penilaian Unit Pelaksana
Teknis Metrologi Legal, dengan demikian kinerja kemetrologian diharapkan dapat lebih optimal.
Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen melalui Direktorat Metrologi sebagai
salah satu pelaku pembangunan Metrologi Legal ikut berperan penting dalam penyelenggaraan
Metrologi Legal dalam rangka melindungi kepentingan umum dan terwujudnya tertib ukur melalui
Sistem Metrologi Legal yang efisien, efektif, adil, dan transparan. Pembangunan Metrologi Legal
tersebut bertujuan untuk 1) meningkatkan ketepatan, kebenaran, dan kesesuaian dalam hal ukuran,
timbangan, dan takaran; 2) meningkatkan perlindungan terhadap konsumen dalam hal kebenaran
hasil pengukuran dan pemberian kepastian hukum; 3) meningkatkan pengamanan perdagangan
khususnya dalam era pasar bebas melalui pengendalian kemetrologian yang efektif; dan 4)
meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat yang optimal dan transparan.
Dalam membangun Metrologi Legal, dilakukan beberapa langkah strategis, yaitu:
1. Pengembangan kebijakan dan diplomasi di fora internasional dengan senantiasa menjaga
kepentingan nasional, integritas wilayah, dan pengamanan pasar dalam negeri dilakukan melalui:
a. Peningkatan partisipasi dalam forum Metrologi Legal regional dan internasional.
b. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang Metrologi Legal.
2. Peningkatan keseragaman dan ketertelusuran standar ukuran dan proses pengukuran secara
internasional dan nasional dilakukan melalui:
a. Penciptaan rantai ketertelusuran standar ukuran Metrologi Legal yang utuh dan sistematis
baik secara nasional maupun internasional.
b. Pengelolaan standar ukuran Metrologi Legal dengan baik.
c. Penyusunan pedoman, norma, standar, dan prosedur pengujian UTTP dan BDKT yang
implementatif.
3. Peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap penggunaan UTTP dalam transaksi perdagangan
barang dan jasa dilakukan melalui:
a. Peningkatan pengawasan kemetrologian terhadap UTTP, BDKT dan penggunaan Satuan
Sistem Internasional (SI).
b. Peningkatan jumlah UTTP yang telah ditera dan ditera ulang.
60 Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Salah satu hal penting yang harus dicermati dengan adanya perekonomian kompetitif tadi adalah
dampak perdagangan bebas dengan pasar yang semakin terbuka yang membuat tidak adanya
pagar-pagar pembatas atas produk global untuk masuk ke Indonesia. Arus impor dimulai dari bahan
baku, barang modal, barang konsumsi, hingga jasa akan membanjiri dalam negeri. Di satu sisi hal
keterbukaan ini akan meningkatkan skala ekonomi, yang berarti keuntungan bagi produsen, serta
semakin luasnya pilihan barang dan jasa yang tersedia yang menjadi keuntungan bagi konsumen.
Namun di sisi lain, terdapat kecenderungan banyak negara saat ini yang meningkatkan regulasi
dengan menggunakan instrumen non-tarif, antara lain dengan memberlakukan peraturan teknis
penggunaan standar produk dan penilaian kesesuaian untuk menjaga kepentingan domestik dari
masuknya barang impor.
Sebagai sikap yang sekaligus menjadi jawaban atas fenomena perekonomian, khususnya,
perdagangan yang berkembang, peran pengembangan mutu barang semakin menjadi penting dalam
kerangka upaya Indonesia untuk selalu meningkatkan standar produk agar mampu bersaing dalam
liberalisasi perdagangan internasional, sekaligus untuk mengamankan kepentingan konsumen di
tanah air.
64 Pilar-pilar Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen
Berdasarkan hal di atas, salah satu tugas dari Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan
Konsumen melalui DIrektorat Pengembangan Mutu Barang adalah Melaksanakan perumusan dan
pelaksanaan kebijakan, penyusunan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria serta pemberian
bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan di bidang pengembangan mutu barang.
2. Penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang verifikasi, bimbingan dan kerjasama mutu barang,
serta pengembangan sumber daya manusia fungsional PMB;
3. Penyiapan penyusunan pedoman, standar, norma, prosedur dan kriteria di bidang verifikasi,
bimbingan dan kerjasama mutu barang, serta pengembangan sumber daya manusia fungsional
PMB;
4. Penyiapan pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan di bidang verifikasi,
bimbingan dan kerjasama mutu barang, serta pengembangan sumber daya manusia fungsional
PMB;.
Fungsi tersebut dijalankan melalui peran antara lain adalah dimilikinya kewenangan untuk meregistrasi
barang yang SNI-nya telah diberlakukan secara wajib (84 produk); (NPB/SPB dan NRP), melakukan
pembinaan mutu barang terkait penerapan mutu barang dan sumber daya manusia penunjang
pengawasan mutu; (Tanda Pengenal Produsen (TPP), Bahan Olah Komoditi Ekspor /BOKOR dan
Barang yang tidak memenuhi SNI), sebagai pembina Jabatan Fungsional Penguji Mutu Barang
(PMB) Nasional, serta sebagai Lembaga Penilai Kesesuaian yang memberikan pelayanan terkait
pengujian, kalibrasi, dan sertifikasi.
Fungsi dan peran tersebut diwujudkan melalui sasaran strategis dari Pengembangan Mutu Barang
yaitu meningkatnya Keberterimaan Sertifikasi, Terjaminnya ketertelusuran barang, dan Terjaminnya
Pelayanan Publik yang Prima.
Bentuk pelayanan yang diselenggarakan bagi publik guna mendorong serta mengembangkan mutu
barang adalah:
Gedung I - Lt. 3
Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5, Jakarta 10110, INDONESIA
Telp.: [62-21] 385 8171
Fax.: [62-21] 384 2531
www.kemendag.go.id
ditjenspk.kemendag.go.id