Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2018/2019

Dosen :

Dr. REFDANITA, M.Si., Apt.


PUTU RIKA VERYANTI, M.Farm Klin., Apt.
AINUN WULANDARI, M.Sc., Apt.
ANNISA FARIDA MUTI, M.Sc., Apt.
SISTER SIANTURI, M.Si.

Oleh :

Yulinar Widya Andawari 19330722

Kelas A

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUS SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA 2020
OBAT SISTEM SARAF PUSAT
(UJI ANALGESIK AKIBAT INDUKSI KIMIA DENGAN METODE GELIAT)

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem Saraf Pusat (SSP) terdiri atas otak dan medula spinalis. SSP menerima asupan
sensori melalui serabut sensori (dendrite) di dalam saraf spinal dan saraf kranial lalu
mengirimkan impuls-impuls motorik melalui akson-akson dalam saraf yang sama (Ariani,
2012).
Obat-obat penekan SSP menimbulkan depresi (penurunan aktivitas fungsional) dalam
berbagai tingkat pada sitem saraf pusat. Tingkat depresi terutama tergantung dari jenis dan
jumlah obat yang dipakai. Klasifikasi besar dari penekan SSP adalah sedatif-hipnotik,
anastetik umum dan lokal, analgesik, analgesik narkotik, antokonvulsi, antipsikotik, dan
antidepresan ( Kee & Hayes, 1996).
Analgesik adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif,
digunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi kesadaran (Siswandono dan
Soekarjo, 2000). Analgesik, baik narkotik maupun nonnarkotik diresepkan untuk meredakan
nyeri. Pilihan bat tergantung dari beratnya nyeri. Nyeri yang ringan sampai sedang dari otot
rangka dan sendi seringkali diredakan dengan pemakaian analgesik. Obat-obat yang
mengobati nyeri yang ringan – sedang sperti asam mefenamat, parasetamol, salisat dan obat-
obat Anti Inflamasi NonSteroid (Kee & Hayes, 1996).
Percobaan kali ini dilakukan mengingat besarnya pengaruh obat penekan sistem saraf
pusat pada tubuh kita, dimana diberikan CMC Na 1%, parasetamol dan asam mefenamat
pada mencit.
B. Tujuan Percobaan
1. Mengamati respon geliat atau writhing reflex pada mencit akibat induksi kimia
2. Mengetahui mula kerja obat (onset of action), lama kerja obat (duration of action) dan
saat obat mencapai efek yang maksimum
C. Prinsip Percobaan
Melihat respon geliat pada mencit saat pemberian CMC Na 1%, Asam Mefenamat,
parasetamol secara oral serta dengan mula kerja obat, lama kerja obat pada mencit.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Untuk mengurangi atau menekan rasa nyeri dapat digunakan obat analgesik. Obat-obat
analgesik yang biasa digunakan oleh masyarakat adalah golongan obat analgesik nonopioid
(nonnarkotik) seperti aspirin, asam mefenamat, serta parasetamol karena obat analgesik golongan
nonopioid tidak bersifat adiktif seperti obat analgesik golongan opioid. Obat-obat analgesik
nonopioid memiliki efek samping yang tidak diinginkan yaitu reaksi hipersensitivitas, gangguan
lambung-usus, kerusakan ginjal, dan dapat menyebabkan kerusakan hati fatal dalam dosis yang
berlebihan (Tjay, 2007).
1. Parasetamol
Asetaminofen (parasetamol) merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang
sama dan telah digunakan sejak tahun 1893. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus
aminobenzen. Fenazetin tidak digunakan lagi dalam pengobatan karena penggunaannya
dikaitkan dengan terjadinya analgesik nefropati, anemia hemolitik dan mungkin -kanker
kandung · kemih. · Asetaminofen di Indonesia lebih dikenal dengan nama parasetamol, d~n
tersedia sebagai obaf bebas.
 FARMAKODINAMIK : Efek analgesik parasetamol yaitu menghilangkan atau
mengurangi nyeri ringan sampai sedang, menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme
yang diduga juga berdasarkan efek sentral. Efek anti iflamasinya sangat lemah, oleh
karena itu parasetamol tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan
penghambat biosintesis PG yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak
terlihat pada obat ini, demikian juga · gangguan pemapasan dan keseimbangan asam
basa.
 FARMAKOKINETIK : Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran
cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam.waktu ½ jam dan masa paruh
plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma, 25%
parasetamol terikat protein plasma. Obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati.
Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukuronat dan sebagian kecil
lainnya dengan asam sulfat Selain itu obat ini juga dapat mengalami hidroksilasi.
Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis
eritrosit. Obat ini diekskresi melalui ginjal, . sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan
.sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi.
2. Asam Mefenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik; sebagai anti-inflamasi, asam mefenamat
kurang efektif dibandingkan aspirin. Asam mefenamat terikat sangat kuat pada protein
plasma. Dengan demikian interaksi terhadap obat antikoagulan harus diperhatikan. Efek
samping terhadap saluran cema sering_timbul misalnya dispepsia, diare sampai diare
berc;tarah dan gejala iritasi lain terhadap mukosa lambung.
Pada orang usia lanjut efek samping diare hebat lebih sering dilaporkan: Efek samping
lain yang berdasarkan hipersensitivitas ialah eritema kulit dan bronkokonstriKsi. Anemia
hemolitik 'pernah dilaporkan. Dosis asam mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg sehari.
Karena efek toksiknya maka di Amerika Serikat obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan _
kepada anak di bawah 14 tahun dan wanita hamil, dan pemberian tidak mefebihi 7 harj.
Penelitian klinis menyimpulkan bahwa penggunaan selama haid mengurangi kehilangan
darah secara bermakna (Gunawan, 2007).
BAB III. METODE PERCOBAAN
A. Alat
1. Spuit injeksi 1 ml
2. Jarum sonde oral,
3. Timbangan hewan,
4. Bejana untuk pengamatan,
5. Stop watch
B. Bahan
1. Larutan asam asetat glasial 3% sebanyak 0,5 ml secara IP
2. CMC Na 1% secara PO
3. Asam mefenamat 500 mg/ 70 kg BB manusia secara PO
4. Parasetamol 500 mg/ 70 kg BB manusia secara PO
C. Hewan Coba
Mencit putih, jantan (jumlah 9 ekor), bobot tubuh 20-30 g
D. Prosedur Kerja
1. Siapkan mencit. Sebelum pemberian obat, amati kelakuan normal masing-masing mencit
selama 10 menit.
2. Mencit dibagi menjadi 3 kelompok dimana masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor
mencit dengan perbedaan dosis obat yang diberikan (faktor perkalian 2):
Kelompok I : CMC Na 1% secara PO
Kelompok II : asam mefenamat 500 mg/ 70 kgBB manusia secara PO
Kelompok III : parasetamol 500 mg/ 70 kgBB manusia secara PO
3. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing mencit.
4. Berikan larutan obat sesuai kelompok masing-masing dan catat waktu pemberiannya.
5. Setelah ditunggu 15-30 menit, kemudian diberi penginduksi nyeri asam asetat glasial 3%
sebanyak 0,5 ml secara IP.
6. Tempatkan mencit ke dalam bejana untuk pengamatan.
7. Amati, catat dan tabelkan pengamatan respon geliat mencit.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Larutan obat yang tersedia adalah sebagai berikut:


Nama Obat Konsentrasi
CMC Na 1%
Asam Mefenamat 1% (500 mg dalam 50 ml)
Parasetamol 1% (500 mg dalam 50 ml)

Dalam percobaan ini mencit dibagi menjadi 3 kelompok dimana masing-masing kelompok
terdiri dari 3 ekor mencit, sebagai berikut:
Kel Mencit Berat Badan Rute Pemberian Dosis Pemberian Volume Pemberian
(g) (mg) (ml)
I 1 25 PerOral - 0,5
2 23 PerOral - 0,5
3 26 PerOral - 0,5
II 1 30 PerOral 1,95 0,195
2 21 PerOral 1,365 0,136
3 24 PerOral 1,56 0,156
III 1 28 PerOral 1,82 0,182
2 26 PerOral 1,69 0,169
3 20 PerOral 1,3 0,13

A. Hasil Pengamatan
Tabel pengamatan yang diperoleh adalah sebagai berikut:
Efek Geliat
Respon Jumlah Geliat
Percobaan Bahan Obat Mencit
Awal dalam Periode
ke-
15-60 menit
CMC-Na 1% 1 + 28
2 + 30
Uji analgesik (PO) 3 + 31
akibat Asam Mefenamat 1 + 6
2 + 6
induksi kimia Mencit 500mg/70 Kg BB
+
3 8
dengan Manusia (PO)
Parasetamol 500mg/70 1 + 14
metode geliat
2 + 13
Kg BB Manusia (PO) 3 + 15
Keterangan:
Respon awal + = mencit memberi reflek geliat, 5 menit setelah induksi asam asetat glasial
3%
Respon awal - = mencit tidak memberi reflek geliat, 5 menit setelah induksi asam asetat
glasial 3%

B. Pembahasan
Pada percobaan kali ini tentang uji analgesik akibat induksi kimia deengan metode geliat.
Pengamatannya dilihat pada saat pemberian obat, respon awal dari mencit dimana mencit
memberi reflek geliat 5 menit setelah induksi asam asetat glasial 3%.
Hewan coba yang digunakan yaitu Mencit putih, jantan berjumlah 9 ekor, bobot tubuh
20-30 g. Sebelum melakukan pengamatan hewan coba ditimbang terlebih dahulu untuk
mengetahui berat badan dari masing – masing. Mencit dibagi menjadi 3 kelompok dimana
masing – masing terdiri dari 3 ekor mencit. Kemudian dihitung dosis dan volume permberian
dari CMC Na 1% secara PO Kelompok 1), Asam mefenamat 500 mg/ 70 kg BB manusia
secara PO (kelompok 2), Parasetamol 500 mg secara PO (kelompok 3). Diberikan larutan
obat sesuai kelompok masing-masing dan dicatat waktu pemberiannya. Setelah 15-30 menit,
diberi penginduksi nyeri asam asetat glasial 3% sebanyak 0,5 ml secara IP.
Berdasarkan tabel hasil pengamatan, semua mencit memberikan respon awal positif (+)
yaitu mencit memberi reflek geliat, 5 menit setelah induksi asam asetat glasial 3%.
Manifestasi nyeri akibat  pemberian perangsang nyeri asam asetat intraperitonium akan
menimbulkan refleks respon geliat (writhing) yang berupa tarikan kaki ke belakang,
penarikan kembali abdomen (retraksi) dan kejang tetani dengan membengkokkan kepala dan
kaki  belakang. Metode ini dikenal sebagai Writhing Reflex Test atau Abdominal
Constriction Test (Wuryaningsih,1996).
Dilihat dari banyaknya jumlah geliat dalam waktu 15-60 menit, kelompok asam
mefenamat memiliki jumlah geliat yang sedikit hal ini berarti asam mefenamat merupakan
obat yang bekerja paling efektif dan kelompok parasetamol dibawah kelompok asam
mefenamat. Sedangkan kelompok CMC Na memiliki jumlah geliat paling banyak, hal ini
dikarenakan CMC Na bersifat sebagai plasebo yaitu sebuah pengobatan yang tidak
berdampak atau penanganan palsu yang bertujuan untuk mengontrol efek dari pengharapan
atau sebagai kontrol negatif.
BAB V. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa kelompok asam mefenamat


merupakan obat yang bekerja paling efektif dan kelompok parasetamol dibawah kelompok asam
mefenamat. Sedangkan kelompok CMC Na hanya sebagai plasebo atau kontrol negatif.
DAFTAR PUSTAKA

Ariani Tutu April. 2012. Sistem Neurobehaviour. Jakarta: Salemba Medika.

Gunawan, Sulistia Gan. Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Elysabeth. 2007. Farmakologi dan Terapi
Edisi 5. Jakarta: FKUI.

Kee, J,L. dan Hayes, E,R. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Penerbit Buku
Kedokteran. Jakarta.

Siswandono dan B. Soekardjo. 2000. Kimia Medisinal. Jilid 1. Edisi ke -1 Airlangga University
Press, Surabaya.

Tjay, T.H., dan Rahardja K. 2007. Obat obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek
Sampingnya, Edisi Keenam. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Wuryaningsih, S., 1996, Pertumbuhan Beberapa Setek Melati pada Tiga Macam Media, Jurnal
Penelitian Pertanian, 5(3):50-57.
EFEK OBAT SISTEM SARAF OTONOM
(PENGARUH OBAT KOLINERGIK DAN ANTIKOLINERGIK TERHADAP
KELENJAR SALIVA DAN MATA)

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem saraf motorik secara garis besar dibagi atas sistem otonom dan somatik. Sistem
saraf otonom ialah sistem saraf yang tidak dapat dikendalikan oleh kemauan/kesadaran kita
melalui otak. Sistem saraf otonom mengendalikan beberapa organ tubuh seperti jantung,
pembuluh darah, ginjal, pupil mata, lambung dan usus. Sistem saraf ini dapat dipacu
(induksi) atau dihambat (inhibisi) oleh senyawa obat (Elisabeth, 2017).
Sistem saraf otonom sesuai dengan namanya bersifat otonom (independen) dimana
aktifitasnya tidak dibawah kontrol kesadaran secara langsung. Sistem saraf otonom (SSO)
terutama berfungsi dalam pengaturan fungsi organ dalam seperti curah jatung, aliran darah ke
berbagai organ, sekresi dan motilitas gastrointestinal, kelenjar keringat dan temperatur tubuh.
Aktifasi SSO secara prinsip terjadi dipusat di hipothalamus, batang otak dan spinalis. Impuls
akan diteruskan melalui sistem simpatis dan parasimpatis (Indra, 2012).
Sistem saraf parasimpatis dikenal sebagai system kolinergik karena neurotransmitter
terdapat pada ujung saraf neuron yang mempersarafi otot adalah asetilkolin. Obat-obat yang
menyerupai asetilkolin disebut sebagai obat-obat kolinergik/ parasimpatomimetik/ agonis
kolinergik, sebaliknya obat-obat yang menghambat efek asetil kolin disebut antikolinergik
atau parasimpatolitik (Sukohar, 2014).
B. Tujuan Percobaan
1. Menghayati secara lebih baik pengaruh berbegai obat system saraf otonom dalam
pengendalian fungsi vegetative tubuh.
2. Mengenal teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat kolinergeik atau antikolinergik pada
neuroefektor parasimpatis.
C. Prinsip Percobaan
Menentukan efek obat sistem saraf otonom yaitu fenobarbital, pilokarpin HCl, atropin
SO4 pada kelenjar sativa dan tetes mata fisostigmin salisilat, tetes mata pilokarpin HCl, tetes
mata atropin SO4, larutan NaCl 0,9% terhadap kelinci dengan bobot tubuh ±1,5 kg.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Sistem saraf otonom membawa impuls saraf dari susunan saraf pusat ke organ efektor
melalui 2 jenis serat saraf eferen yaitu saraf praganglion dan saraf pascaganglion. Lingkaran
refleks saraf otonom terdiri dari: serat aferen yang sentripetal disalurkan melalui N. vagus,
pelvikus, splanknikus dan saraf otonom lainnya. Badan sel serat-serat ini terletak di ganglia
dalam kolumna dorsalis dan ganglia sensorik dari saraf kranial tertentu. Tidak jelas perbedaan
antara serabut aferen sistem saraf otonom dengan serabut aferen sistem somatik, sehingga tidak
dikenal obat yang secara spesifik dapat mempengaruhi serabut aferen "Otonom” (Gunawan,
2007).
Serat eferen yang disalurkan melalui saraf praganglion, ganglion, dan saraf pascaganglion
berakhir pada sel efektor. Saraf otonom juga berhubungan dengan saraf somatik; sebaliknya
kejadian somatik dapat mempengaruhi fungsi organ otonom. Pada susunan saraf pusat terdapat
beberapa pusat otonom, misalnya pengatur pernapasan dan tekanan darah di medula oblongata;
hipotalamus dan hipofisis mengatur suhu tubuh, keseimbangan air, metabolism karbohidrat dan
lemak, pusat tidur dan sebagainya. Hipotalamus dianggap sebagai pusat sistem saraf otonom.
Walaupun demikian masih ada pusat yang lebih tinggi lagi yang dapat mempengaruhinya yaitu
korpus striatum dan korteks serebrum yang dianggap sebagai coordinator antara sistem otonom
dan somatic (Gunawan, 2007).
Serat eferen terbagi dalam sistem simpatis dan parasimpatis. Sekresi liur dirangsang baik
oleh saraf simpatis maupun parasimpatis, tetapi sekret yang dihasilkan berbeda kualitasnya pada
perangsangan simpatis liur kental, sedangkan pada perangsangan parasimpatis liur lebih encer
(Indra, 2012). Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem parasimpatis berperan dalam fungsi
konservasi dan reservasi tubuh. sedangkan sistem simpatis berfungsi mempertahankan diri
terhadap tantangan dari luar tubuh dengan reaksi berupa perlawanan atau pertahanan diri yang
dikenal dengan fight or flight reaction (Indra, 2012).
Impuls saraf dari susunan saraf pusat (SSP) hanya dapat diteruskan ke ganglion dan sel
efektor melalui pelepasan suatu zat kimia yang khas yang disebut transmitor neurohumoral atau
disingkat transmitor. Transmitor yang dilepaskan dari ujung saraf preganglion ialah asetilkolin
(ACh). ACh berdifusi sepanjang celah sinaps dan mencapai membran pasca sinaps. Saraf yang
mensistesis dan melepaskan ACh disebut saraf kolinergik, yakni saraf praganglion simpatis dan
parasimpatis, saraf pasca ganglion parasimpatis dan saraf keempat tahap transmisi neurohumoral
yaitu sintesis, penyimpanan, pelepasan, ikatan dengan reseptor dan eliminasi transmitor
merupakan dasar untuk pengertian kerja obat otonom (Indra, 2012).
1. Kolinergik
Kolenergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan
efek yang sama dengan stimulasi saraf parasimpatis, karena melepaskan neurohormon
asetilkolin (ACh) di ujung-ujung neuronnya. Tugas utama saraf parasimpatis adalah
mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat penggunaannya, singkatnya berfungsi
asimilasi (Petunjuk Praktikum). Kolinergik terbagi dua yaitu, kolinergik yang bekerja secara
langsung dan kolinergik yang bekerja tidak lansung.
Betanekol klorida (Urecholine) suatu obat kolinergik yang bekerja langsung, bekerja
pada reseptor muskarinik (kolinergik) dan terutama dipakai untuk meningkatkan berkemih.
Pemakaian utama dari betanekol adalah menambah mikronutrisi (berkemih) dengan
merangsang reseptor kolinergik muskarinik untuk meningkatkan keluaran urin (Kee &
Hayes, 1996).
Pilokarpin adalah suatu obat kolinergik yang bekerja langsung yang mengkonstriksi
ppupil mata, sehingga membuka kanalis Schlem untuk menambah aliran humor akueous
(cairan). Obat ini dipakai untuk mengobati glaukoma dengan menurunkan tekanan cairan
(intraokular) dalam bola mata. Pilokarpin juga bekerja pada reseptor nikotinik (Kee & Hayes,
1996).
Efek samping yang merugikan dari obat-obat kolinergik adalah mual, muntah, diare,
kejang abdomen, bradikardia, banyak berkeringat, salivasi dan sekresi bronkial. Hipotensi
dapat terjadi pada dosis tinggi (Kee & Hayes, 1996).
2. Antikolinergik.
Obat-obat antikolinergik dapat menghambat efek parasimpatomimetik yang bekerja
langsung, seperti betanekol dan pilokarpin, dan dapat menghambat parasimpatomimetik yang
bekerja tidak langsung, seperti fisostigmin dan neostigmin.
Atropin sulfat, turunan pertama dari tanaman belladone (Atropa belladona) dan
dimurnikan pada tahun 1831, merupakan obat antikolinergik klasik. Skopolamin merupakan
hasil kedua dari alkaloid belladone. Atropin dan skopolamin bekerja pada reseptor
muskarinik, tetapi hanya sedikit mempengaruhi reseptor nikotinik. Atropin berguna sebagai
pengobatan prabedah untuk mengurangi sekresi saliva, sebagai obat antispasmodik untuk
mengobati tukak peptik karena merelaksasi otot-otot polos saluran gastrointestinal dan
mengurangi peristaltik, dan utnuk meningkatkan denyut jantung jika terjadi bradikardia.
Tetapi, jika seseorang klien sedang memakai atropin atau obat yang menyerupai atropin
(antihistamin)untuk jangka panjang, maka dapat terjadi efek samping (Kee & Hayes, 1996).
Efek samping yang merugikan meliputi mulut kering, gangguan penglihatan (terutama
penglihatan kabur akibat dilatasi pupil), konstipasi sekunder akibat berkurangnya peristaltik
gastrointestinal, retensi urin akibat berkurangnya tonus kandung kemih, dan takikardia (dosis
tinggi) (Kee & Hayes, 1996).
BAB III. METODE PERCOBAAN

1. Kolinergik dan Antikolinergik Kelenjar Saliva


Hewan coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ±1,5 kg
Obat : 1. Fenobarbital 100 mg/ 70 kgBB manusia secara IV

2. Pilokarpin HCl 5 mg/kg BB kelinci secara IM

3. Atropin SO4 0,25 mg/ kgBB kelinci secara IV

Alat : Spuit injeksi 1 ml, timbangan hewan, corong gelas, beaker glass,
gelas ukur
Prosedur:
1. Siapkan kelinci.
2. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk kelinci.
3. Sedasikan kelinci dengan fenobarbital 100 mg/ 70 kgBB manusia secara IV.
4. Suntikkan kelinci dengan pilokarpin HCl 5 mg/kg BB kelinci secara IM.
5. Catat waktu saat muncul efek salivasi akibat pilokarpin HCl dan tampung saliva yang
diekskresikan kelinci ke dalam beaker glass selama lima menit. Ukur volume saliva yang
ditampung.
6. Setelah lima menit, suntikkan atropin SO4 0,25 mg/ kgBB kelinci secara IV.
7. Catat waktu saat muncul efek salivasi akibat atropine SO4 dan tampung saliva yang
diekskresikan kelinci ke dalam beaker glass selama lima menit. Ukur volume saliva yang
ditampung.
2. Kolinergik dan Antikolinergik Mata
Hewan coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ±1,5 kg
Obat : 1. Tetes mata fisostigmin salisilat sebanyak 3 tetes

2. Tetes mata pilokarpin HCl sebanyak 3 tetes

3. Tetes mata atropin SO4 sebanyak 3 tetes

4. Larutan NaCl 0,9%

Alat : Senter, loupe, penggaris


Prosedur:
1. Siapkan kelinci. Gunting bulu mata kelinci agar tidak mengganggu pengamatan.
2. Sebelum pemberian obat; amati, ukur dan catat diameter pupil pada cahaya suram dan
pada penyinaran dengan senter.
3. Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci:
a. Mata kanan : tetes mata fisostigmin salisilat sebanyak 3 tetes
b. Mata kiri : tetes mata pilokarpin HCl sebanyak 3 tetes
4. Tutup masing-masing kelopak mata kelinci selama satu menit.
5. Amati, ukur dan catat diameter pupil setelah pemberian obat.
6. Uji respon refleks mata.
7. Setelah terjadi miosis kuat pada kedua mata, teteskan atropine SO4.
8. Amati, ukur dan catat diameter pupil setelah pemberian obat.
9. Catat dan tabelkan pengamatan.
10. Setelah percobaan di atas selesai, teteskan larutan fisiologis NaCl 0,9% pada kedua mata
kelinci.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam percobaan ini digunakan kelinci dengan bobot tubuh 1,5 Kg.

Larutan obat yang tersedia adalah sebagai berikut:

Nama Obat Konsentrasi


Fenobarbital 1% (1g dalam 100ml)
Pilokarpin HCl 2% (100 mg dalam 5 ml)
Atropin SO4 1% (50 mg dalam 5 ml)

Bahan Obat BB Rute Dosis Pemberian Volume Pemberian


kelinci Pemberian (mg) (mL)
Kelinc Fenobarbital 1,5 Kg Intra Vena 7 0,7
i
Kelinc Pilokarpin HCl 1,5 Kg Intra Muscular 5 0,25
i
Kelinc Atropin SO4 1,5 Kg Intra Vena 0,25 0,025
i

A. Hasil Pengamatan

Hasil pengamatan dapat dilihat pada tabel berikut :

1. Kolinergik dan Antikolinergik Kelenjar Saliva


Percobaan Bahan Obat Efek Salivasi

Efek Obat Sistem Kelinci Pilokarpin HCl Volume saliva yang 1,2 ml
Saraf Otonom pada ditampung selama 5 menit
Kelenjar Saliva Atropin SO4 Volume saliva yang 0,3 ml
ditampung selama 5 menit

2. Kolinergik dan Antikolinergik Mata


Percobaan Bahan Efek Diameter Pupil Mata
Efek Obat Sistem Mata Cahaya Suram (cm) 1
Saraf Otonom Kanan Cahaya Senter (cm) 0,9
pada Mata Kelinci Setelah pemberian pilokarpin HCl (cm) 0,6
Respon refleks mata Berkedip
Setelah pemberian atropine SO4 (cm) 0,9
Mata Kiri Cahaya Suram (cm) 1
Kelinci Cahaya Senter (cm) 0,9
Setelah pemberian pilokarpin HCl (cm) 0,7
Respon refleks mata Berkedip
Setelah pemberian atropine SO4 (cm) 0,9
Catatan: Dalam percobaan ini tidak menggunakan Fisostigmin, hanya Pilokarpin HCl dan
Atropine SO4

B. Pembahasan
Pada percobaan kali ini tentang uji efek obat system sarat otonom menggunakan uji
pengaruh obat kolinergik dan antikolinergik terhadap kelenjar saliva dan mata.
Pengamatannya dilihat pada efek saliva dan efek diameter pupil mata. Hewan coba yang
digunakan yaitu kelinci dan dilakukan pengujian terdahap obat pilokarpin HCl 5 mg/kg BB
kelinci secara IM dan atropine SO4 0,25 mg/kg BB kelinci secara IV (disuntikkan pada
pembuluh darah di telinga) untuk pengujian efek saliva dan tetes mata fisostigmin salisilat,
tetes mata pilokarpin HCl, tetes mata atropin SO4, larutan NaCl 0,9%.
Pada percobaan kolinergik dan antikolinergik kelenjar saliva, sebelum disuntikkan
dengan pilokarpin HCl dan atropine SO4, kelinci disedasikan terlebih dahulu dengan
fenobarbital 100 mg/ 70 kgBB manusia secara IV. Berdasarkan tabel hasil pengamatan efek
saliva dari pemberian obat pilokarpin HCl menghasilkan volume saliva lebih banyak yaitu
1,2 ml dibandingkan dengan pemberian obat atropine SO 4 yaitu lebih sedikit atau berkurang
hanya 0,3 ml. Berdasarkan literatur efek samping dari pilokarpin dapat mencapai otak dan
menimbulkan gangguan SSP yaitu dengan merangsang kelenjar keringat dan kelenjar
salivasi yang berlebihan, pilokarpin adalah obat golongan kolinergik. Sedangkan atropine
SO4 sebagai prototipe antimuskarinik (antikolinergik), salah satu respon pada dosis tertentu
atropine dapat menekan sekresi air liur. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan dari tabel
yaitu pemberian obat pilokarpin HCl menghasilkan saliva yang lebih banyak, dan terjadi
penurunan saliva pada saat pemberian atropine SO4.
Pada percobaan kolinergik dan antikolinergik mata, berdasarkan tabel hasil pengamatan
diameter pupil mata pada mata kanan dan kiri memberikan hasil yang sama waktu diberikan
cahaya suram yaitu 1 cm dan pada penyinaran dengan senter yaitu 0,9 cm. Sedangkan setelah
pemberian pilokarpin HCl diameter pupil menurun pada mata kanan 0,6 cm, pada mata kiri
0,7 dan keduanya memberikan renspon berkedip. Tapi setelah pemberian atropin SO4,
diameter pupil mata kanan dan kiri naik menjadi 0,9 cm.
Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan dimana menurut literatur pilokarpin HCl
mengakibatkan penurunan atau pengekicalan diameter pupil mata dan pada pemberian
atropine terlihat dilatasi pupil (pelebaran pupil).
BAB V. KESIMPULAN

Dari hasil percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa hasil pengamatan kolinergik dan
antikolinergik kelenjar saliva, laboratoriun dan literatur menunjukkan hasil yang sama yaitu
pemberian obat pilokarpin HCl menghasilkan saliva yang lebih banyak, dan terjadi penurunan
saliva pada saat pemberian atropine SO4. Dan pada hasil pengamatan kolinergik dan
antikolinergik mata, laboratoriun dan literatur menunjukkan hasil yang sama yaitu pilokarpin
HCl mengakibatkan penurunan atau pengekicalan diameter pupil mata dan pada pemberian
atropine terlihat dilatasi pupil (pelebaran pupil).
Daftar pustaka

Elisabeth dan Donald. 2017. Modul Praktikum Farmakologi I. Jurusan Farmasi POLTEKKES
KEMENKES Manado.

Gunawan, Sulistia Gan. Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Elysabeth. 2007. Farmakologi dan Terapi
Edisi 5. Jakarta: FKUI.

Indra imai. 2012. Aktivitas Otonom. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. Vol 12 No 3.

Kee, J,L. dan Hayes, E,R. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Penerbit Buku
Kedokteran. Jakarta.

Sukohar Asep. 2014. Buku Ajar Farmakologi : Neufarmakologi Asetilkolin dan Nore Efinefrin.
Lampung.

Anda mungkin juga menyukai