Anda di halaman 1dari 28

KARYA TULIS ILMIAH

ARSITEKTUR CIREBON: PENERAPAN NILAI TOLERANSI


DALAM KOSMOLOGI

JONATHAN HARRY P.
170117071
Kata Pengantar

Puji Tuhan merupakan satu kata yang pantas diucapkan kepada-Nya yang karena penyertaan–Nya
maka saya dapat menyelesaikan sebuah karya tulis ilmiah dengan judul “Arsitektur Cirebon: Penerapan
Nilai Toleransi Dalam Kosmologi”.

Penulisan karya ilmiah ini dibuat dengan sumber-sumber berupa jurnal ilmiah, sehingga
menghasilkan sebuah karya tulis ilmiah yang dapat dipastikan hasilnya. Saya ucapkan terima kasih kepada
pihak terkait yang telah membantu dalam menghadapi berbagai tantangan dalam penyusunan karya tulis
ilmiah ini.

Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar dalam karya ilmiah ini. Oleh
karena itu kritik dan sarn dari pembaca yang bersifat membangun sangat saya harapkan

Terima kasih dan semoga karya tulis ilmiah ini dapat memberikan sumbangan positif bagi kita
semua.

Bekasi, 30 Maret 2021

Penulis

i
Daftar Isi
Bab 1 Pendahuluan………………………………………………………………………...……………….1
a. Latar Belakang Masalah……………………………………………………….…….......………....…….1
b. Perumusan Masalah…………………………………………………………………………...…………1
c. Tujuan dan Manfaat Penulisan………………………………………………………………….......……1
Bab 2 Pembahasan………………………………………………………………………...………...……...1
a. Asal Nama Cirebon……………………………………………………………………………...……….1
b. Eksplorasi Arsitektur Cirebon…………………………………………………………………....………2
1. Keraton Kasepuhan Cirebon………………………………………………………………...….……..2
2. Taman Air Sunyaragi………………………………………………………………………………….5
c. Kosmologi Budaya Cirebon………………………………………………………………...……………6
1. Orientasi Keraton Cirebon……………………………………………………………...……………..6
2. Keberadaan Singo Barong………………………..……………………………………...……………7
d. Perkembangan Keraton Kasepuhan Cirebon……………………………………………………………..9
1. Masa Islam dan Akulturasi Budaya………………….…………………………………...…………...9
2. Masa Kolonial/Penyebaran Kristen……………………………….…………………...…………….13
3. Evolusi Bangunan…………………………………………………………………...……………….15
e. Batik dan Kaligrafi Sebagai Ornamen Arsitektur……………………………………...………………..17
f. Ornamentasi Arsitektur Taman Air……………………………………………………...………………19
Bab 3 Kesimpulan…………………………………………………………………………..……………..23
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………..………………24

ii
Bab 1 Pendahuluan

a. Latar Belakang Masalah


Karena kehadirannya merupakan hasil dari penciptaan peristiwa yang menjadi bagian dari
identitas manusia di dalamnya, arsitektur berfungsi baik sebagai elemen maupun konstruksi spasial
yang menyimpan sekumpulan jejak budaya manusia. Cirebon adalah salah satu kota di Indonesia
dengan sejarah dan budaya yang menarik untuk dijelajahi. Banyak artefak sejarah yang kini
dijadikan sebagai benda cagar budaya.
Penting untuk memahami seluk beluk tentang arsitektur asli Cirebon secara rinci, mulai dari
kosmologi (tata letak, orientasi, dan ornamen) sampai pada perkembangan zaman yang mengubah
konsep bangunan asli Cirebon itu sendiri tapi dengan nilai-nilai yang tetap dilestarikan. Karena
sepanjang perjalanan sejarah, arsitektur Cirebon yang merupakan salah satu dari arsitektur provinsi
Jawa Barat ini mempunyai nilai sejarah yang tidak hanya dapat dijadikan penelitian, melainkan
juga sebagai pelajaran hidup dari orang-orang yang hidup di masa lampau.

b. Perumusan Masalah
Secara umum, rumusan masalah pada karya tulis “Arsitektur Cirebon: Penerapan Nilai
Toleransi Dalam Kosmologi” ini diuraikan seperti pertanyaan berikut.
1. Dari mana asal-usul penamaan kota “Cirebon”?
2. Apa saja objek arsitektur yang menjadi sasaran bagi ciri khas arsitektur Cirebon?
3. Seperti apa kosmologi yang mempengaruhi setiap bangunan khas Cirebon?
4. Bagaimana perubahan bagian dari arsitektur khas Cirebon dari tahun ke tahun?
5. Apa saja unsur-unsur seperti ornamen yang membentuk makna bagi bangunan khas
Cirebon?

c. Tujuan dan Manfaat Penulisan


Adapun tujuan dan manfaat dari dibuatnya karya tulis ini antara lain sebagai berikut.
1. Mengetahui makna dibalik nama “Cirebon” beserta budayanya yang mempengaruhi
arsitektur asli Cirebon.
2. Mengetahui budaya apa saja yang tetap melestarikan bentuk arsitektur Cirebon.
3. Mengetahui seluk beluk budaya masyarakat yang mempengaruhi bangunan khas Cirebon
itu sendiri.

Bab 2 Pembahasan

a. Asal Nama Cirebon


Sumber-sumber Cirebon dapat ditemukan dalam historiografi populer yang terbit pada abad
ke-18 dan ke-19 dalam bentuk manuskrip (manuskrip). Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad
Cirebon, Sajarah Kasultanan Cirebon, Babad Wal Directsang, dan naskah-naskah lainnya memuat
sejarah awal Cirebon. Diterbitkan pada tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, putra Sultan
Kasepuhan, yang ditunjuk sebagai perantara antara Bupati Priangan dan VOC antara tahun 1706
dan 1723 dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari [1]. Akar kata Cirebon adalah sarumban,

1
menurut manuskrip, setelah itu mengalami pergeseran ejaan menjadi caruban. Istilah ini berganti
nama menjadi Carbon, lalu Cerbon, lalu Cirebon [2].
Asal kata Cirebon dalam kata Cai yang berarti air dan Rebon yang berarti udang sekarang
lebih diterima secara luas daripada yang berasal dari kata "Caruban". Hanya istilah Cirebon, baik
yang diduga berasal dari kata "Cai" maupun "Rebon", tidak memiliki makna geopolitik berdasarkan
konteks sejarah dan budaya. Cirebon, berasal dari bahasa Cai-rebon, adalah istilah yang mengacu
pada budaya makanan atau tempat orang membuat terasi. Nama Cirebon yang berasal dari kata
Caruban sudah tidak asing lagi, seperti yang disebutkan dalam Carita Purwaka Caruban Nagari
karya Pangeran Aria Cirebon yang terbit tahun 1720 [3].
Istilah Sarumban berkembang menjadi Caruban, lalu Cerbon, dan terakhir Cheribon. Istilah
sarumban secara harfiah berarti "campuran", dan dalam bahasa Jawa juga dikenal sebagai "Carub",
yang berarti "campuran". Caruban adalah kota kecil yang terletak di tengah-tengah antara Jawa
Timur dan Jawa Tengah. Istilah ini berlaku untuk tempat pertemuan di mana orang akan berbaur
atau berkomunikasi. Artinya penyebutan Caruban bukanlah sesuatu yang dibuat-buat atau eksotik
(dalam bahasa Jawa disebut jarwa dosok), melainkan sebuah filosofi yang mencerminkan budaya
Cirebon [3].

b. Eksplorasi Arsitektur Cirebon


1. Keraton Kasepuhan Cirebon

Gambar b.1.1 Pintu masuk Keraton Kasepuhan Cirebon

Keraton Kasepuhan adalah salah satu istana paling unik dan bersejarah di Cirebon. Sejarah
istana ini terkait dengan Kerajaan Cerbon yang pernah kuat (abad ke-15 hingga ke-17) dan
perkembangan Islam di Nusantara selama era para wali (abad ke-15 hingga ke-18). Keraton
Kasepuhan dibangun dengan konsep akulturasi budaya Islam dan Hindu-Budha. Penerapan ini
terlihat pada pola spasial lanskap, seperti orientasi dan zonasi ruang, serta makna yang tertanam
pada ruang tersebut [4].

2
Gambar b.1.2 Posisi keraton utama di kompleks Keraton Kasepuhan

Keraton terbesar di Kota Cirebon adalah Keraton Kasepuhan. Dengan luas tanah 25 ha,
berbentuk kompleks yang terdiri dari beberapa bangunan. Terletak di Desa Kasepuhan,
Kecamatan Lemah Wudul, Kota Cirebon, Jawa Barat, di sebelah selatan. Kompleks Keraton
Kasepuhan terbagi menjadi dua (dua) bagian, yang dipisahkan oleh dinding luar dan dalam
kompleks. Masjid Sang Cipta Rasa, alun-alun, serta bangunan Pancaratna dan Pancaniti
semuanya terletak di luar kompleks istana.

3
Gambar b.1.3 Blok plan Keraton Kasepuhan

Kompleks keraton yang terletak di dalam tembok kuta (kuta kosod) terbagi menjadi empat
area. Dinding dan pintu memisahkan setiap wilayah. Zona pertama adalah area publik yang
melalui jembatan (kreteg) dan gerbang Pangrawit untuk mencapainya. Gerbang/Regol
Penggada mengarah ke zona kedua, yang bertindak sebagai zona transfer. Langgar Agung,
sebuah situs ritual adat sakral di wilayah ini, terletak di sini. Sultan bekerja dan menerima
pengunjung di zona semi-privat. Anda harus melewati Pintu Gledegan untuk masuk ke area ini.
Sultan dan keluarganya tinggal di kota terakhir, yaitu tempat pribadi. Hanya orang-orang yang
diizinkan untuk mengakses wilayah ini. Anda harus melewati Pintu Bacem Buk untuk masuk
ke area ini [5]

4
2. Taman Air Sunyaragi

Gambar b.2.1 Pintu masuk Taman Air Gua Sunyaragi

Taman Air Gua Sunyaragi adalah kompleks taman air kuno Indonesia. Nama asli dari
Taman Air Gua Sunyaragi adalah Taman Kaputren Panyepi Ing Raga. Terdaftar sebagai tanah
milik Pemerintah Kota Cirebon dan merupakan bagian dari Keraton Kasepuhan. Balai
Pelestarian Cagar Budaya Serang mengelola Taman Air Gua Sunyaragi yang merupakan situs
warisan budaya nasional.

5
Gambar b.2.2 Kompleks Taman Gua Air Sunyaragi

Taman Air Gua Sunyaragi mirip dengan tamansari Indonesia lainnya. Tamansari adalah
taman keraton dengan air dan pepohonan di mana keluarga kerajaan dapat bersantai dan
menikmati. Taman Air Gua Sunyaragi tidak seperti tamansari lainnya di Indonesia, dengan
kompleks gua yang menjadi daya tarik tersendiri untuk Taman Air Gua Sunyaragi. Taman Air
Gua Sunyaragi juga dikenal sebagai "Istana Karang". Arsitektur rumah berupa bebatuan yang
disusun membentuk pegunungan dan jalan setapak mendukung istilah tersebut, karena secara
keseluruhan bangunannya berbentuk seperti kompleks koral yang indah. Dibedakan dari taman
air lainnya di Indonesia, Taman Air Gua Sunyaragi menggunakan bebatuan seperti karang [6].
Taman Air Gua Sunyaragi memiliki bangunan berlubang dengan lorong-lorong berliku dan
gelap yang menyerupai gua, maka dinamai Gua Sunyaragi. Lokasi ini merupakan taman
Kelangenan (taman air) yang tujuan utamanya adalah untuk memfasilitasi ziarah atau khalawat.
Sunyaragi berasal dari kata sunya yang artinya sunyi/sepi, dan ragi yang artinya raga/badan.
Setelah masa penjajahan Sultan Sepuh IX hingga sekarang, situs Taman Air Gua Sunyaragi
telah mengalami renovasi atau rekonstruksi. Taman Air Gua Sunyaragi adalah tujuan wisata
yang populer.

c. Kosmologi Budaya Cirebon


1. Orientasi Keraton Cirebon
Keraton adalah situs religius dan digunakan untuk upacara. Keraton dianggap sebagai
cerminan kosmos, menurut gagasan kosmologis Jawa dari periode Hindu-Budha. Definisi
kosmologis keraton-keraton di Cirebon sedikit berbeda dari istana-istana di Jawa. Pengaruh
kosmologi Hindu-Budha Jawa juga terlihat pada pola spasial dan orientasi bangunan kompleks
keraton. Pola tata ruang bangunan keraton juga mengikuti hierarki, dan orientasinya menghadap

6
dataran tertinggi wilayah Cirebon, masing-masing Astana Gunung Sembung dan Gunung Jati
[7].

Gambar c.1.1 Pola orientasi keraton-keraton di Cirebon

Pengaruh kosmologi Hindu-Budha Jawa terhadap pola spasial dan orientasi yang
dibudidayakan dengan prinsip kosmologi Islam. Penghormatan terhadap kedudukan tertinggi
merupakan penghormatan kepada tokoh/Waliullah yang dimakamkan di sana, bukan kepada
para Dewa yang berdiam di sana. Pemikiran ini berfungsi sebagai peringatan bahwa suatu hari
kita akan dipanggil untuk bertemu dengan Yang Ilahi, dan bahwa kita harus tetap berperilaku
dengan baik sebagai manusia [5].

2. Keberadaan Singo Barong


Kereta yang diukir berbentuk binatang yang aneh dan langka, bahkan makhluk seperti itu
tidak ada di alam, hanya dapat ditemukan di Keraton Kasepuhan Cirebon. Dikenal dengan nama
Kereta Singo Barong di Cirebon. Inisiatif Sultan untuk memulai kereta adalah untuk
kepentingan upacara Kirab dan upacara penobatan Raja. Alhasil, kereta itu tidak sejajar dengan
kereta yang dibayangkan komunitas tani atau masyarakat. Kereta Singo Barong merupakan
lambang kejayaan, pembeda derajat sosial, lambang kekuasaan raja, lambang persatuan antar
kekuatan, atau lambang oposisi terhadap kekuasaan. Keberadaannya dijadikan sebagai
pengaruh sosial dalam budaya multietnis, sehingga ada argumen bahwa itu adalah simbol
kebesaran, pembeda status sosial, simbol kekuasaan raja, simbol persatuan antar kekuatan, atau
simbol [8].

7
Gambar c.2.1 Kereta Singo Barong di Keraton Kasepuhan

Kereta Singo Barong hanya merupakan angkutan yang tidak ada artinya dalam prosesi
upacara pernikahan keluarga kerajaan. Bisa dimaklumi bahwa kereta "Singo Barong" berfungsi
sebagai metafora atau sebagai sesuatu yang kadang dirasakan, namun dalam satu upacara,
kereta "Singo Barong" dibatasi pada medium tekstual.

Gambar c.2.2 Motif batik Singo Barong sebagai objek bermakna kesadaran beraktivitas

Awal mula kereta Singo Barong tidak dapat dipisahkan dari penciptaan ikatan sosial oleh
manusia, karena manusia menghasilkan banyak sekali artefak material tidak hanya untuk
menyenangkan diri sendiri atau orang lain, tetapi juga untuk menetapkan dan
mendemonstrasikan bahwa manusia terlibat dalam "kehidupan yang efisien". sehingga dia
benar-benar menjadi manusia baik secara pribadi maupun kolektif [9]. Jika demikian, kereta

8
"Singo Barong" adalah metafora dari aktivitas sosial manusia yang akan berpengaruh pada
tatanan sosial manusia selanjutnya.

d. Perkembangan Keraton Kasepuhan Cirebon


1. Masa Islam dan Akulturasi Budaya
Hanya bangunan dalem agung pakungwati yang ada pada tahap awal pertumbuhan, tahun
1452. Bangunan-bangunan di Padepokan Pakungwati memiliki banyak kemiripan struktur,
diantaranya adalah susunan bata merah dengan ornamen wadasan di kiri-kanannya di bagian
bawah bangunan. Kemudian terdapat bagian terbuka di bagian tengah berupa tiang tanpa
dinding yang masing-masing memiliki pondasi umpak berupa lesung tanpa ornamen, tiang
tersebut adalah tiang kayu dengan pondasi umpak yang diukir dengan motif rucuk bung. di
bagian bawah, dan atapnya berupa atap model malang semirang. Sebagai sentuhan akhir,
digunakan genteng sebagai pelapis. Sebuah bangunan tanpa dinding seperti ruang terbuka,
memiliki prinsip kosmologis yang terekspresikan dalam bentuk kesatuan alamiah [10].

Gambar d.1.1 Hanya terdapat bangunan Dalem Agung Pakungwati

Selain dalem agung pakungwati pada tahun 1500, Masjid Agung dibangun pada konstruksi
tahap kedua. Siti Inggil, Museum Artefak Purba, Kuncung dan Kutagara Wadasan, Pungukur,
dan Pintu Buk Bacem hadir berikutnya.

9
Gambar d.1.2 Kompleks bangunan yang berdiri tahun 1500

Pengaruh Hindu dapat ditemukan pada Siti Inggil. Candi Bentar merupakan pintu gerbang
menuju Siti Inggil yang dilapisi dinding bata merah dengan sepasang piring keramik. Siti Inggil
mengadopsi budaya Hindu berupa candi bentar dan budaya Tionghoa berupa sepasang piring
keramik yang terlihat dari bentuk dan ornamen yang menghiasi bangunan ini. Fondasinya
terbuat dari sekumpulan bata merah yang telah digiling menjadi satu. Lima bangunan tanpa
dinding beratap sirap, deretan depan dari barat ke timur, seperti Mande Pendawa Lima dan
Mande Malang Semirang, bisa ditemukan di Siti Inggil.

Gambar d.1.3 Mande Pendawa Lima

Bagian bawah Mande Pendawa Lima terbuat dari bata merah dengan ornamen yang
menyerupai motif wadasan. Motif wadasan ini merupakan motif Cina. Satu-satunya ciri
struktural dari struktur ini adalah pilar lima potong yang mencerminkan lima rukun Islam. Lalu
ada atap joglo yang dilapisi sirap di sudut.

10
Gambar d.1.4 Mande Malang Semirang

Mande Malang Semirang memiliki pilar tengah (berukir) melambangkan 6 pilar iman; ada
total 20 pilar, yang mewakili 20 karakteristik (kodrat ilahi). Tiang-tiang pada bangunan ini
berornamen, dengan alas umpak berbentuk lesung dengan ukiran bunga berupa motif
kangkungan dan motif keliangan yang berasal dari ornamen Jawa Barat di bagian bawah.

Gambar d.1.5 Mande Semar Tinandu

Bagian bawah Mande Semar Tinandu terbuat dari susunan bata merah dengan ornamen
menyerupai motif wadasan. Satu-satunya elemen pengaturan di tengah ini adalah pilar yang
terdiri dari dua bagian yang mencerminkan dua kalimat syahadat. Lalu ada atap joglo yang
dilapisi sirap di bagian paling ujung.

11
Gambar d.1.6 Museum Pusaka atau museum artefak kuno

Arsitektur museum artefak kuno ini berbeda dengan bangunan lain di Siti Inggil. Dinding
bata telah digunakan untuk menutup atap dalam konstruksi ini. Tidak banyak ornamen pada
bangunan ini. Kerangka ini diukir dengan Wadasan di bagian bawah, melambangkan bahwa
orang yang hidup harus memiliki dasar yang kokoh, dan Super Mendungan di bagian atas,
melambangkan bahwa jika Anda pernah menjadi pemimpin atau penguasa, Anda harus bisa
membela bawahan atau warga negaranya. Gerbang Kutagara Wadasan adalah nama gerbang ini
[10].

Gambar d.1.7 Ritual yang ada sejak Hindu-Budha dan diakulturasi ke Islam

12
Aspek non fisik dan fisik suatu lanskap budaya masih saling berhubungan. Jenis-jenis non-
elemen yang terdapat pada lanskap budaya Cirebon, khususnya berupa upacara adat yang
dilakukan oleh warga Cirebon yang merupakan penganut adat salah satu keraton di Kota
Cirebon [7]. Ruang sakral seperti Istana Kasepuhan, Istana Kanoman, Istana Kacirebonan, dan
situs istana besar lainnya menyelenggarakan berbagai upacara setiap hari. Ritual lain, di sisi
lain, hanya dilakukan jika dianggap pantas di lokasi tertentu.

2. Masa Kolonial/Penyebaran Kristen


Pada tahun 1529, bangunan tambahan pada fase kelima seperti Bale Kambang, Dalem Arum
Kedalem, Balai Besar, Gedung Kaputren dan Paseban Kaputren, Kelurahan Pringgadani, dan
Jinem Pangrawit, serta Taman Bundaran Dewandaru ditambahkan ke dalam Keraton
Kasepuhan.

Gambar d.2.1 Bagian yang dibangun tahun 1529

Pada tahap keempat pembangunan Keraton Kasepuhan, tambahan berupa jinem pangrawit
dibangun pada tahun 1678.

Gambar d.2.2 Fase tahun 1678

Ada perluasan dalam bentuk pembuatan Bangsal Prabayaksa pada tahun 1682. Pengaruh
Budha dapat ditemukan pada Bangsal Prabayaksa.Bangsal Prabayaksa memiliki hiasan dinding
yang terbuat dari keramik Eropa yang belum pernah dipugar sejak dipasang. Salah satu keramik
ini menceritakan atau menggambarkan kisah dari Alkitab. Relief yang menampilkan bunga
teratai dan burung beo tua dibingkai dengan keramik dari tradisi Buddha.

13
Gambar d.2.3 Fase tahun 1682

Masuknya Gajah Nguling pada tahun 1845 yang adalah tahap pertumbuhan keenam,
merupakan pertanda langsung pengaruh budaya Eropa terhadap Keraton Kasepuhan.

Gambar d.2.4 Bentuk arsitektur Eropa pada keraton

Kisah-kisah Alkitab yang digambarkan pada ubin keramik merupakan representasi


langsung dari tokoh-tokoh Alkitab atau kejadian nyata yang terjadi di situs tersebut. Menurut
kisah tersebut, penempelan ke dinding bersifat sporadis dan berurutan. Ini menunjukkan bahwa
plesteran cerita-cerita Alkitab adalah seni artistik atau dekoratif murni, bukan berdasarkan
ideologi agama [11]. Keramik-keramik tersebut berlokasi di Jinem Pangrawit, Gajah Nguling,
Bangsal Pringgondani, Bangsal Prabayaksa, dan tembok pemisah menuju Balai Agung
Panembahan semuanya terhubung dan bertempat di gedung yang sama dengan bangunan utama
Keraton Kasepuhan.

14
Gambar d.2.5 Keramik cerita Alkitab yang tersusun acak

3. Evolusi Bangunan
Bentuk atap banyak bangunan baru, termasuk Prabayaksa / Gedung Induk, masih sama
dengan bangunan lama. Gaya atap ini digunakan pada bangunan modern seperti Pringgowati,
Kaputran, dan Kaputren, serta Gedong Ijo. Bentuk bagian depan atap Museum Alit mengikuti
model bagian depan bangunan Masjid atau Langgar.

Gambar d.3.1 Perbandingan atap

15
Gambar d.3.2 Perbandingan lantai

Bukaan ventilasi hias simetris dari bangunan lama, termasuk Gedung Induk, kini digunakan
dalam gaya bukaan/ventilasi bangunan modern, seperti Gedong Ijo, Pringgowati, Kaputran, dan
Kaputren, serta Museum Alit. Demikian pula, tiang-tiang pada banyak bangunan akhir-akhir ini
(Pringgowati dan Kaputren / Kaputran) mirip dengan yang ada pada bangunan yang lebih tua
(Bangunan Utama).

Gambar d.3.3 Perbandingan pintu, jendela, dan kolom

16
Banyak corak arsitektur kolonial, Tionghoa, dan Jawa dimasukkan ke dalam rancangan
arsitektur bangunan Keraton Kacirebonan. Rumah induk, Langgar, Pringgowati, Keputren, dan
Gedong Ijo, semuanya memiliki kombinasi gaya arsitektur kolonial, Tionghoa, dan Jawa
(akulturasi). Sedangkan rumah Museum Alit hanya menggunakan desain arsitektur Tionghoa
dan Jawa. Demikian pula, hanya gaya arsitektur Kolonial dan Jawa yang digunakan dalam
struktur Paseban Wetan dan Paseban Kulon [12].

e. Batik dan Kaligrafi Sebagai Ornamen Arsitektur


Motif batik Cirebon didasarkan pada potensi yang terdapat di Keraton Kasepuhan Cirebon,
khususnya dalam bentuk ragam hias. Slimpedan, Banteng, Buah Kanigaran, Daun Sirih, Untu
Walang, Bunga, Manggis, Awan Super, dan Wadasan adalah beberapa ragam hias yang digunakan
sebagai sumber ide membatik.

Gambar e.1 Batik Laras Slimpedan

Motif Slimpedan terinspirasi dari ornamen Slimpedan yang terlihat di pintu masuk Siti Inggil,
kemudian terbentuk wujud ornamen tersebut. Selain motif utamanya, semua motif pelengkap batik
tersebut terinspirasi dari ornamen-ornamen yang terlihat di Keraton Kasepuhan yang wujudnya
tercipta [13].

Gambar e.2 Batik Kekuwatan Bantheng

17
Motif banteng kunci pada Batik Kekuwatan Bantheng ini dipengaruhi oleh ornamen banteng
windu yang terdapat di bagian selatan pintu masuk Siti Inggil. Nilai penegakan hukum yang tegas
dalam penyelenggaraan negara dalam rangka mewujudkan rasa keadilan di masyarakat merupakan
ideologi batik Kekuwatan Bantheng [14].

Gambar e.3 Corak Mega Mendung yang ada pada jinem pangrawit

Tema dan ide yang ditampilkan pada motif Mega Mendung terinspirasi dari keramik Tiongkok.
Lambang awan yang menjadi dasar motif Mega Mendung menggambarkan kekayaan yang tak
terbatas, sehingga motif Mega Mendung yang masuk ke Cirebon terinspirasi dari budaya Tionghoa
yang bersumber dari simbol filosofi Tao. Selanjutnya prinsip-prinsip Taoisme diintegrasikan ke
dalam konteks motif Mega Mendung yang berpengaruh pada letak motif tersebut [15].

Gambar e.4 Perbandingan motif liman di gapura keraton dan candi-candi Hindu

18
Motif Liman adalah motif lar atau gapura Candi Bentar yang dipasang pada masa pemerintahan
wali. Motif ragam hias ini bisa dilihat di kanan dan kiri gapura atau Candi Bentar. Motif Liman
didasarkan pada jenis Makara yang dipengaruhi oleh kontur belalai gajah. Karena para wali (Wali
Songo) mencirikan masuknya Islam ke Jawa, maka gambaran budaya sebelumnya (Animisme,
Hindu, Budha) diadaptasi dengan ajaran cita-cita Islam melalui proses sinkretisme, seperti
penggambaran jenis Makara, yang menggambarkan hewan inventif. sebagai motif. Liman
berbentuk dua dimensi dan memiliki bentuk yang lebih disederhanakan [16].

f. Ornamentasi Arsitektur Taman Air


"Air" adalah aspek fisik lain yang memainkan peran penting dalam lanskap budaya Cirebon.
Akulturasi budaya Hindu-Budha dan Islam Jawa juga mempengaruhi pengertian aspek air. Jika air
merupakan cerminan tempat para dewa bermain dalam budaya Hindu-Budha Jawa, maka air dalam
budaya Cirebon terutama digunakan sebagai alat pemurnian. Alhasil, aspek air bisa dilihat hadir
dalam setiap pelaksanaan ritual adat, baik sebagai unsur pelengkap ritual maupun sebagai posisi
ritual adat (seperti pada saat ritual sedekah laut) [7].

Gambar f.1 Orientasi Taman Air Sunyaragi kompleks Gua Peteng

Hierarki taman air ini berada di tengah-tengah kawasan Sunyaragi yang kawasannya memiliki
zonasi privat yaitu untuk anggota keluarga Keraton memiliki lokasi tertinggi di kawasan tersebut,
dan kaya akan ornamen, sedangkan dikhususkan untuk warga di Timur. Hierarki berikut ini
mendekati definisi hierarki dalam arsitektur Cina. Karena mengarah ke Istana, sumbu yang
terbentuk di Taman Air Gua Peteng (jalan rahasia taman air) berorientasi Timur-Barat, sehingga
memudahkan masuk ke taman. Orientasi Timur-Barat, sebaliknya, sejalan dengan prinsip fengshui
dalam arsitektur Tionghoa, yang melambangkan jalan kehidupan manusia, yaitu kelahiran (Timur)
dan kematian (Barat).

19
Gambar f.2 Orientasi bagian Gua Arga Jumut

Hierarki di taman air ini berada di ujung lokasi, mirip dengan prinsip Sentong Tengah dalam
penataan Arsitektur Islam-Jawa, dimana tempat tersebut merupakan tempat suci. Hal ini juga
diperkuat dengan adanya kolam petirtaan di dalam taman air yang berfungsi sebagai ruang meditasi.
Struktur ini dapat dianalogikan dengan tatanan Jawa-Islam yang telah memasuki Era Islam di Jawa
pada saat dibangunnya, yaitu pada tahun 1703, seperti yang ditunjukkan oleh orientasi Utara-
Selatan kompleks keraton dan makam Sunan Gunung Jati [17].

Gambar f.3 Hubungan antara kolam petirtaan dengan area keputren

20
Peran air dalam penataan ruang terkait dengan "perempuan", seperti yang ditunjukkan oleh
posisinya di lapangan Keputrean, atau fakta bahwa setiap wilayah di Keputren memiliki aspek air,
sehingga dapat disimpulkan bahwa unsur air ada kaitannya dengan perempuan. Sebab, Yoni
(tandon air) yang melambangkan perempuan juga merupakan tanda kesuburan, begitu pula dengan
aspek air yang dianggap sebagai kesuburan tanah dalam agama Hindu. Akibatnya, air dan
perempuan menjadi indikator kesuburan tanah, yang meningkatkan hasil panen dan kesuburan
manusia, menghasilkan keturunan dalam jumlah yang signifikan [17].

Gambar f.4 Lorong menuju kolam yang tersusun dari wadasan

Wadasan, juga dikenal sebagai gunungan dalam agama Hindu, adalah sejenis Gunung Meru
yang merupakan rumah bagi para dewa [6]. Wadasan digunakan sebagai tanda dan dekorasi ketika
ajaran Islam masuk ke Cirebon. Wadasan adalah metafora untuk benda-benda keagamaan seperti
makam keluarga sultan dan jenazah kereta kekaisaran. Wadasan juga digunakan untuk membangun
bukit buatan di taman kerajaan.

21
Gambar f.5 Kriteria wadasan yang dijadikan bahan gunungan taman

Wadasan adalah batu yang disusun meniru lingkungan alam, namun tidak memiliki pola
tertentu. Wadasan yang ditempel di dinding dimaksudkan untuk menutupi rumah agar tampak
seperti gunungan. Wadasan terdiri dari berbagai bahan dengan ukuran berbeda. Kesan sakral dan
spiritual Wadasan ditegaskan oleh karakter batuan yang berat dengan tekstur yang kasar dan tertata
sesuai dengan alam. Perasaan suci dan magis yang dilontarkan Wadasan mendukung makna sakral
Wadasan.

Gambar f.6 Fungsi Gua Peteng

22
Gua Peteng (Gua Gelap), yang digunakan untuk mengajar, adalah gua induk dari keseluruhan
sistem gua. Bangsal Jinem digunakan ketika Sultan mengakui bawahan untuk persetujuan. Nama
bangsal Jinem ini menunjukkan bahwa Taman itu kadang-kadang digunakan sebagai kastil. Namun,
tujuan utama taman ini adalah bertindak sebagai tempat refleksi [18].

\
Gambar f.7 Fungsi Bangsal Jinem

Bangsal Jinem memiliki peran militer sebagai alat perlindungan karena berfungsi sebagai
tempat sultan memberikan pembinaan sambil tetap mengawasi latihan tentara.

Bab 3 Kesimpulan
Pola pikir terbuka Sultan Cirebon dan pengaruh posisi strategis tersebut mempengaruhi akulturasi
budaya di Kraton Kasepuhan Cirebon. Cirebon merupakan pusat perdagangan, tempat berkumpulnya
orang-orang dari beragam suku, kepercayaan, dan komunitas dari seluruh dunia, berkat lokasinya yang
strategis. Pola pikir terbuka Sultan Cirebon merupakan aspek terpenting yang memungkinkan berbagai
unsur budaya merambah bangunan dan budaya Cirebon.
Akulturasi Cirebon yang menjadi ciri khas masyarakat hingga saat ini sebagian besar disebabkan oleh
pengaruh geografis dan sejarah. Cirebon, sebagai kota pesisir, merupakan pelabuhan penting di pantai utara
Jawa sebelum dan sesudah masuknya pengaruh Islam. Cirebon sangat mudah menerima pertukaran budaya
yang luas dan mendalam dalam peran ini. Cirebon merupakan persimpangan jalan bagi berbagai suku,
agama, bahkan bangsa.

23
Daftar Pustaka

[1] S. Hardjasaputra, Cirebon Dalam Lima Abad, Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa
Barat, 2011.

[2] W. Handayani, "Bentuk, Makna dan Fungsi Seni Kerajinan Batik Cirebon," Jurnal ATRAT, vol. 5, no. 1, pp. 58-
71, 2018.

[3] S. Juwono, D. Aryanti and K. Maria, "Caruban sebagai Asal Nama “ Cirebon” Eksplorasi Spirit Arsitektur," in
Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI), Sekolah Tinggi Teknologi Cirebon, Universitas
Indraprasta, Universitas Trisakti , 2017.

[4] D. Rosmalia, "Pola Ruang Lanskap Keraton Kasepuhan Cirebon," in Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan
Binaan Indonesia (IPLBI) 2, Laboratorium Perkembangan Arsitektur, Departemen Arsitektur ITS, Surabaya,
Maret 2018.

[5] D. Rosmalia, Pengaruh Kebudayaan Keraton terhadap Pola Ruang Lanskap Budaya Cirebon, Bandung:
Institut Teknologi Bandung, 2016.

[6] F. Paramarini and K. A. Arief, "Wadasan as an Architectural Element in Gua Sunyaragi Water Park, Cirebon,"
Jurnal RISA (Riset Arsitektur), vol. 03, no. 01, pp. 50-71, Januari 2019.

[7] D. Rosmalia and L. E. Prasetya, "Kosmologi Elemen Lanskap Budaya Cirebon," in Seminar Ikatan Peneliti
Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI), Sekolah Tinggi Teknologi Cirebon, Universitas Indraprasta, Universitas
Trisakti, 2017.

[8] Sumino, "Kereta Singo Barong di Keraton Kasepuhan Cirebon," CORAK Jurnal Seni Kriya, vol. 1, no. 1, pp. 78-
90, Mei-Oktober 2012.

[9] A. Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta: LKIS, 2002.

[10] H. I. Dewi and Anisa, "Akulturasi Budaya Pada Perkembangan Kraton Kasepuhan Cirebon," Proceeding
PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur & Sipil), vol. 3, pp. 55-66, Oktober 2009.

[11] N. Harkantiningsih, "Seni Hias Tempel Keramik Kesultanan Cirebon: Toleransi Dalam Kebinekaan," Kapata
Arkeologi, vol. 13, no. 2, p. 233—246, November 2017.

[12] I. Sudrajat, B. T. Pratama and N. Soewarno, "Akulturasi Gaya Bangunan Pada Kompleks Keraton
Kacirebonan," in Seminar Nasional ITENAS 46th: Membina Rasa, Menggapai Asa, Bandung, 2018.

[13] A. Nursalim, "Dekontruksi Motif Batik Keraton Cirebon: Pengaruh Ragam Hias Keraton Pada," Jurnal Ritme,
vol. 2, no. 1, 2016.

[14] A. Nurdiyanti and M. F. Na’am, "Batik Sumber Ide Ornamen Keraton Kasepuhan Cirebon," TEKNOBUGA
(Teknologi Busana dan Boga), vol. 8, no. 1, pp. 1-8, 2020.

24
[15] I. M. Yusup, "Kajian Ikonografi Motif Mega Mendung Cirebon," DESKOVI : Art and Design Journal, vol. 3, no.
2, pp. 92-98, Desember 2020.

[16] H. Hendriyana, "Imaji dan Imajinasi Motif Hias Liman dan Delima Dalam Ranah Transformasi Desain Masa
Pra-Islam Hingga Masa Islam Para Wali di Keraton Cirebon," Prodi Tata Rias dan Busana, Institut Seni
Budaya Indonesia (ISBI) Bandung.

[17] F. R. Andayani and Y. Saliya, "Spatial Principles and Ornamentation on Water Garden Relics of Kesultanan
Cirebon," Jurnal RISA (Riset Arsitektur), vol. 03, no. 04, pp. 363-380, Oktober 2019.

[18] S. Juwono, D. Ariyani and S. Wardiningsih, "Falsafah Tasawuf Islam Dalam Arsitektur Taman Sunyaragi,"
Jurnal Arsitektur NALARs, vol. 14, no. 1, pp. 29-38, Januari 2015.

[19] A. Gozali, "Kaligrafi Arab Dalam Seni Lukis Kaca Cirebon," Brikolase, vol. 3, no. 2, pp. 74-93, Desember 2011.

25

Anda mungkin juga menyukai