Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

LABIOPALATOSCHIZIS

OLEH:
RIDHO FADILA ALFAJRI
I4051201004

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2021

1
KONSEP PENYAKIT LABIOPALATOSCHIZIS

A. Pengertian
Labiopalatoschizis merupakan kelainan pada daerah mulut berupa labiosisis (sumbing
pada bibir), dan palatosisis (sumbing pada palatum) yang diakibatkan oleh kegagalan
penyatuan jaringan lunak atau struktur tulang selama masa perkembangan embrio
(Hidayat, 2008).
Cleft lip and cleft palate atau labiopalatoskisis merupakan kegagalan
penyatuan atau perkembangan jaringan lunak dan atau tulang selama fase embrio pada
trisemester pertama. Sumbing bibir adalah terbelahnya bibir dan atau hidung karena
kegagalan proses nasal medial dan maksilaris untuk menyatu selama masa kehamilan
6-8 minggu. Palato skisis adalah adanya celah pada garis tengah palato yang
disebabkan oleh kegagalan penyatuan susunan palate pada masa kehamilan 7-12
minggu.

B. Klasifikasi
Jenis kelainan cleft (sumbing), berdasarkan organ yang terlibat yaitu:
1. Celah di bibir (labioskisis)
2. Celah di gusi (gnatoskisis)
3. Celah di langit mulut (palatoskisis)
4. Celah terjadi pada lebih dari 1 organ. Misal, terjadi di bibir dan langit-langit
(labiopalatoskisis) atau terjadi pada bibir, palatum hingga mengenai gusi bagian
atas (labio gnatopalatoskisis).
Beberapa jenis bibir sumbing :
1. Unilateral Incomplete
Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu sisi bibir dan tidak memanjang
hingga ke hidung.
2. Unilateral complete
Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu bibir dan memanjang hingga ke
hidung.
3. Bilateral complete
Apabila celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung.

C. Etiologi
Sumbing bibir disebabkan oleh kegagalan fusi prosesus maksilaris dan
frontonasalis selama minggu ke enam usia gestasi. Pada kasus bilateral, premaksila
mengalami anteversi. Masalah ini selalu berkaitan dengan deformitas nasal. Sumbing
palatum dapat berdiri sendiri tau bersama dengan sumbing bibir. Ini disebabkan oleh
kegagalan fusi prosesus palatinum dan septum nasi. Sumbing data menyebabkan
regurgitas nasal makanan, dan kemudian “suara sumbing palatum” karena kebocoran
nasal (Meadow & Newell, 2007).
Kelainan kongenital seperti tracheoesophalangeal fistula, omphalocele, trisomi
13, dan displasia skeletal dihubungkan dengan kejadian cleft lip dan cleft palate
sekitar 20-30% dari kasus. Terdapat kasus yang meningkat pada keluarga dengan
riwayat sumbing bibir atau sumbing palatum (Wong, 2008).
Penyebabnya bersifat multifaktorial, meliputi gabungan antara faktor
lingkungan dan genetik. Diantaranya abnormalitas kromosom, faktor lingkungan atau
teratogen, obat-obatan, nutrisi saat kehamilan, dan ibu hamil yang merokok.

Secara garis besar penyebab sumbing bibir dan palatum adalah sebagai berikut:
1. Kegagalan fase embrio penyebabnya belum diketahui
2. Fraktur herediter
3. Dapat dikaitkan dengan abnormal kromosom (sindrom patau/ trisomi 13),
mutasi gen, dan teratogen (agen atau faktor yang menimbulkan cacat pada
masa embrio)
4. Obat-obatan, seperti phenytoin, asam valproat, thalidomine, dan dioxin
pestisida.
5. Nutrisi saat kehamilan, contohnya pada keadaan kekurangan atau defisiensi
asam folat, mengkonsumsi alkohol dan rokok selama hamil.
D. Patofisiologi

Lingkungan: Perubahan konsentrasi


Genetik Fraktur herediter
glukokortikoid &perubahan
teratogen
faktor epidermal

Minggu ke 5 kehamilan

Prosesus maksilaris tumbuh kedua


Anterior arah
Medial

Penyatuan dengan Sel mesenkim sebagai


penginduksi
pembentukan prosesus
frontonasal (pada 2 titik
dibawah lubang hidung
untuk membentuk bibir
Gagal menyatu Diferensiasi sel epitel
atas)
pada prosesus palatal

Celah kecil s/d


Bergabung dengan
kelainan hebat
sepptum nasalis di garis
pada wajah
tengah

Bibir saja/meluas;
lubang hidung, Gagal bergabung
tulang maxila, gigi

Gangguan bicara, Celah pada tekak,


gangguan labioskisis palato lunak dan keras,
menghisap, dll distorsi hidung

Komplikasi:
Palatoskisis
Gangguan pendengaran Terjadi bersama: (kehamilan 9 minggu)
Otitis media
labiopalatoskisis
Distres pernafasan
Resiko infeksi saluran
pernafasan
Gangguan bicara
Tumbang terhambat
10 Aspirasi, dll.
pembedahan
E. Manifestasi Klinik
Tanda yang paling jelas adalah tampak celah pada bibir atas. Bayi akan kesulitan
menghisap ASI dan kesulitan dalam berbicara. Anak dengan cleft kadang memiliki
gangguan dalam pendengarannya. Biasanya cleft palate dapat mempengaruhi
pertumbuhan rahang anak dan proses tumbuh kembang dari gigi geliginya (menjadi
berjajal).

Manifestasi klinis lainnya yang terlihat pada cleft lip dan cleft palatum sebagai
berikut:
1. Pada Labio skisis
a.Distorsi pada hidung (kelainan bentuk pada hidung, seperti asimetris
cuping hidung atau nostril, adanya celah hidung pada palatum).
b.Tampak sebagian atau keduanya
c.Adanya celah pada bibir

2. Pada Palatoskisis
a.Tampak ada celah pada tekak (uvula), palato lunak, dan keras dan atau
foramen incisive
b.Adanya rongga pada hidung
c.Distorsi hidung
d.Teraba celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari
e.Kesukaran dalam menghisap atau makan (Suriadi & Yuliani, 2010).

F. Pemeriksaan Penunjang
`Pemeriksaan diagnostik meliputi:
1. Foto rotgen
2. Pemeriksaan fisik
3. MRI( Magnetic Resonance Imaging) untuk elevasi abnormal (Suriadi &
Yuliani, 2010).

11
G. Komplikasi
Otitis media berulang dan ketulian sering terjadi. Jarang dijumpai kasus karies
gigi yang berlebihan. Koreksi ortodontik diperlukan apabila terdapat kesalahan
dalam penempatan arkus maksilaris dan letak gigi geligi.
Cacat wicara bisa ada tau menetap meskipun penutupan palatum secara
anatomik telah dilakukan dengan baik. Cacat wicara yang demikian ditandai
dengan pengeluaran udara melalui hidung dan ditandai dengan kualita hipernasal
bila membuat suara tertentu. `baik sebelum maupun setelah operasi palatum, cacat
wicara disebabkan oleh fungsi otot palatum dan faring yang tidak adekuat. Selama
proses menelan dan pada saat mengeluarkan suara tertentu, otot-otot palatum
molle dan dinding lateral serta posterior nasofaring membentuk suatu katup yang
memisahkan nasofaring dengan orofaring. Jika katup tersebut tidak berfungsi
secara adekuat, anak sukar menciptakan tekanan yang cukup didalam mulutnya
dan membuat suara ledakan seperti p,b, d, t, h, y atau bunyi berdesis s, sh, ch.
Kemungkinan terapi bicara (speech theraphy) diperlukan setelah tindakan
pembedahan (Nelson,2010).

H. Tumbuh kembang anak


1. Pengertian Tumbuh Kembang

Secara alamiah, setiap individu hidup akan melalui tahap pertumbuhan dan
perkembangan, yaitu sejak embrio sampai akhir hayatnya mengalami perubahan
ke arah peningkatan baik secara ukuran maupun secara perkembangan. Istilah
tumbuh kembang mencakup dua peristiwa yang sifatnya saling berbeda tetapi
saling berkaitan dan sulit dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan.
Pengertian mengenai pertumbuhan dan perkembangan adalah sebagai berikut :
Pertumbuhan adalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran, atau dimensi tingkat
sel organ, maupun individu yang bisa diukur dengan ukuran berat (gram, pon,
kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang, dan keseimbangan metabolik
(retensi kalsium dan nitrogen tubuh) (Adriana, 2013).
Perkembangan (development) adalah bertambahnya skill (kemampuan) dalam
struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat
diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini menyangkut adanya
proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ, dan sistem
organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat
memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual, dan
tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya (Soetjiningsih, 2012).

Pertumbuhan dan perkembangan secara fisik dapat berupa perubahan


ukuran
besar kecilnya fungsi organ mulai dari tingkat sel hingga perubahan organ tubuh.
Pertumbuhan dan perkembangan kognitif anak dapat dilihat dari kemampuan
secara simbolik maupun abstrak, seperti berbicara, bermain, berhitung, membaca,
dan lain-lain.

2. Tahap Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak dapat ditentukan oleh masa atau
waktu kehidupan anak. Menurut Hidayat (2008) secara umum terdiri atas masa prenatal
dan masa postnatal.
1. Masa prenatal

Masa prenatal terdiri atas dua fase, yaitu fase embrio dan fase fetus. Pada masa
embrio, pertumbuhan dapat diawali mulai dari konsepsi hingga 8 minggu pertama
yang dapat terjadi perubahan yang cepat dari ovum menjadi suatu organisme dan
terbentuknya manusia. Pada fase fetus terjadi sejak usia 9 minggu hingga
kelahiran, sedangkan minggu ke-12 sampai ke-40 terjadi
peningkatan fungsi organ, yaitu bertambah ukuran panjang dan berat badan
terutama pertumbuhan serta penambahan jaringan subkutan dan jaringan otot.
2. Masa postnatal
Terdiri atas masa neonatus, masa bayi, masa usia prasekolah, masa sekolah,
dan masa remaja.
a. Masa neonatus

Pertumbuhan dan perkembangan post natal setelah lahir diawali


dengan masa neonatus (0-28 hari). Pada masa ini terjadi kehidupan
yang baru di dalam ekstrauteri, yaitu adanya proses adaptasi semua
sistem organ tubuh.
b. Masa bayi

Masa bayi dibagi menjadi dua tahap perkembangan. Tahap pertama


(antara usia 1-12 bulan): pertumbuhan dan perkembangan pada masa
ini dapat berlangsung secara terus menerus, khususnya dalam
peningkatan sususan saraf. Tahap kedua (usia 1-2 tahun): kecepatan
pertumbuhan pada masa ini mulai menurun dan terdapat percepatan
pada perkembangan motorik.
c. Masa usia prasekolah

Perkembangan pada masa ini dapat berlangsung stabil dan masih


terjadi peningkatan pertumbuhan dan perkembangan, khususnya pada
aktivitas fisik dan kemampuan kognitif. Menurut teori Erikson (dalam
Nursalam, 2005), pada usia prasekolah anak berada pada fase inisiatif
vs rasa bersalah (initiative vs guilty). Pada masa ini, rasa ingin tahu
(courius) dan adanya imajinasi anak berkembang, sehingga anak
banyak bertanya mengenai segala sesuatu di sekelilingnya yang tidak
diketahuinya. Apabila orang tua mematikan inisiatifnya maka hal
tersebut membuat anak merasa bersalah. Sedangkan menurut teori
Sigmund Freud, anak berada pada fase phalik, dimana anak mulai
mengenal perbedaan jenis kelamin perempuan dan lakilaki. Anak juga
akan mengidentifikasi figur atau perilaku kedua orang tuanya
sehingga kecenderungan untuk meniru tingkah laku orang dewasa
disekitarnya. Pada masa usia prasekolah anak mengalami proses
perubahan dalam pola makan dimana pada umunya anak mengalami
kesulitan untuk makan.
Proses eliminasi pada anak sudah menunjukkan proses kemandirian
dan perkembangan kognitif sudah mulai menunjukkan perkembangan,
anak sudah mempersiapkan diri untuk memasuki sekolah (Hidayat,
2008).
d. Masa sekolah

Perkembangan masa sekolah ini lebih cepat dalam kemampuan fisik


dan kognitif dibandingkan dengan masa usia prasekolah.
e. Masa remaja

Pada tahap perkembangan remaja terjadi perbedaan pada perempuan


dan laki-laki. Pada umumnya wanita 2 tahun lebih cepat untuk masuk
ke dalam tahap remaja/pubertas dibandingkan dengan anak laki-laki
dan perkembangan ini ditunjukkan pada perkembangan pubertas.
3. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak menurut
Adriana, 2013 adalah
1. Faktor internal

Berikut ini adalah faktor-faktor internal yang berpengaruh pada tumbuh


kembang anak, yaitu
a. Ras/etnik atau bangsa

Anak yang dilahirkan dari ras/bangsa Amerika tidak memiliki faktor


herediter ras/bangsa Indonesia atau sebaliknya.
b. Keluarga

Ada kecenderungan keluarga yang memiliki postur tubuh tinggi, pendek,


gemuk, atau kurus.
c. Umur

Kecepatan pertumbuhan yang pesat adalah pada masa prenatal, tahun


pertama kehidupan, dan pada masa remaja.
d. Jenis kelamin

Fungsi reproduksi pada anak perempuan berkembang lebih cepat daripada


laki-laki. Akan tetapi setelah melewati masa pubertas, pertumbuhan
anak laki-laki akan lebih cepat.
e. Genetik

Genetik (heredokonstitusional) adalah bawaan anak yaitu potensi anak


yang akan menjadi ciri khasnya. Ada beberapa kelainan genetik yang
berpengaruh pada tumbuh kembang anak, contohnya seperti kerdil.
f. Kelainan kromosom

Kelainan kromosom umumnya disertai dengan kegagalan pertumbuhan


seperti pada sindroma Down’s dan sindroma Turner’s.
g. Faktor eksternal

Berikut ini adalah faktor-faktor eksternal yang berpengaruh pada tumbuh


kembang anak.
1) Faktor prenatal
a. Gizi Nutrisi ibu hamil terutama pada trimester akhir
kehamilan akan memengaruhi pertumbuhan janin.
b. Mekanis Posisi fetus yang abnormal bisa menyebabkan
kelainan kongenital seperti club foot.
c. Toksin/zat kimia Beberapa obat-obatan seperti
Aminopterin atau Thalidomid dapat menyebabkan kelainan
kongenital seperti palatoskisis.
d. Endokrin
Diabetes mellitus dapat menyebabkan makrosomia,
kardiomegali, dan hyperplasia adrenal.
e. Radiasi
Paparan radiasi dan sinar Rontgen dapat mengakibatkan
kelainan pada janin seperti mikrosefali, spina bifida,
retardasi mental, dan deformitas anggota gerak, kelainan
kongenital mata, serta kelainan jantung.
f. Infeksi
Infeksi pada trimester pertama dan kedua oleh TORCH
(Toksoplasma, Rubella, Citomegali virus, Herpes
simpleks) dapat menyebabkan kelainan pada janin seperti
katarak, bisu tuli, mikrosefali, retardasi mental, dan
kelainan jantung kongenital.
g. Kelainan imunologi Eritoblastosis fetalis timbul atas dasar
perbedaan golongan darah antara janin dan ibu sehingga
ibu membentuk antibody terhadap sel darah merah janin,
kemudian melalui plasenta masuk ke dalam
peredaran darah janin dan akan menyebabkan hemolysis
yang selanjutnya mengakibatkan hiperbilirubinemia dan
kerniktus yang akan menyebabkan kerusakan jaringan
otak.
h. Anoksia embrio

Anoksia embrio yang disebabkan oleh gangguan fungsi


plasenta menyebabkan pertumbuhan terganggu.
i. Psikologi ibu Kehamilan yang tidak diinginkan serta
perlakuan salah atau kekerasan mental pada ibu hamil dan
lain-lain.
2) Faktor persalinan

Komplikasi persalinan pada bayi seperti trauma kepala, asfiksia


dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak
3) Faktor pasca persalinan
a. Gizi
Untuk tumbuh kembang bayi, diperlukan zat makanan
yang adekuat.
b. Penyakit kronis atau kelainan kongenital
Tuberculosis, anemia, dan kelainan jantung bawaan
mengakibatkan retardasi pertumbuhan jasmani.
c. Lingkungan fisik dan kimia
Lingkungan yang sering disebut melieu adalah tempat anak
tersebut hidup berfungsi sebagai penyedia kebutuhan dasar
anak (provider). Sanitasi lingkungan yang kurang baik,
kurangnya sinar matahari, paparan sinar radioaktif dan zat
kimia tertentu (Pb, Merkuri, rokok, dan lain-lain)
mempunyai dampak yang negatif terhadap pertumbuhan
anak.
d. Psikologis
Hubungan anak dengan orang sekitarnya. Seorang anak
yang tidak dikehendaki oleh orang tuanya atau anak yang
selalu merasa tertekan, akan mengalami hambatan di dalam
pertumbuhan dan perkembangan.
e. Endokrin
Gangguan hormon, misalnya pada penyakit hipotiroid,
akan menyebabkan anak mengalami hambatan
pertumbuhan.
f. Sosioekonomi
Kemiskinan selalu berkaitan dengan kekurangan makanan
serta kesehatan lingkungan yang jelek dan tidaktahuan, hal
tesebut menghambat pertumbuhan anak.
g. Lingkungan pengasuhan Pada lingkungan pengasuhan,
interaksi ibu-anak sangat memengaruhi tumbuh kembang
anak.
h. Stimulasi

Perkembangan memerlukan rangsangan atau stimulasi,


khususnya dalam keluarga, misalnya penyediaan mainan,
sosialisasi anak, serta keterlibatan ibu dan anggota keluarga
lain terhadap kegiatan anak.

i. Obat-obatan
Pemakaian kortikosteroid jangka panjang akan
menghambat pertumbuhan, demikian halnya dengan
pemakaian obat perangsang terhadap susunan saraf yang
menyebabkan terhambatnya produksi hormon
pertumbuhan.

I. Penatalaksanaan Medis
Dalam menangani masalah Labiopalatoskisis ini, pembedahan dilakukan untuk
penutupan bibir dan palatum. Penutupan bibir sumbing secara bedah biasanya
dilakukan setelah anak berumur 2 bulan, ketika anak telah menunjukkan kenaikan
berat badan yang memuaskan dan bebas dari infeksi oral, saluran napas, atau sistemik.
Perbaikan pertama dapat direvisi saat berumur 4-5 tahun. Operasi hidung untuk
mengatasi distorsi hidung sering dilakukan pada saat perbaikan bibir (Nelson, 2010).
Namun rinoplasti atau operasi hidung bisa juga dilakukan saat berumur 3-6 bulan.
Adapun kondisi yang perlu diperhatikan pada bayi untuk dapat dilakukan
operasi antara lain, bayi harus dalam keadaan umum yang baik, tidak sakit , tidak
sedang infeksi, ketahanan tubuh bayi stabil dalam menerima tindakan operasi, asupan
gizi yang cukup dilihat dari keseimbangan berat badan dan umur bayi.
Pembedahan pada bayi harus memperhatikan syarat yang dikenal dengan
Formula Ten atau “Rule of Ten” , yaitu :
1. Berat badan bayi sekurang-kurangnya 10 pon (4,5 kg).
2. Umur bayi minimal 10 minggu
3. Hb lebih dari 10 gr %.
4. Leukosit < 10.000 mm3

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian keperawatan sebaiknya meliputi pengkajian fisiologis dan
psikososial. Pada pengkajian fisiologis kelainan pada bibir dapat terobservasi pada
saat kelahiran. Kelainan sumbing palatum terkaji selama fase neonatus pada saat
pengkajian dengan palpasi palatum menggunakan jari.
Pengkajian respon keluarga juga merupakan bagian yang penting karena
kelainan, terutama pada wajah, dapat mengecewakan orang tua. Penatalaksanaan yang
salah terhadap kelainan ini dapat menimbulkan ketidakpercayaan diri pada anak.
Selain itu kaji tumbuh kembang anak dan interaksi sosial dengan lingkungannya (Ball
& Bindler, 2003).
Selain itu pada pengkajian didapatkan :terjadi kesukaran dalam menghisap,
menelan, makan, terjadi penurunan bernafas, mudah tersedak, distres pernafasan dan
aspirasi, dan dispneu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya distorsi hidung,
adanya celah pada bibir apabila terjadi bibir sumbing (labiosisis), adanya rongga pada
hidung, celah atau terbukanya langit-langit, adanya celah pada uvula apabila terjadi
sumbing palatum (palatosisis) (Hidayat, 2008).

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul terbagi dua, yaitu pada fase preoperatif dan
postoperatif SDKI, (2017) :
1. Preoperatif
a. Resiko aspirasi (air susu, formula makanan, sekret) berhubungan dengan
gangguan menelan (kelainan anatomi)
b. Risiko defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan bayi menelan
makanan

2. Post operatif
a. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif
b. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik (insisi
pembedahan)

C. Intervensi
Menurut Nurarif (2015) intervensi untuk masalah keperawatan anak pada pasien dengan
labiopalatoschizis adalah:
Preoperatif
1. Resiko aspirasi (air susu, formula makanan, sekret) berhubungan dengan gangguan
menelan (kelainan anatomi)
Tujuan : klien menunjukkan tidak terjadi aspiasi setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam
Kriteria hasil : aspirasi tidak terjadi, klien mamapu menelan dengan baik
Intervensi :
a. Kaji status respiratori dan tanda-tanda vital minimal setiap dua jam.
b. Posisikan tubuh miring setelah pemberian makan.
c. Beri makanan secara perlahan dan gunakan alat yang sesuai. Misalnya: penggunaan
dot yang lebih besar.
d. Sendawakan dengan menepuk punggung bayi setiap pemberian cairan 15-30ml.
e. Angkat kepala saat pemberian makan.
f. Dekatkan peralatan suction disamping tempat tidur.

2. Risiko defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan bayi menelan makanan


Tujuan : klien menunjukkan tidak terjadi defisit nutrisi setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam
Kriteria hasil : Berat badan normal tinggi badan normal, IMT normal, Hb normal,
albumin normal, tidak tampak kurus, mata tidak cekung
Intervensi :
a. Kaji intake cairan dan kalori serta berat badan setiap hari (waktu dan penimbangan
sama dengan bayi ditimbang tanpa menggunakan pakaian).
b. Observasi kelemahan respirasi.
c. Sediakan nutrisi 100-150 kalori/kg/hari dan cairan 100-130 ml/kg/hari. Jika bayi
membutuhkan jumlah kalori tambahan untuk pertumbuhannya maka disarankan
untuk konsultasi pada ahli gizi.
d. Fasilitasi pemberian ASI.
e. Pertahankan posisi bayi dengan posisi semi duduk selama makan.
f. Jelaskan pada Ibu cara menyusui bayi dengan labiopalatoskisis.Seperti menutup
celah bibir dan rangsang pengeluaran ASI.
g. Jika ibu tidak bisa atau tidak mau menyusui, maka anjurkan penggunaan botol susu.
h. Tempatkan dot pada samping bibirr mulut bayi dan usahakan lidah mendorong
makanan atau minuman kedalam. Gunakan dot yang lunak dan besar.
i. Beri makan dalam jumlah yang sedikit secara perlahan.
j. Tepuk punggung setiap 15-30 ml setelah minuman atau makanan diberikan.
k. Berikan makanan lewat NGT bila bayi tidak dapat makan lewat mulut.

Post Operatif
1. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif
Tujuan : klien menunjukkan tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam
Kriteria hasil : tidak ada tanda-tanda infeksi
Intervensi:
a. Kaji tanda-tanda vital setiap 2 jam
b. Kaji rongga mulut setiap 2 jam atau sesuai kebutuhan, meliputi area yang lunak
dan kemerahan, lesi, atau penampilan sekresi
c. Bersihkan daerah jahitan dengan normal saline atau ar steril jika diperlukan
d. Bersihkan daerah yang sumbing dengan memberikan 5-15ml air setelah makan
e. Bila terbentuk kerak, gunakan cotton swab yang sudah diberi larutan peroksida
f. Berikan krim antibiotik pada luka jahitan sesuai kebutuhan
g. Selalu mencuci tangan dan menggunakan teknik sterilitas ketika melakukan
tindakan pada luka jahitan.

2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanika/ insisi pembedahan


Tujuan : klien menunjukkan gangguan integritas kulit teratasi setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 3x24 jam
Kriteria hasil : tidaka ada kerusakan jaringan/ lapisan kulit, tidak ada kemerahan, tidak
ada perdarahan, tidak ada nyeri
a. Posisikan bayi dengan perbaikan sumbing pada posisi satu (miring) atau belakang
saja
b. Gunakan penahan siku yang lembut. Lepaskan setiap 2 jam lalu pindahkan.
Jangan meninggalkan bayi tanpa pengawasan ketika penahan dilepaskan
c. Pertahankan metal bar (logan bow) atau steri-strips diatas sumbing bibir yang
diperbaiki
d. Jauhkan peralatan metal setelah perbaikan sumbing palatum
e. Manajemen nyeri yang baik pada periode postoperatif. Dorong keluarga untuk
menjaga dan membuat nyaman anak.
f. Berikan aktivitas perkembangan yang sesua seperti bergerak, musik, dll.

D. Evaluasi
1. Preoperatif
Kriteria evaluasi fase preoperatif, yaitu:
a. Tidak ada distres pernafasan dan respirasi normal dan adekuat
b. Pertumbuhan berat badan bayi normal
c. Pengetahuan tentang kelainan, tatalaksana, dan kebutuhan bayi

2. Postoperatif
Kriteria evaluasi fase postoperatif, yaitu:
a. Tidak ada infeksi
b. Area pembedahan sembuh dengan baik
c. Manajemen nyeri efektif
d. Keseimbangan cairan dan elektrolit dan peningkatan berat badan yang adekuat
DAFTAR PUSTAKA

Adriana. D. (2013). Tumbuh Kembang & Terapi Bermain Pada Anak.Jakarta:


Selemba Medika.
Ball, Jane W., & Bindler, Ruth. (2003). Pediatric nursing:caring for children, Ed.3. Upper
Saddle River, New Jersey: Pearson Education, Inc.

Hidayat, Aziz Alimul A. (2008). Pengantar ilmu keperawatan anak. Jakarta: Salemba
Medika.

Meadow, R., & Newell, S. 2007. Lecture Notes Pediatrika. Edisi 7 (alih bahasa : Kripti
Hartini & Asri Dwi). Jakarta : Erlangga.

Nelson, Waldo E. (2010). Ilmu kesehatan anak Nelson, Ed. 15. Jakarta: EGC.

Nurarif, Amin Huda, dkk. 2015. Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic Noc Edisi

Revisi Jilid 2. Jogjakarta : Penerbit Medication

Nursalam,2005. Konsep Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Pedoman Skripsi.

Tesis dan Instrumen Keperawatan. Jakarta :Rineka Cipta

Soetjiningsih. 2012. Perkembangan Anak dan Permasalahannya dalam Buku Ajar I Ilmu
Perkembangan Anak Dan Remaja. Jakarta :Sagungseto .Pp 86-90.

Suriadi, & Yuliani, Rita. (2010). Asuhan keperawatan pada anak, Ed.2. Jakarta: CV. Sagung
Seto.

TIM Pokja DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta : PPNI.

Wong, D.L. (2008). Wong’s nursing care of infants and children. St. Louis, Missouri: Mosby,
Inc.

Anda mungkin juga menyukai