LABIOPALATOSCHIZIS
OLEH:
RIDHO FADILA ALFAJRI
I4051201004
1
KONSEP PENYAKIT LABIOPALATOSCHIZIS
A. Pengertian
Labiopalatoschizis merupakan kelainan pada daerah mulut berupa labiosisis (sumbing
pada bibir), dan palatosisis (sumbing pada palatum) yang diakibatkan oleh kegagalan
penyatuan jaringan lunak atau struktur tulang selama masa perkembangan embrio
(Hidayat, 2008).
Cleft lip and cleft palate atau labiopalatoskisis merupakan kegagalan
penyatuan atau perkembangan jaringan lunak dan atau tulang selama fase embrio pada
trisemester pertama. Sumbing bibir adalah terbelahnya bibir dan atau hidung karena
kegagalan proses nasal medial dan maksilaris untuk menyatu selama masa kehamilan
6-8 minggu. Palato skisis adalah adanya celah pada garis tengah palato yang
disebabkan oleh kegagalan penyatuan susunan palate pada masa kehamilan 7-12
minggu.
B. Klasifikasi
Jenis kelainan cleft (sumbing), berdasarkan organ yang terlibat yaitu:
1. Celah di bibir (labioskisis)
2. Celah di gusi (gnatoskisis)
3. Celah di langit mulut (palatoskisis)
4. Celah terjadi pada lebih dari 1 organ. Misal, terjadi di bibir dan langit-langit
(labiopalatoskisis) atau terjadi pada bibir, palatum hingga mengenai gusi bagian
atas (labio gnatopalatoskisis).
Beberapa jenis bibir sumbing :
1. Unilateral Incomplete
Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu sisi bibir dan tidak memanjang
hingga ke hidung.
2. Unilateral complete
Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu bibir dan memanjang hingga ke
hidung.
3. Bilateral complete
Apabila celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung.
C. Etiologi
Sumbing bibir disebabkan oleh kegagalan fusi prosesus maksilaris dan
frontonasalis selama minggu ke enam usia gestasi. Pada kasus bilateral, premaksila
mengalami anteversi. Masalah ini selalu berkaitan dengan deformitas nasal. Sumbing
palatum dapat berdiri sendiri tau bersama dengan sumbing bibir. Ini disebabkan oleh
kegagalan fusi prosesus palatinum dan septum nasi. Sumbing data menyebabkan
regurgitas nasal makanan, dan kemudian “suara sumbing palatum” karena kebocoran
nasal (Meadow & Newell, 2007).
Kelainan kongenital seperti tracheoesophalangeal fistula, omphalocele, trisomi
13, dan displasia skeletal dihubungkan dengan kejadian cleft lip dan cleft palate
sekitar 20-30% dari kasus. Terdapat kasus yang meningkat pada keluarga dengan
riwayat sumbing bibir atau sumbing palatum (Wong, 2008).
Penyebabnya bersifat multifaktorial, meliputi gabungan antara faktor
lingkungan dan genetik. Diantaranya abnormalitas kromosom, faktor lingkungan atau
teratogen, obat-obatan, nutrisi saat kehamilan, dan ibu hamil yang merokok.
Secara garis besar penyebab sumbing bibir dan palatum adalah sebagai berikut:
1. Kegagalan fase embrio penyebabnya belum diketahui
2. Fraktur herediter
3. Dapat dikaitkan dengan abnormal kromosom (sindrom patau/ trisomi 13),
mutasi gen, dan teratogen (agen atau faktor yang menimbulkan cacat pada
masa embrio)
4. Obat-obatan, seperti phenytoin, asam valproat, thalidomine, dan dioxin
pestisida.
5. Nutrisi saat kehamilan, contohnya pada keadaan kekurangan atau defisiensi
asam folat, mengkonsumsi alkohol dan rokok selama hamil.
D. Patofisiologi
Minggu ke 5 kehamilan
Bibir saja/meluas;
lubang hidung, Gagal bergabung
tulang maxila, gigi
Komplikasi:
Palatoskisis
Gangguan pendengaran Terjadi bersama: (kehamilan 9 minggu)
Otitis media
labiopalatoskisis
Distres pernafasan
Resiko infeksi saluran
pernafasan
Gangguan bicara
Tumbang terhambat
10 Aspirasi, dll.
pembedahan
E. Manifestasi Klinik
Tanda yang paling jelas adalah tampak celah pada bibir atas. Bayi akan kesulitan
menghisap ASI dan kesulitan dalam berbicara. Anak dengan cleft kadang memiliki
gangguan dalam pendengarannya. Biasanya cleft palate dapat mempengaruhi
pertumbuhan rahang anak dan proses tumbuh kembang dari gigi geliginya (menjadi
berjajal).
Manifestasi klinis lainnya yang terlihat pada cleft lip dan cleft palatum sebagai
berikut:
1. Pada Labio skisis
a.Distorsi pada hidung (kelainan bentuk pada hidung, seperti asimetris
cuping hidung atau nostril, adanya celah hidung pada palatum).
b.Tampak sebagian atau keduanya
c.Adanya celah pada bibir
2. Pada Palatoskisis
a.Tampak ada celah pada tekak (uvula), palato lunak, dan keras dan atau
foramen incisive
b.Adanya rongga pada hidung
c.Distorsi hidung
d.Teraba celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari
e.Kesukaran dalam menghisap atau makan (Suriadi & Yuliani, 2010).
F. Pemeriksaan Penunjang
`Pemeriksaan diagnostik meliputi:
1. Foto rotgen
2. Pemeriksaan fisik
3. MRI( Magnetic Resonance Imaging) untuk elevasi abnormal (Suriadi &
Yuliani, 2010).
11
G. Komplikasi
Otitis media berulang dan ketulian sering terjadi. Jarang dijumpai kasus karies
gigi yang berlebihan. Koreksi ortodontik diperlukan apabila terdapat kesalahan
dalam penempatan arkus maksilaris dan letak gigi geligi.
Cacat wicara bisa ada tau menetap meskipun penutupan palatum secara
anatomik telah dilakukan dengan baik. Cacat wicara yang demikian ditandai
dengan pengeluaran udara melalui hidung dan ditandai dengan kualita hipernasal
bila membuat suara tertentu. `baik sebelum maupun setelah operasi palatum, cacat
wicara disebabkan oleh fungsi otot palatum dan faring yang tidak adekuat. Selama
proses menelan dan pada saat mengeluarkan suara tertentu, otot-otot palatum
molle dan dinding lateral serta posterior nasofaring membentuk suatu katup yang
memisahkan nasofaring dengan orofaring. Jika katup tersebut tidak berfungsi
secara adekuat, anak sukar menciptakan tekanan yang cukup didalam mulutnya
dan membuat suara ledakan seperti p,b, d, t, h, y atau bunyi berdesis s, sh, ch.
Kemungkinan terapi bicara (speech theraphy) diperlukan setelah tindakan
pembedahan (Nelson,2010).
Secara alamiah, setiap individu hidup akan melalui tahap pertumbuhan dan
perkembangan, yaitu sejak embrio sampai akhir hayatnya mengalami perubahan
ke arah peningkatan baik secara ukuran maupun secara perkembangan. Istilah
tumbuh kembang mencakup dua peristiwa yang sifatnya saling berbeda tetapi
saling berkaitan dan sulit dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan.
Pengertian mengenai pertumbuhan dan perkembangan adalah sebagai berikut :
Pertumbuhan adalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran, atau dimensi tingkat
sel organ, maupun individu yang bisa diukur dengan ukuran berat (gram, pon,
kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang, dan keseimbangan metabolik
(retensi kalsium dan nitrogen tubuh) (Adriana, 2013).
Perkembangan (development) adalah bertambahnya skill (kemampuan) dalam
struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat
diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini menyangkut adanya
proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ, dan sistem
organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat
memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual, dan
tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya (Soetjiningsih, 2012).
Masa prenatal terdiri atas dua fase, yaitu fase embrio dan fase fetus. Pada masa
embrio, pertumbuhan dapat diawali mulai dari konsepsi hingga 8 minggu pertama
yang dapat terjadi perubahan yang cepat dari ovum menjadi suatu organisme dan
terbentuknya manusia. Pada fase fetus terjadi sejak usia 9 minggu hingga
kelahiran, sedangkan minggu ke-12 sampai ke-40 terjadi
peningkatan fungsi organ, yaitu bertambah ukuran panjang dan berat badan
terutama pertumbuhan serta penambahan jaringan subkutan dan jaringan otot.
2. Masa postnatal
Terdiri atas masa neonatus, masa bayi, masa usia prasekolah, masa sekolah,
dan masa remaja.
a. Masa neonatus
i. Obat-obatan
Pemakaian kortikosteroid jangka panjang akan
menghambat pertumbuhan, demikian halnya dengan
pemakaian obat perangsang terhadap susunan saraf yang
menyebabkan terhambatnya produksi hormon
pertumbuhan.
I. Penatalaksanaan Medis
Dalam menangani masalah Labiopalatoskisis ini, pembedahan dilakukan untuk
penutupan bibir dan palatum. Penutupan bibir sumbing secara bedah biasanya
dilakukan setelah anak berumur 2 bulan, ketika anak telah menunjukkan kenaikan
berat badan yang memuaskan dan bebas dari infeksi oral, saluran napas, atau sistemik.
Perbaikan pertama dapat direvisi saat berumur 4-5 tahun. Operasi hidung untuk
mengatasi distorsi hidung sering dilakukan pada saat perbaikan bibir (Nelson, 2010).
Namun rinoplasti atau operasi hidung bisa juga dilakukan saat berumur 3-6 bulan.
Adapun kondisi yang perlu diperhatikan pada bayi untuk dapat dilakukan
operasi antara lain, bayi harus dalam keadaan umum yang baik, tidak sakit , tidak
sedang infeksi, ketahanan tubuh bayi stabil dalam menerima tindakan operasi, asupan
gizi yang cukup dilihat dari keseimbangan berat badan dan umur bayi.
Pembedahan pada bayi harus memperhatikan syarat yang dikenal dengan
Formula Ten atau “Rule of Ten” , yaitu :
1. Berat badan bayi sekurang-kurangnya 10 pon (4,5 kg).
2. Umur bayi minimal 10 minggu
3. Hb lebih dari 10 gr %.
4. Leukosit < 10.000 mm3
A. Pengkajian
Pengkajian keperawatan sebaiknya meliputi pengkajian fisiologis dan
psikososial. Pada pengkajian fisiologis kelainan pada bibir dapat terobservasi pada
saat kelahiran. Kelainan sumbing palatum terkaji selama fase neonatus pada saat
pengkajian dengan palpasi palatum menggunakan jari.
Pengkajian respon keluarga juga merupakan bagian yang penting karena
kelainan, terutama pada wajah, dapat mengecewakan orang tua. Penatalaksanaan yang
salah terhadap kelainan ini dapat menimbulkan ketidakpercayaan diri pada anak.
Selain itu kaji tumbuh kembang anak dan interaksi sosial dengan lingkungannya (Ball
& Bindler, 2003).
Selain itu pada pengkajian didapatkan :terjadi kesukaran dalam menghisap,
menelan, makan, terjadi penurunan bernafas, mudah tersedak, distres pernafasan dan
aspirasi, dan dispneu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya distorsi hidung,
adanya celah pada bibir apabila terjadi bibir sumbing (labiosisis), adanya rongga pada
hidung, celah atau terbukanya langit-langit, adanya celah pada uvula apabila terjadi
sumbing palatum (palatosisis) (Hidayat, 2008).
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul terbagi dua, yaitu pada fase preoperatif dan
postoperatif SDKI, (2017) :
1. Preoperatif
a. Resiko aspirasi (air susu, formula makanan, sekret) berhubungan dengan
gangguan menelan (kelainan anatomi)
b. Risiko defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan bayi menelan
makanan
2. Post operatif
a. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif
b. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik (insisi
pembedahan)
C. Intervensi
Menurut Nurarif (2015) intervensi untuk masalah keperawatan anak pada pasien dengan
labiopalatoschizis adalah:
Preoperatif
1. Resiko aspirasi (air susu, formula makanan, sekret) berhubungan dengan gangguan
menelan (kelainan anatomi)
Tujuan : klien menunjukkan tidak terjadi aspiasi setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam
Kriteria hasil : aspirasi tidak terjadi, klien mamapu menelan dengan baik
Intervensi :
a. Kaji status respiratori dan tanda-tanda vital minimal setiap dua jam.
b. Posisikan tubuh miring setelah pemberian makan.
c. Beri makanan secara perlahan dan gunakan alat yang sesuai. Misalnya: penggunaan
dot yang lebih besar.
d. Sendawakan dengan menepuk punggung bayi setiap pemberian cairan 15-30ml.
e. Angkat kepala saat pemberian makan.
f. Dekatkan peralatan suction disamping tempat tidur.
Post Operatif
1. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif
Tujuan : klien menunjukkan tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam
Kriteria hasil : tidak ada tanda-tanda infeksi
Intervensi:
a. Kaji tanda-tanda vital setiap 2 jam
b. Kaji rongga mulut setiap 2 jam atau sesuai kebutuhan, meliputi area yang lunak
dan kemerahan, lesi, atau penampilan sekresi
c. Bersihkan daerah jahitan dengan normal saline atau ar steril jika diperlukan
d. Bersihkan daerah yang sumbing dengan memberikan 5-15ml air setelah makan
e. Bila terbentuk kerak, gunakan cotton swab yang sudah diberi larutan peroksida
f. Berikan krim antibiotik pada luka jahitan sesuai kebutuhan
g. Selalu mencuci tangan dan menggunakan teknik sterilitas ketika melakukan
tindakan pada luka jahitan.
D. Evaluasi
1. Preoperatif
Kriteria evaluasi fase preoperatif, yaitu:
a. Tidak ada distres pernafasan dan respirasi normal dan adekuat
b. Pertumbuhan berat badan bayi normal
c. Pengetahuan tentang kelainan, tatalaksana, dan kebutuhan bayi
2. Postoperatif
Kriteria evaluasi fase postoperatif, yaitu:
a. Tidak ada infeksi
b. Area pembedahan sembuh dengan baik
c. Manajemen nyeri efektif
d. Keseimbangan cairan dan elektrolit dan peningkatan berat badan yang adekuat
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Aziz Alimul A. (2008). Pengantar ilmu keperawatan anak. Jakarta: Salemba
Medika.
Meadow, R., & Newell, S. 2007. Lecture Notes Pediatrika. Edisi 7 (alih bahasa : Kripti
Hartini & Asri Dwi). Jakarta : Erlangga.
Nelson, Waldo E. (2010). Ilmu kesehatan anak Nelson, Ed. 15. Jakarta: EGC.
Nurarif, Amin Huda, dkk. 2015. Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic Noc Edisi
Soetjiningsih. 2012. Perkembangan Anak dan Permasalahannya dalam Buku Ajar I Ilmu
Perkembangan Anak Dan Remaja. Jakarta :Sagungseto .Pp 86-90.
Suriadi, & Yuliani, Rita. (2010). Asuhan keperawatan pada anak, Ed.2. Jakarta: CV. Sagung
Seto.
TIM Pokja DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta : PPNI.
Wong, D.L. (2008). Wong’s nursing care of infants and children. St. Louis, Missouri: Mosby,
Inc.