Anda di halaman 1dari 20

STRATEGI PENGAYAAN DAN EVALUASI DALAM PENGAJARAN SASTRA

Diajukan untuk memenuhi Tugas kelompok salah satu mata kuliah Problematika Sastra dan
Pengajarannya oleh Dosen Pengampu Resa Restu Pauji, S.Pd., M.Hum

disusun oleh:

Nadya Arum Sari (41032121171013)


Dida Sania (41032121171014)
Indri Lisnawati (41032121171015)
Siva Rahmawati (41032121171023)
Rantyka Dwi. P. (41032121171027)
Muhammad J. Masang (410321211710)

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah Swt. karena atas segala limpahan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis bisa menyelesaikan penyusunan makalah ini. Shollawat serta
Salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. kepada
keluarganya, sahabatnya, lalu sampai kepada kita yang selalu taat dan patuh terhadap
ajarannya. Aamiin.
Adapun makalah ini diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah Problematika
Pembelajaran Sastra oleh Dosen Pengampu Resa Restu Pauji, S.Pd., M.Hum. Makalah ini
berisi mengenai Strategi Pengayaan dan Pembelajaran Sastra Indonesia.
Penulis menyadari dalam penyusuan makalah ini masih terdapat kekurangan, maka
kritik dan saran sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Wassalamu’alaikum wr.wb

Bandung, 03 Desember 2020


Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan.................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Strategi Pengayaan Pembelajaran Sastra............................................... 3
B. Evaluasi Pembelajaran Sastra................................................................ 6
C. Problematika Pengayaan Pembelajaran Sastra...................................... 13
D. Problematika Evaluasi Pembelajaran Sastra.......................................... 14
BAB III SIMPULAN
A. Simpulan................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Evaluasi hasil pembelajaran sastra tidak dapat dipisahkan dari program
pembelajaran sastra secara keseluruhan, terutama yang berkaitan dengan bahan dan
teknik pembelajaran. Hal itu mudah dimengerti karena evaluasi adalah bagian dari
kegiatan pembelajaran, yaitu yang dimaksudkan untuk mengukur seberapa baik siswa
berhasil menguasai bahan dan atau pengalaman belajar yang dibelajarkan sesuai
dengan target program pembelajaran. Pembelajaran yang baik mensyaratkan adanya
kesejajaran antara bahan dan tenik pembelajaran dengan bahan dan teknik penilaian,
karena adanya kesejajaran itu akan menyangkut masalah kelayakan (appropriateness)
dan validitas (validity) penilaian. Maka, jika bahan dan teknik pembelajaran bahasa
dan sastra kurang tepat, dalam arti kurang mendukung target, evaluasi yang
dilakukanjuga akan lebih mencenninkan kegiatan pembelajaran itu.
Jika sastra lebih ditekankan pada penjejalan pengetahuan mengenai aspek-
aspek sastra sesuai dengan pandangan strukturalisme, penilaian yang dilakukan juga
lebih banyak mengungkap pengetahuan siswa tentang hal-hal tersebut. Jika
pembelajaran sastra lebih bertujuan menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan
apresiasi sastra siswa, penilaian yang dilakukan juga haruslah berupa pengukuran
kemampuan siswa berkomunikasi dengan bahasa dan berapresiasi sastra secara nyata.
Sebagai pengajar kita harus memahami strategi strategi pembelajaran agar
dapat mencapai tujuan pembelajaran dengan maksimal, mendorong siswa agar aktif
dan berfikir kritis. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia membutuhkan suatu
proses untuk mendapatakan hasil yang sesuai diharapakan, begitupun dalam kegiatan
belajar mengajar diperlukan suatu evaluasi. Tes merupakan sarana yang sangat
diperlukan bagi pembelajar maupun pengajar untuk mengukur kemampuan diri secara
objektif, khususnya terhadap hasil belajar bahasa siswa. Dengan perencanaan yang
baik diharapkan dapat tercapainya pengajaran yang efektif. Materi pelajaran tertuang
dalam perencanaan merupakan hal inti dalam proses belajar mengajar. Dengan
demikian, materi ajar merupakan salah satu komponen penting dalam kegiatan belajar
mengajar sehingga akan tercipta situasi pembelajaran yang memungkinkan
tercapainya tujuan pembelajaran.

ii
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka diperoleh rumusan masalah berikut:
1. Bagaimana strategi pengayaan dalam pembelajaran sastra?
2. Bagaimana strategi evaluasi dalam pembelajaran sastra?
3. Bagaiman problematika dalam pelaksanaan pengayaan dalam pembelajaran
sastra?
4. Bagaiman problematika dalam pelaksanaan evaluasi dalam pembelajaran sastra?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan masalah dari penulisan ini antara lain:
1. untuk mengetahui strategi pengayaan dalam pembelajaran satra;
2. untuk mengetahui strategi evaluasi dalam pembelajaran sastra;
3. memperoleh gambaran problematika dalam pelaksanaan pengayaan dalam
pembelajaran sastra; dan
4. memperoleh gambaran problematika dalam pelaksanaan evaluasi dalam
pembelajaran sastra.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Strategi Pengayaan dalam Pembelajaran Sastra
1. Definisi Pembelajaran Pengayaan
Menurut kurikulum 2013 pengajaran pengayaan adalah bentuk pengajaran
untuk memperdalam, menambah wawasan siswa, dan nilai yang diperoleh dapat
meningkat serta memperluas dan memperdalam pengetahuan dan keterampilan
siswa dalam bidang yang dipelajarinya. Hal ini ditegaskan oleh Usman dalam
Antari dkk. (2017)(1993) yang menyatakan pengajaran pengayaan bertujuan
untuk meningkatkan pemahaman dan wawasan terhadap materi yang sedang atau
telah dipelajarinya serta agar siswa dapat belajar secara optimal baik dalam hal
pendayagunaan kemampuannya maupun perolehan hasil belajar.
2. Tujuan Pengayaan
Secara umum tujuan program pengayaan untuk meningkatkan pemahaman dan
wawasan terhadap materi yang sedang atau telah dipelajarinya serta agar siswa
dapat belajar secara optimal baik dalam hal pendayagunaan kemampuannya
maupun perolehan dari hasil belajar (Antari dkk., 2017). Biasanya, murid-murid
yang sangat cepat dalam belajar dapat menguasai bahanbahan pelajaran yang
diberikan lebih cepat daripada teman-teman sekelasnya. Hal ini dilaksanakan
berdasarkan suatu proses yang terus terjadi dan belajar sebagai suatu yang
menyenangkan dan menantang. Pengajaran pengayaan dapat terselenggara dengan
baik, apabila direncanakan, dilaksanakan, dan dilakukan evaluasi dengan baik,
selain itu dukungan dari berbagai pihak sangat diperlukan.
3. Faktor-faktor yang Diperhatikan dalam Pengajaran Pengayaan
Faktor-faktor yang diperhatikan dalam pengajaran pengayaan yaitu,
peserta didik, guru, media dalam pelaksanaan, dan waktu pelaksanaan pengajaran
pengayaan. Dengan diperhatikannya faktor-faktor tersebut diharapkan
pelaksanaan pengajaran pengayaan berjalan dengan lancar.
Menurut Majid dalam Antari dkk. (2017) Pengajaran pengayaan adalah
suatu bentuk pengajaran yang khusus diberikan kepada murid-murid yang sangat
cepat dalam belajar. Lebih lanjut Majid dalam Antari dkk. (2017) menyatakan
bahwa materi dan waktu pelaksanaan pengajaran pengayaan sebagai berikut :
a. materi pengayaan diberikan sesuai dengan kompetensi dasar yang dipelajari.

4
b. waktu pelaksanaan pengajaran pengayaan meliputi :
1) setelah mengikuti tes/ujian KD tertentu,
2) setelah mengikuti tes/ujian blok atau kesatuan KD tertentu, dan
3) setelah mengikuti tes/ujian KD atau Blok terakhir pada semester tertentu.
Sehingga materi dan waktu pelaksanaan pengajaran pengayaan sangat
bergantung pada kompetensi dasar yang dipelajari. Selain itu, faktor lain yang
harus diperhatikan dalam pembelajaran pengayaan adalah sebagai berikut :
a. sarana; dan
b. prasarana.
Hal ini sejalan dengan Majid dalam Antari dkk., 2017) menyatakan bahwa
sarana dan media pembelajaran juga perlu diatur dan ditata sedemikian rupa
sehingga terwujudnya lingkungan belajar yang kondusif. Oleh karena itu, untuk
memperoleh hasil yang maksimal dalam pengajaran pengayaaan salah satunya
harus tersedia sarana dan prasarana yang memadai, serta guru diharapkan sesekali
menggunakan media dalam pengajaran pengayaan.
4. Langkah-langkah yang Harus Dilaksanakan dalam Pengajaran Pengayaan
Langkah-langkah yang harus dilaksanakan dalam pengajaran pengayaan
merupakan keseluruhan kegiatan bimbingan belajar tambahan yang dimulai dari
langkah mengidentifikasi siswa yang sudah memenuhi KKM sampai dengan
langkah menilai keberhasilan/tindak lanjut (Abdurahman, 2010)
Adapun langkah-langkah yang harus dilaksanakan oleh guru dalam Pengajaran
Pengayaan antara lain :
a. memberikan evaluasi kepada peserta didik;
b. menganalisis nilai-nilai peserta didik;
c. menentukan siswa yang akan mengikuti pengayaan mengacu pada KKM;
d. melaksanakan pengayaan; dan
e. melaporkan hasil pengayaan.
5. Teknis Pengajaran Pengayaan
Teknis pengajaran pengayaan merupakan salah satu komponen terpenting
dalam melaksanakan pengajaran pengayaan sehingga perlu adanya penentuan
teknis yang tepat untuk digunakan dalam pelaksanaan pengajaran pengayaan.
Teknis yang akan digunakan harus ditetapkan terlebih dahulu sesuai dengan jenis,
sifat, dan latar belakang kemampuan siswa dalam belajar. Selain itu juga dapat
digunakan untuk mengenali kemampuan siswa dalam belajar.

3
Teknis-teknis yang dapat digunakan dalam melaksanakan pengajaran
pengayaan yaitu :
a. pemberian tugas,
b. diskusi,
c. tanya jawab,
d. tutor sebaya, dan
e. pengajaran individual.
B. Evaluasi dalam Pembelajaran Sastra
1. Definisi Evaluasi
Penilaian merupakan suatu kegiatan yang tidak bisa dipisahkan dari kegiatan
pengajaran. Menurut Arifin (2016:13), evaluasi berasal dari kata evaluation yang
berarti suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai sesuatu, apakah
sesuatu itu mempunyai nilai atau tidak. Evaluasi artinya penilaian terhadap tingkat
keberhasilan siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program.
Penilaian merupakan kegiatan yang sangat penting di dalam proses pembelajaran.
Penilaian juga merupakan ujung tombak dari suatu kegiatan pencapaian taraf
berhasil tidaknya suatu pembelajaran. Berbeda halnya dengan penilaian terdahulu
dengan sekarang, bedanya penilaian yang dahulu hanya menekankan tagihan
penguasaan pengetahuan peserta didik sebagai hasil belajar pada umunya dengan
jalan tes tulis, tetapi dalam penilaian autentik menuntut peserta didik untuk
berunjuk kerja dalam situasi yang konkrit. Sulaeman & W (2019) menjelaskan
bahwa evaluasi merupakan kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan
kemampuan peserta didik yang memiliki hubungan yang kuat dan postif antara
motivasi dan pengajaran. Sedangkan menurut Arikunto (2012) evaluasi
pembelajaran adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya
sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan
alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan. Evaluasi merupakan suatu
proses berkelanjutan tentang pengumpulan dan penafsiran informasi untuk menilai
keputusan-keputusan yang dibuat dalam merancang suatu sistem pembelajaran.
2. Fungsi Evaluasi Pembelajaran Sastra
Penilaian dapat berfungsi ganda: mengungkap kemampuan apresiasi sastra
siswa dan sekaligus menunjang tereapainya target pembelajaran sastra. Kedua
fungsi itu akan tereapai seeara bersamaan jika evaluasi yang dilakukan bersifat
apresiatif, dan bukan sekedar berupa tagihan pengetahuan yang informatif.

5
Pemberian tes dan tugas-tugas kesastraan yang tepat akan berperanan besar bagi
keberhasilan pembelajaran sastra. Oleh karena itu, pemberian tes dan tugas-tugas
itu harus berfungsi menguatkan pemerolehan kemampuan apresiasi sastra siswa,
bukan sebaliknya yang hanya mengesankan sebagai pemanggilan informasi belaka
sekaliguspendangkalan makna apresiasi.
3. Tujuan Evaluasi
Tujuan evaluasi pembelajaran adalah untuk mengetahui keefektifan dan
efisiensi sistem pembelajaran, baik yang menyangkut tentang tujuan, materi,
metode, sumber belajar, lingkungan maupun sistem penilaian itu sendiri. Tujuan
khusus evaluasi pembelajaran disesuaikan dengan jenis evaluasi pembelajaran itu
sendiri, seperti evaluasi perencanaan dan pengembangan, evaluasi monitoring,
evaluasi dampak, evaluasi efisiensi-ekonomis, dan evaluasi program
komprehensif. Menurut Arifin (2016) adapun tujuan penilaian hasil belajar
sebagai berikut:
a. untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta didik terhadap materi yang telah
diberikan;
b. untuk mengetahui kecakapan, motivasi, bakat, minat, dan sikap peserta didik
terhadap program pembelajara;
c. untuk mengetahui tingkat kemajuan dan kesesuaian hasil belajar peserta didik
dengan standar kompetensi dasar yang telah ditetapkan;
d. untuk mendiagnosis keunggulan dan kelemahan peserta didik dalam mengikuti
kegiatan pembelajaran;
e. untuk seleksi, yaitu memilih dan menentukan peserta didik yang sesuai dengan
jenis pendidikan tertentu;
f. untuk menentukan kenaikan kelas; dan
g. untuk menempatkan peserta didik sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
4. Jenis- jenis evaluasi.
a. Penilaian otentik
Penilaian otentik dilakukan setelah pemebalajaran remedial selesai
dilaksanakan. Berdasarkan hasil penilaian, bila peserta didik belum mencapai
kompetensi minimal (tujuan) yang ditetapkan guru, maka guru perlu meninjau
kembali strategi pembelajaran remedial yang diterapkannya atau melakukan
identifikasi (analisa kebutuhan) terhadap peserta didik dengan lebih seksama.
Apabila peserta didik berhasil mencapai atau melampaui tujuan yang

7
ditetapkan, guru berhasil memberikan pembelajaran yang kaya dan bermakna
bagi peserta didik, hal ini bisa dipertahankan sebagai bahan rujukan bagi rekan
guru lainnya atau bisa lebih diperkaya lagi. Apabila ternyata ditemukan kasus
khusus di luar kompetensi guru, guru dapat menkonsultasikan dengan orang
tua untuk selanjutnya dilakukan konsultasi dengan ahli.
b. Penilaian Formatif (Formative Assessment)
Penilaian formatif dimaksudkan untuk memantau kemajuan belajar
peserta didik selama proses belajar berlangsung, untuk memberikan balikan
(feedback) bagi penyempurnaan program pembelajaran, serta untuk
mengetahui kelemahan-kelemahan yang memerlukan perbaikan, sehingga
hasil belajar peserta didik dan proses pembelajaran guru menjadi lebih baik.
Tujuan utama penilaian formatif adalah untuk memperbaiki proses
pembelajaran bukan untuk menentukan tingkat kemampuan peserta didik.
c. Penilaian Sumatif (Summative Assessment)
Penilaian sumatif berarti penilaian yang dilakukan jika satuan
pengalaman belajar atau seluruh materi pelajaran dianggap telah selesai.
Dengan demikian, ujian akhir semester dan ujian nasional termasuk penilaian
sumatif. Tujuan penilaian sumatif adalah untuk menentukan nilai (angka)
berdasarkan tingkatan hasil belajar peserta didik yang selanjutnya dipakai
sebagai nilai rapor.
d. Penilaian Penempatan (Placement Assessment)
Penilaian penempatan dibuat sebagai pratest (pratest). Tujuan
utamanya adalah untuk mengetahui apakah peserta didik telah memiliki
keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengikuti suatu program
pembelajaran dan sejauh mana peserta didik telah menguasai kompetensi
dasar sebagaimana yang tercantum dalam silabus dan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP).
e. Penilaian Diagnostik (Diagnostic Assessment)
Penilaian diagnostik dimaksudkan untuk mengetahui kesulitan belajar
peserta didik berdasarkan hasil penilaian formatif sebelumnya. Penilaian
diagnostik memerlukan sejumlah soal untuk satu bidang yang diperkirakan
merupakan kesulitan bagi peserta didik. Penilaian diagnostik biasanya
dilaksanakan sebelum suatu pelajaran dimulai.Tujuannya adalah untuk

6
menjajaki pengetahuan dan keterampilan yang telah dikuasai oleh peserta
didik.
5. Bentuk Tugas Penilaian Hasil Pembelajaran Sastra
Ada keterkaitan pembelajaran bahasa dengan sastra terutama disebabkan
sarana manifestasi sastra adalah bahasa. Selain itu, di antara keduanya terkandung
tujuan untuk saling menunjang keberhasilan pembelajarannya. Saluran unjuk kerja
kompetensi kesastraan adalah lewat keempat kemampuan berbahasa, dan di pihak
lain penggunaan aspek-aspek tersebut juga akan meningkatkan kemampuan
berbahasa. Jadi, pembelajaran dan pengembangan ujian daan atau tugas-tugas tes
kesastraan terkait langsung dengan keempat kemampuan berbahasa. Maka,
dengan "meminjam" keempat saluran itu pula ujian apresiasi sastra dilakukan.
Artinya, pembelajaran dan pengujian kemampuan apresiasi sastra juga akan
dilakukan lewat kemampuan mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis.
Pengungkapan kemampuan apresiasi sastra berupa latihan-Iatihanmelakukan
aktivitastertentu lewat keempat saluran kemampuan berbahasa tersebut sebagai
suatu bentuk unjuk kerja.
a. Penilaian Kompetensi Kognitif
Pembelajaran sastra ranah kognitif harus juga terkait dengan keempat
keterampilan berbahasa sebagai media ekspresi. Dalam kaitan ini tentu saja
terjadi ketumpangtindihan dengan penilaian unjuk kerja, tetapi lebih baik
terjadi tumpang tindih dengan pemfokusan kemampuan berapresiasi dari pada
hanya terfokus ke pengetahuan tentang sastra. Bahan yang berkaitan dengan
pengetahuan tentang sastra masih boleh diujikan untuk siswa level SMA,
tetapi jumlahnya harus dibatasi, dan sebaiknya terkait langsung dengan
wacana kesastraan yang diujikan. Dengan kata lain, bahan tersebut menjadi
bagian dan memperkuat pengujian yang berangkat dari sebuah teks kesastraan
dan karenanya masih cukup tinggi kadar keapresiatifannya.
Pengujian ranah ini praktis dilakukan untuk ujian akhir, misalnya
ulangan umum dan ujian akhir semester karena mudah dibuat, diujikan, dan
dikoreksi. Namun, dalam praktik pengembangan soal-soal ujian tidaklah
sesederhana yang dibayangkan. Ada sejumlah prosedur yang harus terpenuhi
agar alat ujian tersebut memenuhi kualifikasi alat yang baik dan dapat
dipertanggungjawabkan. Prosedur yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Pertama, alat uji harus dibuat berdasarkan kompetensi-kompetensi dasar

8
tertentu, sedang tiap kompetensi dasar tersebut berasal dari suatu standar
kompetensi. Jadi, semua butir soal harus secara jelas untuk mengukur
kompetensi dasar dan materi standar yang mana. Setiap kompetensi dasar
dijabarkan menjadi sejumlah indikator, setiap indikator dibuat menjadi berapa
butir soal, dan itu butir soal nomor berapa saja. Semua itu harus secara jelas
tertulis dan ditunjukkan dalam kisis-kisi. Jadi, sebuah kisi-kisi suatu pengujian
paling tidak berisi komponen-komponen standar kompetensi, kompetensi
dasar, materi standar, indikator, jumlah soal, dan soal nomor berapa saja.
Setelah itu, barulah penulisan butir-butir soal dilakukan.
Dalam pelaksanaan pengujian di sekolah, pengujian hasil
pembelajaran sastra dilaksanakan secara integral dan bersamaan dengan
pengujian hasil pembelajaran kemampuan berbahasa. Oleh karena itu, jumlah
butir soal untuk masing masing harus diperhitungkan proporsinya sesuai
dengan tingkat urgensinya dalam pencapaian kompetensi hasil pembelajaran
secara keseluruhan. Penulisan butir-butir soal harus tunduk pada kisi-kisi yang
telah ditentukan. Butir-butir soal yang telah selesai ditulis haruslah ditelaah
oleh sejawat untuk ditemukan kekurangan dan kesalahan yang selalu saja
terjadi. Sebenamya, kisi-kisi pun sebelum dinyatakan jadi, terlebih dahulu
harus juga ditelaah, misalnya yang menyangkut ketepatan dan kejelasan
indikator, cakupan bahan, jumlah soal per indikator, dan lain-lain.
Telaah butir-butir soal mempergunakan pedoman telaah yang telah
disiapkan sebelumnya, yang isinya mencakup komponen dari tiga hal utama,
yaitu yang menyangkut aspek materi, konstruksi, dan bahasa dengan masing-
masing dijabarkan menjadi sejumlah unsur yang dinilai (Pascasarjana, 2001).
Kesetiaan penulisan butir-butir soal terhadap kisi-kisi dan pertimbangan
ketepatan hasil telaah butir oleh sejawat merupakan salah satu jaminan
tercapainya validitas isi, yaitu validitas yang harus terpenuhi dalam
pengembangan sebuah alat evaluasi. Setelah diujikan butir-butir soal haruslah
dianalisis untuk mengetahui indikator-indikator (dan artinya juga kompetensi-
kompetensi dasar) yang sudah dikuasai atau sebaliknya belum dikuasai siswa.
Berdasarkan analisis tes tersebut kemudian dilakukan tindakantindakan yang
sesuai, misalnya dilakukan remidial terhadap bahan tertentu.
b. Penilaian Unjuk Kerja

10
Pentingnya kompetensi berunjuk kerja sebagai bagian hasil
pembelajaran. Kemampuan berunjuk kerja dapat dipahami sebagai
kemampuan melakukan aktivitas tertentu sesuai dengan tuntutan kompetensi
mata pelajaran. Jika dalam model penilaian sebelumnya yang ditekankan
adalah aspek kognitif, dalam KBK aspek psikomotor, yang antara lain
berwujud kemampuan berunjuk kerja, dan afektif juga mendapat perhatian,
dan secara nyata harus dilakukan dalam kegiatan penilaian dan pembelajaran.
Pada diri siswa yang sedang belajar, antara ranah kognitif dan
psikomotor menjalin menjadi satu kesatuan, dan hanya secara teoretis dapat
dipisahkan. Dalam penilaian hasil pembelajaran pemisahan itu dapat juga
dilakukan dengan cara memberikan penekanan. Jika siswa ditugasi melakukan
aktivitas tertentu yang melibatkan aktivitas psikomotor, penekanan diberikan
pada kemampuan berunjuk kerja. Namun, hal itu tidak berarti tidak melibatkan
unsur kognitif. Dalam kegiatan berkomunikasi yang sewajamya, empat
kemampuan berbahasa, yaitu menyimak dan membaca (aktif-reseptit) serta
berbicara dan menulis (aktif-produktit) tidak terpisah satu dengan yang lain.
Operasionalisasi satu kemampuan berbahasa pada umumnya akan
bersinggungan dengan kemampuan-kemampuan yang lain. Pengukuran
kemampuan memahami sebuah wacana lisan, misalnya "mengungkapkan
kembali isi cerita sandiwara radio", dapat dilakukan secara lisan lewat
kemampuan berbicara atau tertulis lewat kemampuan menulis. Sebaliknya,
pengukuran kemampuan memahami wacana tertulis, misalnya
"mengungkapkan kembali isi cerita pendek yang dibaca", dapat pula dilakukan
secara lisan dan tertulis. Jadi, pengukuran kemampuan mendengarkan dan
membaca yang sedang menjadi fokus tujuan pembelajaran tersebut dilakukan
dan sekaligus untuk mengukur kemampuan berbicara dan menulis. Penilaian
unjuk kerja kesastraan siswa sebagai hasil pembelajaran juga dilakukan lewat
keempat kemampuan bahasa tersebut, baik secara aktif-reseptif maupun aktif-
produktif.
c. Portofolio
Portfolio dalam pengertian adminstrasi adalah berarti kumpulan berkas
dan atau arsip yang disimpan dalam bentuk jilidan, misalnya di dalam sebuah
map. Portfolio dalam pengertian pendidikan, khususnya dalam bidang
penilaian hasil pembelajaran siswa berarti kumpulan hasil kerja siswa baik

9
dalam bentuk karya tulis, tugas-tugas tertentu yang sengaja diberikan, karya
seni, atau jenis karya yang lain. Singkatnya, portfolio berupa karya siswa yang
mencerminkan hasil pemikiran, minat, dan usaha, serta sekaligus merekam
tingkat kemajuan belajar yang dicapai dari waktu ke waktu.
Penilaian porfolio pada dasarya merupakan penilaian terhadap karya-
karya individu untuk tugas-tugas tertentu yang sengaja diarsipkan. Semua
tugas penulisan yang dikerjakan siswa dalam jangka waktu tertentu, misalnya
satu semester, dikumpulkan dan kemudian dilakukan diskusi antara siswa dan
guru untuk menentukan skornya. Bahkan, dalam portfolio siswa dapat
melakukan penilaian sendiri atas karyanya kemudian hasilnya dibahas.
Untuk memudahkan penilaian dan atau peninjauan kembali karya
siswa yang sengaja dikumpulkan, pengarsipan dapat dilakukan dengan
membedakan jenis karya tulis siswa berdasarkan dua macam tugas menulis di
atas, (1) karya tulis yang berupa tanggapan siswa terhadap teks-teks
kesastraan, dan (2) karya tulis kreatif. Karena pembelajaran sastra menjadi
bagian pembelajaran bahasa (Indonesia), pengarsipan tersebut dapat dilakukan
dengan mengelompokkan ke dalam (1) karya tulis nonkesastraan dan (2) karya
tulis kesastraan. Karya tulis nonkesastraan berwujud tugas-tugas menulis
sebagai hasil pembelajaran kemampuan menulis yang juga dapat
dikelompokkan lagi ke dalam sejumlah jenis karya tulis seperti karangan-
karangan singkat, laporan, penulisan surat, karya ilmiah, dan lain-lain sedang
karya tulis kesastraan berwujud kedua jenis karya tulis tersebut.
Penyekoran untuk tiap karya tulis dapat mempergunakan model
penilaian seperti yang digunakan dalam menilai tugas mengarang. Untuk
menilai sebuah karangan, diperlukan rambu-rambu khusus yang berisi aspek
yang dinilai dan skor maksimum masing-masing aspek. Ada sejumlah model
penilaian untuk sebuah karangan, dan kita tinggal memilih yang sesuai dengan
kebutuhan. Misalnya, model penilaian karangan yang terdiri dari komponen isi
gagasan yang dikemukakan, organisasi isi, tata bahasa, gaya, dan ejaan
(Nurgiyantoro, 2001). Untuk tugas-tugas menulis yang berupa "menceritakan
kembali" komponen isi gagasan dapat diganti atau dikonkretkan dengan istilah
"kesesuaiannya dengan teks asli". Untuk menilai karangan karya kreatif,
respon afektif guru penting, maka guru juga perlu mengasah ketajaman
intuitifnya.

11
d. Pengukuran Afektif
Komponen afektif selama ini kurang diperhatikan dalam rangka
peningkatan pembelajaran bahasa dan sastra siswa. Penilaian cenderung lebih
menekankan pada ranah kognitif dan sedikit psikomotor. Dalam penilaian
berbasis kompetensi dua komponen yang kurang terperhatikan tersebut kini
harus mendapat penanganan. Komponen kinerja bahasa dan sastra,
sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahkan menjadi salah satu
karakteristik tes terpenting.
Komponen afektif memang kurang secara langsung berkaitan dengan
materi dan keterampilan yang dibelajarkan, tetapi tetap besar sumbangannya
bagi pencapaian prestasi. Apalagi muara akhir pembelajaran apresiasi lebih
tertuju pada ranah afektif dari pada kedua ranah yang lain. Komponen afektif
ikut menentukan keberhasilan belajar siswa walau tidak secara langsung.
Siswa yang memiliki tingkat afektif yang tinggi memiliki peluang untuk
berhasil jauh lebih baik daripada yang sebaliknya. Komponen afektif antara
lain berupa sikap, minat, motivasi, kesungguhan belajar, dan lain-lain. Dalam
rangkaian kegiatan pembelajaran komponen afektif perlu diungkap. Hal itu
dimaksudkan untuk mengetahui tingkat afektif siswa terhadap kesastraan, dan
terhadap siswa yang berafeksi kurang diberimotivasi agar meningkat. Untuk
memperoleh data informasi afektifsiswa, perlu dilakukan pengukuran dengan
mempergunakan instrumen yang khusus dirancang untuk tujuan itu. Jika
instrumen yang dimaksud sudah ada, kita dapat mempergunakannya. Namun,
sebenarnya kita dapat mengembangkan sendiri instrumen itu sesuai dengan
apa yang ingin diketahui.
Instrumen afektif dikembangkan dengan memberikan sejumlah
pertanyaan yang disertai sejumlahajawaban. Jawaban dibuat ke dalamabentuk
skala, (skala Likert), misalnya 5-1, yang menunjukkan sikap positif ke negatif,
misalnya yang menunjukkan sikap sangat senang (5), senang (4), biasa-biasa
saja (3), kurang senang (2), dan tidak senang (1). Untuk membuat instrumen
afektif, langkah-Iangkah berikut perlu diperhatikan:
1) Pilih ubahan afektif yang akan diketahui yang dapat menggambarkan
afeksi siswa (misalnya: sikap, minat, motivasi, rasa tertarik). Pemilihan
ubahan tersebut haruslah mendasarkan diri pada teori yang berkaitan
dengan faktor afeksi sehingga dapat dijabarkan menjadi pertanyaan-

13
pertanyaan yang relevan dan memiliki validitas konstruk yang dapat
dipertanggungjawabkan.
2) Buat pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan komponen afektif yang
akan diukur.
3) Telaah instrumen itu oleh ternan sejawat, dan perbaiki jika ada
kekurangan.
4) Tentukan skor inventori yang menggambarkan afeksi siswa, misalnya ke
dalam kelompok tinggi, sedang, dan rendah.
Pertanyaan untuk pengukuran ranah afektif biasanya disusun dari yang
positif ke negatif, misalnya dari sangat senang ke tidak senang. Skor jawaban
pertanyaan bersifat skala, misalnya dengan rentangan 5-1 atau 1-5 tergantung
arah pertanyaan. Jawaban sangat senang diberi skor 5, dan tidak senang 1.
Skor siswa diperoleh dengan menjumlah seluruh skor untuk tiap pertanyaan.
Jika pertanyaan itu berjumlah 10 butir, kemungkinan skor tertinggi seorang
siswa adalah 50 (5 x 10), dan terendah 10(I x 5). Jika ditafsirkan ke dalam
lima kategori seperti pertanyaan yang diberikan, skor 10 berarti tidak senang,
11-20 kurang senang, 21-30 biasa-biasa saja, 31-40 senang, dan 41-50 sangat
senang. Siswa yang tergolong biasa-biasa saja ke bawah harus diberi motivasi
secara lebih khusus, kalau perlu diteliti apa sebabnya, agar menjadi tertarik
pada mata pelajaran yang bersangkutan.
C. Problematika dalam Pengayaan Pembelajaran Sastra
Pada kenyataannya masih banyak guru sering tidak memperoleh latihan dan
tidak dipersiapkan untuk mengajar siswa. Mereka sering takut terhadap tanggung
jawab dan enggan menerima tugas tambahan untuk membantu siswa dalam belajar.
Dalam proses pembelajaran keadaan siswa menjadi hal utama yang harus
diperhatikan. Hal ini menjadi masalah yang dihadapi guru karena tidak semua siswa
mau mengikuti pengajaran pengayaan dengan bersungguh-sungguh, sehingga guru
mempersiapkan metode agar siswa memiliki rasa senang dan gembira mengikuti
pengajaran pengayaan. Sejalan dengan hal itu Djamarah (2006) menyatakan bahwa
anak yang menyenangi dan kurang menyenangi pelajaran itu adalah perilaku yang
bermula dari sikap mereka karena minat yang berlainan dari siswa itu sendiri. Karena
minat siswa yang berbeda-beda sehingga guru harus memikirkan bagaimana cara agar
semua siswa yang mengikuti pengajaran pengayaan memiliki rasa senang. Apalagi

12
pengajaran pengayaan ini adalah pengajaran tambahan yang diberikan khusus kepada
siswa yang sudah medapatkan nilai di atas KKM.
D. Problematika dalam Evaluasi Pembelajaran Sastra
Terjadi ketidaksejajaran antara apa yang dibelajarkan dengan apa yang
diujikan, siswa akan merasa sia-sia belajar dan dirugikan. Jika dilihat dari kualitas alat
evaluasi, alat tersebut berarti tidak layak karena tidak mengukur apa yang telah
dibelajarkan. Pembelajaran sastra yang apresiatif menuntut pengukuran hasil
pembelajaran yang sesuai yang tidak lagi hanya berupa tagihan-tagihan informatif.
Evaluasi yang dilakukan haruslah yang benar-benar mengungkap kemampuan siswa
berkomunikasi dan berapresiasi sastra.
Tuntutan tersebut dalam hal tertentu memberatkan guru yang melakukan
kegiatan pembelajaran disekolah, terutama para guru yang telah terbiasa melakukan
evaluasi dengan sistem tagihan, kurang kemauan dan kesadaran untuk berubah, dan
kurang berusaha mempelajariteknik yang baru. Jadi, mereka hanya memikirkan
kebutuhan sendiri dan kurang memikirkan kebutuhan siswa. Namun, tuntutan itu tidak
akan memberatkan para guru yang secara sadar mau mengajar sesuai dengan tuntutan
kurikulum dan lebih memikirkan pencapaian target dan atau kebutuhan siswa. Yang
dibutuhkan siswa adalah kemampuan untuk berkomunikasi dengan bahasa yang tepat
dalam pembelajaran bahasa, dan kemampuan berapresiasi dalam pembelajaran sastra.
Tercapainya kedua kebutuhan tersebut sedikit banyak akan memacu mereka untuk
lebih bergairah membuca.

14
BAB III
SIMPULAN
A. Simpulan
Pelaksanaan pengayaan dan evaluasi dalam pembelajaran sastra sangat diperlukan
untuk melihat hasil belajar siswa dan menentukan tindak lanjut dalam pembelajaran
sastra. Evaluasi merupakan suatu proses berkelanjutan tentang pengumpulan dan
penafsiran informasi untuk menilai keputusan-keputusan yang dibuat dalam merancang
suatu sistem pembelajaran.
Baik pengayaan maupun evaluasi pembelajaran sastra memiliki sejumlah
problematika dalam pelaksanannya. Problematika-problematika tersebut bisa timbul
dalam faktor internal seperti dalam diri guru atau peserta didik, maupun datang dari faktor
eksternal seperti kurangnya bahan yang memadai untuk proses pembelajaran atau
minimnya sarana dan prasarana.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, M. (2010). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Rineka Cipta.
Antari, Y. T., Wendra, W., & Wisudariani, M. R. (2017). Pelaksanaan Pengajaran
Pengayaan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas XI TKJ 2 SMK Negeri 3
Singaraja. Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, 7(2).
Arifin, Z. (2016). Evaluasi Pembelajaran. Rosda Karya.
Arikunto, S. (2012). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara.
Djamarah, S. B. (2006). Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta.
Pascasarjana, T. P. (2001). Pedoman Khusus Pengembangan Sistem Hasil Belajar Pengujian
Berbasis Kompetensi Dasar Siswa SMU Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Program Pascasarjana UNY.
Sulaeman, A., & W, D. (2019). Hubungan Motivasi Belajar terhadap Hasil Pembelajaran
Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) pada Mahasiswa Semester 7 Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah
Tangerang. Jurnal Penelitian Pendidikan Bahasa Indonesia, Daerah, Dan Asing.

15

Anda mungkin juga menyukai