Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Konsep Kepuasan Pasien

a. Pengertian Kepuasan

Kepuasan merupakan penilaian mengenai ciri atau

keistimewaan produk atau jasa, atau produk itu sendiri, yang

menyediakan tingkat kesenangan konsumen berkaitan dengan

pemenuhan kebutuhan konsumen (Dora dkk, 2019).

kepuasan, termasuk ketersediaan dan kemudahan layanan,

keterampilan profesional kesehatan, dan harapan klien sendiri

(Siraneh dkk, 2020).

b. Kepuasan Pasien

Kepuasan pasien adalah perasaan yang timbul setelah

mendapatkan pelayanan kesehatan (Pohan, 2013). Kepuasan pasien

adalah suatu tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari

kinerja layanan kesehatan yang diperolehnya setelah pasien

membandingkannya dengan apa yang diharapkannya (Dora dkk,

2019).

Kepuasan pasien adalah pemikiran pribadi dan kompleks yang

melibatkan faktor fisik, emosional, mental, sosial, dan budaya

(Siraneh dkk, 2020).


Kepuasan pasien merupakan perasaan senang atau kecewa

yang timbul saat produk atau jasa yang diterima telah mencapai

harapan pasien, kepuasan yang dirasakan pasien bisa menjadi salah

satu indikator dari kualitas pelayanan yang perawat berikan kepada

pasien dan kepuasan pasien bisa menjadi suatu modal dalam

mendapatkan pasien yang lebih banyak lagi serta mendapatkan pasien

yang setia. Pasien yang setia pasti akan kembali menggunakan

pelayanan kesehatan ketika sedang membutuhkannya lagi bahkan

telah dibuktikan bahwa pasien yang setia mampu mengajak orang-

orang yang berada disekelilingnya untuk menggunakan pelayanan

yang sama (Nursalam 2016 dalam Mona dan Herlina, 2020).

c. Mengukur Tingkat Kepuasan

Kepuasan pasien dapat diukur secara kuantitatif maupun

kualitatif dan banyak cara mengukur tingkat kepuasan pasien.

Bertolak dari pengertian kepuasan pasien, ada dua komponen yang

akan mempengaruhi tingkat kepuasan yaitu komponen harapan dan

komponen kinerja layanan kesehatan.

Berdasarkan konsep tersebut pengukuran tingkat kepuasan

dapat dilakukan dengan membuat kuesioner yang berisi aspek- aspek

penting dari layanan keperawatan sesuai dengan harapan pasien.

Kemudian pasien diminta untuk menilai setiap aspek tadi sesuai

dengan tingkat kepentingan aspek tersebut bagi pasien yang

bersangkutan. Tingkat kepentingan atau kepuasan tersebut dapat

diukur dengan menggunakan skala likert dengan graduasi

tingkat penilaian sangat baik, baik, cukup baik, kurang baik.


Untuk bobot dapat diberikan dari angka 4 untuk sangat, 3 untuk

baik, 2 cukup baik,dan 1 kurang baik (Yuliani dan Purna, 2020).

Untuk mengukur kepuasan pelanggan ada tiga aspek penting

yang saling berkaitan, yaitu pertama apa yang akan diukur, bagaimana

metode pengukurannya, dan bagaimana skala pengukurannya (Az-

Zahroh, 2017):

1) Apa yang diukur

Ada enam konsep yang bisa digunakan untuk mengukur

kepuasan pelanggan yaitu kepuasan pelanggan keseluruhan

(overall costumer satisfication), perspektif kepuasan pelanggan,

pembuktian harapan, keinginan untuk menggunakan produk atau

jasa kembali, kesediaan untuk memberikan referensi kepada

orang lain, harapan pelanggan.

2) Tingkat pengukuran

Kepuasan pelanggan dapat diukur dengan menggunakan

cara yaitu: Pertama sistem keluhan dan saran yaitu memberikan

kesempatan bagi klien untuk memberi masukan, opini, arahan

terhadap pelayanan yang diberikan misalnya menyediakan kotak

saran, hotline pengaduan dsb. Kedua pelanggan bayangan yaitu

bertingkah laku sebagai konsumen dengan mengamati kelebihan

dan kekurangan layanan/ produk pesaing dan penanganan

masalah. Ketiga menyelidiki hilangnya pelanggan, yaitu mencari

tahu atau menghubungi kembali pelanggan yang tidak lagi

menjadi pembeli potensial karena usahanya berhenti atau pindah.

Keempat peninjauan kepuasan pelanggan yaitu dengan


membagikan angket atau wawancara langsung (Az-Zahroh,

2017).

3) Nilai Pengukuran

Nilai pengukuran yang dapat digunakan antara lain sebagai

berikut:

a) Nilai 2 poin (ya – tidak);

b) Nilai 4 poin (sangat tidak puas – tidak puas - puas – sangat puas);

c) Nilai 5 poin (sangat tidak puas – tidak memuaskan – netral –

memuaskan-sangat memuaskan) (Perceka, 2020).

d. Klasifikasi Kepuasan Pasien

Menurut Gerson (2002), untuk mengetahui tingkat kepuasan

pelanggan dapat diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan sebagai

berikut :

1) Sangat memuaskan Diartikan sebagai ukuran subjektif hasil

penilaian perasaan pasien yang menggambarkan pelayanan

kesehatan sepenuhnya atau sebagian besar sesuai kebutuhan atau

keinginan pasien, seperti penyampaian penjelasan perawat sangat

baik / komunikasi terapeutik yang diberikan sangat baik, layanan

spritualitas sangat diperhatikan oleh perawat, sangat bersih (untuk

prasarana), sangat ramah (untuk hubungan dengan dokter atau

perawat), atau sangat cepat (untuk proses administrasi), yang

seluruhnya menggambarkan tingkat kualitas pelayanan yang

paling tinggi.
2) Memuaskan Diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian

perasaan pasien, yang menggambarkan pelayanan kesehatan tidak

sepenuhnya atau sebagian sesuai kebutuhan atau keinginan seperti

tidak terlalu sepenuhnya baik komunikasi terapeutik yang

diberikan oleh perawat, layanan spritualitas tidak begitu

sepenuhnya diberikan pelayanan, tidak terlalu bersih (untuk

sarana), agak kurang cepat (proses administrasi), atau kurang

ramah, yang seluruhnya ini menggambarkan tingkat kualitas yang

kategori sedang.

3) Tidak memuaskan Diartikan sebagai ukuran subjektif hasil

penilaian perasaan pasien rendah, yang menggambarkan

pelayanan kesehatan tidak sesuai kebutuhan atau keinginan seperti

tidak terlalu jelas penyampaian perawat atau komunikasi

terapeutiknya tidak begitu memuaskan, layanan spritualitas tidak

terlalumemuaskan, tidak terlalu bersih (untuk sarana), agak lambat

(untuk proses administrasi), atau tidak ramah.

4) Sangat tidak memuaskan. Diartikan sebagai ukuran subjektif hasil

penilaian perasaan pasien yang rendah, menggambarkan

pelayanan kesehatan tidak sesuai kebutuhan atau keinginan seperti

komunikasi yang diberikan perawat kurang, layanan spritualitas

yang tidak diberikan, tidak bersih (untuk sarana), lambat (untuk

proses administrasi), dan tidak ramah. Seluruh hal ini

menggambarkan tingkat kualitas yang kategori paling rendah

(Astar dkk, 2018).


e. Manfaat Pengukuran Kepuasan

Manfaat pengukuran kepuasan pasien menurut Soeparmanto dan

Astuti “2006” yaitu:

1. Mengetahui kekurangan masing-masing tingkat kelemahan

penyelenggaraan pelayanan.

2. Mengetahui kinerja penyelenggaraan pelayanan yang telah

dilaksanakan oleh unit pelayanan.

3. Sebagai bahan penetapan kebijakan yang perlu diambil dan upaya

yang perlu dilakukan.

4. Mengetahui indeks kepuasan masyarakat secara pelayanan publik

pada lingkup pemerintahan pusat dan daerah.

5. Memacu persaingan positif antar unit penyelenggara pelayanan dalam

upaya peningkatan kinerja pelayanan.

6. Bagi masyarakat dapat mengetahui gambaran tentang kinerja

pelayanan unit yang bersangkutan (Dora dkk, 2019).

f. Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Pasien

Banyak sekali hal yang dapat mempengauhi kepuasan pasien

yang sedang menggunakan pelayanan kesehatan Salah satu faktor yang

mempengaruhi kepuasan pasien adalah memberikan pelayanan dengan

komunikasi yang terapeutik. Perawat yang memiliki keterampilan

berkomunikasi secara terapeutik tidak saja akan menjalin hubungan rasa

percaya pada pasien, mencegah terjadinya masalah legal, memberikan

kepuasan profesional dalam pelayanan keperawatan dan meningkatkan

citra profesi keperawatan serta citra rumah sakit (Irawan Bambang dan

Erizal, 2019).
Penyebab dari ketidak puasan, karena perawat dalam memberikan

atau menjelaskan informasi dengan komunikasinya kurang begitu baik

dan sikap yang kurang baik pula. Hal ini memungkinkan karena perawat

memang mempunyai suatu hambatan dalam proses komunikasi dengan

pasien (Machfoedz, 2009). Bahasa yang dipergunakan atau yang

disampaikan kurang jelas atau bahasa yang dipergunakan tidak mudah

untuk dimengerti (Sari dkk, 2020).

Ketidakpuasan pada diri pasien dapat disebabkan oleh beberapa

hal yaitu seperti gagal berkomunikasi, krisis waktu, kualitas produk atau

jasa, kualitas atau mutu pelayanan, harga, dan biaya(Dora dkk, 2019).

Dalam upaya untuk mewujudkan pelayanan keperawatan rumah

sakit, puskesmas dan klinik yang berkualitas dipengaruhi oleh faktor-

faktor yang meliputi unsur masukan yang terdiri dari tenaga medis, dana,

dan sarana serta unsur lingkungan berupa kebijakan manajemen.

Disamping itu juga yang mempengaruhi kepuasan pasien adalah

karakteristik pasien yang meliputi Usia, jenis kelamin, tingkat

pendidikan, dan pekerjaan. Sedangkan dari unsurunsur kualitas

pelayanan meliputi aspek berwujud, handal, tanggap, tanggungan dan

tenggang rasa (Perceka, 2020).

Tingkat kepuasan perawat sangat mempengaruhi kinerja perawat

dalam pelaksanaan pelayanan keperawatan. Pelayanan keperawatan

berbasis Spiritual menjadi salah satu penyebab dari kepuasan kerja

perawat (Puspita Sari dkk, 2019).


Kompetensi perawat merupakan suatu hal yang sangat penting

bagi kesuksesan pelayanan yang dimiliki rumah sakit, puskeasmas dan

klinik untuk memberikan kepuasan pada pasien dalam memperoleh

pelayanan asuhan keperawatan yang maksimal (Muchson, 2012). Salah

satu kompetensi perawat yang cukup penting adalah kompetensi asuhan

spiritual pasien. Kompetensi perawat dalam konteks asuhan spiritual

adalah paralel dengan proses keperawatan, yaitu melakukan pengkajian,

merumuskan diagnosa keperawatan, menyusun perencanaan dan

intervensi keperawatan serta mengevaluasi kebutuhan spiritual pasien

(Arini dkk, 2015).

g. Teori Kepuasan Pelanggan

Menurut Muninjaya (2014), kepuasan pelanggan (pasien) adalah

tanggapan pelanggan terhadap kesesuaian tingkat kepentingan atau

harapan pasien sebelum mereka menerima jasa pelayanan dengan sesudah

jasa pelayanan yang mereka terima.

Menurut Tjiptono (2015), ada lima teori yang sering kali

digunakan sebagai acuan pada riset kepuasan pelanggan, yaitu

diantaranya :

1) Expentancy Disconfirmation Model

Model yang dikembangkan dekade 1970-an ini

mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai evaluasi yang

memberikan hasil di mana pengalaman yang dirasakan setidaknya

sama baiknya (sesuai) dengan diharapkan. Berdasarkan konsumsi

atau pemakaian produk atau merek tertentu dan merek lainnya

dalam kelas produk yang sama, pelanggan membentuk


harapannya mengenai kinerja seharusnya dari mereka yang

bersangkutan. Harapan atas kinerja ini lalu dibandingkan dengan

kinerja aktual produk (persepsi terhadap kualitas produk atau jasa).

a) Apabila kinerja lebih lebih rendah dari harapan, yang terjadi

ialah ketidakpuasan emosional (negatif disconfirmation);

b) Jika kinerja cenderung lebih besar dibanding harapan, yang

terjadi adalah kepuasan emosional (positif disconfirmation).

c) Jika kinerja sama dengan harapan yang kemudian terjadi

konfirmasi harapan (simple disconfirmation/non-satification).

Situasi ini terjadi jika kinerja merek, produk, atau pemasok

tertentu, menyamai harapan kinerja yang rendah sehingga

hasilnya bukanlah kepuasan atau ketidakpuasan. Istilah non-

satisfication juga dapat dipakai untuk menggambarkan keadaan

ini, di mana pelanggan merasa kecewa namun ia juga tidak

akan melakukan komplain.

2) Equity Theory

Berdasarkan teori ini, perasaan tidak puas disebabkan

keyakinan bahwa norma sosial dilanggar. Dalam teori ini

berlaku norma yang menegaskan bahwa setiap pihak dalam

pertukaran harus mendapat perlakuan adil atau fair. Jadi, kepuasan

terjadi jika rasio hasil dan input setiap pihak dalam pertukaran

kurang lebih sama.

Sebaliknya, ketidakpuasan terjadi jika pelanggan meyakini

bahwa rasio hasil dan inputnya lebih jelek ketimbang perusahaan

atau penyedia jasa. Selain itu, kepuasan pelanggan atas transaksi


dipengaruhi oleh perbandingan dengan rasio hasil dan input

pelanggan lain. Dengan demikian, evaluasi mengenai keadilan

keseluruhan (overall equity) pada transaksi pembelian produk

sangat berpengaruh terhadap kepuasan/ketidakpuasan pelanggan.

3) Attribution Theory

Teori ini mengidentifikasi proses yang dilakukan seseorang

dalam menentukan penyebab aksi atau tindakan dirinya, orang

lain, dan objek tertentu. Atribusi ini mampu memengaruhi kepuasan

purnabeli seseorang terhadap produk atau jasa tertentu karena

atribusi memoderasi perasaan puas atau tidak puas.

4) Assimilation-Contrast Theory

Menurut teori ini, konsumen mungkin menerima

penyimpangan (deviasi) dari ekspektasinya dalam batas

tertentu. Apabila produk atau jasa yang dibeli serta dikonsumsi tidak

terlalu berbeda dengan apa yang diharapkan pelanggan maka

kinerja produk/jasa itu akan diasimilasi/diterima dan produk atau

jasa itu dievaluasi secara positif (dinilai memuaskan). Akan

tetapi, jika kinerja produk atau jasa malah melampaui zona

penerimaan konsumen (zone of acceptance), perbedaan yang ada

akan dikontraskan sehingga akan tampak lebih besar. Setiap

pelanggan berbeda-beda dalam toleransi terhadap penyimpangan

dari kinerja yang diharapkannya, sedangkan sebagian konsumen

lebih toleran dibandingkan dengan konsumen lainnya.


5) Opponent Process Theory

Teori ini ingin menjelaskan mengapa pengalaman

konsumen yang pada mulanya memuaskan kemudian cenderung

dievakuasi kurang memuaskan pada kejadian atau kesempatan

berikutnya. Dasar pemikirannya adalah pandangan bahwa

organisme akan beradaptasi dengan stimulus di lingkungannya

sehingga stimulus berkurang intensitasnya sepanjang waktu (Basit

dkk, 2018).

h. Aspek Dimensi Kepuasan Pasien

Ada lima aspek dimensi dalam mempengaruhi kepuasan

pasien yaitu tangibility, responsiveness, reliability, assurance, dan

empathy.

1) Tangible atau bukti nyata meliputi penampilan fisik dari perawat,

cara berpakaian, peralatan yang digunakan dalam bertugas,

bahan–bahan sarana pelayanan lain yang dapat dilihat langsung

oleh pasien.

2) Reliability (keandalan) adalah pemberian pelayanan dengan

segera, akurat dan memuaskan. Kemampuan perawat dalam

memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan

memuaskan.

3) Responsiveness atau daya tangkap adalah terkait kemampuan

perawat dalam memenuhi keinginan pasien dan keluarga pasien

dan memberikan pelayanan secara cepat dan memuaskan,

kesigapan dalam menangani keinginan pelanggan.


4) Kesopanan perawat dalam melakukan pelayanan, misalnya

pengetahuan tentang penanganan medis, keterampilan, dan

ketulusan didalam melayani pasien dan keluarga pasien sehingga

dapat menimbulkan kepercayaan dan keyakinan termasuk

menghargai pasien dan keluarga.

5) Empati meliputi perhatian, pendekatan, dan kemudahan parawat

dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, kepedulian,

perhatian perawat terhadap pasien dan keluarga pasien termasuk

pendekatan atau upaya memahami kebutuhan pasien (Oini dkk,

2017).

i. Indokator Kepuasan Pasien

Menurut Pohan (2013), saat pasien menerima jasa

pelayanan kesehatan, ada beberapa indikator pasien untuk melihat

kualitas dari pelayanan kesehatan, yaitu Profesionalism and Skill,

Attitude and behavior, Accecibility and Flexibility, Reliability and

trustworthiness, Recovery dan Reputation and Credibility (Yuliani

dan Purna, 2020).

Adapun indikator kepuasan pelayanan keperawatan bagi

pasien, yaitu pendekatan dan sikap perawat, emosi pasien saat

kunjungan pertama, kualitas informasi, proses kontrak masa

tunggu dan sarana publik yang tersedia (Susatyo, 2016), sehingga

baik buruknya pelayanan keperawatan dapat dilihat dari pelayanan

keperawatan yang diberikan petugas rumah sakit itu sendiri

terhadap respon masyarakat. Salah satu dengan melihat jumlah

kunjungan pasien yang datang untuk berobat kembali ke rumah


sakit yang bersangkutan apakah terjadi peningkatan atau

penurunan angka kunjungan dibandingkan dengan kunjungan ke

rumah sakit lainnnya yang sejenis (Susatyo 2016 dalam Perceka,

2020).

2. Konsep Komunikasi terapeutik

a. Definisi Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan

secara sadar, tujuan kegiatannya difokuskan untuk menyembuhkan

klien. Komunikasi terapeutik adalah media untuk saling memberikan

dan menerima antar perawat dengan klien berlangsung secara verbal

dan non verbal (Dora dkk, 2019).

Komunikasi terapeutik adalah kemampuan komunikasi yang

dimiliki oleh perawat terampil sehingga mempengaruhi pencapaian

hasil kesehatan optimal. Komunikasi terapeutik mempengaruhi

tingkah laku sehingga menjalin hubungan rasa percaya pada pasien,

mencegah terjadinya masalah legal, memberikan kepuasan profesional

dalam pelayanan keperawatan dan meningkatkan citra profesi

keperawatan serta citra rumah sakit, puskesmas atau klinik.

Komunikasi terapeutik yang sudah dilakukan secara efektif maka

dapat dilihat dari tingkat kepuasan yang dimiliki pasien (Dora dkk,

2019).
b. Prinsip Dasar Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik dilakukan untuk meningkatkan

pemahaman dan membantu terbentuknya hubungan yang

konstruktif diantara perawat dan pasien. Prinsip dasar komunikasi

terapeutik sebagai berikut:

1) Hubungan perawat dan pasien adalah hubungan terapeutik

yang saling menguntungkan, didasarkan pada prinsip

‘humanity of nurses and clients’. Hubungan ini tidak hanya

sekedar hubungan seorang penolong perawat dengan

pasiennya, tetapi hubungan antara manusia yang

bermartabat.

2) Perawat harus menghargai keunikan pasien, perbedaan

karakter, memahami perasaan dan perilaku pasien dengan melihat

perbedaan latar belakang keluarga, budaya, dan keunikan

pasien sebagai individu.

3) Semua komunikasi yang dilakukan harus dapat menjaga harga

diri pemberi maupun penerima pesan.

4) Komunikasi yang menciptakan tumbuhnya hubungan saling

percaya (trust) harus dicapai terlebih dahulu sebelum

menggali permasalahan dan memberikan alternatif pemecahan

masalah. Hubungan saling percaya antara perawat terhadap pasien

adalah kunci dari komunikasi terapeutik (Nur dan Hafiffah,

2019).
c. Tujuan Komunikasi terapeutik

1) Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban

perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk

mengubah situasi yang ada bila pasien percaya pada hal yang

diperlukan.

2) Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan

yang efektif dan mempertahankan kekuatan egonya.

3) Memengaruhi orang lain, lingkungan fisik, dan dirinya sendiri.

(Damaiyanti 2010 dalam Prasanti, 2017)

d. Tahapan Komunikasi Terapeutik

1) Fase Prainteraksi

Dalam tahapan ini perawat menggali perasaan dan menilik

dirinya dengan cara mengidentifikasi kelebihan dan

kekurangannya. Pada tahap ini juga perawat mencari informasi

tentang klien sebagai lawan bicaranya. Setelah hal ini dilakukan

perawat merancang strategi untuk pertemuan pertama dengan

klien. Tahapan ini dilakukan oleh perawat dengan tujuan

mengurangi rasa cemas atau kecemasan yang mungkin dirasakan

oleh perawat sebelum melakukan komunikasi terapeutik dengan

klien.

Kecemasan yang dialami seseorang dapat sangat

mempengaruhi interaksinya dengan orang lain (Ellis, Gates dan

Kenworthy, 2011 dalam Suryani, 2009). Hal ini disebabkan oleh

adanya kesalahan dalam menginterpretasikan apa yang diucapkan

oleh lawan bicara. Pada saat perawat merasa cemas, dia tidak akan
mampu mendengarkan apa yang dikatakan oleh klien dengan baik

(Brammer, 2007 dalam Suryani, 2009) sehingga tidak mampu

melakukan active listening (mendengarkan dengan aktif dan penuh

perhatian). Tugas perawat dalam tahapan ini adalah:

a) Mengeksplorasi perasaan, mendefinisikan harapan dan

mengidentifikasi kecemasan.

b) Menganalisis kekuatan dan kelemahan diri.

c) Mengumpulkan data tentang klien.

d) Merencanakan pertemuan pertama dengan klien.

2) Fase perkenalan / Orientasi

Fase Orientasi, tahap perkenalan,bertujuan untuk

melakukan validasi keakuratan data pasien dan rencana yang

telah dibuat sesuai dengan keadaan klien saat terkini,

mengevaluasi hasil tindakan yang lalu atau tindakan

sebelumnya. Lima kegiatan pokok fase ini yaitu testing

(percobaan untuk saling berkenalan) building trust (membangun

kepercayaan), identification of problems and goals

(identifikasi permasalahan, menetapkan tujuan),

clarification of roles (mengklarifikasi peran) dan contract

formation (membuat perjanjian atau kontrak perawatan).

3) Fase Kerja

Fase Kerja (Working) merupakan inti dari keseluruhan

proses komunikasi terapeutik,tahap terpanjang dalam


komunikasi terapeutik karena didalamnya perawat

diwajibkan untuk membantu pasien menyampaikan perasaan

dan pikirannya, menganalisa respons, pesan komunikasi verbal

dan non verbal yang disampaikan oleh pasien,terdiri dari dua

kegiatan pokok yaitu menyatukan proses komunikasi dengan

tindakan perawatan dan membangun suasana yang

mendukung untuk proses perubahan.

4) Fase Terminasi

Fase Terminasi/ akhir pertemuan, dibagi dua yaitu

terminasi sementara yaitu akhir dari tiap pertemuan perawat dan

pasien dan terminasi akhir dilakukan oleh perawat setelah

menyelesaikan seluruh proses keperawatan. Tujuan telah

dicapai, Kegiatan pada fase ini adalah penilaian pencapaian tujuan

dan perpisahan (Nur dan Hafiffah, 2019).

e. Hambatan Dalam Berkomunikasi Terapeutik

Perawat mempunyai suatu hambatan dalam proses komunikasi

dengan pasien yaitu bahasa yang dipergunakan atau yang disampaikan

kurang jelas atau bahasa yang dipergunakan tidak mudah untuk

dimengerti sehingga mempengaruhi tingkat kepuasan pasien

terhadapat layanan yang perawat berikan (Sari dkk, 2020).

f. Fungsi Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik berfungsi untuk mendorong dan

menganjurkan kerjasama antar perawat dan klien melalui hubungan

perawat dan klien. Perawat berusaha mengungkapkan perasaan,

mengidentifikasikan dan mengkaji masalah serta mengevaluasi


tindakan yang dilakukan dalam perawatan, proses komunikasi yang

baik dapat memberikan pengertian tingkah laku klien dan membantu

klien dalam rangka mengatasi persoalan yang dihadapi pada tahap

perawatan, sedangkan pada tahap preventif kegunaannya adalah

mencegah adanya tindakan yang negatif terhadap pertahanan diri

klien (Dora dkk, 2019).

g. Teknik Komunikasi Terapeutik

Terdapat 16 teknik komunikasi terapeutik menurut Afnuhazi

(2015:43-45) yaitu:

1) Mendengarkan dengan penuh perhatian

2) Menunjukkan penerimaan

3) Menanyakan pertanyaan yang berkaitan

4) Mengulangi ucapan pasien dengan menggunakan kata-kata

sendiri

5) Mengklarifikasi

6) Memfokuskan

7) Kenyataan hasil observasi

8) Menawarkan informasi

9) Diam

10) Meringkas

11) Memberi penghargaan

12) Memberi kesempatan kepada pasien untuk memulai pembicaraan;

13) Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan

14) Menempatkan kejadian secara berurutan


15) Memberikan kesempatan kepada pasien untuk menguraikan

persepsinya

16) Refleksi (Gading DKK, 2018).

h. Faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi Terapeutik

Dilihat dari jenis kelamin, pada dasarnya perempuan dan laki-

laki memiliki gaya komunikasi yang berbeda. Jenis kelamin dapat

mempengaruhi seseorang pada saat berinteraksi. Hal tersebut dapat

mempengaruhi seseorang dalam menafsirkan pesan yang diterimanya

(Dora dkk, 2019).

Menurut Potter dan Perry salah satu faktor yang

mempengaruhi komunikasi yaitu gender (jenis kelamin). Perbedaan

jenis kelamin mempengaruhi proses komunikasi. Pria dan wanita

memiliki gaya komunikasi yang berbeda dan satu sama lain saling

mempengaruhi proses komunikasi secara unik. Wanita lebih halus di

bandingkan dengan pria, sehingga mempermudah dalam komunikasi.

Menurut Potter dan Perry komunikasi dapat menjadi sulit ketika orang

yang berkomunikasi memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda.

Pesan akan menjadi tidak jelas jika kata-kata dan ungkapan yang

digunakan tidak dikenal oleh pendengar (Warsini DKK, 2016).

Faktor lingkungan yang mempengaruhi persepsi pasien bisa

dari komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh perawat. Perawat

yang tidak bisa atau belum bisa menerapkan komunikasi terapeutik

dengan baik dalam bekerja akan membuat seseorang beranggapan

bahwa perawat kurang ramah, kadang terlalu acuh, tidak peduli

dengan pasien. Faktor lainnya yang mempengaruhi komunikasi


terapeutik yaitu padatnya jam kerja sehingga Kurangnya perawat

dalam menerapkan komunikasi terapeutik dan perawat jadi jarang

sekali berinteraksi dengan pasien (Fizran, 2017).

Faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan komunikasi

terapeutik, dimana pengetahuan dan kecerdasan emosi perawat

berkontribusi terhadap pelaksanaan komunikasi terapeutik. Hal ini

sebagaimana telah diungkapkan Siagian ( 2021) dalam Edyana

( 2008 ) bahwa proses pendidikan merupakan pengalaman yang

berfungsi mengembangkan kemampuan dan kualitas kepribadian

seseorang, dimana semangkin tinggi tingkat pendidikan maka akan

semakin besar motivasinya untuk memanfaatkan pengetahuan dan

keterampilannya (Suyitno DKK, 2017).

Menurut Shives (1998), Ramsden (1999), Potter dan Perry

(2006), Townsend (2000), Machfoedz (2009), Arnold dan Boggs

(2007) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan

komunikasi terapeutik oleh perawat. Beberapa faktor itu adalah

sebagai berikut :

1) Kemampuan komunikator Meliputi kemampuan untuk berbicara,

mendengar dan melihat.

2) Persepsi Merupakan pendapat individu mengenai apa yang akan

terjadi.

3) Peranan dan hubungan

Peranan dan hubungan antara encoder dan decoder juga

mempengaruhi komunikasi, misalnya peranan dan hubungan

perawat – pasien, dokter – perawat, dan seterusnya.


4) Pengetahuan

Tingkat pengetahuan yang berbeda antara perawat dengan

pasien dapat membuat komunikasi menjadi sulit.

5) Nilai

Nilai adalah standar yang mempengaruhi perilaku sehingga

penting bagi perawat untuk menyadari nilai seseorang.

6) Latar belakang budaya

Budaya membentuk individu yang unik, sehingga komunikasi

juga akan berbeda antara satu dengan yang lainnya.

7) Emosi

Emosi adalah perasaan subjektif tentang suatu peristiwa.

8) Sikap

Sikap peduli, kehangatan, menghargai dan menerima dapat

memperlancar komunikasi.

9) Lingkungan

Lingkungan yang tenang, bebas dari kebisingan, ventilasi yang

baik, suhu kamar yang tidak terlalu panas/dingin, serta adanya

privacy akan memperlancar komunikasi.

10) Waktu Komunikasi dengan pasien yang menuntut pasiennya

harus menunggu baru kemudian perawatnya akan muncul, akan

berbeda tanggapannya dengan pasien yang tidak dibiarkan

menunggu lama(Panungkunan dan Maslow, 2012).


3. Konsep Spritualitas Di Tempat Kerja

a. Pengertian Spritualitas

Istilah “spiritual” berasal dari bahasa inggris dengan kata dasar

“spirit” yang memiliki makna antara lain jiwa, roh, semangat, moral dan

tujuan atau makna yang hakiki. Sedangkan dalam bahasa arab istilah

spiritual terkait dengan yang ruhani dan ma’nawi dari segala sesuatu.

Makna inti dari kata spirit berikut kata jadiannya seperti spiritual dan

spiritualitas adalah bermuara kepada kehakikian, keabadian dan ruh.

Manusia terdiri dari unsur material dan spiritual atau unsur jasmani dan

ruhani. Perilaku manusia merupakan produk tarik menarik antara energy

spiritual dan material atau ruhaniah dan jasmaniah (Pradnyana dkk,

2020).

Spiritualitas adalah tentang peningkatan seseorang kerangka

acuan, identitas dan ego-diri (Pandey Et All, 2019). Spiritualitas

menggabungkan seseorang pengalaman dan keyakinan dan merupakan

sumber dukungan penting dan juga komponen penting dari asuhan

keperawatan holistik. Spiritualitas adalah pengalaman subjektif dari

hubungan dengan diri sendiri, orang lain, alam, dan Tuhan dan

menyediakan individu dengan harmoni dan makna dalam hidup mereka.

Spiritualitas memiliki efek positif pada hasil kesehatan dan

merupakan aspek penting dari pasien. Baru-baru ini, fokusnya telah

bergeser ke pemahaman tentang spiritualitas penyedia layanan kesehatan

karena hal itu berdampak pada perawatan spiritual pasien.

Perawat dengan tingkat kesehatan spiritual yang lebih tinggi

memiliki sikap yang lebih positif terhadap perawatan spiritual, asuhan


keperawatan, dan komitmen profesional. Studi juga menunjukkan

hubungan antara pendidikan spiritual dan kompetensi spiritual. Namun,

kompetensi perawat yang terkait dengan perawatan spiritual tidak

berkembang dengan baik karena pendidikan keperawatan yang terbatas.

Dalam konteks asuhan keperawatan, kerangka kerja kompetensi spiritual

membahas perawatan paliatif dan akhir hidup daripada kebutuhan

spiritual pasien. Selain itu, hanya sejumlah kecil perawat yang

melaporkan menerima pelatihan pendidikan yang memadai untuk secara

efektif memberikan perawatan spiritual baik di Barat ataupun budaya

timur (Chiang Et All, 2020).

b. Definisi Spritualitas Di Tempat Kerja

Spiritualitas tempat kerja adalah pencarian makna atau tujuan

yang lebih tinggi, keterhubungan sosial, kehidupan batin, dan

transendensi atau panggilan tingkat yang lebih tinggi di tempat kerja

(Pandey Et All, 2019). Spiritualitas terdiri dari dua dimensi yaitu

dimensi vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal mewakili hubungan

manusia dengan Tuhan, dan dimensi horizontal mewakili

hubungan individu dengan orang lain. Hubungan manusia

dengan Tuhan yaitu dengan beribadah, berdoa serta mengikuti kegiatan

keagamaan, sedangkan hubungan individu dengan orang lain yaitu

seperti menerima orang lain dan merasa tanpa pamrih peduli dengan

orang lain (Munawarah dkk, 2018).

Spiritualitas adalah suatu konsep dua dimensi yaitu dimensi

vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal adalah hubungan

individu dengan Tuhan Yang Maha Esa yang menuntun kehidupan


seseorang sedangkan dimensi horizontal merupakan hubungan seseorang

dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Herlyana DKK, 2017).

c. Komponen Spritualitas Di Tempat Kerja

Spiritualitas di tempat kerja memiliki tiga komponen, yaitu

kehidupan dalam (inner life), pekerjaan yang bermakna, dan komunitas.

Ashmos & Duchon (2000) membagi spiritualitas di tempat

kerja menjadi tiga komponen, Yaitu :

1) Kehidupan batin sebagai identitas spiritual. Memiliki spiritualitas

di tempat kerja dapat dimulai dengan memahami bahwa setiap

orang memiliki kehidupan lahir maupun batin, dan bahwa

kehidupan batin individu mempunyai kebutuhan kebutuhan agar

lebih bermakna. Dalam kehidupan batin atau inner life, spiritualitas

memberikan ekspresi terhadap sesuatu yang ada dalam diri individu,

yaitu dengan perasaan dan kekuatan yang datang dari dalam diri. Hal

ini bisa dilakukan dengan mengetahui kedalaman diri dan apa yang

suci menurutnya.

2) Makna dan tujuan dalam bekerja. Spiritualitas di tempat kerja

menyangkut kerja yang lebih bermakna, keterkaitan antara jiwa

(soul) dengan pekerjaan, dan bagaimana mendapatkan perhatian

dari perusahaan.

3) Perasaan terhubung dan komunitas. Spiritualitas di tempat kerja

bukan hanya bagaimana perawat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

batin pasien dengan mencari pekerjaan yang bermakna, tetapi

juga cara agar seseorang dapat hidup dan terhubung dengan orang

lain (Astar dkk, 2020).


d. Faktor - Faktor kurangnya layanan spritualitas

Faktor yang dapat menyebabkan kurang baik dalam pelayanan

keperawatan spiritual yaitu dikarenakan bahwa komunikasi antara pasien

dan perawat masih kurang, kurangnya motivasi perawat dalam

memberikan asuhan perawatan spiritual serta adanya kendala perbedaan

budaya pasien. Selain itu, perawat tidak membantu pasien untuk

beribadah, tidak mengajarkan doa kepada pasien dan tidak mengingatkan

waktu solat kepada pasien, karena perawat meyakini bahwa semua itu

adalah tugas dari bagian bimbingan rohani (Rachmawati DKK, 2019).

Perawat juga mengatakan bahwa belum pernah mengikuti pelatihan

perawatan spiritual dan belum adanya pelatihan tersebut di rumah sakit.

Perawat juga belum pernah mengkaji secara detail terkait perawatan

spiritual. Perawat mengetahui bahwa layanan spiritual sangat bermanfaat

bagi pasien terutama proses penyembuhan, namun dalam

implementasinya tidak semua perawat memberikan asuhan perawatan

spiritual secara mandiri untuk pasien. Hal tersebut dikarenakan bahwa

perawat belum mengikuti dan belum adanya pelatihan perawatan

spiritual (Rachmawati DKK, 2019).

Faktor yang dapat menyebabkan kurang baik dalam pelayanan

keperawatan spiritual yaitu pengetahuan, beban kerja, dan kebijakan

pimpinan (Mundakir, 2016).


Spiritualitas di tempat kerja di pengaruhi oleh sembilan faktor

(Ashmos & Duchon, 2000). Kesembilan faktor tersebut adalah sebagai

berikut.

1) Kondisi komunitas, mencakup penilaian terkait dukungan dari

komunitas. Komunitas disini adalah tempat seseorang mengalami

pertumbuhan pribadi yang berharga untuk diri mereka sendiri

sebagai individu dan memiliki rasa bekerja sama antar perawat

dengan pasien.

2) Work unit as a community yakni sejauh mana unit kerja

memberi semangat dan perhatian pada pasien.

3) Persepsi dan sikap terhadap nilai-nilai organisasi.

4) Pemaknaan dalam pekerjaan.

5) Inner life, terkait harapan seseorang, kesadaran akan nilai pribadi

dan perhatian terhadap spiritualitas.

6) Persepsi yang menjadi penghalang menuju spiritualitas.

7) Tanggung jawab pribadi perawat.

8) Hubungan positif dengan orang lain.

9) Kontemplasi atau perenungan (Astar dkk, 2020).

Ahmos & Duchon (2000) membagi faktor spiritualitas di

tempat kerja ke dalam tiga kategori level atau tingkatan pandangan

individu yang memengaruhi spiritualitas di tempat kerjanya.

1) Individual level l atau tingkat individu. Tingkatan ini merupakan

penilaian karyawan terhadap sikap, pangalaman,dan dirinya sendiri.

2) Work unit level. Merupakan tingkatan di manakaryawan menilai

unit kerja atau divisi mereka, baik dengan mengidentifikasi nilai


pada unit kerja, tujuan, dan misi unit kerja, serta seberapa besar unit

kerja mendorong terbentuknya spiritualitas di tempat kerja pada

karyawan.

3) Organizational level atau tingkat organisasi. Individu menilai dan

mengidentifikasi organisasi tempatnya bekerja (Astar dkk, 2020).

e. Manfaat Spritualitas Di Tempat Kerja

Sumiati et al (2007) menjelaskan bahwa seseorang atau individu

yang mempunyai spiritualitas yang sangat baik dapat memberikan

pengaruh yang positif terhadap pelayanan kesehatan khususnya adalah

perawat. Hal ini terjadi karena pengalaman positif dari kualitas

spiritualitas yang dirasakan akan menumpah (spill over) ke

lingkungannya (Mulyono, 2011). Pasien yang pernah dirawat akan

bercerita keorang lain tentang pengalaman pencerahan yang diperoleh

dan refleksi kebahagiaanya dilihat dan dirasakan sehingga akan menarik

pengunjung lain untuk berobat (Arini dkk, 2015).

Seseorang yang memiliki spiritualitas tinggi akan memiliki

kecenderungan untuk tidak menyakiti orang lain, menjaga lingkungan

mereka dan penuh cinta kasih. Spiritualitas yang tinggi dapat membantu

seseorang untuk menentukan langkah dengan baik, akan lebih

memaknai hidup, dapat mengambil hikmah dari pengalaman hidupnya,

serta selalu berintrospeksi diri (Wardhani dan Wahyuningsih, 2008).

Hal tersebut terjadi karena selain memberikan pengalaman transenden,

luaran dari spiritualitas tersebut memberikan harmoni pada diri sendiri

dan lingkunganya (Arini dkk, 2015).


Isu spiritualitas di tempat kerja menjadi perhatian pengelolaan

sumber daya manausia khususnya tenaga keperawatan karena

spiritualitas di tempat kerja yang baik dapat meningkatkan

produktivitas dan keuntungan finansial, dapat mendorong komitmen

organisasional bagi pegawainya, menurunkan tingkat absensi dan

menurunkan job turnover (Fry, 2003). Spiritualitas juga sangat efektif

mengarahkan manusia dalam mengahadapi pemasalahan hidup. Rumah

sakit yang menerapkan spiritualitas di tempat kerjanya, akan

meningkatkan komitmen organisasional bagi karyawan. Perawat

dengan tingkat komitmen organisasional tinggi akan menunjukkan

kinerja yang baik, tingkat turnover intention rendah dan tingkat absensi

rendah (Witasari, 2006).

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa banyak sekali manfaat

atau dampak positif yang diberikan oleh spiritualitas kerja pada

karyawan. Selain berhubungan positif dengan sikap kerja,

keterlibatan kerja, dan komitmen organisasi, spiritualitas kerja juga

membawa dampak positif bagi perilaku karyawan, seperti perilaku

sosial lebih positif, empati, dan altruisme yang besar (Astar dkk, 2020).

f. Dampak Terpenuhinya Spritualitas Di Tempat Kerja

Berbagai penelitian menemukan bahwa spiritualitas di tempat

kerja memiliki dampak langsung terhadap karyawan. Dampak

tersebut diantaranya adalah timbulnya hubungan positif yang

signifikan dengan kepuasan kerja karyawan, adanya sikap sosial yang

lebih positif, lebih empati, dan menunjukkan altruisme yang besar.

Mereka juga cenderung untuk merasa lebih puas dengan pekerjaannya


(Hassan et al., 2016). Penelitian lain dilakukan oleh John,

Andrew, and Jeffery (2003) yang menemukan spiritualitas di

tempat kerja berhubungan dengan lima variable sikap kerja,yaitu

kepuasan kerja, keterlibatan kerja, komitmen organsasi,

merasakan dukungan organisasi, dan keterlibatan karyawan (Astar

dkk, 2020).

g. Dampak Tidak Terpenuhinya Spritualitas

Dampak tidak terpenuhinya kebutuhan spiritual yaitu distres spiritual

dan seseorang akan jauh lebih rentan terhadap depresi, stres, mudah

gelisah, kehilangan kepercayaan diri dan kehilangan motivasi, adanya

keputusasaan, menolak kegiatan ritual, dan terdapat tandatanda seperti

menangis, menarik diri, cemas, dan marah, bunuh diri, kemudian

ditunjang dengan keadaan fisik seperti nafsu makan terganggu, kesulitan

tidur, dan tekanan darah tinggi (Puspita Sari dkk, 2019).

h. Tujuan pemenuhan kebutuhan spiritual

Tujuan pemenuhan kebutuhan spiritual adalah agar klien merasa

aman dan memiliki semangat hidup sehingga klien mendapat ketenangan

jiwa, penurunan kecemasan dan depresi serta kualitas hidup bagi pasien

membaik (Puspita Sari dkk, 2019).

Konsep perkembangan spiritualitas ini penting dalam memahami

spiritualitas pasien dan bagaimana kematangan spiritualitas perawat

mempengaruhi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan spiritual

pasien, membentuk hubungan, dan kemudian membantu pasien dengan

kebutuhan perawatan kesehatannya (Arini dkk, 2015).


i. Dimensi Spritualitas Di Tempat Kerja

Aspek-aspek spiritualitas berhubungan dengan nilai intrinsik dan

positif emosional, hal tersebut kiranya dapat mempengaruhi keberhasilan

perawat dimana perawat yang dewasa dan berhasil akan memiliki

maksud dan rasa puas dalam hubungan dengan pekerjaan dan dengan

kehidupan pada umumnya dan apa yang telah diabdikannya dalam

pekerjaan akan lebih daripada sekedar memperoleh imbalan. Kondisi

yang demikian diharapkan akan mendorong kesediaan perawat dalam

memberikan asuhan spiritual, sehingga tidak hanya asuhan perawatan

fisik/biologis saja yang dipenuhi oleh perawat (Puspita Sari dkk, 2019).

j. Cara Pemenuhan Kebutuhan Spritualitas

1) Bagi seorang muslim, salat adalah kebutuhan spiritual yang harus

tetap ditunaikan, bagaimanapun kondisinya saat sakit menerpa, shalat

merupakan salah satu kebutuhan spiritual yang tetap harus

dikerjakan. Tentunya, tata cara shalat orang yang dalam keadaan sakit

berbeda dengan tata cara shalat orang yang dalam keadaan sehat.

Salah satu pondasi dalam syariat Islam adalah memberikan

kemudahan bagi pemeluknya dimana Allah Ta’ala ber firman ‘’Allah

menghendaki kamu kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki

kesukaran bagimu’’ (Al-Baqarah :185) (Azizah DKK, 2021).

2) Intervensi keperawatan spiritual yang dapat digunakan oleh klien

untuk mendekatkan diri kepada tuhan melalui aktivitas spiritual,

membaca surat al ikhlas, sholat sunah dan Dzikir sangat berguna bagi

pasien untuk meningkatkan spiritual rohani pasien (Rahmawati Dan

wulandari, 2020).
3) Interaksi perawat dengan pasien melalui pelayanan spritualitas ini

terdiri dari dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan

horizontal. Dimensi vertikal mewakili hubungan manusia dengan

Tuhan, dan dimensi horizontal mewakili hubungan individu

dengan orang lain . (Rahmawati Dan wulandari, 2020).

pelayanan spritualitas yang diberikan perawat, solusinya untuk

meningkatkan spritualitas hubungan antara manusia dengan Tuhan

yaitu dengan beribadah, berdoa serta mengikuti kegiatan keagamaan,

sedangkan hubungan individu dengan orang lain yaitu seperti

menerima orang lain dan merasa tanpa pamrih peduli dengan

orang lain (Munawarah dkk, 2018).

4) Penelitian yang dilakukan oleh Hodge (2011) tentang kebutuhan

spiritual pasien, dimana pasien mengungkapkan bahwa

kebutuhan spiritual mereka adalah kebutuhan akan makna, tujuan

dan harapan dalam hidup, hubungannya dengan Tuhan, praktek

spiritual, kewajiban agama, hubungan interpersonal dan hubungan

dengan staf profesional. Seseorang yang mengalami penderitaan,

stres berat atau penyakit kronis, ketika ia telah berusaha

maksimal dan tidak memperoleh hasil optimal dari usahanya,

maka dia akan mencari kenyamanan dan kekuatan dari Tuhan

(Erwan dan maryana, 2019).


k. Berbagai Hambatan Dalam Pelaksanaan Spiritual

1) Beda agama.

2) Kurang pengetahuan

Studi juga menunjukkan hubungan antara pendidikan spiritual

dan kompetensi spiritual. Namun, kompetensi perawat yang

terkait dengan perawatan spiritual tidak berkembang dengan baik

karena pendidikan keperawatan yang terbatas. Dalam konteks

asuhan keperawatan, kerangka kerja kompetensi spiritual

membahas perawatan paliatif dan akhir hidup daripada kebutuhan

spiritual pasien. Selain itu, hanya sejumlah kecil perawat yang

melaporkan menerima pelatihan pendidikan yang memadai untuk

secara efektif memberikan perawatan spiritual baik di Barat

ataupun budaya timur (Chiang Et All, 2020).

3) Kurangnya fasilitas (Erwan dan maryana, 2019).


2. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah rangkuman dari penjabaran teori yang sudah di

uraikan sebelumnya dalam bentuk naratif, untuk memberikan batasan tentang

teori yang akan di gunakan sebagai landasan penelitian yang akan di lakukan

(Hidayat, 2014).
Kepuasan Pasien :
Komunikasi Terapeutik Perawat :
1. Bukti fisik (Tangible)
1. Fase Pra Interaksi Spritualitas di Tempat Kerja : 2. Kehandalan
2. Fase Orientas/Perkenalan (Reliability)
1. Vertikal (Hubungan pasien
dengan Tuhan : Beribadah, 3. Daya tangkap
3. Fase Kerja
berdoa, mengikuti kegiatan (Responsivness)
4. Fase Terminasi agama )
2. Horizontal (Hubungan 4. Jaminan (Assurance)
(Nur dan Hafiffah, 2019) Pasien dengan manusia :
menerima orang lain dan 5. Empati (Empathy)
merasa tanpa pamrih
peduli dengan orang (Dora dkk, 2019)

Faktor – Faktor yang lain ) (Munawarah dkk,


mempengaruhi komunikasi
terapeutik : Faktor yang mempengaruhi pemberian
pelayanan spritualitas perawat pada pasien: Faktor – faktor yang
1. Jenis Kelamin (Dora dkk, 2019). mempengaruhi kepuasan
1. Komunikasi antara perawat dan pasien pasien :
2. Tingkat Pengetahuan/ pendidikan kurang
perawat (Warsini DKK, 2016). 1. Komunikasi
2. Kurangnya motivasi perawat dalam
3. Lingkungan, Padatnya jam kerja memberikan asuhan keperawatan spritual 2. Krisis waktu
perawat dan persepsi perawat
(Fizran, 2017). 3. Adanya perbedaan budaya 3. Kualitas jasa / mutu
pelayanan
4. Kecerdasan emosi perawat 4. Perawat tidak mengajarkan pasien untuk
(Suyitno DKK, 2017). beribadah (berdoa/ mengingatkan 4. Harga/ biaya (Dora dkk,
sembahyang) 2019).
5. Kemampuan perawat dalam
berkomunikasi, peranan dan 5. Belum pernah mengikuti pelatihan asuhan 5. Karakteristik pasien :
hubungan, nilai, latar belakang spiritual Usia, Jenis kelamin,
budaya, sikap dan waktu Tingkat pendidikan dan
(Panungkunan dan Maslow, 6. Perawat belum pernah mengkaji secara pekerjaan (Perceka,
2012). detail terkait perawatan spiritual 2020).
(Rachmawati DKK, 2019).

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian Hubungan Antara Komunikasi


Terapeutik dan Spritualitas di Tempat Kerja Dengan Kepuasan
Pasien di Puskesmas Temindung Samarinda
3. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep penelitian merupakan abstraksi dari suatu realitas

sehingga dapat dikomunikasikan dan membentuk teori yang menjelaskan

keterkaitan atara variable yang diteliti (Nursalam, 2017). Adapun kerangka

konsep dari penelitian ini dapat dijabarkan seperti gambar di bawah ini:

Independen Dependen

Komunikasi
Terapeutik :
1. Baik
2. Kurang Baik Kepuasan pasien :
1. Puas
2. Tidak Puas
Spritualitas di
Tempat Kerja :
1. Baik
2. Kurang Baik

Keterangan :

: Area yang akan diteliti

: Garis penghubung

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian Hubungan Antara Komunikasi


Terapeutik dan Spritualitas di Tempat Kerja Dengan Kepuasan
Pasien di Puskesmas Temindung Samarinda
4. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau

pertanyaan penelitian (Nursalam, 2017).

Untuk menguji benarnya sebuah hipotesis digunakan pengajian yang

disebut pengujian hipotesis. (Riyanto, 2011) menyatakan hipotesis terbagi

menjadi dua bagian yaitu Hipotesis Alternatif (Ha) dan Hipotesis Nol (Ho).

Hipotesis pada penelitian ini adalah :

a. Hipotesis Alternatif ( Ha)

Ha1 : Ada hubungan antara komunikasi terapeutik dengan kepuasan

pasien di Puskesmas temindung Samarinda.

Ha2 : Ada hubungan antara spritualitas di tempat kerja dengan

kepuasan pasien di Puskesmas temindung Samarinda.

b. Hipotesis Nol

Ho1 : Tidak ada hubungan antara komunikasi terapeutik dengan kepuasan

pasien di Puskesmas temindung Samarinda.

Ho2 : Tidak ada hubungan antara spritualitas pasien dengan kepuasan

pasien di Puskesmas temindung Samarinda.

5. Penelitian Terkait

a. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Astutik ( 2018 ) tentang

Komunikasi terapeutik dengan tingkat kepuasan pasien di Ruang Melati

RSUD Bangil. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan

komunikasi perawat dengan kepuasan pasien dengan hasil analisis uji

spearman Rho didapatkan p-value 0,00 (p<0,05).

b. Penelitian sebelumnya yang di lakukan oleh Klemensia ( 2017 ) tentang

Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Tingkat Kepuasan Pasien post


operasi di Ruang Santa Maria Rumah Sakit Santa Elisabeth medan. Hasil

penelitian ini menunjukkan

c. Penelitian sebelumnya yang di lakukan oleh Hajriani ( 2013 ) tentang

Komunikasi Terapeutik dengan Tingkat kepuasan Pasien yang Dirawat di

Ruang Perawatan Bedah RSUD Haji Makassar. Hasil penelitian ini

menunjukkan ada hubungan komunikasi terapeutik dengan tingkat

kepuasan pasien dengan hasil analisis uji fisher exact diperoleh nilai p-

value 0,001 (p<0,05).

d. Penelitian sebelumnya yang di lakukan oleh Arini dkk ( 2013 ) tentang

Spritualitas perawat dan kompetensi asuhan spiritual di RSUD dr.

Goeteng Taroenadibrata Purbalingga. Hasil penelitian ini menunjukkan

adanya hubungan spritualitas perawat dengan kompetensi asuhan spiritual

dengan hasil analisis uji spearman Rho didapatkan p-value 0,000

(p<0,05).

e. Penelitian sebelumnya yang di lakukan oleh Ester & Wardah (2020)

tentang Efikasi Diri perawat Dalam pemenuhan Kebutuhan Spiritual

pasien RS swasta terbesar di Pekanbaru. Hasil penelitian ini menunjukkan

adanya hubunga efikasi diri perawat dalam pemenuhan kebutuhan

spiritual pasien dengan hasil analisis uji statistik Chi square di dapatkan

p-value 0,005 (p<0,05).

Anda mungkin juga menyukai