Anda di halaman 1dari 17

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Kepuasan Pasien


1. Pengertian Kepuasan
Kepuasan adalah kesesuaian jasa yang diterima atau yang
diharapkan (Parasuraman et. Al, 2015). Menurut Kotler (2011) kepuasan
adalah tingkat perasaan setelah membandingkan kinerja (hasil) yang
dirasakan dibandingkan dengan harapannya. Menurut Tjiptono (2013),
kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan adalah respon pelanggan
terhadap evaluasi ketidaksesuaian yang dirasakan dengan harapan
sebelumnya atau norma kinerja lainnya dan kinerja aktual produk yang
dirasakan pemakaiannya.
Wilkie (dalam Tjiptono, 2013) mendefinisikan kepuasan atau
ketidakpuasan sebagai suatu tanggapan atau respon emosional pada
evaluasi terhadap pengalaman konsumsi suatu produk jasa. Menurut
Jacobalis (2015), kepuasan sebagai rasa lega atau senang karena
harapan atau hasrat tentang sesuatu terpenuhi. Kepuasan mempunyai
dimensi fisik, mental dan sosial. Kepuasan konsumen merupakan dimensi
persepsi multi dimensional yang terkait dengan struktur, proses dan
outcome layanan, sedangkan ketidakpuasan merupakan kesenjangan
antara harapan dengan kenyataan layanan yang diterima oleh pasien.
Ketidakpuasan terhadap layanan kesehatan diungkapkan dalam bentuk
keluhan, protes, kemarahan, surat terbuka dalam media massa,
pengaduan pada ikatan profesi sampai pada pengaduan ke pengadilan
dengan tuntutan malpraktek.
Berdasarkan berbagai pandangan di atas dapat disimpulkan
bahwa kepuasan konsumen adalah perasaan emosional yang dirasakan
konsumen setelah melakukan perbandingan yang mencakup perbedaan
antara harapan dan hasil yang dirasakan sesuai dengan harapan, maka
seseorang merasa puas dan sebaliknya.

6
7

2. Konsep Kepuasan
Keberhasilan suatu program peningkatan mutu pelayanan
keperawatan terletak pada tingkat kepuasan pasien. Semakin tinggi
tingkat kepuasan pasien, semakin baik pula mutu pelayanan
keperawatan. Kepuasan pasien merupakan tujuan pelayanan
keperawatan.
Untuk memahami apa yang dimaksud dengan kepuasan pasien
tidaklah mudah. Karena kepuasan pasien tidaknya mudah didefinisikan.
Kepuasan pasien sangat bersifat subyektif, sehingga antara satu pasien
dengan pasien yang lain mungkin memiliki konsep kepuasan yang
berbeda-beda. Menurut Kotler dalam Wijono (2011). Kepuasan adalah
tingkat keadaan yang dirasakan seseorang yang merupakan hasil dari
membandingkan penampilan atau outcome produk yang dirasakan dalam
hubungannya dengan harapan seseorang.
Dengan demikian tingkat kepuasan adalah suatu fungsi dari
perbedaan antara penampilan yang dirasakan dan harapan. Ada tiga
tingkat kepuasan bila penampilan kurang dari harapan, pelanggan tidak
puas. Bila penampilan sebanding dengan harapan pelanggan puas.
Apabila penampilan melebihi harapan, pelanggan amat puas atau senang
menurut Wijono (1999). Kepuasan pelanggan Puskesmas atau
Organisasi pelayanan kesehatan lain, dipengaruhi banyak faktor antara
lain yang bersangkutan dengan:
Pendekatan dan perilaku petugas, perasaan pasien terutama saat
pertama kali datang, mutu informasi yang diterima, seperti apa yang
dikerjakan, apa yang diharap, prosedur perjanjian, waktu tunggu, fasilitas
umum yang tersedia, fasilitas perhotelan untuk pasien seperti mutu
makanan, privasi, dan pengaturan kunjungan, outcome terapi dan
perawatan yang diterima.
Menurut Sabarguno (2012) kepuasan pasien meliputi empat
aspek berikut:
a. Kenyamanan: meliputi lokasi puskesmas, kebersihan puskesmas,
kenyamanan ruangan, makanan, peralatan ruangan.
b. Hubungan pasien dengan petugas puskesmas diantaranya
keramahan meliputi sikap terbuka, muka manis, rendah hati, dapat
8

menjadi pendengar yang baik, informatif, responsive, suportif,


kesopanan, komunikasi yang teraupetik.
c. Kompetensi tehnik petugas meliputi keberanian bertindak,
pengalaman, gelar dan terkenal.
d. Biaya meliputi: mahalnya pelayanan sebanding dengan ada tidaknya
keringanan, cicilan.
Menurut Tjiptono (2013) kepuasan pelanggan mencakup
perbedaan antara harapan dan kinerja atau hasil yang dirasakan. Wilkie
(2008) dalam Tjiptono (2013), mendefinisikan kepuasan sebagai suatu
tanggapan emosional pada evaluasi terhadap pengalaman konsumsi
suatu produk atau jasa.
Menurut Jacobalis (2015 ) dalam Kartiko ( 2017 ) kepuasan adalah
sebagai rasa lega karena harapan terhadap sesuatu terpenuhi,
sedangkan ketidakpuasan adalah kekecewaan karena harapan kurang
terpenuhi. Pada kepuasan terhadap pelayanan kesehatan di puskesmas
berhubungan langsung dengan dokter, perawat tenaga professional
lainnya, hubungan antar manusia di puskesmas, kebersihan puskesmas,
kenyamanan dan kemudahan fasilitas yang ada di puskesmas,
kemampuan puskesmas dalam menunjang kesehatannya yaitu
perlengkapan alat kesehatan, biaya yang harus dikeluarkan.
Ketidakpuasan pelanggan terhadap pelayanan kesehatan yang
diberikan dapat diungkapkan dalam bentuk keluhan langsung maupun
tidak langsung atau surat pada puskesmas dan diteruskan pada media
masa, pengaduan pada organisasi profesi hingga ke pengadilan.
Ketidakpuasan pelanggan yang paling sering dan dirasakan adalah pada
keterlambatan pelayanan kesehatan seperti sulit dihubungi, kurangnya
komunikasi dan informasi, proses penerimaan yang lama, serta
kebersihan dan ketertiban lingkungan puskesmas. Demikian juga sikap
perilaku, tutur kata, keramahan petugas, kesediaan membantu,
kemudahan pelanggan untuk mendapat informasi merupakan pengukuran
kepuasan yang tinggi.
Menurut Supranto (2011) tingkat kepuasan pelanggan sangat
tergantung pada mutu suatu produk atau jasa. Suatu produk atau jasa
dikatakan bermutu bagi seseorang kalau produk atau jasa tersebut dapat
9

memenuhi kebutuhan dasarnya. Dalam Herarki Maslow kebutuhan dasar


manusia meliputi: kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman dan
nyaman, kebutuhan untuk memiliki dan dicintai, kebutuhan harga diri dan
dihormati, dan aktualisasi diri.
Menurut Azwar (2010), dimensi kepuasan pelanggan dapat
dibedakan menjadi dua macam :
a. Kepuasan pasien yang mengacu hanya pada penerapan kode etik
serta standar pelayanan oleh provider yang mencakup: hubungan
dokter dengan pasien, kenyamanan pelayanan, kebebasan
melakukan pemilihan, pengetahuan dan kompetensi teknis, efektifitas
pelayanan dan keamanan tindakan.
b. Kepuasan yang mengacu pada penerapan semua persyaratan
kesehatan yang meliputi: ketersediaan pelayanan kesehatan,
kewajaran pelayanan kesehatan, ketercapaian pelayanan kesehatan,
keterjangkauan pelayanan kesehatan, efisiensi pelayanan kesehatan,
dan mutu pelayanan kesehatan.
Faktor utama penentu kepuasan pelanggan adalah persepsi
pelanggan terhadap kualitas jasa. Faktor–faktor yang mempengaruhi
persepsi dan harapan pelanggan menurut Garpez, 2010 (dalam Nasution,
2014) adalah :
a. Kebutuhan dan keinginan yang berkaitan dengan pelanggan ketika
melakukan transaksi.
b. Pengalaman masa lalu ketika mengkonsumsi produk .
c. Pengalaman dari teman – teman.
d. Komunikasi iklan.
3. Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan
Faktor utama penentu kepuasan pelanggan adalah persepsi
pelanggan terhadap kualitas jasa. Faktor – faktor yang mempengaruhi
persepsi dan harapan pelanggan menurut Garpez, 2010 (dalam Nasution,
2014) adalah:
a. Kebutuhan dan keinginan yang berkaitan dengan pelanggan ketika
melakukan transaksi.
b. Pengalaman masa lalu ketika mengkonsumsi produk.
c. Pengalaman dari teman–teman.
10

d. Komunikasi iklan.
Menurut Jacobalis (2015) dalam Kartiko (2017) ketidakpuasan
pasien yang paling sering dikemukakan adalah ketidakpuasan
terhadap:
1. Sikap dan perilaku petugas puskesmas dan karyawan.
2. Keterlambatan oleh dokter atau perawat.
3. Dokter atau perawat yang merawat sulit ditemukan.
4. Petugas kurang komunikatif dan informatif.
5. Lamanya proses masuk puskesmas.
6. Aspek pelayanan di puskesmas.
7. Kebersihan dan ketertiban lingkungan.
4. Metode Pengukuran Kepuasan
Menurut Kotler (2011) ada berbagai metode dalam mengukur
kepuasan pelanggan yaitu :
a. Sistem keluhan dan saran.
Pemberi pelayanan memberikan kepuasan pada pelanggan
dengan cara menerima saran, keluhan masukan mengenai produk
atau jasa layanan. Jika penanganan keluhan, masukan dan saran
ini baik dan cepat, maka pelanggan akan merasa puas, sebaliknya
jika tidak maka pelanggan akan merasa kecewa. Contoh dengan
menggunakan formulir, kotak saran, kartu komentar.
b. Riset kepuasan pelanggan.
Model ini berusaha menggali tingkat kepuasan dengan survei
kepada pelanggan mengenai jasa yang selama ini mereka gunakan.
Jika dilakukan dengan baik, survei akan mencerminkan kondisi
lapangan yang sebenarnya mengenai sikap pelanggan terhadap
produk atau jasa yang digunakan.
c. Ghost Shopping
Yaitu model yang mirip dengan marketing intelligence yaitu
pihak pemberi jasa dari pesaingnya dengan cara berpura–pura
sebagai pembeli atau pengguna jasa dan melaporkan hal–hal yang
berkaitan dengan cara memahami kelemahan dan kekuatan produk
jasa atau cara pesaing dalam menangani keluhan.
11

5. Analisa Pelanggan yang Hilang


Analisa pelanggan tertentu yang berhenti menggunakan produk
jasa dan melakukan studi terhadap bekas pelanggan mereka. Tingkat
kepuasan pelanggan terhadap pelayanan merupakan faktor penting
dalam mengembangkan suatu sistem penyediaan pelayanan tanggap
terhadap kebutuhan pelanggan, meminimalkan biaya dan waktu serta
memaksimalkan dampak pelayanan terhadap populasi sasaran.
6. Kepuasan Terhadap Layanan Keperawatan
Menurut Azwar (2010) secara umum kepuasan terhadap mutu
pelayanan keperawatan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tingkat :
a. Kepuasan yang mengacu pada kode etik dan standar pelayanan.
1) Hubungan dokter atau perawat dan pasien
2) Kenyamanan dan pelayanan yang menyangkut pada sarana
dan prasarana dari puskesmas.
3) Kebebasan dalam melakukan pilihan.
4) Pengetahuan dan kompetisi teknis yang merupakan prinsip
pokok standar pelayanan.
5) Efektifitas pelayanan
b. Kepuasan yang mengacu pada penerapan semua persyaratan
pelayanan meliputi :
1) Ketersediaan pelayanan
2) Kewajaran pelayanan.
3) Kesinambungan pelayanan.
4) Penerimaan pelayanan.
5) Ketercapaian pelayanan.

B. Caring
1. Pengertian
Menurut Pasquali dan Arnold (2012) serta Waston (2013) dalam
Dwiyanti (2015), human care terdiri dari upaya untuk melindungi,
meningkatkan, dan menjaga atau mengabdikan rasa kemanusiaan
dengan membantu orang lain mencari arti dalam sakit, penderitaan, dan
keberadaanya serta membantu orang lain untuk meningkatkan
pengetahuan dan pengendalian diri. Berdasarkan pemahaman tersebut
12

ternyata seorang yang berperilaku caring harus mempunyai ilmu tentang


bagaimana kita mengenal diri sendiri sehingga kita mampu mengenal
orang lain.
Watson yang terkenal dengan Theory of human care¸
mempertegas bahwa caring sebagai jenis hubungan dan transaksi yang
diperlukan antara pemberi dan penerima asuhan untuk meningkatkan dan
melindungi pasien sebagai manusia, dengan demikian mempengaruhi
kesanggupan pasien untuk sembuh, disini terlihat bentuk hubungan
perawat pasien adalah hubungan yang wajib dipertanggungjawabkan
secara profesional.
Caring sebagai suatu proses yang berorientasi pada tujuan
membantu orang lain bertumbuh dan mengaktualisasikan diri. Sungguh
sebagai perilaku yang tidak semua orang mampu melakukannya, kecuali
orang yang mampu berjiwa besar dan berlapang dada. Sifat-sifat caring
seperti sabar, jujur, rendah hati. Ada juga yang berpendapat bawa caring
sebagai suatu sikap rasa peduli, hormat dan menghargai orang lain.
Artinya memberi perhatian dan mempelajari kesukaan-kesukaan
seseorang dan bagaimana seseorang berpikir, bertindak dan
berperasaan. Tidak mudah untuk mendapatan sifat-sifat tersebut
memerlukan pemupukan dan penyiraman berupa support dan penguatan,
sehingga ini harus diperhatikan oleh semua dosen keperawatan, maupun
manager sumber daya manusia yang ada di intitusi pelayanan kesehatan
dimanapun (Dwiyanti, 2015).
Caring sebagai suatu moral imperative (bentuk moral) segingga
perawat harus terdiri dari orang-orang yang bermoral baik dan memilikiki
kepedulian terhadap kesehatan pasien, yang mempertahankan martabat
dan menghargai pasien sebagai seorang manusia, artinya menjadi
seorang perawat berarti harus berani menjadi manusia istimewa. Cara
perawat melihat pasien sebagai manusia yang memiliki kekuatan, dan
bukan hanya fisik, tetapi juga mempunyai jiwa dan kebutuhan sosial
harus menjadi bagian penting dari perilaku caring (Dwiyanti, 2015).
Caring juga sebagai suatu affect yang digambarkan sebagai suatu
emosi, perasaan belas kasih atau empati terhadap pasien yang
mendorong perawat untuk memberikan asuhan keperawatan bagi pasien.
13

Dengan demikian perasaan tersebut harus ada dalam diri setiap perawat
supaya mereka bisa merawat pasien.
Marriner dan Tomey (2014) menyatakan bahwa caring merupakan
pengetahuan kemanusiaan, inti dari praktik keperawatan yang bersifat
etik dan filosofikal. Caring bukan semata-mata perilaku. Caring adalah
cara yang memiliki makna dan memotivasi tindakan. Caring juga
didefinisikan sebagai tindakan yang bertujuan memberikan asuhan fisik
dan memperhatikan emosi sambil meningkatkan rasa aman dan
keselamatan klien (Carruth et all, 2011).
Caring adalah manifestasi dari perhatian kepada orang lain,
berpusat pada orang, menghormati harga diri dan kemanusiaan,
komitmen untuk mencegah terjadinya suatu yang memburuk, memberi
perhatian dan konsen, menghormati kepada orang lain dan kehidupan
manusia, cinta dan ikatan, otoritas dan keberadaan, selalu bersama,
empati, pengetahuan, penghargaan dan menyenangkan (Dwiyanti, 2015).
2. Asumsi yang mendasari konsep caring.
a. Caring hanya akan efektif bila diperlihatkan dan dipraktikkan secara
interpersonal.
b. Caring terdiri dari faktor kuratif yang berasal dari kepuasan dalam
membantu memenuhikebutuhan manusia atau klien.
c. Caring yang efekif dapat meningkatkan kesehatan individu dan
keluarga.
d. Caring merupakan respon yang diterima oleh seseorang tidak hanya
saat itu saja namun juga mempengaruhi akan seperti apakah
seseorang tersebut nantinya.
e. Lingkungan yang penuh caring sangat potensial untuk mendukung
perkembangan seseorang dan mempengaruhi seseorang dalam
memilih tindakan yang terbaik untuk dirinya sendiri.
f. Caring lebih kompleks daripada curing, praktik caring memadukan
antara pengetahuan biofisik dengan pengetahuan mengenai perilaku
manusia yang berguna dalam peningkatan derajat kesehatan dan
membantu klien yang sakit.
g. Caring merupakan inti dari keperawatan.
14

3. Sikap Caring
Sikap caring diberikan melalui kejujuran, kepercayaan, dan niat
baik. Caring menolong klien meningkatkan perubahan positif dalam aspek
fisik, psikologis, spiritual, dan sosial. Bersikap caring untuk klien dan
bekerja bersama dengan klien dari berbagai lingkungan merupakan
esensi keperawatan (Dwiyanti, 2015).
Madeline Leiniger (2012), seorang perawat antropologi, yang
memprakarsai konferensi pertama internasional Association for human
Caring, yang merupakan organisasi yang didedikasikan untuk deseminasi
penelitian dan aktifitas perawat dan mahasiswa perawat tentang caring pada
tahun 1978, mengemukakan teori tentang keragaman dan universalitas
perawat menurut budaya, yang dimuat dalam bukunya. Culture Care and
Universality: A Theory of Nursing, mendiskripsikan care dan caring adalah:
1. Caring mencakup tindakan asosiatif, suportif dan fasilitatif untuk individu
lain atau kelompok yang memiliki kebutuhan yang jelas maupun
kebutuhan yang dapat diperkirakan.
2. Caring berfungsi untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisi dan cara
hidup manusia. Caring menekankan pada aktifitas yag sehat dan
memampukan individu serta kelompok yang berdasarkan pada model
bantu secara budaya.
3. Caring penting untuk tumbuh kembang dan kelangsungan hidup manusia.
4. Perilaku caring mencakup kenyamanan, rasa kasih sayang, perhatian,
perilaku koping, empati, memampukan, memfasilitasi, minat, keterlibatan,
tindakan konsultasi kesehatan, tindakan memelihara kesehatan, perilaku
membantu, cinta, pengasuhan, kehadiran, perilaku protektif, perilaku
restoratif, berbagi, perilaku menstimulasi, peredaan stress, pertolongan
dan dukungan, pengawasan kelembutan, sentuhan serta rasa percaya.
Lebih lanjut Leininger, (2012), mempostulatkan bahwa caring dan
budaya tidak dapat dipisahkan. Leininger juga mendefinisikan keperawatan
transkultural sebagai suatu area utama keperawatan yang berfokus pada
studi dan analisis budaya dan sub budaya yang berbeda di dunia mengenai
perilaku caring asuhan keperawatan, nilai kesehatan, keyakinan dan pola.
Tujuan keperawatan transkultural adalah mengembangkan pengetahuan
15

yang ilmiah dan humanistic dalam upaya memberikan praktek keperawatan


specifik budaya dan universalitas budaya.
Budaya adalah cara yang paling luas dan holistik untuk
mengonseptualisasikan, memahami, dan menjadi efektif terhadap orang lain.
(Leininger, 2012). Dia juga meyakinkan care merupakan intisari dari
keperawatan dan gambaran keperawatan yang dominan, berbeda dan
menyatukan (Unifiying). Tidak ada pengobatan (curing) tanpa caring tanpa
caring, tetapi dimungkinkan caring tanpa disertai disertai curing. Human
Caring meskipun suatu fenomena universal, bervariasi pada setiap budaya
serta pengekspresiannya, pemrosesan serta pola human caring sebagian
besar berasal dari budaya. Perbedaan dalam nilai dan perilaku caring
menimbulkan perbedaan harapan bagi individu yang mencari perawatan.
Dua sistem perawatan kesehatan transkultural biasanya ada dan
berdampingan dalam praktek perawatan, dilakukan oleh praktisi perawatan,
yaitu sistem kesehatan perawatan konvensional (asli atau tradisional) dan
sistem perawatan kesehatan profesional. Sistem perawatan kesehatan
konvensional mengacu pada metode perawatan kesehatan rakyat tradisional,
seperti pengobatan rakyat dan terapi dirumah lainnya yang telah dilakukan
secara turun temurun dari generasi terdahulu, melalui proses pembelajaran
seadanya berdasarkan pengalaman. Sistem perawatan kesehatan
profesional modern mengacu pada sistem yang terstruktur yang
dipertahankan oleh individu yang telah menempuh pendidikan formal.
Leininger menekankan tujuan perawatan sebaiknya menggunakan yang
terbaik dari kedua sistem demi keuntungan bagi klien dan efektifitas
perawatan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan klien. Setiap budaya
memiliki proses, tehnik, dan praktek kesehatan, perawatan dan
penyembuhan yang dipandang sebagai hal yang penting bagi manusia.
Kittler dan Sucher (2013) menggambarkan proses empat langkah
untuk memperbaiki sensitivitas budaya:
1. Menyadari warisan budaya mereka sendiri, Perawat sebaiknya
mengidentifikasi nilai dan keyakinan perawat sendiri sehingga dapat
mempersiapkan diri untuk mempelajari budaya orang lain.
16

2. Menyadari budaya klien seperti yang digambarkan oleh klien, penting


untuk menghindari salah paham dalam asuhan perawatan, memudahkan
untuk pembinaan dalam proses caring.
3. Menyadari adaptasi klien yang dilakukan untuk hidup dalam budaya,
perawat mengidentifikasi pola hidup, diet, hygiene klien.
4. Menyusun rencana asuhan keperawatan dengan klien yang
menggabungkan dengan latar belakang budaya yang dipunyai.
Lininger (2012) mengemukakan penyampaian sensitivitas budaya yang
penting bagi perawat untuk disampaikan kepada klien, individu pendukung
dan personal perawatan kesehatan lain antara lain dengan cara:
1. Selalu panggil klien dengan namanya, pada beberapa budaya gaya yang
lebih formal dalam memanggil seseorang adalah tanda menghormati,
penting untuk menanyakan kepada klien bagaimana mereka ingin
dipanggil.
2. Ketika bertemu klien untuk pertama kalinya, perkenalkan diri dengan
menyebut nama, dan apabila pada situasi yang tepat jelaskan posisi dan
peran perawat. Hal ini membantu membangun hubungan dan
memberikan kesempatan baik kepada klien maupun perawat untuk
mengklarifikasi kebiasaan atau budaya klien.
3. Bersikap jujur dan ceritakan keterbatasan pengetahuan perawat tentang
budaya klien.
4. Gunakan bahasa sensitif secara budaya.
5. Cari tahu apa yang diketahui klien tentang masalah kesehatan, penyakit
dan tata penatalaksanaannya. Kaji apakah informasi yang diberikan
sesuai dengan budaya perawatan kesehatan yang dominan.
6. Apabila keyakinan tidak sesuai dengan praktek perawatan, tetapkan
apakah hal ini akan memiliki efek yang negatif terhadap klien.
7. Jangan membuat asumsi apapun tentang klien, dan selalu tanyakan
setiap hal yang tidak dimengerti untuk menghindari salah paham.
8. Hargai nilai, keyakinan dan praktik klien walaupun berbeda dari yang
perawat miliki atau dari budaya yang dominan. Apabila tidak setuju
dengan klien, penting untuk menghargai hak klien untuk memegang
keyakinan ini.
17

9. Tunjukan rasa hormat terhadap orang yang mendukung klien. Dalam


beberapa budaya, pria dalam keluarga merupakan pengambilan
keputusan, yang dapat mempengaruhi klien dalam menjalani perawatan,
sedangkan disisi lain ada budaya yang memperbolehkan wanita untuk
mengambil keputusan untuk dirinya sendiri.
10. Lakukan upaya kesepakatan untuk mendapatkan rasa percaya klien,
tetapi jangan terkejut apabila perkembangannya perlahan atau tidak
berkembang sama sekali.
Banyak faktor yang menjadi barier atau penghalang untuk
memberikan perawatan yang sensitif secara budaya atau perawatan yang
sesuai dengan budaya kepada klienn dan individu pendukungnya, faktor ini
juga dapat mempengaruhi hubungan kerja dengan personel perawatan
kesehatan lain, menurut Kitler dan Suchher (2013), faktor ini meliputi:
1. Etnosentrisme
Mengacu pada keyakinan individu bahwa keyakinan dan nilai
budayanya lebih unggul dari budaya lain. Dalam bidang perawatan,
etnosentrisme berarti bahwa satu-satunya keyakinan dan praktik
perawatan kesehatan yang valid dipegang oleh budaya perawatan
kesehatan, akan tetapi perawat yang menggunakan pandangan
transkultural, dapat menghargai keyakinan dan praktik mereka sendiri
serta menghargai praktik dan keyakinan orang lain. Etnosentrisme
banyak disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai budaya orang
lain.
2. Memberi Stereotip
Merupakan anggapan bahwa semua anggota kelompok budaya
adalah sama. Stereotip dapat dilandaskan pada generalisasi yang
ditemukan dalam penelitian, atau dapat juga tidak terkait dengan realitas,
sehingga penting bagi perawat untuk menyadari tidak semua orang pada
kelompok tertentu memiliki keyakinan, nilai kesehatan dan praktik
perawatan yang sama, karena itu identifikasi keyakinan, kebutuhan dan
nilai klien yang spesifik perlu dilakukan pada interaksi dengan klien.
3. Prasangka
Merupakan pendapat yang dipegang kuat mengenai beberapa hal
atau topik atau kelompok orang. Prasangka dapat berupa positif dan
18

negatif. Prasangka positif seringkali berakar pada etnosentrisme yang


kuat. Prasangka juga dapat berasal dari ketidaktahuan, salah informasi,
pengalaman masa lalu dan perasaan takut.
4. Diskriminasi
Perlakuan yang berbeda dari seseorang atau kelompok terhadap
orang lain, berdasrkan ras, kesukuan, jenis kelamin, dan karakteristik
pembeda lainnya.
Intervensi keperawatan yang terkait dengan perawatan manusia
disebut faktor carative, yang merupakan penekanan dari perilaku caring,
Watson (2015) menguraikan faktor-faktor tersebut:
1. Membentuk sistem nilai humanistic-altruistik.
Faktor ini berkaitan dengan kepuasan melalui memberi dan memperluas
rasa diri (sense of self). Meskipun nilai dipelajari pada awal kehidupan,
nilai sangat dapat dipengaruhi oleh pendidik.
2. Menanamkan keyakinan dan harapan.
Perasaan keyakinan dan harapan dapat meningkatkan kesehatan dengan
cara membantu klien untuk mengadopsi perilaku dalam mendapatkan
kesehatan dengan mengembangkan hubungan antara perawat dan klien
yang efektif, perawat memfasilitasi perasaan, optimisme, harapan dan
rasa percaya.
3. Menanamkan sensitivitas terhadap diri sendiri dan orang lain
Perawat yang mampu dan mengekspresikan perasaannya lebih mampu
memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengungkapkan
perasaannya.
4. Membina hubungan membantu-percaya (human care).
Hubungan semacam ini melibatkan komunikasi efektif, empati,
kehangatan yang nonposesiv. Hubungan ini akan meningkatkan dan
menerima ekspresi perasaan yang positif dan negatif.
5. Mengekspresikan perasaan positif dan negatif.
Berbagi perasaan duka cita, cinta dan kesedihan, adalah pengalaman
yang penuh resiko. Perawat harus siap untuk menerima perasaan yang
negatif.
19

6. Menggunakan proses caring.


Untuk pemecahan masalah yang kreatif. Caring yang berhubungandegan
proses keperawatan berperan pada pendekatan pemecahan masalah
dalam asuhan perawatan.
7. Mempromosikan belajar-mengajar transpersonal.
Faktor ini yang memperjelas perbedaan antara caring dan curing serta
menggeser tanggung jawab kesehatan kepada pasien atau klien.
8. Memberikan lingkungan suportif, protektif, dan atau memperbaiki mental,
fisik, sosiokultural dan spiritual.
Karena klien dapat mengalami perubahan, baik dalam lingkungan aspek
internal dan eksternal, maka perawat harus mengkaji dan memfasilitasi
kemampuan klien untuk mengatasi perubahan mental, emosional dan
fisik.
9. Membantu dalam pemenuhan kebutuhan manusia.
Caring disampaikan dengan mengenali dan memenuhi kebutuhan fisik,
emosi, sosial, dan spiritual klien.
10. Menjadi peka terhadap kekuatan eksistensial-fenomenal-spiritual.
Fenomeologi menggambarkan data mengenai situasi segera yang
membantu seseorang memahami konsep atau kejadian yang menjadi
masalah. Lapang fenomenal adalah kerangka referensi individual, lapang
ini hanya diketahui oleh individu itu sendiri. Lapang fenomenal melibatkan
banyak tingkat kesadaran, seperti kewaspadaan, persepsi diri, sensasi
tubuh, pemikiran nilai, perasaan, daya titik intuitif, keyakinan dan
harapan. Disaat perawat dan klien berinteraksi, dua lapang pandang
fenomenal bertemu, keduanya berada dalam proses sedang menjadi dan
mengembangkan pemahaman transpersonal. Psikologi eksistensial
adalah ilmu yang mempelajari eksistensi manusia dengan menggunakan
metode analisis fenomenologik.
11. Individu mempunyai tiga area eksistensi, yaitu: pikiran, tubuh dan jiwa.
Kemungkinan untuk mengekspresikan ketiga kekuatan ini menghasilkan
pemahaman yang lebih baik mengenai diri sendiri dan orang lain.
Menurut Dwiyanti (2015), dalam pemberian asuhan perawatan,
karakteristik perawat yang mempunyai kemampuan caring yang baik dapat
ditunjukkan dalam konteks:
20

1. Perawat membantu klien yang dirawat dengan sepenuh hati dan


memperlakukannya sebagai manusia yang wajar dam konteks kesadaran
dalam menjalani perawatan.
2. Menghadirkan keyakinan yang mendalam dari hal-hal yang nyata dari diri
sendiri dan individu yang dirawat.
3. Pemeliharaan praktek spiritual dari diri sendiri, secara transpersonal,
tidak mementingkan ego sendiri, terbuka bagi orang lain yang sensitif dan
kasih sayang.
4. Perawat berespon dengan tulus, tidak berpura-pura dan
mengekspresikan perasaan yang sebenarnya secara spontan.
5. Menghadirkan dan mendukung ekspresi perasaan positif dan negatif
sebagai hubungan timbal balik yang mendalam dari diri sendiri dan orang
yang dirawat.
6. Mengoptimalkan kemampuan diri dengan kreatif yang penuh dengan ide
dan gagasan sesuai dengan pengetahuan dari proses perawatan, terlibat
dalam praktek keperawatan dan penyembuhan.
7. Perawat berusaha untuk simpati, empati, dan mengerti kondisi klien.
8. Menciptakan lingkungan yang terpeutik pada seluruh tingkatan baik fisik
maupun nonfisik, lingkungan energi dan kesadaran kesatuan, keindahan,
kenyamanan, martabat dan kedamaian yang dapat diciptakan.
9. Membantu pemenuhan kebutuhan dasar dengan kesadaran perawat
yang disengaja, melakukan perawatan manusia yang esensial, yang
menyesuaikan jiwa dan tubuh secara keseluruhan, mengembangkan
semangat dan mengembangkan energi spiritual.
10. Terbuka pada misteri spiritual dan dimensi keberadaan hidup dan mati
manusia, perawatan jiwa untuk diri sendiri dan orang lain sebagai klien
yang dirawat.
Kesadaran diri akan membuat perawat menerima perbedaan dan
keunikan klien, menurut Dwiyanti, (2015), kesadaran itu dapat ditingkatkan
melalui cara:
1. Mempelajari diri sendiri.
Merupakan eksplorasi proses eksplorasi diri sendiri, tentang pikiran,
perasaan, perilaku, termasuk pengalaman yang menyenangkan,
hubungan interpersonal dan kebutuhan pribadi.
21

2. Belajar dari orang lain.


Kesediaan dan keterbukaan menerima umpan balik orang lain akan
meningkatkan pengetahuan tentang diri sendiri, sehingga individu akan
berkembang setiap menerima umpan balik.
3. Membuka diri.
Keterbukaan merupakan salah satu kepribadian yang sehat, untuk itu
harus ada teman dekat yang dapat dipercayai untuk menceritakan hal-hal
yang bersifat rahasia.
C. Penelitian Terkait
Penelitian yang mengaitkan kepuasan sebagai salah satu indikator mutu
pelayanan keperawatan dengan salah satu teori keperawatan sebagai
pendekatan dalam asuhan keperawatan dilakukan oleh (Zees, 2012) dalam
penelitian analisis hubungan pengetahuan perawat tentang pendekatan
transkultural dengan kepuasan klien, Zees menyimpulkan bahwa hasil
penelitiannya tidak sesuai dengan hipotesis penelitian, dimana secara
kategorik klien berada pada tingkat kurang puas untuk kelompok perawat
yang diintervensi, seharusnya kepuasan klien berubah dari kurang puas
menjadi puas.
Marram, Schlegel dan Bevis (dalam Hadjam dan Arida; 2012),
mengungkapkan bahwa pandangan pasien mengenai layanan keperawatan
yang diterimanya tidak lepas dari cara perawat memberikan layanan
keperawatan. Untuk itu kualitas layanan keperawatan perlu diperhatikan.
Keluhan-keluhan pasien tentang layanan keperawatan menunjukkan bahwa
perawatmempunyai peranan yang penting dalam menciptakan kualitas
layanan. Hal ini didukung pula oleh penelitian Diptianto (dalam Hadjam dan
Arida; 2012), yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan pemasaran
rumah sakit, mutu asuhan keperawatan mutlak harus ditingkatkan.
Setiap pasien dalam mempersepsikan suatu pelayanan perawat dapat
berbeda dengan pasien yang lainnya, karena penilaian masing-masing
pasien lebih bersifat subjektif. Pasien menilai tingkat kepuasan atau
ketidakpuasannya setelah menggunakan pelayanan perawat dan
menggunakan informasi untuk memperbaharui persepsinya tentang kualitas
pelayanan. Hal ini yang membuat adanya hubungan yang erat antara
penentuan kualitas pelayanan perawat dengan kepuasan pasien.
22

D. Kerangka Teori

Gambar 2.1. Kerangka Teori Penelitian

Perilaku caring:
1. Kenyamanan
2. Rasa kasih sayang
Caring 3. Perhatian
Faktor – faktor 4. Empati
yang 5. Pertolongan
mempengaruhi 6. Dukungan
persepsi dan 7. Rasa percaya
harapan
pelanggan:
1. Kebutuhan Faktor penentu utama
dan keinginan kepuasan pelanggan :
pelanggan 1. Sikap dan perilaku
Hubungan antara petugas puskesmas
2. Pengalaman
Pasien dengan dan karyawan.
masa lalu
petugas 2. Keterlambatan oleh
ketika
Puskesmas: Kepuasan dokter atau
mengkonsum
1. Keramahan perawat.
si produk.
2. Sikap terbuka 3. Dokter atau perawat
3. Pengalaman
3. Muka manis yang merawat sulit
dari teman– Aspek
4. Rendah hati ditemukan.
teman. Kepuasan:
5. Dapat menjadi 4. Petugas kurang
4. Komunikasi 1. Kenyaman
pendengar komunikatif dan
iklan an
yang baik informatif.
6. Informative, 2. Hubungan
5. Lamanya proses
respponsiv pasien
pelayanan
7. Suportif dengan
puskesmas.
8. Komunikasi petugas
6. Aspek pelayanan di
terapeutik puskesma
puskesmas.
s
7. Kebersihan dan
3. Kompeten
ketertiban
si tehnik
lingkungan.
petugas

Sumber: Garpez, 2010 (dalam Nasution, 2014) Jacobalis (2015) dalam Kartiko
(2017), Sabarguno (2012), Leininger (2012)

Keterangan :
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti

Anda mungkin juga menyukai