Anda di halaman 1dari 143

LAPORAN PRAKTIKUM

SI – 2101 REKAYASA BAHAN KONSTRUKSI SIPIL


Diajukan untuk memenuhi syarat Mata Kuliah

Bagian 1 Baja
Bagian 2 Beton
Bagian 3 Kayu

Disusun oleh:
Kelompok 24
Jihan Asy Syifa 15017087
Pramudya Tri Nanda 15017093
Abdurrahman Hanif 15017107
Kevin Andika Hartono 15017110
Sophia Crestotes Sharon 15017120

Asisten:
Ayu Marsya 15015039

LABORATORIUM REKAYASA STRUKTUR


PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2018
PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Laporan Praktikum
SI – 2101 Rekayasa Bahan dan Konstruksi Sipil tepat waktu. Makalah ini disusun
dalam rangka pemenuhan tugas mata kuliah Rekayasa Bahan dan Konstruksi Sipil
tahun ajaran 2017/2018 di Institut Teknologi Bandung.
Dalam pengerjaan laporan praktikum ini, penulis mengalami berbagai kendala,
baik dalam masalah waktu pengerjaan yang terbatas, penguasaan materi yang belum
sempurna, maupun koordinasi antarpenulis. Namun, dengan dukungan dan bantuan
berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan laporan ini dengan baik dan tepat waktu.
Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang tiada
hingganya kepada :
1. Ir. R. Muslinang Moestopo, MSEM, Ph.D. selaku dosen mata kuliah
Rekayasa Bahan dan Konstruksi Sipil yang telah memberikan materi
mengenai mata kuliah tersebut dengan baik.
2. Pramudya Tri Nanda (15017093), selaku koordinator asisten dan Ayu
Marysa (15015039), selaku asisten praktikum mata kuliah Rekayasa Bahan
dan Konstruksi Sipil yang dengan sabar membimbing kami selama
berjalannya praktikum dan asistensi.
3. Orang tua dan keluarga penulis, yang selalu mendukung dan memotivasi
penulis agar dapat menyelesaikan makalah.
4. Teman-teman penulis dan semua orang yang selalu memberikan sedikit
banyak kontribusi dalam penulisan makalah ini, serta selalu memberikan
semangat yang tiada habis.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak sangat diharapkan demi
penyempurnaan selanjutnya. Akhir kata, penulis berharap agar makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua orang.
Bandung, 13 November 2018

Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR GRAFIK
DAFTAR TABEL
BAJA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Salah satu bahan utama konstruksi sipil adalah logam baja yang sangat
dibutuhkan dalam perencanaan dan pembuatan infrastruktur, khususnya sebagai
struktur utama penopang bangunan. Seorang insinyur teknik sipil seharusnya dapat
memahami sifat-sifat dari logam baja ataupun material konstruksi yang lainnya agar
mampu memilih material-material yang tepat sebagai bahan konstruksi. Logam
secara umum memiliki beberapa sifat yaitu sifat fisik, mekanik, termal, dan korosif.
Salah satu sifat logam yang akan dipelajari dalam praktikum ini adalah sifat mekanik
yang terdiri dari keuletan, kekerasan, kekuatan, dan ketangguhan. Beberapa jenis
logam baja akan berubah bentuk apabila diberi beban yang tergantung pada besar
beban, unsur kimia, kondisi beban, bentuk benda uji, suhu, serta kecepatan
pembebanan.
Pengujian yang akan dilakukan untuk mengetahui sifat mekanik logam baja
adalah pengujian tarik menggunakan alat Universal Testing Machine (UTM). Melalui
pengujian tarik ini kita dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan dari sifat-sifat
beragam logam baja. Dalam praktikum ini sangatlah perlu untuk mengetahui secara
mutlak dan akurat dari sifat mekanik logam baja, walaupun dalam proses
pembuatannya telah diprediksikan sifat mekaniknya, sehingga akan dilakukan
pengujian terhadap beberapa sampel logam baja yang polos serta ulir dengan ukuran
yang bervariasi.
Hal yang diamati dalam praktikum ini adalah perubahan geometri benda uji
akibat gaya tarik beban secara konstan yaitu perubahan luas penampang dan panjang
logam uji. Dari pengujian tarik akan diperoleh kurva tegangan regangan kita dapat
mengetahui kekuatan tarik, kekuatan luluh, keuletan, modulus elastisitas,
ketangguhan, dan lain-lain. Ketika material-material konstruksi telah terbangun
menjadi sebuah infrastruktur haruslah mampu menerima dan menyalurkan reaksi
perletakan dari beban dengan sempurna, sehingga infrastruktur dapat berdiri kokoh
dan aman. Oleh karena itu, sangat penting bagi seorang mahasiswa teknik sipil untuk
memahami sifat-sifat khusus pada logam baja yang akan dipelajari melalui praktikum
ini.

1.2. Tujuan Praktikum


Tujuan dari praktikum uji tlastis baja ini adalah sebagai berikut.
1. Menentukan hubungan tegangan dan regangan
2. Menentukan tegangan leleh baja
3. Menentukan tegangan tarik baja
4. Menentukan perpanjangan dan pengurangan luas area penampang
5. Menentukan modulus elastis baja
6. Menentukan tegangan runtuh baja
1.3 Metodologi Praktikum

Persiapan Benda Uji


Memberi nomor/nama pada benda uji

Mengukur diameter dengan jangka sorong dan panjang dengan penggaris
pada masing-masing benda uji

Persiapan Alat
Mengecek semua alat dan melakukan kalibrasi

Memasang benda uji ke UTM dan pemasangan alat ukur

Pelaksanaan Pengujian
Menarik baja dengan pertambahan beban sampai benda putus

Mengamati besarnya perpanjangan yg terjadi setiap penambahan beban

Mengamati secara visual perilaku benda uji

Mengukur diameter penampang daerah putus

Mengukur panjang akhir benda uji

Laporan
1.4 Teori Dasar
Baja adalah campuran besi, karbon, dan unsur-unsur lainya seperti aluminium,
kromium, dan nikel. Baja adalah salah satu logam yang banyak diproduksi karena
biaya pembuatan baja yang relatif tidak mahal, banyaknya cadangan besi yang
terdapat di lapisan bumi, dan mudah dibentuk. Namun baja memiliki kelemahan,
salah satunya yaitu baja mudah mengalami korosi.
Salah satu jenis baja yang sering digunakan adalah baja karbon. Baja karbon
memilki salah satu kandungan utama yaitu karbon. Karbon digunakan sebagai
indikator ductile atau tidaknya baja tersebut. Semakin banyak unsur karbon yang
ditambahkan, maka baja karbon semakin tidak ductile atau getas dan semakin kuat.
Sifat ductile sendiri adalah sifat kemampuan baja untuk menahan deformasi akibat
adanya gaya atau tegangan dari luar. Jika suatu baja memiliki ductility yang rendah,
maka baja tersebut mampu menahan tegangan yang besar, tapi tidak mampu menahan
deformasi yang besar juga. Artinya, jika baja tersebut sudah melewati titik leleh
untuk berdeformasi, maka baja tersebut langsung putus. Jika suatu baja memiliki
ductility yang tinggi, maka baja tersebut tidak mampu menerima tegangan yang besar,
namun mampu berdeformasi lebih panjang. Artinya ketika sudah melewati titik
lelehnya, baja tersebut tidak langsung putus, melainkan akan melar terlebih dahulu.
Jika baja karbon memiliki kandungan karbon yang beratnya kurang dari 0.25%
berat total, maka baja karbon ini disebut Low Carbon Steel, yang artinya memiliki
kandungan karbon yang rendah. Sifat baja ini yaitu lunak karena rendahnya
kandungan karbonnya yang rendah. Baja jenis ini banayk digunakan sebagai elemen
struktur.
Jenis baja karbon yang ke dua adalah Medium Carbon Steel. Baja jenis ini
memiliki kandungan karbon 0.25% – 0.60% dari kandungan baja total. Baja jenis ini
lebih kuat dari Low Carbon Steel karena memiliki kandungan karbon yang lebih
banyak.
Jenis baja karbon yang ke tiga adalah High Carbon Steel. Baja jenis ini
memiliki kandungan karbon 0.60% – 1.40% dari kandungan total. Baja jenis ini
sangat kuat karena memiliki kandunga karbon yang tinggi. Baja ini juga memiliki
ductility yang rendah, sehingga baja ini mampu menahan tegangan yang besar, namun
akan langsung putus jika deformasinya sudah melewati titik lelehnya. Baja jenis ini
biasanya digunakan sebagai bahan pembuat alat pemotong (pisau, gergaji, dan
sebagainya).
Proses pembuatan baja struktur secara singkat dibagi dalam tiga tahap. Tahap
pertama yaitu proses pemurnian bijih besi menjadi besi (Fe), tahap kedua yaitu
mencampurkan unsur-unsur pembentuk baja yang dilakukan di dalam tungku terbuka,
dan tahap yang terakhir yaitu proses fabrikasi dan pembentukan baja struktur.
Baja memiliki properti mekanis, contohnya yaitu modulus elastisitas dan
poisson’s ratio. Modulus elastisitas baja struktur adalah sebesar 200.000 MPa dan
memiliki poisson’s ratio sebesar 0,30. Properti mekanis baja dapat berubah jika baja
memiliki suhu mencapai 93oC (200oF). Akibat peningkatan suhu, terjadi penurunan
nilai properti mekanis baja yaitu modulus elastisitas, tegangan leleh, dan kuat
tariknya.
BAB II
HASIL PENGUJIAN

2.1 Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk praktikum uji tarik baja ini adalah
sebagai berikut
Alat:
1. Jangka sorong
2. Uji Universal Testing Machine (UTM)
3. LVDT
4. Load cell
5. Data Logger
6. Strain Gauge
Bahan:
1. Baja tulangan polos berdiameter 8 mm, 10 mm, dan 12 mm
2. Baja tulangan ulir berdiameter 10 mm, 13 mm, dan 16 mm
3. Baja tulangan polos diameter 8 mm yang dibuat lebih panjang dari baja
lainnya
4. Baja tulangan ulir diameter 10 mm yang dibuat lebih panjang dari baja
lainnya

2.2 Prosedur Praktikum


Pelaksanaan praktikum uji tarik baja melalui beberapa prosedur, diantaranya:
1. Persiapkan benda uji
a. Beri nomor/nama setiap benda uji
b. Ukur diameter dan panjang dari masing-masing benda uji
2. Persiapkan alat
a. Cek semua alat yang akan digunakan
b. Lakukan kalibrasi alat
3. Pemasangan benda uji ke mesin UTM (sumbu alat penjepit harus berhimpit
dengan sumbu benda uji) dan pemasangan alat ukur.
4. Pelaksanaan pengujian
a. Tarik benda uji dengan pertambahan beban yang konstan sampai benda uji
putus. Catat dan amatilah besarnya perpanjangan yang terjadi setiap
penambahan beban.
b. Amati secara visual perilaku benda uji.
c. Setelah putus, ukur diameter penampang pada daerah putus da ukurlah
panjang akhir dari benda uji.

2.3 Pengolahan Data


Setelah melakukan uji tarik pada benda uji, didapat beberapa grafik tegangan vs
regangan dan tegangan vs deformasi dari beberapa benda uji pada tabel berikut.

Tabel 1.1. Tabel Kurva Tegangan vs Regangan dan Tegangan vs Deformasi


Spesifikasi
Jenis Panjan
Diameter Deformasi Grafik
Baja g Awal
(mm) (cm)
(cm)

Grafik Tegangan vs Deformasi


700
600
Tegangan (MPa)

500
Baja 400
7,606 58,8 4 300
polos
200
100
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5
Deformasi (cm)
Grafik Tegangan vs Deformasi
350
300

Tegangan (MPa)
250
Baja 200
7,580 40,3 3,2 150
polos
100
50
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
Deformasi (cm)

Grafik Tegangan vs Deformasi


600
500
Tegangan (MPa)

400
Baja 300
10,043 40,3 4,5
polos 200
100
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5
Deformasi (cm)

300

250

Baja 200
Tegangan (Mpa)

f(x) = 197517.04 x − 371.69

polos 150

(denga 11,937 39,4 5,4 100


n strain
50
gauge)
0
0 0 0 0 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
Regangan
Tegangan vs Deformasi
700

600

500

Tegangan (MPa)
Baja 400
9,610 59,9 3,8 300
ulir
200

100
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5
Deformasi (cm)

Grafik Tegangan vs Deformasi


600
500
Tegangan (MPa)

400
Baja 300
9,664 39,5 3,3
ulir 200
100
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4
Deformasi (cm)

Grafik Tegangan vs Deformasi


700
600
Tegangan (MPa)

500
Baja 400
12,6 40 3,8 300
ulir
200
100
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5
Deformasi (cm)
Grafik Tegangan vs Deformasi
700
600

Tegangan (MPa)
500
Baja 400
15,693 40,3 4 300
ulir
200
100
0
0 1 2 3 4 5 6
Deformasi (cm)

2.4 Analisis Tegangan dan Regangan


300

250

200 f(x) = 197517.04 x − 371.69


Tegangan (Mpa)

150

100

50

0
0 0 0 0 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
Regangan

Grafik 1.1. Kurva Tegangan vs Regangan Baja dengan strain gauge

Modulus elastisitas baja yang diperoleh dari grafik diatas yaitu sebesar 197517
MPa yang merupakan gradien dari kurva tegangan-regangan. Secara teoretis, nilai
modulus elastisitas baja sebesar 200000 MPa, sehingga terdapat perbedaan hasil
pengujian dengan teori yang sebenarnya. Perbedaan modulus elastisitas tersebut dapat
disebabkan oleh bahan homogenitas baja yang tidak sama, slip yang terjadi pada saat
penarikan baja ulir maupun polos, faktor dimensi dan campuran material (secara
kimiawi) yang berbeda dari setiap baja yang digunakan, tetapi secara teoretis nilai
modulus elastisitas setiap baja sama.
Grafik yang ditampilkan di subbab sebelumnya merupakan grafik tegangan vs
regangan yang apabila diregresikan akan memunculkan sebuah garis lurus dengan
sudut tertentu terhadap sumbu x positif. Nilai gradien garis tersebut merupakan
modulus young yang dimiliki oleh baja, yaitu senilai dengan 197500MPa. Dapat
dilihat bahwa nilai modulus elastistas hanya dipenagruhi oleh besar tegangan dan
regangan saja. Diameter, panjang suatu baja tidak mempengaruhi modulus
elastisitas,hanya susunan komposisi dan homogenitas dari susunan bahanlah yang
mempengaruhi modulus elastistas suatu baja.

2.5 Properti Mekanik Benda Uji


Setelah melakukan percobaan uji tarik pada benda uji, didapat grafik tegangan
terhadap regangan seperti yang ada pada tabel di atas. Modulus elastisitasnya dicari
dengan menggunakan analisis regresi. Persamaan yang didapat adalah dalam bentuk
y = Ax + B dengan y adalah besar tegangan dalam satuan MPa, x adalah besar
regangan, dan modulus elastisitasnya adalah gradien dari persamaan di atas. Elongasi
benda uji adalah persentase deformasi dibagi panjang awal setelah diuji tarik.
Beberapa properti mekanik pada semua benda uji dipaparkan pada tabel
berikut:
Tabel 1.2. Tabel Properti Mekanik dari Semua Benda Uji
Ukuran Properti Mekanik
Jenis Tegangan
Diameter Panjang Deformasi Tegangan
Baja Maksimum Elongasi (%)
(mm) (cm) (cm) Leleh (MPa)
(MPa)
Polos 7,606 58,8 4 377,66433 593,4395281 6,802
Polos 7,580 40,3 3,2 206,2275205 317,4818408 7,94
Polos 10,043 40,3 4,5 358,762989 507,2166397 11,166
Polos 11,937 39,4 5,4 350,4499663 543,1974477 13,705
Ulir 9,610 59,9 3,8 413,8862974 572,5427114 6,3439
Ulir 9,664 39,5 3,3 381,545850 531,438862 8,35445
Ulir 12,6 40 3,8 432,2928363 616,9997754 9,5
Ulir 15,693 40,3 4 418,536752 591,024626 9,925558313

2.6 Analisis Properti Mekanik


Dari hasil pengujian tarik baja, diperoleh data properti mekanik yaitu modulus
elastisitas, tegangan leleh, tegangan maksimum, dan % elongasi dengan diameter dan
tulangan baja yang bervariasi. Analisis properti mekanik pada benda uji dibedakan
menjadi lima jenis pembanding, yaitu benda uji dengan diameter yang berbeda pada
masing-masing baja ulir dan polos, panjang awal benda uji yang berbeda pada
masing-masing ulir dan polos, dan perbandingan baja polos dengan baja ulir dengan
diameter dan panjang yang sama.
Perbandingan lima jenis pembanding tersebut disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 1.3. Tabel Perbandingan Kurva berdasarkan Beberapa Pembanding


Pembanding Grafik
Diameter Baja
Tegangan vs Regangan Baja Polos berbagai Diameter
Polos
600

500

Tegangan (MPa)
400

300

200

100

0
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16
Regangan

8 mm 10 mm 12 mm

Diameter Baja
Tegangan vs Regangan Baja Ulir berbagai Diameter
Ulir
700
600
500
Tegangan (MPa)

400
300
200
100
0
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14
Regangan

10 mm 13 mm 16 mm
PanjangAwal
Tegangan vs Regangan Baja Polos berbagai Panjang
Baja Polos Awal
700
600

Tegangan (MPa)
500
400
300
200
100
0
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08
Regangan

40 cm 59 cm

Panjang Awal
Tegangan vs Regangan Baja Ulir berbagai Panjang Awal
Baja Ulir
700
600
Tegangan (MPa)

500
400
300
200
100
0
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06
Regangan

40 cm 60 cm
Jenis Baja
Tegangan vs Regangan berbagai Jenis Baja
(Polos dan
600
Ulir) dengan
500
Panjang dan

Tegangan (MPa)
400
Diameter 300
Sama 200

100

0
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12
Regangan

Polos Ulir

Analisis yang dilakukan terhadap tabel yang duberikan ialah mengenai


pengaruh panjang, diameter , dan jenis baja tersebut. Pada baja polos dengan diameter
yang berbeda dapat kita lihat tidak mempengaruhi nilai modulus elastisitas dari baja
tersebut, kemudian juga pada tegangan leleh, diameter tidak mempengaruhi besarnya
nilai titik leleh terjadi karena jenis baja yang sama dengan jumlah kandungan karbon
yang sama. Hal yang mempengaruhi adanya perbedaan diameter ialah terlihat dari
daktilitas nya. Pada baja dengan diameter yang lebih besar akan memiliki daktilitas
yang besar, hal ini dikarenakan baja tersebut memerlukan waktu lama saat proses
necking dimana saat proses necking, waktu yang diperlukan lebih lama dibandingkan
dengan diameter yang lebih kecil sehingga daktilitas pada baja dengan diameter besar
lebih besar daripada baja yang memiliki luas penampang yang kecil. Hal itu juga
terjadi pada naja ulir.
Kemudian pengaruh panjang baja terhadap sifat-sifat atau perilaku mekanis
yang bekerja pada baja. Pada baja, panjang tidak mempengaruhi tegangan leleh
maupun tegangan tarik, akan tetapi jika dilihat dari grafik terjadi pebedaan terutama
pada kemiringan grafik yang diberikan, hal ini dapat dijelaskan bahwa hal ini
mungkin terjadi karena antara satu baja dengan baja lainnya tidak memiliki
homognitas yang sama sehingga dapat dikatakan mengapa gradient grafik elastisitas
berbeda pada jenis baja yang sama. Analisis selanjutnya ialah perbandingan antara
baja ulir, baja polos dengan diameter dan panjang yang sama. Perbedaan yang terjadi
terlihat bahwa pada baja ulir memiliki kekuatan paling besar dibandingkan pada baja
polos. Hal ini disebabkan karena pada baja ulir kadungan karbon pada baja ulir lebih
besar dibandingkan baja polos. Kandungan karbon yang banyak akan memnyebabkan
beberapa hal yaitu kekuatan meningkat akan tetapi daktilitas akan menurun. Begitu
juga sebaliknya, terlihat bahwa pada baja polos memeliki kekuatan yang dimana tidak
sekuat pada baja ulir akan tetapi daktilitas pada baja polos lebih besar dibandingkan
pada baja ulir.
Alasan yang menyebabkan keadaan tersebut dapat terjadi dikarenakan pada
kandungan baja terdapat 2 komponen utama penyusun yaitu karbon dan alloy.
Masing-masing dari unsur-unsur ini membawa sifat yang berbeda pula, pada unsure
karbon membawa sifat kekuatan, sedangkan pada alloy membawa sifat daktilitas,
sehingga jika komponen punyusunnya diubah maka sifat kekuatan dan daktilitas akan
berubah juga.
Data tegangan leleh menunjukkan besar tegangan yang dapat diterima baja
untuk mencapai batas titik elastis dari baja yang akan memasuki tahap plastis, dan
jika pembebanan dilanjutkan maka peregangan baja akan menjadi lebih cepat dari
semula.Semakin kecil nilai tegangan leleh suatu baja maka tegangan yang dibutuhkan
akan semakin kecil untuk mencapai titik leleh (yield point) dan sebaliknya.Baja ulir
memiliki tegangan leleh dan kuat tarik yang lebih tinggi dibanding dengan baja polos,
dapat disebabkan karena baja ulir memiliki kandungan karbon yang lebih banyak
daripada baja polos. Hal ini membuat baja ulir memiliki sifat yang lebih kuat
daripada baja polos.
Data tegangan maksimum menunjukkan kekuatan tarik maksimum yang dapat
diterima oleh baja sebelum putus. Sehingga semakin besar tegangan maksimum maka
semakin besar kekuatan baja. Dari data yang diperoleh, nilai tegangan leleh
berbanding lurus dengan nilai tegangan maksimum. Data % elongasi menunjukkan
persen pertambahan panjang baja ketika diberikan pembebanan. Semakin besar %
elongasi dan tegangan maksimum baja maka semakin besar keuletan baja. Dengan
mengamati tegangan maksimum dan % elongasi, kita dapat melihat tingkat keuletan /
toughness / daktilitas dari baja. Semakin tinggi tegangan maksimum dan % elongasi
akan membuat luasan dibawah kurva tegangan vs regangan membesar (semakin besar
luas, maka energi yang diserap baja makin besar) sehingga daktilitas juga akan
meningkat. Dari hasil uji tarik dan peninjauan terhadap kurva tegangan vs regangan
baja, dilihat bahwa baja polos memiliki daktilitas yang lebih tinggi dibanding baja
ulir pada diameter sama.
.
BAB III
KESIMPULAN

1. Modulus elastisitas baja yang diuji berbeda-beda dikarenakan tiap baja memiliki
kandungan mikroskopis (seperti karbon) yang berbeda-beda.
2. Baja ulir merupakan baja mutu tinggi yang cenderung lebih kuat (titik leleh lebih
besar) dari baja polos, tetapi baja polos yang merupakan baja mutu rendah
memiliki daktilitas lebih tinggi dari baja ulir.
3. Perpanjangan baja disajikan di tabel berikut:

Tabel 1.4. Tabel Kesimpulan Deformasi Baja


Panjang Panjang
Jenis Baja Deformasi (cm) Elongasi (%)
Awal (cm) Akhir (cm)
Polos (diameter8 mm) 58,8 62,8 4 6,802
Polos (diameter8 mm) 40,3 43,5 3,2 7,94
Polos (diameter 10 mm) 40,3 44,8 4,5 11,166
Polos (diameter 12 mm) 39,4 43,8 5,4 13,705
Ulir (diameter 10 mm) 59,9 63,7 3,8 6,3439
Ulir (diameter10 mm) 39,5 42,8 3,3 8,35445
Ulir (diameter13 mm) 40 43,8 3,8 9,5
Ulir (diameter16 mm) 40,3 44,3 4 9,925558313

4. Tegangan leleh dan tegangan maksimum baja disajikan di tabel berikut:


Tabel 1.5. Tabel Kesimpulan Tegangan Leleh dan Tegangan Maksimum

Tegangan Tegangan
Jenis baja
Leleh (MPa) Maksimum (MPa)
Polos (diameter 8 mm) 377,66433 593,4395281
Polos (diameter 8 mm) 206,2275205 317,4818408
Polos (diameter 10 mm) 358,762989 507,2166397
Polos (diameter 12 mm) 350,4499663 543,1974477
Ulir (diameter 10 mm) 413,8862974 572,5427114
Ulir (diameter 10 mm) 381,545850 531,438862
Ulir (diameter 13 mm) 432,2928363 616,9997754
Ulir (diameter 16 mm) 418,536752 591,024626
BETON
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah


1.1.1. Latar Belakang
Beton merupakan bahan bangunan komposisi yang terbuat dari kombinasi
agregat dan pengikat semen. Komposisi-komposisi pada penyusun beton akan
saling berinteraksi kuat sehingga akan menyusun beton dengan kekuatan yang
akan diinginkan. Beton dari itu sendiri terdiri dari agregat kasar, agregat halus,
semen dan air. Beton umumnya digunakan dalam membuat perkerasan jalan,
struktur parkiran, dasar untuk pagar/gerbang, dan semen dalam bata atau
tembok blok. Kegunaan beton ini disesuaikan dengan sifat materialnya yang
keras karena membentuk material seperti batu setelah komponen-komponennya
bereaksi membentuk beton yang diinginkan melalui proses hidrasi.
Beton akan mengeras jika ketika sudah mengalami proses hidrasi dan
proses perletakan pada tempat yang akan diinginkan. Kekuatan beton itu sendiri
akan dipengaruhi oleh komponen penyususunya yaitu agregat halus dan agregat
kasar. Pada agregat kasar akan memberikan sumbangsih kekuatan beton
berkisar 60% dari kekuatan beton secara keseluruhan. Kemudian pasta semen
dan pasir akan membentuk mortar dan menjadi komponen pengikat agregat-
agregat kasar. Hal yang perlu diketahui bahwa kekuatan agregat kasar harus
lebih besar jika ditarik dibandingkan komponen perekatnya itu sendiri, hal ini
dapat dikatakan bahwa beton itu memiliki kualitas yang baik jika memiliki ciri
tersebut. Bentuk-bentuk dari agregat kasar dan halus kemudian kadar air pada
masing-masing agregat perlu diperhatikan dalam membentuk mutu beton yang
baik.
Dalam proses pembuatan beton tidaklah sesedarhana yang dibayangkan.
Perlu diestimasi dan perhitungan dalam menyusun persentasi komponen beton
itu sendiri. Pemeriksaan komponen sangat diperlukan seperti diperiksanya
kebersihan pada agregat kasar dan agregat halus sehingga tidak ada kandungan
kadar organik pada permukaan agregat tersebut, sehingga permukaan agregat
kasar dan agregat halus dapat berinteraksi secara langsung untuk melekat
dengan baik dengan bantuan ikatan pasta semen sehingga akan membentuk
beton dengan kekuatan yang baik. Kadar udara juga perlu diperhatikan dalam
penyusun komponen beton. Beton dengan mutu baik adalah beton yang
memiliki kandungan udara yang kecil setelah mengeras yang artinya dalam
beton itu sendiri tidak ada rongga-rongga udara yang dapatmenurunkan
kekuatan beton. Beton keras yang baik adalah beton yang kuat, tahan lama,
kedap air, tahan aus, dan kembang susutnya kecil.
1.1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dalam praktikum ini adalah:
a. Bagaimana spesifikasi komposisi material (agregat, air, semen) yang
tersedia dan dibutuhkan untuk membuat beton?
b. Bagaimana mix design yang sesuai sehingga beton dengan kekuatan
yang direncanakan dapat dicapai?
c. Bagaimana cara merawat dan memelihara beton agar kualitasnya tetap
terjaga?
d. Bagaimana kekuatan tekan beton yang sudah dirawat dan dipelihara?

1.2. Tujuan dan Manfaat Praktikum


1.1.1. Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk:
a. Menentukan dan menghitung komposisi material pembentuk beton
b. Menentukan proses perancangan (mix design) beton
c. Menentukan cara perawatan dan pemeliharaan beton
d. Menentukan kekuatan tekan beton yang sudah dirawat dan dipelihara
1.1.2. Manfaat Praktikum
Manfaat dilakukannya praktikum beton ini adalah
1. Bagi raktisi teknik sipil
a. Hasil praktikum ini diharapkan dapat memberikan masukkan
pengetahuan mengenai parameter agregat halus (pasir) dan agregat
kasar (kerikil) yang digunakan untuk pembuatan beton dan proses
perencanaan (Mix Design) serta pembentukan beton yang
memenuhi persyaratan kekuatan, durabilitas, dan kelecakan.
b. Sebagai pedoman dalam melakukan proses perawatan (curing) dan
capping beton silinder, serta pengujian kuat tekan beton untuk
memperoleh sifat mekanik dari material beton tersebut melalui
eksperimen atau percobaan laboratorium.
2. Bagi masyarakat
Dari hasil praktikum ini dapat bermanfaat untuk penyiapan bahan-
bahan pembuatan beton hingga analisis hasil pengujian dengan
material lokal yang ada di Bandung, sehingga masyarakat bisa
mendapatkan acuan kualitas beton dengan campuran tertentu apabila
akan membangun bangunan di sekitar wilayah Bandung.
3. Bagi Mahasiswa
Sebagai literatur dan pedoman bagi mahasiswa yang akan melakukan
penelitian beton dengan material yang tersedia di lokasi lain atau
sebagai literatur untuk pembuatan skripsi atau tesis.
1.3. Metodologi Praktikum
Metodologi praktikum beton dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

PENENTUAN PARAMETER DARI MATERIAL BETON

Agregat Halus dan Agregat Kasar


(Pemeriksaan Berat Volume, Analisis Saringan, Zat Organik dalam Agregat Halus,
Pemeriksaan Kadar Lumpur, Pemeriksaan Kadar Air, Analisis Berat Jenis dan Penyerapan
Agregat)
PENETAPAN VARIABEL PERENCANAAN

Kategori Jenis Struktur


Rencana Slump
Kekuatan Tekan Rencana Beton
Ukuran Maksimum Agregat Kasar
Perbandingan Air Semen
Kandungan Agregat Kasar
Kandungan Agregat Halus

PELAKSANAAN PRAKTIKUM CAMPURAN BETON

Pembuatan Benda Uji Silinder


Pengukuran Slump Aktual
Pencatatan Hal – Hal yang Menyimpang dari Perencanaan

PERAWATAN BENDA UJI, CAPPING, DAN PEMERIKSAAN KEKUATAN TEKAN


HANCUR BETON

KESIMPULAN
BAB II
PEMERIKSAAN MATERIAL PEMBENTUK BETON

2.1 Dasar Teori


2.1.1 Semen
Semen adalah zat yang digunakan untuk merekat batu, bata, batako,
maupun bahan bangunan lainnya. Salah satu semen yang terkenal adalah semen
Portland. Namanya berasal dari kesamaannya dengan batu Portland, sejenis
batu bangunan yang digali di Pulau Portland di Dorset, Inggris.
Semen Portland adalah jenis semen yang paling umum yang digunakan
secara umum di seluruh dunia sebagai bahan dasar beton, mortar, plester, dan
adukan non-spesialisasi. Bahan baku untuk membuat semen adalah batu kapur
dan dicampur dengan bahan-bahan tambahan yang dapat mendukung sifat
semen.
Cara membuat semen Portland adalah batu kapur dipecah menjadi ukuran
<50 mm lalu dicampur lempung, pasir, dan bijih besi kemudian dicampur air
menjadi larutan pekat yang disebut slurry. Setelah itu slurry diuji komposisinya
berdasarkan kesesuaian spesifikasi. Slurry selanjutnya dibakar pada suhu
15000C. Bubuk batu bara halus dan udara ditiupkan pada ujung tungku, lalu
dipanasi hingga 20000C untuk menghilangkan air dan CO2 dari slurry. Partikel-
partikel yang terbentuk didinginkan dan membentuk butiran abu gelap yang
disebut klinker. Kemudian klinker disimpan dan dicampur gypsum (CaSO 4).
Klinker dihaluskan menjadi bubuk-bubuk halus yang kita sebut semen Portland.
Semen Portland siap didistribusikan.
2.1.2 Agregat
Agregat merupakan salah satu komponen penyusun pada beton. Agregat
itu sendiri dibagi atas 2 jenis yaitu agregat halus dan agregat kasar. Contoh dari
agregat halus ialah pasir dan contoh dari agregat kasar ialah kerikil dan batu
pecah. Agregat mengisi 60% - 80% dari volume beton. Karakter kimia, fisik
dan mekanik agregat berpengaruh pada sifat-sifat beton yang dihasilkan (seperti
kuat tekan, kekuatan, durabilitas, berat, biaya produksi dan lain-lain. Agregat
alam dihasilkan dari proses pelapukan, abrasi, dan pemecahan batuan induk
yang lebih besar. Beton agregat yang digunakan sangat menentukan berat beton
yang dihasilkan:
a. Beton Ringan 1360 – 1840 kg/m3
b. Beton Normal 2160 – 2569 kg/m3
c. Beton Berat 2800 – 6400 kg/m3
Secara umum agregat yang baik haruslah agregat yang mempunyai
bentuk yang menyerupai kubus atau bundar, bersih, keras, kuat, bergradasi baik
dan stabil secara kimiawi. Beton dapat terdiri dari partikel agregat yang
ukurannya berkisar pada daerah ukuran sampai suatu maksimum, yang biasanya
berada di antara ukuran 10 mm sampai 50 mm. Klasifikasi bentuk partikel
agregat:
a. Rounded
b. Angular
c. Irreguler
d. Elongated
e. Flaky
Partikel dengan rasio luas permukaan terhadap volume yang tinggi
menurunkan workability campuran beton. Partikel dengan bentuk flaky juga
merugikan bagi durabiltas beton karena partikel-partikel ini cenderung untuk
terorientasi pada satu bidang, sehingga air dan gelembung udara dapat
terbentuk di bagian bawahnya. Jumlah partikel elongated atau flacky yang
melebihi 10% - 15% massa agregat kasar dianggap merugikan.
Bentuk dan tekstur permukaan agregat sangat berpengaruh terhadapt
sifat-sifat beton segar seperti kelecekan/workability. Sifat mekanik yang
menjadi focus utama ialah mengenai gaya lekat (bond). Semakin kasar tekstur
pada permukaan agregat, semakin besar daya lekat antar partikel dengan
matriks semen. Agregat yang mengandung silica dapat mengikat pasta semen
secara kimiawi. Besarnya ikatan ini merupakan fungsi dari nilai a/s dan derajat
hidrasi beton. Kekuatan agregat yang dibutuhkan beton umumnya lebih tinggi
daripada kekuatan betonnya itu sendiri. Hal ini dikarenakan tegangan
sebenarnya yang bekerja pada titik kontak masing-masing partikel agregat
biasanya jauh lebih tinggi dari pada tegangan tekan yang bekerja pada beton.
Sifat fisik dari agregat:
a. Specific Gravity, yaitu perbandingan massa (berat di udara) dari suatu
unit (relative density) volume bahan terhadap massa air dengan
volume yang sama pada temperatur tertentu.
b. Apparent Specific Gravity, yaitu perbandingan massa agregat kering
terhadap massa air dengan volume yang sama dengan agregat tersebut.
c. Bulk Specific Gravity (SSD), yaitu perbandingan massa agregat SSD
terhadap massa air dengan volume yang sama dengan agregat tersebut.
d. Bulk Density, yaitu massa aktual yang akan mengisi suatu
penampang/wadah dengan volume satuan. Parameter ini berguna untuk
mengubah ukuran massa menjadi ukuran volume
e. Berat isi, yaitu berat agregat yang menempati 1 m3 wadah
f. Porositas dan absorpsi, yaitu porositas, permeabilitas dan absorpsi
agregat mempengaruhi daya lekat antara agregat dan pasta semen,
daya tahan beton terhadap pembekuan dan pencairan, stabilitas kimia,
daya tahan terhadap abrasi dan specific gravity.
Kondisi agregat berdasarkan kandungan air adalah sebagai berikut:
a. Kering oven, yaitu kondisi agregat yang dapat meyerap air dalam
campuran beton secara maksimal
b. Kering udara, yaitu kondisi agregat yang kering permukaan namun
mengandung sedikit air di rongga-rongganya.
c. SSD (Saturated Surface Dry), yaitu kondisi agregat yang
permukaannya kering, namun semua rongga-rongganya berisi air
d. Basah, yaitu kondisi agregat dengan kandungan air yang berlebihan
pada permukaannya.
Jika dilihat dari kondisi penyerapan air pada agregat, maka kondisi
agregat yang dibutuhkan ialah pada kondisi SSD dimana agregat tidak lagi
melakukan peyerapan maupun penambahan jumlah air pada campuran beton
sehingga tidak akan memperkecil kekuatan beton itu sendiri. Pada agregat halus
yaitu pada pasir terdapat efek jika memiliki kelembapan yang tinggi, yaitu efek
bulking pada pasir. Efek bulking pada pasir ialah pertambahan volume pasir
akibat adanya lapisan air yang mendorong partikel pasir sehingga berada pada
jarak yang lebih jauh. Bulking itu sendiri akan mempengaruhi penakaran pasir
bila berdasarkan volume.
Gradasi merupakan penyebaran betuk ukuran dari agregat sehingga
bentuk agregat dapat bervariasi. Gradasi dan ukuran maksimum agregat sangat
penting, karena besaran ini mempengaruhi proporsi agregat dalam campuran,
kebutuhan air, jumlah semen, biaya produksi, sifat susut dan durabilitas beton.
Agregat yang memenuhi persyaratan batas gradasi dapat memberikan
hasil terbaik. Semakin beragam ukuran agregat, semakin sedikit rongga yang
tersisa diantara susunan agregat (teori rongga minimum). Jumlah pasta pengikat
yang diperlukan semakin sedikit. Gradasi mempengaruhi workability campuran
beton namun tidak mempengaruhi kekuatan secara langsung. Sekalipun
demikian, untuk mencapai kekuatan yang tinggi dibutuhkan
kompaksi/pemadatan maksimum dengan besar usaha yang masih dapat diterima
yang mana hal ini hanya dapat dilakukan apabila campuran cukup workable.
Tidak ada gradasi yang ideal, karena adanya pengaruh lain yang berinteraksi
yaitu faktor-faktor utama yang mempengaruhi workability:
a. Luas permukaan agregat yang menentukan jumlah air yang dibutuhkan
untuk membasahi seluruh partikel
b. Volume relatif yang ditempati oleh agregat
c. Kecenderungan terhadap segregasi
d. Jumlah butir halus (fine) dalam campuran beton
2.1.3 Air untuk Campuran Beton
Salah satu unsur yang diperlukan untuk membuat beton adalah air.
Jumlah air yang diperlukan bergantung pada nilai slump yang diinginkan,
ukuran maksimum agregat (10 mm, 12,5 mm, 20 mm, dan seterusnya), dan
jenis beton yang diinginkan (beton tanpa penambahan udara atau beton dengan
penambahan udara). Jumlah air yang diperlukan dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel 2.1. Kebutuhan Air Pencampuran dan Udara untuk Berbagai Nilai Slump dan Ukuran
Maksimum Agregat
Air (kg/m3)
Slump
Jenis Beton 10 12,5 20 25 40 50 75
(mm)
mm mm mm mm mm mm mm
25 – 50 205 200 185 180 160 155 140
75 – 100 225 215 200 190 175 170 155
Tanpa
100 – 175 240 230 210 200 185 175 170
Penambaha
Udara yang
n Udara
tersekap 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0,3
(%)
25 – 50 180 175 165 160 150 140 135
75 – 100 200 190 180 175 160 155 150
Dengan
100 – 175 215 205 190 180 170 165 160
Penambaha
Udara yang
n Udara
disarankan 8 7 6 5 4,5 4 3,5
(%)
Jumlah air yang telah ditentukan juga dapat menentukan jumlah semen
yang diperlukan untuk membuat beton. Jumlah semen yang diperlukan
bergantung pada perbandingan semen air. Nilai perbandingan semen air
ditentukan bergantung pada rencana kuat tekan beton yang diinginkan pada
umur 28 hari, dan bergantung pula pada jenis beton yang diinginkan (tanpa
penambahan udara atau dengan penambahan udara. Nilai perbandingan semen
air dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.2. Hubungan Rasio Air - Semen dan Kuat Tekan Beton
Rasio Air Semen (dalam perbandingan berat (kg))
Kuat Tekan Beton Umur
Dengan Penambahan
28 Hari (MPa) Tanpa Penambahan Udara
Udara
48 0,33 -
40 0,41 0,32
35 0,48 0,40
28 0,57 0,48
20 0,68 0,59
14 0,82 0,74

2.1.4 Kandungan Air


Air merupakan salah satu komponen penting untuk membuat beton. Air
yang bereaksi dengan semen (C3S, C2S) membentuk CSH. CSH ini merupakan
zat pengikat yang merekatkan agregat-agregat sehingga terbentuknya beton.
Salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menghasilkan beton dengan
kualitas baik adalah dengan menggunakan air berkualitas baik.
Kualitas air merupakan hal yang harus diperhatikan karena penggunaan
air yang tidak murni dapat menyebabkan beberapa hal, diantaranya:

a. Mempengaruhi dan menghambat proses setting semen


b. Menimbulkan efek negatif terhadap kekuatan beton
c. Mengakibatkan noda-noda pada permukaan beton
d. Menimbulkan korosi pada tulangan
Kualitas air pencampur pada umumnya disyaratkan sebagai air yang dapat
diminum. Air yang dapat diminum merupakan air yang memiliki kadar organik
dibawah 1000 ppm. Kadar organik/kotoran dapat menyebabkan rongga di
dalam beton yang dapat melemahkan beton. Walaupun begitu, syarat ini bukan
merupakan syarat mutlak, karena selain kadarnya, kandungan unsur organik
tertentu dapat bereaksi dengan beton sehingga dapat mengurangi kekuatannya.
Kandungan unsur organik yang tidak boleh ada di dalam kandungan air
pencampur untuk beton adalah natrium dan kalium. Kedua unsur ini biasanya
ditemukan di air tanah. Unsur ini dapat menimbulkan reaksi alkali-agregat.
Alkali bereaksi dengan silika yang terkandung dalam agregat dan membentuk
gel. Gel ini menyerap air disekitarnya, mengembang, dan mengakibatkan
keretakan agregat.
PH didalam air juga harus diperhatikan. PH air yang ideal untuk
campuran beton adalah direntang 6 sampai 8. PH air yang terlalu asam
(dibawah 6) dapat mengakibatkan korosi pada tulangan baja dan juga agregat,
sehingga dapat memperlemah kekuatan struktur. Air basa biasanya
mengandung senyawa alkali yang bisa menyebabkan kerusakan.
2.1.5 Admixtures
Admixture (bahan tambahan) adalah bahan/material selain air, semen dan
agregat yang ditambahkan ke dalam beton atau mortar sebelum atau selama
pengadukan. Admixture digunakan untuk memodifikasi sifat dan karakteristik
beton. Tujuan pemakaian admixture dalam campuran beton adalah untuk
meningkatkan penampilan (performance), mutu (quality), keawetan
(durability), dan kelecakan (workability).
Pemakaian admixture dalam campuran beton harus mendapat persetujuan
terlebih dahulu dari sarjana/pengawas lapangan/pemilik proyek dan harus sudah
pernah dilakukan percobaan pendahuluan. Penggunaan bahan tambahan
(admixture) haruslah sesuai dengan spesifikasi dan ASTM (American Society
for Testing and Material) ataupun SNI (Standar Nasional Indonesia).
Pengguanaannya juga harus mengikuti dosis yang sesuai dan melakukan
pengetesan untuk mengontrol pengaruh yang telah didapat. admixture dibagi
dalam beberapa kelompok diantaranya:
a. Air Entraining Agent (ASTM C260)
Yaitu bahan tambahan untuk meningkatkan kadar udara agar beton
tahan terhadap pembekuan dan pencucian terutama untuk daerah salju,
juga harus memenuhi SNI 03-2496-1991. Air entraining agent
menyebabkan terjadinya gelembung-gelembung udara sangat halus
(berdiameter 1/100 mm – 2 mm) dalam beton, yang dapat memperbaiki
workability. Bleeding dapat dikurangi, sedangkan butiran yang besar tidak
mudah terpisah dari adukannya. Hal ini menjadi sangat penting apabila
beton itu harus diangkut melalui perjalanan yang panjang. Pengaruh-
pengaruh Air Entraining Admixture terhadap sifat-sifat beton antara lain
1. Kekuatan Tekan Beton
AEA pada umumnya meningkatkan kelecehan beton dan
memperbaiki workabilitas (kemudahan) pengerjaan beton tapi
mengurangi kekuatan tekan beton. Oleh karena itu penggunaan AEA
harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut.
2. Workabilitas Beton (kelecakan)
AEA meningkatkan slump atau memudahkan pekerjaan beton.
Dalam praktek 5% air entrained akan menambah 10 – 50 mm slump.
3. Pengikatan Waktu
Penggunaan AEA tidak ada pengaruh yang berarti pada waktu
pengikatan.
4. Bleeding (keluarnya air ke permukaan beton)
AEA mengurangi terjadinya bleeding dalam beton.

5. Perubahan Volume (volume deformation)


AEA tidak berpengaruh pada sifat susut beton. Untuk AEA 6% sifat
creep beton tidak berpengaruh juga.
6. Kohesif
Sifat kohesif beton dapat ditingkatkan dengan adanya AEA pada
beton, khususnya sangat berarti bila kondisi grading pasir dan
agregatnya sangat jelek.
7. Density (berat jenis)
Berat jenis beton akan berkurang langsung dengan adanya AEA
pada beton. AEA juga digunakan untuk mendapatkan beton dengan
density yang rendah sampai penurunan 500 kg/m3.
8. Keawetan Beton (durability)
AEA umumnya meningkatkan keawetan beton, dengan adanya
AEA sifat permeable beton berkurang. Gelembung-gelembung udara
dapat memotong kapilaritas yang menerus (continue capilarity)
menjadi kapilaritas yang terpotong (discontinue capilarity) dan
akhirnya mengurangi rembesan dan resapan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain : penambahan jumlah pasir
dari 35% sampai 40% akan menambah kadar udara 4,5% sampai 5%,
penambahan semen 90 kg/m3 akan mengurangi 1% udara, kenaikan
temperatur beton akan mengurangi kandungan udara (air content),
waktu pencampuran (mixing) akan mempengaruhi kadar udara (air
content), dan pengikatan beton dapat mengurangi kadar udara sampai
0,5%, serta pengukuran kadar udara sebaiknya teratur (regular),
menurut standar yang ada, ASTM atau BS 1881 Part 2. Menurut BS
CP110, untuk ketahanan pembekuan (frost resistance), untuk diameter
tertentu kadar udara diperlukan seperti pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.3. Kadar Udara Diperlukan Berdasarkan Ukuran Agregat Minimum


Ukuran diameter agregat minimum, mm Kadar udara (Air Content), %
40 4 ± 1,5
30 5 ± 1,5
10 5 ± 1,5
b. Admixture Kimia (Bahan Tambahan Kimia), ASTM C49 dan BS 5075
Bahan tambahan cairan kimia ditambahakan untuk mengendalikan
waktu pengerasan (mempercepat atau memperlambat), mereduksi
kebutuhan air, memudahkan pengerjaan beton (meningkatkan slump) dan
sebagainya. Ketentuan dan syarat mutu bahan tambahan kimia sesuai
dengan ASTM C 494-81 dan jenis bahan tambahan kimia tersebut dapat
diterangkan sebagai berikut:
1. Type A (Water Reducing Admixture)
Bahan tambahan yang bersifat mengurangi jumlah air pencampuran
beton untuk menghasilkan beton yang konsistensinya tertentu. Bahan
tambahan water reducing diresap oleh partikel-partikel semen dan
karena itu terjadi tolak-menolak diantara partikel dan menghasilkan
penyebaran yang merata dari semen. Dan hal ini mengurangi jumlah
air yang diperlukan dari pasta semen untuk mencapai konsistensi
tertentu. Kelompok bahan tambahan yang mengurangi penggunaan air
bahan dasarnya yaitu Sulphitelye, Albumin Compound, Komposisi-
komposisi gula, Salts of hynosalphonic acids, Salts of hydroxy
carbonxylic acids, dan Low molecular weight polysochranides
(hydroxylated polymer).
Pada kondisi normal pengurangan air untuk workability yang tetap
berkisar antara 8% sampai 12%. Penggunaan water reducing
admixture bertujuan untuk pembuatan mutu beton tinggi,
mempermudah pengecoran dan pemadatan, meningkatkan kualitas,
dan beton lebih ekonomis. Pengaruh pada sifat beton dengan adanya
Water Reducing Admixture yaitu:
a. Kekuatan tekan, yaitu bertambah karena adanya pengurangan air,
hal ini dikarenakan faktor A/S (Air-Semen) berkurang.
Penambahan kekuatan diperkirakan ± 10%.
b. Setting Time, dengan adanya water reducing admixture, setting
time dari campuran beton tidak berubah.
c. Workability. Bila tidak ada perubahan faktor Air Semen (A/S),
water reducing menambah workability beton. Untuk slump awal
25 – 75 mm dapat ditambah dengan 50 – 60 mm.
d. Loss Slump. Tingkat kecepatan penurunan slump beton yang
berisi water reducing admixture umumnya sama atau lebih besar
dari beton biasa. Dimana bila digunakan water reducing
admixture (WRA) akan menambah workability dan waktu
pencampuran.
e. Air Entrainment. Dengan bahan dasar Lignosulphonate
cenderung meningkatkan jumlah kadar udara tapi tidak
melampaui 2%. Bahan dasar Salt hydroxycarboxylic dan
Polysacharides tidak menambah kadar udara dan bahkan sering
mengurangi kadar udara.
f. Panas hidrasi. Tidak terpengaruh dengan adanya penggunaan
WRA.
g. Perubahan bentuk. Tidak terpengaruh dengan adanya WRA.
h. Durability. Tidak terpengaruh dengan adanya WRA kecuali
airnya dikurangi yang menyebabkan beton lebih padat dan
impermeabel.
2. Type B (Retarding Admixture)
Bahan tambahan yang berfungsi menghambat pengikatan beton.
Retarder digunakan karena dapat memperlambat waktu pengikatan
beton, sehingga beton dapat diangkut melalui jarak jauh, apabila
terdapat gangguan dalam produksi dan pengecoran pada suhu tinggi.
Penghambatan pengembangan kekuatan tekan pada umumnya tidak
kita kehendaki. Akan tetapi pengurah kecepatan menyebarnya panas
hidrasi adalah menguntungkan karena dapat mencegah timbulnya
retak-retak pada bangunan yang sedang melaksanakan pembetonan
massal. Kekuatan tekan akhir dapat sedikit bertambah apabila
digunakan retarders, akan tetapi sering terjadi pengurangan kekuatan
tekan akhir jika penggunaan retarders itu jauh melebihi dosis yang
ditetapkan.
Bahan penghambat yang terdapat di pasaran biasanya menggunakan
gula sebagai bahan dasarnya. Jika menggunakan retarders jenis ini
sebaiknya jangan melebihi dosis yang disyaratkan. Bilamana memakai
dosis yang jauh melampaui batas maka beton yang menggunakan
bahan jenis penghambat ini tidak pernah akan mengikat. Sifat-sifat lain
seperti kekedapan terhadap air dan penyusutan pada umumnya tidak
dipengaruhi secara negatif, jika menggunakan bahan penghambat.
Bahan penghambat biasanya digunakan bila pad waktu melaksanakan
pembetonan dalam cuaca panas, waktu pengikatan semen dipercepat
akibat suhu tinggi. Disamping itu bahan penghambat digunakan juga
ditempat pembuatan beton tua dan beton muda setelah terjadi
penghentian pengecoran. Efek penghambatan seringkali digabungkan
dengan “air entraining” serta perbaikan sifat pengerjaan atau
keduanya.
3. Type C (Accelerating Admixture)
Bahan tambahan berfungsi mempercepat pengikatan dan
pengembangan kekuatan awal beton. Jenis bahan tambahan ini
mempercepat waktu hidrasi dari semen. Beton yang menggunakan
accelarator lebih cepat mengikat serta mencapai kekuatan tekannya.
Pada umumnya kita tidak memerlukan waktu pengikatan beton yang
cepat. Waktu pengikatan yang cepat hanya diperlukan kalau kita perlu
menutup bocor dalam bangunan, yang harus menahan tekanan air
dalam segala arah. Beberapa contoh accelerator antara lain:

a. Calsium chloride (CaCl2)


CaCl2 bekerja sebagai katalisator dalam hoidrasi C3S dan C2S.
Hal yang kurang menguntungkan apabila menggunakan CaCl2
sebagai accelerators ialah CaCl2 bahwa dapat menyebabkan
berkaratnya tulangan dalam beton. Untuk mencegah hal ini beton
itu harus bermutu baik, tidak berpori, dipadatkan dengan baik pula.
b. Alumunium Chlorida
Alumunium Chlorida merupakan accelerators yang kuat. Dengan
menambahkan 1% Alumunium chlorida dalam beton, maka
kekuatan tekannya pada umur satu hari dapat dinaikkan menjadi
50% – 170%.
c. Natrium Sulfat
Natrium Sulfat mempercepat pengerasan semen dan tidak
menyebabkan berkaratnya tulangan beton. Bahan tambahan ini
dianjurkan untuk digunakan bersama (dalam kombinasi) dengan
CaCl2.
d. Alumunium Sulfat
Dengan menggunakan jenis accelerators Alumunium Sulfat,
dapat dicapai penambahan kekuatan 20% – 50% untuk beton
berumur 1 hari.
4. Type D (Water Reducing and Retarding Admixture)
Bahan tambahan berfungsi ganda untuk mengurangi jumlah air
pencampuran yang diperlukan untuk menghasilkan beton dengan
konsistensi tertentu dan menghambat pengikatan beton. Bahan dasar
kimia dari Retarding Admixture (RA) adalah Salt of Lignosulphonic
acids, salt of hydroxycarboxilic acids, low molekuler weight
polysaccharides, salt of boric acid, salt of phosphoric acid. Bahan
dasar kimia RA hampir sama dengan WRA, hanya dosisnya agak lebih
sedikit.
Seperti pada WRA normal, bahan kimianya diserap oleh partikel
semen sehingga melapisi permukaan partikel semen sehingga
perubahan sifat dari lapisan beton memperlambat penetrasi kedalaman
semen dan hasilnya memperlambat perkembangan reaksi hidrasi.
Kekuatan tekan awal beton berkurang dengan adanya bahan
tambahan kimia retarder tersebut. Perpanjangan atau penundaan waktu
pengikatan tersebut berkaitan dengan penundaan kekuatan tekan beton.
Untuk umur lebih dari 3 hari kekuatan beton sama dengan campuran
beton normal. Kemungkinan kekuatan beton umur 28 hari lebih besar
10% bila airnya dikurangi. Untuk beton dengan retarding admixture
kekuatan beton 10% lebih tinggi pada umur 7 hari dan 5% lebih tinggi
dari beton normal pada umur 28 hari.
5. Type E (Water Reducing and Accelerating Admixture)
Bahan tambahan berfungsi ganda untuk mengurangi jumlah air
pencampuran yang diperlukan untuk menghasilkan beton dengan
konsistensi tertentu dan mempercepat pengikatan beton. Accelerating
admixture merupakan bahan kimia organik yang larut dalam air dan
meningkatkan tingkat reaksi antara semen dan air, dengan demikian
percepatan pengikatan dan pengembangan kekuatan akan meningkat.
Accelerating water reducing admixture juga berkaitan dengan sifat
water reducing.
Hampir semua accelerator berbahan dasar kalsium klorida atau
kalsium format. Namun penggunaannya dibatasi hanya pada beton
tanpa tulangan saja, karena berpotensi mempengaruhi korosi pada
tulangan. Kekuatan awal beton merupakan akibat dari hidrasi
trikalsium silikat (C3S) dan trikalsium aluminat (C3A) dari semen
portland. Saat mencampur dengan air C3S mengeras dengan cepat,
baik C3S dan C3A sama-sama menghasilkan panas. Accelerator
meningkatkan tingkat hidrasi dan dengan cara demikian memberikan
evolusi panas awal dan pengembangan kekuatan. Accelerator tidak
menekan titik beku air dan tidak menunjukkan sebagai anti beku.
Pengaruh accelerator pada sifat mekanik beton antara lain:
a. Kekuatan
Pada saat accelerator mencapai peningkatan kekuatan awal
beton, pengaruh kekuatan beton dapat diabaikan. Jika bahan water
reducing dicampur accelerator, keuntungan kekuatan beton jangka
panjang akan didapat berhubungan langsung dengan penurunan
rasio Air-Semen (A/S).
Untuk admixture accelerator, BS 5075 part I mensyaratkan suatu
peningkatan kuat tekan melebihi campuran biasa lebih kurang 25%
pada umur 1 hari dan tidak ada penurunan kekuatan pada umur 7
dan 28 hari.
Untuk admixture accelerator water reducing, BS 5075
menyatakan bahwa penambahan kekuatan pada umur 7 dan 28 hari
sebesar 10%. Banyak accelerator mencapai keuntungan kekuatan
pada umur 1 hari sampai 100% melebihi campuran beton biasa.
b. Setting Time
Setting time beton yang mengandung acceleraor lebih pendek
daripada beton biasa yang tidak mengandung accelerator. Pengaruh
kalsium klorida pada setting time lebih besar dari pada kalsium
format.
c. Workability
Baik kalsium klorida dan kalsium format memberikan sedikit
peningkatan dalam workabilitas. Peningkatan yang lebih besar
dalam workabilitas dapat diperoleh dengan kombinasi accelerator
dengan bahan water reducing.
d. Air Entrainment
Hampir semua accelerator tidak mengandung derajat air
entrainment.
e. Bleeding
Admixture accelerator tidak mempengaruhi bleeding.
f. Panas Hidrasi
Accelerator meningkatkan tingkatan panas yang dihasilkan dan
memberikan kenaikan temperatur yang lebih besar dari pada
campuran bahan biasa. Total panas hidrasi tidak mempengaruhi.
g. Perubahan Volume
Kalsium klorida meningkatkan creep maupun drying shrinkage.
Kalsium format meningkatkan drying shrinkage tetapi data yang
ada menunjukkan ada sedikit pengaruh pada creep.
h. Durability
Kalsium klorida mempunyai kemampuan memecahkan pasivity
alamiah yang diberikan beton dengan menggunakan semen
portland, dengan demikian akan memperbesar korosi pada baja atau
logam tertanam.
Jika kalsium klorida cenderung untuk meningkatkan
permeabilitas beton, pengaruh korosif dan kemampuan
meningkatkan shrinkage, membuat beton berpotensi pada
durabilitas jangka panjang pada beton bertulang.
6. Type F (Water Reducing and High Range Admixture)
Bahan tambahan yang berfungsi mengurangi jumlah air
pencampuran yang diperlukan untuk menghasilkan beton dengan
konsistensi tertentu sebanyak 12%. Superplasticizer merupakan bahan
kimia, biasanya long chain molecules, yang pada saat ditambahkan
pada beton normal mengurangi air yang diperlukan untuk mencapai
workablility yang ditentukan, atau memberi perbedaan workability
yang besar dibawah workability yang ingin dicapai dengan
menambahkan admixture water reducing normal. Dengan penambahan
superplasticizer kandungan air pada beton dapat dikurangi 20% – 30%
tanpa menurunkan workability.
Bahan kimia yang digunakan dalam superplasticizer antara lain
Sulphonat melamine formaldehyde condensates, Sulphonat napthaline
formaldehyde condensates, dan Modified lignosulphonate.
Superplasticizer terserap dalam partikel semen. Dengan demikian
merendahkan daya tarik partikel dalam menghasilkan lebih banyak
dispersi butir semen seperti halnya dengan menggunakan water
reducer normal. Pengaruh superplasticizer pada sifat mekanik beton
antara lain:
a. Kekuatan Beton
Kuat tekan beton bertambah dengan menggunakan
superplasticizer untuk mengurangi kadar air pada saat pengendalian
workability. Peningkatan kekuatan beton seperti dengan
menggunakan water reducer normal, merupakan akibat langsung
dari rasio air semen yang lebih rendah dan peningkatan kekuatan
berhubungan langsung dengan air semen.
Hubungan antara kekuatan tegangan dan kuat lentur (flexural)
dan kuat tekan tidak berubah. Superplasticizer dapat digunakan
untuk mendapatkan penambahan kekuatan 50% pada umur 1 hari.
b. Setting Time
Superplasticizer dapat menimbulkan sedikit pengurangan pada
saat digunakan pada dosis tinggi.
c. Workability
Dimana tidak ada perubahan pada rasio air semen,
superplasticizer dapat mencapai peningkatan workability yang
dominan, khususnya pada slump 75 mm akan meningkatkan
kegagalan slump. Beton dengan superplasticizer dengan
workability tinggi umumnya disebut sebagai beton flowable
(flowing concrete).
Karena sulitnya pengukuran slump yang pasti, khususnya
menggunakan test flowable dengan spesifikasi dalam DIN 1048
(1972 section 1, caluse 3.2.1) untuk mengukur workability beton
flowable, beton yang flowable mempunyai penyebaran flowable 51
cm – 62 cm.
Perbedaan workability yang besar dengan menggunakan
superplasticizer dipertahankan selama batas waktu dan sifat-sifat
flowable didapat selama tidak lebih dari 30-45 menit setelah
penambahan superplasticier.
d. Kehilangan Slump
Tingkat kehilangan slump untuk beton dengan superplasticizer
sama dengan campuran beton biasa. Dimana superplasticizer yang
digunakan untuk mengurangi air, tingkatan slump akan naik.
e. Kadar Udara
Sulphonate melamine formaldehyde superplasticizer cenderung
mengurangi kadar udara pada saat digunakan untuk memproduksi
flowing concrete.
7. Type G (Water Reducing, High Range and Retarding Admixture)
Bahan tambahan yang berfungsi mengurangi jumlah air
pencampuran yang diperlukan untuk menghasilkan beton dengan
konsistensi tertentu. Sifat-sifat dan mekanisme kerja dari type G mirip
dengan type F (superplastizicer).
c. Mineral Admixture (Bahan Tambahan Mineral)
Bahan tambahan mineral ini merupakan bahan padat yang dihaluskan
yang ditambahakan untuk memperbaiki sifat beton agar beton mudah
dikerjakan dan kekuatan serta keawetannya meningkat. Bahan-bahan
tambahan mineral seperti:
1. Pozzolan
Pozzolan adalah bahan yang mengandung senyawa silika atau silika
alumina dan alumina, yang tidak mempunyai sifat mengikat seperti
semen akan tetapi dalam bentuknya yang halus dan dengan adanya air,
maka senyawa-senyawa tersebut akan bereaksi dengan kalsium
hidroksida pada suhu normal akan membentuk senyawa kalsium silikat
hidrat dan kalsium hidrat yang bersifat hidraulis dan mempunyai angka
kelarutan yang cukup rendah.
Di dalam proses hidrasi semen selain menghasilkan senyawa CSH,
CAH, dan CAF yang bersifat sebagai bahan perekat juga menghasilkan
kapur yang angka kelarutannya tinggi dan bersifat zbasa. Dengan
adanya pozzolan maka kapur yang timbul akan bereaksi membentuk
CSH, CAH, dan CFH yang mempunyai sifat sebagai perekat. Semen
yang mempunyai bahan tambahan pozzolan akan juga mempunyai
sifat-sifat sebagai berikut:
a. Panas hidrasi akan turun karena adanya tambahan pozzolan
kandungan C3A dalam semen berkurang.
b. Campuran pasta semen pada keadaan konsistensi normal maka
faktor air semen akan meningkat dengan adanya pozzolan.
c. Workability dari beton yang memakai semen pozzolan akan lebih
baik.
d. Merubah waktu setting.
e. Merubah kekuatan beton dan lain sebagainya.
Menurut ASTM C 618-86 mutu pozzolan dibedakan menjadi tiga
kelas, dimana tiap-tiap kelas ditentukan komposisi kimia dan sifat
fisiknya. Pozzolan mempunyai mutu yang baik apabila jumlah kadar
SiO2 + Al2O3 + Fe2O3 tinggi dan reaktifitasnya tinggi dengan kapur.
Ketiga kelas pozzolan yang disebutkan diatas adalah:
a. Kelas N. Pozzolan alam atau hasil pembakaran, pozzolan alam
yang dapat digolongkan didalam jenis ini seperti tanah diatomic,
opaline cherts dan shales, tuff dan abu vulkanik atau pumicite,
dimana biasa diproses melalui pembakaran maupun tidak. Selain
itu ada juga berbagai material hasil pembakaran yang
mempunyai sifat pozzolan yang baik.
b. Kelas C. Fly ash yang mengandung CaO diatas 10% yang
dihasilkan dari pembakaran lignite atau sub-bitumen batu bara.
c. Kelas F. Fly ash yang mengandung CaO kurang dari 10% yang
dihasilkan dari pembakaran antrhacite atau bitumen batu barsa.
Sifat fisik dan kimia yang distandarkan:
Tabel 2.4. Sifat Fisik dan Kimia yang Distandarkan

Sifat Fisik N C F
Kehalusan:
34 34 34
% tertahan ayakan no. 325 (max)
Pozzolan aktivitas indeks dengan PC
75 75 75
pada 28 hari (% min)
Kebutuhan air maks
115 105 105
% dari control
Sifat Kimia N C F
SiO2 + Al2O3 + Fe2O3 (% min) 70 50 70
SO3 (% maks) 4 5 5
Na2O (% maks) 1,5 1,5 1,5
Kadar kelembaban (% maks) 3 3 3
Loss ignition (% maks) 10 6 12

2. Slag
Slag merupakan bahan sisa dari pengecoran besi (piq iron), dimana
prosesnya memakai dapur (furnance) yang bahan bakarnya dari udara
yang ditiupkan (blast). Pada peleburan baja, biji besi atau besi bekas
dicairkan dengan kombinasi batu gamping, delomite atau kapur,
pembuatan baja dimulai dari dengan menghilangkan ion-ion pengotor
baja, diantaranya alumonium, silicon dan phosphor. Untuk
menghilangkan ion-ion pengotor tersebut, diperlukan kalsium yang
terdapat pada batu kapur. Faktor-faktor untuk menentukan sifat
penyemenan (cementious) dalam slag adalah komposisi kimia,
konsentrasi alkali dan reaksi terhadap sistem, kandungan kaca dalam
slag, kehalusan dan temperatur yang ditimbulkan selama proses hidrasi
berlangsung.
Campuran kalsium, alumonium, silicon dan phosphor membentuk
(slag) yang bereaksi pada temperatur 1600º C dan membentuk cairan,
bila cairan ini didinginkan maka akan terjadi kristal, dapat digunakan
sabagai campuran semen dan dapat juga sebagai pengganti agregat.
ASTM (1995,494) Slag adalah produk non-metal yang merupahkan
matrial berbentuk halus sampai balok-balok besar, dari hasil
pembakaran yang didinginkan. Keuntungan penggunaan limbah padat
(slag) dalam campuran beton adalah sebagai berikut:
a. Mempertinggi kekuatan tekan beton karena kecenderungan
melambatnya kenaikan kekuatan tekan
b. Menaikkan rasio antara kelenturan dan kuat tekan beton
c. Mengurangi variasi kekuatan tekan beton
d. Mempertinggi ketahanan terhadap sulfat dalam air laut
e. Mengurangi serangan alkali-silika
f. Mengurangi panas hidrasi dan menurunkan suhu
g. Memperbaiki penyelesaian akhir dan memberi warna cerah pada
beton
h. Mempertinggi keawetan karena pengaruh perubahan volume
i. Mengurangi porositas dan serangan klorida
3. Fly Ash (Abu terbang)
Fly ash atau bottom ash adalah istilah umum untuk abu terbang
yang ringan dan abu relatif berat yang timbul dari suatu proses
pembakaran suatu bahan yang lazimnya menghasilkan abu. Fly ash
atau bottom ash dalam konteks ini adalah abu yang dihasilkan untuk
pembakaran batu bara. Abu terbang (fly ash) umumnya diperoleh dari
sisa pembakaran Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU) atau sisa
pembakaran dari boiler kayu yang menggunakan batu bara sebagai
sumber energi. Sisa pembakaran berupa partikel halus dan berkisar
75% – 90% limbah batu bara akan keluar melalui cerobong asap, serta
hanya tersisa sebagian kecil di tungku api. Limbah batu bara sebelum
keluar ditangkap dengan electrostatic precipitator sehingga limbah
batu bara berupa butiran padat.
Komponen utama pada kandungan abu terbang adalah Oksida
Silika (SiO2). Abu terbang jika digunakan sebagai pozzolan dapat
dibedakan menjadi dua kelas, yaitu kelas C dan kelas F seperti tertera
pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.5. Tabel Spesifikasi Abu Terbang Sebagai Pozzolan
Komposisi Kimia Kelas C (%) Kelas F (%)
Total SiO2 + Al2O3 + Fe2O3 Min 50 Min 50
Sulfur Trioksida (SO3) Max 3 Max 5
Kadar air Min 3 Min 3
Hilang pijar Max 6 Max 12

4. Abu Sekam
Abu sekam adalah limbah dari tanaman padi, yang pada saat ini
limbah padi kurang dimanfaatkan untuk hal-hal yang penting. Padahal
didalam sekam padi ini terdapat unsur SiO 2 yang dengan mengatur
pembakaran tertentu akan diperoleh silika yang reaktif yang dapat
dipergunakan untuk sesuatu yang lebih penting. Pembakaran sekam
pada proses pembuatan batu bata mencapai suhu 600oC – 700°C. Pada
suhu tersebut akan dihasilkan SiO2 yang reaktif, yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pozzolan buatan. Sebagaimana kita
ketahui silika reaktif dapat bereaksi dengan kapur padam membentuk
kalsium silikat hidrat, dimana akan mengakibatkan ketahanan kimia
dari beton bertambah besar karena berkurangnya kapur.
5. Silica Fume
Silica fume adalah hasil produksi sampingan dari pemurnian silika
dengan batu bara di tanur listrik tinggi dalam pembuatan campuran
silikon atau ferro silikon (ACI 234R-96). Silica fume mengandung
kadar SiO2 yang tinggi dan merupakan bahan yang sangat halus,
bentuk bulat dan berdiameter yang sangat kecil sekali yaitu 1/100 kali
diameter semen (ACI, Committee, 1986 dan Modul Silica). Silica
fume dalam jumlah tertentu dapat menggantikan jumlah semen, selain
itu karena silica fume mempunyai diameter sangat kecil, maka silica
fume dapat juga berperan sebagai pengisi diantara partikel-partikel
semen.
Silica fume dalam jumlah tertentu dapat menggantikan jumlah
semen, selain itu karena silica fume mempunyai diameter sangat kecil,
maka silica fume dapat juga berperan sebagai pengisi diantara pertikel-
partikel semen. Dengan adanya silica fume ini distribusi porositas
beton menjadi lebih kecil karena peran silica fume disini selain sebagai
penanggulangan terhadap serangan sulfat juga sebagai pengisi rongga-
rongga partikel semen dan agregat sehingga dapat menambah
kekedapan dan keawetan beton. Beberapa keuntungan digunakannya
silica fume sebagai bahan tambah yaitu:
a. Mengurangi bleeding dan segregasi
b. Memperoleh panas hidrasi
c. Memperkecil nilai slump
d. Memperendah nilai permeabilitas beton dan meningkatkan
keawetan beton
d. Bahan Tambahan Lainnya (Miscellanous Admixture)
Yang termasuk kategori bahan tambahan ini ialah semua bahan
tambahan yang tidak termasuk kategori diatas, seperti:
1. Polymer
Kini polimer digunakan sebagai admixture, yaitu apabila
dibutuhkan beton yang tahan terhadap pengausan umpama lantai
beton. Biasanya digunakan polyvinyl acetate (PVA). Jenis ini banyak
sekali digunakan walaupun efeknya sukar ditentukan.
2. Pigmen
Pigmen dalam bentuk tepung berguna dalam mortar dan beton
sebagai bahan alam dari sintesis agar menghasilkan warna yang baik
yang tidak mempengaruhi sifat mekanik dan fisik beton. Pigmen yang
digunakan dalam beton harus sesuai dengan BS 1014, bahan dasarnya
dari karbon hitam, merah, kuning, coklat dan biji besi hitam oksida,
black magnesium oxide, blue cobalt oxide, dan green chromium oxide.
Sampai 10% pigmen dari berat ditambahkan, tergantung warna
beton yang diharapkan. Beton dan mortar yang diberi pigmen
mempunyai sifat yang hampir sama dengan beton dan mortar tanpa
pigmen, kecuali karbon hitam, yang mungkin mengakibatkan turunnya
kekatan tekan pada umur awal.
3. Bahan Pencegah Karatan
Penambahan klorida pada adukan beton menambah resiko
berkaratnya tulangan dalam beton. Apabila baja tulangan itu
ditempatkan dalam lingkungan dengan nilai pH = 10 – 12. yaitu biasa
kita jumpai jika tulangan tertanam dalam beton, maka tidak ada bahaya
korosi. Akan tetapi penambahan sejumlah kecil chlorida akan
menurunkan pH dari beton sehingga timbullah lingkungan baru yang
sangat korosif.
Bahaya korosi dapat dikurangi dengan menggunakan bahan
tambahan lain yang dibutuhkan bersama dengan calsium chlorida.
Natrium benzonat dan natrium nitrat membentuk lapisan protektif pada
baja tulangan sehingga dengan demikian baja tulangan itu dapat
terhindar dari korosi.
Sebanyak 5 % natrium nitrat dapat digunakan dalam kombinasi
dengan natrium benzonat. Hampir semua “corrosion inhibitor” adalah
bahan penghambat, oleh karena itu penggunaannya harus dalam
kombinasi dengan calsium chlorida.
4. Bahan Tambahan yang Dapat Mengembang
Bilamana expander bereaksi dengan semen, maka akan terjadi gas
(biasanya hidrogen) yang menyebabkan beton itu bertambah
volumenya. Dengan menambah kadar expander dalam beton, maka
terbentuklah apa yang dinaamakan aerated concrete (lightweight
concrete). Expanders biasanya digunakan sebagai bahan tambahan
untuk keperluan injeksi atau grouting agar semua lekuk-lekuk serta
celah-celah dalam ruangan dapat terisi penuh.
Expanders yang ada di pasaran, biasanya campuran dari bermacam
bahan tambahan seperti expanders, water reducer, dan bahan
penghambat (retarder). Expanders dipakai dalam pelaksanaan
pembetonan yang menggunakan cara penempatan agregat terlebih
dahulu dan baru kemudian grout itu dimasukkan kedalamnya.
5. Bahan Tambahan untuk Perekat (Bonding Admixture)
Bonding admixture (bahan tambahan perekat) adalah bahan
emulsion polimer organis (organic polymer emulsion), digunakn untuk
menambah sifat melekatnya antara beton dan mortar. Bahan pokok
dari bonding admixture adalah polyvinil acetate (PVA), styrene
butadiene (SBR) dan acrylic. Biasanya, emulsion synthetic lebih baik
dari karet alam (natural ruber atau latex coumpound).
PVA (bonding admixture) sangat sensitif terhadap kelembaban
sehingga kekuatan lekatan akan rusak oleh kondisi lembap. Styrene
butadiene dan acrylic emulsion tidak begitu sensitif terhadap kondisi
udara (moisture) tetapi lebih mahal. PVA emulsion merupakan bahan
yang mudah diserang sehingga kehilangan daya lekatnya (coating-
nya). Bahan tambahan bonding akan bermanfaat untuk patching dan
pekerjaan tambahan dimana penutup tepi diperlukan. Meningkatkan
kekuatan lekat, selain itu admixture bonding kemungkinan
memepengaruhi sifat-sifat berikut:
a. Menambah kekuatan tarik beton
b. Mengurangi penyusutan
c. Mengurangi modulus elastisitas
d. Mengurangi kekuatan tekan
6. Bahan-Bahan Tambahan Pembuat Beton Menjadi Kedap Air
Beton yang direncanakan dan kemudian dipadatkan dengan baik,
biasanya tahan terhadap air. Dalam hampir semua keadaaan,
ketidaktahanan beton terhadap air itu disebabkan oleh kekurangan atau
tidak sempurnanya struktur beton. Bahan-bahan tambahan yang dapat
menahan air (water replient additive) dapat menahan pengaruh
kekuatan-kekuatan kapiler, sehingga akan mencegah menjenuhnya
beton oleh air.
Bahan-bahan ini berupa bahan kimia yang tahan terhadap air,
seperti calsium stearat dan jenis-jenis sabun lainnya, emulsi-emulsi
minyak yang kesemuanya itu mengurangi absorbsi air dari sistem
kapiler.
7. Damp-proofing Admixture dan Integral Waterproff
Damp proofing admixture adalah bahan kimia untuk mengurangi
kehilangan kelembaban sehingga beton menjadi unsaturated (kering).
Bahan tersebut tidak mengurangi kekedapan dari beton dan tiak cocok
untuk ketahanan terhadap tekanan air. Material dasar dari damp
proofing admixture antara lain stearates, oleates, dan pitrolium
derivated.
Damp proofing admixture mengurangi daya resapan, kelembaban
kepori-pori beton dan menaikkan tingkat pemadatan air menjadi beton
kering. Bila dicampur dengan water reducer seperti lignosulphonate
memungkinkan damp proofing admixture akan lebih kedap.

2.2 Pemeriksaan Berat Volume Agregat


2.2.1 Tujuan Percobaan
Tujuan dari percobaan ini adalah menghitung berat volume agregat halus,
kasar, atau campuran.
2.2.2 Peralatan dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah:
a. Timbangan dengan ketelitian 0.1% berat contoh
b. Talam kapasitas cukup besar untuk mengeringkan contoh agregat
c. Tongkat pemadat diameter 15 mm, panjang 60 cm yang ujungnya
bulat, terbuat dari baja tahan karat
d. Mistar perata
e. Sekop
f. Agregat halus dan kasar
g. Wadah baja yang cukup berbentuk silinder dengan alat pemegang
sesuai dengan tabel berikut:

Tabel 2. 6. Spesifikasi Wadah Baja yang Digunakan dalam Praktikum

Tebal Wadah Ukuran butir max


Kapasitas Diameter Tinggi
Dasar Sisi agregat (mm)
2,832 152,4  2,5 154,92,5 5,08 2,54 12,7
9,345 203,2  2,5 292,12,5 5,08 2,54 25,4
14,158 254,0  2,5 279,42,5 5,08 3 38,1
28,316 355,6  2,5 284,42,5 5,08 3 101,6

2.2.3 Prosedur Percobaan


Prosedur dalam percobaan ini adalah memasukkan agregat ke dalam
talam sekurang-kurangnya sebanyak kapasitas wadah sesuai dengan tabel di
atas. Keringkan dalam oven, dengan suhu (110  5)0C sampai berat menjadi
tetap untuk digunakan sebagai benda uji.
a. Berat Isi Lepas
1. Menimbang dan mencatat berat wadah
2. Memasukkan benda uji dengan hati-hati agar tidak terjadi
pemisahan butir-butir dari ketinggian 5 cm di atas wadah dengan
menggunakan sendok atau sekop sampai penuh
3. Meratakan permukaan benda uji dengan menggunakan mistar perata
4. Menimbang dan mencatat berat wadah beserta benda uji (W2)
5. Menghitung berat benda uji (W3 = W2 - W1)
b. Berat Isi Agregat Ukuran Butir Maks. 38,1 mm (1,5”) dengan Cara
Penusukan
1. Menimbang dan mencatat berat wadah (W1)
2. Mengisi wadah dengan benda uji dalam tiga lapis yang sama tebal.
Setiap lapis dipadatkan dengan tongkat pemadat yang ditusukkan
sebanyak 25 kali secara merata
3. Meratakan permukaan bend uji dengan menggunakan mistar perata
4. Menimbang dan mencatat berat wadah beserta benda uji (W2)
5. Menghitung berat benda uji (W3 = W2 - W1)
c. Berat Isi pada Agregat Ukuran Butir Antara 38,1 mm (1,5”) Sampai
101,1 mm (4”) dengan Cara Penggoyangan
1. Menimbang dan mencatat berat wadah (W2)
2. Mengisi wadah dengan benda uji dalam tiga lapis yang sama tebal
3. Memadatkan setiap lapis dengan cara menggoyang-goyangkan
wadah dengan prosedur sebagai berikut:
4. Meletakkan wadah di atas tempat yang kokoh dan datar,
mengangkat salah satu sisinya kira-kira setinggi 5 cm kemudian
melepaskannya
5. Mengulangi hal ini pada sisi yang berlawanan. Memadatkan lapisan
sebanyak 25 kali untuk setiap sisi
6. Meratakan permukaan benda uji dengan menggunakan mistar perata
7. Menimbang dan mencatat berat wadah beserta benda uji (W2)
8. Menghitung berat benda uji (W3 = W2 - W1)
2.2.4 Rumus Perhitungan
Berat isi agregat = W3/V (kg/m3)
Dimana:
V = isi wadah (dm3)
2.2.5 Laporan Hasil Pengamatan

Tabel 2.7. Hasil Observasi Agregat Kasar

Observasi 1: Agregat Kasar


Gembur Padat
A Volume Wadah (L) 2,781 2,781
B Berat Wadah (Kg) 2,676 2,676
C Berat Wadah + Benda Uji (Kg) 6,31 6,762
D Berat Benda Uji (Kg) 3,634 4,086
E Berat Volume (Kg/L) 1,3067242 1,4692557

Tabel 2.8. Hasil Observasi Agregat Halus

Observasi 2: Agregat Halus


Gembur Padat
A Volume Wadah (L) 2,781 2,781
B Berat Wadah (Kg) 2,676 2,676
C Berat Wadah + Benda Uji (Kg) 6,882 7,186
D Berat Benda Uji (Kg) 4,206 4,51
1,51240
E Berat Volume (Kg/L) 1,621719
6

2.2.6 Perhitungan dan Pengolahan Data


a. Berat volume rata-rata agregat kasar = (1,3067242+1,4692557)/2 =
1,38799 kg/L
b. Berat volume rata-rata agregat halus = (1,512406+1,621719)/2 =
1,567063 kg/L
c. Berat volume agregat keseluruhan kondisi padat
= ((D/A)1+(D/A)2 )/2 = 1,545487 kg/L
d. Berat volume agregat keseluruhan kondisi gembur = ((D/A)1+
(D/A)2 )/2 = 1,409565 kg/L
2.2.7 Analisis Data
Agregat yang diuji pada percobaan pemeriksaan berat volume agregat
terdiri dari dua jenis, yaitu agregat halus dan agregat kasar, dengan dua kondisi
yang dipakai, yaitu kondisi padat dan kondisi gembur. Agregat halus yang
digunakan berupa pasir, sedangkan agregat kasar yang digunakan berupa
kerikil. Berat volume kerikil yang didapat dari perhitungan pada keadaan padat
adalah 1,4692557 kg/L dan pada saat gembur adalah 1,3067242 kg/L. Berat
volume pasir pada keadaan padat adalah 1,621719 kg/L dan pada keadaan
gembur adalah 1,512406 kg/L.
Berdasarkan data yang diperoleh dari percobaan, berat volume kondisi
padat selalu lebih besar dari berat volume saat kondisi gembur. Hal ini
disebabkan oleh masih banyak udara yang tersisa dalam benda uji ketika
kondisi gembur yang menyebabkan adanya ruang-ruang kosong. Akibat dari
hal tersebut, dalam keadaan gembur, berat benda uji akan menjadi lebih ringan.
Dari percobaan dianalisis juga perbandingan berat volume agregat halus
dan kasar. Berdasarkan data yang diperoleh, berat volume agregat halus lebih
besar dari berat volume agregat kasar. Terjadinya hal tersebut disebabkan oleh
agregat halus yang dapat memenuhi tempat lebih padat daripada agregat kasar.
Oleh karena itu, berat dari agregat halus yang ada di dalam wadah lebih besar
daripada agregat kasar. Berat volume tersebut memengaruhi jumlah agregat
yang digunakan untuk pencampuran.
2.2.8 Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan, didapatkan data sebagai berikut:
Agregat kasar
Berat volume agregat kasar pada kondisi gembur = 1,3067242 kg/L
Berat volume agregat kasar pada kondisi padat = 1,4692557 kg/L
Berat volume rata-rata agregat kasar = 1,38799 kg/L
Agregat halus
Berat volume agregat halus pada kondisi gembur = 1,512406 kg/L
Berat volume agregat halus pada kondisi padat = 1,621719 kg/L
Berat volume rata-rata agregat halus = 1,567063 kg/L

2.3 Analisis Saringan Agregat Kasar


2.3.1 Tujuan Percobaan
Tujuan dari percobaan ini adalah menentukan distribusi ukuran partikel
dari agregat kasar dengan uji saringan.
2.3.2 Peralatan dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum modul ini adalah:
a. Timbangan dan neraca dengan ketelitian 0,2% dari berat benda uji
b. Oven yang dilengkapi pengatur suhu untuk pemanasan sampai (110 ±
5)°C
c. Alat pemisah contoh (sample spliter)
d. Mesin penggetar saringan
e. Talam-talam
f. Kuas, sikat kawat, sendok, dan alat-alat lainnya
g. Agregat kasar berupa kerikil
h. Satu set saringan dengan ukuran sebagai berikut:

Tabel 2.9. Spesifikasi Set Saringan dan Ukuran Lubang

Ukuran Lubang (mm) Keterangan


25,4
19 Perangkat saringan untuk agregat kasar berat min contoh
9,5
4,75 3000 g
2,36
2.3.3 Prosedur Percobaan
a. Mengeringkan agregat sampel tes dengan berat yang telah ditentukan
pada temperatur (110 ± 5)°C, kemudian mendinginkan pada
temperatur ruangan
b. Menimbang kembali berat sampel agregat yang digunakan
c. Mempersiapkan saringan yang akan digunakan
d. Meletakkan sampel agregat di atas saringan setelah saringan disusun
e. Menggoyangkan saringan dengan tangan atau mesin
f. Menghitung berat agregat pada masing-masing nomer saringan
g. Membandingkan total berat agregat setelah dilakukan saringan dengan
berat semula. Jika perbedaannya lebih dari 0,3% dari berat semula
sampel agregat yang digunakan, maka hasilnya tidak dapat digunakan.
2.3.4 Rumus Perhitungan
a. Per saringan
Persentase berat yang tertahan = (berat yang tertahan)/(berat total)
x100%
b. Kumulatif
1. Persentase berat yang tertahan kumulatif saringan 25,4 mm (a) = 0
2. Persentase berat yang tertahan kumulatif saringan 19 mm (b) = %
tertahan 19 mm + a
3. Persentase berat yang tertahan kumulatif saringan 9,5 mm (c) = %
tertahan 9,5 mm + b
4. Persentase berat yang tertahan kumulatif saringan 4,75 mm (d) = %
tertahan 4,75 mm + c
5. Persentase berat yang tertahan kumulatif saringan 2,36 mm (e) = %
tertahan 2,36 mm + d
6. Persentase berat agregat yang lolos = 100% - persentase berat
agregat yang tertahan kumulatif
2.3.5 Laporan Hasil Pengamatan
Tabel 2.10. Hasil Percobaan Analisis Saringan Agregat Kasar
Berat Awal
2498
(gr)
Analisis Saringan Agregat Kasar
Berat Persentase Persentas SPEC
Ukuran Persentase
Tertahan Tertahan e Lolos ASTM
Saringan (mm) Tertahan
(gr) Kumulatif Kumulatif C33-90
25,4 0 0,000% 0,000% 100,000% 100
19 493 19,736% 19,736% 80,264% 95-100
9,5 1899 76,021% 95,757% 4,243% 80-100
4,75 103 4,123% 99,880% 0,120% 50-85
2,36 3 0,120% 100,000% 0,000% 25-60
PAN 0,000% 100,000% 0,000% 10-30

2.3.6 Perhitungan dan Pengolahan Data


Persentase tertahan
Persentase tertahan = 0/2498 x 100% = 0% (25,4 mm)
Persentase tertahan = 493/2498 x 100% = 19,736% (19 mm)
Persentase tertahan = 1899/2498 x 100% = 76,021% (9,5 mm)
Persentase tertahan = 103/2498 x 100% = 4,123% (4,75 mm)
Persentase tertahan = 3/2498 x 100% = 0,12% (2,36 mm)
Persentase tertahan kumulatif
% tertahan kumulatif saringan 25,4 mm (a) = 0
% tertahan kumulatif saringan 19 mm (b) = % tertahan 19 mm + a = 19,736%
% tertahan kumulatif saringan 9,5 mm (c) = % tertahan 9,5 mm + b = 95,757%
%tertahan kumulatif saringan 4,75 mm (d) = % tertahan 4,75 mm + c = 99,88%
%tertahan kumulatif saringan 2,38 mm (e) = % tertahan 2,38 mm + d = 100%
Persentase berat agregat yang lolos = 100% - 100% = 0%

Kurva Gradasi Agregat Kasar


120.00%

100.00%

80.00%
Persen Lolos Kumulatif

percobaan
60.00% maks
minimum

40.00%

20.00%

0.00%
0 5 10 15 20 25 30
Ukuran Lubang Saringan (mm)

Grafik 2.1. Kurva Gradasi Agregat Kasar


2.3.7 Analisis Data
Kurva gradasi benda uji agregat kasar berada di luar kurva maksimum
dan minimum dari kurva batas gradasi kerikil ukuran maksimum 30 mm.
Berdasarkan hal tersebut, benda uji agregat kasar yang digunakan termasuk ke
dalam jenis kerikil ukuran maksimum 30 mm dan tidak memiliki gradasi yang
baik. Analisis saringan dilakukan untuk menentukan distribusi ukuran agregat
kasar. Komposisi tersebut disesuaikan dengan kebutuhan yang diperlukan untuk
mix design nanti. Standar lain yang harus ditentukan adalah modulus kehalusan,
jenis agregat kasar, dan jenis agregat halus.

2.3.8 Kesimpulan
a. Persentase berat agregat yang lolos = 0%
b. Persentase berat agregat yang tertahan = 100%
c. Agregat kasar yang dipakai memiliki ukuran maksimum 30 mm, dan
tidak memiliki gradasi yang baik karena berada di luar grafik gradasi
maksimum dan minimum.

2.4 Analisis Saringan Agregat Halus


2.4.1 Tujuan Percobaan
Tujuan dari percobaan analisis saringan agregat halus adalah untuk
menentukan distribusi ukuran partikel (modulus kehalusan) agregat halus
dengan uji saringan
2.4.2 Peralatan dan Bahan
a. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum modul ini adalah
1. Timbangan dan neraca dengan ketelitian 0,2% dari berat benda uji
2. Satu set saringan dengan ukuran sebagai berikut

Tabel 2.11. Spesifikasi Saringan Agregat Halus

Nomor Ukuran Lubang


Keterangan
Saringan mm in
- 9,5 3/8 Perangkat
No. 4 4,75 - saringan untuk
No. 6 2,36 - agregat halus
No. 16 1,18 -
No. 30 0,6 -
No. 50 0,003 - berat minimum
No. 100 0,150 - contoh 500 g
No. 200 0,075 -

3. Oven yang dilengkapi pengatur suhu untuk pemanasan sampai (110


± 5)°C.
4. Alat pemisah contoh (sample spliter)
5. Mesin penggetar saringan
6. Talam-talam
7. Kuas, sikat kawat, sendok, dan alat-alat lainnya
b. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum modul ini adalah agregat
halus berupa pasir.
2.4.3 Prosedur Percobaan
a. Mengeringkan agregat sampel tes dengan berat yang telah ditentukan
pada temperatur (110 ± 5)°C, kemudian mendinginkan pada
temperatur ruangan
b. Menimbang kembali berat sampel agregat yang digunakan
c. Mempersiapkan saringan yang akan digunakan
d. Meletakkan samel agregat di atas saringan setelah saringan disusun
e. Menggoyangkan saringan dengan tangan/mesin
f. Menghitung berat agregat pada masing-masing nomer saringan
g. Membandingkan total berat agregat setelah dilakukan saringan dengan
berat semula. Jika perbedaannya lebih dari 0,3% dari berat semula
sampel agregat yang digunakan, maka hasilnya tidak dapat digunakan.
2.4.4 Rumus Perhitungan
Rumus perhitungan yang dipakai dalam modul praktikum ini adalah
perhitungan persentase berat kerikil yang tertahan yang dirumuskan sebagai:
Berat agregat tertahan
Persentase tertahan= x 100 %
Berat agregat total
Dihitung persentase tertahan kumulatif tiap-tiap saringan dan hasil
penjumlahan dari seluruh persentase kumulatif tersebut menghasilkan modulus
kehalusan agregat (Mf)

% Tertahan kumulatif 9,5 mm ( a )=%Tertahan 9,5 mm


% Tertahan kumulatif 4,75mm ( b )=a+ %Tertahan 4,75 %
% Tertahan kumulatif 2,36 mm ( c )=b+%Tertahan 2,36 %
% Tertahan kumulatif 1,18 mm ( d )=c+%Tertahan 1,18 %
% Tertahan kumulatif 0,6 mm ( e )=d+%Tertahan 0,6 %
% Tertahan kumulatif 0,3 mm ( f )=e +%Tertahan 0,3 %
% Tertahan kumulatif 0,15 mm ( g )=f +%Tertahan 0,15 %
% Tertahan kumulatif 0,075 mm ( h ) =g +%Tertahan 0,075 %

a+ b+c +d +e +f + g
Modulus Kehalusan ( Mf )=
100 %
Selain persentase tertahan kumulatif, juga dilakukan perhitungan persen
lolos kumulatif dengan rumus:
% lolos kumulatif ( 1 )=100 %−%Tertahan kumulatif 9,5 mm
%lolos kumulatif ( 2 )=%lolos kumulatif (1 )−%tertahan kumulatif 4,75 mm
%lolos kumulatif ( 3 ) =%lolos kumulatif ( 2 )−%tertahan kumulatif 2,36 mm
%lolos kumulatif ( 4 )=%lolos kumulatif ( 3 )−%tertahan kumulatif 1,18 mm
%lolos kumulatif ( 5 ) =%lolos kumulatif ( 4 )−%tertahan kumulatif 0,6 mm
%lolos kumulatif ( 6 )=%lolos kumulatif ( 5 )−%tertahan kumulatif 0,3 mm
%lolos kumulatif ( 7 ) =%lolos kumulatif ( 6 ) −%tertahan kumulatif 0,015 mm
dan seterusnya.
2.4.5 Laporan Hasil Pengamatan
Tabel 2.12. Hasil Percobaan Analisis Saringan Agregat Halus

Berat Contoh: 500 gr


Persentas
Ukuran Berat Persentase SPEC
Persentase e
Saringan Tertaha Lolos ASTM
Tertahan Tertahan
(mm) n (gr) Kumulatif C33-90
Kumulatif
9,5 2 0,400% 0,400% 99,600% 100
4,75 30 6,000% 6,400% 93,600% 95-100
2,36 49 9,800% 16,200% 83,800% 80-100
1,18 78 15,600% 31,800% 68,200% 50-85
0,6 131 26,200% 58,000% 42,000% 25-60
0,3 88 17,600% 75,600% 24,400% 10-30
0,15 76 15,200% 90,800% 9,200% 2-10
0,075 35 7,000% 97,800% 2,200%
PAN 11 2,200% 100,000% 0,000%
Modulus kehalusan 373,800%/100% = 3,738
2.4.6 Perhitungan dan Pengolahan Data
a. Persentase tertahan
2
Persentase tertahan 9,5 mm= x 100 %=0,4 %
500
30
Persentase tertahan 4,75 mm= x 100 %=6 %
500
49
Persentase tertahan 2,36 mm= x 100 %=9,8 %
500
78
Persentase tertahan 1,18 mm= x 100 %=15,6 %
500
131
Persentase tertahan 0,6 mm= x 100 %=26,2 %
500
88
Persentase tertahan 0,3 mm= x 100 %=17,6 %
500
76
Persentase tertahan 0,15 mm= x 100 %=15,2%
500
35
Persentase tertahan 0,075= x 100 %=7 %
500
b. Persentase tertahan kumulatif
% tertahan kumulatif saringan 9,5mm ( a )=0,4 %
%tertahan kumulatif saringan 4,75mm ( b )=0,4 %+6 %=6,4 %
%tertahan kumulatif saringan2,36 mm ( c )=6,4 %+ 9,8 %=16,2%
%tertahan kumulatif saringan1,18 mm ( d )=16,2 %+ 15,6 %=31,8 %
%tertahan kumulatif saringan0,6 mm ( e )=31,8 % +26,2 %=58 %
%tertahan kumulatif saringan0,3 mm ( f )=58 %+ 17,6 %=75,6 %
%tertahan kumulatif saringan0,15 mm ( g )=75,6 % +15,2 %=90,8 %
%tertahan kumulatif saringan0.075 mm ( h ) =90,8 %+7 %=97,8 %

c. Modulus Kehalusan Agregat Halus


a+b+ c+ d+ e+ f + g+h
Mf =
100 %

0,4 %+ 6,4 %+16,2 % +31,8 %+58 % +75,6 %+ 90,8 %+ 97,8 %


Mf =
100 %
Mf =3,738
d. Persentase Lolos Kumulatif
%lolos kumulatif 9,5 mm=100 %−0,4 %=99,6 %
%lolos kumulatif 4,75 mm=99,6 %−6 %=93,6 %
%lolos kumulatif 2,36 mm=93,6−9,8 %=83,8 %
%lolos kumulatif 1,18 mm=83,8 %−15,6 %=68,2 %
%lolos kumulatif 0,6 mm=68,2 %−26,2 %=42 %
%lolos kumulatif 0,3 mm=42 %−17,6 %=24,4 %
%lolos kumulatif 0,15 mm=24,4 %−15,2 %=9,2 %
%lolos kumulatif 0,075 mm=9,2 %−7 %=2,2 %

Kurva Gradasi Agregat Halus


120%

100%
Persentase Lolos Kumulatif

80%
Percobaan
60% Maksimum
Minimum
40%

20%

0%
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Diameter Saringan (mm)

Grafik 2.2. Kurva Gradasi Agregat Halus

2.4.7 Analisis Data


Analisis saringan dilakukan untuk menemukan standar tertentu yang tepat
dalam menemukan komposisi yang dibutuhkan. Komposisi tersebut disesuaikan
dengan desain pencampuran (trial mix). Beberapa standar yang ingin ditentukan
adalah modulus kehalusan, dan jenis agregat halus.
Modulus kehalusan yang didapat adalah bernilai 3,738. Nilai tipikal
modulus kehalusan adalah 1,5-3. Semakin kecil nilai modulus kehalusan, maka
pasir yang ditinjau semakin halus. Modulus kehalusan yang didapatkan bernilai
lebih besar dari nilai tipikal. Hal ini mengindikasikan bahwa agregat halus yang
dipakai didalam percobaan memiliki gradasi yang kasar.
Selain dari nilai modulus kehalusan, syarat yang harus dipenuhi dapat
ditinjau dengan kurva gradasi agregat halus. Kurva maksimum dan minimum
merupakan batas-batas yang harus dipenuhi sebagai persyaratan agar agregat
halus dapat dipakai Berdasarkan data yang didapatkan dari hasil percobaan,
kurva gradasi agregat halus hasil percobaan berada di antara kurva gradasi
minimum dan maksimum pada saringan SPEC ASTM C33-90. Hal ini
mengindikasikan bahwa agregat halus hasil percobaan tersebut memenuhi
persyaratan dan layak dipakai untuk pembuatan beton.
2.4.8 Kesimpulan
Agregat halus yang diuji memiliki gradasi yang lebih kasar dari gradasi
tipikal karena memiliki modulus kehalusan lebih besar dari 3, yaitu senilai
3,738. Walaupun begitu, agregat halus ini masih memenuhi syarat untuk
digunakan sebagai bahan campuran pada beton karena kurva gradasi hasil
agregat halus yang diuji coba masih berada diantara grafik maksimum dan
minimum.
2.5 Pemeriksaan Kadar Air Agregat
2.5.1 Tujuan Percobaan
Tujuan dari praktikum modul ini adalah menentukan besarnya kadar air
yang terkandung dalam agregat dengan cara pengeringan. Kadar air agregat
adalah perbandingan antara berat agregat dalam kondisi kering terhadap berat
semula yang dinyatakan dalam persen. Nilai kadar air ini digunakan untuk
koreksi takaran air untuk adukan beton yang disesuaikan dengan kondisi
agregat di lapangan.
2.5.2 Peralatan dan Bahan
a. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum modul ini adalah
1. Timbangan dengan ketelitian 0.1% berat contoh
2. Oven suhunya dapat diatur sampai (110 ± 5)°C
3. Talam logam tahan karat berkapasitas cukup besar bagi tempat
pengeringan benda uji
b. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum modul ini adalah agregat
dengan diameter maksimum 5 mm dengan berat minimum 0,5 kg.
2.5.3 Prosedur Percobaan
a. Menimbang dan mencatat berat talam (W1).
b. Memasukkan benda uji ke dalam talam, kemudian menimbang berat
talam dan benda uji. Mencatat beratnya (W2).
c. Menghitung berat benda uji (W3 = W2 – W1).
d. Mengeringkan contoh benda uji bersama talam dalam oven pada suhu
(110 ± 5)°C hingga beratnya tetap.
e. Menimbang dan mencatat berat benda uji beserta talam setelah kering
(W4).
f. Menghitung berat benda uji kering (W5 = W4 – W1).
2.5.4 Rumus Perhitungan
W 3 −W 5
Kadar air dalam agregat= x 100 %
W5
Keterangan:
W3 = berat contoh semula (gr)
W5 = berat contoh kering (gr)
Kadar air dalam agregat dalam persen (%)
2.5.5 Laporan Hasil Pengamatan

Tabel 2.13. Pemeriksaan Kadar Air Agregat Halus (Pasir)


Observasi I (Pasir)
A. Berat Wadah -
B. Berat Wadah + Benda Uji -
C. Berat Benda Uji (W 3 ) 1161 gram
D. Berat Benda Uji Kering (W 5 ) 968 gram

Kadar air 19,938 %

Tabel 2.14. Pemeriksaan Kadar Air Agregat Kasar


Observasi II (Kerikil)
A. Berat Wadah -
B. Berat Wadah + Benda Uji -
C. Berat Benda Uji (W 3 ) 1890 gram
D. Berat Benda Uji Kering (W 5 ) 1758 gram

Kadar air 7,509 %


2.5.6 Perhitungan dan Pengolahan Data
1161−968
Kadar air dalam agregat halus= x 100 %=19,938 %
968
1890−1758
Kadar air dalam agregat kasar = x 100 %=7,509 %
1758
19,938+7,509
Kadar air rata−rata= %=13,723 %
2
Presentasi adsorbsi agregat halus = 6,157 %
Presentasi adsorbsi agregat kasar = 4,471 %
2.5.7 Analisis Data
Dalam proses pembuatan beton, kadar air yang digunakan haruslah sesuai
dengan rasio air/semen. Apabila kadar air pada campuran kurang dari yang
dibutuhkan, maka semen tidak akan terhidrasi dengan sempurna, namun tetapi
kadar air pada campuran berlebih dari yang seharusnya, maka campuran beton
akan menjadi terlalu lecak. Oleh karena itu, sebelum melakukan perencanaan
campuran beton, haruslah dilakukan perhitungan kadar air pada agregat dan
kadar air pada rasio air/semen.
Jika kadar air agregat melebihi kemampuan penyerapan agregat, maka
agregat sudah mengalami kejenuhan dan mengandung air berlebih, maka harus
mengurangi kadar air bebas agar komposisi tetap seimbang, dan demikian pula
sebaliknya. Dari data di atas dapat dilihat bahwa persentase kadar air agregat
kasar lebih kecil daripada agregat halus. Pesentase penyerapan air ini
dikarenakan luas permukaan agregat halus lebih besar dibandingkan dengan
agregat kasar.
Dari percobaan yang telah dilakukan, kita dapatkan bahwa kadar air
agregat kasar yang berupa kerikil adalah 7,509 % dan kadar air agregat halus
yang berupa pasir adalah 19,938%. Besar kadar air bila bandingkan dengan
nilai absorpsi dari kedua agregat yaitu lebih besar, maka agregat kasar dan
jenuh tersebut menghasilkan air atau terlampau jenuh.
2.5.8 Kesimpulan
Adanya perbedaan kadar air normal pada agregat halus dan kasar
disebabkan oleh sifat dari agregat halus itu sendiri yang mudah untuk menyerap
air. Kadar air agregat kasar dan halus yang didapat berturut-turut adalah
7,509% dan 19,938%. Agregat kasar dan agregat halus yang diuji mengandung
air yang berlebih sehingga dapat menambah kandungan air pada campuran
beton dan sangat tidak disarankan penggunaannya.

2.6 Analisis Specific Gravity dan Penyerapan Agregat Halus


2.6.1 Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini adalah menentukan nilai specific gravity dan
penyerapan agregat halus. Dari specific gravity dapat menentukan nilai bulk
specific gravity kondisi kering, bulk specific gravity kondisi SSD, apparent
specific gravity, dan persentase absorbsi. Nilai bulk specific gravity adalah
karakteristik umum yang digunakan untuk menghitung volume yang
ditempatkan oleh agregat dalam berbagai campuran, termasuk semen, beton,
aspal, dan campuran lainnya yang proporsional, baik saat agregat halus dalam
kondisi kering maupun SSD.
2.6.2 Alat dan Bahan
a. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum modul ini adalah:
1. Timbangan dengan ketelitian 0,1 gram atau kurang yang
mempunyai kapasitas minimum sebesar 1000 gram atau lebih.
2. Piknometer dengan kapasitas 500 gram.
3. Cetakan kerucut pasir.
4. Tongkat pemadat dari logam untuk cetakan kerucut pasir.
b. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum modul ini adalah agregat
halus berupa pasir. Berat contoh agregat halus disiapkan sebanyak 1000
gram. Contoh diperoleh dari bahan yang diproses melalui alat pemisah
atau perempatan.
2.6.3 Prosedur Percobaan
a. Mengeringkan agregat halus yang jenuh air sampai diperoleh kondisi
kering dengan indikas contoh tercurah dengan baik.
b. Memasukkan sebagian dari contoh ke dalam metal sand cone mold.
Benda uji dipadatkan dengan tongkat pemadat (tamper). Jumah
tumbukan adalah 25 kali. Kondisi SSD diperoleh, jika cetakan
diangkat, butir-butir pasir longsor/ runtuh.
c. Memasukkan contoh agregat halus sebesar 500 gram ke dalam
piknometer. Mengisi piknometer dengan air sampai 90% penuh.
Menggoyang-goyangkan piknometer untuk membebaskan gelembung-
gelembung udara. Piknometer direndam dengan suhu air (73,4 ± 3)℉
selama 24 jam. Berat piknometer yang berisi contoh dengan air
ditimbang.
d. Memisahkan benda uji dari piknometer dan mengeringkannya pada
suhu (213 ± 130)℉. Langkah ini harus diselesaikan dalam waktu 24
jam (1 hari)
e. Menimbang berat piknometer yang berisi sesuai dengan kapasitas
kalibrasi pada temperatur (73,4 ± 3)℉ dengan ketelitian 0,1 gram.
2.6.4 Rumus Perhitungan
E
a. Ap parent Specific Gravity=
( E+ D−C )
E
b. Bulk Specific Gravity kondisi kering=
( B+ D−C )
B
c. Bulk Specific Gravity kondisi SSD=
( B+ D−C )
B−E
d. Presentase Absorbsi= x 100 %
E
Dimana:
A = Berat Piknometer
B = Berat contoh kondisi SSD
C = Berat piknometer + air + contoh SSD
D = Berat piknometer + air
E = Berat contoh kering
2.6.5 Laporan Hasil Pengamatan
Tabel 2.15. Tabel Hasil Pengamatan

A Berat Piknometer 170


B Berat Contoh Kondisi SSD 500
C Berat Piknometer + air + contoh SSD 958
D Berat piknometer + air 667
E Berat contoh kering 471

2.6.6 Pengolahan Data Praktikum


471
a. Apparent Specific Gravity= =2,617
471+ 667−958
471
b. Bulk SG ( kering )= =2,254
500+667−958
500
c. Bulk SG ( SSD ) = =2,392
471+ 667−958
500−471
d. Persentase Absorbsi= x 100 %=6,157 %
471
2.6.7 Analisis Data
Dari percobaan ini diperoleh apparent specific gravity dari sampel adalah
2,617, bulk specific gravity (kering) adalah 2,254 serta bulk specific gravity
(SSD) adalah 2,392. Nilai bulk specific gravity pada kondisi SSD lebih besar
dibandingkan dengan kondisi kering oven dikarenakan pada kondisi SSD
terdapat air yang mengisi pori-pori agregat dengan persentase absorpsi air
adalah 6,157%. Persentase absorpsi akan digunakan untuk mengoreksi
penambahan air yang dibutuhkan untuk campuran beton.
2.6.8 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan dan pengolahan data yang dilakukan, maka
ditentukan
a. Apparent Specific Gravity sebesar 2,617
b. Bulk Spesific Gravity (kering) sebesar 2,254
c. Bulk Spesific Gravity (SSD) sebesar 2,392
d. Persentase Absorbsi sebesar 6,157%

2.7. Analisis Specific Gravity dan Agregat Kasar


2.7.1. Tujuan Percobaan
Tujuan dilakukannya percobaan ini adalah untuk menentukan specific
gravity dan penyerapan agregat kasar. Specific gravity yang telah dicari dapat
menentukan nilai bulk specific gravity, bilk specific gravity SSD, atau apparent
specific gravity.
2.7.2. Peralatan dan Bahan
Alat dan bahan yang diperlukan untuk melakukan percobaan ini adalah:
a. Timbangan dengan ketelitian 0,5 gram yang mempunyai kapasitas 5 kg
b. Keranjang besi diameter 203,2 mm (8”) dan tinggi 63,5 mm (2,5”)
c. Alat penggantung keranjang
d. Handuk atau kain pel
e. Benda uji (agregat kasar) dalam keadaan kering muka (SSD = Surface
Saturated Dry)
2.7.3. Prosedur Percobaan
a. Benda uji direndam selama 24 jam
b. Benda uji dikeringkan permukaannya (kondisi SSD) dengan
menggulungkan handuk pada butiran
c. Timbang contoh. Hitung berat contoh kondisi SSD = A
d. Contoh benda uji dimasukkan ke keranjang dan direndam kembali di
dalam air. Temperatur air dijaga (73,4 ± 3)0F, dan kemudian
ditimbang, setelah itu keranjang digoyang-goyangkan di dalam air
untuk melepaskan udara yang terperangkap. Hitung berat contoh
kondisi jenuh = B
e. Contoh dikeringkan pada temperatur (212 – 130)0F. setelah
didinginkan kemudian ditimbang. Hitung berat contoh kondisi kering
= C.
2.7.4. Rumus Perhitungan
Rumus-rumus yang diperlukan untuk percobaan ini adalah:
a. Apparent Specific Gravity = C/(C-B)
b. Bulk Specific Gravity kondisi kering = C/(A-B)
c. Bulk Specific Gravity kondisi SSD = A/(A-B)
d. Persentasi absorpsi = (A-C)/C x 100%
2.7.5. Data Pengamatan
Setelah percobaan dilakukan, didapat data-data berat contoh kondisi SSD,
berat contoh kondisi jenuh, dan berat contoh kondisi kering sebagai berikut:
a. Berat contoh kondisi SSD (A) = 2500 gram
b. Berat contoh dalam air (B) = 1548 gram
c. Berat contoh kering udara (C)= 2393 gram
2.7.6. Pengolahan Data Praktikum
Data pengamatan telah didapat pada subsubbab sebelumnya, maka data
tersebut dapat diolah dengan mencari nilai Apparent Specific Gravity, Bulk
Specific Gravity kondisi kering, Bulk Specific Gravity kondisi SSD, dan
persentasi absorpsi. Nilai-nilainya adalah sebagai berikut:
a. Apparent Specific Gravity = C/(C-B) = 2,8319527
b. Bulk Specific Gravity kondisi kering = C/(A-B) = 2,5136555
c. Bulk Specific Gravity kondisi SSD = A/(A-B) = 2,6260504
d. Persentasi absorpsi = (A-C)/C x 100% = 4,471 %
2.7.7. Analisis Data
Agregat yang diuji pada percobaan ini adalah agregat kasar, biasanya
berbentuk kerikil atau sejenisnya. Data pengamatan yang diperoleh
menunjukkan bahwa agregat kasar dalam kondisi SSD lebih berat dibandingkan
dengan agregat kasar dalam keadaan kering udara. Hal ini dikarenakan saat
kondisi SSD¸agregat kasar masih memiliki kandungan air di dalam agregat
kasar tersebut, dan permukaannya dalam keadaan lembab walaupun sudah
dikeringkan dengan handuk, sedangkan pada kondisi kering udara, benda uji
dikeringkan pada suhu yang tinggi sehingga air yang berada di dalam agregat
menguap. Akibatnya agregat benar-benar kering, baik dari luar maupun dari
dalam. Akibatnya, berat agregat dalam kondisi kering juga lebih kecil daripada
agregat dalam kondisi SSD.
Persentasi perbandingan selisih berat agregat yang terukur dari kedua
kondisi (SSD dengan kering udara) dengan agregat pada kondisi kering udara
disebut persentasi absorpsi. Persentasi absorpsi yang dihasilkan sebesar 4,471
%.
Bulk Specific Gravity agregat pada kondisi SSD juga lebih besar daripada
Bulk Specific Gravity agregat pada kondisi kering udara karena alasan yang
sama dengan sebelumnya bahwa agregat pada kondisi kering udara sudah
dikeringkan dengan suhu yang tinggi, akibatnya kandungan air yang berada di
dalam agregat menguap.
Apparent Specific Gravity adalah perbandingan berat agregat dalam
kondisi kering dengan selisih berat agregat yang terukur dari kedua kondisi
(SSD dengan kering udara). Nilai Apparent Specific Gravity yang didapat
sebesar 2,8319527.
2.7.8. Kesimpulan
Berdasar pada hasil percobaan, didapat data sebagai berikut:
a. Apparent Specific Gravity = 2,8319527
b. Bulk Specific Gravity kondisi kering = 2,5136555
c. Bulk Specific Gravity kondisi SSD = 2,6260504
d. Persentasi absorpsi = 4,471 %
2.8. Pemeriksaan Kadar Lumpur dalam Agregat Halus
2.8.1. Tujuan Percobaan
Pemeriksaan ini bertujuan menentukan besarnya (persentase) kadar
lumpur dalam agregat halus yang digunakan sebagai campuran beton.
Kandungan lumpur < 5% merupakan ketentuan bagi penggunaan agregat halus
untuk pembuatan beton.
2.8.2. Peralatan dan Bahan
a. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum modul ini adalah:
1. Gelas ukur
2. Alat pengaduk
b. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah contoh pasir
secukupnya dalam kondisi lapangan dengan bahan pelarut biasa.
2.8.3. Prosedur Percobaan
a. Memasukkan contoh benda uji ke dalam gelas ukur.
b. Menambahkan air pada gelas ukur sebagai pelarut lumpur.
c. Mengocok gelas untuk mencuci agregat halus dari lumpur.
d. Menyimpan gelas pada tempat yang datar dan membiarkan lumpur
mengendap setelah 24 jam.
e. Mengukur tinggi pasir dan tinggi lumpur.
2.8.4. Rumus Perhitungan
V2
Kadar lumpur = x 100 %
V 1 +V 2
Keterangan:
V 1 = tinggi pasir
V 2 = tinggi lumpur
Kadar lumpur pada agregat dalam persen (%)

2.8.5. Laporan Hasil Pengamatan


Setelah dilakukan percobaan pada praktikum ini diperoleh data sebagai
berikut:
Tinggi pasir (V1) = 128 mm
Tinggi lumpur (V2) = 16 mm
2.8.6. Perhitungan dan Pengolahan Data
16 ml
Kadar lumpur = × 100 %=11.11%
16 ml +128 ml
2.8.7. Analisis Data
Kadar lumpur yang terlalu banyak dapat mengakibatkan berubahnya
adukan atau campuran beton. Ketika beton masih muda, pengikatan antara
semen dengan agregat akan terganggu. Dengan banyaknya lumpur, maka
hidrasi semen tidak akan sempurna dan akan mengurangi kekuatan beton yang
dibuat.
Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh kadar lumpur pada agregat
halus adalah 11,11%. Kadar lumpur dalam agregat halus yang masih bisa
ditoleransi adalah dibawah 5%, sehingga agregat halus tersebut tidak
disarankan untuk digunakan sebagai campuran beton. Hal ini dikarenakan
lumpur dapat menghalangi pengingkatan antar agregat dalam beton sehingga
kekuatan beton menurun.
2.8.8. Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan, diperoleh data kadar lumpur pada agregat
halus yang diujikan sebesar 11,11 %. Sehingga agregat halus yang diujikan
tidak memenuhi persyaratan pembuatan beton, karena dapat menurunkan mutu
beton.
2.9. Pemeriksaan Zat Organik pada Agregat Halus
2.9.1. Tujuan Pecobaan
Tujuan percobaan ini adalah untuk menentukan kadar organik yang
terkadung dalam agregat halus.
2.9.2. Peralatan dan Bahan
a. Alat
1. Botol gelas tembus pandang
2. Penutup karet
3. Standar warna (Organic Plate)
b. Bahan
1. Larutan NaOH
2. Pasir dengan volume 115 ml
2.9.3. Prosedur Percobaan
a. Masukkan 115 ml pasir ke dalam botol tembus pandang (kurang lebih
1/3 isi botol)
b. Tambahkan larutan NaOH 3% hingga isinya mencapai ¾ dari volume
botol
c. Tutup botol gelas tersebut dan mengocok hingga lumpur yang
menempel pada agregat terpisah
d. Biarkan campuran selama 24 jam hingga lumpur mengendap secara
keseluruhan
e. Bandingkan warna cairan dengan standar warna nomor 3 pada organic
plate
2.9.4. Laporan Hasil Pengamatan
Setelah dilakukan percobaan terhadap agregat halus untuk menentukan
kandungan kadar organik, didapatkan hasil pengamatan sebagai berikut :

Gambar 2.1. Kandungan Kadar Organik Setelah 24 Jam

Berdasarkan percobaan yang dilakukan terdapat perubahan warna pada


kondisi agregat setelah dilakukan pencampuran dengan NaOH yaitu warna
cokelat kekuningan.

Dari
Gambar 2.2. Skala Warna Kadar Organik
hasil percobaan
dilakukan, didapatkan bahwa warna hasil percobaan lebih terang dibandingkan
dengan standar warna nomor 3 yang menandakan bahwa kadar organik pada
agregat halus yang diuji memiliki kandungan kadar organik yang rendah.
2.9.5. Analisis Data
Percobaan yang telah dilakukan bertujuan untuk menentukan kadar
organik dari agregat halus. Dari hasil eksperimen menujukkan bahwa kadar
organik pada agregat halus yang diuji ialah rendah. Perubahan warna terjadi
diakibatkan oleh reaksi yang terjadi antar zat organik dengan larutan NaOH 3%
yang menyebabkan terjadinya perubahan warna. Dari hasil yang telah didapat
menunjukkan agregat halus dari benda uji yang telah dicoba menunjukkan
standar yang baik jika digunakan. Suatu agregat halus jika memiliki kadar
organic yang rendah memiliki nilai positif pada mutu beton itu sendiri, hal ini
dikarenakan zat organik sangat merugikan pada kompisisi beton itu sendiri. Zat
organik akan menghalangi interaksi langsung antara agregat halus dengan
ikatan antar air dan semen sehingga sangat menurunkan kekuatan beton itu
sendiri. Untuk agregat halus yang memiliki kandungan bahan organik dengan
skala warna yang menunjukkan nomor 1 dan 2 maka agregat halus tersebut
tidak perlu dilakukan pecucian telebih dahulu. Pada agregat halus yang
menunjukkan skala warna 3 dan 4 maka perlu dilakukan pencucian terlebih
dalulu untuk mengurangi jumlah dari kadar organik pada agregat halus. Dan
terakhir jika terdapat hasil pengujian kadar agregat yang menunjukkan skala
warna nomor 5 maka agregat halus tersebut diupayakan untuk tidak digunakan,
sekali lagi dikarena akan menghambat reaksi antar komponen penyusun beton
yang akan mempengaruhi kualitas beton itu sendiri.
2.9.6. Kesimpulan
a. Dari hasil eksperimen menunjukkan warna pada agregat halus yang
telah diuji ialah skala 2 dari 5, hal ini membuktikan bahwa kadar
organik pada agregat halus tersebut adalah rendah.
b. Kadar organik yang rendah merupakan salah satu hal yang ingin
dicapai dalam komponen penysusun beton
c. Dengan kadar organik yang rendah maka komposisi penyusun beton
akan berinteraksi lebih kuat tanpa adanya zat pengganggu yang
menghalangi interaksi antara mortar dengan agregat penyusunnya.
d. Agregat hasil uji kadar organic menunjukkan skala warna nomor 2 hal
ini menunjukkan bahwa agregat tidak perlu dilakukan pencucian
terlebih dahulu
BAB III
RANCANGAN CAMPURAN BETON

3.1. Pengertian dan Tujuan


Beton adalah salah satu bahan konstruksi sipil yang biasa digunakan menjadi
bahan dasar untuk membangun suatu bangunan. Untuk membuat beton, diperlukan
rancangan untuk campuran beton, dengan campuran beton tersebut meliputi air,
agregat, semen, dan admixtures. Jenis beton sendiri berdasarkan kekuatan tekannya
dibagi menjadi dua, yaitu beton normal (kekuatan tekan kurang dari 40 MPa) dan
beton mutu tinggi dan kinerja tinggi (kekuatan tekan 40 MPa atau lebih).
Tujuan dari membuat rancangan campuran beton adalah untuk membuat beton
dengan kekuatan tekan sebesar mungkin. Istilah kekuatan tekan beton pada rancangan
campuran beton dibagi menjadi dua, yaitu kuat tekan beton rencana (biasa disebut
f’c) dan kuat tekan yang dituju (biasa disebut f’cr). Kuat tekan beton rencana adalah
kekuatan sebenarnya beton yang diinginkan. Namun karena sifat dari rancangan
campuran beton adalah hanya sebagai estimasi dalam menentukan kekuatan beton,
maka nilai kekuatan beton yang akan diperhitungkan dalam rancangan campuran
beton harus melebihi dari nilai kuat tekan beton rencana (nilai kekuatan beton yang
akan diperhitungkan dalam rancangan beton disebut dengan kuat tekan yang dituju,
dengan nilai f’cr > f’c) agar menjamin mendapat kekuatan beton yang direncanakan
(f’c).

3.2. Tahap Perancangan Campuran Beton


Untuk mendapatkan komposisi campuran beton perlu dilakukan proses trial and
error, yang dimulai dari suatu perancangan campuran dan kemudian diikuti oleh
pembuatan campuran awal (trial mix). Sifat-sifat yang dihasilkan dari trial mix
kemudian diperiksa terhadap persyaratan yang ada, dan apabila perlu, dilakukan
penyesuaian komposisi sampai didapatkan hasil yang memuaskan.
Kekuatan beton yang disyaratkan merupakan hal utama yang harus
diperhatikan dalam perancangan campuran beton. Kekuatan yang disyaratkan
biasanya adalah kekuatan beton umur 28 hari. Faktor-faktor lainnya antara lain rasio
air-semen, tipe dan kandungan semen, durabilitas, kelecakan, kandungan air,
pemilihan agregat, dan trial mix.
3.2.1. Pemilihan Angka Slump
Nilai slump adalah selisih nilai antara tinggi beton basah dalam cetakan
kerucut terpancung dengan tinggi beton basah setelah cetakan kerucut tersebut
diangkat. Nilai slump menunjukkan workability atau kelecakan beton yang
dibuat serta untuk mengukur kekentalan campuran beton. Semakin tinggi
slump, semakin cair campuran beton dan semakin banyak kandungan udaran
dalam campuran beton. Nilai slump ini berbeda- beda untuk berbagai jenis
konstruksi, karena tingkat kesulitan penempatan beton basah dalam cetakan
untuk setiap konstruksi berbeda. Jika nilai slump tidak ditentukan dalam
spesifikasi, maka nilai slump dapat dipilih dari tabel berikut untuk berbagai
jenis pengerjaan konstruksi.

Tabel 2.16. Nilai Slump untuk Berbagai Jenis Pengerjaan Konstruksi


Slump (mm)
Jenis Konstruksi
Maksimum Minimum
Dinding Fondasi, footing, 75 25
dinding basement    
Dinding dan balok 100 25
Kolom 100 25
Perkerasan dan lantai 75 25
Beton dalam jumlah yang 50 25
besar    

3.2.2. Pemilihan Ukuran Maksimum Agregat


Untuk volume agregat yang sama, rongga yang minimum akan dihasilkan
oleh penggunaan agregat bergradasi baik dan ukuran maksimumnya besar. Hal
tersebut berdampak pada penurunan kebutuhan mortar dalam setiap volume
satuan beton. Dasar pemilihan ukuran maksimum agregat adalah dimensi dari
struktur. Persyaratan penentuan ukuran agregat maksimum umumnya
dipengaruhi dimensi struktur:
a. Ukuran maksimum ag. (mm) ≤

lebar terkecil antara2 tepi bekisting ( mm )


5
tebal pelat lantai ( mm )
b. Ukuran maksimum ag. (mm) ≤
3
2 x jarak bersih antaratulangan ( mm )
c. Ukuran maksimum ag. (mm) ≤
3
3 x tebal bersih selimut beton(mm)
d. Ukuran maksimum ag. (mm) ≤
4
3.2.3. Estimasi Kebutuhan Air Pencampur dan Kandungan Udara
Jumlah air pencampur persatuan volume beton yang dibutuhkan untuk
menghasilkan nilai slump tertentu bergantung pada ukuran max agrregat,
bentuk agregat, gradasi agregat, dan kandungan udara pada campuran.
Sedangkan jumlah semen berpengaruh sedikit terhadap jumlah air yang
dibutuhkan.
Tabel 2.17. Estimasi Kebutuhan Air Pencampur dan Kandungan Udara
Air (kg/m3)
Slump
Jenis Beton 10 20 25 40 50 75
(mm) 12,5 mm
mm mm mm mm mm mm
Tanpa 25-50 205 200 185 180 160 155 140
Penambahan 75-100 225 215 200 190 175 170 155
Udara 150-175 240 230 210 200 185 175 170
Udara
3 2,5 2 1,5 1 0,5 0,3
yang
tersekap
(%)
Dengan 25-50 180 175 165 160 150 140 135
Penambahan 75-100 200 190 180 175 160 155 150
Udara 150-175 215 205 190 180 170 165 160
Udara
8 7 6 5 4,5 4 3,5
yang
tersekap
(%)

3.2.4. Pemilihan Nilai Perbandingan Air-Semen


Hubungan rasio air semen dan kekuatan beton yang dihasilkan
seharusnya dikembangkan berdasarkan material yang sebenarnya yang
digunakan dalam campuran. Nilai perbandingan antara air dan semen akan
sangat berpengaruh pada kekuatan beton setelah mengeras. Semakin kecil nilai
perbandingan air-semen, maka kuat tekan beton akan semakin besar. Berikut
tabel yang dapat dijadikan pegangan dalam memilih nilai perbandingan air
semen:
Tabel 2.18. Pemilihan Rasio Air-Semen

Kuat tekan beton


Rasio Air Semen (dalam perbandingan berat)
umur
Tanpa penambahan Dengan penambahan
28 Hari (MPa)
udara udara
48 0,33 -
40 0,41 0,32
35 0,48 0,40
28 0,57 0,48
20 0,68 0,59
14 0,82 0,74

Nilai kuat tekan beton yang digunakan pada tabel diatas adalah nilai kuat tekan
beton rata-rata yang dibutuhkan, yaitu:
fm = fc' + 1,64 Sd
Keterangan:
fm = nilai kuat tekan beton rata-rata
fc' = nilai kuat tekan karakteristik
Sd = standar deviasi (ada pada tabel)

Tabel 2.19. Standar Deviasi

Standar Deviasi (MPa)


Kondisi Pengerjaan
Lapangan Laboratorium
  Sempurna   <3 < 1,5
  Sangat Baik   3 -3,5 1,5 - 1,75
  Baik   3,5-4 1,75 - 2
  Cukup   4 s.d. 5 2 - 2,5
  Kurang Baik   >5 > 2,5

3.2.5. Perhitungan Kandungan Semen


Perhitungan berat kandungan semen dibutuhkan untuk menghasilkan
perbandingan air semen tertentu. Berat semen yang dibutuhkan adalah sama
dengan jumlah berat air pencampur dibagi dengan nilai rasio air semen.

3.2.6. Estimasi Kandungan Agregat Kasar


Rancangan campuran beton yang ekonomis bisa didapat dengan
menggunakan semaksimal mungkin volume agregat kasar atau berat isi kering
per satuan volume beton. Semakin halus pasir dan semakin besar. Dengan
ukuran maksimum partikel agregat kasar, semakin banyak volume agregat kasar
yang dapat dicampurkan untuk menghasilkan campuran beton dengan
kelecakan beton yang baik. Sehingga, penggunaan agregat kasar tersebut juga
harus disertai dengan gradasi agregat halus (pasir) yang baik. Tingkat gradasi
agregat halus tersebut dinyatakan dalam modulus kehalusan yang didapat dari
analisis saringan. Jadi, volume agregat kasar yang dibutuhkan per satuan
volume beton bergantung dari ukuran maksimum agregat kasar dan modulus
kehalusan pasir.
Berikut tabel yang memperlihatkan volume agregat kasar yang
dibutuhkan per satuan volume beton dengan fungsi dari ukuran maksimum
agregat kasar dan besar nilai modulus kehalusan agregat halus:

Tabel 2.20. Estimasi Kandungan Agregat Kasar


Maksimum Agregat Volume Agregat Kasar (Dry Rodded)
Kasar (mm) Persatuan Volume Beton untuk Berbagai
Nilai Modulus Kehalusan Pasir
2,40 2,60 2,80 3,00
10 0,50 0,48 0,46 0,44
12,5 0,59 0,57 0,55 0,53
20 0,66 0,64 0,62 0,60
25 0,71 0,69 0,67 0,65
40 0,75 0,73 0,71 0,69
50 0,78 0,76 0,74 0,72
75 0,82 0,80 0,78 0,76
150 0,87 0,85 0,83 0,81

Untuk range slump lainnya, volume agregat kasar dapat diperoleh dengan
mengalikan nilai tersebut dengan faktor koreksi

Tabel 2. 21. Faktor Koreksi untuk Berbagai Ukuran Maksimum Agregat

Faktor Koreksi untuk berbagai Ukuran Maksimum Agregat


Slump (mm)
10 mm 12,5 mm 20 mm 25 mm 40 mm
25-50 1,08 1,06 1,04 1,06 1,09
75-100 1 1 1 1 1
150-175 0,97 0,98 1 1 1

3.2.7. Estimasi Kandungan Agregat Halus


Jumlah agregat halus (pasir) yang dibutuhkan dapat dihitung dengan dua
cara, yaitu dengan cara perhitungan berat dan perhitungan volume absolut.
a. Cara Perhitungan Berat
Cara ini dilakukan jika berat jenis beton normal diketahui berdasarkan
pengalaman yang lalu, maka berat pasir yang dibutuhkan adalah
perbedaan antara berat jenis beton dengan berat total air, semen dan
agregat kasar per satuan volume beton yang telah diestimasi dari
perhitungan pada tahap-tahap sebelumnya.
1. Jika berat semen yang ada (Ws) lebih besar atau kecil dari 325
kg/m3, harga berat jenis beton (X) dikoreksi sebagai berikut:
Ws−325 kg
X'= X + .9 3
60 m
2. Jika berat air yang ada (Wa’) lebih besar atau kecil dari berat air
yang diperlukan untuk menghasilkan slump 75 mm – 100 mm,
harga berat jenis beton (X) dikoreksi sebagai berikut:
Ws−Wa kg
X'= X + .9 3
6 m
3. Jika berat jenis agregat (γag) lebih besar atau kecil dari 2,7, berat
jenis beton (X) dikoreksi sebagai berikut:
γag−2,7 kg
X'= X + .59 3
0,1 m
b. Cara Perhitungan Berat Volume Absolut
Cara ini dipakai ketika jumlah agregat halus untuk pencampuran beton
yang kita inginkan bisa kita perkirakan dengan menghitung volume dari
tiap bahan lain untuk 1 m3 beton. Jumlah agregat halus ini digunakan
untuk menutupi rongga-rongga beton. Untuk perhitungan deengan metode
volume absolut, volume agregat halus didapat dengan mengurangi
volume satuan beton dengan volume total dari komposisi pembentuk
beton yang telah diketahui. Harga volume pasir ini kemudian dikonversi
menjadi berat dengan perumusannya:

𝑉𝑎𝑔𝑟𝑒𝑔𝑎𝑡 h𝑎𝑙𝑢𝑠 = 1 − (𝑉𝑠𝑒𝑚𝑒𝑛 + 𝑉𝑎𝑖𝑟 + 𝑉𝑎𝑔𝑟𝑒𝑔𝑎𝑡 𝑘𝑎𝑠𝑎𝑟 +


𝑉𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎)
Af = ϒf [1000 – (w +c+ ϒ +10A)]
Keterangan
Af : Kandungan agregat halus (kg/m3)
: Kandungan agregat kasar (kg/m3)
ϒf : Bulk Specific Gravity (SSD) agregat halus
ϒ : Bulk Specific Gravity (SSD) agregat kasar
: Berat jenis semen
C : Kandungan semen (kg/m3)
A : Kandungan udara (%) W: Kandungan air (kg/m3)
3.2.8. Koreksi Kandungan Air dalam Agregat
Di lapangan, agregat pada umumnya berada dalam kondisi basah atau
tidak dalam kondisi jenuh dan kering permukaan (SSD). Agregat yang terlalu
kering akan menyerap air pada campuran beton, sedangkan agregat yang terlalu
basah akan menambah jumlah air dalam campuran beton. Kandungan air yang
bertambah atau berkurang ini menyebabkan rasio w/c berubah dan dapat
mempengaruhi kuat tekan beton.
Karena itu, untuk mendapat campuran beton yang sesuai dengan
perhitungan awal, diperlukan koreksi terhadap kadar air dan agregat dalam
campuran. Koreksi dilakukan dengan menambah atau mengurangi air pada saat
pencampuran beton, sesuai dengan kandungan air bebas pada agregat.
Perhitungan koreksi air ini dilakukan pada kedua jenis agregat, baik halus
maupun kasar. Perhitungan koreksi air dapat dilakukan dengan:

Keterangan:
M = massa agregat (kg)
ak = % penyerapan air
mk = % kadar air asli

3.3. Prosedur Perancangan Campuran Beton


Prosedur untuk merancang campuran beton adalah sebagai berikut:
a. Menetapkan jenis struktur yang akan dibuat.
b. Memilih nilai slump sesuai dengan jenis struktur.
c. Menentukan rencana kuat tekan beton pada umur 28 hari.
d. Menentukan kuat tekan rata-rata beton, dengan menambah kuat tekan
rencana oleh standar deviasi.
e. Menetapkan ukuran maksimum agregat kasar yang digunakan sesuai dengan
jenis konstruksinya.
f. Menentukan massa air dan persentase udara terperangkap per satuan volume
beton berdasarkan nilai slump dan ukuran maksimum agregat.
g. Menentukan rasio w/c berdasarkan kuat tekan beton rata-rata. Kemudian dari
nilai w/c ditentukan massa semen yang dibutuhkan.
h. Menentukan volume agregat kasar per satuan volume beton berdasarkan
modulus kehalusan dan ukuran maksimum agregat kasar.
i. Mengestimasi kebutuhan volume agregat halus per m3 beton
j. Menghitung koreksi kadar air, kemudian jumlah air agregat halus dan
agregat kasar untuk campuran beton.
k. Menyesuaikan volume per m3 beton masing-masing unsur campuran dengan
volume beton yang akan dibuat. Setelah didapat semua data yang dibutuhkan
untuk membuat 1 m3 beton, kita perlu mengkonversikan data tersebut untuk
dicor ke dalam bekisting yang digunakan dengan ukuran tertentu.

3.4. Perhitungan Mix Design


Perhitungan perancangan beton dilakukan berdasarkan percobaan yang telah
dilakukan di dalam laboratorium. Jenis struktur yang dibuat adalah struktur kolom
dengan kuat tekan yang telah ditentukan yaitu sebesar 32 MPa.
1. Berdasarkan kesepakatan yang telah disepakati oleh asisten dan praktikan,
telah ditetapkan nilai sebuah slump yang ingin dicapai dalam pembuatan
beton ini. Nilai slump yang disepakati sebesar 50 mm.
2. Penentuan ukuran maksimum agregat kasar yaitu sebesar 30 mm.
3. Estimasi kebutuhan air pencampur dan kandungan udara

Air (kg/m3)
Jenis Beton Slump (mm)
10 mm 12,5 mm 20 mm 25 mm 40 mm 50 mm 75 mm
Tanpa 25 – 50 205 200 185 180 160 155 140
Penambahan 75 – 100 225 215 200 190 175 170 155
Udara 150 – 175 240 230 210 200 185 175 170
Udara yang 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0,3
tersekap (%)
Tabel 2. 22. Estimasi Kebutuhan Air Pencampur dan Kandungan Udara

Karena yang digunakan dalam percobaan kali ini menggunakan agregat kasar
sebesar 30 mm, maka kita bisa memperoleh nilai jumlah air untuk ditambahkan dan
kandungan udara yang tersekap dengan melakukan interpolasi.
Interpolasi rancangan air pada beton dapat dilakukan dengan perhitungan
sebagai berikut:
30−25 x−180
=
40−25 160−180
5 x−180
=
15 −20
X =173,333 kg/ m3

Interpolasi kebutuhan udara dilakukan dengan cara berikut:


30−25 x −1,5
=
40−25 1−1,5
5 x−1,5
=
15 −0,5
X = 1,34 %

4. Menghitung nilsi kuat tekan beton yang direncanakan dan nilai perbandingan air
semen.
Dengan menggunakan beton K225 sehingga:
0,83 ( 225 ) (9,8)
fc' = 2
10
¿ 18,3015 MPa
Fm=fc '+1,64 Sd
¿(18,3015+1,64∗4) MPa
¿ 24,8615 MPa

Tabel 2.23. Nilai Rasio Air-Semen

Rasio Air Semen (dalam


Kuat tekan beton umur
perbandingan berat)
28 Hari (MPa) Tanpa penambahan udara
48 0,33
40 0,41
35 0,48
28 0,57
20 0,68
14 0,82

Rasio air-semen dapat dicari dengan menggunakan interpolasi


berdasarkan data di atas.
24,8615−20 x−0,68
=
28−20 0,57−0,68
4,8615 x−0,68
=
8 −0,11
X =0,6131
5. Dengan adanya nilai w/c ratio, kita dapat menentukan berat semen yang kita
butuhkan. Maka, berat semen yang dibutuhkan:
173,333
=0,6131
semen
Semen=282,7157 kg /m3
6. Dengan melihat tabel di atas, kita dapat menentukan volume agregat kasar.
Dalam perhitungan volume agregat kasar, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan ialah modulus
kehalusan dari agregat halus. Berdasarkan hasil data yang kami peroleh,
diketahui bahwa modulus kehalusan agregat halus sebesar 3,73.
Nilai volume agregat kasar untuk ukuran maksimum agregat 30 mm dengan
modulus kehalusan 2,6 dan 2,8.
Modulus kehalusan 2,6
y− y1 x−x 1
=
y 2− y 1 x 2−x 1
y−0,69 30−25
=
0,73−0,69 40−25
y−0,69 5
=
0,04 15
Y =0,7033

Modulus kehalusan 2,8


y− y1 x−x 1
=
y 2− y 1 x 2−x 1
y−0,67 30−25
=
0,71−0,67 40−25
y−0,67 5
=
0,04 15
Y = 0,6833
Dengan interpolasi antara 0,7033 dan 0,6833 didapatkan nilai Y = 0,5903.
Karena menyajikan data volume agregat kasar untuk slump 75 mm – 100
mm sedangkan slump yang dipakai dalam percobaan berada pada range 25-
50 mm maka diperlukan faktor koreksi.

Tabel 2.24. Faktor Koreksi untuk Berbagai Ukuran Maksimum Agregat

Faktor Koreksi untuk berbagai Ukuran Maksimum Agregat


Slump (mm)
10 mm 12,5 mm 20 mm 25 mm 40 mm
25-50 1,08 1,06 1,04 1,06 1,09
75-100 1 1 1 1 1
150-175 0,97 0,98 1 1 1

Dengan interpolasi antara ukuran 25 mm dan 40 mm, didapat faktor koreksi sebesar
1,07. Volume agregat kasar:
0,5903 x 1,07=0,6316 m 3 per 1 m3 beton
Berat Agregar Kasar:
Berat agregat kasar merupakan hasil kali antara volume agregat kasar dengan
berat isi agregat kasar.
3 3 kg dm3
0,6316 m per 1 m beton x 1621,71 x 1000
dm 3 m3
= 1 024,306 kg per 1 m 3 beton
7. Estimasi kandungan agregat halus
Volume agregat halus dapat dicari dengan mengurangkan 1 dengan volume
subtotal (jumlah antara volume agregat kasar, volume semen, dan volume air)

Volume air (V a)
kandunganair 173,333 kg per 1 m 2 beton 3 3
V a= 3
= 3
=0,1733 m per 1 m beton
s gair x 1000 kg/m 1 x 1000 kg /m
Volume semen (V s )
kandungan semen 282,7157 kg per 1 m2 beton 3 3
V s= 3
= 3
=0,090 m per 1 m beton
s g semen x 1000 kg/m 3,15 x 1000 kg /m
Volume agregat kasar (V c )
kandungan agregat kasar 1024,306 kg per 1 m2 beton 3 3
V c= 3
= 3
=0,39m per 1 m beton
s g agregat kasar x 1000 kg/m 2,626 x 1000 kg /m
Subtotal volume
V st =V a +V s +V c =0,1733+0,090+0,39=0,6533 m3 per 1m3 beton

Volume Agregat Halus


Maka volume agregat halus adalah 0,334 m 3 per 1 m 3 beton
Berat Agregat Halus
Berat agregat halus merupakan hasil kali antara volume agregat halus
dengan berat isi agregat halus.
3 3 kg dm3
0,334 m per 1 m beton x 2,392 x 1000
dm 3 m3
= 797,8 kg per 1m3 beton

8. Koreksi Kandungan Air pada Agregat


a. Koreksi pada Agregat Kasar
Tambahan air pada agregat kasar
'
M aggkasar x ( %absorbs i agg kasar −%kadar ai r agg kasar )
M air =
100+ %absorbsi agg kasar
1024,306 x ( 4,47−7,51)
M 'air =
100+ 4,47
M 'air =−29,8 kg /m3
Tambahan agregat kasar
Δ M aggkasar =M 'air∗S G aggkasar
Δ M aggkasar =−29,8∗2,626

Δ M aggkasar =−78,09 kg /m 3
b. Koreksi pada Agregat Halus
Tambahan air pada agregat halus

'
M agghalus∗( %absorbs iagg halus−%kadar ai r agg halus )
M air =
100+%absorbs i agg halus
797,8∗( 6,16−19,94 )
M 'air =
100+ 6,16
M 'air =−103,568 kg /m3
Tambahan agregat halus
Δ M agg halus=M 'air∗S Gagg halus
Δ M agg halus=−103,568∗2,39 2

Δ M agg halus=−247,736 kg/m3

c. Kandungan Komponen Beton Setelah Koreksi


Kandungan agregat kasar
A'c = A c + Δ M agg kasar =1024,306−78,09=946,216 kg /m3
Kandungan agregat halus
A'f = A f + Δ M agg halus=797,8−247,736=550,064 kg /m3
Kandungan air
w ' =w+ Σ M 'air =173,333−103,568−29,8=39,965 kg/m3
Kandungan semen
c=282,7157 kg/m 3

3.5. Tabel Perhitungan


Tabel 2.25. Hasil Trial Mix
No Keterangan Nilai
1. Kuat tekan 18,3015MPa
2. Standar deviasi 4 MPa
3. Nilai tambah 6,56 MPa
4. Kuat tekan yang akan dicapai 24,8615 MPa
5. Slump 50 mm
6. Ukuran agregar maksimum 30 mm
7. Kandungan air bebas 173,333 kg/m³
8. Faktor air semen bebas 0,6131
9. Kandungan semen 282,71,57 kg/m³
10. Volume agregat kasar 0,39 m³/m³
11. Faktor koreksi 1,07
12. Berat agregat kasar 1024,306 kg/m³
13. Volume air 0,1733 m³/m³
14. Volume semen 0,09 m³/m³
15. Volume agregat kasar 0,39 m³/m³
16. Volume udara 1,333%
17. Volume agregat halus 0,334 m³/m³
18 Berat agregat halus 797,8 kg/m³
19. Berat jenis beton 1818,9607 kg/m
3.6. Perawatan Beton
Perawatan beton biasa disebut dengan curing. Tujuan melakukan curing adalah
untuk membantu berlangsungnya reaksi kimia yang terjadi antara senyawa
pembentuk beton. Curing juga dilakukan untuk meningkatkan reaksi hidrasi pada
beton sehingga kekuatan beton akan meningkat. Reaksi hidrasi yang umum terjadi
pada beton adalah sebagai berikut,
2 C3 S +11 H → C 3 S2 H 8+ 3CH
2 C2 S +9 H → C 3 S2 H 8+ CH
Dengan C3S, C2S, H, CH, dan C3S2H8 adalah singkatan dari komposisi oksida
pada semen (C = 3CaO, S = SiO 2, dan H = H2O). Hasil reaksi dari kedua reaksi
hidrasi di atas adalah C3S2H8, yang biasa disebut dengan C-S-H. C-S-H adalah
senyawa yang harus dihasilkan sebanyak mungkin agar kekuatan beton meningkat.
Kedua reaksi di atas memerlukan senyawa H (H2O) agar reaksi hidrasi dapat
berjalan. Jenis dari kedua reaksi di atas adalah reaksi eksoterm, yaitu reaksi yang
mengeluarkan panas. Jika reaksi ini tidak dijaga, maka air pada rancangan campuran
beton sebelumnya yang seharusnya diperlukan untuk reaksi hidrasi, akan menguap
karena permukaan beton yang menjadi panas saat reaksi hidrasi berlangsung.
Kekurangan air yang terjadi menyebabkan beton menjadi retak karena saat beton
kekurangan air, beton akan menyusut lalu terjadi tegangan tarik pada beton yang
sedang mengering, akibatnya beton menjadi retak Karenanya diperlukan curing untuk
menjaga reaksi hidrasi tersebut.
Curing dilakukan saat beton telah didiamkan selama 24 jam setelah dimasukkan
ke dalam cetakan. Curing dilakukan dengan menyiram beton atau memasukkan beton
ke dalam bak yang berisi air kapur.
Standar SNI 03 – 2847 – 2002 mensyaratkan melakukan curing selama 7
(tujuh) hari untuk beton normal, atau 3 (tiga) hari untuk beton dengan nilai kuat tekan
awal yang tinggi.
3.6.1. Tujuan
Membantu berlangsungnya reaksi kimia yang terjadi antara senyawa
pembentuk beton.
3.6.2. Alat/Kondisi
a. Ruangan lembab dengan kelembapan relatif tidak kurang dari 95%
b. Bak yang diisi air kapur jenuh untuk curing
3.6.3 Benda Uji
Beton silinder
3.6.4. Prosedur
Letakkan benda uji dalam ruangan lembab atau dengan perendaman di
dalam air kapur.

3.7. Capping Beton Silinder


3.7.1. Tujuan
Mempersiapkan spesimen beton silinder untuk pelaksanaan pengujian
kuat tekan beton. Pemberian capping bertujuan untuk memastikan distribusi
beban aksial yang merata ke seluruh bidang tekan silinder.
3.7.2. Alat
a. Cetakan capping yang memiliki ukuran yang sesuai dengan dimensi
specimen
b. Alat untuk mencairkan belerang yang dilengkapi dengan pemanas api
3.7.3. Benda uji
Beton silinder
3.7.4. Prosedur
a. Persiapkan serbuk belerang atau senyawa capping, pemanas dengan
suhu sampai 130oC (265oF) dan termometer logam untuk memeriksa
suhu
b. Lelehkan serbuk belerang atau senyawa capping
c. Setelah menjadi cair, aduk belerang cair sebelum dituangkan ke dalam
cetakan capping
d. Tuangkan belerang cair ke dalam cetakan kemudian letakkan beton
silinder dengan kedua tangan di atasnya. Pastikan ujung silinder beton
sebelum diletakkan dalam cetakan dalam kondisi kering. Lakukan
secara cepat sebelum sulfur cair membeku. Ketebalan capping harus
sekitar 3 mm dan tidak melebihi 8 mm
e. Sebelum dilakukan uji tekan beton, capping harus didiamkan dahulu
agar memiliki kekuatan yang sebanding dengan beton

3.8. Hasil Uji Tekan


3.8.1. Tujuan
Menentukan kekuatan tekan beton berbentuk kubus dan silinder yang
dibuat dengan dirawat (curing) di laboratorium. Kekuatan tekan beton adalah
perbandingan beban terhadap luas penampang beton.
3.8.2. Alat
Universal Testing Machine (UTM) dengan kapasitas 100 ton
3.8.3. Benda Uji
Beton silinder
3.8.4. Prosedur
a. Ambil benda uji dari tempat perawatan
b. Letakkan benda uji pada mesin tekan UTM secara sentris
c. Jalankan mesin uji tekan UTM. Tekanan harus dinaikkan berangsur-
angsur dengan kecepatan berkisar antara 4 kg/cm2 sampai dengan 6
kg/cm2 perdetik
d. Lakukan pembebanan sampai benda uji hancur dan mencatat benda uji
beban maksimum hancur yang terjadi selama pemeriksaan benda uji
e. Ulangi langkah a sampai dengan d sesuai dengan jumlah benda uji
yang akan ditentukan kekeuatan tekan karakteristiknya
3.8.5. Analisis dan Hasil
Menghitung kekuatan tekan beton dengan persamaan berikut:
𝐾𝑢𝑎𝑡 𝑡𝑒𝑘𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑡𝑜𝑛 = 𝑃/𝐴
Keterangan:
P = beban maksimum (N)
A = luas penampang benda uji (mm2)
Dengan:
d = 150 mm
r = 75 mm
𝐴 = 𝜋𝑟2 = 𝜋(75)2 = 17678,571 𝑚𝑚2
a. Kuat Tekan Beton Silinder 7 Hari
beban maksimum (P) = 19100 kg
= 19100 kg x 9,8 m/s2
= 187180 N
F =P/A
= 187180 / 17678,571
= 10,588 MPa

b. Kuat Tekan Beton Silinder 14 Hari


beban maksimum 1 (P1) = 32500 kg
beban maksimum 2 (P2) = 28800 kg
beban maksimum rata-rata = (P1 + P2) / 2
= 30650 kg
= 30650 x 9,8
= 300370 N
F =P/A
= 300370 / 17678,571
= 16,99 MPa
c. Kuat Tekan Beton Silinder 28 Hari
beban maksimum 1 (P1) = 29000 kg
beban maksimum 2 (P2) = 26300 kg
beban maksimum rata-rata = (P1 + P2) / 2
= 27650 kg
= 27650 x 9,8
= 270970 N
F =P/A
= 270970 / 17678,571
= 15,328 MPa
Pengujian beton dilakukan dalam beberapa waktu yang dilakukan yaitu
pada hari ke-7, ke-14, dan ke-28 hari. Perhitungan yang telah dilakukan untuk
menentukan hasil mix design, target yang ingin dicapai adalah pada hari ke-28
adalah 24 Mpa akan tetapi yang diharapkan sebesar 18 MPa. Dari hasil
pengujian membutikan uji tekan beton pada hari ke-7 didapatkan ialah 10 MPa.
Target yang diharapkan 70% dari kuat tekan beton pada hari ke-28 yaitu
sebesar 16 MPa. Kemudian dilakukan pengujian tekan beton pada umur 14 hari
didapatkan kekuatan beton bernilai 17 MPa. Kekuatan beton yang diharapkan
adalah 19 MPa. Kemudian dilakukan pengujian kuat tekan beton pada umur 28
hari, didapatkan kuat tekan beton sebesar 15 MPa. Kuat tekan beton yang
diharapkan pada umur 28 hari seteah dilakukan capping adalah 24 MPa.
Dari hasil yang didapat menunjukkan bahwa beton tidak sesuai dengan
target yang diharapkan. Dapat dikatakan bahwa beton yang teah dihasilkan
memiliki kualitas yang jelek. Hal ini disebabkan karena pada saat proses
pembuatan pada tahap pemadaann, proses yang dilakukan terlalu keras
sehingga terjadi segregasi dan bleeding pada campuran beton sehingga reaksi
antara air, pasir, semen dan kerikil tidak berjalan sempurna. Ikatan antar mortar
dan kerikil tidak berjaan sempurna sehingga terjadi kuat tekan beton yang tidak
diharapkan. Penentuan komposisi tidak dapat disalahkan karena nilai slump
menunjukkan nilia yang dharapkan yaitu 50 mm. Kemudian juga dapat
diakibatkan pada proses pengapingan yang tidak sempurna. Di kondisi lapangan
yang terjadi terlihat hasil capping rusak sehingga saat proses pembeban
distribusi tidak merata.
KAYU
BAB I
PENDAHULUAN KAYU

1.1. Latar Belakang


Kayu adalah salah satu bahan konstruksi sipil yang digunakan untuk
membangun suatu bangunan. Kayu memiliki banyak jenis, contohnya adalah kayu
jati, kayu mahoni, dan kayu kemiri. Contoh penggunaan kayu sebagai bahan
bangunan yaitu penggunaan kayu sebagai kerangka Aula Barat ITB dan kuil-kuil tua
di Jepang.

1.2. Sifat-Sifat Kayu


Kayu sebagai salah satu bahan konstruksi sipil memiliki beberapa sifat,
diantaranya sifat higroskopis kayu dan sifat fisis kayu. Sifat higroskopis adalah sifat
kayu yang dapat menyerap atau melepas air dari lingkungannya (Skar, 1989). Air
yang diserap berupa uap air atau dalam bentuk cairan (Tsoumis, 1991).
Sifat fisis kayu melingkupi kadar air kayu dan berat jenis zat kayu. Kadar air
adalah banyaknya air yang terdapat dalam kayu dan dinyatakan dalam persen
terhadap berat kering tanurnya. Air dalam kayu dibagi menjadi dua yaitu air bebas
pada rongga sel dan air terikat (imbibisi) pada dinding sel. Kondisi saat dinding sel
jenuh dengan air sedangkan rongga sel kosong disebut kondisi kadar air pada titik
jenuh serat (Simpson, et al., 1999; Brown, et al., 1952). Umumnya besar kadar air
jenuh titik serat berkisar antara 25% – 30% (Panshin, et al., 1964).
Berat jenis kayu adalah perbandingan antara kerapatan kayu dengan kerapatan
air pada kondisi anomali air (4,40C) yang memiliki besar kerapatan air pada kondisi
tersebut sebesar 1 g/cm3 (Simpson, et al., 1999). Berat jenis kayu ditentukan dengan
menggunakan berat kering oven dan volume pada basah, kering oven, dan pada kadar
air 12% (Forest Product Laboratory, 1999). Berdasarkan volume basahnya, berat jenis
kayu diklasifikasikan menjadi:
1. Kayu dengan berat ringan, bila berat jenis kayu < 0,3
2. Kayu dengan berat sedang, bila berat jenis kayu 0,36 – 0,56
3. Kayu dengan berat berat, bila berat jenis kayu > 0,56
Faktor-faktor yang mempengaruhi berat jenis kayu adalah kecepatan tumbuh,
tempat tumbuh, umur pohon dan posisi kayu dalam batang (Pandit dan Hikmat,
2002).

1.3. Keuntungan dan Kerugian Menggunakan Kayu


Kayu adalah salah satu bahan konstruksi sipil yang memiliki keuntungan dan
kerugian jika digunakan untuk membangun suatu bangunan. Beberapa keuntungan
menggunakan kayu adalah:
1. Mudah Dikerjakan, Didesain, dan Tahan Lama
Bangunan yang berbahan kayu cocok pada berbagai iklim. Kayu mudah
dibentuk dan fleksibel, kuat secara struktural, dan cocok untuk berbagai
macam aplikasi seperti atap dan lantai (Joseph dan Tretsiakova-McNally,
2010). Kayu dapat didesain sehingga menjadi responsif terhadap iklim,
misalnya ketika musim hujan bangunan dari kayu menjadi lebih dingin
dan ketika musim panas bangunan dari kayu menjadi lebih hangat
(Kennedy et al., 2005). Kayu juga dapat bertahan lama dan tahan terhadap
segala cuaca yang dibuktikan dengan kuil-kuil tua di Jepang yang sampai
saat ini masih utuh (Kozak dan Cohen, 1999).
2. Energi Efisiensi Tinggi
Bangunan yang berbahan kayu menggunakan 17% lebih sedikit energi
dibandingkan dengan bangunan yang berbahan baja dan menggunakan
15% lebih sedikit energi dibandingkan dengan bangunan yang berbahan
beton (Lippke et al., 2004).
3. Energi Terkandung (Embodied Energy) Rendah
Bangunan berbahan kayu mempunyai keseimbangan energi sebesar -1.110
GJ. Artinya jumlah energi yang dihasilkan lebih banyak dari pada jumlah
energi yang dibutuhkan selama proses pembuatannya (Gustavsson dan
Sathre, 2006)
4. Potensi Pemanasan Global Rendah
Kayu dapat berfungsi sebagai ‘carbon sinks’ yang dapat menyerap CO2
lalu menyimpannya sebagai serat kayu dan selulosa (Kennedy et al.,
2005). Bangunan berbahan kayu dapat menyimpan karbon lebih besar
daripada emisinya dan mampu mencegah 55 m3/ton emisi CO2. Hal ini
membuktikan bahwa bangunan yang berbahan kayu akan mengurangi
potensi pemanasan global dalam jumlah yang cukup besar. Jika kayu
digunakan sebagai bahan pada dinding, potensi emisi gas rumah kaca akan
menurun sebesar 33% dibandingkan baja dan 80% dibandingkan beton.
(Lippke et al., 2004)
5. Material Terbarukan dan Dapat Dipakai Kembali (Recyclable)
Kayu dapat didaur ulang dan mempunyai peran dalam siklus karbon
(Taylor dan Langenberg, 2003). Kayu dari sisa bangunan dapat didaur
ulang untuk berbagai keperluan contohnya lantai, anak tangga, dan
furniture (Forsythe, 2011)
Namun kayu juga memiliki beberapa kerugian jika dipakai sebagai bahan
bangunan, diantaranya mudah dimakan serangga, mudah terbakar, dan dapat dirusak
oleh binatang pengerat atau jamur yang menimbulkan kebusukan kering pada
konstruksi kayu.
BAB II
HASIL PENGUJIAN

2.1 Kadar Air


2.1.1 Tujuan Praktikum
Tujuan praktikum ini adalah untuk:
a. Menentukan kadar air kayu kering
b. Menentukan kadar air kayu basah
2.1.2 Peralatan
Alat yang digunakan pada praktikum modul ini adalah:
a. Oven, yang dapat mempertahankan (103 ± 2)0C ke seluruh ruangan
pengering selama waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan benda
uji.
b. Timbangan, pembacaan minimal timbangan harus ditentukan dengan
tingkat ketelitian pelaporan yang diinginkan.

Tabel 3.1. Data Pembacaan Timbangan Minimum

Tingkat Ketelitian Pelaporan Pembacaan Timbangan Minimum


Kadar Air (%) (mg)
0,01 1
0,05 5
0,1 10
0,5 50
1,0 100

2.1.3 Bahan
Bahan yang digunakan pada praktikum modul ini adalah:
a. Satu buah kayu basah
b. Satu buah kayu kering
2.1.4 Prosedur Pemeriksaan
a. Menimbang benda uji dengan timbangan yang sesuai dengan tingkat
ketelitian yang diinginkan.
b. Menempatkan benda uji dalam oven
c. Akhir proses pengeringan telah dicapai bila kehilangan berat dalam
pengukuran setiap 3 jam sekali adalah sama atau bila kehilangan berat
kurang dari dua kali kepekaan timbangan yang dipilih.
2.1.5 Metodologi Praktikum

Timbang benda uji

Benda uji ditempatkan di oven

Kehilangan berat dalam pengukuran setiap


3 jam sekali sama?

Benda uji dikeluarkan dari oven

Timbang berat akhir

2.1.6 Laporan Hasil Pengamatan


2.1.6.1 Kayu Basah
Berat awal: 326gr
Berat setelah dioven: 260gr
2.1.6.2 Kayu Kering
Berat awal: 294gr
Berat setelah dioven :260gr
2.1.7 Perhitungan
Menghitung kadar air pada kayu/ benda uji (KA) dengan persamaan
berikut:
A−B
KA ( % )= x 100 %
B

Keterangan:
A = berat awal (gr)
B = berat kering oven (gr)
2.1.7.1 Kayu Basah
326 gr −260 gr
KA ( % )= x 100 % KA =25,38 %
260 gr
2.1.7.2 Kayu Kering

294 gr−260 gr
KA ( % )= x 100 % KA =13,08 %
260 gr
2.1.8 Analisis Data
Kadar air kayu basah yaitu sebesar 25,38% lebih besar dari kadar air pada
kayu kering yang memiliki persentase sebesar 13,08%. Pada kayu basah kadar
air lebih besar dari kayu kering. Hal ini disebabkan oleh lebih banyaknya pori-
pori pada kayu basah yang terisi oleh air jika dibandingkan dengan kayu kering.
Kedua kayu memiliki berat yang sama setelah dikeringkan dengan oven, yaitu
260 gr. Penyebabnya adalah kedua kayu memiliki dimensi yang sama dan jenis
yang sama, sehingga dalam keadaan kering oven seluruh kadar air didalam
kayu menghilang dan massa kayu hanya dipengaruhi massa jenis dan volume.
2.1.9 Kesimpulan
a. Kadar air pada kayu basah: 25,38%
b. Kadar air pada kayu kering: 13,08%
c. Kayu basah memiliki kadar air lebih besar dari pada kayu kering.
2.2 Kuat Tekan
2.2.1 Tujuan Praktikum
Menentukan nilai kuat tekan kayu dari:
a. Uji Tekan Sejajar Serat pada Kayu Basah
b. Uji Tekan Tegak Lurus Serat pada Kayu Basah
c. Uji Tekan Sejajar Serat pada Kayu Kering
d. Uji Tekan Tegak Lurus Serat pada Kayu Kering
2.2.2 Peralatan
Alat yang digunakan pada praktikum modul ini adalah:
a. Mesin Uji
b. Alat ukur waktu
c. Alat ukur
d. Alat potong kayu
e. Alat penjepit baja
f. Alat ukur deformasi
g. Alat pengukur kadar air
2.2.3 Bahan
Bahan yang digunakan pada praktikum modul ini adalah:
a. Dua buah kayu (benda uji) lembab, dengan ukuran (50 x 50 x 200) mm
untuk uji kuat tekan sejajar dan (50 x 50 x 150) mm untuk uji kuat
tekan tegak lurus dengan ketelitian 0,25 mm.
b. Dua buah kayu (benda uji) kering, dengan ukuran (50 x 50 x 200) mm
untuk uji kuat tekan sejajar dan (50 x 50 x 150) mm untuk uji kuat
tekan tegak lurus dengan ketelitian 0,25 mm.

2.2.4 Prosedur Pemeriksaan


a. Mempersiapkan benda uji dengan ketentuan ukuran sesuai gambar di
bawah

Gambar 3.1. Benda Uji Kuat Tekan Sejajar arah Serat

Gambar 3.2. Benda Uji Kuat Tekan Tegak Lurus Arah Serat
b. Memberi kode pengujian, mengukur benda uji dan mencatatnya pada
lembar/formulir pengujian
c. Meletakkan benda uji secara sentris terhadap alat pembebanan
d. Memberi beban secara bertahap hingga mencapai beban maksimum P
(kecepatan pembebanan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
di atas)
e. Menandai bentuk keretakan yang terjadi, mencatat data dan
menghitung nilai kuat tekannya berdasarkan besar beban maksimum
dan luas penampang.
2.2.5 Metodologi Praktikum

Siapkan benda uji sesuai ketentuan dan beri kode pengujian

Ukur benda uji dan catat hasil pengukuran

Ulangi
Benda uji diletakkan sentris terhadap alat pembebanan
dengan
benda uji
Beban diberikan secara bertahap sesuai ketentuan lainnya

tidak
Mencapai beban maksimum?

ya
Hentikan pembebanan, catat beban maksimum dan luas penampang tekan

laporan

2.2.6 Laporan Hasil Pengamatan


2.2.6.1 Uji Tekan Sejajar Serat Kayu pada Kayu Basah
Dimensi kayu : 20 cm x 5 cm x 5,25 cm
Bidang tekan (b x h) : 5 cm x 5,25 cm
Beban maksimum : 16125 kg
2.2.6.2 Uji Tekan Sejajar Serat Kayu pada Kayu Kering
Dimensi kayu : 20 cm x 5 cm x 5,1 cm
Bidang tekan (b x h) : 5 cm x 5,1 cm
Beban maksimum : 11600 kg
2.2.6.3 Uji Tekan Tegak Lurus Serat Kayu pada Kayu Basah
Dimensi Kayu : 5,1 cm x 5 cm x 15 cm
Bidang tekan (b x h) : 5,1 cm x 5 cm
Beban maksimum : 5440 kg
2.2.6.4 Uji Tekan Tegak Lurus Serat Kayu pada Kayu Kering
Dimensi kayu : 15 cm x 5 cm x 5 cm
Bidang tekan (b x h) : 7 cm x 5 cm
Beban maksimum : 6020 kg
2.2.7 Perhitungan
Menghitung kuat tekan sejajar serat dan tegak lurus serat dengan
persamaan berikut:
P
fc= P=berat maksimum ( kg ) x 9,8 m/s 2
b xh
Keterangan:
Fc = kuat tekan (MPa)
P = beban maksimum (N)
B = lebar (mm)
H = tinggi (mm)
2.2.7.1 Kuat Tekan Kayu Basah Sejajar Arah Serat
P = 16125 x 9,8m/s2 = 158025
158025
fc= =60,2 MPa
0,05 x 0,0525
2.2.7.2 Kuat Tekan Kayu Kering Sejajar Arah Serat
P = 11600 x 9,8m/s2 = 113680
113680
fc= =44,58 MPa
0,05 x 0,051
2.2.7.3 Kuat Tekan Kayu Basah Tegak Lurus Arah Serat
P = 5440 x 9,8m/s2 = 53312
53312
fc= =20,91 MPa
0,05 x 0,051
2.2.7.4 Kuat Tekan Kayu Kering Tegak Lurus Arah Serat
P = 6020 x 9,8m/s2 = 58996
58996
fc= =16,856 MPa
0,07 x 0,05
2.2.8 Analisis Data
a. Berdasarkan Kadar Air pada Kayu
Kuat tekan pada kayu kering seharusnya lebih besar dari pada kuat
tekan pada kayu basah. Hal ini terjadi karena kayu basah memiliki
kadar air tinggi, sehingga di dalam pori-porinya terdapat banyak
molekul-molekul air. Karena itu, saat uji tekan kayu basah menerima
dua macam tekanan yaitu tekanan dari alat dan dari molekul air
sehingga memperkecil kuat tekannya
b. Berdasarkan Sifat Anisitropik Kayu
Kayu yang diuji tekan sejajar serat kayu memiliki kuat tekan yang
lebih besar dibandingkan kayu yang diuji tekan tegak lurus serat kayu.
Hal ini disebabkan oleh sifat anisitropik kayu itu sendiri. Sifat
anastropik adalah sifat kayu yang mempunyai perilaku dan tanggapan
beban (memiliki sifat-sifat) yang berbeda jika diuji menurut arah yang
berbeda. Ketika diuji tekan sejajar serat kayu, gaya terdistribusi merata
ke seluruh seratnya. Sedangkan ketika diuji tekan tegak lurus, gaya
hanya terdistribusi di sebagian kecil daerah saja, yaitu pada
daerah/serat kayu yang bersinggungan langsung dengan alat uji tekan.

2.2.9 Kesimpulan
a. Kuat Tekan Kayu Basah Sejajar Arah Serat
Fc = 60,2 MPa
b. Kuat Tekan Kayu Kering Sejajar Arah Serat
Fc = 44,58 MPa
c. Kuat Tekan Kayu Basah Tegak Lurus Arah Serat
Fc = 20,91 MPa
d. Kuat Tekan Kayu Kering Tegak Lurus Arah Serat
Fc = 16,856 MPa
e. Kuat tekan kayu yang diuji sejajar serat kayu lebih besar dari pada
yang diuji tegak lurus arah serat kayu

2.3 Kuat Lentur dan Modulus Elastisitas Lentur Kayu


2.3.1 Tujuan Praktikum
Tujuan praktikum ini adalah untuk:
a. Menentukan nilai kuat lentur dan modulus elastisitas lentur pada kayu
kering.
b. Menentukan nilai kuat lentur dan modulus elastisitas lentur pada kayu
basah.
2.3.2 Alat
Alat yang digunakan pada praktikum modul ini adalah:
a. Mesin uji lentur, alat ukur waktu, rol meter, jangka sorong, pengukur
lendutan, pengukur kadar air.
b. Dua buah tumpuan pelat dan rol dari baja yang mempunyai bentuk dan
ukuran seperti pada gambar dan harus memungkinkan benda uji bisa
bergerak dalam arah horizontal.
c. Bantalan penekan untuk pemberian beban terbuat dari baja, harus
memenuhi bentuk dan ukuran seperti gambar.
d. Jarak kedua tumpuan adalah 710 mm.

2.3.3 Bahan
Bahan yang digunakan pada praktikum modul ini adalah kayu (kering dan
basah) uji berukuran (50 x 50 x 760) mm, dengan ketelitian 0,25 mm.
2.3.4 Prosedur Pemeriksaan
a. Mempersiapkan benda uji dengan ketentuan ukuran seperti gambar di
bawah

Gambar 3.3. Bentuk dan Ukuran Benda Uji

Gambar 3.4. Bentuk dan Ukuran Tumpuan Plat dan Rol

Gambar 3.5. Bentuk dan Ukuran Bantalan Penekan


b. Memberi nomor kode pengujian, mengukur benda uji dan mencatat
pada lembar data/formulir pengujian
c. Mengatur jarak tumpuan
d. Meletakkan bantalan penekan di atas benda uji
e. Meletakkan alat ukur lendutan
f. Menjalankan mesin uji
g. Membaca dan mencatat nilai lendutan, melakukan pembacaan pada
setiap kenaikan beban
2.3.4.1 Prosedur Pembebanan
a. Pembebanan pada benda uji dilaksanakan dengan meletakkan
bantalan penekan di tengah bentang
b. Kecepatan pembebanan untuk yang terukur = 2,5 mm/menit
dan tidak terukur = 600 N/menit
c. Besar beban maksimum diperoleh jika benda uji patah

2.3.4.2 Prosedur Pengukuran Lendutan:


a. Pembacaan lendutan dilakukan pada setiap kenaikan benda uji
sebesar 500 N dengan ketelitian 0,02 mm atau
b. Pembacaan lendutan dilakukan pada setiap kenaikan beban
250 N, apabila lendutan yang diukur masih terlalu besar

2.3.5 Metodologi Praktikum


siapkan benda uji sesuai dengan ketentuan dan beri kode pengujian

Atur jarak tumpuan

Letakkan bantalan penekan di atas benda uji

Letakkan alat ukur lendutan

Jalankan mesin uji, Kecepatan pembebanan untuk yang terukur = 2,5


mm/menit dan tidak terukur = 600 N/menit

Baca dan catat nilai lendutan, lakukan pembacaan pada setiap kenaikan
beban.
Pembacaan lendutan dilakukan pada setiap kenaikan benda uji sebesar
500 N dengan ketelitian 0,02 mm atau Pembacaan lendutan dilakukan
pada setiap kenaikan beban 250 N, apabila lendutan yang diukur masih
terlalu besar

Laporan

2.3.6 Laporan Hasil Pengamatan


a. Uji lentur kayu kering
Ukuran (p x l x t) : 76 cm x 5,2 cm x 5,3 cm
Panjang tumpuan : 710 mm
Beban Maksimum : 1120 kg
Ukuran bidang tekan (p x l) : 71 cm x 5,2 cm
b : 5,2 cm
h : 5,3 cm

b. Uji lentur kayu basah


Ukuran (p x l x t) : 76 cm x 5,3 cm x 5,3 cm
Panjang tumpuan : 710 mm
Beban Maksimum : 880 kg
Ukuran bidang tekan (p x l) : 76 cm x 5,3 cm
b : 5,3 cm
h : 5,3 cm
2.3.7 Perhitungan
Untuk menghitung kuat lentur kayu, digunakan rumus:
3 PL
Fb =
2bh ²
Keterangan
fb: Kuat lentur (MPa)
P: Beban (N)
L: Jarak tumpuan (mm)
b: Lebar (mm)
h: Tinggi (mm)
Pada kuat lentur kayu kering, diperoleh beban maksimum yang bekerja
(P) sebesar 10976 N, lebar (b) sebesar 52 mm, jarak tumpuan (L) sebesar 710
mm, dan tinggi (h) sebesar 53 mm. Sehingga, diperoleh:
3 PL 3× 10976 N × 710 mm
Fb = = = 80.0274 MPa
2bh ² 2× 52mm ×(53 mm) ²
Pada kuat lentur kayu basah, diperoleh beban maksimum yang bekerja (P)
sebesar 8624 N, lebar (b) sebesar 53 mm, jarak tumpuan (L) sebesar 710 mm,
dan tinggi (h) sebesar 53 mm. Sehingga, diperoleh:
3 PL 3× 8624 N ×710 mm
Fb = = = 61.6923 MPa
2bh ² 2× 53 mm×(53 mm) ²
Perhitungan modulus elastisitas lentur kayu dapat dengan rumus berikut:
p L3
Eb = (MPa)
4 yb h 3

Keterangan:
Eb = modulus elastisitas lentur (MPa)
P = selisih pembebanan dari satu tahap pembebanan ke tahap berikutnya
(N)
L = jarak tumpuan (mm)
Y = selisih lendutan dari satu tahap pembebanan ke pembebanan
berikutnya (m)
b = lebar benda uji (mm)
h = tinggi benda uji(mm)
Cara lain untuk menghitung modulus elastisitas lentur kayu adalah
dengan regresi grafik lendutan/mm (sumbu x) terhadap beban/ kg (sumbu y),
maka akan diperoleh nilai modulus elastisitas lentur kayu sebagai gradien dari
kurva.

Tabel 3.2. Modulus Elastisitas Kayu Basah

Modulus
Lendutan Selisih Lendutan Beban Selisih beban Elastisitas
No (mm) (mm) (KN) (KN) (MPa)
1 0,16 0,16 0,138 0,138 9780,716711
2 1,680801 1,520801 0,5025 0,3645 2717,920314
3 4,186627 2,505826 1,28075 0,77825 3521,922497
4 7,074936 2,888309 2,17825 0,8975 3523,728022
5 10,18532 3,110384 3,07825 0,9 3281,255711
6 13,68755 3,50223 3,8785 0,80025 2591,150242
7 18,02538 4,33783 4,5375 0,659 1722,758745
8 23,63471 5,60933 5,043 0,5055 1021,931405
9 31,85856 8,22385 4,86625 0,17675 243,722609
10 43,8562 11,99764 4,55675 0,3095 292,5340362
MODULUS ELASTISTAS RATA-RATA (MPa) 2869,764029
Chart Title
6
5
4
Beban (KN)

3
Kayu Basah
2
1
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Lendutan (mm)

Grafik 3.1. Perbandingan Milai Lendutan terhadap Beban Pada Kayu Basah

Tabel 3.3. Modulus Elastisitas Kayu Kering

Modulus
Lendutan Selisih Lendutan Beban Selisih beban Elastisitas
No (mm) (mm) (KN) (KN) (MPa)
1 0,16337 0,16337 0,145 0,145 10064,84914
2 1,64424 1,48087 0,5025 0,3575 2737,604383
3 4,117091 2,472851 1,2795 0,777 3563,154436
4 7,026789 2,909698 2,155 0,8755 3412,084763
5 10,27658 3,249791 3,01825 0,86325 3012,261921
6 14,03037 3,75379 3,79375 0,7755 2342,736293
7 18,68946 4,65909 4,428 0,63425 1543,728608
8 24,65837 5,96891 4,93075 0,50275 955,1435012
9 32,79486 8,13649 4,872 0,05875 81,88085188
10 48,69833 15,90347 1,7055 3,1665 2257,871256
MODULUS ELASTISTAS RATA-RATA (MPa) 2997,131515
Chart Title
6
5

Beban (KN) 4
3
Kayu Kering
2
1
0
0 10 20 30 40 50 60
Lendutan (mm)

Grafik 3.2. Perbandingan Nilai Lendutan Terhadap Beban

Perbandingan Kuat Lentur


Kayu Basah dan Kayu Kering
6
5
4
Beban (KN)

3
2
1
0
0 10 20 30 40 50 60
Lendutan (mm)

Kayu Basah Kayu Kering

Grafik 3.3. Perbandingan Kuat Lentur Kayu Basah dan Kayu Kering
2.3.8 Analisis Data
Berdasarkan hasil perhitungan, dapat dilihat bahwa kuat lentur kering
lebih besar dibandingkan kayu basah. Hal ini dapat disebabkan oleh pada saat
kayu diberi beban terpusat dan ditumpu oleh dua tumpuan, kayu basah akan
mengalami gaya aksial terpusat dari alat uji dan air yang terkandung pada kayu
tersebut sehingga gaya yang diterima lebih besar daripada kayu kering yang
akan mengakibatkan kayu basah lebih cepat retak dibandingkan kayu kering.
Sementara itu pada kayu kering, beban yang diterima hanya berupa gaya aksial
yang diberikan oleh alat uji sehingga kayu kering lebih kuat terhadap beban
terpusat. Kuat lentur dan modulus elastisitas akan lebih besar dimiliki oleh kayu
dengan kandungan air yang rendah/ kering.
2.3.9 Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan diperoleh data sebagai berikut
a. Nilai kuat lentur kayu kering = 80.0274 MPa
b. Nilai kuat lentur kayu basah = 61.6923 MPa
c. Modulus elastisitas kayu kering = 2997,131515 MPa
d. Modulus elastisitas kayu basah = 2869,764029 MPa
Hasil perhitungan yang diperoleh sesuai dengan teori bahwa nilai kuat
lentur dan modulus elastisitas dari kayu kering lebih besar daripada kayu
basah.

2.4 Kuat Geser Kayu


2.4.1 Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini adalah mengetahui cara pengujian kuat geser
kayu sejajar serat dan nilai kuat geser kayu yang dihasilkan.
2.4.2 Alat
Alat yang dipakai dalam praktikum kali ini adalah:
a. Mesin Uji Geser
b. Alat pengukur waktu
c. Jangka sorong
d. Pengukur deformasi
2.4.3 Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah:
a. Jumlah benda uji adalah 5 buah dengan jenis kayu yang sama, dengan
dimensi seperti gambar di bawah
b. Ketelitian ukuran penampang benda uji ± 0.25 mm
c. Kadar air kayu maksimum 20%

Gambar 3.6. Bentuk dan Ukuran Benda Uji

2.4.4 Prosedur Pemeriksaan


a. Mempersiapkan benda uji dengan ukuran yang telah ditentukan
b. Memberi nomor atau kode pengujian, sebelum dipasang pada alat uji,
c. Mengukur benda uji dengan alat ukur jangka sorong, dan mencatat
pada lembar data/formulir pengujian
d. Memasang benda uji pada alat uji sedemikian rupa sehingga tidak
longgar atau tidak bergerak dengan jalan mengencangkan sekrup
penjepit. Dengan demikian benda uji terjepit di antara pelat besi bagian
B dan pelat besi bagian D

Gambar 3.7. Alat Bantu Penjepit Pengujian

e. Memberi beban dengan kecepatan gerak beban secara tetap


2.4.5 Metodologi Praktikum

Mepersiapkan benda uji dengan ukuran yang telah ditentukan

Memberi nomor atau kode pengujian

Mengukur benda uji dengan alat ukur jangka sorong

Mencatat pada lembar data/formulir pengujian

Memasang benda uji pada alat uji

Mengencangkan sekrup penjepit

Memberi beban dengan kecepatan gerak beban secara tetap


2.4.6 Laporan Hasil Pengamatan
Tabel 3.4. Tabel Hasil Percobaan Kuat Geser Kayu

Kayu Kering Kayu Basah


b (mm) 18,5 0,05
h (mm) 50 0,02
Beban Maks. (kg) 2620 1330
2.4.7 Perhitungan
F
Fs = bxh
Dengan
Fs = kuat geser kayu
F = gaya max yang dapat diterima kayu
b = tebal permukaan
h = tinggi permukaan
a. Kayu Kering
b =18,5 mm = 0,0185 m
h = 50 mm = 0,05 m
beban max (W) = 2620 kg
g = 9,8 m/s2
F = W x g = 25676 N
F 25676
Fs = = = 27757837,84 Pa
bxh 0,0185 x 0,05
= 27,758 MPa
b. Kayu Basah
b = 5 cm = 0,05 m
h = 2 cm = 0,02 m
beban max (W) = 1330 kg
g = 9,8 m/s2
F = W x g = 13034 N
F 13034
Fs = = = 13034000 Pa
bxh 0,05 X 0,02
= 13,034 MPa

2.4.8 Analisis Data


Menurut hasil pengamatan, kuat geser kayu basah lebih rendah daripada
kuat geser kayu kering. Hal itu disebabkan oleh kayu basah akan menerima dua
tekanan, yaitu dari alat uji dan dari air yang ada di dalam kayu tersebut.
Berbeda dengan kayu kering, kayu kering hanya mendapat satu tekanan saja
yaitu dari alat uji, sehingga kuat geser kayu kering akan lebih besar dari kuat
geser kayu basah.
2.4.9 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari percobaan kali ini adalah:
a. Kuat geser kayu kering = 27,758 MPa
b. Kuat geser kayu basah = 13,034 MPa
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari beberapa percobaan yang dilakukan yaitu untuk menentukan kadar air
pada kayu, kuat tekan kayu, kuat lentur dan modulus elastisitas lentur kayu, kuat
geser kayu didapatkan beberapa kesimpulan dan hasil dari percobaan sebagai berikut:
1. Kadar Air pada Kayu
a. Kadar air pada kayu basah : 25,38%
b. Kadar air pada kayu kering : 13,08%
c. Kayu basah memiliki kadar air lebih besar dari pada kayu kering.
Disini dapat diambil garis besar bahwa kadar air tinggi dimiliki oleh kayu
basah karena pori-pori pada kayu menyerap air di permukaan sehingga
menambah jumlah air yang terdapat pada kayu.
2. Kuat Tekan
a. Kuat Tekan Kayu Basah Sejajar Arah Serat Fc = 60,2 MPa
b. Kuat Tekan Kayu Kering Sejajar Arah Serat Fc = 44,58 MPa
c. Kuat Tekan Kayu Basah Tegak Lurus Arah Serat Fc = 20.91 MPa
d. Kuat Tekan Kayu Kering Tegak Lurus Arah Serat Fc = 16,856 MPa
Kuat tekan kayu yang diuji sejajar serat kayu lebih besar dari pada yang diuji
tegak lurus arah serat kayu.
3. Kuat Lentur dan Modulus Elastisitas Lentur Kayu
a. Nilai kuat lentur kayu kering = 80.0274 MPa
b. Nilai kuat lentur kayu basah = 61.6923 MPa
c. Modulus elastisitas kayu kering = 2997,131515 MPa
d. Modulus elastisitas kayu basah = 2869,764029 MPa
Hasil perhitungan yang diperoleh sesuai dengan teori bahwa nilai kuat lentur
dan modulus elastisitas dari kayu kering lebih besar daripada kayu basah.

4. Kuat Geser Kayu


a. Kuat geser kayu kering = 27,758 MPa
b. Kuat geser kayu basah = 13,034 MPa
Kuat geser kayu kering lebih besar dibandingkan dengan kuat geser kayu
basah.
Dari seluruh pengujian yang dilakukan baik dari kadar air, kuat tekan, kuat
lentur dan kuat geser menunjukkan bahwa kayu kering memiliki nilai kekuatan lebih
besar dibandingkan dengan kayu basah. Hal ini dikarenakan pada kayu basah terdapat
jumlah air berlebih yang dapat mempengaruhi kekuatan kayu sendiri. Kandungan air
berlebih menyebabkan tekanan yang diterima oleh serat kayu tidak hanya pada beban
yang dikenakan akan tetapi tekanan itu juga berasal dari kandungan air itu snediri
sehingga dapat dikatakan akan memperkecil kekuatan kayu tersebut terhadap beban
yang diterima. Oleh karena itu dalam dunia konstruksi diupayakan penggunaan bahan
dasar kayu yang memiliki kadar air yang rendah.

3.2 Saran
Dalam dunia konstruksi kayu merupakan bahan yang sering digunakan dalam
pembangunan. Kayu yang baik adalah kayu dengan kadar air yang rendah agar
konstruksi dapat berdiri kuat dan kokoh.
LAMPIRAN
REFERENSI

ASTM C29 – Bulk Density (Unit Weight) and Voids in Aggregate


SNI 03-4804-1998 – Metode Pengujian Berat Isi dan Rongga Udara dalam Agregat
ASTM C136 – Sieve Analysis of Fine and Coarse Aggregates
SNI 03-1968-1990- Metode Pengujian Tentang Analisis Saringan Agregat Halus dan
Kasar
SNI 03 – 1971 – 1990 – Metode Pengujian Kadar Air Agregat
ASTM C128 – Specific Gravity and Absorption of Fine Aggregate
SNI 03-1970-1990 – Metode Pengujian Berat Jenis dan Penyerapan Air Agregat
Halus
ASTM C127 – Specific Gravity and Absorption of Coarse Aggregate
SNI 03-1970-1990 – Metode Pengujian Berat Jenis dan Penyerapan Air Agregat
Kasar
ACI Committee 211 - Guide for Selecting Proportions for High-Strength Concrete
with Portland Cement and Fly Ash, ACI 226.4R. ACI Material Journal, 90,
272-283.
SNI 03 – 2847 – 2002 – Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan
Gedung
ASTM C31 – Making and Curing Concrete Test Specimens
Forsythe, P. (2011). Drivers of Housing Demolition Decision Making and the Impact
on Timber Waste Management. Australasian Journal of Construction
Economics and Building, 11(1), 1 – 14.
Gustavsson, L., &Sathre, R. (2006). Variability in Energy and Carbon Dioxide
Balances of Wood and Concrete Building Materials. Building and
Environment, 41(7), 940 – 951.
Joseph, P., &Tretsiakova-McNally, S. (2010). Sustainable non-metallic Building
Materials. Sustainability, 2(2), 400–427.
Kennedy, R. J., Hockings, E. J., Kai, C., Addison, R., Kennedy, R. J., Hockings, E. J.,
… Addison, R. (2005). The “New Queenslander”: a Contemporary
Environmentally Sustainable Timber House. World Congress on Housing.
Kozak, R. A., & Cohen, D. H. (1999). Architects and Structural Engineers: An
Examination of wood Design and Use in Nonresidential Construction.
International Journal of Language & Communication Disorders / Royal
College of Speech & Language Therapists, 49(4), 37–46.
Lippke, B., & Edmonds, L. (2006). Environmental Performance Improvement in
Residential Construction: The Impact of Products, Biofuels, and Processes.
Forest Products Journal, 56(10), 58 – 63.
Lippke, B., Wilson, J., Perez-Garcia, J., Bowyer, J., &Meil, J. (2004). CORRIM:
Life-Cycle Environmental Performance of Renewable Building Materials.
Forest Products Journal, 54(6), 8 – 19.
Pandit, I.K.N. dan H. Ramdan. (2002). Anatomi Kayu: Pengantar Sifat Kayu sebagai
Bahan Bangunan. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Panshin, A.J. and C. de Zeeuw. (1964). Textbook of Wood Technology. 4 th ed.
McGraw-Hill. New York.
Simpson, W., and Anton Ten Wolde. (1999). Physical Properties and Moisture
Relations of Wood. Wood Handbook: Wood as An Engineering Material.
Forest Product Laboratory General Technical Report FPL-GTR-113. USDA
Forest Science, Forest Product Laboratory. USA.
Skaar, C. (1972). Water in Wood. Syracuse University Press. Syracuse New York.
Taylor, J., &Langenberg, K. Van. (2003). Review of the Environmental Impact of
Wood Compared with Alternative Products Used in the Production of
Furniture. Clayton, Victoria, Australia.
Tsoumis, G. (1991). Science and Technology of Wood: Structure, Properties,
Utilization. Van Nostrand Reinhold. New York.
Wardhono, U.P. (2011). FenomenaPemilihanBahanBangunan Pada Hutan di
Surabaya dan Permukiman di Kali Code. Jurnal Arsitektur Komposisi, 9(1),
47.

Anda mungkin juga menyukai