Anda di halaman 1dari 104

0

PROPOSAL DISERTASI

EFEKTIFITAS EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium Sativum) TOPIKAL

TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA TIKUS DIABETIKUM TINJAUAN

KHUSUS TERHADAP EKSPRESI TNF-α DAN IL-1β

RINI MUSTAMIN

PROGRAM STUDI S3 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN

TAHUN 2021
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari sering didapatkan pola hidup yang

kurang sehat. Salah satunya adalah sering mengkonsumsi makanan

dan minuman yang memiliki kadar glukosa tinggi. Mengkonsumsi

makanan dan minuman tersebut dalam jumlah besar dan secara

terus-menerus dapat menimbulkan berbagai penyakit, salah satu

penyakit yang banyak ditemukan dalam masyarakat akibat

mengkonsumsi makanan dan minuman yang kurang baik tersebut

adalah Diabetes Melitus. Penyakit Diabetes Melitus (DM) merupakan

suatu kelainan metabolisme tubuh, ditandai oleh intoleransi glukosa

akibat kerja insulin yang tidak adekuat (Underwood, 1999).

Diabetes melitus (DM) atau kencing manis merupakan penyakit

menahun yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah

dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang

disebabkan oleh kekurangan hormon insulin. Menurut Smeltzer

(2002), diabets melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen

yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa darah atau hiperglikemia.

Prevalensi penderita diabetes pada 1985 sebesar 30 juta, meningkat

menjadi 135 juta pada 1995 dan 217 juta pada 2005 (Smyth & Heron,

2006). Lima negara dengan jumlah penderita diabetes terbesar pada

2000 adalah India dengan 31,7 juta, Cina 20,8 juta, Amerika 17,7
2

juta, Indonesia 8,4 juta, dan Jepang 6,8 juta (Wild, Roglic, Green,

Sicree, & King, 2004).

World Health Organization (WHO) mengungkapkan bahwa

penderita DM di seluruh dunia hampir mencapai 150 juta orang.

Jumlah ini akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2025 dan paling

banyak terjadi di negara-negara berkembang, terutama di Asia

Tenggara. Indonesia termasuk salah satu negara berkembang yang

mempunyai prevalensi penderita DM berkisar antara 1,4%-1,6%.

Indonesia menempati urutan ke-4 dengan jumlah penderita diabetes

terbesar di dunia setelah India, Cina, dan Amerika Serikat. Pada tahun

2000, jumlah penderita DM di Indonesia sebanyak 8,4 juta jiwa dan

diperkirakan akan mencapai angka 21,3 juta jiwa pada tahun 2030

(PERKENI, 2011).

Diabetes Melitus adalah penyakit kronik yang diderita seumur

hidup dan dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi yang

cukup berat, seperti penyakit jantung koroner, ginjal, kebutaan, ulkus

diabetikum, ganggren kaki, dan penyempitan pembuluh darah

(PERKENI, 2011).Terjadinya luka pada penderita DM terutama pada

bagian kaki harus segera ditangani dengan baik. Jika tidak ditangani

dengan baik maka dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya

berupa gangren. Gangren yang tidak ditangani dengan baik akan

mengakibatkan dilakukan dilakukannya tindakan amputasi. Para ahli


3

memperkirakan 50%-75% kejadian amputasi dapat dihindari dengan

perawatan luka yang baik (Monalisa, 2002).

Ulkus diabetes merupakan komplikasi menahun yang paling

ditakuti penderita karena lamanya perawatan serta biaya yang

dikeluarkan. Biaya pengobatan ulkus DM menghabiskan dana 3 kali

lebih banyak dibandingkan tanpa ulkus. Penderita ulkus diabetes di

negara maju memerlukan biaya yang tinggi untuk perawatan yang

diperkirakan antara 100 juta sampai 120 juta per tahun untuk seorang

penderita. Penderita ulkus kaki diabetes di Indonesia memerlukan

biaya yang tinggi sebesar 1,3 juta sampai Rp. 1,6 juta perbulan dan

Rp. 43,5 juta per tahun untuk seorang penderita (Ridwan, 2011).

Lamanya waktu penyembuhan luka menyebabkan bertambah

lamanya perawatan di rumah sakit sehingga meningkatkan biaya

rawat. Di Amerika biaya yang dikeluarkan untuk merawat luka diabetik

mencapai $8000, luka diabetik dengan infeksi $17000 dan perawatan

amputasi mencapai $45000 (Kruse & Edelman, 2006). Berdasarkan

penelitian Andayani (2006) biaya terapi total setiap pasien adalah Rp

208.500 per bulan, nilai terbesar adalah Rp 754.500. Biaya tertinggi

adalah biaya obat (59,5%), diikuti biaya untuk mengatasi komplikasi

(31%). Kontrol gula darah dengan menggunakan terapi kombinasi,

terbesar adalah dengan sulfonilurea dan biguanid (44,62%).Kombinasi

biguanid, α-glukosidase inhibitor, dan insulin menunjukkan biaya obat

terbesar, yaitu Rp 571.000. Hipertensi, neuropathy, dan hiperlipidemia


4

adalah komplikasi yang sering terjadi. Biaya untuk mengatasi

komplikasi terbesar adalah pasien dengan komplikasi hipertensi dan

retinopathy, yaitu sebesar Rp 754.500. Tingginya biaya yang harus

dikeluarkan untuk merawat luka diabetik dapat menjadi beban bagi

penderita DM dan keluarganya. Hal ini menuntut untuk dilakukan

penelitian-penelitian baru mengenai perawatan luka diabetik yang

lebih efektif dan efisien dari segi ekonomi dan waktu.

Upaya yang dilakukan untuk mencegah komplikasi yang lebih

berat diperlukan intervensi perawatan luka yang efektif dan efisien. Isu

terkini yang berkait dengan manajemen perawatan luka berkaitan

dengan perubahan profil pasien, dimana pasien dengan kondisi

penyakit degeneratif dan kelainan metabolik semakin banyak

ditemukan. Kondisi tersebut biasanya sering menyertai kompleksitas

suatu luka dimana perawatan yang tepat diperlukan agar proses

penyembuhan bisa tercapai dengan optimal (Carol, 2005).

Perawat dituntut untuk mempunyai pengetahuan dan

keterampilan yang adekuat terkait dengan proses perawatan luka

yang dimulai dari pengkajian yang komprehensif, perencanaan

intervensi yang tepat, implementasi, evaluasi hasil yang ditemukan

selama perawatan serta dokumentasi hasil yang sistematis. Isu lain

yang harus dipahami oleh perawat adalah berkaitan dengan cost

effectiveness, yaitu pemilihan produk yang tepat harus berdasarkan

pertimbangan biaya (cost), kenyamanan (comfort), keamanan (safety).


5

Perawat juga dituntut untuk meningkatkan skill dan pengetahuan

tentang manajemen luka yang paling baik dengan memilih bahan

perawatan yang efektif dan efisien (Arisanty.P Irma 2013).

Terdapat berbagai hasil alam yang secara empiris telah banyak

digunakan sebagai obat tradisional untuk membantu proses

penyembuhan luka. Salah satu obat tradisional yang dapat digunakan

untuk mengatasi luka adalah bawang putih (Allium sativum) Bawang

putih mengandung senyawa-senyawa kimia esensial yang sangat baik

bagi kesehatan tubuh. Salah satunya adalah minyak atsiri yang

mempunyai sifat antibakteri dan antiseptik untuk mencegah terjadinya

gangren pada penderita DM. Bawang putih memiliki zat aktif Allicin

yang mempunyai sifat antibakteri dan antiradang yang dapat memberi

efek pemulihan pada luka(Syamsiah IS, Tajudin, 2003).

Sejarah penggunaan tentang bawang putih ini sudah

berlangsung lama sekali, merujuk ke 3.000 tahun sebelum

masehi.Bangsa pertama yang mencatatkan khasiat bawang putih

dalam sejarah mereka adalah Bangsa Mesir pada tahun 1500 SM

(sebelum masehi) dalam sebuah Papyrus. Hypocrates, bapak

kedokteran sedunia, memuji khasiat bawang putih sebagai obat untuk

luka-luka infeksi.Louis Pasteur, pada tahun 1858 mengumumkan

bahwa bawang putih sanggup membunuh bakteri. Ia sebelumnya

telah membuktikan kuman-kuman yang dibiakkannya mati setelah

dibubuhi bawang putih.Pada saat Perang Dunia I berkecamuk,


6

bawang putih ambil bagian sebagai penyembuh. Orang-orang

menaburi ramuan bawang putih pada luka untuk mencegah

pembusukan. Hal yang sama juga dilakukan pada saat Perang Dunia

II pecah.Sejak dulu orang Rusia menjadikan bawang putih sebagai

ganti antibiotic dan kemudian dikenal sebagai Penisilin Rusia karena

dipercaya mengandung 1/10 kebaikan penisilin (Lany Lingga 2012).

Abul Fida' Muhammad 'Izat 'Arif(2013) dalam bukunya tentang

Mukjizat Kesembuhan dalam Bawang Putih disebutkan dalam Al-

Quran yang bahasa arab disebut Fum , dan ini merupakan bahasa

yang paling fasih. Allah berfirman: “….Sebab itu mohonkanlah untuk

kami kepada Robbmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa

yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur mayurnya, ketimunya, bawang

putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya.” (al-Baqoroh [2]:

61)Hadits Nabi SAW: “Makanlah bawang putih dan berobatlah

dengannya, karena didalamnya terkandung obat untuk 70 penyakit”.

( Disebutkan oleh Imam As-Suyuthi dalam Jami’ul Jawawi dan Ad-

Dailami menyebutkannya dari riwayat Ali ).Bawang putih merupakan

Herbal dalam kitab Al Qanun, Ibnu Sina menyatakan,” bawang putih

dapat melemaskan dan menghilangkan bengkak

Bawang putih mengandung senyawa-senyawa kimia esensial

yang sangat baik bagi kesehatan tubuh. Salah satunya adalah minyak

atsiri yang mempunyai sifat antibakteri dan antiseptik untuk mencegah

terjadinya gangren pada penderita DM. Bawang putih memiliki zat aktif
7

Allicin yang mempunyai sifat antibakteri dan antiradang yang dapat

memberi efek pemulihan pada luka ekstrak etanol Allium sativum

memiliki aktivitas penyembuhan luka yang signifikan pada tikus .

Flavonoid , saponin , alkaloid , dan fenolat yang diketahui memiliki

prinsip antibioticc aktif (Mohammad Zuber.Et.Al 2013).

Riset yang dilakukan K.Sidik,AA.Mahmood and I Salmah (2006)

bhawa Ekstrak bawang putih dalam kombinasi dengan madu

mempercepat proses penyembuhan luka dan tingkat sterilitas

luka.Martinus Samuel (2012) mengadakan penelitian tentang

pengaruh air perasan bawang putih (Allium sativum L.) dan madu

(Apis mellifera) mempercepat waktu penutupan luka pada mencit

swiss webter jantan model diabetes. Bawang putih mengandung

beberapa komponen aktif seperti asam amino, mineral, vitamin, dan

minyak atsiri dengan zat yang mengandung sulfur. Minyak atsiri

mengandung antioksidan yang berperan sebagai antibakteri. Bawang

putih juga mengandung zat aktif Allicin yang efektif sebagai antibakteri

dan antiradang. Kandungan bawang putih tersebut dapat digunakan

para penderita DM untuk mengobati luka agar mencegah terjadinya

gangreng

T.Viswasanthi,Et Al. (2013) menyatakan dalam penelitiannya

bahwa Alium sativum adalah salah satu formulasi poli herbal yang

efektif digunakan dalam pengobatan infeksi kaki diabetic karena


8

mengadung bioaktif anti mikroba, anti oksidan, anti inflamasi, aktivitas

penyembuhan luka,

Sohail Ejaz (2009) dalam risetnya menyampaikan bahwa

Penyembuhan luka yang sukses tergantung pada angiogenesis , dan

gangguan angiogenesis merupakan ciri dari luka kronis yang dihadapi

dengan diabetes dan vena atau insufisiensi arteri.menyelidiki efek

pemberian aged garlic solution (ags) pada sembilan puluh anak

ayam , berusia 1 minggu dan dibagi dalam 6 kelompok , yang secara

topikal diberi AGS dengan konsentrasi yang selama 6 hari

menunjukkan penutupan luka , re - epitelisasi , dermal matrix

regenerasi , dan angiogenesis dari semua AGS terkena lukaefek dari

ekstrak bawang putih yang berbeda dalam penyembuhan luka

Saat ini, banyak penelitian yang dilakukan terhadap tanaman

obat terkait manfaat yang dapat diberikan terhadap penyembuhan

berbagai penyakit, termasuk penyembuhan luka. Tingginya

ketertarikan penelitian terhadap tanaman obat disebabkan asumsi

bahwa tanaman obat lebih sehat dibanding produk sintetis (Martinus

Samuel 2012).dan juga banyak tersedia di alam maupun di rumah

karena di Indonesia bawang putih merapakan bahan bumbu utama

yang selalu di jumpai di dapur.

Alium Sativum atau memiliki nama populer Bawang Putih, atau

Garlic ternyata merupakan tanaman yang memiliki banyak manfaat.

Salah satunya yaitu memiliki kandungan antiinflamasi yang sangat


9

baik dalam proses penyembuhan luka. Selain itu, diketahui bahwa

Alium sativum bermanfaat sebagai antimikroba terhadap isolate

bakteri pada luka (Tessema Et.All..2006).

Ekstrak air bawang putih dengan konsentrasi 20% memiliki

aktivitas yang setara dengan 0,01% ampisillin terhadap S. galactie, E.

coli, dan S. aureus.Ekstrak bawang putih dapat digunakan untuk

menghambat pertumbuhan S. typhimurium dan bakteri penyebab

mastitis(M. Sathri, Et.All 2012)

Efek anti mikroba dari bawang putih adalah efek dari senyawa

Alicin melalui mekanisme kerja Mekanisme Merusak Dinding

Sel,Mengganggu Metabolisme Sel,Menonaktifkan Protein melalui

oksidasi senyawa tiol esensial menjadi disulfide dan enghambat

sintesis protein dari bakteri (Imam ahmad nur .2010)

Kandungan senyawa sulfur baru bawang putih yaitu

Thiacremonone bersipat anti-inflamasi melalui penghambatan NF-kB

(Molekul target senyawa sulfur dan faktor transkripsi terlibat dalam

mengatur gen respon inflamasi. (Jung Ok Ban Et all.2009).

Hitrashenoy.Et.All (2009) ekstrak alkohol dari umbi Allium cepa

memiliki aktivitas penyembuhan luka yang signifikan. Aktifitas

penyembuhan ditingkatkan luka ekstrak alkohol mungkin karena

tindakan radikal bebas dan properti antibakteri dari phytoconstituents

(yaitu, tanin dan flavonoid) yang ada di dalamnya yang baik karena
10

mereka Efek individu atau aditif mengikatkan proses penyembuhan

luka. Keberadaan flavonoid

Bawang Putih mengandung senyawa aktif Anti Oksidan

(Flavonoid , saponin , alkaloid , dan fenolat) Selenium & magan yang

terikat pada senyawa organik bawang putih efektif sebagai antioksidan

.Mineral makro ini merupakan kofaktor super Oxyde Desmutase

(SOD) merupakan antioksidan utama mencegah peningkatan

homosistein.Kofaktor metaloenzim glutatión untuk mencegah

kerusakan pembulauh darah dari paparan radikal bebas Mohammad

Zuber.Et.Al(2013) Mohammed Saed Ahmad and Nessar Ahmed.2006

Londhe V.P (2011) aged garlic solution (AGS) dapat

dipergunakan untuk beberapa jenis pengobatan luka karena

mengandung senyawa aktif anti bakteri,anti inflamasi dan anti oksidan.

Banyak penelitian yang telah dilakukan terhadap bawang putih

sebagai penyembuh luka sehingga penulis tertarik meneliti efektifitas

ekstrak bawang putih (Allium sativum) topikal terhadap penyembuhan

luka fase inflamasi pada tikus diabetikum yang di induksi aloksan .

B. Rumusan Masalah

Identifikasi masalah dari penelitian ini adalah : Apakah ada

pengaruh pemberian ekstrak bawang putih (Allium sativum) topikal

terhadap penyembuhan luka fase inflamasi pada tikus diabetikum

yang di induksi aloksan.


11

C.Tujuan penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengidentifikasi pengaruh penyembuhan luka pada tikus

diabetikum yang diberikan ekstrak bawang putih (Allium sativum)

topical

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengidentifikasi kadar TNF-α pada tikus diabetikum yang

diberi ekstrak bawang putih (Allium sativum) topical

b. Untuk mengidentifikasi kadar TNF-α pada tikus diabetikum yang

tidak diberi ekstrak bawang putih (Allium sativum) topical

c. Untuk mengidentifikasi kadar IL-1β pada tikus diabetikum yang

diberi ekstrak bawang putih (Allium sativum) topical

a. Untuk mengidentifikasi kadar IL-1β pada tikus diabetikum yang

tidak diberi ekstrak bawang putih (Allium sativum) topical

D. Mamfaat Penelitian

1. Mamafaat Ilmiah

Mengembangkan pengobatan alternatif untuk penyembuhan luka

diabetes dengan menggunakan ekstrak bawang putih

2. Manfaat Institusi

Memberikan pengetahuan dan wawasan kepada mahasiswa

tentang kegunaan dan efektivitas dari pemberian ekstrak bawang

putih dalam penyembuhan luka pada penyakit DM.


12

3. Manfaat Praktis

Ekstrak bawang putih dapat digunakan oleh masyarakat luas

sebagai salah satu pengobatan alternatif untuk penyembuhan luka,

khususnya pada para penderita DM.


13

BAB II

Tinjuan Pustaka

A. Tinjauan Umum Tentang Diabetes Mellitus

1. Defenisi

Diabetes mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang

timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya

peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik

absolut maupun relatif (Suyono, 1995).

D ia be t e s m e ll it us ad al a h s in dr om y a ng

d is eb ab ka n ol eh ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai

insulin. Sindrom ini ditandai oleh adanya hiperglikemia dan

berkaitan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak

dan protein. Istilah diabetes mellitus sebenarnya mencakup 4 kategori

yaitu tipe I (insulin dependen diabetes mellitus atau IDDM), diabetes

mellitus sekunder dan diabetes mellitus yang berhubungan dengan

nutrisi. Selain itu, terdapat dua kategori lain tentang abnormalitas

metabolisme glukosa yaitu kerusakan toleransi glukosa dan diabetes

mellitus gestasional (Sukaton, 1985 dikutip dari Waspadji, 1988).

Diabetes mellitus tipe II lebih banyak dijumpai di Indonesia.

Faktor resiko diabetes mellitus tipe II antara lain usia, obesitas,

riwayat keluarga dengan diabetes mellitus tipe II, etnis, penyebaran

lemak adroid (tubuh bagian atas atau tipe apel). Kebiasaan diet dan

kurang berolahraga. Pada diabetes mellitus tipe II


keterbatasan respon sel beta pankreas yang

memproduksi insulin terhadap hiperglikemia tampak menjadi faktor

utama berkembangnya penyakit ini. Klien dengan diabetes mellitus

tipe II mengalami penurunan sensivitas terhadap kadar glukosa, yang

berakibat pada pembukaan kadar glukosa tinggi. Keadaan ini

disertai dengan ketidakmampuan otot dan jaringan lemak untuk

meningkatkan ambilan glukosa, sehingga mekanisme ini

menyebabkan meningkatnya resistensi insulin perifer (Tjokroprawiro,

1982). Komplikasi akut mayor diabetes mellitus adalah diabetik

ketoasidosis (DKA), sindrom nekrotik hiperosmolar hiperglikemia

(SKNH), dan hipoglikemia.

Pada diabetes mellitus tipe II komplikasi yang sering

terjadi adalah penyakit mikrovaskuler dan neuropati. Gangguan

kesehatan komplikasi diabetes mellitus antara lain gangguan mata

(retinopati), gangguan ginjal (nefropati), gangguan pembuluh darah

(vaskulopati), dan kelainan pada kaki. Komplikasi yang sering

terjadi adalah perubahan patologis pada anggota gerak yang bisa

menyebabkan luka ulkus, atau luka gangren yang bila tidak ditangani

dengan tepat akan menimbulkan kecacatan bahkan berujung pada

amputasi (Iqbal,2008).
2. Patofisiologi

Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan

mengganti sel yang rusak. Disamping itu tubuh juga memerlukan

energi supaya sel tubuh dapat berfungsi dengan baik. Sumber energi

bagi tubuh berasal dari bahan makanan yang kita makan sehari-

hari, terdiri dari karbohidrat, protein, dan lemak.

Pengolahan bahan makanan dimulai dari mulut kemudian

kelambung dan selanjutnya usus. Di dalam saluran pencernaan

makanan diolah menjadi bahan dasar dari makanan itu.

Karbohidrat menjadi glukosa, protein memjadi asam amino, dan

lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu, akan diserap oleh

usus kemudian masuk ke dalam pembuluh darah dan diedarkan

keseluruh tubuh untuk dipergunakan oleh organ-organ di dalam

tubuh sebagai sumber energi. Supaya dapat berfungsi sebagai

bahan energi, zat makanan itu harus masuk terlebih dahulu

kedalam sel supaya dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan

terutama glukosa dibakar melalui proses kimia yang hasil

akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut metabolisme.

Dalam proses metabolisme insulin memegang peranan yang

sangat penting yaitu bertugas memasukkan glukosa dalam sel,


untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber energi. Insulin

adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel beta

pankreas.

Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta tadi dapat diibaratkan

sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa

kedalam sel, untuk kemudian di dalam sel glukosa itu

dimetabolismekan menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada, maka

glukosa akan tetap berada dalam pembuluh darah yang artinya

kadarnya di dalam darah meningkat. Dalam keadaan seperti ini badan

akan lemah karena tidak ada sumber energi didalam sel (Suyono,

2004).

Pada diabetes mellitus tipe I tidak ditemukan insulin karena

pada jenis ini timbul reaksi autoimun yang disebabkan adanya

peradangan pada sel beta yang disebut ICA (Islet Cell Antibody).

Reaksi antigen (sel beta) dengan antibodi (ICA) yang ditimbulkannya

menyebabkan hancurnya sel beta. Insulitas bisa disebabkan macam-

macam diantaranya virus, seperti virus cocksakie, rubella, CMV,

herpes dan lain-lain. Umumnya yang diserang pada insulitas itu

adalah sel beta, dan biasanya sel alfa dan delta tetap utuh (Suyono,

2004).
Penyebab resistensi insulin pada DM tipe II sebenarnya tidak

begitu jelas, tetapi faktor-faktor seperti obesitas, diet tinggi lemak,

dan rendah karbohidrat, kurang aktivitas, dan faktor keturunan. Pada

DM tipe II jumlah sel beta berkurang sampai 50-60% dari normal,

jumlah sel alfa meningkat. Yang menyolok adalah adanya

peningkatan jumlah jaringan amiloid pada sel beta yang disebut

amilin. Baik pada DM tipe II kadar glukosa darah jelas meningkat bila

kadar itu melewati batas ambang ginjal, maka glukosa akan keluar

melalui urin (Suyono, 2004).

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Diabetes Mellitus

a. Gaya Hidup

Gaya hidup menjadi salah satu penyebab utama

terjdinya diabetes mellitus. Diit dan olahraga yang tidak baik

berperan besar terhadap timbulnya diabetes mellitus yang

dihubungkan dengan minimnya aktivitas sehingga

meningkatkan jumlah kalori dalam tubuh.

b. Usia

Peningkatan usia juga merupakan salah satu faktor risiko

yang penting. Diabandingkan wanita pada usia 20-an, wanita

yang berusia diatas 40 tahun berisiko enam kali lipat


mengalami kehamilan dengan diabetes. Kadar gula darah yang

normal cenderung meningkat secara ringan tetapi progresif

setelah usia 50 tahun, terutama pada orang-orang yang tidak

aktif.

c. Ras dan Suku Bangsa

Suku bangsa Amerika Afrika, Amerika Meksiko, Indian Amerika,

Hawai, dan sebagian Amerika Asia memiliki resiko diabetes dan

penyakit jantung yang lebih tinggi. Hal itu sebagian disebabkan

oleh tingginya angka tekanan darah tinggi, obesitas, dan

diabetes pada populasi tersebut.

d. Riwayat Keluarga

Meskipun penyakit ini terjadi dalam keluarga, cara

pewarisan tidak diketahui kecuali untuk jenis yang dikenal

sebagai diabetes pada usia muda dengan dewasa. Jika

terdapat salah seorang anggota keluarga yang menyandang

diabetes maka kesempatan untuk menyandang diabetes

maupun meningkat. Ada empat bukti yang menunjukkan

transmisi penyakit sebagai ciri dominal autosomal. Pertama

transmisi langsung tiga generasi terlihat pada lebih dari 20

keluarga. Kedua didapatkan perbandingan anak diabetes dan


tidak diabetes 1:1 jika satu orang tua menderita diabetes.

Pengaruh genetik sangat kuat, karena angka konkordansi

diabetes tipe 2 pada kembar monozigot mencapai 100 persen.

Resiko keturunan dan saudara kandung pasien penderita

NIIDM lebih tinggi dibanding diabetes tipe 1. Hampir empat

persepuluh saudara kandung dan sepertiga keturunan

akhirnya mengalami toleransi glukosa abnormal atau diabetes

yang jelas.

e. Kegemukan (Obesitas)

Overweight dan obesitas erat hubungannya dengan

peningkatan resiko sejumlah komplikasi yang dapat terjadi

sendiri-sendiri atau secara bersamaan. Seperti yang telah

disebutkan di awal, komorbiditas itu dapat berupa hipertensi,

dislipidemia, penyakit kardiovaskular, stroke, diabetes tipe II,

penyakit gallblader, disfungsi pernafasan, gout, osteoarthritis,

dan jenis kanker tertentu. Penyakit kronik yang paling sering

menyertai obesitas adalah diabetes tipe II, hipertensi, dan

hiperkolesterolemia. NHANES III menyebutkan bahwa kurang

lebih 12% orang dengan BMI 27 menderita dibetes tipe 2.

Obesitas merupakan faktor resiko utama pada penderita


diabetes tipe 2.

f. Komplikasi Diabetes Mellitus

Diabetes merupakan penyakit yang memiliki komplikasi

yang paling banyak. Hal ini berkaitan dengan kadar gula darah

yang tinggi terus menerus, sehingga berakibat rusaknya

pembuluh darah, saraf dan struktur internal lainnya. Zat

kompleks yang terdiri dari gula di dalam dinding

pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah menebal

dan mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini maka aliran

darah akan berkurang, terutama yang menuju aliran saraf dan

kulit. Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga

cenderung menyebabkan kadar zat berlemak dalam darah

meningkat, sehingga mempercepat terjadinya aterosklerosis

(penimbunan plak lemak di dalam pembuluh darah).

Aterosklerosis ini 2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita

diabetes. Sirkulasi darah yang buruk melalui pembuluh darah

besar bisa melukai otak, jantung, dan pembuluh darah kaki

(makroangiopati), sedangkan pembuluh darah kecil bisa

melukai mata, saraf, dan kulit serta memperlambat penyembuhan

luka. Penderita diabetes bisa mengalami berbagai komplikasi


jangka panjang jika diabetesnya tidak dikelola dengan baik.

Komplikasi yang lebih sering terjadi dan mematikan adalah

serangan jantung dan stroke. Kerusakan pada pembuluh darah

mata bisa menyebabkan gangguan penglihatan, akibat

kerusakan pada retina mata (retinopati diabetikum). Kelainan

fungsi ginjal bisa menyebabkan gagal ginjal sehingga

penderita harus menjalani cuci darah. Gangguan saraf

dapat bermanifestasi dalam beberapa bentuk, misalnya jika

satu saraf mengalami kelainan fungsi, maka sebuah lengan

atau tungkai bisa secara tiba-tiba menjadi lemah. Jika saraf yang

menuju ketangan, dan tungkai mengalami kerusakan, maka pada

lengan dan tungkai bisa merasakan kesemutan atau nyeri

seperti terbakar atau kelemahan. Kerusakan pada saraf

menyebabkan kulit sering mengalami cedera karena penderita

tidak dapat merasakan perubahan tekanan maupun suhu.

Berkurangnya aliran darah kekulit juga bisa menyebabkan

ulkus atau borok diamana proses penyembuhannya akan

berjalan secara lambat hingga menyebabkan amputasi

(Soegondo, 2007).
C. Tinjauan Umum Tentang Luka Diabetik

1. Defenisi

Luka diabetik adalah : luka yang terjadi pada pasien diabetik

yang melibatkan gangguan pada saraf peripheral dan autonomik

(Suryadi, 2004). Luka diabetik adalah luka yang terjadi karena

adanya kelainan pada saraf, kelainan pembuluh darah dan

kemudian adanya infeksi. Bila infeksi tidak diatasi dengan baik, hal

itu akan berlanjut menjadi pembusukan bahkan dapat diamputasi

(Prabowo, 2007).

Terjadinya kaki diabetik tidak terlepas dari tingginya kadar

glukosa darah penyandang diabetes. Tingginya kadar gula darah

berkelanjutan dan dalam jangka waktu yang lama dapat

menimbulkan masalah ada kaki penyandang diabetes (nita-

medicastore.com).

Komponen saraf yang terlibat adalah saraf sensori,

autonomik dan sistem pergerakan. Kerusakan pada saraf sensori

akan menyebabkan klien kehilangan sensasi nyeri sebagian atau

keseluruhan pada kaki yang terlibat. Peripheral vascular disease ini

terjadi karena arteriosklerosis dan aterosklerosis. Pada

arteriosklerosis adalah terjadi penurunan elastisitas dinding arteri.


Pada aterosklerosis adanya akumulasi ”plaques” pada dinding

arteri berupa ; kolesterol,

lemak, sel-sel otot halus, monosit, pagosit, dan kalsium (Suriadi,

2004). Kelangsungan hidup pasien dalam 5 tahun setelah amputasi

adalah rendah, diperkirakan hanya sekitar 25%.

2. Klasifikasi Luka Diabetik

Wagner (1983) berdasarkan luas dan kedalaman luka

membagi gangren diabetik menjadi 6 bagian yaitu, (1) kulit utuh tapi

ada kelainan pada kaki akibat neuropati, (2) draft I : terdapat ulkus

superfisial, terbatas pada kulit, (3) draft II : ulkus dalam, menembus

tendon/tulang, (4) draft III : Ulkus dengan atau tanpa osteomilitis,

(5) draft IV : gangren jari kaki atau bagian distal kaki, dengan tanpa

selulitis (infeksi jaringan), (6) draft V : gangren seluruh kaki atau

sebagian tungkai bawah (Misnadiarly, 2008). Sedangkan Brand

dan Ward (1987) membagi gangren berdasarkan faktor

pencetusnya menjadi 2 golongan yaitu : (1) kaki diabetik akibat

iskemia (KDI), disebabkan penurunan aliran darah ke tungkai

akibat adanya makroangiopati (arterosklerosis) dari pembuluh

darah besar di tungkai, terutama daerah betis. Gambaran klinis KDI

adalah penederita mengeluh nyeri saat istirahat, pada perabaan


terasa dingin, pulsasi pembuluh darah kurang kuat, didapatkan

ulkus sampai gangren. (2) Kaki diabetik akibat neuropati (KDN),

terjadi kerusakan saraf somatik dan otonomik, tidak ada gangguan

dari sirkulasi. Pada klinis ini di jumpai kaki yang kering, hangat,

kesemutan, mati rasa, edem kaki, dengan pulsasi pembuluh darah

kaki teraba baik.

3. Gangren Diabetik

Gangren diabetik adalah luka diabetik yang sudah

membusuk dan bisa melebar, ditandai dengan jaringan yang mati

berwarna kehitaman dan membau karena diseratai pembusukan

oleh bakteri (Ismayanti, 2007). Beberapa factor secara bersama-

sama berperan pada terjadinya ulkus atau gangren diabetes.

Banyak faktor yang mempengaruhi luka diabetes, dimulai dari

faktor pengelolaan kaki yang tidak baik pada penderita diabetes,

adanya neuropati , faktor komplikasi vaskuler yang memperburuk

aliran darah ke kaki tempat luka, faktor kerentanan terhadap infeksi

akibat respons kekebalan tubuh yang menurun pada keadaan DM

tidak terkendali, serta kemudian faktor ketidaktahuan pasien

sehingga terjadi masalah gangren diabetik (Rinne, 2006).


Secara umum, gangren diabetik biasanya terjadi akibat, (1)

neuropati perifer, (2) insufisiensi vaskuler perifer (iskemik), (3)

infeksi, (4) penderita yang berisiko tingi mengalami gangren

diabetik yaitu pasien dengan lama penyakit diabetes yang melebiihi

10 tahun, usia pasien yang lebih dari 40 tahun, riwayat merokok,

penurunan denyut nadi perifer, penurunan sensibilitas, deformitas

anatomis atau bagian yang menonjol (seperti bunion atau kalus),

riwayat ulkus kaki atau amputasi, pengendalian kadar gula darah

yang buruk (Rinne, 2006).

Rangkaian yang khas dalam proses timbulnya gangren

diabetik pada kaki dimulai dari edem jaringan lunak pada kaki,

pembentukan fisura antara jari-jari kaki atau didaerah kaki kering,

atau pembentukan kalus. Jaringan yang terkena mula-mula

berubah warna menjadi kebiruan dan terasa dingin bila disentuh.

Kemudian jaringan akan mati, menghitam dan berbau busuk. Rasa

sakit pada waktu cedera tidak dirasakan oleh pasien yang

kepekaannya sudah menghilang dan cedera yang terjadi bisa

berupa cedera termal, cedera kimia atau cedera traumatik.

Pengeluaran nanah, pembengkakan, kemerahan (akibat selulitis)


pada gangren biasanya merupakan tanda-tanda pertama masalah

kaki yang menjadi perhatian penderita (Rinne, 2006).

Prinsip dasar pengelolaan gangen diabetik, adalah (1)

evaluasi keadaan kaki dengan cermat, keadaan klinis luka,

gambaran luka radiologi (adakah benda asing, osteomielitis, gas

subkutis), lokasi luka, vaskularisasi luka, (2) pengendalian keadaan

metabolik sebaik-baiknya, (3) debridement luka yang adekuat dan

radikal, sampai bagian yang hidup, (4) biakan kuman baik aerob

maupun anaerob, (5) antibiotik yang adekuat, (6) perawatan luka

yang baik, balutan yang memadai sesuai dengan keadaaan luka,

(7) mengurangi edem, (8) non weight bearing : tirah baring, tongkat

penyangga, kursi roda, alas kaki khusus, total contact casting, (9)

perbaikan sirkulasi-vakuler, (10) tindakan bedah atau rehabilitatif

untuk mencegah perluasan luka dan kecepatan penyembuhan, (11)

rehabilitasi.

4. Patofisiologi

Penyakit neuropati dan vaskuler adalah faktor utama yang

mengkontribusi terjadinya luka. Masalah luka yang terjadi pada

pasien dengan diabetik terkait dengan adanya pengaruh pada saraf

yang terdapat pada kaki dan biasanya dikenal sebagai neuropati


perifer. Pada pasien dengan diabetik sering kali mengalami

gangguan pada sirkulasi. Gangguan sirkulasi ini adalah yang

berhubungan dengan “pheripheral vasculal diseases”. Efek sirkulasi

inilah yang menyebabkan kerusakan pada saraf. Hal ini terkait

dengan diabetik neuropati yang berdampak pada sistem saraf

autonom, yang mengontrol fungsi otot- otot halus, kelenjar dan

organ visceral.

Dengan adanya gangguan pada saraf autonom

pengaruhnya adalah terjadinya perubahan tonus otot yang

menyebabkan abnormalnya aliran darah. Dengan demikian

kebutuhan akan nutrisi dan oksigen maupun pemberian anti biotik

tidak mencukupi atau tidak dapat mencapai jaringan perifer, juga

tidak memenuhi kebutuhan metabolisme pada lokasi tersebut. Efek

pada autonomi neuropati ini akan menyebabkan kulit menjadi

kering, antihidrosis; yang memudahkan kulit menjadi rusak dan

mengkontribusi untuk terjadinya gangren. Dampak lain adalah

karena adanya neuropati perifer yang mempengaruhi kapada saraf

sensori dan sistem motor yang menyebabkan hilangnya sensasi

nyeri, tekanan dan perubahan temparatur (Suryadi, 2004).


5. Perawatan luka diabetik

Luka diabetik terdiri dari luka ulkus dan gangren. Tujuan

perawatan luka diabetik adalah mencegah terjadinya komplikasi

dan mempercepat proses pemulihan luka. Ulkus yang tidak dirawat

dengan baik dapat mengakibatkan timbulnya luka gangren.

Gangren adalah luka yang sudah membusuk dan sudah melebar,

ditandai dengan jaringan yang mati berwarna kehitaman dan

membau disertai pembusukan oleh bakteri.

Gangren diabetik diklasifikasikan menjadi lima tingkatan

yaitu (1) Tingkat 0, Resiko tinggi untuk megalami luka pada kaki,

tidak ada luka. (2) Tingkat 1, luka ringan tanpa adanya infeksi,

biasanya luka taerjadi akibat kerusakan saraf, kadang timbul kalus.

(3) Tingkat 2 luka yang lebih dalam, sering kali dikaitkan dengan

peradangan jaringan sekitarnya. Tidak ada infeksi pada tulang dan

pembentukan abses. (4) Tingkat 3 luka yang lebih dalam hingga

ketulang dan berbentuk abses. (5) Tingkat 4 gangren yang

teralokasi, seperti pada jari kaki, bagian depan kaki atau tumit. (6)

Tingkat 5, gangren pada seluruh kaki (Rinne, 2006).

Pasien dapat diberikan antiagregasi trombosit, hipolipidemik dan

hipotensif bila membutuhkan. Antibiotik pun diberikan bila ada infeksi.


Pilihan antibiotik berupa golongan penisilin spektrum luas,

kloksasilin/diklosasilin dan golongan aktif seperti klindamisin atau

metronidazol untuk kuman anaerob. Prinsip terapi bedah pada kaki

diabetik adalah mengeluarkan semua jaringan nekrotik dan

mengeliminasi infeksi sehingga luka dapat sembuh. Tindakan

operatif pada luka diabetes dapat berupa tindakan bedah kecil

seperti insisi dan pengaliran abses, debridement dan nekrotomi.

Tindakan bedah dilakukan berdasarkan indikasi yang tepat. Prioritas

tinggi harus diberikan untuk mencegah tejadinya luka baru, jangan

membiarkan luka kecil, sekecil apapun luka tersebut dapat menjadi

besar dan akhirnya mengarah pada luka gangren yang proses

penyembuhannya membutuhkan waktu yang lama (Yumizone, 2008).

Penyembuhan luka terjadi melalui tahapan yang berurutan

mulai proses inflamasi, proliferasi, pematangan dan penutupan luka.

Pada gangren, tindakan debridement yang baik sangat penting untuk

mendapatkan hasil pengelolaan yang perawatan luka diabetik yang

memuaskan dengan melihat kondisi luka terlebih dahulu, apakah

luka yang dialami pasien dalam keadaan kotor atau tidak, ada apus

atau ada jaringan nekrotik (mati) atau tidak. Setelah dikaji , barulah

dilakukan perawatan luka. Untuk perawatan luka biasanya


menggunakan antiseptik dan kassa steril. Jika ada jaringan nekrotik

sebaiknya dibuang daengan cara digunting sedikit demi sedikit

sampai kondisi luka mengalami granulasi (jaringan baru yang mulai

tumbuh). Lihat kedalam luka, pada pasien diabetes dilihat apakah

terdapat sinus (luka dalam yang sampai berlubang) atau tidak. Bila

terdapat sinus, sebaiknya disemprot (irigasi) dengan NaCl sampai

pada kedalaman luka, sebab pada sinus terdapat banyak kuman.

Lakukan pembersihan luka sehari minimal dua kali (pagi dan sore),

setelah dilakukan perawatan lakukan pengkajian apakah sudah

tumbuh granulasi, (pembersihan dilakukan dengan kassa steril yang

dibasahi larutan NaCl). Setelah luka dibersihkan lalu tutup dengan

kassa basah yang diberi larutan NaCl lalu dibalut disekitar luka,

dalam penutupan dengan kassa jaga agar jaringan luar luka tertutup.

Sebab jika jaringan luar ikut tertutup akan menimbulkan maserasi

(pembengkakan). Setelah luka ditutup dengan kassa basah

bercampur NaCl, lalu tutup kembali dengan kassa steril yang kering

untuk selanjutnya dibalut (Ismayati, 2007).Jika luka sudah

mengalami penumbuhan granulasi, selanjutnya akan ada penutupan

luka (skin draw). Penanganan luka diabetik, harus ekstra agresif


sebab pada luka diabetik kuman akan terus menyebar dan

memperparah kondisi luka (Hermawati, 2007).

6. Proses Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks

karena proses penyembuhan luka adalah kegiatan bio-seluler, bio-

kimia yang terjadi berkesinambungan. Penggabungan respon

vaskuler, aktivitas seluler dan terbentuknya bahan kimia sebagai

substansi mediator di daerah luka merupakan komponen yang

saling terkait pada proses penyembuhan luka. Besarnya perbedaan

mengenai penelitian dasar mekanisme penyembuhan luka dan

aplikasi klinis saat ini telah dapat diperkecil dengan pemahaman

dan penelitian yang berhubungan dengan proses penyembuhan

luka dan pemakaiaan bahan pengobatan yang berhasil

memberikan kesembuhan.

Peran fibroblast sangat besar dalam proses perbaikan, yaitu

bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur

protein yang akan digunakan selama proses konstruksi jaringan.

Pada jaringan lunak yang normal tanpa perlukan, pemaparan sel

fibroblast sangat jarang dan biasanya tersembunyi di matriks

jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka fibroblast akan aktif


bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian

akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa

substansi (Kolagen, elastin, Inyalruounc acid, fibronectin dan

profeoglycans) yang berperan dalam membangun (rekonstruksi)

jaringan baru. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah

membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan

dengan dikeluarkannya substrat oleh fibroblast, memberikan tanda

bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai

kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka.

Sejumlah sel pembuluh darah baru yang tertanam di dalam

jaringan baru tersebut berfungsi sebagai jaringan granulasi,

sedangkan proses proliferasi fibroblas dengan aktivitas sintetiknya

di sebut fibroblasia, migrasi, deposit jaringan matriks, kontraksi

luka.

Angiogenesis suatu pembentukan pembuluh kapiler baru di

dalam luka, mempunyai peran penting pada tahap proliferasi

proses penyembuhan luka. Vaskularisai yang tidak lancar, penyakit

(diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid)

mengakibatkan lambatnya proses sembuh karena terbentuknya

ulkus yang kronis. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi ke


dalam luka merupakan suatu respon untuk memberikan oksigen

dan nutrisi yang cukup di daerah luka karena oksigen. Pada fase ini

fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan di

pengaruhi oleh substansi yang di keluarkan oleh platelet dan

makrofag (growth factors).Proses selanjutnya adalah epitelasi,

dimnana fibrobalas mengeluarkan “karatinocyle growth factor”

(KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel epitel.

Keratinasasi akan di mulai dari pinggir luka dan akhirnya

membentuk barier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa

kolagen oleh fibroblas, pembentukan lapisan dermis ini akan

disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan

jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan baru

tersebut menutup luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi

myofibroblast yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi

pada jaringan. Fungsi kontraksi akan leibh menonjol pada luka

dengan defek luas dibandingkan dengan defek luka. Minimal Fase

proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen

terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan di percepat oleh

berbagai growth factor yang dibentuk makrofag dan platelet.


Fase maturasi fase ini terjadi pematangan yang terdiri dari

penyerapan kembali jaringan yang berlebihan, pengerutan sesuai

dengan gravitasi, pada minggu ke 3 setelah perlukaan dan berakhir

sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah

penyempurnaan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan

penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai

meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan

mulai berkurang karnea pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari

kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut.

Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada

minggu ke 10 setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah di

mulai sejak fase proliferasi akan di dilanjutkan pada fase maturasi.

Kecuali pembentukan kolagen muda (gelatinious collagen) yang

terbentuk pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang

lebih matang, yaitu lebih kuat dan struktur yang lebih baik (proses

re-modelling).Untuk mencapai penyembuhan yang optimal di

perlukan keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan

yang di pecahkan. Kolagen yang berlebihan akan mengakibatkan

terjadinya penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar,

sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan


jaringan parut dan luka akan selalu terbuka. Luka di katakan

sembuh apabila telah terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan

jaringan kulit sehingga mampu melakukan aktivitas yang normal.

Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita,

namun hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik

masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka. Penderita muda

dan sehat akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan

yang kurang gizi, dan yang disertai oleh penyakit sistemik (diabetes

mellitus) (Tawi, 2004).

7. Faktor-faktor yang mempengaruhi luka gangren diabetes mellitus

Faktor-faktor yang mempengaurhi penyembuhan luka

gangren diabetes mellitus secara umum adalah faktor intrinsika

yaitu;

a) usia, semakin tua aka semakin lama proses penyembuhan luka

berlangsung. Hal ini dipengaruhi oleh adanya penurunan

elastisitas dalam kulit dan perbedaan penggantian kolagen

yang mempengaurhi penyembuhan luka

b) status penyakit dan pengobatan, penderita yang mengalami

penyakit seperti DM, yang dapat menyebabkan terjadinya


mikroangiopai, neuropati dan masalah khusus yang terjadi

pada penderita akan mempersulit penyembuhan

c) status nutrisi, zat makanan yang masuk kedalam tubuh seperti

protein sangat dibutuhkan dalam proses neo-vaskularisasi,

proliferasi fibroblast, sintesa kolagen dan remodelling luka.

Asam amino adalah komponen struktural protein dan

merupakan bagian penting dari deoxyribonucleic acid (DNA)

dan ribonucleic acid (RNA). Ini memberikan pola untuk mitosis

sel dan enzim yuang dibutuhkan dalam pembentukan jaringan,

d) oksigenasi dan perfusi jaringan, oksigen berpengaruh dalam

angiogenesis, fungsi fibroblast, epitelisasi dan resistensi

terhadap infeksi. Perfusi jaringan saling terkait dengan

oksigenasi jaringan.Perfusi jaringan yang baik merupakan hal

yang essensial untuk oksigenasi. Volume darah beredar yang

adekuat membawa hemoglobin yang kaya 02 ke jaringan.

Masalah yang berkaitan dengan perfusi jaringan dan oksigenasi

dapat diakibatkan oleh penyakit kardiovaskuler, paru dan

hipovolemia
e) Merokok, hal ini juga mengurangi perfusi dan oksitgenasi

jaringan dan menimbulkan efek mergikan pad aproses

penyembuhan luka.

Kemudian faktor Ekstrinsika yaitu,

a) Adanya teknik pembedahan yang buruk, jika jaringan di tangani

secara kasar selama pembedahan, maka jaringan mengalami

kerusakan yang luas, mengakibatkan hematom. Hal ini dapat

meningkatkan resiko infeksi akibat hematom yang pecah.

Ruang mati (dead space) mungkin juga terjadi jika jaringan

tidak diperbaiki secara tepat selama pembedahan dan memberi

peluang untuk berkembangnya infeksi luka

b) Drug treatment, obat juga mempengaruhi penyembuhan luka

seperti steroid, obat anti inflamasi, obat antimitotik dan terapi

radiasi. Steroid menghambat seluruh fase penyembuhan luka,

menghambat fagositosis, sintesa kolagen dan angiogenesis

c) Manajemen luka yang tidak tepat, penggunaan teknik

pembalutan yang tidak tepat, pemilihan dan penggunaan bahan

balutan yang kurang tepat atau penggunaan antiseptik solution

yang semestinya tidak diperlukan dapat menghambat proses

penyembuhan luka
d) Psikososial yang merugikan, berbagai jenis faktor psikososial

dapat memberikan efek merugikan pada penyembuhan luka

seperti: buruknya pemahaman dan penerimaan terhadap

program pengobatan atau kecemasan yang berkaitan dengan

perubahan pada pekerjaan, penghasilan, hubungan pribadi dan

body image (Morison, 1992)

e) Infeksi, dari semua faktor yang memperlambat penyembuhan

luka, infeksi adalah yang paling penting. Infeksi dapat terjadi

jika selama persiapan pembedahan, selama pembedahan dan

setelah pembedahan tidak dilakukan dengan prinsip aseptik

dan antiseptik yang baik. Jenis luka dan lokasi pembedahan

juga mempengaurhi resiko infeksi pada luka insisi.

8. Kriteria Luka Sembuh

Pada dasarnya proses penyembuhan luka sama untuk

setiap cedera jaringan lunak. Begitu juga halnya dengan kriteria

sembuhnya luka pada tipa cedera jaringan luka baik luka ulseratif

kronik, seperti dekubitus dan ulkus tungkai, luka traumatis,

misalnya laserasi, abrasi, dan luka bakar, atau luka akibat tindakan

bedah. Push Score (length x widht, tissue type, exudate amount)

adalah salah satu acuan dalam identifikasi proses penyembuhan


luka. Luka dikatakan mengalami proses penyembuhan jika

mengalami proses fase respon inflamasi akut terhadap cedera,

fase destruktif, fase proliferatif, dan fase maturasi (Morison, 2004).

Kemudian disertai dengan berkurangnya luasnya luka, jumlah

exudate berkurang, jaringan luka semakin membaik (NPUAP,

1997).

D. Tinjauan Umum Tentang Luka

1. Definisi Luka

Berdasarkan Wound Healing Society, luka adalah kerusakan

fisik sebagai akibat dari terbukanya atau hancurnya kulit yang

menyebabkan ketidakseimbangan fungsi dan anatomi kulit normal

(Nagori and Solanki, 2011). Luka juga didefinisikan sebagai

gangguan dari seluler, anatomi, dan fungsi yang berkelanjutan dari

jaringan hidup yang disebabkan oleh trauma fisik, kimia, suhu,

mikroba, atau imunologi yang mengenai jaringan (Thakur et al.,

2011). Disebutkan juga luka adalah kerusakan dari integritas epitel

kulit diikuti dengan terganggunya struktur dan fungsi dari jaringan

normal sebagai akibat dari luka memar, luka lebam, luka robek,

luka koyak atau luka lecet (Soni and Singhai, 2012).Luka ini
mengakibatkan kehilangan kesinambungan dari epitel dengan atau

tanpa kehilangan dari jaringan penunjangnya.

Menurut Nagori and Solanki (2011), klasifikasi luka berupa

luka terbuka dan tertutup berdasarkan penyebab dasar dari luka,

serta luka akut dan kronis berdasarkan fisiologi dari penyembuhan

luka. Meliputi :

a. Luka terbuka : terjadi perdarahan yang terlihat secara kasat

mata dimana darah keluar dari tubuh. Luka terbuka meliputi luka

insisi, luka laserasi, abrasi atau luka dangkal, luka tusukan kecil,

luka penetrasi, dan luka tembak

b. Luka tertutup : pada luka jenis ini darah keluar dari sistem

sirkulasi darah tetapi tersisa di dalam tubuh. Telihat dalam

bentuk luka memar. Luka tertutup sedikit penggolongannya

tetapi lebih berbahaya dari luka terbuka. Luka tertutup meliputi

benturan atau luka memar, hematoma atau tumor darah, dan

cedera yang keras.

c. Luka akut : merupakan cedera pada jaringan yang normalnya

dilanjutkan dengan proses perbaikan yang tersusun rapih dan

tepat waktu, mengakibatkan pemulihan integritas jaringan

secara anatomi dan fungsi dapat dipertahankan. Biasanya


disebabkan oleh luka terpotong atau insisi bedah dan proses

penyembuhan luka yang lengkap dalam kerangka waktu yang

diharapkan.

d. Luka kronis : terjadi karena kegagalan penyembuhan luka

dalam tahap yang normal dan kemudian masuk ke dalam tahap

inflamasi yang patologi. Luka kronis membutuhkan periode

waktu penyembuhan yang lama, tidak sembuh, atau

kekambuhan yang sering. Merupakan sebab utama

ketidakmampuan secara fisik. Infeksi lokal, hipoksia, trauma,

benda asing dan problem sistemik seperti diabetes mellitus,

malnutrisi, defisiensi fungsi imun atau obat-obatan seringkali

menyebabkan luka kronis.

2. Penyembuhan Luka

Luka dapat menyebabkan ketidakmampuan seseorang

secara fisik. Penyembuhan luka merupakan reaksi kompleks yang

saling mempengaruhi dari kegiatan seluler dan biokimia, yang

mengatur pemulihan integritas struktural dan fungsional jaringan

luka (Thakur et al., 2011). Penyembuhan luka terdiri dari

serangkaian proses yang tersusun rapih sehingga jaringan yang

rusak dapat bersatu seperti semula.


Penyembuhan luka yang normal dipengaruhi banyak faktor.

Bila proses penyembuhan ini gagal dapat berkembang menjadi

luka yang kronis (Nagori and Solanki, 2011). Luka yang tidak

sembuh secara terus menerus menghasilkan mediator inflamasi

yang menyebabkan sakit dan bengkak di tempat luka. Luka

tersebut menyebabkan infeksi dan pemulihan luka yang panjang.

Selain infeksi, komplikasi yang sering dihubungkan dengan

penyembuhan luka yang buruk meliputi selulitis, deformitas, keloid,

gangrene, sepsis, tetanus, infeksi fatal dari sistem saraf. Pada luka

terbuka sering terjadi isemik dan nekrosis yang bisa mengakibatkan

amputasi (Reddy et al., 2012).

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka

diantaranya adalah :

a. Diet yang salah: penyembuhan luka adalah suatu proses

anabolik yang membutuhkan energi dan nutrisi. Serum albumin

3,5 gram/dl atau lebih dibutuhkan untuk penyembuhan luka.

Protein penting untuk sintesa kolagen pada luka. Keadaan

malnutrisi berakibat menurunnya kecepatan sintesa kolagen

pada jaringan luka dan meningkatkan kejadian infeksi (Nagori

and Solanki, 2011).


b. Infeksi di daerah luka : Infeksi pada luka merupakan alasan

terkuat bagi kegagalan penyembuhan luka. Organisme

terpenting adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus

pyogenes, Corynebacerium sp, Escherichia coli dan

Pseudomonas aeruginosa (Nagori and Solanki, 2011).

c. Kekurangan asupan oksigen dan perfusi jaringan ke

daerah luka : misalnya dalam keadaan sakit yang sangat,

dingin, atau cemas dapat menyebabkan vasokonstriksi lokal

dan meningkatkan waktu penyembuhan. Merokok dan

penggunaan tembakau menurunkan perfusi jaringan dan

tekanan oksigen pada luka (Nagori and Solanki, 2011).

d. Obat-obatan : kemoterapi untuk kanker merupakan grup obat-

obatan yang memperlambat proses penyembuhan luka.

Glukokortikoid sistemik juga mempengaruhi proses

penyembuhan yang normal, dengan menurunkan sintesa

kolagen dan proliferasi fibroblast (Nagori and Solanki, 2011).

e. Umur tua : Pada usia lanjut terjadi keterlambatan

penyembuhan luka yang disebabkan karena aktifitas dan

pertumbuhan fibroblas yang berkurang dan produksi kolagen


menurun, juga kontraksi luka yang melambat (Nagori and

Solanki, 2011).

f. Diabetes dan kondisi penyakit lainnya : Pasien diabetes

lebih memungkinkan terjadinya infeksi pada luka, juga terjadi

pada gangguan fungsi imun tubuh. Keterlambatan

penyembuhan luka juga terjadi pada pasien dengan penyakit

akut dan kronik liver (Nagori and Solanki, 2011).

Gambar 2.2 Fase Penyembuhan Luka (dikutip dari : Vowden, 2002)

Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks

dibagi menjadi tiga fase yang saling overlapping yaitu fase inflamasi,

proliferasi dan remodeling. Disebut overlapping karena mediator yang

dikeluarkan pada fase-fase tersebut sering sama. Ini menunjukkan

seluruh fase berjalan secara berurutan dan juga menerangkan

hubungan secara linear mengenai penyembuhan luka mulai dari

terjadinya luka sampai dengan terjadinya perbaikan, bahkan sampai


bisa menjadi luka kronis. Beberapa penulis membagi fase

penyembuhan luka menjadi empat fase dimana fase pertama

merupakan proses hemostatis yang lebih menekankan pada respon

vaskuler (Li et al., 2007). Yang menjadi perhatian adalah penjabaran

mengenai seluruh proses perbaikan luka sulit dijelaskan atau

digolongkan dalam fase-fase yang tepat dan hal ini harus menjadi

pertimbangan karena fase-fase tersebut sering overlapping (Falanga,

2007).

a. Fase Inflamasi

Inflamasi merupakan reaksi awal bila tubuh terkena luka ( Li

et al., 2007). Fase ini terjadi segera setelah cedera dan dapat

berlangsung sampai 4-6 hari (Broughton et al., 2006). Reaksi awal

adalah terjadinya vasodilatasi lokal, keluarnya darah dan cairan

menuju ruangan ekstravaskuler, dan terhambatnya aliran limfatik.

Semua ini mengakibatkan timbulnya tanda-tanda utama untuk

terjadinya suatu inflamasi, termasuk bengkak, merah dan panas.

Respon inflamasi akut ini biasanya antara 24-48 jam dan dapat

menetap diatas 2 minggu untuk beberapa kasus ( Li et al., 2007).

Fase ini merupakan tahap awal yang alami untuk mengangkat

jaringan debris dan mencegah infeksi yang invasif (Gurtner, 2007).


Gambar 2.3 Regenerasi Luka (Dikutip dari : Schafer, 2012)

Fase ini dibagi menjadi dua yaitu respon vaskular dan respon

seluler ( Li et al., 2007).cedera sebagai akibat dari terganggunya

atau rusaknya pembuluh darah. Langkah pertama dari proses

penyembuhan luka adalah hemostasis. Hemostasis terdiri dari dua

proses utama: pembentukan fibrin clot dan koagulasi. Platelet

adalah sel pertama yang muncul sesudah terjadinya cedera dan

mengatur hemostasis normal. Perubahan trombin menjadi

fibrinogen dan kemudian menjadi fibrin selama agregasi platelet,

menyebabkan fibrin clot terbentuk dan menghentikan perdarahan.

Komponen ke dua dari hemostasis adalah koagulasi melalui

intrinsik dan ekstrinsik coagulation pathways. Kerusakan jaringan

melepaskan lipoprotein yang dikenal sebagai tissue factor. Pada

fase ini platelet yang membentuk klot hematom mengalami degranulasi,


melepaskan faktor pertumbuhan seperti platelet derived growth

factor (PDGF) dan transforming growth factor (TGF-β), granulocyte

colony stimulating factor (G-CSF), C5a, TNFα, IL-1 dan IL-8.

Leukosit bermigrasi menuju daerah luka. Terjadi deposit matriks

fibrin yang mengawali proses penutupan luka ( Li et al., 2007).

Pada respon seluler, ciri-ciri fase inflamasi adalah masuknya

lekosit ke daerah luka Segera setelah terjadinya luka sel netrofil

dalam jumlah besar berpindah dari kapiler menuju jaringan luka,

kemudian jumlah netrofil menurun dan digantikan dengan makrofag

(perubahan dari monosit). Monosit segera berubah menjadi

makrofag pada jaringan luka fase selanjutnya, kurang lebih dalam

48 sampai 72-96 jam setelah luka (Broughton et al., 2006; Gurtner,

2007). Monosit ini ditarik ke jaringan luka oleh chemoattractans

yang sama dengan netrofil, juga oleh monocyte chemoattractant

protein dan macrophage inflammatory protein, oleh produk dari

degradasi matriks ekstraseluler seperti fragmen kolagen, fragmen

fibronectin, dan trombin ( Li et al., 2007).

Makrofag berperan penting dalam pengaturan sel seperti

fungsi fagositosis, memakan dan mencerna serta membunuh

organisme patogen, membersihkan debris jaringan dan merusak


sisa netrofil, menarik fibroblas ke jaringan luka dan memicu

pembuluh darah baru. Makrofag merupakan pabrik produksi growth

factors seperti PDGF, fibroblast growth factor (FGF), vascular

endothelial growth factor (VEGF), TGF-β, dan TGF-α.

Dalam fase inflamasi ini, netrofil dan makrofag menghasilkan

sejumlah besar anion superoksid radikal, yang sering digambarkan

sebagai „respiratory burst‟. Kemudian sel lain seperti fibroblas

dirangsang oleh sitokin pro inflamasi untuk memproduksi reactive

oxygen spesies (ROS) (Keller et al., 2006). Selain efek positif untuk

membunuh bakteri, ROS ini juga berdampak negatif, menghambat

migrasi sel, merusak jaringan dan bahkan berubah menjadi

neoplasma (Keller et al., 2006). Untuk melindungi dari stres

oksidatif, sel-sel mempunyai beberapa sistem untuk

mendetoksifikasi ROS, yaitu secara nonenzimatik dan enzimatik.

(Keller et al., 2006).

Suatu luka disebut luka kronis bila fase inflamasi menetap

berbulan-bulan bahkan tahunan. Fase inflamasi menetap pada

keadaan luka yang hipoksia, infeksi, defisiensi nutrisi, penggunaan

obat-obatan tertentu, atau faktor lain yang dihubungkan dengan

respon imun pasien (Reddy et al., 2012). Luka kronis membentuk


jaringan nekrotik yang tercemar oleh organisme patogen atau

mengandung material asing yang tidak dapat di fagositosis selama

fase akut inflamasi. Granulosit tidak muncul, sebaliknya sel

mononuklear terutama limfosit, monosit, dan makrofag menetap

pada daerah inflamasi. Tidak ada tanda-tanda

inflamasi. Makrofag menarik fibroblas dan dalam waktu yang lama

memproduksi sejumlah besar kolagen, membentuk masa

encapsulated dari jaringan fibrous dengan lambat, suatu granuloma

(Li et al., 2007).

b. Fase Proliferasi

Pada fase ini aktifitas seluler lebih utama. Tahap-tahap utama

meliputi pembentukan barier permeabilitas (epitelisasi),

kecukupan suplai darah (angiogenesis) dan pembentukan kembali

jaringan dermis pada jaringan yang luka (fibroplasia) (Li et al.,

2007). Ciri-ciri fase proliferasi adalah angiogenesis, deposit

kolagen, pembentukan jaringan granulasi, epitelisasi, dan

kontraksi luka (Nayak et al., 2007). Fase ini akan dimulai pada hari

ke 3 bersamaan dengan memudarnya fase inflamasi dan terus

sampai pada hari ke 14, bahkan lebih setelah luka, didominasi

dengan pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi (Reddy et


al., 2012). Broughton et al. (2006) menyebutkan fase proliferasi

dimulai segera setelah fase inflamasi yang berlangsung 4 - 6 hari.

1) Epitelisasi

Proses ini mengembalikan epidermis utuh seperti semula.

Faktor yang terlibat adalah migrasi keratinosit pada jaringan

luka, proliferasi keratinosit, diferensiasi neoepitelium menjadi

epidermis yang berlapis-lapis, dan mengembalikan basement

membrane zone (BMZ) menjadi utuh yang menghubungkan

epidermis dan dermis (Li et al., 2007). Epidermal growth factor

(EGF), keratinocyte growth factor (KGF), dan TGF-α

merupakan faktor penting untuk merangsang migrasi

keratinosit, proliferasi, dan epitelisasi. Hari ke 7-9

sesudah epitelisasi, BMZ terbentuk. Struktur kulit pada BMZ

terdiri dari banyak protein matriks ekstraseluler seperti kolagen

dan laminins.

Pembentukan kembali dermis dimulai kira-kira hari ke 3-4

setelah perlukaan, dengan ciri klinik pembentukan jaringan

granulasi, meliputi pembentukan pembuluh darah baru atau

angiogenesis, dan penumpukan fibroblas atau fibroplasia ( Li et

al., 2007).
2) Fibroplasia

Adalah suatu proses proliferasi fibroblas, migrasi fibrin

clot ke daerah luka, dan produksi dari kolagen baru dan matriks

protein lainnya, yang terlibat dalam pembentukan jaringan

granulasi. Respon awal saat terjadinya luka, fibroblas di pinggir

luka memulai proliferasi dan kira-kira hari ke 4 dimulai migrasi

menuju matriks dari bekuan luka yang kaya kolagen,

proteoglikan, dan elastin. PDGF, TGF-β, EGF dan FGF

merangsang dan mengatur migrasi fibroblas dan mengatur

ekspresi dari reseptor integrin. Proliferasi fibroblas diatur dan

dirangsang oleh EGF, FGF, kondisi asam rendah oksigen yang

ditemukan pada pusat luka. Sekali fibroblas bermigrasi ke

daerah luka, selanjutnya akan berubah fenotipnya secara

bertahap menjadi profibrotic phenotype yang fungsi utamanya

juga berubah yaitu untuk sintesa protein. Selain itu fibroblas

juga berubah fenotipnya menjadi myofibroblast yang berperan

pada kontraksi luka (Li et al., 2007)


Gambar 2.4 Fase Inflamasi (1), Fase Proliferasi (2), Fase Remodelling (3a, 3b) (dikutip dari : Romo, 2012)

Fibroblas tampak berbentuk fusiformis diantara serabut-serabut

jaringan, memiliki tonjolan-tonjolan sitoplasma yang tidak teratur, inti

bulat telur, besar, kromatin halus, dan memiliki nukleus yang jelas

(Kalangi, 2004). Pada jaringan ikat longgar dijumpai berbentuk bintang

atau stelata sebagai akibat serabutserabut jaringan ikat yang tidak

teratur. Fibroblas memiliki banyak mikrofilamen proaktin serta

mikrotubul. Fibroblas berfungsi untuk mensintesis matriks

ekstraseluler seperti serabut kolagen, serbut elastin, dan zat-zat

amorf.
3) Angiogenesis (Neovaskularisasi)

Angiogenesis ditandai dengan migrasi sel endotel dan

pembentukan kapiler (Broughton et al., 2006). Terjadi

pertumbuhan kapiler baru pada daerah yang berdekatan

dengan luka berupa tunas-tunas yang terbentuk dari pembuluh

darah dan akan berkembang menjadi percabangan baru pada

jaringan luka (Singer and Clark, 1999).

Selama angiogenesis, sel endotelial juga memproduksi dan

mengeluarkan substansi biologikal aktif atau sitokin. Beberapa

growth factor terlibat dalam angiogenesis adalah VEGF,

angiopoietins, FGF, dan TGF-β. Berbagai tipe sel termasuk

keratinosit, fibroblas, dan sel endotelial menghasilkan

endothelial growth factor. VEGF ini terdapat dalam kadar

rendah pada kulit normal, sebaliknya kadarnya tinggi pada

waktu penyembuhan luka. Keadaan mempengaruhi timbulnya

growth factor (Li et al., 2007). Angiogenesis berlangsung

proporsional untuk perfusi darah dan tekanan parsial oksigen

arteri (Ueno et al., 2006).


4) Kontraksi Luka

Kontraksi dari luka dimulai segera sesudah terjadinya

perlukaan dan mencapai puncaknya 2 minggu. Derajat

kontraksi luka bervariasi tergantung kedalaman luka. Untuk

luka yang dalam, kontraksi merupakan bagian penting dari

penyembuhan dan lebih dari 40% menurun dalam ukuran luka.

Luka dengan kedalaman yang parsial, kontraksi kurang penting

( Li et al., 2007).
Myofibroblast adalah mediator utama dari proses kontraksi

karena kemampuannya untuk meluas dan menarik. Selama

pembentukan jaringan granulasi, secara bertahap fibroblas

berubah menjadi myofibroblast yang memegang peranan pada

kontraksi luka (Broughton et al., 2006), dengan ciri ikatan

mikrofilamen aktin (tidak terlihat pada kulit yang normal) ( Li et

al., 2007) yang mampu meregenerasi matriks dan kontraksi

(Gurtner, 2007). Fibronectin membantu dalam kontraksi luka.

c. Fase Remodeling

Merupakan fase terpanjang penyembuhan luka yaitu pematangan

proses, yang meliputi perbaikan yang sedang berlangsung pada

jaringan granulasi yang membentuk lapisan epitel yang baru dan

meningkatkan tegangan pada luka (Ueno et al., 2006). Remodeling


meliputi deposit dari matriks ( Li et al., 2007), deposit kolagen pada

tempatnya (Broughton et al., 2006), dan kontraksi scar (Gurtner,

2007).. Pada fase remodeling kekuatan peregangan jaringan

ditingkatkan karena cross-linking intermolekular dari kolagen

melalui hidroksilasi yang membutuhkan vitamin C (Reddy et al.,

2012).

Satu dari ciri-ciri fase ini adalah perubahan komposisi matriks

ekstraseluler. Kolagen tipe III muncul pertama kali sesudah 48 – 72

jam dan maksimal disekresi antara 5 – 7 hari. Jumlah kolagen total

meningkat pada awal perbaikan, mencapai maksimum antara 2

sampai 3 minggu sesudah cedera (Li et al., 2007). Kolagen tipe III

yang diproduksi oleh fibroblas selama fase proliferasi akan diganti

oleh kolagen tipe I selama beberapa bulan berikutnya melalui

proses yang lambat dari kolagen tipe III (Gurtner, 2007).

Selama periode 1 tahun atau lebih, dermis secara bertahap kembali

kepada fenotip yang stabil seperti sebelum cedera, dan komposisi

terbanyak adalah kolagen tipe I. Kekuatan regangan yang

merupakan penilaian dari fungsi kolagen, meningkat 40%

kekuatannya dalam jangka waktu 1 bulan dan terus meningkat


sampai 1 tahun, mencapai lebih dari 70% kekuatannya dari normal

pada akhir fase remodeling ( Li et al., 2007).

Proses perubahan dari dermis dilaksanakan melalui kontrol yang

ketat antara sintesa kolagen baru dan lisis dari kolagen lama yang

dilakukan oleh matrix metalloprotein (MMP). MMP biasanya tidak

terdeteksi atau kadarnya sangat rendah pada jaringan sehat, dan

timbul selama perbaikan luka. Aktifitas katalitik dari MMP juga

dikontrol oleh inibitor jaringan dari metaloprotein. Keseimbangan

antara aktifitas MMP dan inhibitornya juga merupakan hal penting

dalam perbaikan luka dan remodeling ( Li et al., 2007).

Ketidakseimbangan yang terjadi dapat menyebabkan

keterlambatan penyembuhan luka atau berlebihnya jaringan fibrosis

sehingga menyebabkan jaringan parut, hipertropi scar atau bahkan

keloid. Keadaan ini dapat terjadi pada penderita diabetes, infeksi,

usia lanjut, dan nutrisi yang buruk ( Li et al., 2007)

E. Tinjauan Umum Tentang Bawang Putih

Pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan utama pengobatan telah

menjadi bagian dari kebudayaan hampir setiap negara di dunia (Lee et

al., 2000). Lebih dari 13.000 jenis tanaman digunakan untuk membuat

ribuan resep ramuan pengobatan tradisional dari berbagai belahan


dunia (Dahanukar et al., 2000). Peran tumbuhan sebagai bahan obat

sama pentingnya dengan perannya sebagai bahan makanan (Raskin et

al., 2002).

Dewasa ini minat masyarakat untuk kembali pada pengobatan

tradisional semakin meningkat. Pengobatan dengan ramuan tradisional

dirasakan lebih murah dari pada obat kimiawi sintetik. Prosedur

pembuatannya pun mudah bahkan dalam keadaan mendesak. Peluang

untuk mendapatkan ramuan mujarab dan mudah diperoleh masih

terbuka lebar, mengingat potensi tanaman obat Indonesia yang tinggi

dan belum termanfaatkan semuanya (Thomas, 2000).

Salah satu tanaman yang mempunyai khasiat obat adalah bawang

putih (Allium sativum L.). Informasi paling awal tentang khasiat obat

tanaman dimulai sekitar tahun 3000 SM oleh bangsa Cina (Banerjee

dan Maulik, 2002), dan suku-suku pengelana (nomad) Asia Tengah

yang menggunakannya untuk mengusir roh jahat dan menjaga

kesehatan (Aaron, 1996). Bagian tanaman bawang putih yang paling

berkhasiat adalah umbi. Di Indonesia, selain umum digunakan sebagai

bumbu masakan, umbi bawang putih digunakan pula untuk mengobati

tekanan darah tinggi, gangguan pernafasan, sakit kepala, ambeien,

sembelit, luka memar atau sayat, cacingan, insomnia, kolesterol, flu,


gangguan saluran kencing, dan lain-lain (Thomas, 2000; Rukmana,

1995).

1. Sejarah dan penyebaran

Bawang putih telah lama menjadi bagian kehidupan

masyarakat di berbagai peradaban dunia. Namun belum diketahui

secara pasti sejak kapan tanaman ini mulai dimanfaatkan dan

dibudidayakan. Awal pemanfaatan bawang putih diperkirakan

berasal dari Asia Tengah. Hal ini didasarkan temuan sebuah

catatan medis yang berusia sekitar 5000 tahun yang lalu (3000

SM). Dari Asia Tengah kemudian menyebar ke seluruh dunia,

termasuk Indonesia. Sehingga bagi bangsa Indonesia bawang

putih merupakan tanaman introduksi (Santoso, 2000).

Bangsa Sumeria telah mengenal bawang putih untuk

pengobatan, sekitar tahun 2600–2100 SM. Sedangkan bangsa

Mesir Kuno, dalam Codex Ebers (1550 SM), mengenal bawang

putih sebagai bahan ramuan untuk mempertahankan stamina tubuh

para pekerja dan olahragawan. Orang Yahudi kuno mempelajari

pemanfaatan bawang putih dari Bangsa Mesir dan

menyebarkannya ke semenanjung Arab. Penduduk Romawi

diketahui telah lama mengkonsumsi bawang putih terutama, para


tentara dan budak. Penduduk Cina dan Korea sudah biasa meman-

faatkan bawang putih sebagai obat dan pengusir roh jahat

(Banerjee dan Maulik, 2002; Yarnell, 1999).

Bangsa Mesir, Yunani, dan Romawi Kuno sangat memuji

dan menggunakan bawan putih. Hippocrates menyarankan

penggunaannya untuk mengobati sembelit dan diuretik. Aristoteles

menyarankan untuk mengobati rabies (Anonim, 1997a). Bawang

putih dipercaya dapat meningkatkan stamina para kuli yang

membangun piramid, meningkatkan keberanian tentara Romawi

dan melawan roh-roh jahat (Dobelis, 1990). Selama awal Perang

Dunia I, dokter bedah tentara Inggris menggunakan bawang putih

sebagai bakterisida (Anonim, 1997a).

Teks kuno Charaka-Samhita dari India menyebutkan khasiat

bawang putih untuk serangan jantung dan arthritis. Bawang putih

juga masuk dalam catatan kuno India lainnya, yaitu Bower

Manuscript (300 SM) (Banerjee dan Maulik, 2002; Yarnell, 1999).

Bawang putih mencapai Eropa beberapa abad sebelum akhirnya

dintroduksikan ke Amerika (Yarnell, 1999). Kapan tanaman

tersebut masuk Indonesia, belum diketahui dengan pasti, diduga


dibawa oleh para pedagang dari India, Cina, Arab, dan Portugis

pada abad 19 (Rukmana, 1995).

2. Morfologi dan ekologi

Bawang putih termasuk dalam familia Liliaceae (Becker dan

Bakhuizen van den Brink, 1963). Tanaman ini memiliki beberapa

nama lokal, yaitu, dason putih (Minangkabau), bawang bodas

(Sunda), bawang (Jawa Tengah), bhabang poote (Madura), kasuna

(Bali), lasuna mawura (Minahasa), bawa badudo (Ternate), dan

bawa fiufer (Irian Jaya) (Santoso, 2000; Heyne, 1987).

Bawang putih merupakan tanaman herba parenial yang

membentuk umbi lapis. Tanaman ini tumbuh secara berumpun dan

berdiri tegak sampai setinggi 30-75 cm. Batang yang nampak di

atas permukaan tanah adalah batang semu yang terdiri dari

pelepah–pelepah daun. Sedangkan batang yang sebenarnya

berada di dalam tanah. Dari pangkal batang tumbuh akar berbentuk

serabut kecil yang banyak dengan panjang kurang dari 10 cm. Akar

yang tumbuh pada batang pokok bersifat rudimenter, berfungsi

sebagai alat penghisap makanan (Santoso, 2000).

Bawang putih membentuk umbi lapis berwarna putih.

Sebuah umbi terdiri dari 8–20 siung (anak bawang). Antara siung
satu dengan yang lainnya dipisahkan oleh kulit tipis dan liat, serta

membentuk satu kesatuan yang kuat dan rapat. Di dalam siung

terdapat lembaga yang dapat tumbuh menerobos pucuk siung

menjadi tunas baru, serta daging pembungkus lembaga yang

berfungsi sebagai pelindung sekaligus gudang persediaan

makanan. Bagian dasar umbi pada hakikatnya adalah batang

pokok yang mengalami rudimentasi (Santoso, 2000; Zhang, 1999).

Helaian daun bawang putih berbentuk pita, panjang dapat

mencapai 30–60 cm dan lebar 1–2,5 cm. Jumlah daun 7–10 helai

setiap tanaman. Pelepah daun panjang, merupakan satu kesatuan

yang membentuk batang semu. Bunga merupakan bunga majemuk

yang tersusun membulat; membentuk infloresensi payung dengan

diameter 4–9 cm. Perhiasan bunga berupa tenda bunga dengan 6

tepala berbentuk bulat telur. Stamen berjumlah 6, dengan panjang

filamen 4–5 mm, bertumpu pada dasar perhiasan bunga. Ovarium

superior, tersusun atas 3 ruangan. Buah kecil berbentuk kapsul

loculicidal (Becker dan Bakhuizen van den Brink, 1963; Zhang,

1999).

Bawang putih umumnya tumbuh di dataran tinggi, tetapi

varietas tertentu mampu tumbuh di dataran rendah. Tanah yang


bertekstur lempung berpasir atau lempung berdebu dengan pH

netral menjadi media tumbuh yang baik. Lahan tanaman ini tidak

boleh tergenang air. Suhu yang cocok untuk budidaya di dataran

tinggi berkisar antara 20–25 OC dengan curah hujan sekitar 1.200–

2.400 mm pertahun, sedangkan suhu untuk dataran rendah

berkisar antara 27–30OC (Santoso, 2000).

3. Metabolit Sekunder: Organosulfur

Metabolit sekunder yang terkandung di dalam umbi bawang

putih membentuk suatu sistem kimiawi yang kompleks serta

merupakan mekanisme pertahanan diri dari kerusakan akibat

mikroorganisme dan faktor eksternal lainnya. Sistem tersebut juga

ikut berperan dalam proses perkembangbiakan tanaman melalui

pembentukan tunas (Amagase et al., 2001).

Sebagaimana kebanyakan tumbuhan lain, bawang putih

mengandung lebih dari 100 metabolit sekunder yang secara biologi

sangat berguna (Challem, 1995). Senyawa ini kebanyakan

mengandung belerang yang bertanggungjawab atas rasa, aroma,

dan sifat-sifat farmakologi bawang putih (Ellmore dan Fekldberg,

1994). Dua senyawa organosulfur paling penting dalam umbi

bawang putih, yaitu asam amino non-volatil ã-glutamil-Salk(en)il-L-


sistein (1) dan minyak atsiri S-alk(en)ilsistein sulfoksida atau alliin

(2).

Dua senyawa di atas menjadi prekursor sebagian besar

senyawa organosulfur lainnya. Kadarnya dapat mencapai 82% dari

keseluruhan senyawa organosulfur di dalam umbi (Zhang, 1999).

Senyawa ã-glutamil-S-alk(en)il-L-sistein (1) merupakan senyawa

intermediet biosintesis pembentukan senyawa organosulfur lainnya,

termasuk alliin (2). Senyawa ini dibentuk dari jalur biosintesis asam

reaksi enzimatis yang terjadi akan menghasilkan banyak senyawa

turunan, melalui dua cabang reaksi, yaitu jalur pembentukan

thiosulfinat dan Sallil sistein (SAC) (4) (Gambar 1). Dari jalur

pembentukan thiosulfinat akan dihasilkan senyawa allisin (allisin)

(3). Selanjutnya dari jalur ini akan dibentuk kelompok allil sulfida,

dithiin, ajoene, dan senyawa sulfur lain (Song dan Milner, 2001).

Proses reaksi pemecahan ã-glutamil-S-alk(en)ilL-sistein (1)

berlangsung dengan bantuan enzim ãglutamil - transpeptidase dan

ã-glutamil-peptidase oksidase, serta akan menghasilkan alliin

(2) (Song dan Milner, 2001). Pada saat umbi bawang putih diiris-iris

dan dihaluskan dalam proses pembuatan ekstrak atau bumbu


masakan, enzim allinase menjadi aktif dan menghidrolisis alliin

(2)

menghasilkan senyawa S C intermediet asam allil sulfenat (5).

Kondensasi asam tersebut menghasilkan allisin (3), asam piruvat,

dan ion NH4 + (Gambar 2). Satu miligram alliin (2) ekuivalen

dengan 0,45 mg allisin (3) (Zhang, 1999). Pemanasan dapat

menghambat aktivitas enzim allinase. Pada suhu di atas 60 oC,

enzim ini inaktif (Song dan Milner, 2001).

Asam amino alliin (2) akan segera berubah menjadi allisin

begitu umbi diremas (Dreidger, 1996). Allisin (3) bersifat tidak stabil

(Amagase et al., 2001), sehingga mudah mengalami reaksi lanjut,

tergantung kondisi pengolahan atau faktor eksternal lain seperti

penyimpanan, suhu, dan lain-lain. Ekstraksi umbi bawang putih

dengan etanol pada suhu di bawah 0 oC, akan menghasilkan alliin

(2). Ekstraksi dengan etanol dan air pada suhu 25 oC akan

menghasilkan allisin (3) dan tidak menghasilkan alliin (2). Sedang

ekstraksi dengan metode distilasi uap (100 oC) menyebabkan

seluruh kandungan alliin berubah menjadi senyawa allil sulfida

(Zhang, 1999). Oleh karena itu proses ekstraksi perlu dilakukan

pada suhu kamar. Pemanasan dapat menurunkan aktivitas anti-


kanker ekstrak umbi bawang putih. Pengolahan ekstrak dengan

microwave selama 1 menit menyebabkan hilangnya 90% kinerja

enzim allinase. Pemanasan dapat menyebabkan reaksi pem-

bentukan senyawa allil-sulfur terhenti (Song dan Milner, 2001).

Allisin (3) merupakan prekursor pembentukan allil sulfida,

misalnya diallil disulfida (DADS) (6), diallil trisulfida (DATS) (7),

diallil sulfida (DAS) (8), metallil sulfida (9), dipropil sulfida (10),

dipropil disulfida (11), allil merkaptan (12), dan allil metil sulfida

(13). Kelompok alllil sulfida memiliki sifat dapat larut dalam minyak.

Oleh karena itu, untuk mengekstraknya digunakan pelarut non-

polar (Gupta dan Porter, 2001). Pembentukan kelompok ajoene,

misalnya E-ajoene (14) dan Z-ajoene (15), serta kelompok dithiin,

misalnya 2-vinil-(4H)-1,3- dithiin (16) dan 3-vinil-(4H)-1,2-dithiin

(17), juga berawal dari pemecahan allisin (3) (Zhang, 1999).

Senyawa organosulfur lain yang terkandung dalam umbi

bawang putih antara lain, S-propilsistein (SPC) (18), S-etil-sistein

(SEC) (19), dan Smetil-sistein (SMC) (20). Umbi bawang putih juga

mengandung senyawa organo-selenium dan tellurium, antara lain

Se-(metil)selenosistein (21), selenometionin (22), dan selenosistein

(23). Senyawa-senyawa di atas (18–23) mudah larut dalam air


(Gupta dan Porter, 2001). Beberapa senyawa bioaktif flavonoid

penting yang telah ditemukan antara lain: kaempferol-3-O-â-D-

glukopiranosa (24) dan iso-rhamnetin-3-O-â-Dglukopiranosa (25)

(Kim et al., 2000). Senyawa frukto-peptida yang penting, yaitu Nα-

(1-deoxy-Dfructose-1-yl)-L-arginin (26) (Ryu et al., 2001).

Ekstrak segar umbi bawang putih dapat disimpan lama

dalam ethanol 15–20%. Penyimpanan selama sekitar 20 bulan

pada suhu kamar akan menghasilkan AGE (aged garlic extract).

Selama penyimpanan, kandungan allisin (3) akan menurun dan

sebaliknya diikuti naiknya konsentrasi senyawasenyawa baru.

Senyawa yang dominan terkandung adalah S-alil sistein (4) dan S-

allilmerkaptosistein (SAMC) (27) (Banerjee dan Maulik, 2002;

Amagase et al., 2001).

Selain dalam bentuk ekstrak padatan, umbi bawang putih

dapat pula diolah melalui distilasi uap menjadi minyak atsiri bawang

putih yang banyak digunakan dalam pengobatan. Kandungan kimia

minyak atsiri bawang ini secara umum terdiri dari 57% diallil sufida

(8), 37% allil metil sulfida (13), dan 6% dimetil sulfida. Minyak

bawang komersial umumnya mengandung 26% diallil disulfida (6),

19% diallil trisulfida (7), 15% allil metil trisulfida, 13% allil metil
disulfida, 8% diallil tetrasulfida, 6% allil metil tetrasulfida, 3% dimetil

trisulfida, 4% pentasulfida, dan 1% heksasulfida. Minyak bawang

hasil maserasi mengandung kelompok vinyl-dithiin 0,8 mg/g dan

ajoena 0,1 mg/g, sedangkan ekstrak eter mengandung vinyl-dithiin

5,7 mg/g, allil sulfida 1,4 mg/g, dan ajoena 0,4 mg/g (Banerjee dan

Maulik, 2002).

4. Aktivitas Biologi

Para pakar kesehatan secara konsisten melakukan

penggalian informasi khasiat bawang putih melalui penelitian

farmakologi laboratoris yang sistematis (Rukmana, 1995). Tahapan

pengujian, penelitian, dan pengembangan secara sistematis perlu

dilakukan agar pemanfaatan dan khasiat bawang putih dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Budhi, 1994), bukan

sekedar pengetahuan yang diperoleh secara turun temurun.

Pembuatan catatan atau dokumentasi ilmiah atas hasil penelitian

tersebut dilakukan agar dapat terus dimanfaatkan dan

dikembangkan oleh generasi di masa depan. Penelitian farmakologi

tentang bawang putih telah banyak dilakukan, tidak hanya secara

in vivo (dengan hewan percobaan) tetapi juga in vitro (dalam

tabung kultur). Hal ini ditempuh untuk membuktikan khasiat dan


aktivitas biologi dari senyawa aktif bawang putih, sekaligus dosis

dan kemungkinan efek sampingnya. Berbagai penelitian yang telah

dikembangkan untuk mengeksplorasi aktivitas biologi umbi bawang

putih yang terkait dengan penyembuhan luka , antara lain sebagai

anti-biotik, anti-inflamasi,anti-oksidan,

a. Anti-mikroba

Umbi bawang putih berpotensi sebagai agen anti-mikrobia.

Kemampuannya menghambat pertumbuhan mikrobia sangat luas,

mencakup virus, bakteri, protozoa, dan jamur (Tabel 1) (Nok et al.,

1996; Zhang, 1999; Ohta et al., 1999; Pizorno dan Murray, 2000;

Yin et al., 2002). Ajoene (14-15), yang terdapat dalam ekstrak

maserasi bawang putih, mempunyai aktivitas anti-virus paling tinggi

dibandingkan senyawa lain, seperti allisin (3), allil metil tiosulfinat,

dan metil allil tiosulfinat. Ajoene (14-15) juga menghambat per-

tumbuhan bakteri gram negatif dan positif, serta (Naganawa, et al.,

1996).

Kandungan alliin bawang putih yang diremas akan segera

teroksidasi menjadi allisin dan selanjutnya menjadi deoksi-alliin,

DADS (2) dan DATS (7), suatu senyawa anti bakteri (Mabey, et al.,

1988), namun tidak mempunyai aktivitas antivirus (Pizorno dan


Murray, 2000). Senyawasenyawa tersebut dapat mereduksi sistein

dalam tubuh mikrobia sehingga mengganggu ikatan disulfida dalam

proteinnya. Resep yang mengandung ekstrak bawang putih, baik

digunakan sendirian ataupun dengan amphotericin B, dapat

melawan infeksi fungi sistemik pada manusia dan meningitis

(Howe, 1997). DATS (7) merupakan senyawa yang mempunyai

aktivitas anti-bakteri paling kuat (Yin et al., 2002). Senyawa yang

dapat menghambat pertumbuhan Trypanosoma adalah DADS (6)

(Nok et al., 1996).

Daljit Arora ahli mikrobiologi dari Universitas Guru Nanak di

Amritsar India menyatakan bahwa bawang putih merupakan

Pembunuh Bakteri Nomor Satu hal ini bedasarkan penelitian

intensif beberapa macam bumbu dapur yang lazim digunakan

dinegaranya. Dari hasil percobaannya diketahui bahwa bawang

putih ampuh membunuh beberapa bakteri merugikan, di antaranya

adalah bakteri Staphylococus penyebab peradangan dan

keracunan darah, bakteri Entero penyebab radang paru-paru,

bakteri Pseudomonas penyebab infeksi luka terbuka, bakteri

Shigella penyebab disentri,bakteri Salmonell penyebab keracunan


makanan dan typhus serta jamur Kandida, yang menyebabkan

menurunnya kekebalan tubuh manusia.

Mekanisme antimikroba dari garlic melalui cara merusak

Dinding Sel,mengganggu Metabolisme Sel,menonaktifkan Protein

melalui oksidasi senyawa tiol esensial menjadi disulfide serta

menghambat sintesis protein dari bakteri.

Beberapa penelitian efek anti mikroba dari alium sativum

dalam pengguanaanya sebagai penyembuh luka adalah sebagai

berikud:

1) Prapaporn Srimuzipo(2009)

2) Farnood Shokouhi Sabet Jalali Et.Al(2010)

3) K.Sidik,AA.Mahmood and I Salmah.(2006)

4) Srinivasan Durairaj(2009)

5) M. Salvi (2010)

6) Siamak Saifzadesh,Alisghar (2006)

7) Abdolazim Gahalambor and Mohammad Hassan Pipelzadeh

(2009)

b. Anti Inflamasi

Efek anti infalamsi dari Alium Sativum merupakan kerja dari

senyawa aktif Thiacremonone & 1.2 DT. dimana Thiacremonone


Mampu menghambat NF-Kb kemudian senyawa 1.2 DT

menurungkan produksi molekul interleuikin 6 (IL8) dan Interleukin

8(IL-8)melaui peningkatan aktifitas makropage sehingga proses

inflamasi dapat dicegah (Jung Ok Ban. 2008).

c. Anti Oksidan

Berbagai penelitian in vitro, ekstrak umbi bawang putih

diketahui memilki aktivitas anti-oksidatif (Borek, 2001).Aktivitas

anti¬oksidatif ekstrak umbi bawang putih, antara lain peningkatan

enzim protektif, yaitu glutation superoksida dismutase, katalase,

glutation peroksidase pada sel endotel pembuluh darah;

peningkatan sitoproteksi terhadap radikal bebas dan senyawa

asing, seperti benzopyrene, karbon tetraklorida, acetaminophen,

isoproterenol,doxorubicin, dan adrymiacin

Allisin merupakan anti-oksidan utama dalam umbi bawang

putih. Senyawa ini mampu menekan produksi nitrat oksida (NO)

melalui 2 jalur, yakni pada konsentrasi rendah (10 tM),

menghambat kerja enzim cytokine-induced NO synthase (iNOS)

melalui pengendalian iNOS mRNA, sedangkan pada konsentrasi

tinggi (40 tM) menghambat transport arginin melalui mekanisme

pengendalian CAT-2 mRNA (cationic amino acid transporter-2


mRNA). Akumulasi NO akan menginduksi pembentukan oksidator

kuat, peroksinitrit. NO dapat dihasilkan dari asam amino arginin

dengan bantuan enzim nitrat oksida sintase (Schwartz et al., 2002).

Torok et al., (1994). Senyawa organosulfur dalam ekstrak

AGE umbi bawang putih, yaitu SAC dan SAMC, mampu

menghambat oksidasi yang disebabkan senyawa

chemiluminescense dan mencegah pembentukan senyawa asam

tiobarbiturat reaktif dalam hati. SAC dan SAMC juga menghambat

aktivitas t-butil hidroperoksida dan 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl

(DPPH). Dua senyawa ini merupakan senyawa oksidator yang

cukup kuat (Imai et al., 1994).

Kandungan bioaktif dari Alium Sativum yang bersifat anti

Oksidan adalah Flavonoid , saponin , alkaloid , dan fenolat)

(Mohammad Zuber.Et.Al2013)

Menurut Mohammed Saed Ahmad and Nessar Ahmed.(2006)

mekanisme anti oksidan dari alium sativum adalah Selenium &

magan yang terikat pada senyawa organik bawang putih efektif

sebagai antioksidan,mineral makro ini merupakan kofaktor super

Oxyde Desmutase (SOD) merupakan antioksidan utama mencegah


peningkatan homosistein,kofaktor metaloenzim glutatión untuk

mencegah kerusakan pembulauh darah dari paparan radikal bebas

C. Tinjauan Umum tentang TNF-α dan IL-1β

Untuk proses penyembuhan luka diperlukan peranan mediator

pro-inflamasi seperti Tumor Necrotic factor (TNF-α) dan Interleukin-1

(IL-1). Bertambah baik dan maksimal kerja mediator pro-inflamasi

untuk meningkatkan kerja sel inflamasi pada fase inflamasi, maka

proses pembersihan luka semakin baik. Ini dapat mempercepat proses

penyembuhan luka. TNF-αmerupakan mediator pro-inflamasi yang

dirangsang oleh neutrofil yang bermanfaat untuk merangsang sel

inflamasi, fibroblast dan sel epitel. Semangkin tinggi kadar TNF-αpada

luka, menandakan proses inflamasi sedang berlangsung, kalau kadar

TNF-αmenurun, menandakan luka mulai membaik. TNF-αjuga

berfungsi sebagai migrasi polymorfonucleat (PMN), apoptosis sel,

sintesa sel matrix metalloproteinase (MMP), stimulasi produksi macam-

macamprotease khususnya MMPs dan mempengaruhi apoptosis

fibroblast (Granick dan Gamelli, 2007).


Menurut Granick dan Gamelli (2007), penurunan TNF- αdan IL-1

dalam pembuluh darah, berarti menandakan luka mulai membaik.

Menurut Karnen dan Iris (2009), TNF-αmemiliki efek biologis, yaitu

pengerahan neutrofil dan monosit ketempat infeksi untuk membunuh

kuman, memacu ekspresi molekul adhesi sel endotel vascular untuk

lekosit, merangsang makrofag mensekresikan kemokin dan

menginduksi kemotaksis dan pengerahan lekosit, menginduksi

apoptosis di sel inflamasi, meningkatkan sintesis protein serum tertentu

seperti amyloid A protein dan fibrinogen oleh hepatosit. TNF-

αmempunyai 212 asam amino tipe II transmembran protein yang

dibentuk di homotrimers. Membran yang tergabung membentuk soluble

homotrimeric cytokine (sTNF) yang dibentuk melalui proteolytic oleh

metalloprotease TNF-α yang merubah enzim (Black, at al, 1997).

Menurut teori untuk proses penyembuhan luka diperlukan

peranan mediator pro-inflamasi seperti Tumor Necrotic factor (TNF-α)

dan Interleukin-1 (IL-1).Bertambah baik dan maksimal kerja mediator

pro-inflamasi untuk meningkatkan kerja sel inflamasi pada fase

inflamasi, maka proses pembersihan luka semakin baik. Ini dapat

mempercepat proses penyembuhan luka. TNF-αmerupakan mediator

pro- inflamasi yang merangsang neutrofil sebagai sel inflamasi,


fibroblas dan sel epitel. Semangkin tinggi kadar TNF-αpada luka,

menandakan proses inflamasi sedang berlangsung, kalau kadar TNF-

αmenurun, menandakan luka mulai membaik. Penurunan TNF-αdalam

darah menandakan luka mulai membaik (Granick dan Gamelli, 2007)

Inflamasi adalah bagian normal dari proses penyembuhan luka,

dan penting untuk membunuh mikroorganisme terkontaminasi. Jika

tidak terjadi dekontaminasi yang efektif, inflamasi bisa memanjang

jika pemusnahan mikroorganisme tidak tuntas. Bakteri dan

endotoksin dapat memperpanjang peningkatan sitokin pro-inflamasi

seperti interleukin-1 (IL-1) dan TNF-α serta memperpanjang fase

inflamasi. Jika ini berlanjut, luka bisa masuk ke tahap kronis dan

gagal untuk sembuh. Inflamasi yang memanjang ini juga

meningkatkan kadar matrix metalloproteases (MMPs), golongan

protease yang dapat merusak ECM. Seiring dengan meningkatnya

protease, terjadi penurunan kadar protease inhibitor alami. Terjadinya

perubahan keseimbangan protease dapat meyebabkan growth factor

yang terdapat pada luka kronik menurun drastis (Edwards & Harding)
D. Kerangka Teori

70

A. Kerangka Konsep BAB III


KERANGKA KONSEP

71

B. Hipotesis

1. Ada perbedan Kadar TNF-α pada tikus yang diberi ekstrak bawang

putih (alium sativum) dibandingkan tikus yang tidak diberi ekstrak

bawang putih

2. Ada perbedaan Kadar IL-1β lebih pada tikus yang diberi ekstrak

bawang putih (alium sativum) dibandingkan tikus yang tidak diberi

ekstrak bawang putih


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah true eksperimental,

penelitian komparatif untuk mengetahui keefektifan ekstrak bawang

putih (alium sativum) terhadap penyembuhan luka diabetik pada

tikus wistar yang telah diinduksi aloksan.

2. Cara Pendekatan

Pendekatan yang digunakan adalah dengan pretest and postest

control group design post test only with control group design. Pada

rancangan ini terdapat randomisasi pada kelompok subjek. Dapat

lebih dari satu kelompok baik untuk kelompok perlakuan maupun

kelompok kontrol. Pada kelompok perlakuan dapat diberikan

perlakuan dengan dosis bertingkat ataupun kombinasi perlakuan

yang berbeda. Sementara kelompok kontrol dapat berupa kontrol

positiv ataupun kontrol negativ. Setelah diberikan perlakuan,

kemudian dilakukan pengukuran pada semua kelompok yang

dibandingkan. Perbedaan hasil pengukuran antar kelompok

menunjukkan efek perlakuan (Saryono, 2010).


3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi

Universitas Hasanuddin Makassar, selama kurang lebih dua bulan,

sejak Oktober hingga November 2013.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek yang akan diteliti. Populasi dalam

penelitian ini adalah tikus putih jenis wistar.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang menjadi objek penelitian

(sampel sendiri secara harfiah berarti contoh). Tujuan dari

pengambilan sampel ialah agar sampel yang diambil dari

populasinya "representatif" (mewakili), sehingga dapat diperoleh

informasi yang cukup untuk mengestimasi populasinya. Sampel

dalam penelitian ini adalah tikus wistar jantan yang memenuhi kriteria

penelitian sebagai berikut :

a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari

suatu populasi target dan terjangkau yang akan diteliti. Dalam

penelitian ini, yang termasuk kedalam kriteria inklusi antara lain:

1) Tikus wistar jantan

2) Usia 3-4 bulan

3) Berat badan 160-200 gram


4) Sehat

5) Telah diinduksi Aloksan

b. Kriteria Ekslusi

Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan

subjek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi. Pada penelitian

ini yang termasuk dalam kriteria ekslusi antara lain:

1) Terdapat abnormalitas anatomi yang Nampak

2) Tikus tampak sakit, tidak bergerak secara aktif

3) Berat badan tikus menurun

4) Tikus mati selama masa penelitian

3. Besar Sampel

Besar sampel ditentukan oleh rumus menurut Frederer

(n - 1) (t - 1) ≥ 15

Keterangan :

r = jumlah ulangan

t = jumlah perlakuan

Berdasarkan rumus di atas dapat diketahui jumlah sampel yang

digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

t = jumlah perlakuan x jumlah kelompok yang diinginkan

=2x4

=8

(r - 1) (t - 1) ≥ 15

(r – 1)(8 – 1) ≥ 15
(r – 1) 7 ≥ 15

7r – 7 ≥ 15

7r ≥ 22

r≥3

Berdasarkan hasil perhitungan di atas, dapat diketahui bahwa

jumlah sampel tiap kelompok adalah 6 ekor tikus, sehingga jumlah

total sampel yang digunakan adalah 24 ekor tikus.

4. Cara Pengambilan Sampel

Untuk menghindari bias penelitian karena faktor variasi umur dan

berat badan, maka dilakukan pengelompokkan sampel secara acak

sederhana (simple random sampling). Proses pengambilan sampel

dilakukan dengan memberi kesempatan yang sama pada setiap

anggota populasi untuk menjadi anggota sampel. Jadi disini proses

memilih sejumlah sampel n dari populasi N yang dilakukan secara

random.

C. Variabel penelitian

1. Variabel Bebas

Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau

menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel dependen

(variabel terikat). Pada penelitian ini yang menjadi variabel bebas

adalah pemberian ekstrak bawang putih (alium sativum). Skala

yang digunakan adalah rasio.


2. Variabel terikat

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi

akibat karena adanya variabel bebas. Pada penelitian ini yang

menjadi variabel terikat ialah peyembuhan luka DM. Indikator yang

diukur pada variabel penyembuhan luka adalah TNF-α dan IL 1-β.

3. Definisi Operasional

a. Ekstrak bawang putih adalah Tanaman obat dalam sediaan gel

yang mengandung ekstrak N.sativa sebanyak 30% yang diberikan

secara topikal.

D. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat

a. Alat untuk perlakuan pada tikus : timbangan untuk menimbang

tikus, sarung tangan karet

1) Alat/sarana untuk perlakuan pada tikus hewan coba :

kandang, tempat minum, pakan, obat ketamin untuk anestesi

2) Seperangkat alat untuk mengukur glukosa darah: glucose

meter (glucoDR) dan stick glucosure

3) Alat untuk pembalutan luka : kasa gulung, kasa steril, selotip,

gunting, film dressing

4) Alat untuk pembuatan luka : gunting, pinset cirurgis, silet, bak

steril, pengalas, kasa steril

5) Alat pencukur bulu


2. Bahan

a. Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus

wistar jantan berumur kurang lebih 3-4 bulan dengan berat

badan 160-200 gram.

b. Bahan Uji Bahan uji dalam penelitian ini adalah menggunakan

ekstrak bawang putih (alium sativum)

c. Bahan Kimia dan Habis Pakai

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

alkohol 70 %, aloksan, larutan NaCl 0,9%, dan eter.


E. Alur Penelitian
Penelitian ini berjalan melalui tiga tahapan yaitu tahapan persiapan,

tahap pelaksanaan, dan tahap penyelesaian. Keseluruhan tahap ini

disusun untuk memperjelas jalanya penelitian yag akan dilakukan.

Tahap persiapan merupakan tahap paling awal yang dilakukan oleh

peneliti. Pada tahap ini peneliti memulai untuk menyusun kerangka

penelitian dengan mencari data-data yang mendukung jalannya

penelitian seperti jurnal yang berhubungan dengan Alium Sativum,

penyembuhan luka dan teknik pemeriksaan kadar TNF-α dan IL-1β.

Selanjutnya peneliti mengembangkan bahanbahan tersebut menjadi

sebuah proposal yang dikonsulkan kepada pembimbing dan akhirnya

diseminarkan.

Tahap kedua yaitu tahap pelaksanaan penelitian yang dilakukan

setelah seminar proposal dan proposal disetujui. Pada tahap ini sudah

dapat dilakukan pengambilan data. Beberapa kegiatan yang dilakukan

pada tahap ini antara lain:

3. Preparasi Hewan Coba

Pada penelitian ini digunakan tikus jantan sebanyak 24 ekor yang

berumur 3-4 bulan. Tikus dipelihara dalam boks dengan diberi

alas dari bubuk kayu. Penelitian ini terbagi menjadi tiga bagian,

yaitu masa pemeliharaan, perlakuan, dan pengamatan histotologi

jaringan. Tikus yang baru datang diadaptasikan terlebih dahulu

dengan kandang baru selama kurang lebih satu minggu. Selama

masa pemeliharaan, tikus diberi makan


dan minum. Setelah masa pemeliharaan selesai, dilanjutkan

dengan masa perlakuan.

4. Kandang Hewan Coba

Kandang hewan coba terbuat dari boks plastik yang bagian

atasnya ditutup dengan menggunakan kawat besi yang telah

dipilin. Dilengkapi juga dengan tempat minum. Sementara untuk

makannya, diberikan secara langsung ketikus dengan

menaburkannya ke dalam boks setiap pagi, siang, dan sore hari.

Kandang dan botol minum dibersihkan dengan menggunakan

sabun, kemudian boks kandang dijemur hingga kering dan di

dalamnya diberi alas dengan potongan/serbuk kayu. Pembersihan

kandang dan penggantian potongan/serbuk kayu dilakukan setiap

3 hari sekali. Potongan/serbuk kayu yang telah kotor tercampur

kotoran tikus kemudian dibuang, boksnya dicuci dengan

disinfektan dan kemudian dikeringkan. Setelah boks kering

kemudian potongan/serbuk kayu diganti dengan yang baru.

5. Pakan dan Minum

Pemberian dilakukan pada pagi, siang, dan malam hari. Minum

diberikan dengan menggunakan botol ukuran 150 cc dan

diletakkan diatas kandang. Minum yang diberikan ialah air putih.

6. Persiapan Hewan Percobaan

Sebelum dilakukan perlakuan, tikus terlebih dahulu diaklimatisasi

dalam kondisi laboratorium selama satu minggu dengan diberi


makan dan minum yang cukup. Pada hari terakhir, diukur kadar

gula darah puasa.

Tikus yang dipilih adalah tikus yang memilki kadar gula darah

normal. Pengukuran kadar gula darah ini menggunakan alat

glucose meter (glucoDR).

7. Perencanaan Dosis Aloksan

Perencanaan dosis aloksan yang akan diberikan sehingga tikus

menjadi DM ialah 120 mg/kgBB. Dosis tersebut akan dencerkan

dengan 3,6 cc NaCl.

8. Perlakuan Pada Hewan Coba

Tikus dibagi menjadi lima kelompok, yaitu :

a. Kelompok I : tikus diinduksi aloksan pada bagian

intraperitoneal dengan dosis 120 mg/kgBB yang dilarutkan

dalam 0,3 cc NaCl dan diberi NaCl 0,9 % dan luka ditutup

kain kasa

b. Kelompok II : tikus diinduksi aloksan pada bagian

intraperitoneal dengan dosis 120 mg/kgBB yang dilarutkan

dalam 0,3 cc NaCl dan diberi gel alium sativum 20% pada

luka yang telah dibuat dan luka ditutup kain kasa

c. Kelompok III : tikus diinduksi aloksan secara intraperitoneal

dengan dosis 120 mg/kgBB yang dilarutkan dalam 0,3 cc

NaCl dan diberi perlakuan dengan mengoleskan gel alium


sativum 40 % pada luka yang telah dibuat dan luka ditutup

kain kasa

d. Kelompok IV : tikus diinduksi aloksan secara intraperitoneal

dengan dosis 120 mg/kgBB yang dilarutkan dalam 0,3 cc

NaCl dan diberi perlakuan dengan mengoleskan gel alium

sativum 80 % pada luka yang telah dibuat. dan luka ditutup

kain kasa

a. Induksi Diabetes Pada Tikus

Sebelum diinduksi aloksan, hewan uji dipuasakan terlebih

dahulu, namun tetap diberikan air minum. Hal ini dilakukan

karena disesuaikan dengan protokol percobaan yang

menyebutkan bahwa hewan uji yang dipuasakan selama 8-12

jam lebih rentan mengalami hiperglikemia dibanding hewan uji

yang tidak dipuasakan. Sebelum dilakukan induksi, dilakukan

pengukuran kadar gula darah puasa terlebih dahulu untuk

mengetahui kadar darah puasa sebelum diinduksi aloksan.

Setelah itu, larutan aloksan diinduksikan pada tikus pada bagian

intraperitoneal. Besarnya volume penyuntikan disesuaikan

dengan berat badan masing-masing tikus. Setelah penyuntikan

selesai, tikus diberi makan dan minum seperti biasa.

Setelah tiga hari pasca induksi aloksan, kadar gula darah tikus

diperiksa kembali untuk memastikan bahwa tikus mengalami


hiperglikemia. Penginduksian dikatakan berhasil apabila terjadi

kenaikan kadar gula darah puasa yang melebihi 150 mg/dl.

b. Prosedur Pembuatan Luka

Perlukaan dilakukan tiga hari setelah induksi aloksan. Sebelum

dilakukan perlukaan tikus dicek kadar glukosanya terlebih

dahulu. Prosedur membuat perlukaan ialah sebagai berikut :

1) Siapkan alat dan bahan : eter, gunting, pinset cirurgis,

silet, kasa steril, kasa gulung, pencukur bulu, selotip, NaCl

90%, ketamil 0,3 cc, film dressing

2) Gunakan sarung tangan

3) Ambil tikus dari kandang

4) Berikan sedasi pada tikus dengan eter

5) Setelah sedikit tersedasi, diamkan tikus sejenak

6) Berikan induksi ketamil 0,3 cc pada intraperitoneal

7) Setelah tikus mengalami paralisis, buat pola dengan

bentuk lingkaran berdiameter 1 cm

8) Gunakan gunting untuk memotong kulit bagian atas

9) Buatlah perlukaan mengikuti pola yang telah dibuat

menggunakan silet, jangan sampai mengenai bagian otot.

10) Setelah selesai, bersihkan luka menggunakan NaCl 90 %

dan kasa steril

11) Setelah selesai, oleskan gel pada luka. Untuk kelompok

kontrol gunakan gel alium sativum 0%, sedangkan untuk


kelompok perlkuan gunakan gel alium sativum 30%

12) Tutup luka dengan film dressing, dan perkuat dengan

selotip

13) Kemudian lapisi dengan kasa gulung untuk bagian luarnya

dan rekatkan dengan selotip

14) Setelah selesai tikus kembalikan ke kandang, beri makan

dan minum

15) Bereskan alat

16) Cuci tangan

17) Kontrol dan ganti balutan setiap hari selama 14 hari

c. Prosedur Pemberian Gel dan Penggantian Dressing

Penggantian dressing dilakukan setiap hari. Hal ini dilakukan

untuk mengamati apakah adanya perbaikan jaringan pada luka.

Tindakan penggatian balutan dan pemberian gel yaitu :

1) Siapkan alat dan bahan : kasa gulung, kasa steril, selotip,

gunting, film dressing, eter, gel (untuk yang diberi perlakuan),

2) Anestesi tikus dengan menggunakan eter

3) Setelah tikus teranestesi, gunting balutan lama dan lepaskan

4) Lepaskan film dressing yang menempel pada kulit/luka

secara langsung

5) Amati adanya perubahan pada luka; luas luka, granulasi,

sekresi
6) Bersihkan menggunakan NaCl 70% denga kasa steril

7) Foto luka yang telah dibersihkan. Foto bagian kontrol dan

yang diberi perlakuan

8) Oleskan gel 30% pada luka yang diberi perlakuan, dan

oleskan gel 0% pada kelompok control

9) Tutup kembali dengan film dressing jika telah dioleskan gel

10) Untuk menguatkan rekatan film dressing, gunakan selotip

putih pada bagian pingir-pinggirnya

11) Balut dengan kasa gulung

12) Setelah dibalut rapi, tikus masukkan ke kandang kembali

13) Bereskan alat

14) Cuci tangan

d. Proses Pengambilan Jaringan

Setelah masa perlakuan berakhir, tikus-tikus kemudian disacrifice pada

hari ke-3 untuk pengambilan lapisan kulit yang akan diteliti.

Pengambilan lapisan kulit ini dilakukan dengan prosedur sebagai

berikud:

1. Siapkan alat dan bahan : eter, gunting, pinset cirurgis, silet,

larutan formalin, tempat untuk meletakkan awetan,

penggaris.

2. Ambil tikus dari kandang

3. Lakukan deep sedation

4. Setelah tikus tersedasi, beri tanda pada bagian kulit yang


akan diambil jaringannya. Jaringan yang diambil yaitu

jaringan yang diberikan perlakukan (jaringan luka) dan

sebagian jaringan normal yang ada disekitarnya.

5. Gunting jaringan yang telah diberi tanda. Menggunting

pada satu arah saja untuk memudahkan sewaktu

pengamatan.

6. Setelah semua jaringan rata tergunting, rapihkan kembali

pinggir-pinggir jaringan agar memudahkan untuk diawetkan

7. Masukkan ke dalam cairan untuk pengawetan (cairan

formalin)

8. Tutup tempat pengawetan dengan rapat dan letakkan di

tempat yang aman sebelum akan diteliti

9. Bereskan alat-alat yang telah terpakai

10. Cuci tangan

e. Pemeriksaan IL-1 β dan TNF-α

Dalam penelitian ini kadar TNF-α dan IL-1β diperiksa secara

kuantitatif melalui Immunoassay yang dilakukan di laboratorium

Prodia.

1) Prosedur pemeriksaan TNF-α

Prosedur pemeriksaan TNF-α dengan teknik ELISA indirect

(Sandwich) dengan reagen Quantikine HS kit. Microplate di-

coated dengan murine monoclonal antibody yang spesifik untuk

TNF-α pada sumurannya, lalu ditambahkan 50 μL assay diluent


HD1-11 ke dalam setiap sumuran, dan 200 μL standar (TNF-α

standard) atau sampel ke dalam sumuran tersebut. TNF-α yang

ada akan diikat oleh antibody yang di-coated dalam sumuran tadi.

Sumuran ditutup dengan penutup perekat, dan diinkubasi selama

14-20 jam pada suhu 2-8oC. Sumuran dicuci 4 kali dan

ditambahkan 200 μL larutan conjugate yang mengandung

polyclonal antibody berlabel enzim spesifik untuk TNF-α,

kemudian ditutup dengan penutup perekat, diinkubasi selama 3

jam dalam suhu kamar. Selanjutnya sumuran dicuci 4 kali lagi,

ditambahkan 50 μL larutan substrat ke dalam setiap sumuran;

ditutup dengan penutup perekat baru, kemudian diinkubasi selama

60 menit dalam suhu kamar. Sumuran ini tidak dicuci, tetapi

langsung ditambah dengan 50 μL larutan amplifier; ditutup dengan

penutup perekat baru, kemudian diinkubasi selama 30 menit

dalam suhu kamar. Penambahan larutan amplifier ini mengawali

munculnya perubahan warna. Selanjutnya ditambahkan 50 μL

stop solution (2N asam sulfat) ke dalam setiap sumuran.

Kemudian dibaca pada microplate reader dengan panjang

gelombang 490 nm (dalam 30 menit), pembacaan dikoreksi pada

panjang gelombang 650 nm atau 690 nm. Penambahan stop

solution ini tidak berpengaruh terhadap warna dalam sumuran.

2) Prosedur pemeriksaan IL-1β


Prosedur pemeriksaan IL-1β dengan teknik ELISA indirect

(Sandwich) dengan reagen Quntikine HS kit. Microplate di-coated

dengan murine monoclonal antibody yang spesifik untuk IL-1β

pada sumurannya, dimasukkan 100 μL assay diluent HD1C dan

150 μL standar (IL-1β standard) atau sampel ke dalam setiap

sumuran, kemudian ditutup dengan penutup perekat. IL-1β akan

diikat oleh antibody yang di-coated pada sumuran. Setelah

diinkubasi selama 14-20 jam pada suhu kamar. Selanjutnya dicuci

4 kali, ditambahkan 200 μL larutan conjugate yang mengandung

polyclonal antibody berlabel enzim spesifik untuk IL-1β ke dalam

setiap sumuran, ditutup dengan penutup perekat baru, kemudian

diinkubasi selama 3 jam dalam suhu kamar dan dicuci kembali 4

kali. Setelah itu ditambahkan 50 μL larutan substrat ke dalam

setiap sumuran; ditutup dengan penutup perekat baru, kemudian

diinkubasi selama 45 menit dalam suhu kamar. Sumuran ini tidak

dicuci, tetapi langsung ditambah dengan 50 μL larutan amplifier,

ditutup dengan penutup perekat baru, kemudian diinkubasi selama

45 menit dalam suhu kamar. Penambahan larutan amplifier ini

akan memulai timbulnya warna. Ditambahkan 50 μL stop solution

(2N asam sulfat) ke dalam setiap sumuran. Penambahan stop

solution ini tidak berpengaruh terhadap warna dalam sumuran.

Kemudian dibaca dengan microplate reader pada panjang


gelombang 490 nm (dalam 30 menit), pembacaan dikoreksi pada

panjang gelombang 650 nm atau 690 n


DAFTAR PUSTAKA

Abdolazim Gahalambor and Mohammad Hassan Pipelzadeh 2009 Clinical


Study on the efficay of Oraly admistered crushed fres garlic in
controling Psedomonas infection in burn patients with varying burn
degrees Judishapur Jounal Of Microbiology (2009)2 (1): 7-1

Abul Fida' Muhammad 'Izat 'Arif(2013) Mukjizat Kesembuhan dalam Jintan


Hitam, Madu, Bawang Putih dan bawang merah penerbit Al-Qowan

Alifah Dewi Purwaningsih 2014 skripsi gambaran penyembuhan luka


diabetes melitus dengan gel nigella sativa 30% pada tikus yang
diinduksi aloksan keperawatan pada jurusan keperawatan
universitas jenderal soedirman purwokerto

Aida Ahmed Husain 2003 Mechanism of Action of the Eygyptian Garlic “


Allium Sativum “ on the Exitable Tissues Pakistan Jounal Of
biological Science 6 (8) 782-788

Budi Purwanto.2013 Herbal dan keperawatan komplementer


(Teori,Praktik,Hukum dalam asuhan keperawatan)penerbit Medical
Book

Djaenuddin Golib 2010.Pengujian Penggunaan Ekstrack etanol bawang


Putih (Allium sativum L) terhadap kelinci yang di infeksi dermatofit
Trichophyton mentagrophytes .Seminar Nasional Teknologi
Peternakan adan Veteriner

Debie Dahlia 2013. Efektifitas Bromelain Topical Pada Penyembuhan


Luka tikus Diabeticum Tijauan kasus terhadap ekspresi MMP-
9,TIMP-1,TGF-B.pad fase inflamasi ,proliferasi dan maturasi. Jurnal
keperawatan UI

Eja, M. E.2011.An evaluation of the antimicrobial synergy of Garlic (Allium


sativum) and Utazi

Edwards R, Harding KG. Bacteria and wound healing. Curr Opin Infect Dis
2004;17:91-96. Available at : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?
term=15021046. Diakses 17 April 2014.

Farnood Shokouhi Sabet Jalali Et.Al.2009.The Efficacy of Alcoholic of


Extract Garlic on the healing Process of Experimental Burn Wound
in the rabbit.Journal of animal and Veterinary Advances 8(4): 655-
659
Frisca,Caroline T,Sarjono,Ferry Sandra 2012 Angionesis : Patofisiogi dan
Aplikasi Klinis.Jurnal Medika planta vol 2 no 1 Oktober 2012

Garlic Nature,s Amasing Nutritional and Medicinal wonder food Worland


Publishing Pleseant Grove UT

Hitrashenoy.Et.All 2009.Preliminary phytochemical Investigation And


Wound Healing Activity Of Allium Cepa Linn (Liliaceae).
nternationalJournal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, Vol.
2, Issue 2, July-Sep. 2009

Ivana Cyntia dewi Timotius,Sugiarto Puradisastra,Hartini Tiono.2012.


Effect of Garlic tuber juice (Allium sativum L.)in wound healing

Imam ahmad nur .2010.Kajian pustaka aktivitas anti bakteri dari ekstrak
bawang putih(Allium sativum L.) terhadap berbagai bakteri
pathogen. Karya Tulis ilmiah

Iyan Siti Syamsiah dan Tajudin. 2003. Khasiat & manfaat bawang putih
raja antibiotik alami. Jakarta: Agromedia Pustaka; 2005

Irma P. Arisanty . 2013 Manajemen perawatan luka : konsep dasar EGC


Jakarta

I Srinivasan Durairaj, sangeetha Srinivasan,P


Lakshamanaperumalsamy .n ivitro Antibacterial Activity and
Stabilitybof garlic Extrract At Diffrent pH and Temperature
Electronic Journal Of Biology eJBio ,2009 Vol 5 (1)5-10

Jung Ok Ban Et all.2009.Anti-Inflammatory and arthritic effects of


Thiacremonone,A Novel Sulfurcompund isolated from garlic via
inhibition of NF-kB.Researc Article Artritis research & Therapy
2009.

Kevin T. P.Ng Et.All 2012 .A Garlic Derivative,S –Allylcysteine (SAC)


Suppresses Proliferation And Metastasis Of Hepatocelluar
Carsinoma.Journal Plos one

K.Sidik,AA.Mahmood and I Salmah 2006 Acceleration Of Wound Healing


by Aquous of Allium Sativum in combination wih honey on cutaneus
woud healing in Rats International Journal Of Molecular And
Advance Sciences 2 (2): 231-235
Londhe V.P,Gavasane A.T.Nipate SS. Bandawe D.D., Chaudhari P.D.
2011.Role Of garlic (Allium Sativum) in various diseases : an
overviw.Journal Of Pharmaceutical Research And opinión
Lany Lingga 2012 Terapi bawang Putih untuk kesehatan, Jakarta Elex
Media kompotindo Jakarta.

Monalisa. 2002. Kaki Diabetik. Dalam: Buku Penatalaksanaan Diabetes


Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

M. Salvi, Et.Al..Garlic Oil.Its use equines as a promoter of cicatrisation.


Moleculer Medicinal Chemistry Vol 21 January-April 2010,24-27

Mohammad Zuber.Et.Al 2013 wound healing activity of ethanolic of allium


sativum alloxan induced diabetetic rats family International Journal
Of Science Intervention today IJST.volume 2,issue 1

Mohammed Saed Ahmad and Nessar Ahmed.2006. Significance of garlic


and its constituensts in cáncer and cardiovaskuler disease
.Antiglycation Properties of Aged Garlic Extract : Possible Role in
prevention of diabetic Complications.The Journal Of Nutrition
Martinus Samuel 2012.Pengaruh air perasan bawang putih (Allium
sativum L.) dan madu (Apis mellifera) terhadap waktu penutupan
luka pada mencit swiss webter jantan model diabetes Jurnal Medika
planta vol 2 no 1 Oktober 2012.

M Jarrahi; AA Vafaei.2004. Effect of crushed garlic extract on wound


healing in albino rats. Iranian Journal of Pharmaceutical Research
(2004): Supplement 2: 44-44

M. Sathri, Et.All 2012 Antibacterial Activity of Garlic Extract Against some


Pathogenic Animal Bacteria Jurnal Media Pternakan.Desember
2011
Najla Hfaiedh,Jean Claude Murat and Abdehlfattah Elfeki.2013. Diabetes-
Induced Damages in Rat Kidney and brain and Protective Effects of
Natural Antioksidants.Research Article Nutrition & Food Sciences
ISSN: 2155-9600 JNFS

Nagori B.P Solanki Renu,Sharma Neha 2010 Natural Healing Agent :


Garlic,An Approach to healthy life.International journal In Ayuverda
& Pharmacy 1(2),Nov-dec 2010

Naseem Ullah Et. All 2014 Production and quality evaluation of garlic
(Allium sativum) vinegar using acetobacter aceti Life Science
Journal
Norman J Bennet 2008. Stabilised Alicin a unique natural antimicrobial
angent.European Journal For Nutraceutical Research
Oswald T Tampubolon Tumbuhan Obat Jakarta : Penerbit Bhratara
Prapaporn Srimuzipo.2009 Effect Of Fresh Garlic Preparation on wound
treatment And skin in dogs International Conference on the role of
Universies on education Rajamangala University of Tecnology
Lanna, Chiang Mai Thailand 22-29 Agustus 2009

PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di


Indonesia 2011. hal 3-37.Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Peter B Bongiorno,Patrick M Fratellone,Pina LoGiudice 2008. Potential


Health Benefits Of Garlic (Allium Sativum) : A Narrative
Reviw.Journal Of Complementary and Integrative Medicine Volume
5 Isssue 1.

Peter Josling 2005. Allicin the heart of garlic Nature,s aid to healing the
human body.Allimax Nutraceuticalls Chicago,Ilnois

Ridwan . Masalah Diabetes di Indonesia. Dalam : Noer, dkk, editors, Ilmu


Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi ketiga, Penerbit FK UI, Jakarta, 2011.

Reni Rahmawati 2013 Keampuhan Bawang Putih Tunggal (bawang


lanang) mengobati berbgai penyakit dan teknik budidayanya
Pustaka Baru Press

Setiawan Dalimartha Atlas Tumbuhan obat Indonesia Unggaran Trubus


Agriwijaya

sandhya.s .et.all (2011) plants as potent anti diabetic and wound healing
agents- a reviewhygeia journal for drugs and medicines vol.3 (1),
2011, 11-19

Sohail Ejaz (2009) Effect of aged garlic extract on wound healing: A new
frontier in wound management Jurnal Drug and Chemical
Toxicology

Sandhya.S .Et.Al .2011. Plants As Potent Anti Diabetic And Wound


Healing Agents- A Review hygeia Journal For Drugs And Medicines
vol.3 (1), 2011, 11-19

shorten the duration of swiss webster mice.Jurnal Medika planta vol 2 no 1


Oktober 2012

Smeltzer, S. C. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah Brunner-


Suddarth Jakarta: EGC.
Serge Ankri,David Mirelman .1999.Antimicrobial properties of allicin from
garlic.Review Microbes and infection 2 1999,125-129 Elseiver Pa
Saad B. AL Masaudi and Mona O. AlBureikan.2013 .Antimicrobial Activity
Of Garlic Juice (Allium Sativum), Honey, And Garlic -Honey Mixture
On Some Sensetive And Multiresistant Microorganisms.Life
Science Journal 2013;10(4)

Sankaran Mirunalini A.Et. All. Natural Wonder Drug Helps to Prevent


Cancer: Garlic Oil. Journal Notulae Scientia Biologicae

(Gongronema latifolium) on Escherichia coli and Staphylococcus aureus.


Malaysian Journal of Microbiology, Vol 7(1) 2011, pp. 49-53

Sohail Ejas Et.Al.2009 Effect Of Garlic Extracto n wound healing : A new


frontier in wound manangement Journal Pub Med Juli 2009, Volume
2 No 3 Pages 191-20

Siamak Saifzadesh,Alisghar Tehrani,Farnood Shokouhi Sabet Jalali and


Rahman Oroujzadeh.2006.Enhancing Effect of Aqueus Garlic
Extract on Wound Healing in the dog Clinical and Histopathological
studies.Journal of animal and Veterinary Advances 5(12): 1101-
1104
T.Viswasanthi,Et Al. 2013.Formulation and Evaluation Of Herbal Extract
Against Diabetic Foot Infection.Journal Of Global Trends In
Pharmaceutical Sciences.Volume 4,October-December 2013

Tessema Et.All..2006 An in vitro assessment of the antibacterial effect of


garlic (Allium sativum) on bacterial isolates from wound infections.
Europa Pub Med CentraL

Theddeus O.H. Prasetyo 2009 .General consept of wound healing


revisited.Med Journal Indonesia vol 18, no 3 july-september 2008

Underwood J.C.E. 1999. Patologi Umum dan Sistematis. Edisi 2. Jakarta:


EGC. hal. 356 — 359.

Udhi Eko Hernawan dan Ahmad dwi setiawan 2003.RIVIEW :


Organosulphere compund of garlic (Allium sativum L) and its
bioligical activies.)Biofarmasi 1 (2): 65-75, Agustus 2003,ISSN :
1693-2242

UP Singh Et All. Role Of Garlic (Allium Sativum L) in human and plant


diseses 2001.Indian Journal Of Eksperimental Biology Vol 39
Winny Ambiyani .2013. Pemberian salep ekstrak daun mengkudu
(Morinda citrifolia)meningkatkan proses regenerasi jaringan luka
pada tikus putih galur wistar.Tesis Program Pasca sarjana
Universitas Udayana Denpasar

Widgerow.2009.Review Deconstructing the choronic wound

Yogesh Sharma, G Jeyabalan,Rahmadep Singh, Alok semwai 2013


Current Aspects of wound Healing Agents From Medical Plants : :
Review.Jounal Of Medical Plants Studies Volume 1 Issue 3

Yulian Wiji Utami,Anis Murniati, Sumarno .2009.Efek Perawatan luka


terkontaminasi dengan ekstrak bawang putih lanang dalam
mempercepat penurunan eritema.Jurnal kedokteran Yarsi

Yudhi Prabakti 2005.Perbedaan Jumlah Fibroblas di sekitar luka insisi


pada tikus yang diberi infiltasi penghilang nyeri Levobupivakain dan
yang tidak diberi Levobupivakain Tesis Program Pasca Sarjana
program pendidikan dokter spesialis I Anastesiologi Universitas
Udatana Universitas Diponegoro Semarang

Anda mungkin juga menyukai