Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

TAFSIR AYAT PENDIDIKAN

DI SUSUN OLEH:

1. LISA AFRIANA

2. RATU PUTRI SUSANTI

3. ROSMANIDAR

4. SUFRIANTI

Semester IV B Extention

SEKOLAH TINGGI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

KEPULAUAN RIAU T.P 2020/ 2021

Alamat:

Jl. Dr. Sutomo No.2, Sungai Harapan, Kec. Sekupang, Kota Batam, Kepulauan Riau 29424
KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Allah Subahanhuwata’ala, Tuhan Semesta Alam. Hanya kepada-Nya lah
kita memuji dan hanya kepada-Nya lah kita memohon pertolongan tidak lupa sholawat beriring
salam kita ucapkan pada junjungan nabi besar kita, nabi Muhammad Salallahu’alaihi
wassalam.Dengan pertolongan-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah Tafsir Ayat
pendidikan yang berjudul “ Surah Al-Khafi : 66“

Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak Dosen yang telah membantu kami baik secara moral
maupun materi. Terima kasih juga saya ucapkan kepada teman-teman seperjuangan yang telah
mendukung kami sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ini tepat waktu.

Pembuatan makalah ini kami ambil dari berbagai sumber yang InsyaaAllah dapat
dipercaya, yang akan kami tuliskan pada daftar pustaka di halaman terakhir makalah ini.
Semoga dapat diambil kebaikan didalamnya, dan kamipun menantikan kritik dan saran yang
membangun demi setiap pembaca agar perbaikan dapat dilakukan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.

Batam, 9 juni 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Etika pendidikan berdasarkan pada sebuah kajian nyata bahwa manusia harus melakukan
sesuatu dalam tindakan yang beretika, termasuk didalamnya proses belajar mengajar dalam dunia
pendidikan. pendidikan adalah sebuah interaksi antar manusia terutama Guru dan murid. Oleh
sebab itu, sebuah pendidikan tak lepas dari peran guru dan juga murid agar tujuan pendidikan
dapat tercapai. Untuk itu seorang guru maupun murid haruslah mepunyai etika sebagai
penunjang untuk mendapatkan ilmu yang berguna dan bermanfa’at. Dalam al-Qur’an ada contoh
yang menarik antara seorang guru dan murid adalah kisah nabi Musa dengan nabi Khidir dalam
QS. Al Kahfi ayat 66.

Dalam penafsiran ayat tersebut, banyak penafsir yang mempunyai tafsiran yang berbeda-
beda. Diantara para mufassir itu adalah Fahrudin al- Razi Dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib,
Beliau menjelaskan tentang etika yang baik dan benar tentang tahapan proses dalam menuntut
ilmu Seperti penjelasan al-Razi mengenai surat al-Kahfi ayat 66 misalnya, dalam menjelaskan
ayat Dia membagi menjadi dua masalah. Masalah pertama al-Razi menjelaskan dari segi
kebahasaan, dan masalah yang kedua al-Razi menjelaskan tentang kepribadian Nabi Musa yang
memiliki sopan santun dan sifat lembut, al-Razi kemudian menjelaskan kepribadian nabi Musa
itu sampai dua belas keterangan..

Maka dari itu adanya sebuah pertanyaan Bagaimana etika seorang guru dan murid
menurut al-Razi dalam tafsirnya Mafatihul al-Ghaib? Dan juga bagaimana relevansi pemikiran
al-Razi tentang etika guru dan murid dalam kontek kekinian? Untuk mendapatkan hasil
penelitian yang baik, maka dibutuhkan adanya sebuah metode. Jenis penelitian ini adalah
penelitian pustaka ( Library Research), yang menggunakan sember data primer dan juga
sekunder. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu menuturkan dan menafsirkan data yang
berkenaan dengan pokok pembahasan serta menganalisis pendapat al-Razi dalam kitab Mafatihul
Ghaib surat al-Kahfi ayat 66-70 tentang kisah nabi Musa dengan nabi Khidir. Analisi datanya
yang digunakan adalah Metode deskriptif-analitis dirasaka lebih tepat untuk dipergunakan dalam
penelitian ini, karena tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data namun juga
meliputi usaha klasifikasi data, analisa data dan interpretasi tentang arti data yang diperoleh
sehingga dapat menghasil kan gambaran yang utuh dan menyeluruh.

B. Rumusan Masalah

1. apa isi surah Al-Khafi ayat 66 dan maknanya?

2 .apa irob Surah Al-Khafi ayat 66?

3. Muhasabbah ayat sebelum dan sesudah?

C. Tujuan

Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ayat
Pendidikan yang dipimpin oleh Bapak Dosen “ dan sebagai penambah wawasan tentang “
tafsir ayat pendidikan ”beserta Muhasabanya.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Latar belakang Ayat dan Makna Al-Khafi : 66

Quran Surat Al-Kahfi Ayat 66

‫ك َعلَ ٰ ٓى أَن تُ َعلِّ َم ِن ِم َّما ُعلِّ ْمتَ ُر ْشدًا‬


َ ‫قَا َل لَهۥُ ُمو َس ٰى هَلْ أَتَّبِ ُع‬
Arti: Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan
kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"

Tafsir Quran Surat Al-Kahfi Ayat 66

Kemudian musa mengucapkan salam kepadanya, dan berkata kepadanya, ”apakah engkau
mau mengizinkanku mengikutimu supaya engkau dapat mengajariku ilmu yang Allah telah
ajarkan padamu yang dapat aku pegangi sebagai petunjuk dan bermanfaat bagiku?”
2.2 I’rob Al-Khafi : 66
‫قال = فعل ماض مبني على الفتح‬

‫له= ل حرف جر مبني على الكسر‬

‫ه= اسم ضمير مبني على الضم في محل الجر وهو مجرور‬

‫موسى= فاعل مرفوع وعالمة رفعه ضم مقدرة على األلف‬

‫هل= حرف إستفهام مبني على السكون‬

‫أتبعك = فعل مضارع مرفوع وعالمة رفعه ضم ظاهر‬

‫ك = اسم ضمير متصل مبني على الفتح في محل النصب وهو مفعول به‬

‫أن = حرف النصب مبني على السكون‬

‫تعلمن = فعل مضارع منصوب وعالمة نصبه فتح ظاهر‬

‫ن = اسم ضمير مبني على الكسر في محل النصب‬

‫مما = من حرف الجر مبني على السكون‬

‫ما = حرف مبني على السكون‬

‫رشدا = مفعول به منصوب وعالمة نصبه فتح ظاهر‬


2.3 Muhasabah ayat sebelum dan sesudah
2.4 Asbabun Nuzul

disebabkan rasa kebanggaan berlebihan atau kesombongan Nabi Musa. Suatu waktu, usai
berkhotbah di depan umatnya, tiba-tiba Nabi Musa ditanya oleh seorang pemuda tentang orang
yang paling pandai di muka bumi. Sontak Nabi Musa menjawab bahwa, dirinyalah satu-satunya
orang yang paling pandai di bumi.
Mengetahui hal itu, Allah SWT menegur Nabi Musa dengan memberitahukan bahwa ada
manusia yang lebih pandai darinya. Nabi Musa tentu saja merasa penasaran dan sangat ingin
menemui orang tersebut. Akhirnya Allah SWT pun memberi petunjuk agar Nabi Musa pergi ke
sebuah tempat, tempat pertemuan antara dua lautan. Di tempat itu Nabi Musa akan menemukan
orang yang lebih pandai darinya. Setelah bertemu dengan orang tersebut maka Nabi Musa harus
menimba ilmu dari orang tersebut, hingga akhirnya kemudian terjadilah pertemuan keilmuan
serta interaksi edukatif antara Nabi Musa dan orang yang lebih pandai darinya, orang sholeh,
yakni Khidir.

Menurut suatu riwayat, suatu saat Nabi Musa A.S ketika baru saja menerima kitab dan
berkata-kata dengan Allah bertanya kepada Tuhannya; “Siapakah kira-kira yang paling utama
dan berilmu didunia ini selain aku?.” Maka dijawab: “Ada, yaitu hamba Allah yang berdiam di
pinggir lautan, namanya Khidir”.
Di dalam hadits riwayat Imam Bukhori dan Muslim, dari Abi bin Ka’ab ra. telah mendengar
Rosulullah bersabda: Ketika suatu saat Nabi Musa berdiri berkhotbah di hadapan kaumnya, Bani
Isra’il, salah seorang bertanya: “Siapa orang yang paling tinggi ilmunya”, Nabi Musa as.
menjawab: “Saya”. Kemudian Allah menegur Musa dan berfirman kepadanya, supaya Musa
tidak mengulangi statemannya itu; “Aku mempunyai seorang hamba yang tinggal di pertemuan
antara dua samudra, adalah seorang yang lebih tinggi ilmunya daripada kamu”. Nabi Musa as
berkata: “Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa menemuinya”. Tuhannya berfirman: “Bawalah ikan
sebagai bekal perjalanan, apabila di suatu tempat ikan itu hidup lagi, maka di situlah tempatnya.
(Kalimat Hadits dari Imam Bukhori).

Di dalam riwayat yang lain disebutkan, di saat Nabi Musa as. bermunajat kepada
Tuhannya, beliau berkata: “Ya Tuhanku, sekiranya ada di antara hambaMu yang ilmunya lebih
tinggi dari ilmuku maka tunjukkanlah padaku”. Tuhannya berkata: “Yang lebih tinggi ilmunya
dari kamu adalah Khidhir”, Nabi Musa as. bertanya lagi: “Kemana saya harus mencarinya?”,
Tuhannya menjawab: “Di pantai dekat batu besar”, Musa as. bertanya lagi : “Ya Tuhanku, aku
harus berbuat apa agar aku dapat menemuinya ?”, maka dijawab: “Bawalah ikan untuk
perbekalan di dalam keranjang, apabila di suatu tempat, ikan itu hidup lagi, berarti Khidir itu
berada disana”.
Berdasarkan apa yang disebutkan Ibn Abbas RA, yang diriwayatkan dari Ubay Ibn
Ka’ab. Beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya pada suatu hari, Nabi Musa berdiri di khalayak Bani Israil, lalu beliau ditanya,
“Siapakah orang yang paling berilmu?” jawab Nabi Musa, “Aku”, ketika ditanya, “Adakah orang
yang lebih berilmu dari anda?”. Nabi Musa menjawab, “Tidak ada.” Lalu Allah menegur Nabi
Musa dengan firman-Nya, “Sesungguhnya, di sisi-Ku ada seorang hamba yang berada di
pertemuan dua lautan dan dia lebih berilmu dari kamu.” Lantas, Nabi Musa pun bertanya, “Ya,
Allah dimanakah aku dapat menemuinya?” Allah berfirman, “Bawalah bersama-sama kamu
seekor ikan dalam keranjang. Sekiranya ikan itu hilang, di situlah kamu akan bertemu dengan
hamba-Ku itu.”
Sesungguhnya teguran Allah itu mencetuskan keinginan yang kuat dalam diri Nabi Musa untuk
menemui hamba yang sholih itu. Nabi Musa juga ingin sekali mempelajari ilmu darinya. Nabi
Musa kemudian bermaksud menunaikan perintah Allah itu dengan membawa ikan dalam wadah
dan berangkat bersama dengan muridnya, Yusya’ bin Nun.
Hikmahnya seorang penuntut ilmu tidak boleh meremehkan kemampuan oranglain, meski ia
jauh lebih pintar atau tinggi kedudukannya. Ia tidak boleh sombong dan merasa cukup akan ilmu
yang dimilikinya. Sebaliknya, ia harus bersikap rendah hati untuk menuntut ilmu kepada
siapapun.
III
KESIMPULAN

3.1 kesimpulan

Dalam kesimpulan yang didapat adalah pemikiran al-Razi tentang etika guru dan murid
dalam kontek kekinian sangatlah relevan dengan kontek saat ini yang mana seorang guru
diharuskan: Orang yang ‘alim, mengetahui karakter dan kejiwaan seorang murid, sabar
menghadapi Murid karena seorang guru akan senantiasa menghadapi murid yang bermacam-
macam, menyangi anak didiknya apapun yang terjadi, menguasai berbagai disiplin ilmu. Dan
seorang murid yaitu: Mempunyai sifat tawadzu’, meminta idzin kepada guru untuk
diperbolehkan belajar dengannya, merasa lebih bodoh dari guru, meminta kepada guru agar
bersedia mengajar sebagian ilmu, berkeyakinan bahwa Allah menganugrahkan ilmu yang lebih
kepada guru Pasrah dan minta hidayah kepada Allah, bisa mensyukuri nikmat Allah dengan cara
bersungguh-sungguh dalam dalam menuntut ilmu, patuh kepada guru secara mutlak bukan patuh
karena hal-hal tertentu saja, khidman dan siap melayani guru dalam keadaan apapun, jangan
meminta kepada guru selain ilmu.

Anda mungkin juga menyukai