Afsir Arbawi SM 4 B Jadi
Afsir Arbawi SM 4 B Jadi
AYAT PENDIDIKAN
SURAH AL KAHFI AYAT 66
Dosen Pengampu:
Bpk. Muzammil, S. Th.I, M. Th. I
Disusun Oleh :
Kelompok 2
Syukur Alhamdulillah atas segala limpahan karunia Allah SWT. Atas izin-Nya
kami dari kelompok 2 dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu.
Tidak lupa pula kami kirimkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi
Besar Muhammad SAW. Beserta keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh
umatnya yang senantiasa istiqomah hingga akhir zaman.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah
TAFSIR TARBAWI
dengan dosen pengampu Bapak Bpk. Muzammil, S. Th.I, M. Th. I
Dimana didalamnya membahas tentang pembelajaran. Ayat Pendidikan
Surah Al Kahfi Ayat 66
Semoga makalah ini dapat memberi manfaat kepada semua pihak, bagi kami
khususnya dan bagi teman-teman mahasiswa pada umumnya. Kami sadar bahwa
makalah ini belum sempurna dan masih memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
yang membaca.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Surah Al-Kahfi artinya gua, disebut juga surah Ashab Al-Kahfi yaitu surah ke-
18 dalam Al-Qur’an. Surah ini terdiri dari 110 ayat dan termasuk kedalam surah
Makiyah. Dinamai Al-Kahfi dan Ashabul Kahfi yang artinya Penghuni-Penghuni Gua.
Kedua nama ini diambil dari cerita yang terdapat dalam surah ini pada ayat 9 sampai
dengan 26, tentang beberapa orang pemuda yang tidur dalam gua bertahun-tahun
lamanya. Selain cerita tersebut, terdapat pula beberapa buah cerita dalam surah ini,
yang kesemuanya mengandung pelajaran-pelajaran yang sangat berguna bagi kehidupan
umat manusia.
Dalam pandangan Islam menuntut ilmu itu sangat diwajibkan kepada pemeluknya.
Ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari adanya pendidikan. Pendidikan itu tidak akan
terjadi apabila tidak ada komponen-komponen yang sangat berkaitan dengan
pendidikan tersebut, di antaranya adalah subyek pendidikan, obyek pendidikan, materi
pendidikan, lingkungan pendidikan, media pendidikan, dan lain sebagainya. Dalam
dunia pendidikan ini seorang pendidik (orang tua, guru, kyai, tokoh) berposisi sebagai
subjek pendidikan. Sementara anak didik tidak dapat dianggap sebagai objek
pendidikan meskipun terhadap mereka inilah pendidikan ditujukan. Sementara
lingkungan merupakan kesatuan yang berpautan secara utuh dan erat antara subjek dan
objek pendidikan.
Namun, yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah tentang subyek pendidikan
yang diilhami dari cerita Nabi Musa as dengan al-Khidir as.dalam surat Al-Kahfi ayat
66. dalam Qur’an surat al-Kahfi ayat 66 menjelaskan tentang ucapan nabi Musa
terhadap nabi Khidhir yang sangat halus. Beliau tidak menuntut untuk diajar tetapi
permintaanya diajukan dalam bentuk pertanyaan, “Bolehkah aku mengikutimu?”.
Selanjutnya, beliau menamai pengajaran yang diharapkannya itu sebagai ikutan, yakni
beliau menjadikan diri beliau sebagai pengikut dan pelajar. Beliau juga menggaris
bawahi kegunaan pengajaran itu untuk dirinya secara pribadi, yakni untuk menjadi
petunjuk baginya.
BAB II
PEMBAHASAN
َقاَل َل ۥُه ُم وَس ٰى َهْل َأَّتِبُعَك َع َلٰٓى َأن ُتَع ِّلَمِن ِمَّم ا ُع ِّلْم َت ُر ْش ًدا
Musa berkata kepadanya (Khidhr): “Bolehkah aku mengikutimu dengan maksud
agar kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar yang telah Allah ajarkan
kepadamu” (Q.S Al-Kahfi :66)[1]
1. Asbabun Nuzul
Secara khusus ayat 66 sampai ayat 70 tidak ada sebab turunnya, tetapi hanya berupa
riwayat yang didalamnya terdapat kisah pertemuan Nabi Musa as. dengan Bani Israil
sebelum Allah swt. mempertemukan Nabi Musa as. Dengan Nabi Khidir as.
Sebuah riwayat sebagaimana yang dikutip oleh Wahbah Zuhaili (1991: 317 – 318)
dalam kitabnya al-tafsiir al- Munir fil ‘aqidah wa syari’ah wal manhaj diterima dari
Ubay bin Ka’ab ra. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa pada suatu hari
Nabi Musa as. berkhutbah dihadapan kaum Bani Israil. seusai menyampaikan
khutbahnya, datanglah seorang laki-laki bertanya: “Siapakah diantara manusia ini yang
paling berilmu ?”. Jawab Musa “Aku”. Lalu Musa ditegur oleh Allah karena tidak
mengembalikan jawaban tersebut kepada Allah, sebab hanya Allah yang Maha
berilmu. Kemudian Allah memberi wahyu kepada Musa bahwa ada orang yang lebih
pandai dari dia, yaitu seorang laki-laki yang kini berada dikawasan pertemuan dua laut.
Mendengar wahyu tersebut, tergeraklah hati Musa a.s. untuk menuntut ilmu dan hikmat
dari orang yang di sebut oleh Allah, bahwa dia adalah seorang hamba-Nya yang lebih
pandai dari Nabi Musa as. yaitu Nabi Khidir as. Nabi Musa bertanya kepada Allah: “Ya
Rabbi bagaimanakah cara agar saya dapat menjumpai orang tersebut ?”. Allah
menjawab dengan firmannya: “bawalah seekor ikan dan taruhlah pada sebuah kantong
sebagai suatu benda. Bila ikan itu hilang maka engkau akan menjumpainya disana”.
Setelah mendengar keterangan tersebut, Nabi Musa segera menemui seorang pemuda
untuk dijadikan teman dalam perjalanan tersebut dan menyuruhnya agar menyediakan
seekor ikan sebagaimana telah diperintahkan oleh Allah swt. kepadanya.
Menurut riwayat diatas maka dari sinilah dimulainya perjalanan Nabi Musa as. untuk
menuntut ilmu dan hikmat dari orang yang di sebut oleh Allah swt., bahwa dia adalah
seorang hamba-Nya yang lebih pandai dari Nabi Musa as. yaitu Nabi Khidir as.
2. Makna Mufradat
Kata ًدا “ ُر ْشyang benar” adalah maf’ul (objek) kedua dari kata
kerja ‘alaamani (mengajari aku).
Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H
Surah Al Kahfi 66. Manakala Musa berhasil berkumpul dengan Khidhir, maka beliau
berkata kepadanya dengan penuh kesopanan dan permohonan persetujuan sembari
memberitahukan apa yang ia inginkan, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu,” maksudnya apakah aku boleh mengikutimu agar engkau mengajariku dari
ilmu-ilmu yang telah Allah ajarkan kepadamu, yang akan kujadikan sebagai pegangan
dan petunjuk, dan dengan itu aku pun bisa mengetahui kebenaran dari persoalan-
persoalan itu? Khidhir telah di anugerahi Allah ilham dan karamah hingga sanggup
meneropong rahasia-rahasia permasalahan yang tersembunyi pada pandangan Musa.
Tafsir Al-Mishbah
Dalam pertemuan kedua tokoh itu Musa berkata kepadanya, yakni kepada
hamba Allah yang memperoleh ilmu khusus itu, “Bolehkah aku mengikutimu secara
bersungguh-sungguh supaya engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari apa, yakni
ilmu-ilmu yang telah diajarkan Allah kepadamu untuk menjadi petunjuk bagiku menuju
kebenaran?”
Kata ( )أّتبعكattabi’uka asalnya adalah ( )أتبعكatba’uka dari kata (
)تبعtabi’a, yakni mengukuti. Penambahan huruf ( )تta’ pada
kata attabi’uka mengandung makna kesungguhan dalam upaya mengkuti itu. Memang
demikianlah seharusnya seorang pelajar, harus bertekad untuk bersungguh-sungguh
mencurahkan perhatian, bahkan tenaganya, terhadap apa yang akan dipelajarinya.
Ucapan Nabi Musa as. ini sungguh sangat halus. Beliau tidak menuntut untuk
diajar tetapi permintaannya diajukan dalam bentuk petanyaan, “Bolehkah aku
mengikutmu?” Selanjutnya beliau menamai pengajaran yang diharapkan itu
sebagai ikutan, yakni beliau menjadikan diri beliau sebagai pengikut dan pelajar. Beliau
juga menggaris bawahi kegunaan pengajaran itu untuk dirinya secara pribadi,
yakni untuk menjadi petunjuk baginya. Di sisi lain, beliau mengisyaratkan keluasan
ilmu hampa yang saleh itu sehingga Nabi Musa as. hanya mengharap kiranya dia
mengajarkan sebagian dari apa yang telah diajarkan kepadanya. Dalam konteks itu,
Nabi Musa as. tidak menyatakan “apa yang engkau ketahui wahai hamba Allah",
karena beliau sepenuhnya sadar bahwa ilmu pastilah bersumber dari satu sumber, yakni
dari Allah Yang Maha Mengetahui. Memang Nabi Musa as. dalam ucapannya itu tidak
menyebut nama Allah sebagai sumber pengajaran, karena hal tersebut telah merupakan
aksioma bagi manusia beriman. Di sisi lain, di sini kita menemukan hamba yang saleh
itu juga penuh dengan tata krama.
Li Yaddabbaru Ayatih / Markaz Tadabbur di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Umar
bin Abdullah al-Muqbil, professor fakultas syari'ah Universitas Qashim - Saudi Arabia
1 ). Qatadah berkata : Jika seseorang merasa cukup dengan sedikitnya ilmu yang ia
miliki, maka Musa juga akan merasa cukup dengan apa yang ia miliki, akan tetapi
justru beliau mengatakan kepada khidir { َهْل َأَّتِبُعَك َع َلٰٓى َأن ُتَع ِّلَمِن ِمَّم ا ُع ِّلْم َت
" } ُر ْش ًداBolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang
benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" pada Musa adalah seorang
Nabi dan Rasul.
2 ). ُر ْش ًدا } َهْل َأَّتِبُعَك َع َلٰٓى َأن ُتَع ِّلَمِن ِمَّم ا ُع ِّلْم َتAyat ini sebagai dalil bahwa
seorang penuntut ilmu mengikuti gurunya, sekalipun martabat sosial sang guru lebih
rendah.
3 ). { ُر ْش ًدا } َهْل َأَّتِبُعَك َع َلٰٓى َأن ُتَع ِّلَمِن ِمَّم ا ُع ِّلْم َتMemulai dengan meminta izin
kepada khidir untuk ikut dengannya, dan bahwasanya Musa tidak akan mengikutinya
sebelum mendapat izin darinya, dan lafadz : { ُِتَع ِّلَم ن } أَنmenunjukkan bahwa tujuan
Musa bukan untuk menguji dan menjadi keras kepala, melainkan beliau datang untuk
menuntut belajar dan menambah ilmu.
4 ). Ayat ini juga mengajarkan bagaimana sebaiknya adab seorang pelajar kepada
gurunya, dan tutur kata yang lembut dan sopan kepadanya, dan mengikrarkan bahwa ia
belajar dari sang guru, berbeda dengan sikap orang-orang sombong yang merasa dirinya
tidak butuh dengan seorang guru.
5. Kisah dengan khidir merupakan contoh sorang penuntut ilmu yang giat dan
menjunjung tinggi adab kepada ulama, Musa adalah seorang Rasul, akan tetapi
kedudukan itu tidak menghalanginya untuk mengambil ilmu seseorang yang lebih
rendah darinya
C. Aspek Tarbawi
Pendidik berperan utama dalam pembentukan akhlak peserta didik.
Pendidik harus mengetahui minat dan bakat yang dimiliki Peserta Didik.
Dalam mencari ilmu kita harus menyediakan bekal, agar kita bisa bersungguh-
sungguh dalam mencari ilmu tersebut.
Kita harus bersabar dan berjuang dalam menuntut ilmu sebagaimana yang telah
dicontohkan oleh Nabi Musa as.
Sebagai murid harus memiliki sikap sopan santun terhadap guru dan berendah diri
kepadanya.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Surat Al-Kahfi ayat 66 ini menggambarkan bagaimana etika yang baik antara
seorang pendidik dengan anak didiknya. Seorang pendidik harus memiliki kompetensi
dan kepribadian yang luhur dalam proses pembelajaran, diantaranya adalah dengan
memiliki sikap sabar dalam menghadapi perilaku peserta didiknya. Sedangkan seorang
anak didik harus menghormati gurunya yaitu dengan berbicara yang lemah lembut,
tidak memaksa, tidak banyak bicara, dan bersikap sabar serta bersungguh-sungguh
ketika menuntut ilmu
Dari uraian diatas, dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan Pendidik
adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada
anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya,
mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhuk Allah, khalifah di permukaan bumi,
sebagai makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri. Guru
mengolah bagian yang mulia dari antara anggota-anggota manusia, yaitu akal dan jiwa
dalam rangka menyempurnakan, memurnikan dan membawanya mendekati Allah
semata.
Adapun dalam melaksanakan tugasnya seorang guru hendaknya menguasai mata
pelajaran terlebih dahulu yang nantinya akan diajarkan kepada peserta didik
tersebut, dalam menyampaikan materi diusahakan dilengkapi dengan praktik, kemudian
diambilah hikmah atau nilai-nilai yang bisa diterapkan dalam kehidupan. Mampu
menghiasi wajahnya dengan senyum setiap saat. Menggunakan kata-kata yang baik dan
bijak. Memiliki sifat zuhud, pemaaf, ikhlas, dan mampu memahami karakteristik dan
mengenal nama dari masing-masing peserta didik, di luarnya mampu berpenampilan
sopan serta di dalamnya bersih dari yang namanya penyakit hati.
DAFTAR PUSTAKA