Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

AYAT PENDIDIKAN
SURAH AL KAHFI AYAT 66

Untuk memenuhi tugas mata kuliah


TAFSIR TARBAWI

Dosen Pengampu:
Bpk. Muzammil, S. Th.I, M. Th. I

Disusun Oleh :
Kelompok 2

Nurul Misbacha (2022610102271)

Zainal Abidin (2022610102277)

Karimul Mustofa (2022610102257)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


STAI TASWIRUL AFKAR SURABAYA
2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh

Syukur Alhamdulillah atas segala limpahan karunia Allah SWT. Atas izin-Nya
kami dari kelompok 2 dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu.
Tidak lupa pula kami kirimkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi
Besar Muhammad SAW. Beserta keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh
umatnya yang senantiasa istiqomah hingga akhir zaman.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah
TAFSIR TARBAWI
dengan dosen pengampu Bapak Bpk. Muzammil, S. Th.I, M. Th. I
Dimana didalamnya membahas tentang pembelajaran. Ayat Pendidikan
Surah Al Kahfi Ayat 66

Semoga makalah ini dapat memberi manfaat kepada semua pihak, bagi kami
khususnya dan bagi teman-teman mahasiswa pada umumnya. Kami sadar bahwa
makalah ini belum sempurna dan masih memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
yang membaca.

Wassalamu’alaikum Warohmatullohi wabarokatuh

Surabaya, 10 Pebruari 2024

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Surah Al-Kahfi artinya gua, disebut juga surah Ashab Al-Kahfi yaitu surah ke-
18 dalam Al-Qur’an. Surah ini terdiri dari 110 ayat dan termasuk kedalam surah
Makiyah. Dinamai Al-Kahfi dan Ashabul Kahfi yang artinya Penghuni-Penghuni Gua.
Kedua nama ini diambil dari cerita yang terdapat dalam surah ini pada ayat 9 sampai
dengan 26, tentang beberapa orang pemuda yang tidur dalam gua bertahun-tahun
lamanya. Selain cerita tersebut, terdapat pula beberapa buah cerita dalam surah ini,
yang kesemuanya mengandung pelajaran-pelajaran yang sangat berguna bagi kehidupan
umat manusia.
Dalam pandangan Islam menuntut ilmu itu sangat diwajibkan kepada pemeluknya.
Ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari adanya pendidikan. Pendidikan itu tidak akan
terjadi apabila tidak ada komponen-komponen yang sangat berkaitan dengan
pendidikan tersebut, di antaranya adalah subyek pendidikan, obyek pendidikan, materi
pendidikan, lingkungan pendidikan, media pendidikan, dan lain sebagainya. Dalam
dunia pendidikan ini seorang pendidik (orang tua, guru, kyai, tokoh) berposisi sebagai
subjek pendidikan. Sementara anak didik tidak dapat dianggap sebagai objek
pendidikan meskipun terhadap mereka inilah pendidikan ditujukan. Sementara
lingkungan merupakan kesatuan yang berpautan secara utuh dan erat antara subjek dan
objek pendidikan.
Namun, yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah tentang subyek pendidikan
yang diilhami dari cerita Nabi Musa as dengan al-Khidir as.dalam surat Al-Kahfi ayat
66. dalam Qur’an surat al-Kahfi ayat 66 menjelaskan tentang ucapan nabi Musa
terhadap nabi Khidhir yang sangat halus. Beliau tidak menuntut untuk diajar tetapi
permintaanya diajukan dalam bentuk pertanyaan, “Bolehkah aku mengikutimu?”.
Selanjutnya, beliau menamai pengajaran yang diharapkannya itu sebagai ikutan, yakni
beliau menjadikan diri beliau sebagai pengikut dan pelajar. Beliau juga menggaris
bawahi kegunaan pengajaran itu untuk dirinya secara pribadi, yakni untuk menjadi
petunjuk baginya.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Ayat dan Terjemah

‫َقاَل َل ۥُه ُم وَس ٰى َهْل َأَّتِبُعَك َع َلٰٓى َأن ُتَع ِّلَمِن ِمَّم ا ُع ِّلْم َت ُر ْش ًدا‬
Musa berkata kepadanya (Khidhr): “Bolehkah aku mengikutimu dengan maksud
agar kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar yang telah Allah ajarkan
kepadamu” (Q.S Al-Kahfi :66)[1]

1. Asbabun Nuzul
Secara khusus ayat 66 sampai ayat 70 tidak ada sebab turunnya, tetapi hanya berupa
riwayat yang didalamnya terdapat kisah pertemuan Nabi Musa as. dengan Bani Israil
sebelum Allah swt. mempertemukan Nabi Musa as. Dengan Nabi Khidir as.
Sebuah riwayat sebagaimana yang dikutip oleh Wahbah Zuhaili (1991: 317 – 318)
dalam kitabnya al-tafsiir al- Munir fil ‘aqidah wa syari’ah wal manhaj diterima dari
Ubay bin Ka’ab ra. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa pada suatu hari
Nabi Musa as. berkhutbah dihadapan kaum Bani Israil. seusai menyampaikan
khutbahnya, datanglah seorang laki-laki bertanya: “Siapakah diantara manusia ini yang
paling berilmu ?”. Jawab Musa “Aku”. Lalu Musa ditegur oleh Allah karena tidak
mengembalikan jawaban tersebut kepada Allah, sebab hanya Allah yang Maha
berilmu. Kemudian Allah memberi wahyu kepada Musa bahwa ada orang yang lebih
pandai dari dia, yaitu seorang laki-laki yang kini berada dikawasan pertemuan dua laut.
Mendengar wahyu tersebut, tergeraklah hati Musa a.s. untuk menuntut ilmu dan hikmat
dari orang yang di sebut oleh Allah, bahwa dia adalah seorang hamba-Nya yang lebih
pandai dari Nabi Musa as. yaitu Nabi Khidir as. Nabi Musa bertanya kepada Allah: “Ya
Rabbi bagaimanakah cara agar saya dapat menjumpai orang tersebut ?”. Allah
menjawab dengan firmannya: “bawalah seekor ikan dan taruhlah pada sebuah kantong
sebagai suatu benda. Bila ikan itu hilang maka engkau akan menjumpainya disana”.
Setelah mendengar keterangan tersebut, Nabi Musa segera menemui seorang pemuda
untuk dijadikan teman dalam perjalanan tersebut dan menyuruhnya agar menyediakan
seekor ikan sebagaimana telah diperintahkan oleh Allah swt. kepadanya.
Menurut riwayat diatas maka dari sinilah dimulainya perjalanan Nabi Musa as. untuk
menuntut ilmu dan hikmat dari orang yang di sebut oleh Allah swt., bahwa dia adalah
seorang hamba-Nya yang lebih pandai dari Nabi Musa as. yaitu Nabi Khidir as.

2. Makna Mufradat

Kata ‫ اتبعك‬attabi’uka asalnya adalah (‫ )اتبعك‬atba’uka dari kata (‫ )تبع‬tabi’a,


yakni mengikuti. Penambahan huruf ‫ ت‬ta’ pada kata attabi’uka mengandung
makna kesungguhan dalam upaya mengikuti itu.

Kata ‫ًدا‬ ‫“ ُر ْش‬yang benar” adalah maf’ul (objek) kedua dari kata
kerja ‘alaamani (mengajari aku).

3. Tafsir Ibnu Katsir


Allah Swt. menceritakan tentang perkataan Musa a.s. kepada lelaki yang alim
itu —yakni Khidir— yang telah diberikan kekhususan oleh Allah dengan suatu ilmu
yang tidak diketahui oleh Musa. Sebagaimana Allah telah memberi kepada Musa suatu
ilmu yang tidak diberikan-Nya kepada Khidir.
} ‫{َقاَل َلُه ُم وَس ى َهْل َأَّتِبُعَك‬
Musa berkata kepadanya, "Bolehkah aku mengikutimu?" (Al-Kahfi: 66)
Pertanyaan Musa mengandung nada meminta dengan cara halus, bukan membebani
atau memaksa. Memang harus demikianlah etika seorang murid kepada gurunya dalam
berbicara.
Firman Allah Swt.:
} ‫{َأَّتِبُعَك‬
Bolehkah aku mengikutimu? (Al-Kahfi: 66)
Maksudnya, bolehkah aku menemanimu dan mendampingimu.
}‫{َع َلى َأْن ُتَعِّلَمِن ِم َّم ا ُع ِّلْم َت ُر ْش ًد ا‬
supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah
diajarkan kepadamu. (Al-Kahfi: 66)
Yakni suatu ilmu yang pernah diajarkan oleh Allah kepadamu,-agar aku dapat
menjadikannya sebagai pelitaku dalam mengerjakan urusanku, yaitu ilmu yang
bermanfaat dan amal yang saleh.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Humaid ibnu Jubair,
telah menceritakan kepada kami Ya'qub, dari Harun, dari Ubaidah, dari ayahnya, dari
Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Musa a.s. bertanya kepada Tuhannya, "Wahai
Tuhanku, hamba-hamba-Mu yang manakah yang paling disukai olehmu?" Allah Swt.
menjawab, "Orang yang selalu ingat kepada-Ku dan tidak pernah melupakan Aku."
Musa bertanya, "Siapakah di antara hamba-hamba-Mu yang paling adil?" Allah
menjawab, "Orang yang memutuskan (perkara) dengan hak dan tidak pernah
memperturutkan hawa nafsunya." Musa bertanya, "Wahai Tuhanku, siapakah di antara
hamba-hamba-Mu yang paling alim?" Allah berfirman, "Orang yang rajin menimba il-
mu dari orang lain dengan tujuan untuk mencari suatu kalimah yang dapat memberikan
petunjuk ke jalan hidayah untuk dirinya, atau menyelamatkan dirinya dari kebinasaan."
Musa bertanya, "Wahai Tuhanku, apakah di bumi-Mu ini ada seseorang yang lebih alim
daripada aku?" Allah berfirman, "Ya, ada." Musa bertanya, "Siapakah dia?" Allah
berfirman, "Dialah Khidir." Musa bertanya, "Di manakah saya harus mencarinya?"
Allah berfirman, "Di pantai di dekat sebuah batu besar tempat kamu akan kehilangan
ikan padanya." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Musa berangkat men-
carinya; dan kisah selanjutnya adalah seperti apa yang telah disebutkan oleh Allah Swt.
di dalam kitab-Nya, hingga akhirnya sampailah Musa di dekat batu besar itu. Ia bersua
dengan Khidir, masing-masing dari keduanya mengucapkan salam kepada yang
lainnya. Musa berkata kepadanya, "Sesungguhnya saya suka menemanimu." Khidir
menjawab, "Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup sabar bersamaku." Musa berkata,
"Tidak, saya sanggup." Khidir berkata, "Jika kamu menemaniku: maka janganlah kamu
menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya
kepadamu.” (Al-Kahfi: 70) Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Khidir membawa
Musa berangkat menempuh jalan laut, hingga sampailah ke tempat bertemunya dua
buah lautan; tiada suatu tempat pun yang airnya lebih banyak daripada tempat itu.
Kemudian Allah mengirimkan seekor burung pipit, lalu burung pipit itu menyambar
seteguk air dengan paruhnya. Khidir berkata kepada Musa, Berapa banyakkah air yang
disambar oleh burung pipit ini menurutmu?" Musa menjawab, "Sangat sedikit." Khidir
berkata, "Hai Musa, sesungguhnya ilmuku dan ilmumu dibandingkan dengan ilmu
Allah, sama dengan apa yang diambil oleh burung pipit itu dari lautan ini." Sebelum
peristiwa ini pernah terdetik di dalam hati Musa bahwa tiada seorang pun yang lebih
alim daripada dia. Atau Musa pernah mengatakan demikian. Karena itulah maka Allah
memerintahkan kepadanya untuk mendatangi Khidir. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya
ini menyangkut pelubangan perahu, pembunuhan terhadap seorang anak muda, dan
pembetulan dinding yang akan runtuh, serta takwil dari semua perbuatan tersebut
Dari ayat ini Nabi Musa menyatakan permintaan bimbingan kepada ilmu yang
bermanfaat dan amal shaleh yang telah di ajarkan allah kepada khidir.
Ayat ini juga menunjukkan bahwa murid mengikuti guru walaupun tingkatnya terpaut
jauh, dan dalam kasus belajarnya Musa kepada Khidhir tidak ada hal yang
menunjukkan bahwa Khidhir lebih mulia dari pada Musa, karena ada kalanya orang
yang lebih mulia tidak mengetahui hal yang diketahui oleh orang yang tidak lebih
mulia, sebab kemuliaan itu adalah bagi yang dimuliakan Allah. Karena itu, walaupun
Khidhir seorang wali, namun Musa lebih mulia daripadanya karena Musa adalah
seorang nabi, sebab nabi lebih mulia daripada wali. Dan kalaupun Khidhir itu seorang
nabi, maka Musa lebih mulia daripadanya karena kerasulannya. Wallahu a’lam.

Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H

Surah Al Kahfi 66. Manakala Musa berhasil berkumpul dengan Khidhir, maka beliau
berkata kepadanya dengan penuh kesopanan dan permohonan persetujuan sembari
memberitahukan apa yang ia inginkan, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu,” maksudnya apakah aku boleh mengikutimu agar engkau mengajariku dari
ilmu-ilmu yang telah Allah ajarkan kepadamu, yang akan kujadikan sebagai pegangan
dan petunjuk, dan dengan itu aku pun bisa mengetahui kebenaran dari persoalan-
persoalan itu? Khidhir telah di anugerahi Allah ilham dan karamah hingga sanggup
meneropong rahasia-rahasia permasalahan yang tersembunyi pada pandangan Musa.

Tafsir Al-Mishbah
Dalam pertemuan kedua tokoh itu Musa berkata kepadanya, yakni kepada
hamba Allah yang memperoleh ilmu khusus itu, “Bolehkah aku mengikutimu secara
bersungguh-sungguh supaya engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari apa, yakni
ilmu-ilmu yang telah diajarkan Allah kepadamu untuk menjadi petunjuk bagiku menuju
kebenaran?”
Kata ( ‫ )أّتبعك‬attabi’uka asalnya adalah ( ‫ )أتبعك‬atba’uka dari kata (
‫ )تبع‬tabi’a, yakni mengukuti. Penambahan huruf (‫ )ت‬ta’ pada
kata attabi’uka mengandung makna kesungguhan dalam upaya mengkuti itu. Memang
demikianlah seharusnya seorang pelajar, harus bertekad untuk bersungguh-sungguh
mencurahkan perhatian, bahkan tenaganya, terhadap apa yang akan dipelajarinya.
Ucapan Nabi Musa as. ini sungguh sangat halus. Beliau tidak menuntut untuk
diajar tetapi permintaannya diajukan dalam bentuk petanyaan, “Bolehkah aku
mengikutmu?” Selanjutnya beliau menamai pengajaran yang diharapkan itu
sebagai ikutan, yakni beliau menjadikan diri beliau sebagai pengikut dan pelajar. Beliau
juga menggaris bawahi kegunaan pengajaran itu untuk dirinya secara pribadi,
yakni untuk menjadi petunjuk baginya. Di sisi lain, beliau mengisyaratkan keluasan
ilmu hampa yang saleh itu sehingga Nabi Musa as. hanya mengharap kiranya dia
mengajarkan sebagian dari apa yang telah diajarkan kepadanya. Dalam konteks itu,
Nabi Musa as. tidak menyatakan “apa yang engkau ketahui wahai hamba Allah",
karena beliau sepenuhnya sadar bahwa ilmu pastilah bersumber dari satu sumber, yakni
dari Allah Yang Maha Mengetahui. Memang Nabi Musa as. dalam ucapannya itu tidak
menyebut nama Allah sebagai sumber pengajaran, karena hal tersebut telah merupakan
aksioma bagi manusia beriman. Di sisi lain, di sini kita menemukan hamba yang saleh
itu juga penuh dengan tata krama.

Hikmah Berharga Mengenai Surat Al-Kahfi Ayat 66

Li Yaddabbaru Ayatih / Markaz Tadabbur di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Umar
bin Abdullah al-Muqbil, professor fakultas syari'ah Universitas Qashim - Saudi Arabia

1 ). Qatadah berkata : Jika seseorang merasa cukup dengan sedikitnya ilmu yang ia
miliki, maka Musa juga akan merasa cukup dengan apa yang ia miliki, akan tetapi

justru beliau mengatakan kepada khidir { ‫َهْل َأَّتِبُعَك َع َلٰٓى َأن ُتَع ِّلَمِن ِمَّم ا ُع ِّلْم َت‬
‫" } ُر ْش ًدا‬Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang
benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" pada Musa adalah seorang
Nabi dan Rasul.

2 ). ‫ُر ْش ًدا‬ ‫ } َهْل َأَّتِبُعَك َع َلٰٓى َأن ُتَع ِّلَمِن ِمَّم ا ُع ِّلْم َت‬Ayat ini sebagai dalil bahwa
seorang penuntut ilmu mengikuti gurunya, sekalipun martabat sosial sang guru lebih
rendah.

3 ). { ‫ُر ْش ًدا‬ ‫ } َهْل َأَّتِبُعَك َع َلٰٓى َأن ُتَع ِّلَمِن ِمَّم ا ُع ِّلْم َت‬Memulai dengan meminta izin
kepada khidir untuk ikut dengannya, dan bahwasanya Musa tidak akan mengikutinya

sebelum mendapat izin darinya, dan lafadz : { ِ‫ُتَع ِّلَم ن‬ ‫ } أَن‬menunjukkan bahwa tujuan
Musa bukan untuk menguji dan menjadi keras kepala, melainkan beliau datang untuk
menuntut belajar dan menambah ilmu.

4 ). Ayat ini juga mengajarkan bagaimana sebaiknya adab seorang pelajar kepada
gurunya, dan tutur kata yang lembut dan sopan kepadanya, dan mengikrarkan bahwa ia
belajar dari sang guru, berbeda dengan sikap orang-orang sombong yang merasa dirinya
tidak butuh dengan seorang guru.

5. Kisah dengan khidir merupakan contoh sorang penuntut ilmu yang giat dan
menjunjung tinggi adab kepada ulama, Musa adalah seorang Rasul, akan tetapi
kedudukan itu tidak menghalanginya untuk mengambil ilmu seseorang yang lebih
rendah darinya

B. Aplikasi dalam Kehidupan Sehari-hari


seorang pendidik harus menyadari betul keagungan profesinya. Ia harus
menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia dan menjauhi semua akhlak yang tercela.
Ia tidak boleh kikir dalam menyampaikan pengetahuannya dan menganggap remeh
semua masalah yang merintangi, sehingga mampu mencapai target dan misinya dalam
melakukan sistem pendidikan. Sikap seperti ini akan mampu mendorong seorang
pendidik untuk melakukan hal-hal besar dalam menjalani profesinya demi mendapatkan
hasil yang maksimal baik anak didiknya.

C. Aspek Tarbawi
 Pendidik berperan utama dalam pembentukan akhlak peserta didik.
 Pendidik harus mengetahui minat dan bakat yang dimiliki Peserta Didik.
 Dalam mencari ilmu kita harus menyediakan bekal, agar kita bisa bersungguh-
sungguh dalam mencari ilmu tersebut.
 Kita harus bersabar dan berjuang dalam menuntut ilmu sebagaimana yang telah
dicontohkan oleh Nabi Musa as.
 Sebagai murid harus memiliki sikap sopan santun terhadap guru dan berendah diri
kepadanya.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Surat Al-Kahfi ayat 66 ini menggambarkan bagaimana etika yang baik antara
seorang pendidik dengan anak didiknya. Seorang pendidik harus memiliki kompetensi
dan kepribadian yang luhur dalam proses pembelajaran, diantaranya adalah dengan
memiliki sikap sabar dalam menghadapi perilaku peserta didiknya. Sedangkan seorang
anak didik harus menghormati gurunya yaitu dengan berbicara yang lemah lembut,
tidak memaksa, tidak banyak bicara, dan bersikap sabar serta bersungguh-sungguh
ketika menuntut ilmu
Dari uraian diatas, dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan Pendidik
adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada
anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya,
mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhuk Allah, khalifah di permukaan bumi,
sebagai makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri. Guru
mengolah bagian yang mulia dari antara anggota-anggota manusia, yaitu akal dan jiwa
dalam rangka menyempurnakan, memurnikan dan membawanya mendekati Allah
semata.
Adapun dalam melaksanakan tugasnya seorang guru hendaknya menguasai mata
pelajaran terlebih dahulu yang nantinya akan diajarkan kepada peserta didik
tersebut, dalam menyampaikan materi diusahakan dilengkapi dengan praktik, kemudian
diambilah hikmah atau nilai-nilai yang bisa diterapkan dalam kehidupan. Mampu
menghiasi wajahnya dengan senyum setiap saat. Menggunakan kata-kata yang baik dan
bijak. Memiliki sifat zuhud, pemaaf, ikhlas, dan mampu memahami karakteristik dan
mengenal nama dari masing-masing peserta didik, di luarnya mampu berpenampilan
sopan serta di dalamnya bersih dari yang namanya penyakit hati.
DAFTAR PUSTAKA

Hamka. 1982. Tafsir Al-Azhar. Surabaya: Yayasan Latimojong.


Mahmud. 2011. Pemikiran pendidikan islam. Bandung: CV Pustaka.
Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa. 1993. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: PT. Karya Toha
Putra.
Salim, Moh. Haitami dan Syamsul Kuriawan. 2012. Studi Ilmu Pendidikan Islam.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Shihab, M. Quraish . 2002. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati.
Uhbiyati, Nur. 1998. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka Set

Nasib ar-Rifa’i, Muhammad. 1989. Tafsiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari


Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani
http://mymooslim.blogspot.com/2012/04/skripsi-bab-2.html

Anda mungkin juga menyukai