Anda di halaman 1dari 19

Jurnal Internasional Manajemen Islam dan Bisnis

Vol. 2, No. 2, Agustus 2016

PRAKTEK KONTEMPORER DARI RIBĀ, GHARAR DAN MAYSIR


DALAM PERBANKAN DAN KEUANGAN ISLAM

Muhammad Iman Sastra Mihajat 1

Institut IIUM Perbankan dan Keuangan Islam

m.iman.sastra@gmail.com / +60 11 11 566818 (Malaysia) +62853 66333340 (Indonesia).

Abstrak

Tujuan utama dari makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman yang tepat tentang konsep dan penerapannya ribā,
gharar ( ambiguitas) dan maysir dan bagaimana itu bisa terjadi dalam Islam
produk dan layanan perbankan dan keuangan. Makalah ini menyajikan prinsip-prinsip dasar umum dalam transaksi
keuangan syariah dari klasik fiqh sudut pandang termasuk ribā, gharar, maysir dan kontrak terlarang yang
mengandung unsur ribā, gharar, maysir. Penelitian ini mengungkapkan bahwa perbankan dan keuangan Islam
mungkin melibatkan unsur bunga, ketidakpastian, dan perjudian yang dilarang Syariat dalam produk dan layanan
mereka yang
mengemukakan Syariat produk kepatuhan yang tersedia saat ini tidak jauh berbeda dari mereka
rekan konvensional. Hal ini mungkin terjadi karena kurangnya pengetahuan para praktisi perbankan
syariah atas pemahaman konsep yang benar ribā, maysir dan
gharar ketika mereka menyusun produk termasuk ketika mereka menetapkan angsuran bulanan dalam kontrak wadī c ah,
mudhārabah dan mushārakah kontrak.

Kata kunci: ribā, gharar ( kemenduaan), maysir ( perjudian), Perbankan dan Keuangan Islam

1. PERKENALAN

Memahami dasar Syariat prinsip dan parameter dalam penataan produk dan jasa keuangan pada lembaga
keuangan syariah baik di asuransi syariah, perbankan syariah, pasar modal syariah, pegadaian syariah, Baitul
Maal wat Tamwil
(BMT), koperasi syariah atau lembaga lain yang menawarkan jasa keuangan syariah sangat menuntut
pengembangan produk khususnya ribā, gharar ( ambiguitas) dan
maysir ( perjudian). Dalam Islam, transaksi perdagangan dan perdagangan harus sesuai dengan kebutuhan Syariat
yang berarti pantang dari larangan (hal-hal yang dilarang) dan memperhatikan bahwa setiap kontrak memiliki
semua elemen esensial dan bahwa setiap elemen esensial memenuhi persyaratan yang diperlukan (Abdullah
dan Ramli, 2011).

Makalah ini membahas dasar Syariat prinsip-prinsip dalam penataan produk di jasa keuangan syariah
khususnya bank syariah dari fiqh sudut pandang sangat mendasar

1 Muhammad Iman Sastra Mihajat adalah kandidat Ph.D di IIUM Institute of Islamic Banking and Finance. Ia merupakan salah satu pakar

keuangan syariah ternama di Indonesia dengan bidang spesialisasi Fiqh Mu'amalah ( Hukum Komersial Islam), Perbankan Islam, Pasar Modal

Islam dan Asuransi Islam. Ia mengajar di beberapa Universitas ternama di Indonesia. Ia juga banyak melakukan pelatihan di bidang keuangan

syariah dan menjadi penasihat syariah di beberapa Lembaga Keuangan Islam di Indonesia. Ia dapat dihubungi di m.iman.sastra@gmail.com /

+60 11 11 566818 (Malaysia) +62853 66333340 (Indonesia).

1
Jurnal Internasional Manajemen Islam dan Bisnis
Vol. 2, No. 2, Agustus 2016

larangan umum dalam transaksi komersial s seperti ribā ( riba atau bunga), gharar
(elemen tidak pasti atau tidak jelas dalam kontrak bisnis), maysir ( transaksi yang mirip dengan perjudian), dan
kontrak dilarang oleh Syariat. Meskipun untuk memastikan Syariat
Kepatuhan produk dan layanan perbankan syariah di banyak negara harus sesuai dengan persyaratan fatwa yang
disepakati dan Peraturan Bank Sentral. Namun, pemahaman tentang fiqh pada dasarnya larangan umum dalam
keuangan Islam untuk memenuhi tantangan pertumbuhan yang dapat lebih memperkuat bank syariah adalah
suatu keharusan untuk mengeksplorasi berbagai produk dan layanan perbankan kepatuhan syariah yang efektif
(Khan,
2007). Meskipun beberapa pihak berpendapat bahwa perlu mendapatkan Syariat persyaratan merupakan kendala dalam
jalur inovasi produk perbankan syariah (Benaissa, Parekh, dan Wiegand,
2005).

Oleh karena itu, makalah pertama kali menyoroti arti dari ribā dan bagaimana hal itu dapat terjadi dalam produk dan
layanan perbankan Islam. Kedua, memeriksa pemahaman yang benar tentang
gharar, jenis dari gharar, gharar dan resiko, kontrak terlarang yang mengandung unsur gharar, dan
bagaimana mereka dapat terlibat dalam transaksi keuangan dan perbankan Islam. Ketiga menjelaskan
konsep maysir, perbedaan antara maysir dan spekulasi.

2. SHARĪAH PRINSIP DAN PARAMETER DI PRODUK


PEMBANGUNAN BANK SYARIAH

Secara umum, keberadaan industri keuangan syariah yang muncul ke permukaan di berbagai belahan dunia
bertujuan untuk menghindarinya ribā seperti yang telah dipraktikkan selama beberapa abad (Hasbi dan Haruman
2011; Antonio, 2001; Ahmad, 1993; Juwaini, 2010; Kahf dan Khan 1992; Siddiqui, 2005) , gharar ( ambiguitas) dan maysir
( perjudian) (Sudarsono 2003; Abdullah dan Ramli, 2011; Dusuki dan Abdullah, 2011; Ahmad et al., 2010). Tujuannya
adalah untuk memberikan ketenangan di hati umat Islam dan kepatuhan terhadap larangan di dalamnya mu'āmalah agar
mereka bisa hidup sesuai dengan apa yang ditentukan oleh Allah SWT.

Praktik umum untuk melihat apakah produk tersebut sesuai dengan hukum Islam hanya mengacu pada
larangan umum ribā, maysir dan gharar, Studi ini menambahkan beberapa poin penting untuk memastikan
produk di lembaga keuangan Islam (IFI) sesuai dengan syar'at. Seperti bagaimana konsep kontrak hibrida
dalam transaksi bisnis, dalam pandangan Islam konsep kontrak hibrida pada umumnya dilarang dalam
hadits. Sementara kontrak saat ini yang digunakan di IFI kebanyakan multikontrak, kombinasi antara satu
kontrak dengan kontrak lainnya bahkan lebih, karena Syariat melarang dua kontrak dalam satu transaksi.

3. RIBĀ

Ribā adalah salah satu elemen utama yang dilarang dalam keuangan Islam dan secara eksplisit dilarang dalam Al-Qur'an
sebagai sumber petunjuk yang tak terbantahkan bagi semua Muslim. Kata ribā juga dikenal sebagai riba dan bunga,
secara harfiah berarti s sebagai tambahan / kelebihan / penambahan, perluasan atau pertumbuhan atau berkembang (Ibn
Rushd, ed. 1981; Al-Shirbīnī, ed. 2006; Al-Says, 2010; Ibn Manzur, ed. 1968; „Imārah, 1993). Imam Sarakhsi (ed. 1986),
Al-Shirbīnī (ed. 2006) dan „Imārah (1993) mendefinisikan ribā sebagai kelebihan dari modal awal itu

2
Jurnal Internasional Manajemen Islam dan Bisnis
Vol. 2, No. 2, Agustus 2016

diperlukan dalam transaksi bisnis tanpa nilai counter yang setara ( c iwadh) yang dibenarkan oleh syar'ah. Pengertian
tambahan dalam konteks ribā adalah tambahan uang yang diperoleh dari modal dengan cara yang tidak dibenarkan
secara syar'ah, baik dalam jumlah kecil maupun besar seperti yang ditunjukkan dalam Al-Qur'an.

Dalam hadits disebutkan (hadits ini menjadi islami Fiqh Pepatah, Qā'idah Fiqh):
"Setiap qordh / pinjaman yang membawa keuntungan (bagi pemberi pinjaman) tersebut ribā ". Perlu dicatat di sini bahwa manfaat yang
disebutkan dalam hadits bukan hanya uang tambahan dalam pinjaman, tetapi mencakup manfaat lain seperti ketika A meminjamkan
uang Rupi 100 kepada B, tetapi A meminta B untuk melakukan suatu pekerjaan untuknya. Maka pekerjaan yang dilakukan oleh B ke A
adalah satu jenis ribā berdasarkan hadits di atas.

Ribā dalam bertransaksi secara umum dikategorikan menjadi dua karakteristik utama: ribā al-nasiah
dan ribā al-fadhl ( Ibn al-Qoyyim, ed. 1999), sedangkan Al-Shirbīnī (ed. 2006) terbagi ribā
menjadi tiga dengan tambahan ribā al-yad ( dijual dengan penundaan pada keduanya (harga dan pokok bahasan
(atau salah satunya). Ribā al-Nasīah terjadi ketika penundaan dalam penyelesaian atau pembayaran untuk satu atau
kedua nilai lawan sebagai bunga yang dibebankan pada pinjaman di bank konvensional (Chapra, 2006). Ribā
al-Fadhl terjadi ketika penjualan dengan kelebihan atau kelebihan dibebankan pada pertukaran komoditas tertentu
dalam transaksi barter misalnya mengganti model emas terbaru 100 gram dengan model lama 110 gram (Al-Shirbīnī,
ed. 2006).

Tabel 3.1

Jenis dari Ribā dan Penerapannya

Istilah Aplikasi

Ribā al-nasī'ah Melibatkan penundaan dalam pertukaran nilai counter, misalnya pertukaran satu ons
emas akan diberikan sekarang dengan imbalan satu
( ribā dalam kredit) ons emas akan diterima minggu depan.

Ribā al-fadl Melibatkan surplus dalam pertukaran nilai counter, misalnya satu ons emas akan
diberikan sekarang dengan imbalan dua ons emas
( ribā surplus) untuk diterima sekarang.

Ribā al-qurūd Pemberi pinjaman kontrak uang untuk menerima lebih banyak sebagai imbalan daripada yang ia
ambil pada awalnya, biasanya bukan sebagai pinjaman tanpa bunga
( ribā surplus) dalam bahasa barat.

Ribā al-buyū ' Di sini, pihak lawan dalam perdagangan komoditas non-moneter bertukar jumlah yang
tidak sama dari genus yang sama. Misalnya yang kecil
( ribā dalam jual beli) berat kurma berkualitas baik yang diperdagangkan dengan imbalan kurma kualitas
buruk yang lebih berat. Transaksi ini juga merupakan riba
al-fadl.dll

Ribā al-Qur'an Pinjaman riba, yang disebutkan dalam Al-Qur'an, adalah salah satu bentuk pinjaman riba riba
al-Qur'an.
( ribā yang disebutkan di
Al-Qur'an)

Ribā al-jāhiliyyah Orang Arab pagan akan menawarkan kesempatan kepada debitur untuk menunda pelunasan
hutang dengan imbalan pembayaran yang lebih besar pada waktunya.

3
Jurnal Internasional Manajemen Islam dan Bisnis
Vol. 2, No. 2, Agustus 2016

(Itu ribā yang dipraktekkan di masa Unsur-unsur penundaan dan kelebihan jelas terlihat di sini.
ketidaktahuan di antara orang-orang Arab,
sebelum munculnya Atau merupakan kelebihan hutang yang dibayarkan dari pokok pinjaman pada saat debitur tidak

Islam) dapat mengembalikan pinjaman pada waktu yang ditentukan.

Ribā al-hadits atau ribā al-sunnah Nabi (saw) menjelaskan riba al-buyu ' dalam hadits, dan jenis ini tulang rusuk Oleh
karena itu, a identik dengan beberapa kategori riba
( ribā yang didefinisikan di hadits atau al-hadits.
dengan teladan Nabi
(pbuh))

Sumber: Ahmad dkk, 2010

3.1 Ribā dan Kepentingan dalam Sistem Perbankan


Tidak ada perselisihan di kalangan ulama syariah tentang larangan bunga bank karena termasuk dalam
larangan ribā yang secara jelas tercantum dalam Al-Qur'an dan Sunnah, pinjaman dengan syarat pelunasan
dengan kelebihan dan kelebihan pokok berdasarkan tingkat bunga yang diatur dalam kontrak (Siddiqi, 2004;
Haque, 1995; Schacht, 1964). Hal tersebut ditegaskan dengan banyaknya fatwa yang dikeluarkan oleh
Standar Syariah Internasional di banyak negara seperti MUI (Majelis Ulamā ') di Indonesia dan SAC-BNM
(Sharīʿah Advisory Council-Bank Negara Malaysia) di Malaysia yang berkepentingan di perbankan adalah ribā.

Beberapa orang membantah ribā Dalam transaksi pinjaman (seperti yang dilakukan bank konvensional) haram
untuk dikonsumsi dan halal jika bank konvensional melakukannya untuk investasi, keperluan produksi (Ahmad
dan Hassan, 2008), dan pemberdayaan usaha mikro dan kecil (Rahman, 2008). Namun, al-Qur ‟an
menetapkan larangan umum bahwa setiap bentuk bunga tetap dan ditentukan sebelumnya (baik kecil atau
besar, untuk investasi atau konsumsi, tabungan atau pinjaman dll) dianggap sebagai ribā terlepas dari apakah
itu digunakan untuk konsumsi atau tujuan lain (Mannan, 1980).

4. GHARAR

Gharar merupakan unsur penting kedua dalam bertransaksi dengan tujuan untuk menghindari penipuan dan untuk
melindungi hak para pihak yang terikat kontrak, meminimalkan perselisihan dan untuk mengurangi peluang terjadinya
eksploitasi satu pihak oleh pihak lain dalam bertransaksi, sehingga tidak ada salah satu atau kedua belah pihak yang
tertipu atau dirugikan. Gharar secara harfiah berarti: bahaya atau paparan kehancuran, risiko atau bahaya atau
pengambilan risiko, penipuan, delusi, bahaya, bahaya, kekeliruan, dirahasiakan, dan ketidakpastian (Mālik, ed. 2005;
al-Shāfi ′ i, ed. 2004; alNawawi, ed. 1996; „Imārah, 1993; Ibn Manzur, ed. 1968). Dalam aplikasi keuangan,

gharar berarti ketidakpastian yang menipu yang menunjukkan orang yang mempraktekkan gharar menipu atau
penipuan melalui penggunaan ketidakpastian (Ahmad et al 2010). Di fiqh mu'āmalah, gharar berarti melakukan
sesuatu secara membabi buta tanpa pengetahuan yang memadai, atau menceburkan diri dari tindakan yang
berisiko tidak tahu persis apa yang akan terjadi, atau memasuki arena risiko tanpa memikirkan akibatnya, atau
sesuatu yang konsekuensinya tersembunyi, ketidakpastian atau ketidaktahuan atas objek penjualan
(al-Sarakhsi, ed. 1986); Kamali, 2000). Menurut Imam ibn Taymiyyah (ed. 1978), gharar terjadi ketika
seseorang tidak tahu apa yang disimpan untuknya pada akhir kegiatan perdagangan yang mirip dengannya qimār.

4
Jurnal Internasional Manajemen Islam dan Bisnis
Vol. 2, No. 2, Agustus 2016

Gharar dapat timbul dalam bentuk ketidakpastian dalam kontrak dan apa pun yang terkait dengan kontrak
seperti ketidakpastian nilai materi pelajaran, ketidakpastian waktu pembayaran atas penjualan yang
ditangguhkan, ketidakpastian dalam kualitas dan kuantitas materi pokok, ketidakpastian dalam eksistensi,
ketidakpastian dalam kepemilikan, ketidakpastian dalam penyerahan, ketidakpastian dalam ketersediaan
atau sifat objek kontrak (Imam Mālik, ed. 2005; al-Saati, 2003; Ayub 2007). Misalnya dilarang menjual mobil
seharga Rp 100 juta padahal tidak memiliki mobil, hal ini dianggap gharar

karena ketidakpastian dalam hal kepemilikan.

Gharar penjualan mengandung unsur ketidaktahuan atau ketidakpastian antara kedua belah pihak dalam
suatu transaksi, di mana sesuatu yang tidak ada di tangan atau sesuatu yang tidak diketahui
konsekuensinya, atau penjualan yang melibatkan bahaya yang tidak diketahui apakah akan terjadi. atau
tidak (Ayub, 2007; Rodoni, 2009), atau perjanjian jual beli tentang sesuatu di mana objek (materi pokok)
akan dikirim atau tidak ada selama transaksi, misalnya penjualan ikan di air, atau burung di udara (Rodoni,
2009). (Ibn 'Ābidīn (ed. 1966) didefinisikan gharar sebagai keraguan atas bentuk fisik dari kontrak objek ( mabī
'). Ibn Hazm (ed. 1988) dari Zahiri School of law berkata: " gharar dalam jual beli adalah sesuatu yang tidak
diketahui pembeli apa yang dia beli dan penjual apa yang dia jual. ”Imam Sarakhsi (ed. 1986) mengartikan
gharar adalah sesuatu akibat yang tidak bisa ditebak, dan ini merupakan pendapat mayoritas ahli hukum.
Rosly (2005) menyatakan bahwa " gharar mengacu pada validitas atau izin kontrak yang mengacu pada
risiko dan ketidakpastian yang berujung pada tindakan manipulasi manusia yang menimbulkan bahaya dan
ketidakadilan bagi pihak lain. ”

Namun, gharar penjualan hanya diterapkan dan muncul dalam prinsip 'uqūd mu'āwadhat ( kontrak pertukaran) dan
tidak diterapkan pada prinsip 'uqud tabarru'at ( kontrak amal) (Kamali, 2000). Sebab, dalam amal perbuatan di mana
pendonor tidak memiliki motif untuk menambah hartanya sendiri gharar dimaafkan. Apabila penerima manfaat
melewatkan manfaat, ia tidak akan dirugikan karena belum mengeluarkan sesuatu yang berbeda dengan kontrak
pertukaran dimana penerima manfaat membayar untuk mendapatkan sesuatu. Jika dia tidak menerima apa yang
dia bayarkan, dia kehilangan apa yang dia belanjakan. Jelas bahwa kebijaksanaan larangan gharar dari pemberi
hukum adalah untuk menghindari kerugian bagi semua pihak yang mengadakan kontrak (al-Darīr, 2004).

Dasar pelarangan adalah sabda Nabi (saw) dalam hadits Abu Hurairah: “Nabi (saw) melarang al-hashah penjualan
dan gharar obral. "Masuk
gharar penjualan, ada unsur mengambil properti orang lain dengan cara yang tidak adil ( bāthil). Islam melarang
memakan harta orang lain dengan cara yang tidak adil seperti yang disebutkan dalam Al-Qur'an ( al-Baqarah: 188).

4.1 Jenis Gharar

Padahal sebagian ulama dikelompokkan dalam tiga kategori dengan menjumlahkan rata-rata gharar (gharar mutawassit) ke
dalamnya seperti Kamali (1999). Umumnya, gharar dapat dibagi dalam dua kategori:

Pertama: Dapat ditoleransi Gharar: The Tolerable gharar (gharar yasīr, gharar kecil) adalah gharar
yang dapat ditoleransi dan diterima oleh kedua belah pihak, dan tidak akan mempengaruhi esensi

5
Jurnal Internasional Manajemen Islam dan Bisnis
Vol. 2, No. 2, Agustus 2016

dari kontrak. Misalnya, beli mobil tertentu dari dealer yang akan dikirim minggu depan dengan harga yang
disepakati Rp 100 juta. Meski mobil tersebut masih belum ada hingga saat ini (masih ada ketidakpastian), namun
dealer akan memastikan bahwa mobil tersebut akan dikirimkan ke A pada waktu yang telah disepakati. Dalam
kasus hadits nabi yang melarang menjual sesuatu yang bukan milik penjual, beberapa ahli hukum seperti Imam
Ahmad bin Hanbal dan simpatisannya termasuk Ibnu Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim menafsirkan ketidakmampuan
penjual untuk menyampaikan materi pelajaran. pada waktu yang disepakati (Ahmad et al 2010 dalam kamali, 1999).
Ahli hukum Muslim setuju bahwa di bawah umur gharar (gharar yasīr) ditoleransi dan diizinkan (Kamali, 1999).

Kedua: Dilarang Gharar: Yang dilarang gharar (gharar fahish, besar atau berlebihan
gharar) adalah ketidakpastian yang begitu tinggi dan membebani kontrak (Ahmad et al
2010). Ini mungkin timbul salah satu pembeli atau penjual tidak mampu mengambil tanggung jawab karena:
bukan usia mayoritas dari hukum dan Syariat aspek dan pembeli atau penjual dipaksa, objek tidak ada, tidak
bebas dari sitaan dan tidak ditentukan atau tidak sesuai spesifikasi, atau harga tidak tercantum dalam
perjanjian dan dua harga dalam satu transaksi (Abdullah dan Ramli, 2011). Hal tersebut ditegaskan oleh Ibn
Rusyd (ed. 1981) sang mayor gharar Berasal dari ketidaktahuan dan kurangnya informasi tentang sifat dan
atribut suatu objek, keraguan atas ketersediaan dan keberadaannya, keraguan atas kuantitas dan
kualitasnya, atau informasi pasti mengenai harga, unit mata uang tempat harga dibayarkan , dan ketentuan
pembayaran. Ini juga terkait dengan waktu pembayaran dan pengiriman objek.

Ahli hukum Muslim setuju bahwa hanya yang utama gharar dilarang karena merusak keabsahan kontrak.
Larangan mayor gharar karena kesamaan mayor
gharar dengan perjudian yang pertama kali diperhatikan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibn Al-Qayyim karena dianggap
selangit gharar sebagai jenis perjudian (Kamali, 1999). Berlebihan
gharar aku s maysir, yang berjudi. Jika unta atau kuda hilang, pemiliknya dapat menjualnya lebih rendah dari
harga pasar (al-Saati, 2003).

4.2 Gharar dan Resiko

Gharar Dalam transaksi yang melarang secara syar'ah tidak ada bedanya antara penipuan yang dilarang dalam
transaksi bisnis yang tidak diketahui objeknya dan dengan demikian mengandung risiko. Ada beberapa alasan s dibalik
pelarangan gharar yang menimbulkan resiko bagi pihak kontraktor yang terkait dengan penipuan dimana nilai
penjualan untuk mendapatkan properti orang lain dengan menjual barang yang tidak tersedia dan kontrak tersebut
dapat menimbulkan perselisihan dan perselisihan antar pihak yang mengadakan kontrak (Hassan, 1997) .

Beberapa ahli membedakan istilah ketidakpastian dan risiko dalam ekonomi (Kamali, 1999). Risiko
menggambarkan situasi di mana probabilitas suatu peristiwa dapat diukur. Oleh karena itu, risiko ini dapat
diperkirakan secara teoritis.

4.3 Kebijaksanaan diluar Larangan Gharar Penjualan

Menurut Imam Ibnu Taimiyyah, hikmah dibalik larangan tersebut gharar penjualan atau kontrak apapun
mengandung unsur ketidakpastian dan bahaya dimana penjualan akan mengakibatkan pengambilan harta benda
orang lain karena kesia-siaan dan ketidakadilan yang merupakan jenis amoralitas dan permusuhan (Jum ‟ah,
2005). Diantara hikmah dari larangan ini,

6
Jurnal Internasional Manajemen Islam dan Bisnis
Vol. 2, No. 2, Agustus 2016

karena itu semacam perjudian dan menyebabkan permusuhan pada pihak yang dirugikan . Larangan ini juga
bermaksud baik dengan tujuan untuk menjaga harta benda di kalangan masyarakat sebagai salah satu unsur di
dalamnya maqāshid syariah ( Tujuan syariat adalah melindungi harta benda dari kerugian dan menghilangkan sikap
permusuhan di kalangan masyarakat akibat perdagangan jenis ini (Abu Asma, 7 Februari 2010).

4.4 Contoh Gharar Sale in Trade

Beberapa sarjana mengizinkan transaksi di mana objek atau materi pelajaran sebenarnya tidak ada selama transaksi, dengan
syarat bahwa pihak yang mengadakan kontrak memiliki kendali atas item di mana dia dapat memastikan pengiriman objek atau
materi pelajaran dalam waktu yang disepakati di masa depan (Rodoni , 2009).

Banyak ulama menjelaskan transaksi normal yang melibatkan unsur gharar Dalam akad dalam fiqih Islam
yang lazim dilakukan kaum jahiliyah Arab pada masa itu, terdapat sebagai berikut (Al-Shirbīnī, ed.2006;
Rodoni, 2009; Saleem, 2000; Bakhtiar, 2011; Bakar,
nd; Zuhaili, 2007):

1. Al-Hashah Sale ( teluk c al-hashah)

Orang-orang di jāhiliyah digunakan untuk melakukan kontrak penjualan tanah yang tidak jelas dari segi luasnya. Mereka melempar hashah
( batu kecil), di titik jatuhnya batu menjadi batas penjualan. Contoh lainnya adalah penjualan barang yang tidak dispesifikasikan
terlebih dahulu, baru kemudian mereka lempar
hashah, barang yang terkena batu akan dijual kepada pembeli.

2. Obral Tebak Selam ( Dharbatul Ghawwash / dharbat al-ghāis)

Orang-orang di jāhiliyah biasa berjualan dengan cara menyelam. Barang yang ditemukan di laut saat menyelam akan
ditransaksikan di antara para pihak. Pembeli membayar harga di muka meskipun pada akhirnya dia tidak menerima apapun dari
transaksi tersebut. Terkadang penjual mengirimkan barang yang ditemukan meskipun jumlah barang mencapai berkali-kali lipat
dari harga yang diterima. Transaksi lain dilakukan dengan mengatakan: "Saya akan menyelam ke laut, jika saya memiliki sesuatu
(mutiara atau batu mulia) itu akan menjadi milik Anda dengan harga sekian (Bakar, nd)." Transaksi ini disebut penjualan tebakan
menyelam ( dharbatul ghawwash).

3. Nitaj Penjualan: Kontrak jual beli sapi sebelum berbuah, di antaranya memperjualbelikan susu sisa susu
(milk bag) hewan tersebut.

4. Mulāmasah Sale: Ini adalah transaksi dimana pembeli akan membeli pakaian sesuai dengan apa yang dia sentuh di
antara pakaian tersebut. Setelah itu, transaksi harus dilanjutkan tanpa sepengetahuan pembeli barang jualan dan
kesepakatan bersama di antara para pihak, suka atau tidak suka dengan barang yang disentuh. Harga pakaian bisa lebih
rendah atau lebih tinggi dari pasaran. Pembeli hanya menyentuh barang yang dijual tanpa ada informasi apakah barang
tersebut dalam kondisi baik atau rusak. Katakanlah misalnya, penjualan dalam bentuk seseorang berkata kepada temannya,
“Apapun jas yang kamu sentuh, maka itu milikmu dan kamu harus membayar sejumlah rupiah.” Oleh karena itu, jika dia
menyentuh baju yang mahal itu berarti dia beruntung, dan jika dia menyentuh baju yang murah itu berarti dia tersesat.

5. Munābazah Penjualan: Dimana kedua belah pihak baik penjual maupun pembeli saling mencela barang, dan praktek ini
menjadi bentuk dasar penjualan yang tidak memiliki kesepakatan bersama diantara para pihak. Misalnya beberapa dari mereka
mengatakan kepada pihak lain; “Ambil batu ini, dan lemparkan ke pakaian! Kain lap itu akan menjadi milikmu dengan caramu
membayar aku sejumlah rupiah. ” Bisa

7
Jurnal Internasional Manajemen Islam dan Bisnis
Vol. 2, No. 2, Agustus 2016

dalam bentuk seperti seseorang berkata, "Lemparkan apa yang kamu miliki, lalu aku akan memberikan kepadamu apa yang aku
miliki denganku". Setelah melakukan lemparan, kontrak penjualan akan ditutup. Misalnya, Pak X melempar bajunya ke Pak Y dan
Pak Y lalu melempar bajunya ke Pak X yang artinya masing-masing sudah membeli dari yang lain tanpa memeriksa dan tanpa
ada persetujuan masing-masing, atau bisa juga Pak. X membuang uang ke beberapa pakaian di suatu tempat, uang yang
menyentuh pakaian tersebut akan menjadi pakaian yang akan dibeli oleh pembeli.

6. Muhāqalah Penjualan: Muhāqalah merupakan penjualan tanaman (tanaman pangan) dengan timbangan yang dikenal.
Muhāqalah adalah penjualan dengan cara menaksir saat masih di ladang atau di ladang. Misalnya menjual hasil
panen atau sayur mayur yang masih di tanam sebelum panen (misalnya padi, paprika, dan sayur lainnya). Muhāqalah
Dijual bisa di jalan tukar, misalnya tukar spike grain dengan dry grain hanya dengan estimasi.

7. Muzābanah Dijual: Dijual kurma yang masih pohon dengan kurma kering bersisik (pakan kering dengan pakan basah).
Demikian pula jangan menjual darah untuk pengobatan dan untuk keperluan lain. Jika ia membutuhkan pengobatan dan ia
tidak memperolehnya kecuali dengan memberikan sejumlah uang (harga), maka ia dapat menerimanya dengan harga tertentu
dan dilarang menerima sebagian dari harga tersebut.

8. Mukhādharah Penjualan

Menjual buah yang masih di pohon (belum matang). Misalnya menjual kurma hijau di pohon sebelum panen
yang kualitas barangnya tidak pasti ( ijon).

9. Mukhābarah

Ini adalah kontrak kerja antara tuan tanah dan petani di tanah yang akan ditanami dan pengembaliannya akan dibagi
sesuai (50:50, 25:75, 30:70 dll). Itu mukhābarah Yang telah dilarang oleh Nabi adalah dimana kondisi tuan tanah akan
mengambil sebagian terbaik dari hasil pertaniannya dan sisanya untuk petani. Ini mengandung unsur ketidakpastian
bagi petani dan kerugian bagi dirinya. Dalam kasus pengembalian dari mukhābarah akan dibagikan sesuai, kontrak ini
sah dari syarī c ah.

10. Habalul Hablah Sale (Penjualan Janin yang Masih di Dalam Kandungan Ibu)

Habalul hablah Penjualan adalah penjualan suatu produk yang produksinya masih belum pasti, termasuk penjualan yang
populer di era tersebut jāhiliyyah. Mereka biasa menjual hewan yang masih dalam kandungan dari hewan bunting, dan
keterlambatan melahirkan. Islam melarang transaksi semacam ini. Elemen gharar dalam penjualan habalah habalul Terlihat
pertama jika tujuan dari transaksi ini adalah untuk menjual janin yang masih dalam kandungan induk unta, sehingga
keberadaan janin tersebut jelas tidak pasti. Pada akhirnya, pembeli bisa mendapatkan barang yang dia beli atau
sebaliknya.

11. Najash Penjualan: Ini adalah kontrak dimana penjual meminta orang lain untuk memuji objek penjualan (misalnya rumah)
atau menawar dengan harga tinggi agar orang lain (calon pembeli) tertarik untuk membeli rumah tersebut. Calon pembeli
sebenarnya tidak terlalu berminat untuk membeli rumah tersebut, namun penjual ingin menipu orang-orang yang memang ingin
membeli dengan harga tinggi ini untuk menarik pembeli sebenarnya yang akan tertipu dari mekanisme ini (Karim, 2007).

12. Talaqqi al-Rukbān: Ini adalah tindakan yang dilakukan oleh pedagang kota (mereka yang memiliki informasi
lebih lengkap tentang harga) untuk membeli barang dari petani (barang

8
Jurnal Internasional Manajemen Islam dan Bisnis
Vol. 2, No. 2, Agustus 2016

produsen yang tidak mengetahui informasi yang benar tentang harga pasar) yang tinggal di luar kota, untuk memperoleh harga yang
lebih murah dari harga pasar normal. Inti dari larangan tersebut adalah tindakan tidak adil yang dilakukan oleh pedagang kota yang
mengetahui dengan baik harga sebenarnya di pasar dimana terkadang pedagang kota memberikan informasi yang salah terkait
harga kepada petani. Meskipun tidak ada larangan jual beli dengan harga lebih murah secara syarī c ah, bagaimanapun transaksi
antara dua pihak yang salah satunya memiliki informasi yang lengkap dan yang lain tidak mengetahui harga pasar sebenarnya dan
dengan demikian situasi tersebut akan dimanfaatkan untuk menghasilkan lebih banyak keuntungan, maka akan terjadi ketidakadilan
dan kesia-siaan antara pedagang kota dengan petani di luar. kota (Karim, 2007). Pedagang kota akan membeli barang sebelum
mereka masuk ke kota dan tidak memiliki informasi sama sekali mengenai harganya.

Hal ini biasa terjadi di kota sumatera dimana pedagang kota membeli cabai dari petani desa, biasanya petani tidak
memiliki informasi sama sekali mengenai harga pasar cabai pada saat bertransaksi, pedagang kota akan menunggu di
beberapa tempat sebelum petani masuk. kota. Pedagang kota biasanya akan memanipulasi harga atau memberikan
informasi yang salah mengenai harga, misalnya harga pasar cabai Rp15.000 untuk satu kilo, namun pedagang dalam
kota dapat membeli cabai Rp 7500 untuk per / kilo. Jika petani menanyakan harga pasar cabai di kota, biasanya
pedagang di kota akan menjawab dengan Rp10.000 atau Rp9.500. Dari transaksi semacam ini kita bisa melihat
bagaimana pedagang kota menipu petani yang tidak mengetahui harga.

13. Dua penjualan dalam satu penjualan ( teluk c atain fī bay c ah): Ini adalah kontrak penjualan dimana ada dua penjualan (dua
harga) dalam satu transaksi. Misalnya, penjual berkata kepada pembeli: “Saya menjual gaun ini kepada Anda dengan harga
tunai Rp10.000 dan kredit Rp20.000”. Kemudian penjual dan pembeli sepakat untuk bertransaksi tanpa menentukan harga
mana yang telah disepakati antara keduanya baik tunai maupun kredit. Transaksi menjadi tidak sah dan tidak diperbolehkan
karena ada unsur jahālah ( ketidaktahuan) dalam hal harga.

14. Penjualan barang-barang yang tidak dimiliki ( teluk c mā lā tamlik) .: Ini adalah kontrak penjualan yang subjeknya tidak
dimiliki oleh penjual. Ainiyah jual beli adalah salah satu kontrak jual beli tanpa harus memiliki materi pelajaran. Ini adalah
kontrak penjualan komoditas, terutama yang mudah rusak, tanpa memperoleh kepemilikannya.

15. Penjualan barang cacat

16. Teluk c al-Dayn bi al-Dayn: Ini adalah kontrak penjualan hak yang dapat dibayarkan baik kepada debitur asli, atau kepada
pihak ketiga mana pun (Rosly dan Sanusi, 1999), penjual menjual aset tertentu (seperti laptop) kepada pembeli dengan
angsuran dalam satu tahun, di Di tengah masa cicilan pembeli tidak bisa membayar, pembeli kemudian akan membeli
hutangnya dengan harga yang lebih tinggi dari hutang semula. Contoh lain ketika seseorang membeli sesuatu dalam jangka
waktu tertentu dari pemasok, namun barang tersebut belum terkirim. Ketika sudah waktunya barang yang dipesan belum
selesai maka pembeli berkata, “Jual barang tersebut kepada saya sampai waktu tertentu, dan saya akan menambah
sejumlah uang.” Kontrak penjualan yang tidak memiliki taqobudh ( penyerahan barang) dimana bentuk kontrak ini adalah
menjual sesuatu yang tidak ada dengan sesuatu yang tidak ada.

Di bank syariah, penjualan hutang bisa terjadi dalam berbagai bentuk kontrak. Salah satu contohnya, ketika bank membiayai
nasabah untuk membeli aset tertentu (misal mobil) selama satu tahun, pada bulan keenam nasabah default, maka bank
membutuhkan likuiditas untuk beberapa keperluan, bank kemudian akan menjual hutangnya kepada yang lain. pihak biasanya
dengan diskon kepada pihak ketiga. Ini adalah penjualan hutang di industri perbankan yang dilarang masuk Sharī c ah dan dianggap
sebagai ribā atau teluk c al-kali bi al-kali mengacu pada hadits Nabi: Nabi melarang menjual hutang dengan hutang ( teluk c alkali

9
Jurnal Internasional Manajemen Islam dan Bisnis
Vol. 2, No. 2, Agustus 2016

bi al-kali) ( al-Shawkani, 2005). Para ahli hukum sepakat bahwa menjual hutang dengan hutang adalah melanggar hukum baik menjualnya
kepada debitur asli atau kepada pihak ketiga (Zuhaili, 2007).

17. Bay c Ma c dum ( Non-Exist Sale): Ini adalah perdagangan barang yang belum ada atau belum ada. Misalnya menjual buah
yang belum matang dan masih di pohon, menjual hewan perah yang masih dalam payudara (bisa kelihatan bagus, ternyata
gemuk, susunya terlalu cair), sehingga muncul spekulasi dalam transaksi ini, yang merupakan ketidakpastian yang berkaitan
dengan materi pelajaran dan tidak jelas sejak awal.

Kontrak penjualan ini memperdagangkan objek ( mabi c) yang tidak ada pada saat kontrak. Misalnya Budi
menjual handphone ke Adi, tapi pada saat kontrak handphone belum tersedia.

18. Bay c Ma c juz c ala al Taslim: Ini adalah perdagangan di mana penjual tidak memiliki kemampuan untuk mengirimkan barang.
Menurut mayoritas mazhab Hanafi, kontrak penjualan dimana aset atau barang tidak dapat diserahterimakan atau diserahkan
kepada pembeli, transaksi ini dianggap tidak sah, walaupun aset atau barang tersebut dimiliki oleh penjual (Zuhaili, 2007).
Misalnya menjual sepeda motor yang hilang dan masih dalam proses pencarian, menjual handphone yang masih dipinjam oleh
teman yang kabur, menjual harta benda atau tanah yang status asetnya masih samar-samar (siapa pemilik sebenarnya), menjual
hewan peliharaan (seperti sebagai merpati) yang mungkin kembali ke sarang tetapi tidak ada pada saat kontrak.

19. Teluk c Majhul ( Penjualan Tidak Diketahui): Ini adalah perdagangan barang yang tidak diketahui kualitas, jenis, merek atau
kuantitasnya (misalnya, menjual radio yang tidak dijelaskan dengan baik dalam istilah merek, dll). Jika tingkat pengakuannya
kecil sehingga tidak menimbulkan konflik atau perselisihan di kemudian hari, maka perdagangan tersebut halal dan
diperbolehkan, karena ketidaktahuan ini tidak menghalangi penyerahan dan penerimaan barang (misal menjual buah-buahan
dalam kilogram atau di tumpuk) . Namun jika menjual ponsel dengan Nokia murābahah kontrak yang tidak jelas jenisnya.
Perdagangan ini dilarang karena mengandung unsur gharar ( tidak jelas, ketidakpastian, tidak yakin produk mana yang akan
dibeli).

20. Teluk c Tsunaya: Itu perdagangan yang tidak jelas mana yang dikecualikan dari kontrak. Seperti jualan buah-buahan
misalnya mangga di kantong tidak termasuk yang kuning. Karena mayoritas mangga matang berwarna kuning, jadi tidak jelas
mana yang dikecualikan dari penjualan.

21. Malāqih Dijual (janin hewan): Menjual janin hewan yang masih dalam kandungan ibu. Misalnya menjual anak
kucing yang masih dalam kandungan ibunya.

22. Mu c āwamah Penjualan: Merupakan penjualan buah-buahan saat berada di pohon selama satu tahun, dua tahun atau lebih
baik buah muncul atau tidak. Kontrak ini mengandung unsur gharar ( Anas,
nd). Implikasi dari pelarangan gharar adalah untuk memastikan keadilan dan keadilan bagi semua pihak yang mengadakan kontrak,
sehingga menghindari perselisihan dan perselisihan di antara mereka.

4.5 Gharar dan Prakteknya Di Bank Islam

Gharar Bisa saja terjadi dalam bentuk transaksi apapun di bnk syariah, katakanlah misalnya bila keberadaan barang
yang ditransaksikan antar pihak tidak pasti. Bisa juga terjadi pada transaksi dengan petani dimana barang yang
ditransaksikan belum pasti dalam jangka waktu panen. Tidak seperti salam kontrak, barang yang ditransaksikan
meskipun tidak ada pada saat kontrak, namun kualitas dan kuantitas barang yang ditransaksikan jelas yang akan
dikirimkan pada waktu yang disepakati (misal 3 bulan kemudian). Bisa juga terjadi pada pembiayaan rumah yang
dulu terjadi pada industri Perbankan Syariah dimana rumah tersebut masih berada

10
Jurnal Internasional Manajemen Islam dan Bisnis
Vol. 2, No. 2, Agustus 2016

sengketa hukum yang menimbulkan perselisihan di antara para pihak di akhir kontrak atau di kemudian hari. Oleh karena itu,
untuk menghindari ketidakpastian dalam setiap transaksi, unsur-unsur yang harus menjadi perhatian para pihak adalah:

Pertama, barang yang ditransaksikan harus jelas keberadaannya bukan barang yang masih diperdebatkan keberadaannya.

Kedua, barang yang ditransaksikan harus jelas kepemilikannya, karena Islam melarang untuk menjual barang
atau barang yang tidak dimilikinya atas barang yang akan menimbulkan perselisihan di kemudian hari.

Ketiga, harus ada kepastian barang yang ditransaksikan, jika berupa rumah harus jelas luas tanah, luas
bangunan, lokasi dan spesifikasi bangunan. Jika merupakan barang harus jelas jenis barang dan
spesifikasinya, dan jika merupakan barang yang berkaitan dengan hasil pertanian diperbolehkan
melakukan kontrak salam dimana rincian produk yang dipesan harus ditentukan dalam kesepakatan
pertama (berapa kilo, jenis atau kelas produk) serta waktu pengiriman. Katakanlah kalau itu beras, harus
jelas beras apa yang akan dikirim di masa mendatang, apakah itu rojolele, pandan wangi atau jenis beras
lainnya.

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap kontrak yang akan dilakukan di antara para pihak yang terikat
kontrak terlebih dahulu harus memiliki transaksi yang jelas dengan tujuan untuk menghindari kemungkinan perselisihan di
kemudian hari yang diakibatkan oleh ketidakpastian atas transaksi yang ditransaksikan. item dan ini bertujuan untuk
melindungi pihak kontraktor dari segala kemungkinan pertengkaran di masa depan.

5. MAYSIR ( PERJUDIAN)

Maysir dalam kata Arab dari kata tersebut al-yasar ( mudah) secara harfiah berarti dengan mudah tersedia kekayaan atau
permainan untung-untungan (al-Qurtubī, ed. 2010; „Imārah, 1993), atau mengacu pada perolehan kekayaan secara
kebetulan apakah itu merampas hak orang lain atau tidak dan menyebabkan kerugian bagi orang lain (al-Qurtubī, ed.
2010), atau memperoleh sesuatu dengan mudah tanpa kerja keras atau menerima manfaat tanpa bekerja. Menurut
al-Masri (1993)
maysir dan qimar memiliki arti yang sama, ini adalah permainan untung-untungan dengan hubungan agresif antara dua pihak yang
mengadakan kontrak, yang masing-masing menanggung risiko kerugian, dan kehilangan salah satu pihak berarti mendapatkan keuntungan

bagi pihak lainnya. Dengan kata lain, seseorang mempertaruhkan sebagian dari uangnya atau sebagian dari kekayaannya, di mana jumlah

uang yang dipertaruhkan dapat membawa uang dalam jumlah besar atau mungkin tidak membawa uang dalam jumlah besar. Dalam praktik

umum

maysir digunakan untuk disebut sebagai perjudian. Istilah lain yang digunakan dalam Al-Qur'an adalah kata ' azlam ' berarti
praktek perjudian (Kamali, 2000).

Istilah Perjudian dalam keuangan Islam didefinisikan sebagai "setiap transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk memiliki
kepemilikan aset atau layanan tertentu yang memperoleh keuntungan bagi satu pihak dan merugikan pihak lain dengan
mengaitkan transaksi tertentu dengan suatu tindakan atau peristiwa." Judi pada dasarnya dilarang dalam Islam, termasuk
taruhan, lotere dan segala jenis kegiatan perjudian (al-Qurtubī, ed. 2010; Sula, 2011). Ibn al- „Arabi (ed. 1993)
mendefinisikan maysir atau qimar sebagai “permainan dimana setiap kontestan berusaha untuk mengalahkan pasangannya
untuk mengambil alih properti yang disediakan untuk pemenang”. Al-Shawkani (ed.1939)

11
Jurnal Internasional Manajemen Islam dan Bisnis
Vol. 2, No. 2, Agustus 2016

mendefinisikan maysir sebagai “kondisi dimana salah satu kontestan menjadi pemenang sedangkan sisanya kalah.

Judi adalah segala jenis permainan yang mengandung unsur taruhan (aset / materi) dimana pemenang
akan mengambil harta / materi yang kalah. Agar bisa dianggap sebagai perjudian setidaknya harus ada
tiga unsur yang harus dipenuhi:

Sebuah. Adanya materi / aset taruhan dari kedua sisi penjudi.

b. Adanya permainan yang digunakan untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah.

c. Pemenang akan mengambil properti (sebagian / keseluruhan) yang dipertaruhkan, sedangkan yang kalah akan kehilangan properti

taruhannya.

Perjudian adalah bagian dari mendapatkan properti dengan cara yang sia-sia dan sangat ditentang oleh Al-Qur'an
( al-Mā`idah: 90-91), itu mencegah orang-orang dari mengingat Allah (Al-Qur'an, al-Māidah: 91), dan dosanya lebih
besar dari pada keuntungannya ( al-Baqarah: 219). Dalam hadits Abu Hurairah ra yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim, Nabi (saw) bersabda: “Barangsiapa yang berkata kepada temannya:“ Sini, akan kulakukan. qimar ( jenis
perjudian) dengannya, maka dia harus memberi shadaqah. "Qimar Menurut sebagian ulama Islam itu sama
dengan judi, dan bagi sebagian ulama lain qimar hanya terjadi di

mu'āmalah dalam bentuk permainan dan taruhan. Hadis di atas menunjukkan haram
qimar / perjudian dan biaya kaffārah ( baik) untuk siapa membuangnya shadaqah ( Muawiyah,
2008).

5.1 Maysir dan Spekulasi

Istilah lain yang digunakan dalam praktik keuangan untuk perjudian saat ini adalah spekulasi. Beberapa
pengamat menganggap spekulasi dan perjudian sebagai istilah yang identik, terutama sebagian besar
ekonom biasa menggambarkan aktivitas perjudian dengan spekulasi di pasar saham. Beberapa mengatakan
berinvestasi dalam sekuritas itu berarti berjudi di masa depan. Dimana setiap menit para spekulan di pasar
modal selalu merusak saham emiten berdasarkan analisa mereka. Setiap perusahaan yang memiliki hak
memiliki spekulan. Ketika harga saham entitas tertentu turun maka spekulan buru-buru membeli dengan
mengharapkan harga akan naik nantinya, ketika harga naik maka spekulan akan menjualnya kembali ke
pasar saham. Keadaan ini akan menyebabkan harga indeks saham gabungan turun bahkan memperburuk
perekonomian nasional (Rianto,

2010).

Namun, Kamali (2005) membedakan antara perjudian dan spekulasi dari sifat risiko dan potensi kontribusi
untuk kebaikan sosial. Perjudian melibatkan penciptaan risiko demi risiko. Pacuan kuda dan poker,
misalnya, menciptakan risiko yang tidak akan terjadi jika tidak. Kegiatan perjudian mencari resiko yang
sebelumnya tidak ada yang tidak mencapai kesejahteraan sosial. Di sisi lain, spekulasi dalam investasi
terdiri dari penyerahan modal kepada suatu perusahaan dengan harapan memperoleh keuntungan,
dimana laba yang diperoleh di masa depan didasarkan pada kinerja perusahaan (usaha). Artinya,
spekulasi investasi di saham didasarkan pada nilai riil perusahaan yang tidak mengandalkan perjudian.
Artinya, spekulasi dalam investasi pada sekuritas yang tidak mewakili nilai riil di

12
Jurnal Internasional Manajemen Islam dan Bisnis
Vol. 2, No. 2, Agustus 2016

ekonomi dianggap sebagai perjudian seperti berinvestasi dalam derivatif konvensional. Namun,
perbedaan antara investasi, spekulasi, dan perjudian tidak selalu jelas.

Beberapa pengamat mengatakan bahwa spekulasi non-perjudian memiliki arti positif yang terdiri dari peramalan
yang cerdas dan rasional dari tren harga di masa depan berdasarkan bukti dan pengetahuan tentang kondisi
masa lalu dan sekarang. Spekulan dalam investasi di pasar saham bukan sekadar penjudi, karena risikonya
adalah risiko komersial yang nyata, masalah yang sangat berbeda dari aktivitas seorang penjudi, yang tidak
menanggung risiko selain yang diciptakan oleh aturan main. Artinya intinya untuk membedakan maysir

(Perjudian) dan spekulasi yang sah adalah salah satu dari kita yang menang mengambil properti orang lain seperti yang dijelaskan oleh

Ibn Qoyyim (Kamali, 2005).

5.2 Hubungan Antara Perjudian dan Gharar

Gharar sebagai tindakan yang hasilnya tidak diketahui dan tidak pasti dilarang Syariat
karena ini adalah bentuk perjudian yang terjadi dalam perdagangan daripada perjudian biasa yang biasanya
dikaitkan dengan permainan (Yousef, nd). Gharar bertepatan dengan
maysir yang merupakan ketidakpastian atas untung dan rugi, yang merupakan kesamaan di antara keduanya
gharar dan perjudian. Meskipun ada banyak definisi tentang gharar, Definisi ini masih belum akurat jika
diterapkan dalam kontrak seperti mushārakah dan mudhārabah.
Namun, perjudian dan gharar dapat terjadi secara bersamaan jika salah satu pihak yang terlibat menerima haknya tetapi yang
lain tidak dan yang terakhir tetap terbuka terhadap risiko sedemikian rupa sehingga membuat frustrasi dan membatalkan haknya
(Kamali, 2005).

Lebih lanjut, Kamali (2005) memberikan perbedaan yang jelas antara gharar dan maysir. Di
maysir itu dimainkan demi dirinya sendiri sebagai permainan sedangkan gharar hasil dari kontrak.
Gharar biasanya bukan tujuan kontrak tetapi insidental untuk itu maysir adalah tujuan permainan, yang tidak
memiliki materi pelajaran lain, atau tujuan untuk mengalahkan lawan untuk mengambil kekayaan orang lain.
Dalam upaya untuk memastikan hubungan antara perjudian dan gharar dalam transaksi dagang yang dilarang
secara syar'ah, jika berjudi dan gharar exsit pada saat yang sama misalnya, penjualan mengandung unsur
ketidakpastian dan melahap properti orang lain.

Kholid (2011) memberikan salah satu pernyataan al-Dzarir, “dimana setiap transaksi yang berhubungan dengan
ambiguitas baik berupa fondasi tembok maupun buah yang belum matang, semuanya termasuk gharar, tetapi tidak maysir.
"

5.3 Alasan Dibalik Larangan

Umumnya perjudian merupakan salah satu sumber ketidakadilan dan mematikan sumber daya produktif. Hal ini terjadi
dimana pemenang hanya bisa mendapatkan keuntungan jika pihak lain menderita kerugian yang merugikan hak orang
lain, dan penjudi akan lalai dalam mengingat Allah dan shalat seperti yang tertera dalam Al-Qur'an dalam surat
al-Māidah ayat 90 (Sena , 2010).

Sena (2010) menjelaskan lebih jauh alasannya maysir dilarang dari segi ekonomi, seperti:

13
Jurnal Internasional Manajemen Islam dan Bisnis
Vol. 2, No. 2, Agustus 2016

1. Distribusi pendapatan yang tidak adil. Dalam judi, keuntungan hanya bisa didapatkan
setelah satu pihak menang, atau sama dengan prinsip riba, menggeser resiko (risk shifting) dari yang kuat
ke yang lemah. Tentunya prinsip ini tidak adil dan memicu motivasi berwirausaha, dimana pembagian
pendapatan harus didasarkan pada jumlah kegiatan usaha riil atau pembagian resiko antar para pihak.

2. Alokasi sumber daya ekonomi yang tidak efisien. Mengalokasikan ekonomi


sumber daya ke dalam kegiatan perjudian akan mengakibatkan nilai tambah dalam perekonomian terhenti dan berpotensi
menyumbat perekonomian, yang berujung pada perpindahan kekayaan dari masyarakat produktif ke masyarakat non produktif.

5.4 Contoh Maysir

Perdagangan hanya didasarkan pada spekulasi yang melibatkan risiko dan ketidakpastian. Larangan formulir
ini ditujukan kepada sikap seorang pengusaha yang tamak dan egois. Dalam kasus perbankan misalnya,
departemen treasury biasanya biasa menempatkan kelebihan dana untuk keperluan spekulatif dengan
ekspektasi return akan lebih tinggi dalam waktu yang singkat atau lama. Dimana transaksi yang mendasari
tidak mewakili aset nyata, hasil atau jasa. Perdagangan semacam itu mungkin tidak memberikan kesempatan
kerja dan kontribusi positif bagi masyarakat. Bahkan kegiatan ini akan menimbulkan fluktuasi harga di pasar
tanpa melibatkan kegiatan ekonomi riil yang berakibat pada terjadinya krisis ekonomi. Selain itu, faktor karakter
dan moral menjadi pertimbangan yang sangat penting. Oleh karena itu, Islam memiliki prinsip larangan berjudi
dan segala macamnya

gharar, karena lebih merugikan masyarakat (Rianto, 2010).

Ayub (2007) mengemukakan bahasan yang relevan tentang lembaga keuangan adalah lotere atau tabungan yang
membawa hadiah atau skema hadiah obligasi yang diluncurkan oleh bank dari waktu ke waktu. Pertanyaannya,
dapatkah bank syariah meluncurkan skema tabungan atau skema obligasi semacam itu? Dalam skema hadiah
obligasi dan tabungan, meskipun uang investor dan deposan tetap aman, hadiah akan diambil dari bunga yang
dihasilkan dari modal yang diakumulasikan. Bunga yang telah dihitung sebelumnya didistribusikan di antara
pemegang obligasi. Ada juga aspek peluang bagi beberapa orang untuk mendapatkan hadiah tanpa melakukan
kewajiban apa pun atau bekerja untuknya, dengan mengorbankan pemegang rekening tabungan dan pemegang
obligasi lainnya. Oleh karena itu, skema pembawa hadiah konvensional bertentangan dengan prinsip-prinsip
tersebut Syariat karena keterlibatan Riba dan Maysir.

Bank yang menjalankan skema seperti itu biasanya memberikan pengembalian yang sangat kecil kepada
peserta umum skema dan memberikan perbedaan antara tarif kecil yang diberikan kepada mayoritas peserta
dan hadiah besar untuk beberapa dari ratusan ribu peserta. Konsep ini tidak hanya tidak Syariat kepatuhan
tetapi juga terhadap nilai moral dan prinsip-prinsip ekonomi yang sehat dan mirip dengan permainan peluang
dan spekulasi.

Di bank syariah, tergantung kontrak yang digunakan. dalam kasus wadī'ah, kontes yang membawa hadiah kepada
pemegang rekening tabungan dan pemegang obligasi, akan melanggar
Syariat prinsip sebagaimana adanya ribā. Di wadī'ah, Para penabung tidak berhak atas keuntungan apapun atas
prinsip yang disebutkan dalam hadits ribā. Namun, dalam mudhārabah

14
Jurnal Internasional Manajemen Islam dan Bisnis
Vol. 2, No. 2, Agustus 2016

akadnya, sebagian ulama mengizinkan bank syariah untuk melakukan semacam kontes dengan syarat hadiah
uang diambil dari uang bank. Sebaliknya, adalah perbuatan tidak adil dimana pemegang tabungan dan
pemegang obligasi mengambil untung ketika kegiatan usaha belum dimulai.

6. KESIMPULAN

Dalam Islam, transaksi perdagangan dan perdagangan harus sesuai dengan kebutuhan
Syariat yang berarti pantang dari larangan (hal-hal yang dilarang) dan memperhatikan bahwa setiap
kontrak memiliki semua elemen esensial dan bahwa setiap elemen esensial memenuhi persyaratan yang
diperlukan (Abdullah dan Ramli, 2011).

Makalah ini menyoroti larangan umum dalam transaksi komersial seperti ribā
(riba atau bunga), gharar ( elemen tidak pasti atau tidak jelas dalam kontrak bisnis),
maysir ( transaksi yang mirip dengan perjudian), dan bagaimana hal itu mungkin terlibat dalam transaksi keuangan
sehari-hari. walaupun Sharī c ah Standar kepatuhan dalam produk dan layanan perbankan syariah di setiap yurisdiksi
adalah saling tunduk, namun harus sesuai dengan ketentuan fatwa dan peraturan yang berlaku. Pemahaman tentang fiqh
Dalam hukum perdagangan Islam, khususnya prinsip-prinsip umum dasar dalam transaksi komersial Islam untuk
memenuhi tantangan pertumbuhan yang selanjutnya dapat memperkuat bank syariah adalah suatu keharusan untuk
mengeksplorasi berbagai produk perbankan yang efektif. Meskipun beberapa pihak berpendapat bahwa perlu
mendapatkan Sharī c ah Persyaratan merupakan kendala dalam jalur inovasi produk perbankan syariah (Benaissa,
Parekh, dan Wiegand, 2005).

Referensi:

Abu Asma, Kholid Syamhudi. (2010). Jual Beli Gharar (Gharar Penjualan). Diakses di
06 Agustus 2012. http://almanhaj.or.id/content/2649/slash/0/jual-beli-gharar/.

Ahmad, Taris dkk. (2010). Perbankan dan Keuangan Islam: Apa Itu dan Apa Itu
Should Be, UK: 1 st Etichal Charitable Trust.

Achsien, Iggi. (2000). Investasi Syariah di Pasar Modal ( Investasi Islam dalam Modal
Pasar). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama dan PT Gramedia Pers.

Ahmad, Umar Faruq dan Hassan, M. Kabir. (2008). “Ribā dan Perbankan Islam”.
Jurnal Ekonomi Islam, Perbankan dan Keuangan, hlm 1-33.

Al-Arif, M. Nur Rianto. (2010). Teori Makroekonomi Islam ( Teori Makro Islam
Ekonomis). Bandung: Alfabeta. hlm. 17-20.

Al-Dardir, Abu Barakat Ahmad. (1974). Al-Sharh al-Kabir 'ala al-Maqna', Vol. 12. Beirut:
Dār al-Fikr.

Al-Darir, al-Siddiq Muhammad al-Amīn. (2004). Jumlah Gharar Yang Mencegah


Transaksi dari Menjadi Valid. Makalah disajikan pada 4 th Konferensi Dewan Sharīʿaʿh Lembaga
Keuangan Islam, yang diadakan di Kerajaan Bahrain pada tanggal 19 th - 20 th dari Sha 'bān 1425, sesuai
dengan 3 rd- 4 th Oktober 2004.

15
Jurnal Internasional Manajemen Islam dan Bisnis
Vol. 2, No. 2, Agustus 2016

Al-Misri, Rafiq Yunus. (1993). Al-Maysir wa al-Qimar al-Musābaqaāt wa al-Jawāiz,


Damaskus.

Al-Nawawy, Abi Zakariya Yahya bin Syaraf. (1996). Raudhat al-Thalibin, Vol. 3,
Beirut: Dar al-Kutub al- 'Ilmiyyah, 1 st edisi.

Al-Says, Muhammad Ali. (2010). Tafsir Āyātul Ahkām, Vol. 1-4. Beirut: Dar al-Kutub al-
„Ilmiyyah.

Al-Quran, Surah Al Baqarah 2: 188.

Al-Qurthubī, Abi „Abd Allah Muhammad Ibn Ahmad al-Anshārī. (2010). Al-Jāmi 'Li
Ahkām Al-Qur'ān, Vol. 2. Kairo: Dār al-Hadith.

Al-Saati, A. (2003). Yang Diizinkan Gharar ( Risiko) dalam Islam Klasik


Jursiprudence. Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 16, No. 2. Arab Saudi: Universitas King Abdul
Aziz, hal. 3-19.

Al-Sarakhsi, Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Sahl Abu Bakar. (1986). Al-Mabsūt. Vol.
7. Beirut: Dār al-Kutub al- „Ilmiyyah.

Al-Shāfi ‟i, Abu„ Abdillah Muhammad ibn Idris. (2004). Al-Umm, Vol. 3 dan Vol. 4.
Beirut: Dar al Fikr dan Al-Mansura: Dār al-Wafa '.

Al-San 'āni, Muhammad ibn al-Amir. (1960). Subul al-Salam Sharh Buluh al-
Maram, Maktabah Al Halabi, Edisi ke-4.

Al-Shirbīnī, Syamsuddin Muhammad ibn Muhammad al-Khatīb. (2006). Mughni al-


Muhtāj ilā Ma'rifati Ma'ānī Alfāzi al-Minhāj, Vol. 2. Kairo: Dār al-Hadith.

Al-Zuhayli, Wahbah. (2006). Arti Yuridis dari Ribā ( Diterjemahkan oleh Imam
Abdul Rahim dan Abdulkader Thomas). Dalam “Minat Ekonomi Islam, Pemahaman Ribā ".
London dan New York: Routledge, Taylor dan Francis Group.

Al-Zuhaili, Wahbah. (2007). Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Vol. 5. Depok: Darul Fikr
dan Gema Insani.

Antonio, MS (2001), Bank syariah: from theory to practice, Jakarta, Gema Insani
Tekan.

Anwar, Syamsul. (2007). Hukum Perjanjian Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Ayub, Muhammad. (2007). Memahami Keuangan Islam, Inggris: John Wiley & Sons
Ltd.

Bakar, Mohd Daud. (nd). Kontrak dalam Komersial Islam dan Aplikasinya di
Sistem Keuangan Islam Modern. Diakses 11 Februari 2014.
www.kantakji.com/media/5343/y116.pdf.

Bakhtiar, Yusuf. (10 Juli 2011). Jual Beli ( Jual Beli). Diakses tanggal 18 Desember,
2013. www.mlengsee.wordpress.com/2011/07/10/jual-beli/.

16
Jurnal Internasional Manajemen Islam dan Bisnis
Vol. 2, No. 2, Agustus 2016

Benaissa, Nasr-Eddine, Parekh, Mayank P. dan Wiegand, Michael. (2005). Sebuah Model Pertumbuhan
untuk Perbankan Islam. Mickinsey Quarterly. Diakses 8 Februari 2014.
www.ibrahimm.com/Islamic%20Banking/ARTICLES/A%20Growth%20Model%20F atau% 20Islamic%
20Banking.pdf.

Chpara, Umer. (2004). Perbankan dan Keuangan Islam: Masalah Fundamental dan Kontemporer,
bab dari “Kasus Melawan Rib Sebuah: Apakah Ini Menarik? ”. Arab Saudi: IRTI-IDB, hal.25-50.

Dusuki, AW dan Irwani Abdullah, N. (2011). Fundamental Perbankan Islam.


Kuala Lumpur: IBFIM.

Hassan, Abdullad Alwi Haji. (1997). Penjualan dan Kontrak di Awal Islam
Hukum komersial. New Delhi: Nusrat Ali Nasri untuk Kitab Bhavan.

Haque, Zia-ul. (1995). Islam dan Feodalisme: Ekonomi Moral Riba, Bunga dan
Profit, Kuala Lumpur, hlm. 67-114.

Hasbi, Hariandy dan Haruman, Tendi, (2011). Perbankan: Menurut Syariah Islam
Konsep dan Kinerjanya di Indonesia. Ulasan Bisnis Internasional,
Makalah Penelitian Vol. 7. No. 1. Januari 2011, hlm. 60 - 76.

Ibn „Ābidīn, Muhammad Amin. (1386/1966). Hashiyah Radd al-Mukhtār „ala Durr al-
Mukhtār. Kairo: Mustafā al-Bābi al-Halabī.

Ibn Manzur, Muhammad ibn Mukarram. (1968), Lisān al-'Arab, Beirut: Dar Sadir li al-
Taba „ah wa al-Nashr.

Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, Muhammad ibn Abī Bakr. (1999). I'lām al-Muwaqi'īn'an Rab
al-'Ālamīn, Vol. 3. Kairo: Maktabah Ibn Taimiyyah

Ibn Taymiyyah, Taqi al-Dīn Ahmad (1978/1398 H). Majmu 'al-Fatawa, Vol. 2.

Ibn Rusyd, Abu Walid Muhammad ibn Ahmad. (1401/1981). Bidayat al Mujtahid wa
Nihayat al Muqtasid, Vol. 2. Beirut: Dār al-Kutub Al- „Ilmiyyah.

„Imārah, Muhammad. (1993 / 1413H). Qāmūs al-Musthalahāt al-Iqtishādiyyah Fī al-


Hadhārah al-Islāmiyyah. Kairo: Dār al-Shurūq.

Jum ‟ah,„ Alī. (2005). Mawsū'ah Fatāwā al-Imām Ibn Taymiyyah fī al-Mu'āmalāt wa Ahkām
al-Māl. Buku yang disiapkan oleh Markaz al-Dirāsāt al-Fiqhiyyah wa al-Iqtishadiyyah bi al-Qāhirah. Kairo: Dār
al-Salām.

Juwaini, Ahmad, dkk., (2010). “BMT ( Baitulmaal wa Tamwil) Mikro Islam


Layanan Keuangan Untuk Masyarakat Miskin ”. Makalah dipresentasikan dalam ISO / COPOLCO Workshop di
Bali - Indonesia, 26 Mei 2010.

Kahf, M dan Khan, T. (1993). Prinsip Keuangan Islam. Makalah Penelitian No. 16, Islam
Lembaga Penelitian dan Pelatihan, Bank Pembangunan Islam, Jeddah.

Kamali, MH (1999), Ketidakpastian dan Pengambilan Risiko ( Gharar) dalam Hukum Islam, kertas
disajikan pada The International Conference on Takaful Insurance, Hilton Hotel,

17
Jurnal Internasional Manajemen Islam dan Bisnis
Vol. 2, No. 2, Agustus 2016

Kuala Lumpur, Malaysia, 2 Juni 1999. Jurnal Hukum IIUM, Vol. 7, tidak. 2 (1999), hlm 1-21.

Kamali, MH (2000), Islamic Commercial Law: An Analysis of Futures and Options,


Islamic Texts Society, Inggris, ISBN: 0-946621-80-2.

Kamali, MH (2005). Masalah Fiqhi dalam Komoditas Berjangka dalam “Rekayasa Keuangan
dan Kontrak Islam, hal 20-57. New York: Palgraves.

Karim, Adiwarman A. (2007). Ekonomi Mikro Islami, Edisi ketiga. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.

Khan, M. Fahim. (2007). Menetapkan Standar untuk Penerapan Syari'ah dalam Islam
Industri keuangan. Ulasan Bisnis Internasional Thunderbird. ( Vol. 49, Tidak.
3, hlm. 285-308). AS: Wiley.

Mālik, ibn Anas ibn Mālik ibn Abī 'Āmir al-Asbahī. (2005). Al-Muwatta '. Beirut: al-
Maktabah al- „Asriyya.

Mannan, MA (1980). Ekonomi Islam: Teori dan Praktek. Delhi: Idarah-i Adabiyat-i
Delhi.

Muawiah, Abu. (2008). Tidak Boleh Ada Maysir ( tidak boleh ada maysir). Diakses August
08, 2012. http://al-atsariyyah.com/tidak-boleh-ada-maisir.html.

Rahman, Fazlur (1982), "Riba dan Bunga", Jurnal Kajian Islam, No. 1, Chicago: The
Universitas Chicago Press.

Rodoni, Ahmad. (2009). Investasi Syariah ( Investasi Islam). Jakarta: lembaga


penelitian UIN Jakarta.

Rosly, Saiful Azhar. (2005). Masalah Kritis di Perbankan Islam dan Pasar Keuangan
Ekonomi Islam, Perbankan dan Keuangan, Investasi, Takaful dan Perencanaan Keuangan,
Bloomington, Indiana: Rumah Penulis, ISBN: 1-4184-6930-0.

Saleem. MY (2000). Buku Pegangan tentang Fiqh untuk Ekonom, IIUM.

Schacht, Joseph. (1964). Ensiklopedia Islam, edisi 1939. Oxford.

Schacht, Joseph. (1964). Pengantar Hukum Islam. Oxford.

Sena. (11 Oktober 2010). Larangan Maisir ( larangan maysir). Diakses


08 Agustus 2012. http: // senapamuji-
feisuin.blogspot.com/2010_10_01_archive.html.

Siddiqui, Shamim Ahmad. (2005). Memahami dan Menghilangkan Ribā: Bisa Islami
Instrumen Keuangan Dapat Diimplementasikan dengan Penuh Makna ?. Jurnal Manajemen dan Ilmu Sosial, Vol.
1, No. 2.

18
Jurnal Internasional Manajemen Islam dan Bisnis
Vol. 2, No. 2, Agustus 2016

Sudarsono, Heri. (2008). Bank dan Lembaga Keuangan Islam: Deskrip dan Ilustrasi ( Bank
dan lembaga keuangan Islam: deskripsi dan ilustrasi), 3 rd edisi. Yogyakarta: Penerbit EKONISIA.

Syamhudi, Kholid. (2011 Oktober 29). Semua Muamalah yang Berisi al-Maisir (Perjudian)
Adalah Terlarang ( Semua Ajaran yang Mengandung Al-Maisir (Perjudian) adalah haram). Diakses pada 08
Agustus 2012.
http://ilmuislam2011.wordpress.com/2011/10/29/kaidah6-semua-muamalah-yang-berisi-al-maisir-perjudian-adalah-terlarang/

19

Anda mungkin juga menyukai