Anda di halaman 1dari 28

TUGAS MAKALAH

“Bahasa Inggris Pertemua 1-5 “

Dosen pengampuh : Erna Olua S. Pd

Oleh :

Nama : Veronika Iryouw

Nim : 20180111144026

Prodi : PG. PAUD

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. yang
telah melimpahkan rahmat dan kerunianya, sehinga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan
makalah pertemuan 1-5 ini dengan baik.

Tujuan penulis membuat makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas individu. Sebagai
bahan yang di ambil berdasarkan beberapa sumber literature yang mendukung penulis. Penulis
menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dorongan dari semua pihak, maka makalah ini tidak akan
lancar.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun makalah ini, sehingga dapat lebih baik
lagi.

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul………………………………………………………….…....…i

Kata Pengantar………………………………………………………………….ii

Daftar Isi……………………………………………….……………………….iii

Bab I Pendahuluan………….……………………………………………….….1

a) Latar Belakang……………………………………………….………….2
b) Rumusan Masalah…………………………………………….………....2
c) Tujuan……………………………………………………………………2

Bab II Pembahasan……………………………………………………..………..3

a) Review Teori Psikoanalisa, Behavioristik, Kognitif dan Humanistik.…..3


b) Karakteristik Perkembangan Anak…………………………………..….11
c) Teori Pemerolehan Bahasa ……………………………………………..12
d) Teori Perkembangan Bahasa Anak……………………..……………….24

Bab III Penutup……………………………………………………..…………..25

a) Kesimpulan………………………………………………………………25

Daftar Pustaka…………………………………………………….………….….26

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling esensial bagi manusia. Bahasa yang dimiliki
oleh manusia sangat dinamis sehingga terus berkembang dari waktu ke waktu. Dalam kehidupan
sehari-hari, manusia menggunakan bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan pikiran,
bersosialisasi, dan memenuhi hasrat hidupnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa berbahasa
adalah kebutuhan dasar setiap manusia.

Berdasarkan definisi di atas, kemampuan berbahasa yang baik tentunya menjadi tuntutan
bagi setiap individu yang ingin berkomunikasi. Agar dapat berkomunikasi dengan baik maka
setiap individu harus menguasai bahasa yang digunakan dalam masyarakat tersebut.

Bahasapun dianggap sebagai sesuatu yang istimewa, sebab bahasa merupakan sarana
manusia untuk berpikir yang merupakan sumber awal manusia memperoleh pemahaman dan
ilmu pengetahuan. Sebagai ocial sebuah pemahaman, bahasa telah memungkinkan manusia
untuk memahami apa yang ada disekitarnya, dan mengantarkan dia memiliki ilmu pengetahuan
dan keahlian.

Dari berpikir itulah kemudian manusia mencoba mencari dan meneliti darimana bahasa
berasal, sejak kapan manusia berbahasa, dan dari mana manusia memperoleh serta
mempelajarinya. Bahasa tidak serta merta dipahami dan dikuasai oleh anak manusia yang baru
lahir. Memerlukan berbagai tahapan untuk dapat berbahasa secara fasih dan ocial serta dapat
dipahami dan memahami apa yang orang lain sampaikan.

Pemerolehan  bahasa  oleh  anak-anak  merupakan  salah  satu  prestasi manusia yang
paling hebat dan paling menakjubkan. Itulah sebabnya masalah ini mendapat  perhatian  besar. 
Pemerolehan  bahasa  telah  ditelaah  secara  intensif selama  kurang  lebih  dua  ocial.  Pada 
saat  itu  telah  dipelajari  banyak  hal mengenai bagaimana anak berbicara, mengerti, dan
menggunakan bahasa, tetapi sangat  sedikit  sekali  yang  diketahui  mengenai  proses  ocial 

1
perkembangan bahasa. Satu hal yang perlu diketahui bahwa pemerolehan bahasa sangat banyak
ditentukan oleh interaksi rumit aspek-aspek kematangan biologis, kognitif, dan ocial.

Setiap pendekatan modern terhadap pemerolehan bahasa akan menghadapi kenyataan


bahwa bahasa dibangun sejak semula oleh setiap anak, memanfaatkan aneka kapasitas bawaan
sejak lahir yang beraneka ragam dalam interaksinya dengan pengalaman-pengalaman dunia dan
ocial”. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan  kalau  kebanyakan  pendekatan  modern 
terhadap  pemerolehan bahasa   dititikberatkan  pada   salah  satu   aspek   proses   pemerolehan  
bahasa.

B. Rumusan masalah

a. Apa Pengertian dari Teori, Psikoanalisa, Behavioristik, Kognitif dan Humanistik ?


b. Apa Karakteristik Perkembangan Anak ?
c. Bagaimana Pemerolehan Bahasa ( Innateness, Constructivist, dan Humanistik) ?
d. Apa Teori Perkembangan Bahasa Anak ?

C. Tujuan

a. Untuk mengetahui Teori, Psikoanalisa, Behavioristik, Kognitif dan Humanistik


b. Untuk mengetahui Karakteristik Perkembangan Anak
c. Untuk mengetahui Pemerolehan Bahasa ( Innateness, Constructivist, dan Humanistik)
d. Untuk mengetahui Teori Perkembangan Bahasa Anak

BAB II

2
PEMBAHASAN

A. Review Teori Psikoanalisa, Behavioristik, Kognitif dan Humanistik

1. Definisi dan Konsep

Psikoanalisis ditemukan di Wina, Austria, oleh Sigmund Freud.. Kadang psikoanalisis


didefinisikan sebagai metode penelitian, sebagai teknik penyembuhan dan juga sebagai
pengetahuan psikologi.

Psikoanalisis adalah salah satu aliran Psikologi yang pada dasarnya adalah sebuah teori
kepribadian dan dikemukakan oleh Sigmund Freud. Aliran Psikoanalisis menekankan kepada
alam bawah sadar, tidak seperti aliran-aliran lainnya yang lebih fokus kepada kesadaran.
Menurut Freud, teori kepribadian menyangkut 3 hal, yakni :

(Freud menganalogikannya dengan teori gunung es, dimana yang nampak hanyalah ego
dan superego, sedangkan id dipendam dan tak ditunjukkan dalam kehidupan sosial)

1). Das Es / Id : ini merupakan aspek biologi dalam kepribadian manusia, berisi insting dan
naluri. Bisa disebut sistem yang asli dalam kepribadian (berisi hal-hal yang dibawa sejak lahir).
Id juga bisa disebut libido murni atau energi psikis yang sifatnya irasional, karena dituntut oleh
prinsip kenikmatan dan harus segera dipuaskan.

2). Das Ich / Ego : Ego adalah pengatur agar id dapat tersalurkan dalam lingkungan sosial dan
terwujud secara rasional. Ego tidak memiliki tuntutan, karena ego adalah satu-satunya sistem
kepribadian yang berhubungan dengan lingkungan sosial. Maka itu, ego memiliki cara-cara
tertentu yang disebut Mekanisme Pertahanan untuk menjaga keseimbangan id dan ego itu
sendiri. Mekanisme pertahanan itu antara lain :

1. Represi : adalah mekanisme pertahanan dengan cara menekan suatu permasalahan ke


dalam pikiran hingga masalah tersebut terlupakan dengan sendirinya. Mekanisme
pertahanan ini sering disebut-sebut sebagai mekanisme pertahanan yang paling efektif.
Contoh : seseorang bisa menekan rasa bencinya padasalah satu anggota keluarganya
hingga rasa benci itu terlupakan dan hilang begitu saja.
2. Pembentukan Reaksi : Dimana seseorang menghindari perasaan yang sebenarnya ia
rasakan dengan cara menunjukkan perasaan yang sebaliknya. Contoh : seorang
perempuan berpura-pura tetap mencintai kekasihnya bahkan menunjukkan rasa cinta
yang berlebihan, karena sebenarnya ia tidak tulus mencintai kekasihnya itu.
3. Sublimasi : Yakni mencoba memenuhi tuntutan id yang sifatnya ‘primitif’ agar bisa
tersalurkan ke lingkungan sosial. Contohnya : seseorang yang memiliki dorongan seks
menyalurkan hasratnya lewat lukisan atau patung dan karya seni lainnya. Contoh lainnya,
misalkan seseorang memiliki dorongan untuk melawan orang lain, maka ia realisasikan
dorongan tersebut dengan mengikuti beladiri.

3
4. Displacement : Menyalurkan dorongan-dorongan yang tidak sesuai kepada orang lain
yang bukan menjadi penyebab munculnya dorongan itu (melampiaskannya pada hal lain).
Contoh : seseorang marah dan tersinggung pada atasannya, ia lampiaskan kemarahan itu
pada temannya atau bawahannya.
5. Regresi : Kembalinya seseorang ke tahap perkembangan yang sudah dilaluinya (mundur
ke masa perkembangan yang telah lalu) karena mengalami tekanan psikologis.
Contohnya, ketika seseorang sangat menginginkan sesuatu namun tidak dibelikan orang
tuanya, ia akan menangis meraung-raung seperti anak kecil agar keinginannya dipenuhi.
6. Proyeksi : Seseorang melindungi dirinya sendiri atas tabiat atau sikap buruknya dengan
cara menyalahkan orang lain untuk menghindari kenyataan. Misalnya : seorang anak nilai
rapornya jelek, ia pun mengatakan bahwa gurunya tidak adil dan sentimen padanya.
7. Rasionalisasi : Berpikir rasional atas apa yang terjadi pada diri, tujuannya untuk
menghibur diri. Freud mengatakan mekanisme pertahanan yang satu ini disebut menipu
diri. Kendati begitu, mekanisme pertahanan ini biasanya membawa dampak positif bagi
yang melakukannya. Misalnya, seseorang baru saja ditolak cintanya, orang itupun
mengatakan mungkin orang yang menolaknya bukan karena tidak menyukainya, tetapi
masih ingin fokus belajar dan tidak ingin menjalin hubungan dulu.
8. Kompensasi : Menutupi kelemahan dengan menonjolkan diri di bidang lain. Contohnya
seseorang sangat lemah dalam pelajaran matematika, namun berusaha untuk menjadi
yang terbaik dalam pelajaran olahraga.
9. Fiksasi : dimana pada situasi tertekan, individu merasa tak sanggup dan pada akhirnya
terhenti dalam masa perkembangan normalnya, entah sementara atau selamanya.
Misalnya, seorang individu diharuskan untuk menikah, namun ia merasa cemas karena
akan memulai kehidupan baru tanpa kedua orangtuanya sehingga ia tidak jadi menikah.
10. Introyeksi : mekanisme pertahanan dimana seseorang memasukkan emosi orang lain
kepada egonya sendiri. Contohnya jika seseorang benci pada temannya, setiap kali ia
merasa kesal ia akan memukuli dirinya sendiri.
11. Denial : penyangkalan. Dimana seseorang menolak adanya stimulus yang dapat
menimbulkan kecemasan pada dirinya. Contohnya, seorang individu divonis menderita
sakit yang parah, namun ia menyangkal dengan mengatakan bahwa ia hanya sakit biasa.

3). Das Ueber Ich / Superego : Superego adalah bagian moral dari kepribadian da nada di dalam
kehidupan sosial karena berisi norma-norma sosial, superego adalah penentu nilai baik atau
buruk dalam kepribadian. Fungsi dari superego ini adalah mendorong ego untuk bertindak
dengan tujuan yang bermoral, menghalangi impuls id yang bertentangan dengan nilai dan norma
di masyarakat, dan untuk mencapai kesempurnaan dalam diri individu.

Dalam aliran Psikoanalisis, Freud juga mengemukakan beberapa tingkat perkembangan, yaitu :

 Fase Oral : Dimana kepuasan (id) berpusat di sekitar mulut. Misalnya bayi yang
menggunakan dot dan meminum ASI.
 Fase Anal : Tahap dimana kepuasan berpindah ke anus, anak bisa berada di pispot dalam
waktu yang lama.

4
 Fase Phallic : Terdapat pada anak usia 6-7 dimana kepuasannya terletak pada alat
kelamin, namun tujuan kepuasannya berbeda dengan orang dewasa.
 Fase Genital : lanjutan dari fase phallic, dimana individu mempunyai kepuasan dari
rangsangan manipulasi tubuhnya sendiri.
 Fase Latent : pada fase ini dorongan-dorongan id yang bersifat seksual seolah-olah tidak
ada karena individu sibuk dengan kegiatannya mengenal dunia luar.

Selain itu, Freud juga mengemukakan kehidupan mental dalam aliran psikoanalisis ini, yaitu
kehidupan mental terbagi menjadi dua tingkat, alam sadar dan alam tidak sadar. Alam tidak
sadar terbagi menjadi dua tingkat, alam tidak sadar dan alam bawah sadar.

1. Alam sadar : terbuka pada dunia luar, berfungsi sebagai perantara dari persepsi kita
tentang stimulus yang ada di dunia luar. Adapun isi dari alam sadar ini adalah : Pikiran
dan Persepsi.
2. Alam Tidak Sadar : tempat bagi segala dorongan, desakan, maupun insting yang tidak
kita sadari tetapi ternyata mendorong perkataan, perasaan, dan tindakan kita. Alam tidak
sadar biasanya adalah penjelasan dari salah ucap/slip tongue atau berbagai jenis lupa.
Adapun isi alam tidak sadar adalah : Memori dan Pengetahuan.
3. Alam Bawah Sadar : berisi apapun yang tidak disadari, kadang bisa muncul ke
kesadaran entah itu dengan cepat atau sulit. Isi alam bawah sadar ialah : ketakutan, motif
kekerasan, hasrat seks yang tidak diperkenankan, keinginan-keinginan yang irasional atau
tidak selaras, desakan-desakan tak bermoral, pengalaman memalukan, dan kebutuhan
yang sifatnya egois.

Dalam aliran Psikoanalisis, Freud juga mengemukakan Dinamika Kepribadian yang


mendorong tingkah laku manusia, antara lain :

1. Seks (menurut Freud adalah dorongan yang paling besar dan kuat)
2. Insting Hidup dan Insting Mati (Insting hidup meliputi dorongan untuk makan dan
minum serta bereproduksi, sedangkan insting mati adalah keinginan bahwa pada
dasarnya manusia menginginkan kekosongan dan ketenangan).
3. Kecemasan (perasaan terjepit dan terancam)

Menurut Freud ada tiga jenis kecemasan:

1. Kecemasan realistic (rasa takut)


2. Kecemasan moral (rasa malu)
3. Kecemasan neurotic (akibat bahaya yang tidak diketahui)

5
Contoh penerapan Psikoanalisis

Saya mengambil contoh penerapan aliran ini dari sebuah jurnal yang berjudul “Pergeseran
Citra Pribadi Perempuan Dalam Sastra Indonesia: Analisis Psikoanalisis Terhadap Karya
Sastra Indonesia Mulai Angkatan Sebelum Perang Hingga Mutakhir”, dimana aliran
Psikoanalisis (dalam hal ini mekanisme pertahanan ego-nya) digunakan untuk menganalisa
kepribadian perempuan dalam beberapa karya sastra dari waktu ke waktu.

Dalam jurnal disebutkan beberapa karakter/tokoh perempuan dalam karya sastra beserta
mekanisme pertahanan ego yang digunakannya dalam alur cerita karya sastra tersebut, seperti
tokoh Siti Nurbaya dalam novel Siti Nurbaya, mekanisme pertahanan yang dia lakukan dengan
merepresi keinginan-keinginan untuk bersatu dengan kekasihnya, karena ia akan dijodohkan dan
mau tidak mau harus melupakan kekasihnya. Atau tokoh Tuti dalam novel Layar Terkembang,
penganalisa bahkan menuliskan bahwa struktur kepribadian yang dimiliki tokoh adalah
pendidikan yang tinggi sehingga egonya dipengaruhi oleh pendidikannya tersebut. Mekanisme
Pertahanan yang dilakukan Tuti adalah rasionalisasi terutama ketika dia harus menahan perasaan
kesepian karena tidak ada laki-laki yang menemaninya. Selain itu masih banyak lagi analisa
struktur kepribadian serta mekanisme pertahanan ego yang dianalisa dalam jurnal.

Dari contoh tersebut di atas, saya bisa mengambil kesimpulan bahwa aliran psikoanalisis tak
hanya berjasa dalam ilmu psikologi namun juga dapat mempengaruhi dan memperkaya karya-
karya sastra.

Dampak Psikoanalisis

Kemunculan aliran ini menimbulkan dampak dan manfaat, antara lain :

1. Kehidupan mental individu jadi bisa dipahami, dan pemahaman terhadap sifat manusia
bisa diterapkan pada perbedaan penderitaan masing-masing manusia. Jadi, tingkah laku
pun diketahui bahwa sering ditentukan oleh faktor tak sadar.
2. Kita dapat mengetahui bahwa perkembangan pada masa dini kanak-kanak memiliki
pengaruh yang kuat terhadap kepribadian di masa dewasa kelak.
3. Teori psikoanalisis menyediakan kerangka kerja untuk memahami cara-cara yang
digunakan oleh individu dalam mengatasi kecemasannya.
4. Terapi psikoanalisis telah memberikan cara-cara mencari keterangan dari ketidaksadaran
melalui analisis atas mimpi-mimpi.

6
Teori belajar behavioristic

Adalah sebuah teori yang dianut oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai
hasil dari pengalaman. Beberapa ilmuwan yang termasuk pendiri dan penganut teori ini antara
lain adalah Thorndike, Watson, Hull, Guthrie, dan Skinner.

Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah
pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil
belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang
yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan
metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143).
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya.
Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang
berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon
berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak
dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh
karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon)
harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku
tersebut.

Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan
semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka
respon juga semakin kuat.

(Gage, Berliner, 1984).

Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah
apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang
dapat ditangkap melalui alat indra. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta
didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi
perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkret, yaitu yang dapat
diamati, atau tidak konkret yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat
mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah
laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme
(Slavin, 2000).

Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum
latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana
hal-hal tertentu dapat memperkuat respon

7
Teori Belajar Menurut Watson

Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun
stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi
walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses
belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan
karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang
belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi
pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

Teori Belajar Menurut Clark Hull

Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan
pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull,
seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar
organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan
pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral
dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun
hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul
mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini,
tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie

Asas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus
yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan
yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan
respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang
dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi.
Penguatan sekadar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan
mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara,
oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar
hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa
hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang
diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.

Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat.
Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru
tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).

Teori Belajar Menurut Skinner

Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh
sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih
komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui
interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah

8
sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima
seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling
berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon
yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang
nantinya memengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami
tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu
dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi
yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan
menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya
akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi,
demikian seterusnya.

Analisis Tentang Teori Behavioristik

Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku
dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam
berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan
kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan
suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hierarki, dari yang
sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).

Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua
teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori
belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran
berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep
hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement),
merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.

Teori behavioristik banyak dikritik karena sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar
yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau
belajar yang dapat diubah menjadi sekadar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu
menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.

Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar,
walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat
menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang
relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas
sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus
dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau
perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.

Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berpikir linier, konvergen,
tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses
pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu,
sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor
yang memengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekadar pembentukan atau shaping.

9
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan
digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan
penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan
berimajinasi.

Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada
beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:

 Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara;


 Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si
terhukum) bila hukuman berlangsung lama;
 Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan
buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si
terhukum melakukan hal-hal lain yang kadang kala lebih buruk daripada kesalahan yang
diperbuatnya.

Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak
sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai
stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat
negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat.
Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut
masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak
mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah)
dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang
disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive
reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat
positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.

Menurut teori kognitivisme, yang paling utama harus dicapai adalah perkembangan kognitif,
barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa. Dari lahir sampai 18
bulan, bahasa dianggap belum ada. Anak hanya memahami dunia melalui indranya. Anak hanya
mengenal benda yang dilihat secara langsung. Pada akhir usia satu tahun, anak sudah dapat
mengerti bahwa benda memiliki sifat permanen sehingga anak mulai menggunakan simbol
untuk mempresentasikan benda yang tidak hadir dihadapannya. Simbol ini kemudian
berkembang menjadi kata-kata awal yang diucapkan anak.

Teori humanistik dalam pembelajaran adalah memanusiakan manusia, di mana seorang


individu dapat menggali kemampuanya sendiri untuk di terapkan dalam lingkungannya.

Berdasarkan teori maslow teori humanistik ini lebih mengedepankan motivasi untuk
mengembangkan potensi peserta didik secara penuh. Sedangkan menurut rogers teori
humanistikbini membahas tentang belajar dan pembelajaran.

10
Taukah kamu bahwa dalam memenuhi kebutuhan hierarki itu ada tingkatanya? Ya teori
maslows mengatakan bahwa kebutuhan itu sendiri dari 5 tingkatan di mana kebutuhan tingkat
rendah harus dipenuhi secara memadahi sebelum kebutuhan tinggi dapat mempengaruhi
perilaku kita. 
Kebutuhan yang paling rendah dalam hierarki adalah:

kebutuhan fisiologi 

Kebutuhan inilah yang pasti kita penuhi terlebih dahulu, seperti makanan, udara dan air. karena
jika tidak terpenuhi maka kita tidak bisa memenuhi kebutuhan yang lainya.

Kebutuhan rasa aman

Kebutuhan yang terpenuhi adalah kebutuhan atas rasa aman yang dapat menyelamatkan
kehidupan kita dimasa sekarang dan masa yang akan datang.

Kebutuhan sosial

Kita hidup pastinya tidak sendiri kan? Dan jangan kita memerlukan hadirnya orang lain
disekitar kita, itulah hal yang yang wajar, contohnya dalam hal membutuhkan rasa kasih sayang.

B. Karakteristik Perkembangan Anak

Karakteristik perkembangan anak usia dini merupakan masa perkembangan dan pertumbuhan
yang sangat membutuhkan perkembangan masa selanjutnya. Secara umum , anak usia dini
memiliki karakteristik seperti: unik, egosentris, aktif dan energik, rasa ingin yang kuat dan
antusias terhadap banyak hal, eksploratif dan berjiwa petualang, spontan, senang dan kaya akan
fantasi, masih mudah frustasi,masih kurang mempertimbangkan dalam melakukan sesuatu, daya
perhatian pendek, bergairah untuk belajar dan banyak belajar dari pengalaman dan semakin
menunjukan minat  terhadap teman .

Sebagai contoh  anak usia dini yang baru bersekolah di PAUD,TK atau sekolah- sekolah
pendidikan usia dini. Mereka akan menunjukan sikap yang mudah melupakan sesuatu hal yang
baru terjadi, misalnya saat mereka bermain ada salah satu dari temanya yang nakal mengganggu 
mereka akan bermusuhan untuk waktu yang sejenak  dan kemudian mereka akan bermain
bersama lagi. Dan merekapun memiliki rasa ingin tahu yang kuat dan antusias akan banyak
hal.Dalam hal ini mereka akan sering banyak bertanya kepada orang yang dianggapnya lebih
tahu akan hal-hal tersebut . Bila mereka belum  merasa puas akan jawaban yang diberikan
mereka dengan rasa ingin tahunya akan bertanya kembali , sampai dia tahu apa maksud  dari
yang ia tanyakan. Dan disini peran orang tua dan orang-orang sekitar yang lebih tua dari anak
usia dini  memberikan efek tersendiri kepada anak usia dini. Terutama peran orang tua dalam
mendidik buah hatinya akan berpengaruh dalam perkembangan anak usia dini. Anak yang penuh
kasih sayang dari orang tua ataupun dari lingkungan sekitar akan memiliki rasa yang bahagia 
dan nyaman serta memiliki mental yang baik. Lain halnya dengan anak yang pada usia dini

11
kurang mendapatkan kasih sayang dan pendidikan yang baik dari orang tua kelak anak itupun
akan memiki rasa yang kurang bahagia dan mental yang kurang baik . Serta tingkah laku orang
tua sekalipun akan mereka ikuti karena mereka menganggap apa  yang orang dewasa lakukan itu
baik . Padahal belum tentu apa yang dilakukan oleh  orang yang lebih tua darinya itu benar ,
mereka pun mudah terpengaruhi, mudah meniru gaya dari orang yang lebih tua darinya.

Dan pada dasarnya perkembangan anak usia dini membutuhkan pengawasan dari orangtua agar
si anak memiliki sifat dan mental yang baik . Karena pada hakikatnya orang tua memiliki peran
yang cukup besar dalam perkembangan dan pertumbuhan usia anak . Orang tua harus
memberikan contoh yang baik kepada anak agar  mereka  pun bisa menjadi anak yang
mempunyai ahklak yang baik, serta mental yang baik untuk masa depan anak . Anak akan
menjadi baik itu semua tergantung dari didikan dari orang tua dan lingkungan sekitar. Oleh
karenanya  sedini mungkin anak harus mendapatkan perhatian khusus dari orang tua.

C. Teori Pemerolehan Bahasa (Innatenesss, constructivist, dan Humanistik)

1. PENGERTIAN ISTILAH PADA


PEMEROLEHAN BAHASA
(LANGUAGE ACQUISITION )

Sebelum kita berbicara tentang teori pemerolehan bahasa, sebaiknya kita menyamakan persepsi
kita terhadap beberapa istilah penting yang biasanya dipergunakan dalam topik semacam ini
yang bisa saja menimbulkan salah pengertian (misconception) diantara kita, diantaranya,
istilah pemerolehan (acquisition)  dan pembelajaran (learning). Wilkins (1974) dalam Ellis
(1990:41) memberikan pengertian terhadap perbedaan

Meskipun masih banyak pengertian lain yang diberikan para ahli mengenai kedua istilah
tersebut, namun kita dapat membedakan keduanya dan menarik kesimpulan
bahwa “pemerolehan” merupakan proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara
natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language/mother tongue)
sedangkan “pembelajaran” adalah proses yang dilakukan (umumnya dewasa) dalam tatanan
yang formal, yakni, belajar di kelas/di luar (indoor dan outdoor class) dan diajarkan oleh guru.
Lebih rinci mengenai aspek perbedaan keduanya bisa dilihat pada Ellis (1990) dalam bukunya
“Instructed Second Language Acquisition”. Namun demikian ada juga yang menggunakan istilah

12
“pemerolehan bahasa kedua” (second language acquisition) seperti Krashen (1972), Nurhadi, dan
lain-lain.

Pemerolehan bahasa diartikan sebagai penguasaan bahasa pertama seorang anak dimana dia
tinggal. Proses pemerolehan bahasa ini berlangsung secara tidak sadar. Di sisi lain, pembelajaran
adalah proses penguasaan bahasa target (bahasa kedua) yang dilakukan oleh seseorang guna
kepentingan tertentu, misalnya untuk tujuan pekerjaan, akademis, ekonomi, dan lain-lain. Dalam
proses ini tujuan yang ingin dicapai oleh individu tersebut jelas sehingga proses inipun dilakukan
dengan sadar.

Meskipun pemerolehan dan pembelajaran bahasa memiliki esensi yang berbeda tetapi keduanya
memiliki persamaan dalam prosesnya. Persamaan antara pemerolehan dan pembelajaran bahasa
tersebut seperti di bawah ini.

1. Praktik, baik pemerolehan maupun


pembelajaran pada hakikatnya adalah
pembentukan kebiasaan berbahasa sehingga
ia memiliki kemampuan (capability)
berbahasa yang dilakukan melalui
serangkaian praktik berbahasa.
2. Meniru, kegiatan meniru (imitation) juga
berlaku bagi pemerolehan maupun
pembelajaran bahasa. Peniruan itu baik dari
aspek suara, kalimat, dan metode
menggunakannya (konteks).
3. Keduanya melalui tahapan-tahapan dalam
proses kebahasaannya.

Selain persamaan tersebut, pemerolehan maupun pembelajaran bahasa juga memiliki perbedaan
sebagai berikut.

1. Perbedaan Motivasi/tujuan, pemerolehan


bahasa digunakan sebagai dasar dalam
berkomunikasi dengan orang di sekitarnya
sedangkan pembelajaran didasari oleh motif

13
tertentu seperti ekonomi, pendidikan, sosial,
dan lain sebagainya.
2. Pemerolehan bahasa dilakukan secara tidak
sadar sedangkan pembelajaran bahasa
dilakukan secara sadar oleh individu yang
bersangkutan.
3. Model dalam pemerolehan bahasa pertama
adalah bahasa pertama yang digunakan di
lingkungannya sedangkan pembelajaran
biasanya objek bahasanya adalah bahasa
kedua. Misalnya, di suku Jawa bahasa
pertama adalah bahasa Jawa dan bahasa
kedua adalah bahasa Indonesia.
4. Perbedaan waktu ini mengacu pada tahap
yang dilalui dimana pemerolehan bahasa
pertama biasanya pada waktu usia anak-anak
dan yang paling baik pada masa periode masa
kritis dan pembelajaran bahasa bahasa dapat
dilakukan kapanpun.
5. Pembelajaran bahasa adalah proses yang
terjadi setelah pemerolehan bahasa terjadi.

Konsep persamaan dan perbedaan pemerolehan dan pembelajaran bahasa ini penting diketahui
dan dipahami oleh seorang pendidik bahasa. Hal ini nantinya dapat digunakan sebagai landasan
dalam penyusunan pembelajaran bahasa yang efektif dan efisien sesuai dengan konteks yang
dihadapi.

Disamping kedua istilah diatas, yang bisa menimbulkan salah pengertian kita terutama karena
kemiripan pengucapannya adalah sifat pemerolehan yaitu nurture atau nature. Istilah tersebut
memang lahir dari kedua tokoh yang berlainan aliran dan bidang kajian yang berbeda pula,
dimana istilah nurture merupakan kesimpulan dari teori Behaviorisme yang mengatakan bahwa
otak manusia dilahirkan seperti tabulrasa (blank slate/piring kosong) dimana blank slate ini akan
diisi oleh alam sekitarnya. Pelopor moderen dalam pandangan ini adalah seorang psikolog dari
Universitas Harvard yaitu, B.F. Skinner. Sedangkan istilah nature adalah lahir dari teori

14
Innatisme yang dipelopori oleh Noam Chomsky (1960an) yang mengatakn bahwa manusia
dilahirkan dengan Innate Properties (bekal kodrati) yaitu bersama Faculties of the Mind (kapling
minda) yang salah satu bagiannya khusus untuk memperoleh bahasa, yaitu Language Acquisition
Device (piranti pemerolehan bahasa). Karena alat ini berlaku semesta, maka kemudian Chomsky
merumuskan teorinya dengan istilah Universal Grammar (tatabahasa semesta). Jadi
perkembangan pemerolehan bahasa anak akan seiring dengan pertumbuhan faktor biologisnya
(Ghazali: 2000 dan Dardjowidjojo: 2005).

Meskipun terjadi perbedaan sifat pemerolehan seperti disebutkan diatas, namun


antara Nurture dan Nature sama-sama saling mendukung. Nature diperlukan, karena tanpa bekal
kodrati makhluk tidak mungkin anak dapat berbahasa sedangkan nurture diperlukan, karena
tanpa input dari alam sekitar bekal yang kodrati itu tidak akan terwujud (Dardjowidjojo,
2003:237).

Dari teori Universal Grammar Chomsky tersebut diatas muncul


istilah competence  dan performance. Chomsky (1960) mengatakan bahwa: “Competence: What
we know - Our deep structure - What we are capable of doing while Performance: What we
show - Our surface structure - What we do” (Elliot, 1996:7-9). Dalam pengertian lain bisa juga
dikatakan bahwa yang disebut dengan kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang
berlangsung secara tidak disadari, sedangkan performasi merupakan kemampuan memahami dan
melahirkan atau menerbitkan kalimat-kalimat baru (Chaer, 2003:167). Sehingga ketika seseorang
memiliki kompetensi berbahasa yang baik dan benar maka sudah bisa dipastikan orang tersebut
akan sukses dalam performasinya (spoken&written language), kecuali orang tersebut
mengalami language disorders seperti dyslexia dan aphasia.

B. TEORI – TEORI PEMEROLEHAN BAHASA

1. Teori Behaviorisme

Teori ini mulanya, oleh seorang filusuf Inggris yang hidup pada abad ke- 17 salah satu tokoh
Empirisme yaitu John Lock yang kemudian dianut dan disebarluaskan oleh John B. Watson
seorang tokoh terkemuka alisan Behaviorisme dalam Psikologi. Meskipun sebelumnya telah
dijelaskan oleh seorang filusuf dan juga negarawan asal Inggris yang bernama Francis Bacon di

15
awal abad ke-17 baru kemudia dimunculkan oleh Lock dan John B. Watson dalam berbagai
tulisan mereka di jurnal-jurnal ilmiah (Encarta Encyclopedia:2006). Mereka mengklaim bahwa
otak bayi waktu dilahirkan sama sekali seperti kertas kosong/piring kosong (tabularasa/blank
slate), yang nanti akan diisi dengan pengalaman-pengalaman. Dengan kata lain bahwa semua
pengetahuan dalam bahasa manusia yang tampak dalam perilaku berbahasa adalah merupakan
hasil dari integrasi peristiwa-peristiwa linguistik yang diamati dan dialami manusia (Chaer,
2002:173).

Sejalan dengan anggapan diatas mereka (kaum behaviorisme) menganggap bahwa pengetahuan
linguistik terdiri hanya dari rangkaian hubungan – hubungan yang dibentuk dengan cara
pembelajaran “stimulus – respons”, dimana bahasa diasumsikan sebagai sekumpulan tabiat-tabiat
atau perilaku-perilaku yang kemudian ditulis pada tabularasa otak anak.

Anggapan ini kemudian mendapat kritik dari para ahli lain terutama dari Chomsky pakar teori
transformasi generative. Chomsky  menganggap bahwa kaum behaviorisme tidak mampu
menjelaskan proses pemerolehan bahasa itu sendiri. Kritik dari Chomsky ini mengundang
reaksi dari pengikut kaum behaviorisme seperti Jenkin dengan teori mediasinya dengan
mengatakan bahwa: “Learners receive linguistic input from speakers in their environment and
they form associations between words and object or events”. Tetapi tetap saja apa yang mereka
usahakan tidak mampu menjawab faktor kreatifitas dalam penggunaan bahasa serta bagaimana
kompetensi bahasa digunakan untuk membuat dan memahami kalimat-kalimat baru yang belum
pernah dibuatnya, begitu pula dengan pengikutnya yang lain seperti Bloomfield and Skinner yang
mendasari pada hipotesis tabularasa dan teori stimulus-respons.

2. Teori Innetisme

Teori ini dipelopori oleh Noam Chomsky pada awal tahun 1960-an sebagai bantahan terhadap
teori belajar bahasa yang dilontarkan oleh kaum behaviorisme tersebut. Noam
Chomsky berkesimpulan bahwa teori behaviorisme tidak mampu menjelaskan proses
pemerolehan bahasa dan kompetensi linguistiknya. Pemerolehan bahasa bukan didasarkan
pada nurture (pemerolehan itu ditentukan oleh alam lingkungan) tetapi pada nature,
artinya anak memperoleh bahasa seperti dia memperoleh kemampuan untuk berdiri dan berjalan.
Anak tidak dilahirkan sebagai tabularasa, tetapi telah dibekali dengan Innate Properties (bekal
kodrati) yaitu Faculties of the Mind (kapling minda) yang salah satu bagiannya khusus untk

16
memperoleh bahasa, yaitu “Language Acquisition Device”, karena alat tersebut berlaku semesta
maka kemudian Chomsky merumuskan teorinya dengan istilah Universal Grammar (tatabahasa
semesta).

Lebih lanjut Chomsky mengatakan bahwa lingkungan hanya berfungsi sebagai pemberi masukan
dan Language Acquisition Device itulah yang akan mengolah masukan (input) dan menentukan
apa yang dikuasai lebih dahulu seperti bunyi, kata, frasa, kalimat, dan seterusnya (Clark&Clark,
1977). Dengan demikian, bahwa kemampuan yang dimiliki manusia telah terprogram secara
biologis agar manusia dapat belajar bahasa. Kemudian kemampuan itu tumbuh dan berkembang
sejalan dengan bertumbuhan biologis anak (otak, organ bicara, dll) yang pada akhirnya mampu
mempelajari kaidah tata bahasa. Sehingga kalimat-kalima yang belum pernah didengar
sebelumnya akan tetap mampu di ujarkan secara benar dan konsisten karena ada LAD/PPB
tersebut.

3. Teori Kognitivisme

Berawal dari pernyataan Jean Piaget (1926) yang berunyi “logical thinking underlies both
linguistic and nonlinguistic developments”, kemudian memancing para teoritis (1970-an) untuk
kembali mengembangkan teori kognitif yang semula dikenal dalam ilmu psikologis, untuk
menerangkan pertumbuhan kemampuan berbahasa yang mereka anggap belum memuaskan
dari penjelasan Chomsky diatas. Mereka mengatakan bahwa anak lebih dahulu mengembangkan
pengetahuan dunia secara umum (nonlinguistic knowledge), barulah ia kemudian menerapkan
kemampuan bahasanya (linguistic knowledge). Dalam kaitannya dengan perkembangan
kemampuan berbahasa, kaum kognitivisme mengatakan bahwa anak harus lebih dahulu memiliki
kemampuan memetakan pikiran logis terhadap kategori dan hubungan yang ada dalam bahasa.
Pemetaan tersebut terjadi melalui proses asosiasi (bagaimana proses asosiasi ini terjadi silakan
lihat Chaer, 2002). Perbedaan dan kesamaanya dengan teori Chomsky yaitu:

INNATISME

a. Kemampuan kognitif telah terprogram sebelum ia dilahirkan


b. Berbicara mengenai kemampuan belajar
c. Peran berpikir logis tidak penting
d. Kemampuan belajar bahasa merupakan ciri unik yang hanya dimiliki manusia
e. Perkembangan knowledge of

17
f. Language berkembang secara terpisah dari perkembangan berpikir logis

KOGNITIVISME
a. Kemampuan kognitif itu tumbuh akibat anak berinteraksi dengan lingkungannya
b. Berbicara tentang kemampuan berpikir logis
c. Peran berpikir logis sangat penting
d. Kemampuan berpikir logis merupakan ciri unik yang hanya dimiliki manusia
e. Aspek berpikir logis mestinya berkembang lebih dahulu sebelum anak
mengembangkan bahasanya

Persamaan
a. Sama-sama memiliki pandangan tentang pertumbuhan kemampuan bahasa
b. Sama – sama berpendapat bahwa apa yang diperoleh anak adalah categories and
rules of language
c. Sama – sama menyetujui bahwa kedua pengetahuan itu (categories and rules of
language) terletak didalam otak pembelajar bahasa

4. Teori Interaksionisme

Teori ini berpandangan bahwa baik faktor psikologis maupun sosial, keduanya ikut mengambil
peran dalam proses pemerolehan bahasa kedua. Teori ini banyak dipengaruhi oleh hasil
penelitian psikolinguistik experimental dan psikologi kognitif. Kaum Interaksionis menekankan
pentingnya interaksi yang berlangsung antara individu, antara individu dengan kelompok,
maupun antara kelompok dengan kelompok lain dan seterusnya sehingga membentuk
“conversations”. Karena dengan adanya kondisi demikian akan membantu pembelajar
bahasa untuk mendapatkan akses pada pengetahuan baru tentang bahasa target, tentu saja hal ini
akan terjadi bila didukung penuh oleh si interlocutor (orang yang diajak bicara) (Lightbown &
Spada, 1999:43). Jadi, baik Hatch (1992), Teresa Pica (1994), dan Michael Long (1983)
mengatakan bahwa “much of L2 acquisition takes place through conversational interaction,
since what the learners need is not a simplification of linguistic form but an opportunity to
interact with other speakers, in way which lead them make adaptation” (Lightbown & Spada,
1999:43).

18
Terlepas dari segala kelebihan yang melekat pada teori interaksionis ini, bukan berarti tanpa
kritik, seperti, yang dialami oleh teori sebelumnya. Antara lain, kritiknya adalah bahwa ada
banyak hal yang mesti diketahui oleh pembelajar yang tidak ada bersama input itu, sehingga
perlu kembali merujuk ke teori innatisme, seperti prinsip-prinsip bawaan yang dikatakan
Chomsky.

5. Teori Pemerolehan Bahasa Kedua dari Krashen (Second Language Acquisition)

Ada Sembilan hipotesis yang diajukan Stephan Krashen mengenai pemerolehan bahasa kedua
(Ghazali, 2000 dan Chaer, 2002), tetapi berikut hanya akan dibahas lima diantaranya yang
dianggap paling berpengaruh dalam proses pemerolehan bahasa kedua/target. Kelima hipotesis
itu adalah sebagai berikut:

1. Hipotesis Pemerolehan-Pembelajaran (Acquisition-Learning Hypothesis)

Hipotesis ini menyatakan bahwa ada dua sistem belajar bahasa kedua, setiap sistem terpisah satu
sama lain namun saling terkait. Kedua hal tersebut adalah acquired system dan learned
system. Acquired system mengacu ke proses bawah sadar yang dikembangkan oleh seorang anak
ketika belajar bahasa pertmanya (native language). Selama proses pemerolehan ini biasanya anak
tidak terlalu fokus dengan structure, tetapi lebih pada meaning. Sedangkan learned
system mengacu pada usaha anak untuk menguasai structure sederhana bahasa kedua. Biasanya
hal ini dilakukan dalam situasi yang formal.

2. Hipotesis Monitor (Monitor Hypothesis)

Hipotesis ini menjelaskan bagaimana hubungan anatara acquired system dan learned system


tersebut diatas. Acquired system itu akan bertindak sebagai pengambil inisiatif dalam
performasi. Sedangkan pengetahuan yang didapat dari learned system berperan sebagai
penyunting dan pengoreksi apabila ada kesalahan dalam structure. Tentu saja peran learned
system sebagai penyunting akan sukses bila memenuhi tiga macam kondisi berikut: 1). Pemakai
bahasa memiliki waktu yang memadai/tidak terburu-buru. 2). Pemakai bahasa memusatkan
perhatiannya pada language structure yang diperlukan. 3). Pemakai bahasa
mengetahui structure yang diperlukan pada saat ia berinteraksi.

19
3. Hipotesis Urutan Alamiah (Natural Order Hypothesis)

Hipotesis ini menyatakan bahawa dalam proses pemerolehan bahasa anak-anak memperolehan
unsur-unsur bahasa menurut urutan tertentu yang dapat diprediksi sebelumnya. Urutan yang
dimaksud bersifat alamiah, yaitu, melalui empat tahap: 1. Producing single words.2. Stringing
words together based on meaning and not syntax. 3. Identifying the elements that begin and
end sentences. 4. Identifying the different elements within sentences and can rearrange them to
produce questions.

4. Hipotesis Masukan (Input Hypothesis)

Hipotesis ini menerangkan tentang proses pemerolehan bahasa pada pembelajar bahasa


kedua. Pemerolehan itu dapat terjadi apabila masukan (input) itu dapat dipahami
(comprehensible). Comprehensible input itu bisa didapatkan melalui tuturan dan bacaan yang
dapat dipahami maknanya. Untuk memahami input itu pembelajar bisa dibantu dengan
penguasaan tatabahasa yang telah diperoleh sebelumnya, pengetahuan tentang dunia, penjelasan
atau gambar-gambar dan struktur tersebut dipahami dan bantuan penerjemahan.

5. Hipotesis Saringan Afektif (Affective Filter Hypothesis)

Hipetesis ini menekankan akan pentingnya faktor dalam diri pembelajar bahasa (external


factors) dalam mensukseskan pemerolehan bahasanya. Faktor-faktor tersebut yaitu: motivasi
(motivation), keyakinan diri (self-confidence), dan rasa takut (anxiety). Jika pembelajar
memiliki motivasi dan kepercayaan diri yang tinggi maka ia akan memiliki peluang lebih besar
untuk sukses. Sebliknya jika ia masih memiliki rasa takut (anxiety) untuk mengungkapkan
sesuatu yang diperolehnya atau melakukan latihan, maka akan terjadi mental block (saluran
mental yang buntu) sehingga akan menghambat proses pemerolehan bahasanya. Mental block itu
akan menghambat comprehensible input ke dalam Language Acquisition Device.

C. PANDANGAN     TEORI     MENTALISTIK     (NATIVISME) TENTANG


PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA

Chomsky menyatakan bahawa manusia mempunyai “Faculties of the mind” yakni


semacam kapling-kapling intelektual dalam otaknya. Salah satunya adalah untuk bahasa. Kapling
20
kodrati yang dibawa sejak lahir ini oleh Chomsky dinamakan Language Acquisition Device
(LAD).

Dengan berdasar pendapat dari Chomsky yang merupakan tokoh aliran teori mentalistik
itu, dapat diambil penafsiran bahwa dalam setiap diri anak manusia telah dibekali oleh sebuah
kemampuan berbahasa dalam dirinya yang tersimpan sebagai bawaan semenjak lahir. Oleh
karenanya dalam teori pembelajaran atau pemerolehan bahasa kedua pada masa perkembangan
pertama tentunya tidak akan jauh melenceng dari penafsiran tersebut. Dalam masa
perkembangan, manusia tinggal melatih apa yang sebenarnya telah dia miliki di dalam otaknya,
yaitu bahasa. Dalam pemerolehan bahasa pertama biasanya  seorang  anak  akan 
memperolehnya  pada  masa  perkembangan pertama (0-3 tahun). Dalam rentang waktu ini anak
akan terus berusaha untuk mengingat dan melatih apa yang telah dimiliki dalam dirinya dan dari
hasil proses komunikasi dan interaksi dengan orang terdekatnya. Setelah umur 3 tahun  atau 
lebih,  bisa  jadi  seorang  anak  akan  mulai  menerima  kehadiran penutur lain yang mungkin
pula akan membawa bahasa lain.

Dalam hal pemerolehan bahasa kedua pada orang dewasa menurut paham ini, bahwa sebenarnya
bahasa kedua hanya akan bisa dipelajari dan tidak bisa diperoleh hanya dengan berbekal proses
atau kebiasaan berkomunikasi dan berinteraksi dengan komunitasnya saja. Dengan LAD pada
hakikatnya manusia akan bisa menguasai bahasa keduanya melalui beberapa tahapan
pembelajaran. Hanya saja, orang dewasa biasanya memang akan lebih sedikit mengalami
kesulitan dalam hal penghapalan kosa kata yang dikarenakan kemampuan otaknya yang sudah
tidak lagi berkembang secepat anak-anak dan juga dikarenakan memori nondeklaratif yang
bersifat instinktif yang dimiliki manusia sudah tidak lagi setajam memori anak-anak. Akan tetapi
dalam hal lain, semisal penguasaan tata bahasa dan beberapa hal lainnya, orang dewasa lebih
unggul dibandingkan dengan anak-anak.

D. PANDANGAN      TEORI      BEHAVIORISME      TENTANG PEMEROLEHAN


BAHASA KEDUA

Menurut pandangan teori Behavioristik bahwa bahasa akan dapat diperoleh dan dikuasai
karena faktor kebiasaan. Seorang anak kecil akan dapat menguasai bahasa bila semakin sering
dia mendapat stimulus dari luar yang membuat dia tertarik untuk mencoba berkomunikasi

21
dengan dengan memberikan respon melalui gayanya sendiri. Stimulus yang diberikan pada bayi
dibawah 3 bulan  misalnya, pada awalnya dapat hanya berupa gesture saja. Hal ini dikarenakan
proses pemerolehan bahasa bayi pada periode ini memang baru pada tahap pengenalan saja.
Demikian seterusnya untuk perode-periode pemerolehan bahasa berikutnya.

Dalam hal pemerolehan bahasa kedua, teori behaviorisme yang menganggap  bahwa 
faktor  pemerolehan  bahasa  adalah  faktor  kebiasaan melalui proses stimulus-response
melahirkan beberapa metode pemerolehan bahasa dalam usahanya untuk memperoleh dan
menguasai bahasa kedua. Diantara metode tersebut adalah lahirnya metode audiolingual di
Amerika pada tahun 1950-an sebagai akibat langsung dari keberhasilan teori American Army
Method yang menganut teori struktural. Metode yang dilahirkan dengan mengambil penafsiran
dari lahirnya teori stimulus-response milik B. F. Skinner ini adalah akibat dari pandangan kaum
behavioris akibat adanya penemuan alat- alat Bantu belajar bahasa.6 Dalam perkembangan
sejarah pembelajaran bahasa, periode ini ditandai juga dengan mulai dipelajarinya hubungan
antara psikologi dengan bahasa yang ditandai dengan lahirnya sebuah buku karangan Osgood
dan Sebeok pada tahun 1954 yang berjudul Psycholinguistic : A Survey of Theory and Research
Problems.

Pandangan  behaviorisme  bahwa   untuk   menguasai  bahasa   kedua seseorang harus 


banyak diberi  kesempatan untuk  mengembangkan dirinya sendiri melalui latihan-latihan
berbahasa secara langsung dengan komunitas pemakainya. Di Selandia Baru seorang pelajar
asing sekarang ini tidak lagi dipersyaratkan untuk memiliki nilai ujian TOEFL, tetapi para
pelajar itu tidak diasramakan untuk menghindari mereka berkumpul dengan teman dari satu
negara atau pemakai bahasa yang sama dengan dirinya. Mereka dibaurkan dengan masyarakat
setempat yang memaksa para pelajar itu mau tidak mau harus berkomunikasi dengan bahasa
Inggris yang dipakai Selandia Baru sebagai bahasa  sehari-hari. Karena  kebiasaan yang  terus-
menerus baik  di  kampus, rumah, pasar, taman hiburan, stasiun, terminal dan tempat-tempat
lainnya pada akhirnya para pelajar tersebut dapat dengan sempurna menguasai bahasa Inggris.
Hal ini juga menandakan bahwa selain karena faktor kebiasaan, faktor lingkungan sangat
berpengaruh besar terhadap keberhasilan seseorang memperoleh   dan   menguasai   bahasa  
kedua.7     Yang   dimaksud   dengan lingkungan di sini adalah termasuk juga misalnya suasana
restoran, cafe, bahasa koran, televisi dan tempat-tempat lainnya.  Selain itu Krashen juga
membagi jenis lingkungan menjadi 2 bagian, yaitu lingkungan formal seperti di kelas atau

22
tempat  yang  memang  disediakan  proses  belajar  mengajar  dan  lingkungan informal atau
natural alamiah.

D. Teori Perkembangan Bahasa Anak

Teori Perkembangan Bahasa Anak Usia Dini (PAUD) Menurut Para Ahli

Bahasa merupakan bagian penting dalam kehidupan. Dengan adanya bahasa, satu individu
dengan individu lain akan saling terhubungkan melalui proses berbahasa

Badudu (1989) mendefiniskan bahasa sebagai alat penghubung atau komunikasi antar anggota
masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang menyatakan pikiran, perasaan dan
keinginannya.

Sementara Bromley (1992) menjelaskan bahwa bahasa adalah sistem simbol yang teratur untuk
mentransfer berbagai ide maupun informasi yang terdiri dari simbol-simbol visual maupun
verbal.
Pengembangan keterampilan berbahasa pada anak usia dini mencakup empat aspek, yaitu:
berbicara, menyimak, membaca, dan menulis. 

Keterampilan berbicara dan menulis merupakan keterampilan yang bersifat produktif karena
anak dituntut untuk menghasilkan bahasa. Sebaliknya, keterampilan menyimak dan membaca
bersifat reseptif karena anak lebih banyak menyerap bahasa yang dihasilkan oleh orang lain.

Keterkaitan antara keempat aspek keterampilan dia atas dapat dilihat pada bagan berikut ini:

Teori Nativisme

Menurut teori nativisme, terdapat keterkaitan antara faktor biologis dan perkembangan bahasa.
Pada saat lahir, anak telah memiliki seperangkat kemampuan berbahasa yang disebut ‘Tata
Bahasa Umum” atau ‘Universal Grammar’.

Teori ini menjelaskan bahwa tidak terdapat keterkaitan antara kemampuan intelegensi dan
pengalaman pribadi anak. Meskipun pengetahuan yang ada di dalam diri anak tidak
mendapatkan banyak rangsangan, anak akan tetap dapat mempelajarinya.

Anak tidak sekedar meniru bahasa yang dia dengarkan, tapi ia juga mampu menarik kesimpulan
dari pola yang ada. Hal ini dkarenakan anak memiliki alat penguasaan bahasa (language
acquisition device) dan mampu mendeteksi kategori bahasa tertentu.

Teori Behavioristik

Selanjutnya, teori behavioristik lebih mengedepankan peran perlakukan lingkungan setelah anak
dilahirkan. Ketika dilahirkan, anak tidak memiliki kemampuan apapun. Belajar bahasa harus
dengan pengkondisian lingkungan, proses imitasi dan diberikan penguatan.

23
Dengan demikian, pengkondisian lingkungan menjadi sebuah faktor yang sangat kritis karena
lingkunganlah yang perlu memberikan pengaturan pada stimulus dan konsekuensi yang
ditimbulkannya. Jika stimulasi bahasa yang diberikan kepada anak baik maka konsekuensi atau
hasil yang akan didapatkan oleh anak juga akan baik.

Teori Konstruktivisme

Berbeda dengan kedua teori sebelumnya, teori konstruktivisme memandang bahwa ketika anak
memperlajari bahasa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi, diantaranya: peran aktif anak
terhadap lingkungan, cara anak memproses suatu informasi, dan menyimpulkan struktur bahasa.
Melalui proses interaksi dengan orang lain, maka pengetahuan, nilai dan sikap anak akan
berkembang.

Teori Perkembangan Bahasa Anak Usia Dini (PAUD) - PAUD JATENG.mhtml

Menyimak Bahasa Oral Menyimak

Bahasa Reseptif Bahasa Ekspesif

Bahasa Tulisan
Menyimak Menyimak

BAB III

KESIMPULAN

Psikoanalisis adalah salah satu aliran psikologi yang fokus penelitiannya adalah kepada
peran penting dari ketidaksadaran beserta insting-insting seks yang ada didalamnya dalam
pengaturan tingkah laku.

Sigmund Freud mengidentifikasi tiga tingkatan dalam kehidupan mental yaitu: Alam Tidak
Sadar, Alam Bawah Sadar, Alam Sadar. Tahap perkembangan Psikoseksual menurut Freud
adalah: Tahap Oral, Tahap Anal, Tahap Phallic, Tahap laten, Tahap Genital

Menurut teori kognitivisme, yang paling utama harus dicapai adalah perkembangan kognitif,
barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa.

24
Teori humanistik dalam pembelajaran adalah memanusiakan manusia, di mana seorang individu
dapat menggali kemampuanya sendiri untuk di terapkan dalam lingkungannya.

Secara umum , anak usia dini memiliki karakteristik seperti: unik, egosentris, aktif dan energik,
rasa ingin yang kuat dan antusias terhadap banyak hal, eksploratif dan berjiwa petualang,
spontan, senang dan kaya akan fantasi, masih mudah frustasi,masih kurang mempertimbangkan
dalam melakukan sesuatu, daya perhatian pendek, bergairah untuk belajar dan banyak belajar
dari pengalaman dan semakin menunjukan minat  terhadap teman .

Bahasa merupakan bagian penting dalam kehidupan. Dengan adanya bahasa, satu individu
dengan individu lain akan saling terhubungkan melalui proses berbahasa. bahasa sebagai alat
penghubung atau komunikasi antar anggota masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang
menyatakan pikiran, perasaan dan keinginannya.

DAFTAR PUSTAKA

ZAHRATUL WAHDATI_ Teori-Teori Pemerolehan Bahasa.mhtml

Teori Belajar Behavioristik - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.mhtml

TEORI PEMEROLEHAN BAHASA (LANGUAGE ACQUISITION).mhtml

Baradja,   M.F.   1986.   Pemerolehan    Bahasa   Pertama.   Buku   Pegangan

Karakteristik Perkembangan Anak Usia Dini - Kompasiana.com.mhtml

25

Anda mungkin juga menyukai