ESO
Hipotensi, batuk kering, ruam
kulit(Team Medical Mini notes,
2017)
Analisis
Pemberian captopril sudah tepat
untuk pasien. Captopril merupakan
obat golongan ACEi yang menjadi
first line terapi hipertensi. Akan
tetapi, dosis dan aturan pakai
captopril diganti menjadi 2 x 25
mg/hari (sebelum makan, pada
pagi dan siang hari). Alasannya
yaitu untuk meningkatkan
kepatuhan pasien dalam minum
obat, karena bisa saja pasien
tekanan darahnya tidak terkontrol
karena sering lupa minum obat
(pasien sudah lansia). Dosis
disarankan untuk tidak dinaikkan
dulu, karena pasien sudah lansia
(risiko hipotensi). Pasien juga
konsumsi obat untuk BPH (alpha
blocker dan furosemide) yang
dapat menurunkan tekanan darah.
Selain itu, pasien juga
mengkonsumsi obat golongan
NSAID (Na-diclofenac) yang
dapat meningkatkan tekanan darah.
Disarankan penggantian Na-
diclofenac menjadi obat yang lebih
aman untuk pasien.
Target TD pasien < 140/90 mmHg
(JNC 8, 2014)
Analisis:
Natrium diclofenac merupakan
salah satu obat yang banyak
digunakan untuk osteoarthritis.
Tetapi, untuk pasien yang sudah
lansia (76 tahun), penggunaan Na-
diclofenac oral dapat
meningkatkan risiko dispepsia
(Dipiro, 2015). Selain itu, obat
golongan NSAID menyebabkan
vasokonstriksi sehingga dapat
meningkatkan tekanan darah,
padahal pasien memiliki penyakit
hipertensi. Atas dasar
pertimbangan tersebut, disarankan
Na-diclofenac oral diganti dengan
Na-diclofenac topikal yang
memiliki efek sistemik lebih
rendah daripada pemberian secara
oral (Dipiro, 2015).
ESO
● Terazosine: hipotensi, hidung
tersumbat, Sakit kepala ringan,
Palpitasi dan mual
(Medscape,2019)
● Dutaseride: ortostatis,
gangguan ejakulasi dan
impoten (MEdscape, 2019)
● Furosemide : Hipotensi,
hiponatremia, hipokalemia,
hipokalsemia, dan
hipourisemia, meningkatkan
LDL kolesterol dan
menurunkan HDL (Medscape,
2019).
Analisis:
Kombinasi penggunaan terazosine
dan dutaseride dinilai sudah tepat
untuk pasien dengan BPH.
Kombinasi kedua obat merupakan
kombinasi yang bersifat sinergis
(Kim et al, 2017). Dosis yang
disarankan: Teraszosine (Hytrin): 1
mg/hari sebelum tidur; Dutaseride
500 mcg/hari; furosemide 20
mg/hari. Terapi dengan dutaseride
harus dimonitoring/assessment
ulang tiap 6 bulan sekali (BNF,
2018)
Pasien dengan BPH salah satu
gejala yang timbul adalah
gangguan dalam buang air kecil,
diantaranya kesulitan buang air
kecil, atau nocturnal polyuria.
Pemberian furosemide dinilai
sudah tepat untuk pasien, karena
dapat membantu melancarkan
pengeluaran urine, dan apabila
dikonsumsi pada sore hari
diharapkan dapat menyebabkan
diuresis di sore hari, sehingga
malam harinya pasien tidak
mengalami nocturnal polyuria
(Kirby, 2013).
ESO:
Urdafalk: mual, muntah, diare,dan
ruam kulit
(PIONAS, 2019).
Analisis:
Pemberian asam ursodeoxycholic
dinilai sudah tepat untuk pasien,
karena dapat mengurangi kadar
transaminase hepar dan
memperbaiki fibrosis pada hepar.
Selain itu, asam ursodeoxycholic
dapat ditoleransi dengan baik oleh
pasien tanpa efek samping yang
signifikan(Beaton and Al-Judaebi,
2016).Selain itu, pasien disarankan
untuk mengurangi makanan
berlemak tinggi untuk mengurangi
perburukan perlemakan hati, dan
disarankan untuk pemeriksaan
ALT, AST serta biopsy liver.
Analisis:
Pemberian allopurinol untuk terapi
hiperurisemia dinilai sudah tepat.
Pasien mengaku sering konsumsi
hati ayam dan kambing setiap hari.
kedua makanan tersebut tinggi
purin, sehingga kondisi
hiperurisemia nya bisa saja
disebabkan karena kebiasaan
makan tersebut. Disarankan pasien
untuk tidak mengkonsumsi
makanan tersebut, dan 1 bulan
kemudian dilakukan pemeriksaan
kadar asam urat. Jika sudah
normal, disarankan dosis
allopurinol diturunkan menjadi 100
mg 1x1, dengan pertimbangan
pasien sudah berusia lanjut dan
memiliki gangguan hepar.
Penggunaan allopurinol bersamaan
dengan captopril harus
dimonitoring WBC pasien secara
teratur karena berisiko mengalami
ESO leukopenia, neutropenia, dan
reaksi anafilaksis (Baxter and
Sharp, 2010).
ESO:
● Ranitidine : sakit kepala,
diare, mual, muntah dan
nyeri perut (Team Medical
Mini notes, 2017)
● Antasida : gangguan
saluran cerna (Team
Medical Mini notes, 2017)
ESO :
● Haloperidol : gejala
ektrapiramidal, hipotermia,
mengantuk, depresi dan
hipotensi ortostatik (Team
Medical Mini notes, 2017)
● Diazepam : mengantuk,
kelemahan otot, amnesia,
gangguan mental,
gangguan penglihatan,
hipotensi, ruam, dan
gangguan saluran cerna
(Team Medical Mini notes,
2017)
Analisis :
Terjadi interaksi melalui
mekanisme farmakodinamik
dengan efek sinergisme.
Penggunaan bersamaan haloperidol
dengan diazepam menyebabkan
meningkatkan efek sedasi saat
ansiolitik dan hipnotik diberikan
bersamaan dengan antipsikotik.
Kombinasi ini menyebabkan
peningkatan konsentrasi plasma
haloperidol (Manggalawati, 2016).
PLAN
1. Diberikan obat dengan aturan pakai sebagai berikut:
● Captopril 25 mg 2x1, sebelum makan pagi dan siang hari
● Alendronate 10 mg 1x1, setelah bangun pagi (belum makan apapun), diminum
dengan kurang lebih 2 gelas air, setelah minum duduk atau berdiri tegak
selama 30 menit.
● Suplemen Vitamin D 800 unit, 1x1 diminum pagi hari.
● Furosemide, 10 mg 2x1, sesudah makan pada pagi dan sore hari.
● Na-diclofenac 1% topikal, dioleskan pada lutut yang nyeri 3x sehari.
● Allopurinol 100 mg, 3x1 diminum setelah makan.
● Hytrin 1 mg, 1x1 sebelum tidur
● Avodart, 500 mcg 1x1, diminum siang hari setelah makan.
● Atorvastatin 40 mg, 1x1 diminum pagi hari pada jam yang sama tiap hari
setelah makan.
● Ranitidine, 3x1 diminum sebelum makan.
● Haloperidol diberikan dengan dosis oral 0,5 – 1,5 mg, dua kali pemberian per
hari, dengan dosis tambahan setiap 4 jam sesuai kebutuhan, efek puncaknya 4
– 6 jam (Umasangadji, 2018)
2. Keluarga pasien diminta datang dan dijelaskan mengenai penyakit serta terapi yang
diterima pasien, terutama karena pasien terindikasi mengalami depresi/stress berat dan
sudah lansia, sehingga dikhawatirkan sering lupa minum obat. Anggota keluarga
diharapkan dapat memantau dan membantu pasien dalam mengingat jadwal minum
obat.
3. Pasien menerima obat yang cukup banyak, oleh karena itu, disarankan untuk
membantu pasien/keluarga mengingat jadwal minum obat dengan membuat pill box
(obat yang diminum pagi/siang/sore disimpan dalam kotak yang berbeda, beserta
aturan minumnya), sehingga diharapkan dapat meningkatkan outcome pasien.
4. Menyarankan pasien menjalani pemeriksaan lanjutan: Total blood count, elektrolit
darah, Gula darah, ALT dan AST, fungsi ginjal (kreatinin serum, pemeriksaan urine),
pemeriksaan prostate, serta biopsy hepar.
5. Meminta pasien untuk rajin check up untuk memantau kondisinya
6. Menyarankan pasien untuk melakukan lifestyle changes.
7. Terapi Non Farmakologi:
● Mengurangi makan hati ayam dan kambing yang digoreng dengan mentega
dan telur, karena tinggi lemak dan purin (biasanya setiap hari, jadi 1 minggu
sekali)
● Memperbanyak makan sayur dan buah
● minum air putih secukupnya
● Kurangi makanan tinggi lemak dan purin
● Meminta anggota keluarga untuk lebih memperhatikan dan menemani pasien
supaya tidak kesepian
● Istirahat yang cukup
● Menghindari minuman beralkohol
● Rutin berolahraga ringan, seperti jalan 30 menit setiap hari, bisa disesuiakan
dengan kondisi pasien
● Mengurangi berat badan, karena pasien sudah mengalami obesitas
KIE
1. Diberitahukan kegunaan dan aturan minum obat pada pasien yang didampingi
keluarganya
2. Diberitahukan mengenai ESO yang mungkin muncul dan cara penanganannya.
3. Menginformasikan cara penyimpanan obat, dan menjelaskan penggunaan pill box.
4. Meminta pasien untuk datang 2 minggu/1 bulan lagi untuk memeriksakan kondisinya.
5. Pasien diminta mengubah pola makannya dan dijelaskan mengenai penyakit yang
mungkin dialami.
6. Meminta pasien untuk mengontrol berat badan
Monitoring
1. Outcome pengobatan
2. Efek samping obat yang muncul
3. Tekanan darah pasien
4. Profil lipid
5. Kadar gula darah (stress, obesitas, fatty liver disease berisiko terhadap resistensi
insulin).
6. Berat badan pasien
7. Elektrolit darah
8. Total blood count
9. Fungsi ginjal (kreatinin serum, dll)
10. Fungsi Hepar (AST, ALT, dll)
11. Keadaan pasien (merasa kesepian)
12. Monitoring interaksi obat
Daftar Pustaka
Royal Pharmaceutical Society. 2018. BNF: British National Formulary. 76th Edition.
Pharmaceutical Press
Dipiro, J.T., Wells, B., Schwinghammer,T., Dipiro,C., 2015. Pharmacotherapy Handbook.
9th Edition.McGraw Hill.
James, P., et al. 2014. 2014 Evidence Based Guideline for the Management of High Blood
Pressure in Adults: Report Form the Panel Members Appointed to the Eight Joint
National Comittee (JNC 8). American Medical Association.
Perhimpunan Dokter Spesialis Jantung dan Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2017.
Panduan Tatalaksana Dislipidemia. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia. Jakarta.
Beaton, M., and Al-Judaibi., 2016. Is Vitamin E or Ursodeoxycholic Acid a Valid Treatment
Option for Nonalcoholic Fatty Liver Disease in 2016?. Saudi Journal of
Gastroenterology. 22(3): 169-170.
Kristie,N., Lie,J., Wan,C., Cameron,M., Austel,A., Van,K., and Hyun,D., 2018.
Osteoporosis: A Review of Treatment Options. Journal of Pharmacy and
Therapeutics.
Baxter, K., and Sharp, J., 2010. Drug Interaction and Gout Treatment. The Pharmaceutical
Journal
Kim, E., Brockman,J., Andriole,G., 2017. The Use of Alpha-Reductase Inhibitor in the
Treatment of Benign Prostate Hyperplasia. Asian Journal of Urology. Vol.5 : 28-32.
Kirby, R. 2013. Management of Lower Urinary Tract Symptoms in BPH. Journal of
Presciber.
Manggalawati, Pratiwi, 2016. POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIPSIKOTIK PADA
PASIEN SKIZOFRENIA
DEWASA DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT JIWA DAERAH “X”
PERIODE OKTOBER – DESEMBER TAHUN 2015. Skripsi. Universitas Muhamadiyah
Surakarta.
Team Medical Mini Notes, 2017. Basic Pharmacology & Drug Notes Edisi 2017. MMN
Publishing, Makassar.
Umasanggadji, H., 2018. PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TERAPI ANTARA
HALOPERIDOL
DAN OLANZAPIN TERHADAP PERBAIKAN GEJALA KLINIS
DELIRIUM. Tesis. Universitas Hasannudin Makasar.
___________________________________________________________________________
KASUS 2
METODE FARM
F(inding)
A(ssesment)
1. AKI
Dalam kasus ini pasien diberikan ringer laktat 500 ml dan NaCl 0,9 % ditanggal 23,
dan selanjutnya diberikan NaCl 0,9 % 1 liter pada tanggal 24 dan 25 oktober.
Kreatinin pasien pada tanggal 23 oktober 2017 pk. 09.03 (sebelum HD) memiliki nilai
4.19 dimana berdasarkan acuan guideline KDIGO (2012) dinyatakan bahwa nilai
kreatinin 4.19 dinyatakan dalam kondisi AKI Stage 3. Menurut Awdishu (2017), salah
satu penatalaksanaan AKI adalah dengan penggantian cairan (resusitasi). Resusitasi
biasanya menggunakan IV jenis Kristaloid (NaCl 0,9 % dan Ringer Laktat.
Penggunaan kristaloid sangat familiar karena harganya yang murah dibandingkan
koloid. Dalam kasus ini, pasien yang menderita AKI diberikan sodium chloride 0,9 %
sebanyak 1 liter di tanggal 23 dan 24 oktober. Menurut Mane (2017), penggunaan
ringer laktat lebih direkomendasikan untuk pasien AKI daripada NaCl 0,9 %. Hal ini
karena NaCl 0,9 % memiliki efek vasodilatasi dan dapat meningkatkan level serum
potasium dan risiko asidosis. Terjadinya asidosis metabolik meningkatkan keparahan
AKI dan mortalitasnya (Hu, J., 2017). Jadi penggunaan NaCl sebagai resusitasi pada
pasien AKI adalah kurang tepat dan ringer laktat dengan dosis yang sama yakni 500
ml per hari secara IV lebih direkomendasikan (EMC, 2016).
Dalam kasus ini, pasien diberikan tramadol (opioid lemah) dan ketorolac (NSAID)
pada tanggal 23. Kemudian pemberian ketorolac dihentikan, sehingga hanya
diberikan tramadol pada tanggal 24 dan dan 25 oktober. Hal ini tidak sesuai dengan
(Oliveira, et al., 2018) yang menyatakan bahwa, pasien dengan Low Back Pain
direkomendasikan untuk menggunakan NSAID terlebih dahulu sebagai first line, dan
jika tidak ada perbaikan barulah digunakan opioid lemah dalam jangka waktu pendek
sebagai second line. Pengobatan dengan kombinasi antara opioid dan NSAID dapat
menimbulkan kecacatan punggung dan kualitas hidup yang buruk (Licciardone et al.,
2018). Opioid digunakan jika NSAID tidak memberikan outcome yang baik, dan
penggunaan opioid tidak boleh lebih dari 12 minggu (IQWiG, 2006). Rute pemberian
opioid sudah tepat karena pemberian secara IV drip memiliki bioavailabilitas yang
lebih tinggi daripada pemberian secara oral dan lebih aman (Kelly et al., 2014;
Mortelmans et al., 2006). Dalam kasus ini, dosis tramadol yang diberikan sebesar
2000 mg per hari. Ini melebihi batas yang ditentukan. Menurut Smith H (2009) dosis
maksimum untuk penderita gangguan ginjal adalah 200 mg per hari.
Adapun salah satu tujuan pemberian vitamin B12 pada pasien ini adalah untuk
mengurangi nyeri punggung bawah / LBP dan kecacatan terkait pada pasien (Mauro
et al., 2000). Pemberian vitamin B12 (kobalamin) dilakukan melalui IM dan bukan
IV. Pemberian vitamin B12 secara IM lebih direkomendasikan karena pemberian
secara IV akan diekskresikan lebih cepat. Pemberian vitamin B12 secara oral memang
memiliki efikasi yang sama dengan pemberian secara IM, tapi kebanyakan tenaga
kesehatan lebih memilih pemberian secara IM, karena keraguan mereka terhadap
pemberian secara oral (Alaball et al., 2016). Adapun dosis vitamin B12 untuk Low
Back Pain adalah 30 mcg per hari selama 5 - 10 hari sebagai initial dose, dan 200
mcg per bulan sebagai maintenance dose (Medscape, 2019). Pemberian Vitamin B12
dalam dosis tinggi pada umumnya aman (Mauro et al., 2000). Apa yang terjadi pada
kasus ini, adalah tidak sesuai karena vitamin B12 diberikan secara IV dengan dosis
yang sangat besar/overdose 1000 mcg (2 ampul) per hari. Pemberian vitamin B12
overdose dapat menyebabkan efek toksi goiter (penyakit plummer), insufisiensi
thyroxine (dapat menyebabkan hipotiroidisme) dan dapat menyebabkan kematian
(Rydon, R., 2016).
3. Sepsis
Pasien ini memiliki kadar leukosit yang tinggi di tanggal 23 oktober yakni sebesar
29,27 103/UL. Tingginya kadar leukosit menjadi salah satu indikasi terjadinya sepsis
(Davey P., 2002). Sepsis merupakan respons inflamasi sistemik yang disebabkan oleh
infeksi (Nasronudin, 2011). Patofisiologi AKI - septik masih kurang dipahami, tapi
pengobatannya didasarkan pada pengobatan sepsi dan resusitasi dini (Bellomor et al.,
2017). Pengobatan sepsis dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik sefalosporin
generasi kedua atau ketiga (Davey P., 2002; Polat et al., 2017). Pemberian
cefoperazone (sefalosporin generasi ketiga) kepada pasien dengan dosis 1 gram per 12
jam secara IV sudah tepat. Ini sesuai dengan pendapat Bailey et al., (1981) yang
menyatakan bahwa cefoperazone dengan dosis 1 - 2 gram dua kali sehari selama 5
hingga 10 hari dapat secara efektif mengatasi infeksi wide spectrum termasuk
gangguan fungsi ginjal (AKI - septik). Selain dengan antibiotik, pemberian cairan
secara intravena sebagai resusitasi dini juga diperlukan. Pemberian resusitasi
merupakan hal yang penting tapi tidak boleh berlebih (Poston and Koyner, 2019).
Sepsis biasanya disertai dengan demam. Pada kasus ini, pasien diberikan
acetaminophen 1000 mg/12 jam IV di tanggal 23, 24, dan 25 oktober dengan tujuan
untuk mengatasi demam. Hal ini tidak tepat, karena pemberian antipiretik untuk
mengatasi demam pada sepsis tidak memiliki keuntungan signifikan dan malah dapat
membahayakan karena dapat menyebabkan disfungsi hati dan nefrotoksisitas (Drewry
et al.,, 2013).
Salah satu fungsi pemberian vitamin B12 dosis tinggi adalah untuk mengatasi sepsis
dan sakit kritis lainnya, dengan keefektifan yang tinggi (Manzanares and Hardy,
2010; Wheatly C., 2006). Dosis pemberian vitamin B12
Terjadinya lemas (fatigue) dan nyeri tungkai (ataxia) pada pasien karena terjadi
defisiensi Vitamin B12. Menurut Ankar and Kumar, (2019), defisiensi vitamin B12
salah satu penyebabnya adalah kurangnya pasokan vitamin B12 dan dapat
menyebabkan fatigue dan ataxia. Selain fatigue dan ataxia, defisiensi vitamin B12
juga dapat menyebabkan gangguan panik atau gelisah (Tufan et al., 2012). Pasien
menderita defisiensi vitamin B12 karena bermeditasi selama beberapa waktu di gua
kecil. Defisiensi vitamin B12 dapat dilihat melalui salah satunya neutrofil (Ankar and
Kumar, 2019). Pada pasien terjadi peningkatan jumlah neutrofil ditanggal 23 oktober,
dengan nilai sebesar 92,4. Pengatasan defisiensi vitamin B12 adalah dengan memberi
vitamin B12 sejumlah 30 mcg per hari selama 5 - 10 hari sebagai initial dose, dan 200
mcg per bulan sebagai maintenance dose (Medscape, 2019).
5. Dehidrasi
Pasien dicurigai mengalami dehidrasi level moderate. Level dehidrasi seseorang dapat
dinilai dari level hemoglobin - hematocrit. Hubungan antara Hct dan Hb adalah Hct =
3 x Hb. jika Hct < 3 x Hb maka pasien mengalami overdehidrasi, sedangkan jika Hct
> 3 x Hb maka pasien mengalami dehidrasi (Hayuanta, 2016). Pada kasus ini, pasien
mengalami dehidrasi karena memiliki nilai 55,4 > 3 x 18,3. Menurut Mahajan et al.,
(2012), pasien yang mengalami dehidrasi dapat diberikan ringer laktat atau sodium
chloride 0,9 %, karena memiliki efikasi yang hampir serupa. Penelitian lanjutan
menurut Cieza et al., 2013 menyatakan bahwa ringer laktat memiliki efikasi yang
lebih baik daripada sodium chloride dalam dehidrasi maupun resusitasi. Dalam kasus
ini, pemberian ringer laktat di tanggal 23 oktober sudah tepat.
6. Hipoglikemia
Nilai glukosa darah normal adalah 60 - 110 mg/dL dan glukosa darah serum 70 - 110
mg/dL. Ketika kadar gula darah lebih besar dari 180 mg/dL dapat terjadi glukosuria
(gula dalam urin). Peningkatan kadar gula darah bertindak sebagai diuretik osmotik
menyebabkan poliuria. Bila gula darah tetap meninggi (>200 mg/dL) terjadi diabetes
melitus (Kee J.L. and Hayes E.R., 1994). Adapun pasien dalam kasus ini,
kemungkinan mengalami hypoglikemia karena bersemedi selama beberapa hari. Ini
merupakan alasan pemberian Asering (dextrosa). Menurut Moore and Woollard
(2005), dextrosa 10% dalam alikuot 5 gram, (50 ml) dapat mengatasi hipoglikemia
pada orang dewasa.
7. Mual
Pasien diberikan terapi Tramadol yang merupakan golongan opioid pada tanggal 24
oktober, pemberian tramadol ditujukan untuk terapi Low Back Pain pasien,
bersamaan dengan itu pasien juga diberikan terapi Ondansetron pada tanggal 24
oktober. Menurut Smith et al (2012) mual dan muntah adalah efek yang diinduksi
opioid yang diketahui memiliki komponen perifer dan sentral. Mekanisme yang
terlibat dalam mual sangat kompleks. Opioid dosis rendah mengaktifkan reseptor
opioid di chemoreceptor trigger zone (CTZ), sehingga merangsang muntah.
Komponen vestibular memberikan input langsung ke pusat muntah melalui jalur
Histamine H1 dan cholinergic (AchM). Menurut Smith et al (2012) ada beberapa
reseptor yang dapat berkontribusi terhadap mual / muntah. Beberapa reseptor
“emetogenik” yang telah diusulkan salah satunya yaitu reseptor 5-hydroxytryptamine
(serotonin) (5-HT3) salah satu obatnya yaitu ondansetron. Pemberian dosis pada
ondansetron sudah tepat untuk mengatasi efek samping mual dan muntah yaitu 4mg
setiap 12 jam atau 2 kali sehari secara IV. Karena menurut jurnal American Family
Physician (2006) ondansetron dapat diberikan 4 mg secara oral atau IV dua sampai 4
kali sehari untuk mengatasi mual karena efek samping opioid.
R(esolution)
1. Penggunaan NaCl 0,9 % untuk resusitasi pada AKI harus dihentikan dan diganti
dengan Ringer Laktat dengan dosis 500 ml per hari secara IV. Pemberhentian RRT
(Renal Replacement Therapy) dapat dilakukan jika fungsi ginjal telah kembali ke titik
yang cukup (dapat dilihat dari nilai GFR) dan karena RRT tidak lagi dapat memenuhi
tujuan perawatan lagi
2. Low Back Pain
a) Penggunaan tramadol (opioid lemah) tetap dilanjutkan untuk mengatasi LBP
pasien dengan catatan tidak boleh digunakan lebih dari 12 minggu. Adapun
dosis tramadol yang direkomendasikan adalah 50 mg per hari (Medscape,
2019).
b) Pemberian vitamin B12 dengan dosis 2 ampul (1000 mcg) sehari secara IV
harus dihentikan dan digantikan dengan pemberian vitamin B12 dengan dosis
30 mcg per hari secara IM hingga level vitamin B12 dalam tubuh seimbang
(masa pemberian 5-10 hari), kemudian dilanjutkan dengan maintenance dose
sebesar 200 mcg per bulan
3. Sepsis
a) Pemberian cefoperazone 1 gram setiap 12 jam secara IV tetap dilanjutkan
hingga 5 - 10 hari kedepan
b) Pemberian vitamin B12 dengan dosis 2 ampul (1000 mcg) sehari secara IV
harus dihentikan dan digantikan dengan pemberian vitamin B12 dengan dosis
30 mcg per hari secara IM hingga level vitamin B12 dalam tubuh seimbang
(masa pemberian 5-10 hari), kemudian dilanjutkan dengan maintenance dose
sebesar 200 mcg per bulan
c) Pemberian acetaminophen 1000 mg setiap 12 jam secara IV dapat dihentikan
karena tidak berdampak signifikan dan malah bisa membahayakan
4. Lemas, nyeri tungkai dan gelisah
a) Pemberian vitamin B12 dengan dosis 2 ampul (1000 mcg) sehari secara IV
harus dihentikan dan digantikan dengan pemberian vitamin B12 dengan dosis
30 mcg per hari secara IM hingga level vitamin B12 dalam tubuh seimbang
(masa pemberian 5-10 hari), kemudian dilanjutkan dengan maintenance dose
sebesar 200 mcg per bulan.
5. Dehidrasi
Pemberian ringer laktat pada tanggal 23 oktober untuk mengatasi dehidrasi sudah
tepat.
6. Hipoglikemia
7. Mual
M(onitoring)
1. Natrium, kalium, GFR
2. Konsistensi tinja
3. Kadar leukosit
4. Memantau keluhan nyeri tungkai pasien dengan Pain Scale dan kadar neutrofil
5. Hemoglobin dan hematokrit
6. Kadar gula darah pasien
7.
KIE
Kepada bapak S, dalam pengobatan ini bapak mungkin akan mengalami perasaan mual dan
sakit kepala, yang merupakan efek samping dari pengobatan, namun bapak tidak perlu
khawatir karena kejadian ini belum tentu terjadi pada semua orang. Jika boleh saya sarankan,
bapak diharapkan melakukan fisioterapi atau olahraga ringan untuk peregangan otot
punggung, bisa dengan cara berenang atau bersepeda selama 30 menit, yoga, taichi, latihan
kontrol motorik, mengurangi stress pikiran (Adityawarman, 2017). Saya harap, kondisi bapak
segera membaik.
Daftar Pustaka
Alaball et al., 2016. Oral vitamin B12 versus intramuscular vitamin B12 for vitamin B12
deficiency. CIHR IRSC, (3)
Bailey et al., 1981. Cefoperazone in the treatment of severe or complicated infections. Drugs,
22 (1) : 76-86.
Bellomor et al., 2017. Acute Kidney Injury. Intensive Care Med, 43 (46) : 816 - 828
Hu, J., 2017. Metabolic acidosis as a risk factor for the development of acute kidney injury
and hospital mortality. EXPERIMENTAL AND THERAPEUTIC MEDICINE, 13:
2362-2374
IQWiG, 2006. Low back pain: What role does medication play in the treatment of non-
specific back pain?
Kee J.L. and Hayes E.R., 1994. Pendekatan Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan.
Mauro et al., 2000. Vitamin B12 in Low Back Pain: a randomised, double-blind, placebo-
controlled study. Eur Rev Med Pharmacol Sci, 4(3): 53-8
Adityawarnan, A., 2017. Tatalaksana LBP terbaru menurut American College of Physicians.
[online] https://today.mims.com/tatalaksana-lbp-terbaru-menurut-american-college-of
-physicians. diakses pada tanggal 9 November 2019 pukul 17.23.
Moore and Woollard, 2005. Dextrose 10% or 50% in the treatment of hypoglycaemia out of
hospital? A randomised controlled trial. Emergency Medicine Journal, 22(7):512-515
Mortelmans et al., 2006. Use of tramadol drip in controlling renal colic pain.
Poston and Koyner, 2019. Sepsis associated acute kidney injury. BMJ, 1:1-17
Rydon, R., 2016. Profiles of The Nutrients 3. Water-Soluble and Fat-Soluble Vitamins.
Smith H et al., 2012. Opioid Induced Nausea and Vomiting. Ann Palliat Med. Vol.1(2). p.
122-126.
Tufan et al., 2012. Mood disorder with mixed, psychotic features due to vitamin b12
deficiency in an adolescent:case report. BioMed Central, 6(25):1-5
Manzanares and Hardy, 2010. Vitamin B12: the forgotten micronutrient for critical care.
Curr Opin Nutr Metab Care, 13(6):662-8
Wheatly C., 2006. A scarlet pimpernel for the resolution of inflammation? The role of supra-
therapeutic doses of cobalamin, in the treatment of systemic inflammatory response
syndrome (SIRS), sepsis, severe sepsis, and septic or traumatic shock. Medical
Hypotheses, 67:124-142