Anda di halaman 1dari 25

Kasus 1 hi..

Problem Medis S/O Terapi yang Analisis Terapi


Diberikan

Hipertensi Objective: ● Captopril 3 x Mekanisme obat:


Td= 170/110 mmHg 25 mg Menghambat Angiotensin-
Diagnosis Hipertensi Converting Enzym yang mengubah
Angiotensin I menjadi Angiotensin
II sehingga terjadi vasodilatasi dan
penurunan sekresi aldosterone
(Team Medical Mini notes, 2017)

ESO
Hipotensi, batuk kering, ruam
kulit(Team Medical Mini notes,
2017)

Analisis
Pemberian captopril sudah tepat
untuk pasien. Captopril merupakan
obat golongan ACEi yang menjadi
first line terapi hipertensi. Akan
tetapi, dosis dan aturan pakai
captopril diganti menjadi 2 x 25
mg/hari (sebelum makan, pada
pagi dan siang hari). Alasannya
yaitu untuk meningkatkan
kepatuhan pasien dalam minum
obat, karena bisa saja pasien
tekanan darahnya tidak terkontrol
karena sering lupa minum obat
(pasien sudah lansia). Dosis
disarankan untuk tidak dinaikkan
dulu, karena pasien sudah lansia
(risiko hipotensi). Pasien juga
konsumsi obat untuk BPH (alpha
blocker dan furosemide) yang
dapat menurunkan tekanan darah.
Selain itu, pasien juga
mengkonsumsi obat golongan
NSAID (Na-diclofenac) yang
dapat meningkatkan tekanan darah.
Disarankan penggantian Na-
diclofenac menjadi obat yang lebih
aman untuk pasien.
Target TD pasien < 140/90 mmHg
(JNC 8, 2014)

Osteoporosis diagnosis Alendronat 2x1 Mekanisme obat :


osteoporosis saat akan tidur Alendronat : Merupakan obat
dan bangun tidur golongan bifosfonat yang memiliki
afinitas ikatan tinggi dengan
matriks mineral tulang dan
menghambat aksi osteoklast pada
tulang, sehingga mengurangi
hilangnya massa tulang (Kristie et
al, 2018).

Dosis: 10 mg/hari atau 70


mg/minggu PO untuk osteoporosis

ESO: Hipokalsemia dan nyeri


perut

Alendronate merupakan salah satu


agen first line therapy untuk
osteoporosis. Pemberian
alendronate pada pasien dinilai
sudah tepat. Akan tetapi, pasien
mengalami dispepsia yang bisa
saja diakibatkan oleh penggunaan
alendronate. Untuk meminimalisir
risiko dispepsia, pasien harus
diedukasi mengenai cara minum
yang tepat, yaitu: Diminum pagi
hari sebelum konsumsi makanan
atau obat apapun, dengan kurang
lebih 2 gelas air putih (jangan kopi,
teh, atau jus). Setelah minum
alendronate, pasien harus berada
dalam posisi tegak (duduk/berdiri)
selama 30 menit untuk
menghindari risiko esophageal
ulcer atau gastric ulcer. Selain itu,
disarankan pula dosis obat
diturunkan menjadi 10 mg 1x1 tiap
pagi hari, dan diberikan suplemen
Vitamin D 800 units per hari, dan
disarankan banyak makan
makanan yang tinggi kalsium
(Dipiro, 2015).

Osteoathritis diagnosis Na diklofenak 50 Mekanisme obat :


pada kedua lutut osteoathritisi mg 3x1 Na diklofenac : menghambat
enzim COX 1 dan 2. selain itu juga
menghambat pembentukan
prostaglandin (Medscape, 2019).

Dosis: 50 mg PO tiap 8 jam atau


75 mg PO tiap 12 jam

ESO: Diare, konstipasi dan nyeri


perut

Analisis:
Natrium diclofenac merupakan
salah satu obat yang banyak
digunakan untuk osteoarthritis.
Tetapi, untuk pasien yang sudah
lansia (76 tahun), penggunaan Na-
diclofenac oral dapat
meningkatkan risiko dispepsia
(Dipiro, 2015). Selain itu, obat
golongan NSAID menyebabkan
vasokonstriksi sehingga dapat
meningkatkan tekanan darah,
padahal pasien memiliki penyakit
hipertensi. Atas dasar
pertimbangan tersebut, disarankan
Na-diclofenac oral diganti dengan
Na-diclofenac topikal yang
memiliki efek sistemik lebih
rendah daripada pemberian secara
oral (Dipiro, 2015).

Benign Prostate Objective: Hytrin 2x2 Mekanisme:


Hyperplasia Diagnosis dokter ● Hytrin (Terasozine)
Avodart 2x1
Merupakan golongan alpha-

Furosemide 1-0-1 blocker yang bekerja dengan


memblok reseptor apha1-
adrenergik di jaringan
prostate, sehingga
menyebabkan relaksasi otot
prostate, kandung kemih, dan
urethra (Dipiro, 2015). Dosis :
0,5 mg po 1x1.
● Avodart (dutaseride)
merupakan golongan alpha
reductase inhibitor yang
memblok enzim 5a-reductase,
memblok dihydrotestosterone
pada reseptor intraselularnya,
sehingga menghambat efek
stimulasi dari testosterone
(Dipiro, 2015). Dosis: 1 kapsul
PO 30 menit setelah makan
yang sama sekali sehari.
● Furosemide: Menghambat
reabsorbsi dari Natrium dan
Klorida di bagian lengkung
henle ascending dan tubulus
distal ginjal, meningkatkan
ekskresi air, natrium, klorida,
magnesium dan kalsium (DIH,
2009). Dosis: 20-40 mg/hari
(BNF, 2018).

ESO
● Terazosine: hipotensi, hidung
tersumbat, Sakit kepala ringan,
Palpitasi dan mual
(Medscape,2019)
● Dutaseride: ortostatis,
gangguan ejakulasi dan
impoten (MEdscape, 2019)
● Furosemide : Hipotensi,
hiponatremia, hipokalemia,
hipokalsemia, dan
hipourisemia, meningkatkan
LDL kolesterol dan
menurunkan HDL (Medscape,
2019).

Analisis:
Kombinasi penggunaan terazosine
dan dutaseride dinilai sudah tepat
untuk pasien dengan BPH.
Kombinasi kedua obat merupakan
kombinasi yang bersifat sinergis
(Kim et al, 2017). Dosis yang
disarankan: Teraszosine (Hytrin): 1
mg/hari sebelum tidur; Dutaseride
500 mcg/hari; furosemide 20
mg/hari. Terapi dengan dutaseride
harus dimonitoring/assessment
ulang tiap 6 bulan sekali (BNF,
2018)
Pasien dengan BPH salah satu
gejala yang timbul adalah
gangguan dalam buang air kecil,
diantaranya kesulitan buang air
kecil, atau nocturnal polyuria.
Pemberian furosemide dinilai
sudah tepat untuk pasien, karena
dapat membantu melancarkan
pengeluaran urine, dan apabila
dikonsumsi pada sore hari
diharapkan dapat menyebabkan
diuresis di sore hari, sehingga
malam harinya pasien tidak
mengalami nocturnal polyuria
(Kirby, 2013).

Dislipidemia Objective: Simvastatin 2x1 Mekanisme Kerja


Hasil pemeriksaan Gemfibrozil 2x1 ● Obat golongan statin bekerja
lab sbb: dengan menghambat HMG-
● TC= 335 mg/dl CoA reductase yang berperan
● TG= 345 mg/dl dalam sintesis kolesterol (DIH,
● LDL= 200 2009)
mg/dl ● Gemfibrozil merupakan obat
● HDL= 30 mg/dl golongan fibrat yang
merupakan agonis dari PPAR-
alpha. Melalui reseptor ini,
fibrat menurunkan regulasi
gen apoC-II serta
meningkatkan regulasi gen
apoA-I dan A II.
Berkurangnya sintesis apoC-
III menyebabkan peningkatan
katabolisme TG oleh
lipoprotein lipase,
berkurangnya VLDL, dan
meningkatkan permbersihan
kilomikron (Perki, 2017).
ESO
● Simvastatin: Myalgia,
rhabdomyolisis, nausea
● Gemfibrozil : gangguan
saluran cerna, dispepsia, nyeri
abdomen, diare, lelah, mual-
muntah, dan rhabdomyolisis
Analisis:
Penggunaan obat golongan statin
dan fibrat secara bersamaan dapat
meningkatkan risiko miopati dan
rhabdomyolisis (PERKI, 2017).
Pada pasien, karena
Trigliseridanya belum mencapai
400 mg/dl, maka diutamakan
pemberian statin terlebih dahulu.
Obat golongan statin juga memiliki
efek penurunan trigliserida
(Dipiro, 2015).
Jenis statin yang disarankan adalah
statin high intensity, karena LDL
pasien 200 mg/dl dan usianya 76
tahun), dengan jenis atorvastatin
40-80 mg/dL (PERKI, 2017).

Liver Disease Subjective: Mekanisme Obat:


- Urdafalk 2x1
Riwayat Hepatitis Urdafalk ( ursodeoxycholic acid)
dan perlemakan hati HP pro 3x1 merupakan asam empedu yang
terjadi secara alami; mengurangi
sekresi kolesterol dari hati;
mengurangi reabsorpsi fraksional
kolesterol oleh usus. Dosis: 8-12
mg/kg bb sehari dalam dosis
tunggal menjelang tidur,obat
diminum bersama dengan susu
atau makanan

Hp Pro: suplemen makanan untuk


memelihara kesehatan hati. Dosis1
kapsul 3x1 jika SGPT belum
kembali normal setelah pemakaian
1-2 bulan, dosis ditingkatkan
menjadi 2 kapsul 3x1 selama 6
bulan-1 tahun

ESO:
Urdafalk: mual, muntah, diare,dan
ruam kulit
(PIONAS, 2019).

Analisis:
Pemberian asam ursodeoxycholic
dinilai sudah tepat untuk pasien,
karena dapat mengurangi kadar
transaminase hepar dan
memperbaiki fibrosis pada hepar.
Selain itu, asam ursodeoxycholic
dapat ditoleransi dengan baik oleh
pasien tanpa efek samping yang
signifikan(Beaton and Al-Judaebi,
2016).Selain itu, pasien disarankan
untuk mengurangi makanan
berlemak tinggi untuk mengurangi
perburukan perlemakan hati, dan
disarankan untuk pemeriksaan
ALT, AST serta biopsy liver.

Hiperurisemia Objective: Allopurinol 100 Mekanisme: merupakan Xanthine


Kadar asam urat 9 mg 3x1 oksidase inhibitor, menghambat
mg/dl. konversi hipoksantin menjadi
xantin menjadi asam urat;
mengurangi produksi asam urat
(Dipiro, 2015).
Dosis: 100 mg/hari, maksimal 800
mg/hari (Dipiro, 2015)..

ESO :ruam, mual,gagal ginjal,dan


muntah (Medscape,2019)

Analisis:
Pemberian allopurinol untuk terapi
hiperurisemia dinilai sudah tepat.
Pasien mengaku sering konsumsi
hati ayam dan kambing setiap hari.
kedua makanan tersebut tinggi
purin, sehingga kondisi
hiperurisemia nya bisa saja
disebabkan karena kebiasaan
makan tersebut. Disarankan pasien
untuk tidak mengkonsumsi
makanan tersebut, dan 1 bulan
kemudian dilakukan pemeriksaan
kadar asam urat. Jika sudah
normal, disarankan dosis
allopurinol diturunkan menjadi 100
mg 1x1, dengan pertimbangan
pasien sudah berusia lanjut dan
memiliki gangguan hepar.
Penggunaan allopurinol bersamaan
dengan captopril harus
dimonitoring WBC pasien secara
teratur karena berisiko mengalami
ESO leukopenia, neutropenia, dan
reaksi anafilaksis (Baxter and
Sharp, 2010).

Dispepsia Diagnosis dispepsia Ranitidine Mekanisme:


Antasida ● Ranitidine merupakan obat
golongan antagonis
reseptor H2 yang bekerja
memblok reseptor histamin
pada sel parietal sehingga
sel parietal tidak dapat
dirangsang untuk
mengeluarkan asam
lambung (Team Medical
Mini notes, 2017)
● Antasida bekerja
menetralkan asam lambung
sehingga dapat mengurangi
iritasi mukosa akibat asam
lambung yang berlebih
(Team Medical Mini notes,
2017)

ESO:
● Ranitidine : sakit kepala,
diare, mual, muntah dan
nyeri perut (Team Medical
Mini notes, 2017)
● Antasida : gangguan
saluran cerna (Team
Medical Mini notes, 2017)

Analisis: Pemberian ranitidine


untuk dispepsia dinilai sudah tepat.
Pemberian antasida disarankan
untuk dihentikan, karena antasida
akan menimbulkan banyak
interaksi dengan obat lainnya.

Depresi Merasa kesepian Haloperidol Mekanisme


sehingga stres Diazepam ● Haloperidol
Haloperidol merupakan
obat anti psikosis generasi
1 (APG 1) golongan
Butyrophenone sebagai
Dopamine Receptor
Antagonist. APG 1 ini
bekerja memblokade
dopamin pada reseptor
pasca sinaptik neuron di
otak, khususnya di sistem
limbik dan sistem
ekstrapiramidal sehingga
efektif untuk gejala positif
(Team Medical Mini notes,
2017)
● Diazepam
Diazepam merupakan obat
golongan Benzodiazepin
yang bekerja memodulasi
efek pascasinaps dari
transmisi GABA-A, dan
menghasilkan peningkatan
penghambatan presinaptik.
Bertindak pada bagian dari
sistem limbik, serta pada
thalamus dan hipotalamus,
untuk menginduksi efek
menenangkan (Medscape,
2019)

ESO :
● Haloperidol : gejala
ektrapiramidal, hipotermia,
mengantuk, depresi dan
hipotensi ortostatik (Team
Medical Mini notes, 2017)
● Diazepam : mengantuk,
kelemahan otot, amnesia,
gangguan mental,
gangguan penglihatan,
hipotensi, ruam, dan
gangguan saluran cerna
(Team Medical Mini notes,
2017)

Analisis :
Terjadi interaksi melalui
mekanisme farmakodinamik
dengan efek sinergisme.
Penggunaan bersamaan haloperidol
dengan diazepam menyebabkan
meningkatkan efek sedasi saat
ansiolitik dan hipnotik diberikan
bersamaan dengan antipsikotik.
Kombinasi ini menyebabkan
peningkatan konsentrasi plasma
haloperidol (Manggalawati, 2016).
PLAN
1. Diberikan obat dengan aturan pakai sebagai berikut:
● Captopril 25 mg 2x1, sebelum makan pagi dan siang hari
● Alendronate 10 mg 1x1, setelah bangun pagi (belum makan apapun), diminum
dengan kurang lebih 2 gelas air, setelah minum duduk atau berdiri tegak
selama 30 menit.
● Suplemen Vitamin D 800 unit, 1x1 diminum pagi hari.
● Furosemide, 10 mg 2x1, sesudah makan pada pagi dan sore hari.
● Na-diclofenac 1% topikal, dioleskan pada lutut yang nyeri 3x sehari.
● Allopurinol 100 mg, 3x1 diminum setelah makan.
● Hytrin 1 mg, 1x1 sebelum tidur
● Avodart, 500 mcg 1x1, diminum siang hari setelah makan.
● Atorvastatin 40 mg, 1x1 diminum pagi hari pada jam yang sama tiap hari
setelah makan.
● Ranitidine, 3x1 diminum sebelum makan.
● Haloperidol diberikan dengan dosis oral 0,5 – 1,5 mg, dua kali pemberian per
hari, dengan dosis tambahan setiap 4 jam sesuai kebutuhan, efek puncaknya 4
– 6 jam (Umasangadji, 2018)
2. Keluarga pasien diminta datang dan dijelaskan mengenai penyakit serta terapi yang
diterima pasien, terutama karena pasien terindikasi mengalami depresi/stress berat dan
sudah lansia, sehingga dikhawatirkan sering lupa minum obat. Anggota keluarga
diharapkan dapat memantau dan membantu pasien dalam mengingat jadwal minum
obat.
3. Pasien menerima obat yang cukup banyak, oleh karena itu, disarankan untuk
membantu pasien/keluarga mengingat jadwal minum obat dengan membuat pill box
(obat yang diminum pagi/siang/sore disimpan dalam kotak yang berbeda, beserta
aturan minumnya), sehingga diharapkan dapat meningkatkan outcome pasien.
4. Menyarankan pasien menjalani pemeriksaan lanjutan: Total blood count, elektrolit
darah, Gula darah, ALT dan AST, fungsi ginjal (kreatinin serum, pemeriksaan urine),
pemeriksaan prostate, serta biopsy hepar.
5. Meminta pasien untuk rajin check up untuk memantau kondisinya
6. Menyarankan pasien untuk melakukan lifestyle changes.
7. Terapi Non Farmakologi:
● Mengurangi makan hati ayam dan kambing yang digoreng dengan mentega
dan telur, karena tinggi lemak dan purin (biasanya setiap hari, jadi 1 minggu
sekali)
● Memperbanyak makan sayur dan buah
● minum air putih secukupnya
● Kurangi makanan tinggi lemak dan purin
● Meminta anggota keluarga untuk lebih memperhatikan dan menemani pasien
supaya tidak kesepian
● Istirahat yang cukup
● Menghindari minuman beralkohol
● Rutin berolahraga ringan, seperti jalan 30 menit setiap hari, bisa disesuiakan
dengan kondisi pasien
● Mengurangi berat badan, karena pasien sudah mengalami obesitas

KIE
1. Diberitahukan kegunaan dan aturan minum obat pada pasien yang didampingi
keluarganya
2. Diberitahukan mengenai ESO yang mungkin muncul dan cara penanganannya.
3. Menginformasikan cara penyimpanan obat, dan menjelaskan penggunaan pill box.
4. Meminta pasien untuk datang 2 minggu/1 bulan lagi untuk memeriksakan kondisinya.
5. Pasien diminta mengubah pola makannya dan dijelaskan mengenai penyakit yang
mungkin dialami.
6. Meminta pasien untuk mengontrol berat badan

Monitoring
1. Outcome pengobatan
2. Efek samping obat yang muncul
3. Tekanan darah pasien
4. Profil lipid
5. Kadar gula darah (stress, obesitas, fatty liver disease berisiko terhadap resistensi
insulin).
6. Berat badan pasien
7. Elektrolit darah
8. Total blood count
9. Fungsi ginjal (kreatinin serum, dll)
10. Fungsi Hepar (AST, ALT, dll)
11. Keadaan pasien (merasa kesepian)
12. Monitoring interaksi obat
Daftar Pustaka
Royal Pharmaceutical Society. 2018. BNF: British National Formulary. 76th Edition.
Pharmaceutical Press
Dipiro, J.T., Wells, B., Schwinghammer,T., Dipiro,C., 2015. Pharmacotherapy Handbook.
9th Edition.McGraw Hill.
James, P., et al. 2014. 2014 Evidence Based Guideline for the Management of High Blood
Pressure in Adults: Report Form the Panel Members Appointed to the Eight Joint
National Comittee (JNC 8). American Medical Association.
Perhimpunan Dokter Spesialis Jantung dan Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2017.
Panduan Tatalaksana Dislipidemia. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia. Jakarta.
Beaton, M., and Al-Judaibi., 2016. Is Vitamin E or Ursodeoxycholic Acid a Valid Treatment
Option for Nonalcoholic Fatty Liver Disease in 2016?. Saudi Journal of
Gastroenterology. 22(3): 169-170.
Kristie,N., Lie,J., Wan,C., Cameron,M., Austel,A., Van,K., and Hyun,D., 2018.
Osteoporosis: A Review of Treatment Options. Journal of Pharmacy and
Therapeutics.
Baxter, K., and Sharp, J., 2010. Drug Interaction and Gout Treatment. The Pharmaceutical
Journal
Kim, E., Brockman,J., Andriole,G., 2017. The Use of Alpha-Reductase Inhibitor in the
Treatment of Benign Prostate Hyperplasia. Asian Journal of Urology. Vol.5 : 28-32.
Kirby, R. 2013. Management of Lower Urinary Tract Symptoms in BPH. Journal of
Presciber.
Manggalawati, Pratiwi, 2016. POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIPSIKOTIK PADA
PASIEN SKIZOFRENIA
DEWASA DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT JIWA DAERAH “X”
PERIODE OKTOBER – DESEMBER TAHUN 2015. Skripsi. Universitas Muhamadiyah
Surakarta.
Team Medical Mini Notes, 2017. Basic Pharmacology & Drug Notes Edisi 2017. MMN
Publishing, Makassar.
Umasanggadji, H., 2018. PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TERAPI ANTARA
HALOPERIDOL
DAN OLANZAPIN TERHADAP PERBAIKAN GEJALA KLINIS
DELIRIUM. Tesis. Universitas Hasannudin Makasar.
___________________________________________________________________________
KASUS 2
METODE FARM

F(inding)

● Laki - laki, 58 tahun


● MRS dengan nyeri tungkai kanan dan gelisah
● ± 7 HS MRS pasien tidak makan dan minum (puasa ditempat yang sangat kecil)
● Memiliki riwayat terjatuh dari pohon rambutan dengan posisi terduduk (16 tahun
lalu), terjatuh dari motor (4 tahun lalu)
● Diagnosa : Acute Kidney Injury (AKI) dan Low Back Pain (LBP)

A(ssesment)

1. AKI

Dalam kasus ini pasien diberikan ringer laktat 500 ml dan NaCl 0,9 % ditanggal 23,
dan selanjutnya diberikan NaCl 0,9 % 1 liter pada tanggal 24 dan 25 oktober.
Kreatinin pasien pada tanggal 23 oktober 2017 pk. 09.03 (sebelum HD) memiliki nilai
4.19 dimana berdasarkan acuan guideline KDIGO (2012) dinyatakan bahwa nilai
kreatinin 4.19 dinyatakan dalam kondisi AKI Stage 3. Menurut Awdishu (2017), salah
satu penatalaksanaan AKI adalah dengan penggantian cairan (resusitasi). Resusitasi
biasanya menggunakan IV jenis Kristaloid (NaCl 0,9 % dan Ringer Laktat.
Penggunaan kristaloid sangat familiar karena harganya yang murah dibandingkan
koloid. Dalam kasus ini, pasien yang menderita AKI diberikan sodium chloride 0,9 %
sebanyak 1 liter di tanggal 23 dan 24 oktober. Menurut Mane (2017), penggunaan
ringer laktat lebih direkomendasikan untuk pasien AKI daripada NaCl 0,9 %. Hal ini
karena NaCl 0,9 % memiliki efek vasodilatasi dan dapat meningkatkan level serum
potasium dan risiko asidosis. Terjadinya asidosis metabolik meningkatkan keparahan
AKI dan mortalitasnya (Hu, J., 2017). Jadi penggunaan NaCl sebagai resusitasi pada
pasien AKI adalah kurang tepat dan ringer laktat dengan dosis yang sama yakni 500
ml per hari secara IV lebih direkomendasikan (EMC, 2016).

2. Low Back Pain

Dalam kasus ini, pasien diberikan tramadol (opioid lemah) dan ketorolac (NSAID)
pada tanggal 23. Kemudian pemberian ketorolac dihentikan, sehingga hanya
diberikan tramadol pada tanggal 24 dan dan 25 oktober. Hal ini tidak sesuai dengan
(Oliveira, et al., 2018) yang menyatakan bahwa, pasien dengan Low Back Pain
direkomendasikan untuk menggunakan NSAID terlebih dahulu sebagai first line, dan
jika tidak ada perbaikan barulah digunakan opioid lemah dalam jangka waktu pendek
sebagai second line. Pengobatan dengan kombinasi antara opioid dan NSAID dapat
menimbulkan kecacatan punggung dan kualitas hidup yang buruk (Licciardone et al.,
2018). Opioid digunakan jika NSAID tidak memberikan outcome yang baik, dan
penggunaan opioid tidak boleh lebih dari 12 minggu (IQWiG, 2006). Rute pemberian
opioid sudah tepat karena pemberian secara IV drip memiliki bioavailabilitas yang
lebih tinggi daripada pemberian secara oral dan lebih aman (Kelly et al., 2014;
Mortelmans et al., 2006). Dalam kasus ini, dosis tramadol yang diberikan sebesar
2000 mg per hari. Ini melebihi batas yang ditentukan. Menurut Smith H (2009) dosis
maksimum untuk penderita gangguan ginjal adalah 200 mg per hari.

Adapun salah satu tujuan pemberian vitamin B12 pada pasien ini adalah untuk
mengurangi nyeri punggung bawah / LBP dan kecacatan terkait pada pasien (Mauro
et al., 2000). Pemberian vitamin B12 (kobalamin) dilakukan melalui IM dan bukan
IV. Pemberian vitamin B12 secara IM lebih direkomendasikan karena pemberian
secara IV akan diekskresikan lebih cepat. Pemberian vitamin B12 secara oral memang
memiliki efikasi yang sama dengan pemberian secara IM, tapi kebanyakan tenaga
kesehatan lebih memilih pemberian secara IM, karena keraguan mereka terhadap
pemberian secara oral (Alaball et al., 2016). Adapun dosis vitamin B12 untuk Low
Back Pain adalah 30 mcg per hari selama 5 - 10 hari sebagai initial dose, dan 200
mcg per bulan sebagai maintenance dose (Medscape, 2019). Pemberian Vitamin B12
dalam dosis tinggi pada umumnya aman (Mauro et al., 2000). Apa yang terjadi pada
kasus ini, adalah tidak sesuai karena vitamin B12 diberikan secara IV dengan dosis
yang sangat besar/overdose 1000 mcg (2 ampul) per hari. Pemberian vitamin B12
overdose dapat menyebabkan efek toksi goiter (penyakit plummer), insufisiensi
thyroxine (dapat menyebabkan hipotiroidisme) dan dapat menyebabkan kematian
(Rydon, R., 2016).

3. Sepsis

Pasien ini memiliki kadar leukosit yang tinggi di tanggal 23 oktober yakni sebesar
29,27 103/UL. Tingginya kadar leukosit menjadi salah satu indikasi terjadinya sepsis
(Davey P., 2002). Sepsis merupakan respons inflamasi sistemik yang disebabkan oleh
infeksi (Nasronudin, 2011). Patofisiologi AKI - septik masih kurang dipahami, tapi
pengobatannya didasarkan pada pengobatan sepsi dan resusitasi dini (Bellomor et al.,
2017). Pengobatan sepsis dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik sefalosporin
generasi kedua atau ketiga (Davey P., 2002; Polat et al., 2017). Pemberian
cefoperazone (sefalosporin generasi ketiga) kepada pasien dengan dosis 1 gram per 12
jam secara IV sudah tepat. Ini sesuai dengan pendapat Bailey et al., (1981) yang
menyatakan bahwa cefoperazone dengan dosis 1 - 2 gram dua kali sehari selama 5
hingga 10 hari dapat secara efektif mengatasi infeksi wide spectrum termasuk
gangguan fungsi ginjal (AKI - septik). Selain dengan antibiotik, pemberian cairan
secara intravena sebagai resusitasi dini juga diperlukan. Pemberian resusitasi
merupakan hal yang penting tapi tidak boleh berlebih (Poston and Koyner, 2019).

Sepsis biasanya disertai dengan demam. Pada kasus ini, pasien diberikan
acetaminophen 1000 mg/12 jam IV di tanggal 23, 24, dan 25 oktober dengan tujuan
untuk mengatasi demam. Hal ini tidak tepat, karena pemberian antipiretik untuk
mengatasi demam pada sepsis tidak memiliki keuntungan signifikan dan malah dapat
membahayakan karena dapat menyebabkan disfungsi hati dan nefrotoksisitas (Drewry
et al.,, 2013).

Salah satu fungsi pemberian vitamin B12 dosis tinggi adalah untuk mengatasi sepsis
dan sakit kritis lainnya, dengan keefektifan yang tinggi (Manzanares and Hardy,
2010; Wheatly C., 2006). Dosis pemberian vitamin B12

4. Lemas, nyeri tungkai dan gelisah

Terjadinya lemas (fatigue) dan nyeri tungkai (ataxia) pada pasien karena terjadi
defisiensi Vitamin B12. Menurut Ankar and Kumar, (2019), defisiensi vitamin B12
salah satu penyebabnya adalah kurangnya pasokan vitamin B12 dan dapat
menyebabkan fatigue dan ataxia. Selain fatigue dan ataxia, defisiensi vitamin B12
juga dapat menyebabkan gangguan panik atau gelisah (Tufan et al., 2012). Pasien
menderita defisiensi vitamin B12 karena bermeditasi selama beberapa waktu di gua
kecil. Defisiensi vitamin B12 dapat dilihat melalui salah satunya neutrofil (Ankar and
Kumar, 2019). Pada pasien terjadi peningkatan jumlah neutrofil ditanggal 23 oktober,
dengan nilai sebesar 92,4. Pengatasan defisiensi vitamin B12 adalah dengan memberi
vitamin B12 sejumlah 30 mcg per hari selama 5 - 10 hari sebagai initial dose, dan 200
mcg per bulan sebagai maintenance dose (Medscape, 2019).

5. Dehidrasi

Pasien dicurigai mengalami dehidrasi level moderate. Level dehidrasi seseorang dapat
dinilai dari level hemoglobin - hematocrit. Hubungan antara Hct dan Hb adalah Hct =
3 x Hb. jika Hct < 3 x Hb maka pasien mengalami overdehidrasi, sedangkan jika Hct
> 3 x Hb maka pasien mengalami dehidrasi (Hayuanta, 2016). Pada kasus ini, pasien
mengalami dehidrasi karena memiliki nilai 55,4 > 3 x 18,3. Menurut Mahajan et al.,
(2012), pasien yang mengalami dehidrasi dapat diberikan ringer laktat atau sodium
chloride 0,9 %, karena memiliki efikasi yang hampir serupa. Penelitian lanjutan
menurut Cieza et al., 2013 menyatakan bahwa ringer laktat memiliki efikasi yang
lebih baik daripada sodium chloride dalam dehidrasi maupun resusitasi. Dalam kasus
ini, pemberian ringer laktat di tanggal 23 oktober sudah tepat.

6. Hipoglikemia

Nilai glukosa darah normal adalah 60 - 110 mg/dL dan glukosa darah serum 70 - 110
mg/dL. Ketika kadar gula darah lebih besar dari 180 mg/dL dapat terjadi glukosuria
(gula dalam urin). Peningkatan kadar gula darah bertindak sebagai diuretik osmotik
menyebabkan poliuria. Bila gula darah tetap meninggi (>200 mg/dL) terjadi diabetes
melitus (Kee J.L. and Hayes E.R., 1994). Adapun pasien dalam kasus ini,
kemungkinan mengalami hypoglikemia karena bersemedi selama beberapa hari. Ini
merupakan alasan pemberian Asering (dextrosa). Menurut Moore and Woollard
(2005), dextrosa 10% dalam alikuot 5 gram, (50 ml) dapat mengatasi hipoglikemia
pada orang dewasa.

7. Mual
Pasien diberikan terapi Tramadol yang merupakan golongan opioid pada tanggal 24
oktober, pemberian tramadol ditujukan untuk terapi Low Back Pain pasien,
bersamaan dengan itu pasien juga diberikan terapi Ondansetron pada tanggal 24
oktober. Menurut Smith et al (2012) mual dan muntah adalah efek yang diinduksi
opioid yang diketahui memiliki komponen perifer dan sentral. Mekanisme yang
terlibat dalam mual sangat kompleks. Opioid dosis rendah mengaktifkan reseptor
opioid di chemoreceptor trigger zone (CTZ), sehingga merangsang muntah.
Komponen vestibular memberikan input langsung ke pusat muntah melalui jalur
Histamine H1 dan cholinergic (AchM). Menurut Smith et al (2012) ada beberapa
reseptor yang dapat berkontribusi terhadap mual / muntah. Beberapa reseptor
“emetogenik” yang telah diusulkan salah satunya yaitu reseptor 5-hydroxytryptamine
(serotonin) (5-HT3) salah satu obatnya yaitu ondansetron. Pemberian dosis pada
ondansetron sudah tepat untuk mengatasi efek samping mual dan muntah yaitu 4mg
setiap 12 jam atau 2 kali sehari secara IV. Karena menurut jurnal American Family
Physician (2006) ondansetron dapat diberikan 4 mg secara oral atau IV dua sampai 4
kali sehari untuk mengatasi mual karena efek samping opioid.

R(esolution)

1. Penggunaan NaCl 0,9 % untuk resusitasi pada AKI harus dihentikan dan diganti
dengan Ringer Laktat dengan dosis 500 ml per hari secara IV. Pemberhentian RRT
(Renal Replacement Therapy) dapat dilakukan jika fungsi ginjal telah kembali ke titik
yang cukup (dapat dilihat dari nilai GFR) dan karena RRT tidak lagi dapat memenuhi
tujuan perawatan lagi
2. Low Back Pain
a) Penggunaan tramadol (opioid lemah) tetap dilanjutkan untuk mengatasi LBP
pasien dengan catatan tidak boleh digunakan lebih dari 12 minggu. Adapun
dosis tramadol yang direkomendasikan adalah 50 mg per hari (Medscape,
2019).
b) Pemberian vitamin B12 dengan dosis 2 ampul (1000 mcg) sehari secara IV
harus dihentikan dan digantikan dengan pemberian vitamin B12 dengan dosis
30 mcg per hari secara IM hingga level vitamin B12 dalam tubuh seimbang
(masa pemberian 5-10 hari), kemudian dilanjutkan dengan maintenance dose
sebesar 200 mcg per bulan
3. Sepsis
a) Pemberian cefoperazone 1 gram setiap 12 jam secara IV tetap dilanjutkan
hingga 5 - 10 hari kedepan
b) Pemberian vitamin B12 dengan dosis 2 ampul (1000 mcg) sehari secara IV
harus dihentikan dan digantikan dengan pemberian vitamin B12 dengan dosis
30 mcg per hari secara IM hingga level vitamin B12 dalam tubuh seimbang
(masa pemberian 5-10 hari), kemudian dilanjutkan dengan maintenance dose
sebesar 200 mcg per bulan
c) Pemberian acetaminophen 1000 mg setiap 12 jam secara IV dapat dihentikan
karena tidak berdampak signifikan dan malah bisa membahayakan
4. Lemas, nyeri tungkai dan gelisah
a) Pemberian vitamin B12 dengan dosis 2 ampul (1000 mcg) sehari secara IV
harus dihentikan dan digantikan dengan pemberian vitamin B12 dengan dosis
30 mcg per hari secara IM hingga level vitamin B12 dalam tubuh seimbang
(masa pemberian 5-10 hari), kemudian dilanjutkan dengan maintenance dose
sebesar 200 mcg per bulan.
5. Dehidrasi

Pemberian ringer laktat pada tanggal 23 oktober untuk mengatasi dehidrasi sudah
tepat.

6. Hipoglikemia

Pemberian dextrosa untuk mengatasi hipoglikemia pada pasien dapat diberikan


hingga pasien pada tanggal 22 dan 23 oktober tujuannya adalah untuk menstabilkan
glukosa darah pasien. Alasan dextrosa tidak lagi diberikan pada tanggal 24 oktober
adalah karena glukosa darah pasien sudah stabil dan kemungkinan pasien sudah dapat
mengkonsumsi makanan.

7. Mual

Pemberian IV ondansetron dapat diberikan bersamaan dengan pemberian IV tramadol


dengan dosis 4 mg setiap 12 jam.

M(onitoring)
1. Natrium, kalium, GFR
2. Konsistensi tinja
3. Kadar leukosit
4. Memantau keluhan nyeri tungkai pasien dengan Pain Scale dan kadar neutrofil
5. Hemoglobin dan hematokrit
6. Kadar gula darah pasien
7.

KIE
Kepada bapak S, dalam pengobatan ini bapak mungkin akan mengalami perasaan mual dan
sakit kepala, yang merupakan efek samping dari pengobatan, namun bapak tidak perlu
khawatir karena kejadian ini belum tentu terjadi pada semua orang. Jika boleh saya sarankan,
bapak diharapkan melakukan fisioterapi atau olahraga ringan untuk peregangan otot
punggung, bisa dengan cara berenang atau bersepeda selama 30 menit, yoga, taichi, latihan
kontrol motorik, mengurangi stress pikiran (Adityawarman, 2017). Saya harap, kondisi bapak
segera membaik.

Daftar Pustaka
Alaball et al., 2016. Oral vitamin B12 versus intramuscular vitamin B12 for vitamin B12
deficiency. CIHR IRSC, (3)

Ankar and Kurmar, 2019. VItamin B12 Deficiency (Cobalamin).

Awdishu, 2017. Acute Kidney Injury.

Bailey et al., 1981. Cefoperazone in the treatment of severe or complicated infections. Drugs,
22 (1) : 76-86.

Bellomor et al., 2017. Acute Kidney Injury. Intensive Care Med, 43 (46) : 816 - 828

Davey P., 2002. At a Glance Medicine.


Drewry et al.,, 2013. Counterpoint: Should Antipyretic Therapy Be Given Routinely to
Febrile Patients in Septic Shock? No. Chest, 144 (4) : 1098 - 1101

EMC, 2016. Ringers Solution for Infusion. https://www.medicines.org.


uk/emc/product/1865/smpc, diakses pada 10 November 2019

Hayuanta, 2016. Can Hemoglobin - Hematocrit Relationship Be Used to Asses Hydration


Status?. CDK, 43(2): 139-142

Hu, J., 2017. Metabolic acidosis as a risk factor for the development of acute kidney injury
and hospital mortality. EXPERIMENTAL AND THERAPEUTIC MEDICINE, 13:
2362-2374

IQWiG, 2006. Low back pain: What role does medication play in the treatment of non-
specific back pain?

KDIGO, 2012., Clinical Practice Guideline for Acute Kidney Injury.

Kee J.L. and Hayes E.R., 1994. Pendekatan Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan.

Kelly et al., 2014. Pharmakokinetics of Tramadol Following Intravenous and Oral


Administration in Male Rhesus Macaques (Macaca mulatta). J Vet Pharmacol Ther,
38(4):375-382

Mauro et al., 2000. Vitamin B12 in Low Back Pain: a randomised, double-blind, placebo-
controlled study. Eur Rev Med Pharmacol Sci, 4(3): 53-8

Adityawarnan, A., 2017. Tatalaksana LBP terbaru menurut American College of Physicians.
[online] https://today.mims.com/tatalaksana-lbp-terbaru-menurut-american-college-of
-physicians. diakses pada tanggal 9 November 2019 pukul 17.23.

Medscape, 2019. Aplikasi Medscape.

Moore and Woollard, 2005. Dextrose 10% or 50% in the treatment of hypoglycaemia out of
hospital? A randomised controlled trial. Emergency Medicine Journal, 22(7):512-515

Mortelmans et al., 2006. Use of tramadol drip in controlling renal colic pain.

Nasronudin, 2011. Penyakit Infeksi di Indonesia dan Solusi Kini Mendatang.


Oliveira, et al., 2018. Clinical practice guidelines for the management of non-specific low
back pain in primary care: an updated overview. European Spine Journal, 27
(11):2791-2803

Poston and Koyner, 2019. Sepsis associated acute kidney injury. BMJ, 1:1-17

Rydon, R., 2016. Profiles of The Nutrients 3. Water-Soluble and Fat-Soluble Vitamins.

Smith H., 2009. Current Therapy in Pain.

Smith H et al., 2012. Opioid Induced Nausea and Vomiting. Ann Palliat Med. Vol.1(2). p.
122-126.

Swegle and Craig., 2006. Management of Common Opioid-Induced Adverse Effects.


American Family Physician. Vol.74 (8). p. 1349.

Tufan et al., 2012. Mood disorder with mixed, psychotic features due to vitamin b12
deficiency in an adolescent:case report. BioMed Central, 6(25):1-5

Manzanares and Hardy, 2010. Vitamin B12: the forgotten micronutrient for critical care.
Curr Opin Nutr Metab Care, 13(6):662-8

Wheatly C., 2006. A scarlet pimpernel for the resolution of inflammation? The role of supra-
therapeutic doses of cobalamin, in the treatment of systemic inflammatory response
syndrome (SIRS), sepsis, severe sepsis, and septic or traumatic shock. Medical
Hypotheses, 67:124-142

Anda mungkin juga menyukai