Anda di halaman 1dari 18

MEMBACA TUBUH DALAM RANGKAIAN SASTRA INDONESIA1

Ida Nurul Chasanah

Kurasakan getaran-getaran kehendaknya sampai ke lapisan kulit dan


dagingku. Aku pun menghendakinya. Tetapi aku takut. Serasa diriku
membelah dua. Yang satu berteguh kepada keinginan tetap menjadi
isteri yang menyetiai suami, satunya lagi parah dan berlumuran darah
(Nh. Dini, 2000:171)

Membaca kutipan teks Pada Sebuah Kapal (halaman 171) karya Nh. Dini di atas, dapat kita
baca beberapa kata seperti /kulit, daging,dan darah/. Kata-kata tersebut sejajar dengan
beberapa kata seperti: /mata, bibir, dada, paha, hati, perut, pusar, punting, rambut, otak, usus,
dan jantung/ serta masih banyak lagi lainnya, yang merupakan bagian atau unsur-unsur
tubuh. Begitu pula deiksis /-ku, -nya, aku, diriku, isteri, dan suami/ yang juga ditemukan
dalam kutipan di atas, merupakan deiksis persona yang mengacu pada “tubuh”.

Tubuh kita dengan bagian-bagiannya dimuati oleh simbolisme kultural, publik dan privat,
positif dan negatif, politik dan ekonomi, seksual, moral, dan seringkali juga kontroversial;
begitu pula dengan segenap atribut, fungsi tubuh, kondisi dan indera-inderanya. Tinggi dan
berat badan, aktivitas makan-minum, bercinta, bentuk tubuh, dan bahasa tubuh, dengan
bermacam-macam penyakit yang menderanya seperti flu, panu, kanker, stroke, atau AIDS;
semua tidak sekedar fenomena fisik, tetapi juga berdimensi sosial.

Tubuh menjadi fokus perhatian dan pengkajian para filsuf dan teoretisi kebudayaaan politik
berangkat dari teori Nietzschean yang secara sistematis menghubungkan keadaan tatanan
(constitution of order) dari politik dan moral estetika ke basis tubuh tempat keduanya
dibangun dan dicetak. Perspektif ini menguat dan menjadi kajian masing-masing pendekatan
para filsuf tradisi poststrukturalis, seperti Lyotard, Deleuza dan Guattari, Foucault, Kristeva,
dan Derrida (Falk, 1994:4).

Pembicaraan tentang tubuh dapat menyangkut tubuh individual sebagai keragawian


(corporeal body) dan tubuh sosial (social body). Menurut Bordo (dalam Cavallaro, 2001:107),

1
Disajikan dalam Seminar “Femininitas dan Maskulinitas dalam Karya-Karya Nh. Dini” di Auditorium FIB Unair,
Surabaya, 2 Oktober 2014
2

tubuh seorang individu adalah sebuah mikrokosmos yang mereproduksi kegelisahan dan
kerentanan makrokosmos, yaitu tubuh sosial. Tubuh sebagai mikrokosmos dan makrokosmos
tersebut tidak hanya melekat pada manusia sebagai individu, tetapi juga dapat menjadi analogi
riwayat karya sastra.

Hotman Siahaan dalam pengantar novel Pengakuan Pariyem (Suryadi, 1981:x) menyebutkan
bahwa pemahaman terhadap suatu kehidupan sosial, terhadap gejala sosial sungguh tidak
hanya menjadi monopoli manusia yang mengaku sebagai pengabdi ilmu pengetahuan seperti
Clifford Geertz atau Anderson saja, untuk membicarakan konsep kekuasaan Jawa. Melalui
keseluruhan ungkapan yang diucapkan Pariyem pun, kita dapat meningkatkan pengertian dan
pemahaman tentang suatu gejala sosial, dalam hal ini konsep kebudayaan Jawa. Hal ini
berarti, karya sastra mampu berbicara banyak tentang gejala sosial, tentang kehidupan kultur
dan manusia yang diwarna oleh pola kultur tersebut. Bahkan, seringkali banyak nuansa yang
lebih dalam dapat ditangkap, yang mungkin tidak mampu ditampilkan oleh karya-karya
ilmiah atau hasil-hasil penelitian ilmiah yang excellence sekali pun. Berangkat dari pendapat
Hotman Siahaan tersebut, bisa dianalogikan bahwa karya sastra adalah mikrokosmos, dan
dunia nyata adalah makrokosmosnya, maka secara ideologis apa yang terjadi dalam
makrokosmosnya bisa dilihat dalam mikrokosmosnya.

Karya sastra sebagai tubuh individual dapat dipahami sebagai keseluruhan struktur yang
membangun karya sastra, sebuah mikrokosmos yang di dalamnya terdiri atas misalnya alur,
tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan pencerita. Lebih lanjut, tubuh individu atau
mikrokosmos tersebut tidak muncul begitu saja dari kekosongan, melainkan terbentuk
berdasarkan keseluruhan pengalaman pembacaan pengarangnya, baik pengalaman pembacaan
secara harafiah maupun pengalaman pembacaan hidupnya yang berkaitan dengan latar
belakang sosial budaya, yang menuliskan pengalaman tersebut dalam bentuk karya sastra.

Hal tersebut di atas, selaras dengan pernyataan Arnold Hauser (1982:214) bahwa produksi
karya seni (termasuk sastra) ditentukan oleh alam dan kebudayaan, keadaan geografis dan ras,
waktu dan tempat, biologis dan psikologi, dan juga oleh kelas ekonomi serta sosial. Dengan
demikian, tubuh tokoh dalam teks sastra, dalam hal ini menjadi instrument tersendiri yang
cukup efektif untuk mengusung daya visional pengarang. Sebagai implikasinya, konstruksi
ideologis, politis, dan kultural yang dilakukan pengarang terhadap tubuh tokoh rekaannya
3

tidak dapat dielakkan. Pengarang akan menjadikan tubuh-tubuh rekaaan itu menjadi kekuatan
tersendiri untuk memainkan domain ideologis, politis, dan kultural tersebut.

Dalam konteks meningkatkan potensi tubuh, Foucault mengajukan sebuah politik tubuh (body
politic) yang dibangun di dalam sebuah wacana tubuh (discourse on body), dalam rangka
menciptakan sebuah relasi tubuh yang demokratis dan produktif. Sebagaimana dikatakan oleh
Foucault (1980:86), penguasaan dan keasadaran tubuh seseorang dapat diperoleh hanya
dengan efek investasi kekuasaan di dalam tubuh melalui teknologisasi tubuh. Tubuh menjadi
isu politik tubuh di antara berbagai pihak yang berkepentingan, disebabkan potensi kekuasaan
yang berasal dari teknologisasi tubuh itu sendiri (kekuasaan dari dalam tubuh), yang dapat
digunakan untuk melawan apa yang dikatakan Foucault sebagai kekuasaan atas tubuh.
Gerakan politik tubuh yang dibangun melalui wacana tubuh dapat hadir melalui beberapa
media, yang salah satunya dicanangkan oleh Helene Cixous (1981) melalui gerakan “menulis
tubuh” hingga menumbangkan anggapan sebelumnya yang disebutkan dalam penelitian Ian
Watt (1957) dan juga Dale Spender (1987) bahwa tradisi penulisan novel Inggis didominasi
oleh pengarang laki-laki.

Fenomena “menulis tubuh” yang hadir di tengah maraknya politik tubuh di Indonesia menjadi
titik tolak pemikiran tulisan ini. Pembicaraan tentang hal tersebut di atas sebenarnya
merupakan kelanjutan dari kehadiran Gerakan Perempuan pada tahun 1960-an dan 1970-an
yang mengedepankan sejumlah pengarang perempuan (women as writers)2 dan feminis yang
menawarkan suara kritis untuk wacana-wacana dalam teori kesusastraan, seni, politik, dan
sosial. Suara-suara ini tampil untuk menyoroti absennya isu-isu yang berhubungan dengan
gender dan perdebatan feminis dalam wacana modernis (Brooks, 2009:175).

2
Women as writer (pengarang perempuan) berbeda dengan women’s writing (tulisan perempuan). Women as
writer atau pengarang perempuan adalah pengarang yang berjenis kelamin perempuan. Sedangkan women’s
writing adalah segala proses kegiatan menulis yang dilakukan oleh perempuan, yang mengekspresikan tentang
wacana ke- perempuan-an. Sehubungan dengan hal ini, Helene Cixous (1981:280) memperkenalkan istilah
l’ecriture feminine, sebagai suatu bahasa atau bentuk ekspresi alternatif dari ungkapan falogosentrisme.
L’ecriture feminine tidak semata-mata mengacu pada tulisan perempuan, tapi pada suatu wilayah ideal yang
secara potensial bisa diisi oleh siapa saja. Lihat, Melani Budianta, “Pendekatan Feminis terhadap Wacana,”
Analisis Wacana: dari Linguistik sampai Dekonstruksi (Yogyakarta: Penerbit Kanal, 2002), hlm. 212—214.
4

Kritik Sastra Feminis

Secara umum, gender atau kajian gender dalam sastra bertujuan untuk melihat bagaimana
konstruksi sosial atau kultural, atau konstruksi-konstruksi lainnya dalam menelaah bentukan
femininitas dan maskulinitas3. Hal inilah yang menjadi alasan umum yang mendasari adanya
kritik sastra feminis dan kritik sastra postfeminis. Idiologi politik yang tergabung pada tiap
karya sastra tidak dapat dipisahkan dari asumsi budaya serta ideology yang dibawa si penulis.
Di dalam budaya yang didominasi kaum lelaki, karya sastra adalah representasi dari ideologi
para lelaki.

Menurut Maggie Humm (1986:3), yang didukung oleh kritikus lain, kritik sastra feminis
bertujuan untuk “(1) address “the invisibility of women writers”, (2) Challenge “the problem
of the ‘feminist reader’ by offering readers new methods and a fresh critical practice”, (3)
‘make us act as feminist readers by creating new writing and reading collectives”. Sebagai
salah satu teori yang kokoh, teori kritik sastra feminis bertujuan untuk mengangkat posisi
perempuan yang seringkali diremehkan dalam kritik tradisional atau kalaupun perempuan
berada dalam posisi utama, mereka tetap dilihat dalam kungkungan stereotip yang ada.

Bagaimanapun juga, Kate Millet, Sexual Politics (1970), telah dianggap sebagai dasar kritik
politik konstruksi sosial perempuan. Millet melacak tentang tekanan terhadap perempuan
pada tulisan sastra empat penulis pria. Melalui pemanfaatan pendekatan feminis pada karya
sastra, Millet (dalam Moi, 1985:24) mengatakan bahwa “konteks sosial dan budaya harus
dipelajari bila karya ingin dipahami secara sesuai”. Selain itu Millet (1970:23) juga
mengatakan bahwa hubungan antara jenis kelamin selalu bersifat politis seperti “harus
mengacu pada hubungan antar-kekuataan, bahwa satu grup selalu diatur oleh yang lebih kuat.
Melihat dari cara kerja patriakal dalam tingkatan sosio-kultural dan berimbas pada karya
sastra, Millet melihat produksi politik sastra dengan tidak melihat pada tujuan, agenda, dan
keanggotaan mereka.

Dalam kritik sastra feminis, pembaca juga memegang peran yang sangat penting, karena ia
yang akan memaknai karya yang dibacanya. Pembaca berperan dalam menemukan apalah

3
Walaupun sekarang ini istilah gender bisa merujuk konstruksi-konstruksi lain di luar femininitas dan
maskulinitas, tetapi dalam tulisan ini pengertian gender akan lebih difokuskan pada konstruksi femininitas dan
maskulinitas
5

artinya menjadi seorang perempuan atau laki-laki dalam suatu karya tertentu. Konstruksi
femininitas dan maskulinitas seperti apa yang muncul dalam teks sastra, apakah melawan atau
justru mengukuhkan tatanan yang ada.

Karya sastra dapat dianggap sebagai sebuah karya sejarah, sebab menurut Adrienne Rich
(dalam Arimbi, 2011:5) ia dapat difungsikan untuk “melihat kembali” (revisioning), yaitu
merupakan sebuah cara baru untuk melihat konstruksi perempuan dalam sastra sepenting
melihat perubahan konstruksi melalui periode sejarah. Pendapat Rich tentang “melihat
kembali” teks lama haruslah dikembangkan ke semua teks, baik lama maupun baru. Semua
teks yang diberikan harus ditelaah ulang dengan kritik baru dalam tatanan kritik sastra
feminis, sehingga bacaan tersebut dapat menyuguhkan semacam kekuatan yang bisa
membebaskan perempuan untuk membuat bacaan mereka sendiri, memaknai bacaan-bacaan
tersebut secara berbeda, sesuai dengan asumsi, situasi, dan kondisinya.

Menulis Tubuh
Dalam sastra Indonesia, representasi tubuh sudah dipermasalahkan sejak sekitar awal abad ke-
19 melalui Suluk Tambangraras yang lebih dikenal sebagai Serat Centhini yang ditulis tahun
1815, yang dalam beberapa pupuhnya memaparkan tentang politik tubuh perempuan;
kemudian sekitar tahun 1870-an dalam karya-karya Sastra Cina Peranakan (Kesusastraan
Melayu Tionghoa); dilanjutkan oleh novel-novel Balai Pustaka, sekitar tahun 1920-an dengan
mengemukakannya kawin paksa seperti Siti Nurbaya, juga Salah Asuhan dan Layar
Terkembang. Beberapa novel seperti Student Hijo, Max Havelaar, dan Bumi Manusia yang
memaparkan kisah tubuh para Nyai dan pergundikan. Pada awal 80-an muncul prosa lirik
Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi yang cukup fenomenal dengan teksnya yang
mengusung politik tubuh perempuan yang disampaikan secara vulgar dan sempat mengusung
pro-kotra moralitas dalam sastra. Fenomena ini kembali berulang pada awal tahun 2000
dengan hadirnya Saman karya Ayu Utami yang diikuti oleh serangkaian perempuan
pengarang lainnya yang mempolitisasi tubuh perempuan dalam karya-karya mereka.
Kehadiran mereka berhasil menciptakan sebuah gerakan dalam sejarah susastra Indonesia
yang melahirkan sastra seksis (terlepas dari masalah pro-kontra).

Sastra feminis secara sosiologis dengan demikian berakar dalam pemahaman mengenai
inferioritas perempuan seperti fenomena di atas. Sebagai salah satu aktivitas kultural,
6

fenomena tersebut kemudian mengembangkan beberapa istilah seperti androcentic,


phallocentric, gynocritic, androtext, dan gynotext 4 yang terkait dengan relasi penulis maupun
pembaca laki-laki dan atau perempuan. Berkembangnya permasalahan ini berawal dari
Helene Cixous, feminis Perancis, yang memilih sastra sebagai media untuk mengubah wacana
seksualitas perempuan dari maskulin menjadi feminin5. Dalam tulisannya “The Laugh of
Medusa”6 ia mengemukakan bahwa tubuh atau kenikmatan seksual perempuan dapat
dituangkan melalui penulisan, literature atau sastra sebagaimana berikut, “I shall speak about
women’s writing. Woman must write herself… Woman must put herself into the text – as into
the world and into history – by her own movement”. Menurutnya menulis7 adalah media yang
dapat mengungkap wacana tubuh perempuan yang selama ini tersita oleh dominasi laki-laki.
Pernyataan Cixous tersebut menyiratkan bahwa tubuh perempuan sangat erat kaitannya
dengan seksualitasnya dan cara bagaimana tubuh dan seksualitas itu dipandang dalam konteks
budaya laki-laki.

Bagi Cixous dan Irigaray, tubuh perempuan adalah bahasa perempuan. L-ecriture Feminine8
– yang secara kasar dapat dimaknai sebagai “menulis tubuh” adalah bagian dari usaha untuk

4
androcentic, berarti keterpusatan pada laki-laki, merupakan rangkaian nilai budaya dominan kita yang
didasarkan pada norma laki-laki); phallocentric, untuk mendeskripsikan bahwa phallus (penis) merupakan
simbol kekuatan, dan meyakini bahwa atribut maskulinitas merupakan definisi norma cultural; gynocritic, studi
mengenai penulis perempuan, sejarah, cerita, tema-tema, genre, dan struktur tulisan oleh penulis perempuan.
Gynocritic mencakup psikodinamika kreativitas perempuan; alur karir perempuan secara kolektif maupun
individual dan evolusi serta aturan tradisi sastra perempuan ; androtext, teks yang merepresentasikan
keterpusatan pada laki-laki; dan gynotext, teks yang merepresentasikan karya perempuan (Lihat, Maggie Humm,
Ensiklopedia Feminisme, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002:17, 193,dan 340).
5
Penulisan maskulin dipandang sebagai sesuatu yang sistematis, tertutup, dan terbatasi oleh hukum.
Seksualitas maskulin dan bahasa maskulin bersifat phallosentris dan logosentris. Sedangkan penulisan feminin
muncul dari sesuatu yang imajiner, merupakan gambaran utopia dari daya kreatif perempuan. Penulisan
feminin memiliki nilai kesadaran tentang gender perempuan untuk membebaskan diri diri dari pemahaman
tradisional yang bersudut pandang patriarki. Lihat, Helene Cixous, “The Laugh of Medusa” dalam E. Marks dan
I de Courtrivon (ed.), New French Feminisms, (Sussex: Harvester Press, 1981:280).
6
Dalam “The Laugh of Medusa”, Cixous mendekunstruksi tokoh Medusa dari peran antagonis menjadi
protagonis. Medusa adalah figur perempuan dalam dongeng di negara-negara Barat yang berperilaku jahat
dan buruk
7
Menulis. Suatu kegiatan yang tidak akan hanya “menyadari” relasi tanpa sensor dari perempuan atas
seksualitasnya, sampai keberadaannya sebagai perempuan, memberinya akses untuk kekuatan aslinya; akan
memberinya kembali kesanggupan, kenikmatannya, organ-organnya, teritorinya yang sangat luas secara
badaniah yang telah disimpan di bawah segel (Ibid)
8
Istilah ini diperkenalkan oleh Helene Cixous sebagai suatu bahasa atau bentuk ekspresi alternatif dari
ungkapan falogosentrisme. L’ecriture feminine tidak semata-mata mengacu pada tulisan perempuan, tapi pada
suatu wilayah ideal yang secara potensial bisa diisi oleh siapa saja. Wilayah ini bersifat biseksual, dan
diibaratkan dengan uterus atau aliran susu ibu, meskipun tidak terbatas pada ekspresi kaum perempuan.
7

mencari bahasa baru yang tidak menempatkan seksualitas perempuan semata-mata sebagai
objek seksualitas laki-laki melainkan sebagai bentuk proses pembentukan subjektivitas
perempuan.

Sebelum analisis tekstual yang lebih dikenal dari karya-karya para sarjana Perancis, seperti
Helene Cixous, Julia Kristeva, dan Luce Irigaray berkembang, kajian gender dalam teks
berusaha memperlihatkan kaitan antara dunia teks dan dunia di luar teks, yakni produksi,
pencipta, dan keadaan masyarakat di mana dan pada saat teks dihasilkan. Pemikiran ini akan
menjadi landasan yang akan dipertimbangkan dan dilaksanakan dalam proses penelitian ini.

Elaine Showalter menulis dalam esainya “Feminist Criticsm in the Wilderness” bahwa
penulisan perempuan yang sungguh-sungguh berempati terhadap perempuan hanyalah dapat
dilakukan oleh perempuan karena adanya pengalaman spesifik perempuan yang tidak dialami
oleh laki-laki. Dengan demikian, menurut Showalter, “teks perempuan” atau “tentang
perempuan” juga hanya dapat dilakukan secara sungguh-sungguh oleh perempuan
(Prabasmoro, 2006:198).

Historiografi Sastra Indonesia dalam Pandangan Kajian Gender

Arimbi (2011:5-6) menyebutkan secara historiografis telah banyak karya sastra Indonesia
yang mengetangahkan persoalan gender. Mulai dari Cerita Nyai Dasima oleh G. Francis
(1896) serta cerita nyai-nyai yang lain, menunjukkan bahwa persoalan gender sudah lama
hadir dalam khasanah sastra Indonesia. Dengan memberi judul cerita lewat nama-nama
tokoh perempuan hal ini menunjukkan bahwa para pengarang ini memberikan ruang yang
menarasikan perempuan sekaligus mengangkat isu-isu perempuan. Melalui cerita-cerita yang
mengetengahkan tokoh nyai bisa dilihat bagaimana persoalan gender dimunculkan pada saat
itu, misalnya bagaimana seorang nyai dikonstruksikan sebagai representasi perempuan.
Angkatan Balai Pustaka juga tidak kalah dengan angkatan sebelumnya dalam melihat
persoalan gender yang ada. Siti Noerbaja karya Marah Roesli (1922) misalnya, mengangkat
persoalan kawin paksa sarat dengan representasi patriarki, paternalism, feodalisme, dan

Sejumlah feminis melihat l’ecriture feminine sebagai suatu dorongan kreatif yang strategis untuk mengaktifkan
kembali wilayah imajiner—the voice of the mother—di sela-sela normalitas bahasa dan kungkungan patriarkhi
(Lihat, Melani Budianta, “Pendekatan Feminis terhadap Wacana,” Analisis Wacana: dari Linguistik sampai
Dekonstruksi. Yogyakarta: Penerbit Kanal. 2002: 212—214).
8

kolonialisme. Layar Terkembang karya Sutan takdir Alisjahbana ( 1936) yang tergolong
karya Angkatan Pujangga Baru menunjukkan cerita klasik cinta segitiga antara dua bersaudari
Maria dan Tuti serta Yusuf. Cerita ini mengedepankan beberapa perjuangan hak-hak
perempuan serta tokoh yang sadar akan pentingnya kesetaraan gender. Dalam pandangan
STAS, Tuti adalah seorang feminis, tetapi bukan feminis radikal yang menginginkan
kemandirian radikal dari laki-laki tetapi seorang feminis yang memperjuangkan hak-hak
perempuan dan kesetaraan gender dalam koridor feminitas yang tetap membutuhkan bantuan
laki-laki (Arimbi, 2011:8).

Tahun 70an dan awal 80-an memunculkan beberapa karya perempuan pengarang yang dalam
bahasa A Teeuw adalah lady authors (1983). Hal ini sejalan dengan boomiungnya majalah
perempuan seperti Dewi, Kartini, dan Femina. Arimbi (2011:9) menyebutkan munculnya
majalah-majalah seperti ini memberikan ruang bagi perempuan untuk menyuarakan pemikiran
mereka, walaupun banyak dikritisi bahwa majalah-majalah tersebut justru mengukuhkan
peran gender tradisional, yaitu perempuan yang cantik, manja, konsumtif.

Penulis novel (popular) pada jaman tersebut juga menunjukkan gejala yang sama. Menurut
Toety Herati, berbeda dengan para pendahulunya, penulis jaman ini melukiskan cerita
perempuan dari perspektif penulis perempuan dengan gaya ringan, santai,dan pop. Sebagian
besar novel-novel tersebut bercerita tentang pengalaman kehidupan cinta dan hubungan
perempuan-laki-laki dengan mengabaikan isu-isu sosial-politik yang harus dihadapi
perempuan dalam mempertahankan keberadaan mereka. Para penulis perempuan memang
menuliskan visi perempuan diri dari kacamata perempuan sendiri, tetapi sayangnya hanya dari
ranah yang sangat terbatas, yaitu kehidiupan cinta dan romantika kaum perempuan, terutama
perempuan kota. Model seperti ini ternyata berulang kembali dengan maraknya chick lit atau
novel popular perempuan yang juga ditulis dengan gaya yang sama (Arimbi, 2011:9).

Munculnya Angkatan 2000 ternyata membawa kompleksitas yang luar biasa dalam
mengetengahkan isu-isu gender yang ada di Indonesia. Munculnya istilah Sastra Wangi,
Sastra Islam, Chicklit, Teen Lit, dan sastra-sastra lain yang melengkapi kompleksitas yang
ada dalam dunia Sastra Indonesia. Seperti telah disebutkan sebelumnya, kritik sastra feminis
tidak monolitik tetapi bervariasi, tergantung pada konteksnya. Isu gender yang diangkat
dalam perspektif ini bisa bermacam-macam, seperti itulah kompleksitas yang muncul dalam
kesusastraan Indonesia belakangan ini. Di tangan penulis ini, citra perempuan telah banyak
9

mengalami perubahan dari citra yang sebelumnya yaitu perempuan yang secara ideologis
digambarkan sebagai sosok yang tunduk dan korban dominasi patriarki. Citra-citra
kontemporer perempuan tak dapat disangkal lagi adalah permpuan yang memegang dunia dan
nasib mereka sendiri, tidak lagi sebagai individu yang diamm dan gampang diatur oleh laki-
laki dan eksistensinya hanya untuk kesenangan laki-laki (Arimbi, 2011:9).

Lintasan Perempuan Pengarang Indonesia Mutakhir

Dalam rentang sejarah sastra Indonesia, dunia kesusastraan selalu didominasi pengarang laki-
laki. Meski sejak kemerdekaan mulai banyak bermunculan penulis-penulis perempuan,
kedudukan dan karya-karya mereka masih tenggelam di bawah bayang-bayang pengarang
laki-laki. Atau bisa jadi “ketidakhadiran” pengarang perempuan tersebut tanpa sengaja telah
ditenggelamkan oleh para kritikus sastra yang notabene juga kaum laki-laki. Kecurigaan
semacam inilah yang juga ditengarai oleh para kritikus sastra feminis atas ketidakseimbangan
antara pengarang laki-laki dan pengarang perempuan, ketidakseimbangan pembicaraan antara
karya-karya pengarang laki-laki dengan pengarang perempuan dalam dunia sastra di berbagai
negara termasuk dalam sastra Indonesia (Djajanegara, 2000:12).

Jika diperhatikan dunia kepengarangan, sebenarnya pengarang perempuan telah ada sejak
dulu. Novel modern yang pertama di dunia, Genji Monogatari, yang ditulis tahun 1000 di
Jepang merupakan karya seorang waniita, Murasaki Shikibu yang hidup pada 975-1015
(Shikibu, 1992:xxii). Karya sastra Bugis La Galigo yang berbentuk puisi (terpanjang di dunia,
tebalnya 7000 halaman, lebih tebal daripada Iliad dan Odysea atau Mahabarata dan
Ramayana) ditulis pada abad ke-19 di bawah pengayom seni seorang wanita, Sita Aisyah We
Tenriolle (Rampan, 1984:13).

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, sebenarnya perempuan pengarang (pengarang


perempuan yang mengemukakan masalah/ isu ke-perempuan-an) dalam khasanah
kesusastraan Indonesia telah hadir sejak dahulu. Kartini (1879-1904) merupakan salah satu
tokoh perempuan pengarang yang seringkali diabaikan atau bahkan tidak diakui bahwa ia
seorang pengarang, ia justru lebih dikenal sebagai seorang pejuang emansipasi. Entah faktor
apa yang menjadikan Kartini tidak diakui sebagai penulis atau pengarang Indonesia (bukan
sekadar Jawa) dalam sejarah sastra Indonesia.
10

Kartini adalah perempuan pengarang yang handal, yang menulis dengan bahasa Belanda yang
sangat fasih dan tertata. Faktor tulisan-tulisannya yang selain berbentuk surat juga bahasa
yang dipakai dalam Bahasa Belanda yang memungkinkan Kartini tidak dimasukkan dalam
jajaran sejarah perempuan pengarang Indonesia.

Dalam khazanah kesusastraan Indonesia, perempuan pengarang sudah terlibat dalam sastra Indonesia
sejak era 1920-an, saat hadirnya karya-karya perempuan Tionghoa Peranakan dalam Sastra Cina
peranakan. Kemudian beberapa nama yang dijumpai pada masa sebelum perang, seperti Selasih,
Hamidah, Adlin Affandi, dan Sa’adah Alim. Kuantitas perempuan pengarang semakin meningkat
setelah perang kemerdekaan usai dengan munculnya S.Rukiah, Nursjamsu, Walujati, Ida Nasution,
Maria Amin, Suwarsih Djojopuspito, N.H.Dini, Titi Said, S.Tjahjaningsih, Sugiarti Siswadi,
Ernisiwati Hutomo, Titis Basino, dan Enny Sumargo (Prihatmi, 1986:9).

“Masa Wanita”9 dalam sastra Indonesia baru muncul pertengahan decade 1970-an. Pada
tahun 1970-an, majalah wanita seperti Dewi, Femina, Gadis, Kartini, dan Sarinah mengalami
pertumbuhan yang cukup signifikan. Majalah-majalah tersebut menyediakan ruang yang
cukup besar bagi fiksi. Sejumlah nama perempuan pengarang muncul, seperti Nh. Dini,
Marga T, La Rose, Mariane Katoppo, Mira Wijaya, Yatti Maryati Wiharja, Maria A. Sarjono,
Noerna Sidharta, Aryanti, Ike Supomo, Titik Vifa, Mira W, Titie Said, dan Susilowati Edison,
yang menjadi fenomena mengejutkan dalam dunia sastra Indonesia, karena sebelumnya tidak
pernah terjadi booming perempuan seperti itu (Sumardjo, 1982:57). Selain melalui majalah-
majalah wanita, karya-karya perempuan pengarang juga hadir melalui surat kabar, seperti
Kompas dan Surabaya Post. Fenomena ini sempat membuat Sastra Koran menjadi booming.

Pada dekade tahun 80-90 an, muncul sederet nama seperti Abidah El Khalieqy, Dorothea
Rossa Herliani, Ratna Indraswari Ibrahim, Oka Rusmini, Helvy Tiana Rosa, dan Syrikit Syah.
Karya-karya mereka sebetulnya cukup bernilai sastra, namun gaung karya-karya mereka, saat
itu, tidak cukup fenomenal, hanya dikenal oleh para pecinta sastra, sampai kemudian muncul
Saman karya Ayu Utami.

Kehadiran Saman karya Ayu Utami yang sempat memunculkan pro-kontra ini seolah
merupakan tonggak kebangkitan perempuan pengarang, sebab sederetan nama perempuan

9
Istilah ini dikemukakan Jacob Sumarjo dalam artikelnya “Rumah Yang Damai: Wanita dalam Sastra Indonesia”
yang dimuat di Prisma, 7 Juli 1981.
11

pengarang pun hadir dengan mengusung wacana yang sama, mempertanyakan kembali
konstruksi ideologi patriarki, dalam karya-karya mereka, seolah-olah hendak membuat “isme”
baru. Fenomena ini sempat menghadirkan sejumlah penamaan atau pelabelan 10 untuk para
perempuan pengarang yang hadir dalam dekade tersebut.

Setelah hadirnya Ayu Utami dengan Saman (1998) dan Larung (2001), maka bermunculan
sederetan nama perempuan pengarang yang mengusung semangat yang sama dalam karyanya.
Beberapa perempuan pengarang tersebut diantaranya, Dewi Lestari, Fira Basuki, Herlinatiens,
Nova Riyanti Yusuf, Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, Clara Ng, Nukila Amal, Ani
Sekarningsih, Abidah El Khalieqy dan masih banyak sederetan nama perempuan pengarang
yang menghasilkan karya dengan wacana serupa, menuliskan tubuh.

Sejumlah perempuan pengarang tersebut merepresentasikan setiap jengkal keindahan dan


kenikmatan tubuh perempuan dalam teks-teks yang diproduksinya. Pola-pola yang muncul
dalam teks seringkali berupa tubuh perempuan yang disegmentasikan, antara lain, wajah,
bibir, dada, kaki, kulit, payudara, bahkan vagina. Beberapa perempuan pengarang juga
menghadirkan unsur-unsur tubuh yang lain, tidak sekedar tubuh perempuan, tetapi juga tubuh
laki-laki, hewan, dan juga tumbuhan yang dihadirkan melalui politik tubuh yang
mewacanakan kuasa atas tubuh termasuk seksualitas, sensualitas, bahkan menghadirkan kesan
amoralitas jika tidak melalui pembacaan mendalam. Sehubungan dengan hal ini, Shilling
(2006) berpendapat bahwa tubuh tidak dapat dilihat sebagai fenomena biologis semata,
melainkan juga dibentuk, dibatasi, dan dirumuskan oleh masyarakat. Dalam artikel Shilling
tersebut, Bourdieu menyatakan bahwa tubuh adalah penerima nilai-nilai simbolik dan
fenomena materi yang membentuk dan dibentuk oleh masyarakat, sementara Foucault (1980)
memandang tubuh sebagai objek pengaturan wacana.

Hadirnya sejumlah perempuan pengarang yang “memanfaatkan” politik tubuh teks dan juga
tubuh mereka sebagai perempuan11, bisa dikatakan sebagai “gerakan perempuan pengarang
Indonesia” atau bangkitnya kembali “gerakan menulis tubuh” yang pernah dicanangkan

10
Muncul beberapa sebutan/ pelabelan untuk para perempuan dekade 2000-an, yang didominasi oleh para
perempuan cantik dan mengungkapkan karya-karya yang mengedepankan seputar masalah seks dan
seksualitas, dengan sebutan “sastra wangi”, “sastra syahwat”, “sastra selangkangan”, “sastra perkelaminan”,
atau “sastra seksis”. Penyebutan/ pelabelan ini memperlihatkan pro dan kontra.
11
Sejumlah perempuan pengarang yang berjenis kelamin perempuan rata-rata tidak hanya menuliskan tentang
tubuh perempuan tetapi juga berpenampilan seksi dengan mengeksploitasi keindahan tubuh mereka.
12

Helene Cixous. Di satu sisi, gerakan ini merupakan upaya pendobrakan bahkan dekonstruksi
patriarkhi yang memanfaatkan politik kuasa tubuh. Gerakan ini pula menghadirkan beberapa
tawaran bentuk kreativitas dalam produksi teks yang dihasilkan para perempuan pengarang.
Namun, di sisi lain, politik kuasa tubuh dalam teks sastra karya perempuan pengarang ini
merupakan bentuk komodifikasi tubuh.

Selintas Membaca Tubuh dalam Rangkaian Karya Nh. Dini

Secara umum rangkaian karya Nh. Dini mengemukakan tentang tubuh, khususnya tubuh
perempuan, beserta beberapa permasalahan yang terkait dengan perempuan. Jauh sebelum
maraknya fenomena sastra tubuh atau sastra seksual, karya-karya Nh. Dini telah menyuarakan
tentang tubuh perempuan dan seksualitas, khususnya tentang oposisi biner femininitas dan
maskulinitas. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Nh. Dini seringkali disebut
sebagai salah satu tokoh feminisme dalam dunia sastra. Berkaitan dengan hal tersebut, Nh.
Dini menyatakan bahwa keluhannya mengenai “dunia yang dimiliki oleh kaum laki-laki”12
menjadi tuntutan terhadap kedudukan wanita yang harus dihargai, yang pada akhirnya
menjadi salah satu motivasi untuk menyuarakan pikirannya melalui karya sastra. Melalui
tulisannya, Nh. Dini bahkan ingin menjadi “wakil wanita”13 untuk menyampaikan usul dan
protesnya menjadi suara dari kebisuan perempuan.

Dalam Pada Sebuah Kapal (selanjutnya disebut PSK), persilangan antara femininitas, ras, dan
budaya dalam tubuh merupakan titik yang signifikan. Sri berkali-kali berbicara tentang warna
kulitnya yang “tidak kuning langsat”, yang lebih mendekati sawo matang. Ia berkali-kali
menekankan bahwa ia tidak begitu menyukai berjemur karena ia sudah cukup “gelap”, hal ini
sebagaimana berikut.
Aku tidak suka mandi-mandi di matahari. Warna kulitku sudah cukup masak. Pada
waktu berjalan di bawah terik matahari lenganku kusembunyikan serapat-rapatnya.
Ini juga disebabkan karena aku menari. Kalau kulit lenganku terlalu coklat-
kehitaman, amat susah diberi bedak kuning yang membikin tubuhku bersinar di
bawah lampu-lampu terang
(PSK, hal. 89)

12
Nh. Dini menyatakan bahwa setelah dewasa ia baru menyadari jika ternyata dunia ini dimiliki oleh kaum laki-
laki. Nh. Dini, Kuncup Berseri (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004:28)
13
Lihat, Nh. Dini, Sekayu, Gramedia, 2000:76
13

Kutipan di atas mewacanakan bahwa orang yang berkulit gelap (hitam) menginginkan atau
menyukai kulit terang (putih). Putih didefinisikan sebagai yang diinginkan dan disukai,
sehingga menjadi putihi adalah bagian dari femininitas dan ukuran kecantikan seorang
perempuan yang dating dari ras berkulit gelap. Di sisi lain, hitam dan putih merupakan warna
yang maknanya sangat socially embedded, yang dikonstruksi secara ideologis, yang berkaitan
erat dengan bagaimana ras hitam (tidak putih) dan putih dikonstruksi).

Kesadaran tentang konstruksi ini membantu untuk melihat bagaimana konstruksi Timur
(bukan putih) dihadapkan dengan konstruksi Barat (putih) dan pandangan terhadap
perempuan Timur dapat beresiko pemarginalan ganda; sebagai perempuan dan sebagai Timur.
Putih, terutama sebagai warna kulit, juga dikonstruksi sebagai desired dan desirable
(diinginkan dan disukai)14.

Bagi Michel Dubanton, warna kulit Sri justru menunjukkan keeksotikan Sri, yang tercermin
dalam perbedaaannya dengan perempuan kulit putih. Sri yang dideskripsikan gelap, kecil,
berambut panjang merepresentasi si “Liyan”, yang tidak diketahui tata cara dan pandangan
hidupnya. Diperkirakan dari Timur oleh Michel, Sri merupakan penubuhan dari sesuatu yang
eksotis dan mengundang keingintahuan, mengundang untuk digali, ditaklukkan sebagaimana
orang Barat yang berkunjung ke Timur untuk menikmati keeksotikan alam Timur. Dalam hal
ini keinginan untuk menaklukkan bukan semata-mata merupakan wacana seksual, melainkan
juga wacana kolonial.

Ketika menari, Sri adalah Subjek, dan Penonton adalah objek. Sebagaimana pemanfaatan
deiksis “aku” yang menyapa “audiensnya” dengan “kamu”. Menari juga merupakan sebentuk
ujaran, wacana tubuh. Tariannya adalah ujaran dari sunjek “aku” yang memaksa audiens
“kamu” menerima pengucapan-pengucapan yang dilakukan sang penari, pada saat yang sama
ketika audiensnya menikmati pengucapan itu, sang penari bukanlah objek yang pasif. Ia
dengan sengaja menghasilkan “pengucapan” agar ucapan itu dinikmati. Dalam objektivitas
tersebut, Sri menempatkan dirinya sebagai subjek.

Konstruksi diri yang sebagiannya dibangun melalui tubuhnya dan ucapan tubuhnya terutama
ketika menari, membuktikan bahwa tubuh bukanlah semata-mata wadah diri. Tubuh

14
Lihat, Richard Dyer, White, Routledge, 1997; Aquarini Priyatna Parabsmoro, Becoming White: representasi
ras, Kelas, Femininitas dan Globalitas dalam Iklan Sabun, Jalasutra, 2002)
14

merupakan diri yang menubuh. Dalam tariannya, Sri mengalami situasi ketika tubuhnya
merupakan keseluruhan keadaannya, sehingga sampai tak menyadari kehadiran seseorang
yang dikenalnya.

Dalam PSK dapat ditemui dua narasi berbeda sebagai percerminan pandangan perempuan
(Sri, sebagai penari) dan pandangan laki-laki (Michel Dubanton, sebagai pelaut). Narasi
terpisah ini menguatkan asumsi atas oposisi biner femininitas dan maskulinitas, serta
seksualitas perempuan dan laki-laki. Narasi Sri lebih sekedar representasi perempuan. Sri
juga merupakan perwakilan Timur/ bukan putih, yang merupakan tandingan dari Michel yang
laki-laki dan Barat/ putih.

Dalam narasi Michel Dubanton, seksualitas perempuan direpresentasikan sebagai menantang


dan menyerah pada keinginan dan birahi laki-laki. Seksualitas perempuan yang takluk itu
ditampakkan sebagai monolitik dan melewati batas-batas ras dan budaya, misalnya
perempuan Italia adalah “sepotong daging yang patut dicoba” (PSK, hal 260), perempuan
India “tahu menaklukkan Anda”, atau perempuan Tionghoa “memang bukan main” (PSK, hal
262). Dalam stereotype perspektif laki-laki, perempuan adalah objek seksual yang
menjanjikan.

Sehubungan dengan budaya Timur, dalam beberapa rangkaian karya Nh. Dini sangat
terwarnai oleh emansipasi wanita yang berlatar budaya Jawa. Sehubungan dengann hal
tersebut, rangkaian karya yang patut disebut antara lain cerita kenangannya, yaitu Sebuah
Lorong di Kotaku (1978), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Padang Ilalang Di
Belakang Rumah (1979), Sekayu (1981), dan Kuncup Berseri (1982). Sebagai ceraita
kenangan, kelima karya tersebut bercerita mengenai kenangan sejak masa kecil sampai
memasuki usia dewasa. Nh Dini tidak hanya menhadirkan kenangan pribadinya melainkan
juga menyoroti berbagai peristiwa dan budaya masyarakat tempat dia tumbuh dan hidup, yaitu
budaya Jawa.

Konstruksi tubuh yang dihadirkan tidak sekedar konstruksi tentang tubuh budaya Jawa, tetapi
juga representasi tubuh manusia Jawa yang sarat dengan nilai-nilai kepriyayian. Kepriyayian
yang ditampilkan dalam kelima karya di atas bukan sebagai status sosial, tetapi sebagai sikap
dan perilaku orang yang menekankan pada aspek-aspek yang berkenaan dengan kehalusan,
sopan-santun, penjagaan harga diri, dan kebatinan. Dengan kata lain, para tokoh dalam karya-
15

karya tersebut direpresentasikan mampu mengendalikan diri, selalu bersikap halus, serta
menjaga praja atau harga diri, sebagaimana layaknya seorang priyayi.

Secara keseluruhan pada kelima karya tersebut merepresentasikan pengungkapan


penghargaan yang sangat tinggi terhadap sikap alus yang dimiliki orang tua dan kakeknya
melalui berbagai peristiwa. Sebagai contoh, ketika keluarganya berkunjung ke rumah
kakeknya di desa, Dini yang masih kecil tidak bisa menjawab pertanyaan sang kakek dengan
bahasa Jawa Krama yang halus, maka sang kakek pun tidak menunjukkan sikap marah atau
kecewa, tetapi justru langsung membetulkannya boso ngoko tersebut dengan boso kromo
yang halus, dengan cara mengulangi jawaban Dini.15

Dalam rangkaian cerita kenangan tersebut, tidak diperlihatkan pemakaian bahasa Jawa
sebagai salah satu unsure kepriyayian yang langsung dan eksplisit, misalnya pada percakapan
antar tokoh yang panjang. Akan tetapi, yang terungkap justru mengacu pada implikasi
mengenai budaya berbahasa Jawa sebagai kesopanan dan kehalusan yang memperlihatkan
sekaligus menunjang kepriyayian.

Pada rangkain cerita kenangan Nh. Dini, terlihat bahwa dalam proses menjadi dewasa tokoh
Dini kecil semakin sering berhadapan dengan kode sosial yang lebih berpihak pada pria dalam
hal kepriyayian kemudian ia menyadari adanya ketidaksetaraan pada tatanan nilai kepriyayian
dalam hal perempuan dan laki-laki. Dalam proses menjadi dewasa Nh. Dini diperkenalkan
pada tatanan nilai yang berkenaan dengan apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang
untuk perempuan kemudian dia menjadi mempertanyakan tatanan nilai tersebut. Hal ini
sebagaimana yang diceritakan dalam Kuncup Berseri halaman 25.

Dalam kelima cerita tersebut, perspektif wanita yang terungkap bukan sesuatu yang bersifat
radikal, melainkan bersifat moderat. Artinya, perspektif wanita yang terungkap dalam kelima
cerita kenangan itu merupakan sesuatu yang sejajar dengan feminism liberal, karena feminism
liberal sangat mengutamakan persoalan kesempatan yang adil dalam hal wanita dan pria.
Ditinjau dari ungkapan-ungkapan terhadap tatanan nilai yang berkenaan dengan wanita dalam
karya-karya itu merupakan persoalan equality yaitu kesetaraan dan keadilan dalam hal wanita
dengan pria.

15
Lihat Nh. Dini. Sebuah Lorong Di Kotaku, Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2002, hal. 54.
16

Dalam kelima rangkaian teks di atas, terlihat adanya usaha memaknai kepriyayian dari
perspektif wanita merupakan hal yang istimewa dalam gagasan feminism sebagai seorang
perempuan pengarang. Gagasan atau perspektif feminism yang disampaikan bukanlah
sesuatu yang kontradiktif atau terdapat ketegangan antara nilai kepriyayian dengan perspektif
perempuan, karena dia tidak melihat atau menangggapinya sebagai sesuatu yang patriarkhis.

Kepriyayian Jawa memang tidak terlepas sepenuhnya dari sesuatu yang berkesan patriarkis.
Ide dan ungkapan yang dihadirkan dalam kelima karya tersebut mengenai kepriyayian dari
perspektif perempuan, menyajikan sebuah interpretasi mengenai kepriyayian. Kepriyayian
direpresentasikan sebagai seuatu yang positif. Tokoh-tokoh bersikap menerima nilai-nilai
kepriyayian dengan memaparkan persoalan diskriminasi dalam menerapkan nilai kepriyayian
pada perempuan dan laki-laki. Dengan demikian, teks ini menghadirkan sosok baru sebagai
priyayi feminis atau sebagai feminis yang menganut nilai-nilai kepriyayian.

Berdasarkan pembacaan selintas atas rangkaian karya Nh.Dini dapat dikatakan bahwa dalam
karya sastra persoalan tubuh bukan persoalan yang ada di dunia antah berantah, yang
berkelindan dan tidak bersentuhan. Melalui karya sastra, perempuan pengarang bisa
menyuarakan suara-suara perempuan lewat karya-karyanya, bisa menuliskan tubuhnya.
Dengan demikian, sebagaimana yang dikemukakan oleh Arimbi (2011:13) sastra bisa dipakai
untuk membangun tradisi perempuan dari kacamata perempuan untuk kepentingan perempuan
ataupun makhluk lainnya dalam membentuk dunia yang bebas dari bias gender dan
berkeadilan. Manusia dalam hal ini perempuan pengarang bisa berjuang melalui pena atau
tulisan (PEN IS WAR) dalam mencapai keadilan gender dan menyuarakan tubuhnya, dan hal
tersebut dapat digunakan sebagai spirit utama hidupnya.

Akhirnya…… bagaimana kita memaknai kutipan syair berikut:

wanita dijajah pria sejak dulu


dijadikan perhiasan sangkar madu
namun ada kala pria tak berdaya
tekuk lutut di sudut kerling wanita……

Wassalam….
17

DAFTAR PUSTAKA

Arimbi, Diah Ariani. 2011. “Sastra dan Gender: Memaknai Representasi Perempuan dalam
Sastra Indonesia Kontemporer melalui Kritik Sastra Feminis” dalam Seminar
Antarbangsa Kesusastraan Asia Tenggara (SAKAT), 2011 yang diselenggarakan oleh
MASTERA (Masyarakat Sastra Asia Tenggara) di Brunai Darussalam, 17-18
September 2011.

Brooks, Ann. 2009. Posfeminisme dan Cultural Studies: Sebuah Pengantar Paling
Komprehensif. (edisi Terjemahan). Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.

Budianta, Melani. 2002. “Pendekatan Feminis terhadap Wacana,” Analisis Wacana: dari
Linguistik sampai Dekonstruksi. Yogyakarta: Penerbit Kanal.

Cavallaro, Dani. 2001. Critical and Cultural Theory: Thematics Variations. London & New
Brunswick, NJ.: The Athlone Press.

Cixous, Helen. 1981. “The Laugh of Medusa”, dalam E. Marks dan I de Courtrivon (ed.), New
French Feminisms, Sussex: Harvester Press.

Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Foucault, Michel. 1980. Power/ Knowledge, Selected Interviews and Other Writings, 1972-
1977. Sussex: The Harvester Press.

Hauser, Arnold. 1982. The Sosiology of Art, Chicago and London: The University of Chicago Press.

Humm, Maggie. 2002. Ensiklopedia Feminisme.Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

Nh. Dini. 1982. Kuncup Berseri. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama.

_______. 1988. Langitdan Bumi Sahabat Kami. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama.

_______. 1991. Sekayu. . Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama

_______. 2000. Pada Sebuah Kapal. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama

_______. 2002. Sebuah Lorong Di Kotaku. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama

_______. 2004. Padang Ilalang di Belakang Rumah. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka
Utama.

Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2002. Becoming White: Representasi, Ras, Kelas, Femininitas, dan
Globalitas dalam Iklan Sabun. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.

_________________________. 2003. “Representassi Seksualitas Perempuan dalam Tiga Novel karya


Nh. Dini. Tesis. Tidak Diterbitkan. Jakarta: Universitas Indonesia- Program Pascasarjana.
18

Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2006. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop.
Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.

Prihatmi, Rahayu. 1986. Pengarang-Pengarang Wanita Indonesia: Seulas Pembicaraan.


Jakarta: Pustaka Jaya.

Rampan, Korrie Layun. 1984. Kesusastraan Tanpa Kehadiran Sastra. Jakarta: Yayasan
Arus.

Shikibu, Murasaki. 1992. The Tale of Genji. London: Everyman’s Library Spender, Dale.
1987. Man Made Language. 2nd ed. London: Pandora.

Sumardjo. Jakob. 1981. “Rumah yang Damai: Wanita dalam Sastra Indonesia”, dalam
Prisma, 7 Juli 1981.

______________. 1982. Novel Populer Indonesia. Yogyakarta: Nur Cahaya.

Suryadi AG, Linus. 1981. Pengakuan Pariyem: Dunia Batin Seorang Wanita Jawa. Jakarta:
Sinar Harapan.

Watt, Ian. 1957. The Rise of The Novel. Pelican Books: London.

Anda mungkin juga menyukai