Anda di halaman 1dari 7

TUGAS FILSAFAT PENDIDIKAN

MENGANALISIS DASAR FILSAFAT PENDIDIKAN DI INDONESIA

Oleh :
Nama : Ni Made Putri Dwi Andriyani
NIM : 2011021001
Kelas : PBSA IIC DENPASAR

SASTRA AGAMA DAN PENDIDIKAN BAHASA BALI


FAKULTAS DHARMA ACARYA
UNIVERSITAS HINDU NEGERI I GUSTI BAGUS SUGRIWA DENPASAR
Deskripsikan :
1. Pancasila sebagai ideologi Bangsa
2. Keselarasan tujuan negara dengan tujuan Pendidikan
3. Analisis filsafat tujuan Pendidikan di Indonesia
Jawaban :
1. Pancasila sebagai Ideologi Bangsa
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa sebenarnya merupakan perwujudan
dari nilai-nilai budaya milik bangsa sendiri yang diyakini kebenarannya. Pancasila digali
dari budaya bangsa yang sudah ada, tumbuh, dan berkembang berabad-abad lamanya.
Oleh karena itu, Pancasila adalah khas milik bangsa Indonesia sejak keberadaannya
sebagai sebuah bangsa. Pancasila merangkum nilai-nilai yang sama yang terkandung
dalam adat-istiadat, kebudayaan, dan agama yang ada di Indonesia. Dengan demikian,
Pancasila sebagai pandangan hidup mencerminkan jiwa dan kepribadian bangsa
Indonesia.
Pancasila adalah ideologi dasar bangsa Indonesia, yaitu sebagai nilai-nilai yang
mendasari segala aspek kehidupan bermasyarakat rakyat Indonesia. Pancasila terdiri dari
lima sendi utama, yaitu: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan yang adil dan
beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat
kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Pengertian Pancasila sebagai ‘ideologi negara’ adalah nilai-nilai yang terkandung
di dalam Pancasila menjadi cita-cita normatif di dalam penyelenggaraan negara. Secara
luas, pengertian Pancasila sebagai ideologi Negara Indonesia adalah visi atau arah dari
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, yaitu terwujudnya
kehidupan yang menjunjung tinggi ketuhanan, nilai kemanusiaan, kesadaran akan
kesatuan, berkerakyatan, serta menjunjung tinggi nilai keadilan.
Keputusan bangsa Indonesia mengenai Pancasila sebagai ideologi negara
tercantum dalam Ketetapan MPR Nomor 18 Tahun 1998 tentang Pencabutan dari
Ketetapan MPR Nomor 2 Tahun 1978 mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara. Pada Pasal
1 Ketetapan MPR tersebut menyatakan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan
bernegara. Dari ketetapan MPR tersebut dapat diketahui bahwa di Indonesia kedudukan
Pancasila adalah sebagai ideologi negara, selain kedudukannya sebagai dasar negara.
Pancasila sebagai ideologi negara yang berarti sebagai cita-cita bernegara dan sarana
yang mempersatukan masyarakat perlu perwujudan yang konkret dan operasional
aplikatif, sehingga tidak hanya dijadikan slogan belaka. Dalam Ketetapan MPR tersebut
dinyatakan bahwa Pancasila perlu diamalkan dalam bentuk pelaksanaan yang konsisten
dalam kehidupan bernegara.
Pada awalnya, konsep Pancasila dapat dipahami sebagai common platform atau
platform bersama bagi berbagai ideologi politik yang berkembang saat itu di Indonesia.
Pancasila merupakan tawaran yang dapat menjembatani perbedaan ideologis di kalangan
anggota BPUPKI. Pancasila dimaksudkan oleh Soekarno pada waktu itu yaitu sebagai
asas bersama agar dengan asas itu seluruh kelompok yang terdapat di Indonesia dapat
bersatu dan menerima asas tersebut.
Menurut Adnan Buyung Nasution, telah terjadi perubahan fungsi Pancasila
sebagai ideologi negara. Pancasila sebenarnya dimaksudkan sebagai platform demokratis
bagi semua golongan di Indonesia. Perkembangan doktrinal Pancasila telah
mengubahnya dari fungsi awal Pancasila sebagai platform bersama bagi ideologi politik
dan aliran pemikiran sesuai dengan rumusan pertama yang disampaikan oleh Soekarno
menjadi ideologi yang komprehensif integral. Ideologi Pancasila menjadi ideologi yang
khas, berbeda dengan ideologi lain.
Pernyataan Soekarno ini menjadi jauh berkembang dan berbeda dengan
pernyataan yang disampaikan oleh Notonagoro. Beliau melalui interpretasi filosofis
memberi status ilmiah dan resmi tentang ideologi bagi masyarakat Indonesia, yang pada
mulanya Pancasila sebagai ideologi terbuka sebuah konsensus politik menjadi ideologi
yang benar-benar komprehensif. Interpretasi ini berkembang luas, masif, dan bahkan
monolitik pada masa pemerintahan Orde Baru.
Pancasila dilihat dari sudut pandang politik merupakan sebuah konsensus politik,
yaitu suatu persetujuan politik yang disepakati bersama oleh berbagai golongan
masyarakat di Negara Indonesia. Dengan diterimanya Pancasila oleh berbagai golongan
dan aliran pemikiran, maka mereka bersedia bersatu dalam negara kebangsaan Indonesia.
Dalam istilah politiknya, Pancasila merupakan common platform masyarakat Indonesia
yang plural. Sudut pandang politik ini teramat penting untuk bangsa Indonesia sekarang
ini. Jadi, sebenarnya perkembangan Pancasila sebagai doktrin dan pandangan dunia yang
khas tidak menguntungkan kalau dinilai dari tujuan mempersatukan bangsa.
Banyak para pihak yang sepakat bahwa Pancasila sebagai ideologi negara merupakan
kesepakatan bersama, common platform, dan nilai integratif bagi bangsa Indonesia.
Kesepakatan bersama bahwa pancasila sebagai ideologi negara inilah yang harus kita
pertahankan dan ditumbuhkembangkan dalam kehidupan bangsa yang plural ini.
Berdasarkan uraian di atas, maka makna Pancasila sebagai ideologi bangsa dan Negara
Indonesia yaitu:
1.Nilai-nilai dalam Pancasila dijadikan sebagai cita-cita normatif dari penyelenggaraan
bernegara di Indonesia.
2.Nilai-nilai dalam Pancasila merupakan nilai yang telah disepakati bersama dan oleh
karenanya menjadi salah satu sarana untuk menyatukan masyarakat Indonesia.
Perwujudan Pancasila sebagai ideologi negara yang berarti menjadi cita-cita
penyelenggaraan bernegara terwujud melalui Ketetapan MPR Nomor 7 Tahun 2001
mengenai Visi Indonesia Masa Depan. Dalam Ketetapan MPR tersebut menyatakan
bahwa Visi Indonesia Masa Depan terdiri atas tiga visi, yaitu:
1.Visi ideal, yaitu cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana dimaksudkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea kedua dan alinea keempat.
2.Visi antara, yaitu visi bangsa Indonesia yang berlaku sampai dengan tahun 2020.
3.Visi lima tahunan, yaitu sebagaimana dimaksudkan dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN).

2. Keselarasan Tujuan Negara dengan Tujuan Pendidikan


Tujuan negara dalam bidang Pendidikan sudah tertulis jelas dalam pembukaan
UUD 1945 yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan social” disini tujuan negara dan tujuan Pendidikan memiliki
keselarasan/kesamaan yaitu sama-sama ingin mencerdaskan kehidupan bangsa
Pendidikan memang menjadi bagian yang vital dalam kehidupan. Walaupun faktanya,
memang tidak semua orang yang berpendidikan itu sukses dalam perjalanan hidupnya.
Akan tetapi, jika dilakukan sebuah perbandingan maka orang yang berpendidikan jauh
lebih banyak yang bisa mengecap kesuksesan daripada yang tidak berpendidikan. Oleh
karena itu, pendidikan bisa menjadi salah satu jembatan untuk mencapai kesuksesan.
Pendidikan Nasional Menurut Undang-undang No.20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 2 adalah
pendidikan yang berdasarkan Pancasila danUndang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional
Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Di Negara Indonesia, pendidikan nasional dilaksanakaan sejak Sekolah Dasar
hingga jenjang Perguruan Tinggi. Salah satu program yang dijalankan oleh pemerintah
dalam mendukung program pendidikan nasional ini adalah wajib belajar 12 tahun, yang
mana pendidikan dimulai dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah
atas. Hal tersebut dilakukan tak lain agar seluruh generasi penerus bangsa dapat
menenerima dan mengikuti pendidikan yang layak, sesuai dengan tujuan penidikan
nasional yang ada.
Setelah mengetahui arti pendidikan serta pendidikan nasional di Indonesia, maka
penting untuk mengetahui tujuan pendidikan nasional.
Tujuan pendidikan nasional menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional RI
No. 20 Tahun 2003 adalah sebagai berikut:
Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Pernyataan ini mengandung arti bahwa semua aspek yang terdapat dalam sistem
pendidikan nasional akan mencerminkan aktifitas yang dijiwai oleh pancasila dan UUD
1945 dan berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia. Tujuan pendidikan nasional yang
dimaksud disini adalah tujuan akhir yang akan dicapai oleh lembaga pendidikan baik
formal, non-formal maupun in-formal yang berada dalam masyarakat dan negara
Indonesia.
Telah dikatakan bahwa rumusan tujuan pendidikan selalu mengalami perubahan
sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan masyarakat negara yang bersangkutan.
Contohnya, tujuan pendidikan yang dikemukakan di dalam ketetapan MPRS dan MPR
serta UUSPN No. 2 Tahun 1989 yaitu tujuan pendidikan membentuk manusia pancasila
sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki pembukaan dan UUD
1945. Menyebutkan pendidikan nasional berdasarkan pancasila dan tujuan meningkatkan
ketakwaan terhadap tuhan yang maha esa, kecerdasan ketrampilan, mempertinggi budi
pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat
menumbuhkan manusia-manusia yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-
sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.

3. Analisis filsafat tujuan Pendidikan di Indonesia


Filsafat pendidikan adalah muara ide dari berbagai kebutuhan utama pendidikan
seperti model pembelajaran dan berbagai aspek lain yang dibutuhkan untuk melanjutkan
saga keilmuan pendidikan. Seperti filsafat pada umumnya, filsafat ini juga
mempertanyakan berbagai kemungkinan yang telah ada lalu mempertanyakan
kebenarannya agar dapat memutuskan kebenaran baru dalam menggiati keilmuan ini.
Tujuan filsafat pendidikan dapat ditinjau dari tujuan filsafat dan pendidikan itu
sendiri. Filsafat diantaranya memiliki tujuan untuk mengkritisi suatu kepercayaan dan
sikap yang telah dijunjung tinggi, mendapatkan gambaran keseluruhan, analisis logis
dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep.
Sementara itu teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang
kebijakan dan prinsip-prinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat, merumuskan metode
praktik pendidikan atau proses pendidikan yang menerapkan serangkaian kegiatan berupa
implementasi kurikulum dan interaksi antara pendidik dengan peserta didik untuk
mencapai tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan sendiri tergantung dari kebutuhan. Bisa jadi tujuan pendidikan
adalah tujuan pendidikan nasional (mencetak generasi penerus bangsa yang baik),
instruksional (khusus terhadap keterampilan tertentu), hingga ke tujuan pendidikan
institusional (pendidikan militer, dokter, akademisi, dsb).
Selain itu, menurut Amka (2019) tujuan filsafat pendidikan meliputi:
Dengan berfikir filsafat seseorang bisa menjadi manusia, lebih mendidik, dan
membangun diri sendiri.
Seseorang dapat menjadi orang yang dapat berfikir sendiri.
Memberikan dasar-dasar pengetahuan, memberikan pandangan yang sintesis pula
sehingga seluruh pengetahuan merupakan satu kesatuan.
Hidup seseorang dipimpin oleh pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang tersebut, sebab
itu mengetahui pengetahuan-pengetahuan terdasar berarti mengetahui dasar-dasar hidup
diri sendiri.
Bagi seorang pendidik, filsafat mempunyai kepentingan istimewa karena
filsafatlah yang memberikan dasar-dasar dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang
mengenai manusia, seperti misalnya ilmu mendidik.
Misalnya, bagaimana hakikat, pengertian atau dasar dari filsafat itu sendiri harus
diungkap melalui landasan ontologisnya terlebih dahulu. Ketika seseorang mencari tahu
ontologi, maka leburlah semua konsentrasinya; ontologi adalah bidang filsafat yang
paling sukar.

Ontologi adalah bagian dari metafisika yang bersifat spekulatif, membahas hakikat “yang
ada” secara universal. Ontologi berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang
meliputi segala realitas dalam semua bentuknya. Ontologi mempersoalkan hakikat yang
tidak dapat dijangkau oleh panca indera belaka.
Pernyataan di atas diperkuat oleh pendapat Rukiyati dan Purwastuti (2015, hlm.10),
Sebenarnya, ontologi adalah bagian dari metafisika, sederhananya metafisika dapat
didefinisikan sebagai cabang filsafat atau bagian pengetahuan manusia yang
bersangkutan dengan pertanyaan mengenai hakikat “ada” yang terdalam.
Semenjak hadirnya pemikiran empiris (pengetahuan yang harus terbuktikan dan teralami
secara nyata) banyak yang menyepelekan metafisika. Padahal, pemikiran empiris muncul
dari asumsi-asumsi yang dihasilkan oleh ontologi (metafisika).
Einstein menyadari hal ini melalui ucapan ikoniknya yang berkata “imagination is more
important than knowledge”. Meskipun pemikiran empiris adalah kuda pacu yang
diandalkan hari ini, hal tersebut tidak akan tercipta tanpa spekulasi-spekulasi dari
pemikiran ontologis.
Lalu di mana posisi ontologi pada filsafat ini? Landasan ontologis memberikan dasar bagi
pendidikan mengenai pemikiran tentang “Yang Ada”, misalnya pemikiran tentang Tuhan,
manusia, dan alam semesta. Corak pendidikan yang akan dilaksanakan sangat
dipengaruhi oleh pandangan tentang “Yang Ada” yang telah ditentukan melalui ontologi.
Contoh praktisnya adalah terciptanya kurikulum pendidikan agama untuk pendidikan
agama. Tercipta kurikulum pendidikan vokasi untuk menyelenggarakan pendidikan
keterampilan. Mengapa? Karena secara ontologis telah diketahui dari awal bahwa
pemikiran filsafat itu tujuan pendidikannya berdasarkan “Yang Ada” untuk agama, atau
“Yang Ada” untuk vokasi.

Epistemologi berarti mempersoalkan sumber dan usul pengetahuan dengan meneliti,


mempelajari dan mencoba mengungkapkan prinsip-prinsip primer kekuatan struktur
pikiran yang dianugerahkan kepada manusia. Kajian epistemologi membahas tentang
bagaimana proses mendapatkan ilmu pengetahuan, hal-hal apakah yang harus
diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar, apa yang disebut kebenaran dan
apa kriterianya (Amka, 2019, hlm.37).
Objek telaahnya sendiri adalah untuk mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang,
bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana kita membedakannya dengan lain. Intinya,
objek telaahnya berkenaan dengan situasi, kondisi, ruang dan waktu mengenai sesuatu
hal.
Landasan epistemologis memberikan dasar filsafat bagi teori dan praktik pendidikan
dalam hal cara memperoleh pengetahuan. Pendidikan itu sangat erat kaitannya dengan
ilmu pengetahuan, maka pandangan mengenai sumber dan jenis pengetahuan akan sangat
berpengaruh terhadap kurikulum dan model atau metode pembelajaran (pengajaran).
Apa kegunaan ilmu yang dihasilkan dari pendidikan bagi kita? Ilmu pengetahuan
memang telah memberikan manfaat yang besar. Misalnya, bagaimana teori atom dapat
digunakan untuk menciptakan energi yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-
hari. Namun, dibalik itu teori ini pula yang membuat kita mampu untuk menciptakan
bom atom yang menjadi malapetaka bagi dunia.
Pertanyaan ke mana arah pengetahuan dan pendidikan itulah yang menjadi objek
pertanyaan utama aksiologi. Untuk apa pengetahuan itu akan digunakan? Bagaimana
hubungannya dengan etika dan moral? Bagimana kaitan prosedur ilmiah dan metode
ilmiah dengan kaidah moral?

Aksiologi merupakan cabang filsafat yang membahas teori-teori nilai dan berusaha
menggambarkan apa yang dinamakan dengan kebaikan dan perilaku yang baik (Rukiyati
& Purwastuti, 2015, hlm.29). Di dalamnya terdapat etika dan estetika.
Etika adalah kajian filsafat yang mempersoalkan perilaku manusia terhadap nilai dan
moral. Estetika adalah filsafat yang berkaitan dengan kajian keindahan. Keduanya akan
berkaitan, karena sesuatu yang indah cenderung akan terasa lebih beretika, begitu pun
sebaliknya. Setidaknya, begitulah sebelum filsafat seni kembali mempertanyakannya.
Dalam ranah pendidikan, landasan aksiologis memberikan dasar-dasar filsafat dalam hal
nilai dan moral yang melandasi teori pendidikan dan menjadi acuan dalam praktik
pendidikan. Karena, pendidikan tanpa nilai dan moral yang positif, pendidikan justru
dapat memberikan hal yang negatif. Pendidikan haruslah diimbangi dengan adalah
adanya pemberi, penerima, tujuan, dan cara yang baik, dalam konteks yang positif.

Anda mungkin juga menyukai