Anda di halaman 1dari 35

i

JOURNAL READING
Concentration of Zinc, Copper, Selenium, Manganese, and Cu/Zn Ratio in
Hair of Children and Adolescents with Myopia

Pembimbing :
dr. Indira Retno Artati, Sp.M

Penyusun :
Muhammad Reyhan Arsya
20090420008

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


RSAL Dr. RAMELAN Fakultas
Kedokteran
Universitas Hang Tuah
Surabaya
2019
ii

LEMBAR PENGESAHAN

JOURNAL READING
Concentration of Zinc, Copper, Selenium,
Manganese, and Cu/Zn Ratio in Hair of Children
and Adolescents with Myopia

Journal Reading dengan judul “Concentration of Zinc, Copper, Selenium,


Manganese, and Cu/Zn Ratio in Hair of Children and Adolescents with Myopia”
telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan
studi kepaniteraan Dokter Muda di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSAL Dr. Ramelan
Surabaya.

Surabaya, 29 Oktober 2019

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Indira Retno Artati, Sp.M.


3

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb., Salam Sejahtera, Om Santi Santi Om, Namo


Buddhaya.

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya. Penulis telah menyelesaikan penulisan Journal Reading dengan judul
“Concentration of Zinc, Copper, Selenium, Manganese, and Cu/Zn Ratio in Hair of
Children and Adolescents with Myopia”.

Penulisan Journal Reading ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat
kelulusan program pendidikan profesi dokter pada Fakultas Kedokteran Universitas
Hang Tuah Surabaya yang dilaksanakan di RSAL Dr. Ramelan Surabaya. Ucapan
terimakasih penulis sampaikan kepada seluruh dokter pembimbing, khususnya kepada
dr. Indira Retno Artati, Sp.M, dan kepada semua pihak terkait yang telah membantu
dalam penyelesaian laporan Journal Reading ini.

Tulisan laporan Journal Reading ini masih jauh dari sempurna. Dengan
kerendahan hati, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharapkan kritik
dan saran yang membangun. Semoga tulisan laporan Journal Reading ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalamualaikum Wr. Wb., Salam Sejahtera, Om Santi Santi Om, Namo


Buddhaya.

Surabaya, 29 Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………………………….ii

KATA PENGANTAR……..................................................................................................iii

DAFTAR ISI......................................................................................................................iv

JOURNAL READING

1. Introduction
2. Materials and Methods
3. Results
4. Discussion
5. Conclusion
Data Availability
Conflicts of Interest
Acknowledgments
References

TEORI PENUNJANG

BAB. 1
PENDAHULUAN…. ..............................................................................................1

BAB. 2 TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................2

2.1 Media Refraksi………………………………………………………………………2

2..1.1 Anatomi Media Refraksi…………………………………………………………2

2..1.2 Fisiologi Penglihatan……………………………………………………………..4

2.1.3 Kelainan Refraksi…………………………………………………………………5

2.1..3.1 Hipermetropia…………………………………………………………………..5

2.1.3.1.1 Definisi…………………………………………………………………………5

2.1.3.1.2 Ettiologi dan Faktor Resiko………………………………………….………6

2.1.3.1.3 Patofisiologi…………………………………………………………..…….....7

2.1.3.1.4 Gejala Klinis / Gambaran Klinis…………………………………...…………7


2.1.3.1.5 Penatalaksanaan……………………………………………………………8

2.1.3.1.6 Prognosis…………………………………………………………………….10

2.1.3.2 Miopia…………………………………………………………………………..10

2.1.3.2.1 Definisi……………………………………………………………………….10

2.1.3.2.2 Faktor Resiko………………………………………………………………..11

2.1.3.2.3 Patogenesis………………………………………………………………….11

2.1.3.2.4 Gejala Klinis…………………………………………………………………12

2.1.3.2.5 Penatalaksanaan…………………………………………………………...13

2.1.3.2.6 Prognosis……………………………………………………………..……..14

2.1.3.3 Astigmatisma…………………………………………………………….……14

2.1.3.3.1 Definisi………………………………………………………………………14

2.1.3.3.2 Faktor Resiko………………………………………………………….……14

2.1.3.3.3 Patofisiologi…………………………………………………………………15

2.1.3.3.4 Gejala Klinis…………………………………………………………………15

2.1.3.3.5 Penatalaksanaan…………………………………………………………...15

2.1.3.3.6 Prognosis……………………………………………………………………16

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………17
6|

TEORI PENUNJANG
BAB I
PENDAHULUAN

Mata adalah salah satu indera yang penting bagi manusia. Melalui mata
manusia menyerap informasi visual yang digunakan untuk melaksanakan berbagai
kegiatan. Saat ini gangguan penglihatan banyak terjadi, mulai dari gangguan ringan
hingga gangguan berat yang dapat mengakibatkan kebutaan. Penyebab gangguan
penglihatan terbanyak di seluruh dunia adalah gangguan refraksi yang tidak
terkoreksi.

Kelainan refraksi mata atau refraksi anomali adalah keadaan dimana


bayangan tegas tidak dibentuk pada retina tetapi di bagian depan atau belakang
bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal
dalam bentuk miopia, hipermetropia, dan astigmatisma (Ilyas, 2006).
Kelainan refraksi adalah kelainan pembiasan sinar oleh media
penglihatan yang terdiri dari kornea, cairan mata, lensa, badan kaca, atau panjang
bola mata, sehingga bayangan benda dibiaskan tidak tepat di daerah makula
lutea tanpa bantuan akomodasi.
World Health Organization (WHO), 2009 menyatakan terdapat 45 juta orang
yang mengalami buta di seluruh dunia, dan 135 juta dengan low vision. Setiap tahun
tidak kurang dari 7 juta orang mengalami kebutaan, setiap 5 menit sekali ada satu
penduduk bumi menjadi buta dan setiap 12 menit sekali terdapat satu anak
mengalami kebutaan. Sekitar 90 % penderita kebutaan dan gangguan penglihatan
ini hidup di negara-negara miskin dan terbelakang (Tsan, 2010).
BAB II. TINJAUAN
PUSTAKA

2.1 Media Refraksi


2.1.1 Anatomi Media Refraksi
Refraksi mata adalah perubahan jalannya cahaya yang diakibatkan oleh media
refrakta mata. Alat-alat refraksi mata terdiri dari permukaan kornea, humor aqueous
(cairan bilik mata), permukaan anterior dan posterior lensa, badan kaca (corpus
vitreum).

Gambar 1. Anatomi Mata


Yang termasuk media refraksi
antara lain kornea, humor
aqueous, lensa, dan vitreous.
Media refraksi targetnya di retina
sentral (macula).

Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri
atas kornea, aqueous humor (cairan mata), lensa, badan vitreous (badan kaca), dan
panjangnya bola mata. Pada orang normal susunan pembiasan oleh media
penglihatan dan panjang bola mata sedemikian seimbang sehingga bayangan
benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea.
Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan
bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan mata tidak melakukan akomodasi
atau istirahat melihat jauh (Ilyas, 2009).
1) Kornea
Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya sebanding
dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea ini disisipkan ke sklera di limbus,
lekuk melingkar pada persambungan ini disebut sulkus skleralis. Kornea dewasa
rata-rata mempunyai tebal 0,54 mm di tengah, sekitar 0,65 mm di tepi, dan
diameternya sekitar 11,5 mm. Dari anterior ke posterior, kornea mempunyai lima
lapisan yang berbeda-beda: lapisan epitel (yang bersambung dengan lapisan epitel
konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan
endotel.
2) Humor Aqueous
Humor aqueous diproduksi oleh badan siliaris. Setelah memasuki camera
oculi posterior, humor aqueous melalui pupil dan masuk ke camera oculi anterior

5,15
dan kemudian ke perifer menuju ke sudut camera oculi anterior. Humor
aqueous difiltrasi dari darah, dimodifikasi komposisinya, baru disekresikan oleh
badan siliaris di camera oculi posterior. Humor aqueous diproduksi dengan
kecepatan 2-3 μL/menit dan mengisi kamera okuli anterior sebanyak 250 μL serta
camera oculi posterior sebanyak 60 μL.
Humor aqueous mengalir di sekitar lensa dan melewati pupil ke ruang
anterior. Sebagian air keluar mata melalui lorong-lorong dari trabecular meshwork.
Trabecular meshwork adalah saluran seperti saringan yang mengelilingi tepi luar
dari iris dalam sudut ruang anterior, dibentuk di mana menyisipkan iris ke dalam
badan siliaris. Jumlah yang lebih sedikit masuk ke dalam badan siliaris yang
terbuka dan ke iris, di mana ia akhirnya berdifusi ke dalam pembuluh darah di
sekitar bola mata.

3) Lensa
Lensa adalah struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna dan hampir
transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Lensa
digantung di belakang iris oleh zonula yang menghubungkannya dengan badan
siliare. Di anterior lensa terdapat humor aqueous, di sebelah posteriornya terdapat
vitreus. Kapsul lensa adalah suatu membran yang semipermeabel (sedikit lebih
permeabel daripada dinding kapiler) yang akan memungkinkan air dan elektrolit
masuk.
Selapis epitel subskapular terdapat di depan. Nukleus lensa lebih keras
daripada korteksnya. Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-serat lamellar
subepitel terus diproduksi, sehingga lensa semakin lama menjadi lebih besar dan
kurang elastik. Nukleus dan korteks terbentuk dari lamellae kosentris yang panjang.
Garis-garis persambungan yang terbentuk dengan persambungan lamellae ini
ujung-ke-ujung berbentuk {Y} bila dilihat dengan slitlamp. Bentuk
{Y} ini tegak di anterior dan terbalik di posterior. Masing-masing serat lamellar
mengandung sebuah inti gepeng. Pada pemeriksaan mikroskopik, inti ini jelas
dibagian perifer lensa didekat ekuator dan bersambung dengan lapisan epitel
subkapsul.
Lensa difiksasi ditempatnya oleh ligamentum yang dikenal sebagai zonula
(zonula Zinnii), yang tersusun dari banyak fibril dari permukaan badan siliaris dan
menyisip kedalam ekuator lensa. Enam puluh lima persen lensa terdiri dari air,
sekitar 35% protein (kandungan protein tertinggi diantara jaringan-jaringan tubuh),
dan sedikit sekali mineral yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan
kalium lebih tinggi di lensa daripada di kebanyakan jaringan lain. Asam askorbat
dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Tidak ada serat
nyeri, pembuluh darah atau saraf di lensa. Lensa memiliki kekuatan refraksi 15-
10D.

4) Vitreus
Vitreus adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang membentuk
dua pertiga dari volume dan berat mata. Vitreus mengisi ruangan yang dibatasi oleh
lensa, retina dan diskus optikus. Permukaan luar vitreus membran hialois-
normalnya berkontak dengan struktur-struktur berikut: kapsula lensa posterior,
serat-serat zonula, pars plana lapisan epitel, retina dan caput nervi optici. Basis
vitreus mempertahankan penempelan yang kuat sepanjang hidup ke lapisan epitel
pars plana dan retina tepat di belakang ora serrata. Perlekatan ke kapsul lensa dan
nervus optikus kuat pada awal kehidupan tetapi segera hilang.

Vitreus berisi air sekitar 99%. Sisanya 1% meliputi dua komponen, kolagen dan
asam hialuronat, yang memberikan bentuk dan konsistensi mirip gel pada vitreus
karena kemampuannya mengikat banyak air.

2.1.2 Fisiologi Penglihatan


Mata dapat dianggap sebagai kamera, dimana sistem refraksinya menghasilkan
bayangan kecil dan terbalik di retina. Rangsangan ini diterima oleh sel batang dan
kerucut di retina, yang diteruskan melalui saraf optik (N II), ke korteks serebri pusat
penglihatan. Supaya bayangan tidak kabur, kelebihan cahaya diserap oleh lapisan
epitel pigmen di retina. Bila intensitas cahaya terlalu tinggi maka pupil akan
mengecil untuk menguranginya. Daya refraksi kornea hampir sama dengan humor
aqueous, sedang daya refraksi lensa hampir sama pula dengan badan kaca.
Keseluruhan sistem refraksi mata ini membentuk lensa yang cembung dengan
fokus 23 mm. Dengan demikian, pada mata yang emetrop dan dalam keadaan
mata istirahat, sinar yang sejajar yang datang di
mata akan dibiaskan tepat di fovea sentralis dari retina. Fovea sentralis merupakan
posterior principal focus dari sistem refraksi mata ini, dimana cahaya yang datang
sejajar, setelah melalui sitem refraksi ini bertemu. Letaknya 23 mm di belakang
kornea, tepat dibagian dalam macula lutea.

Mata mempunyai kemampuan untuk memfokuskan benda dekat melalui proses


yang disebut akomodasi. Penelitian tentang bayangan Purkinje, yang merupakan
pencerminan dari berbagai permukaan optis di mata, telah memperlihatkan bahwa
akomodasi terjadi akibat perubahan di lensa kristalina. Kontraksi otot siliaris
menyebabkan penebalan dan peningkatan kelengkungan lensa, mungkin akibat
relaksasi kapsul lensa.

2.1.3 Kelainan Refraksi


Kelainan refraksi mata atau ametropia adalah suatu keadaan dimana
bayangan tegas tidak dibentuk pada retina tetapi di bagian depan atau belakang
bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal
dalam bentuk miopia, hipermetropia, dan astigmatisma.
a. Hipermetropia merupakan kelainan refraksi, dimana sinar yang sejajar yang
datang dari jarak tak terhingga, oleh mata yang dalam keadaan istirahat dibiaskan
dibelakang retina
b. Miopia merupakan kelainan refraksi, dimana sinar sejajar yang datang dari jarak
tak terhingga, oleh mata dalam keadaan istirahat dibiaskan di depan retina c.
Astigmatisma merupakan kelainan refraksi dimana terdapat perbedaan derajat
refraksi pada meridian yang berbeda.

2.1.3.1 Hipermetropia

2.1.3.1.1 Definisi

Hipermetropi / Rabun dekat adalah keadaan di mana berkas cahaya yang masuk
ke mata difokuskan di belakang retina. Penyebab timbulnya hipermetropi ini
diakibatkan oleh beberapa hal yaitu:
1. Sumbu utama bola mata yang terlalu pendek.

Hiperme tropia jenis ini disebut juga Hiperme tropi Axial.


Hipermetropi Axial ini dapat disebabkan oleh Mikropthalmia, Retinitis Sentralis,
ataupun Ablasio Retina (lapisan retina lepas lari ke depan sehingga titik
fokus cahaya tidak tepat dibiaskan).
2. Daya pembiasan bola mata yang terlalu lemah

Hipermetopia jenis ini disebut juga Hipermetropi Refraksi. Dimana dapat terjadi
gangguan-gangguan refraksi pada kornea, aqueus humor, lensa, dan vitreus
humor. Gangguan yang dapat menyebabkan hipermetropia refraksi ini adalah
perubahan pada komposisi kornea dan lensa sehingga kekuatan refraksinya
menurun dan perubahan pada komposisi aqueus humor dan vitreus
humor( mis. Pada penderita Diabetes Mellitus, hipermetropia dapat terjadi bila
kadar gula darah di bawah normal, yang juga dapat mempengaruhi
komposisi aueus dan vitreus humor tersebut)
3. Kelengkungan Kornea dan Lensa tidak Adekuat

Hipermetropia jenis ini disebut juga hipermetropi kurvatura. Dimana kelengkungan


dari kornea ataupun lensa berkurang sehingga bayangan difokuskan di belakang
retina.
4. Perubahan posisi lensa.

Dalam hal ini didapati pergeseran posisi lensa menjadi lebih posterior.

2.1.3.1.2 Etiologi dan Faktor Resiko


Penyebab kelainan ini sesuai jenisnya masing-masing, yaitu diameter anterior
posterior bola mata yang lebih pendek, kurvatura kornea dan lensa yang lebih
lemah, dan perubahan indeks refraktif
2.1.3.1.3 Patofisiologi

Akibat dari bola mata yang terlalu pendek, yangmenyebabkan bayangan


terfokus di belakang retina (Wong,2008).

2.1.3.1.4 Gejala Klinis / Gambaran Klinis


1. Sakit kepala terutama daerah dahi atau frontal, silau, kadang rasa juling atau
melihat ganda, mata leleh, penglihatan kabur melihat dekat (Ilyas, 2006). Sering
mengantuk, mata berair, pupil agak miosis, dan bilik mata depan lebih dangkal
(Istiqomah, 2005).
2. Gejala dari hipermetrop yang belum dikoreksi antara lain adalah :
a. Penurunan visus. Ini terjadi pada hipermetrop tinggi atau lebih 3 D dan
pada pasien tua. Pada pasien tua penurunan visus terjadi karena
penurunan amplitudo akomodasi, yangmenyebabkan kegagalan untuk
mengkompensasi kelainan refraksinya. Pada anak anak hipermetrop
ringan sampai sedang biasanya masih mempunyai visus yang
normal,mereka mengeluh kabur dan asthenopia jika kebutuhan visual
rneningkat.
b. Asthenopia. Individu muda dengan hipermetrop umwnnya mempunyai
cadangan akomodasi yang cukup untuk menjaga penglihatan tetap jelas
tanpa menyebabkan asthenopia. Jika derajat hipermetrop terlalu besar
atau cadangan akomodasi tidak cukup karena usia atau kelelahan,
keluhan asthenopia dan kabur muncul.
c. Sensitif terhadap cahaya merupakan keluhan yang cukup sering.
d. Ambliopia. Hipermetrop tinggi pada anak anak dikaitkan dengan
peningkatan resiko ambliopia dan strabismus. Ambliopia isoametrop
terjadi pada anak anak dengan hipermetrop yang lebih dari +4,50D.
e. Strabismus. Mayoritas pasien dengan esotropia dini adalah
hipermetrop. Anak anak yang mempunyai +3,50 D atau lebih pada bayi,
mempunyai kemungkinan l3x lipat menjadi strabismus dan 6 x lipat
mengalami penumnan visus dalam 4 tahun, dibandingkan dengan bayi
emetrop dan hipermetrop ringan.
f. Mata merah dan berair, sering mengedip, mengedipkan mata dan
perubahan wajah ketika membaca, gangguan memfokuskan, penunrnan
koordinasi gerakan tangan-mata, dan binokularitas, kesulitan atau enggan
membaca.
3. Ada atau beratnya gejala ini bervariasi luas, tergantung pada derajat
hipermetrop, adanya astigmatisme atau anisometropia, usia pasien, kondisi
akomodasi dan konvergensi serta kebutuhan kerja. Deteksi dini dan terapi
hipermetrop signifikan dapat mencegah dan rnengurangi insiden dan
beratnya komplikasi. Kaitan hipermetrop dengan peningkatan resiko
ambliopia dan strabismus, merupakan penentu utama untuk evaluasi visus
pada anak Terdapat pula kaitan yang erat antara hipermetrop dengan dengan
infantile esotropia.Hipermetrop anisometrop dibawah 3 tahun juga merupakan
faklor resiko untuk berkembangnya ambliopia dan strabismus.

2.1.3.1.5 Penatalaksanaan
Hipermetrop yang signifftan dapat menimbulkan gangguan penglihatan, ambliopia,
dan disfungsi binokular termasuk strabismus. Terapi sebaiknya dilakukan untuk
mengurangi gejala dan resiko selanjutnya karena hipermetrop. Mata dengan
hipermetropia akan memerlukan lensa cembung untuk mematahkan sinar lebih kaut
kedalam mata. Koreksi hipermetropia adalah di berikan koreksi lensa positif
maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal. Hipermetropia sebaiknya
diberikan kaca mata lensa positif terbesar yang masih memberi tajam penglihatan
maksimal (Ilyas, 2006).
a. Koreksi Optik
Diantara beberapa terapi yang tersedia untuk hipermetrop, koreksi optik dengan
kacamata dan kontak lens paling sering digunakan. Modal utama dalam
penatalaksanaan hipermetrop signifikan adalah koreksi dengan kacarnata. Lensa
plus sferis atau sferosilinder diberikan untuk menfokuskan cahaya dari belakang
retina ke retina. Akomodasi berperan penting dalam peresepan. Beberapa pasien
pada awalnya tidak bisa mentoleransi koreksi penuh atas indikasi hipermetrop
manifestny4 dan pasien lainnya dengan hipermetrop latent tidak bisa mentoleransi
koreksi penuh hipermetrop yang diberikan dengan sikloplegik.Namun, pada anak
anak dengan esotropia akomodatif dan hipermetrop umumnya memerlukan masa
adaptasi yang singkat untuk mentoleransi koreksi optik penuh. Lensa kontak soft
atau rigid merupakan alternatif Iain bagi beberapa pasien. Lensa kontak mengurangi
aniseikonia dan anisophoria pada pasien dengan anisometropia, meningkatkan
binokularitas. Pada pasien dengan esotropia akomodatif, lensa kontak mengurangi
kebutuhan akomodasi dan konvergensi, mengurangi esotropia. Lensa kontak
multifokal atau monovision bisa diberikan pada pasien
yang membutuhkan tambahan koreksi dekat tapi rnenolak memakai kacamata
multifokal karena alasan penampilan.
Berikut adalah strategi koreksi hipermetrop dalam beberapa kelompok usia :
1) Anak Anak
Status refraksi pada mata anak anak merupakan hal yang dinamis, karena
faktor faktor yang mempengaruhi refraksi mengalami perubahan yang
signifikan dari lahir sampai remaja meyebabkan perubahan kekutan refraksi.
Bayi dan anak anak muda juga mempunyai kemampuan melakukan
akomodasi untuk mengatasi sejumlah hiperrnetrop. Hipermetrop yang kurang
dari 4-5D sering tidak perlu dikoreksi pada bayi dan anak anak muda. Tapi
pada anak yang lebih besar dan dewasa memerlukan koreksi. Sebagian
besar anak anak pra sekolah adalah hipermetrop dan dapat hidup nyaman
dengan hipermetrop sampai +3 dan
+4D. Kacarnata tidak perlu diberikan, hanya karena hipermetrop ditemukan
ketika pemeriksaan. Jika visus normal dan tidak terdapat bukti adanya
esoforia atau esotropia dan tidak ada keluhan penglihatan, maka kacamata
tidak perlu diberikan.
2) Anak anak dan Dewasa Muda (10-40 tahun)
Orang orang antara usia l0 dan 40 tahun dengan hipermetrop ringan tidak
memerlukan terapi karena mereka tidak mempunyai gejala. Cadangan
akomodasi yang besar melindungi mereka dari gangguan penglihatan karena
hipermetrop. Pasien dengan hipermetrop sedang mungkin memerlukan
koreksi part time, terutama pada mereka yang mempunyai gangguan
akomodasi atau binokular. Beberapa pasien dengan hipermetrop tinggi
mungkin tidak terdeteksi dan diterapi pada usia 10 - 20 tahun. Gangguan
visus pada pasien ini harus dibantu dengan koreksi optik. Terdapat banyak
pendapat mengenai range terapi yang tepat, mulai dari pemberian lensa plus
minimal yang dapat mengurangi gejala sampai rnemberikan koreksi penuh
lensa plus untuk merelaksasikan akomodasi. Posisi pertengahan adalah
peresepan separuh sampai dua pertiga lensa plus mengingat akan kaitan
hipermetrop latent dengan hipermetrop manifes. Pada usia 30 - 35 tahun,
yang sebeiunmya asimptomatis, pasien
1,ang tidak dikoreksi mulai mengalami kabur jarak dekat dan gangguan visus
karena kebuhrhan akomodasi yang besar. Hipemetrop fakultatif tidak dapat
lagi memberikan kenyamanan karena menurunya amplitude akomodasi.
Hipermetrop laten sebaiknya dicurigai jika terjadi gejala yang
berkaitan dengan amplitudo akomodasi yang lebih rendah dari seharusnya
umur pasien.
b. Bedah fraksi
Bedah refraksi merupakan suatu prosedur bedah atau laser yang dilakukan
pada mata untuk merubah kekuatan refraksinya dan tidak terlalu bergantung
pada kacamata atau lensa kontak. Kekuatan refraksi mata ditentukan oleh
kekuatan kornea, kedalaman COA, kekuatan lensa dan axial length bola
mata. Kekuatan refraksi normal adalah 64D, dan kornea manusia
bertanggung jawab terhadap dua pertiga dari kekuatan refraksi mata (+ 43D),
dan sepertiga sisanya oleh lensa. Sehingga kesalahan refraksi dapat
dikoreksi dengan merubah dua komponen utama refraksi, yaitu kornea dan
lensa. Namun, manipulasi kekuatan kornea masih merupakan metoda yang
sering dilakukan untuk merubah kekuatan refraksi. Koreksi bedah refraksi
untuk hipermetrop kurang berkembang dibandingkan dengan miopi.
Eksperimen Lans (1898) merupakan langkah pertama dalam koreksi bedah
hipermetrop, yaitu menambah kekuatan komea dengan menggunakan
'supeficial radial burns' pada kornea kelinci dan kemudian dilakukan
thermokeratoplasty (TKP). Menyusul suksesnya radial keratotomy dalam
terapi miop, Yamashita dkk (1986) mengembangkan teknik insisi enam sisi,
yang dikenal kemudian dengan hexagonal keratotomy, sebagai metode yang
potensial dalam mengkoreksi overkoreksi radial keratotomy.

2.1.3.1.6 Prognosis

Prognosis tergantung onset kelainan, waktu pemberian peengobatan, pengobatan


yang diberikan dan penyakit penyerta. Pada anak-anak, jika koreksi diberikan
sebelum saraf optiknya matang (biasanya pada umur 8 -
10 tahun), maka prognosisnya lebih baik.

2.1.3.2 Miopia
2.1.3.2.1 Definisi
Miopia atau rabun jauh merupakan suatu keadaan dimana mata mampu
melihat obyek yang dekat, tetapi kabur bila melihat objek-objek yang jauh
letaknya. Kata miopia berasal dari bahasa Yunani yang berarti memincangkan
mata, karena penderita kelainan ini selalu memincangkan mata dalam
usahanya untuk melihat lebih jelas objek-objek yang jauh letaknya. Itulah
karakteristik utama dari penderita miopia.

2.1.3.2.2 Faktor Resiko


Miopia paling banyak dijumpai pada anak-anak, biasanya ditemukan pada
waktu pemeriksaan skrining di sekolah. Pada umumnya miopia merupakan
kelainan yang diturunkan oleh orang tuanya sehingga banyak dijumpai pada usia
dini sekolah.

2.1.3.2.3. Patogenesis
Ciri khas dari perkembangan miopia adalah derajat kelainan yang
meningkat terus sampai usia remaja kemudian menurun pada usia dewasa
muda. Walaupun agak jarang, miopia dapat pula disebabkan oleh perubahan
kelengkungan kornea atau oleh kelainan bentuk lensa mata. Karena itu untuk
memperoleh gambaran penyebab yang lebih jelas pada seseorang, riwayat
adanya miopia di dalam keluarga perlu di kemukakan.
Lazimnya miopia terjadi karena memanjangnya sumbu bolamata. Mata
yang penampang seharusnya bulat, akibat proses pemanjangan ini kemudian
berbentuk bulat telur. Selanjutnya, pemanjangan sumbu ini menyebabkan media
refraktif sulit memfokuskan berkas cahaya terfokus di depan retina. Berkas
cahaya terfokus didepan retina. Sejalan dengan memanjangnya sumbu
bolamata, derajat miopia pun akan bertambah.
Pada usia anak-anak sampai remaja, proses pemanjangan bolamata
dapat merupakan bagian dari pertumbuhan tubuh. Pertambahan derajat
miopia membutuhkan kacamata yang kiat berat derajat kekuatannya, karena itu
pada masa usia dini dianjurkan agar pemeriksaan diulang setiap 6 bulan pada
golongan usia antara 20-40 tahun, progresivitas miopia akan melambat.
Meskipun demikian pertambahannya tetap ada, terutama pada mereka yang baru
mulai menderita miopia diatas usia 20 tahun.
Miopia dapat dibedakan berdasarkan tingginya dioptri, yaitu:
 <1 dioptri : miopia sangat ringan
 1-3 dioptri : miopia ringan
 3-6 dioptri : miopia sedang
 6-10 dioptri : miopia tinggi
 > 10 : myopia sangat tinggi

2.1.3.2.4 Gejala Klinis


Pasien miopi mempunyai pangtum remotum (titik terjauh yang masih dilihat jelas)
yang dekat sehingga mata selalu dalam atau berkedudukan konvergensi yang akan
menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap,
maka penderita akan telihat juling ke dalam atau esotropia (Ilyas, 2003). Gejala
miopi terbagi menjadi dua yaitu :
Gejala subjektif :
1) Akibat sinar dari suatu objek jauh difokuskan di depan retina, maka penderita
miopia hanya dapat melihat jelas pada waktu melihat dekat, s edangkan
pengglihatan jauh akan kabur.
2) Keluhan astenopia, seperti sakit kepala yang dengan sedikit koreksi dari miopinya
dapat disembuhkan.
3) Kecendrungan penderita untuk menyipitkan mata waktu melihat jauh untuk
mendapatkan
4) Efek “pinhole” agar dapat melihat dengan lebih jelas.
Penderita miopia biasanya suka membaca dekat, sebab mudah melakukannya
tanpa usaha (Slone, 1979).

b. Gejala objektif :
1) Miopi simplex :
Pada segmen anterior ditemukan bilik mata yang dalam dan pupil yang relatif lebar.
Kadangkadang bola mata ditemukan agak menonjol.
2) Pada segmen posterior biasanya terdapat gambaran yang normal atau dapat
disertai kresen miopi yang ringan disekitar papil saraf optik.
2.1.3.2.5. Penatalaksanaan
1. Kacamata
Meskipun masih sedikit bukti ilmiah untuk menyatakan bahwa pemakaian kacamata
koreksi secara terus menerus progresivitas miopia atau mempertahankan visus
namun dapat mengurangi kelelahan pada mata dan melatih mata terutama pada
anak-anak. Miopi dikoreksi dengan lensa konkaf atau lensa negatif. Pada kasus
dengan miopi tinggi koreksi yang penuh jarang diberikan. Pengurangan koreksi
dilakukan sampai tercapai penglihatan binokuler yang masih nyaman. Jika sudah
terdapat perubahan patologis pada fundus maka sedikit sekali keuntungan yang
didapat pada pemakaian kacamata.
2. Penggunaan Lensa kontak
Lensa kontak telah menjadi pilihan yang baik untuk miopia tinggi selama bertahun-
tahun karena disamping dapat mengurangi berat dan ketebalan lensa pada
kacamata, juga mengeliminasi kesulitan akibat pemakaian lensa yang tebal tersebut.
Pasien miopia biasanya akan memiliki mengatasi masalah yang timbul pada
pemakaian kacamata. Lensa kontak yang sering digunakan yaitu lensa kontak yang
soft dan lensa kontak gas-permeabel. Lensa kontak yang soft dapat menimbulkan
kenyamanan namun harus dimonitor pemakaiannya karena dapat menyebabkan
terjadinya hipoksia. Lensa gas-permeabel memberikan optik yang penuh dan
fisiologi yang baik. Lensa gas-permeabel memberikan optik yang penuh dan fisiologi
yang baik.
3. Bedah Refraktif / LASIK (Laser Assisted In-Situ Keratomileusis)
LASIK (Laser Assisted In-situ Keratomileusis) adalah suatu prosedur untuk
mengubah bentuk lapisan kornea mata dengan menggunakan sinar excimer laser.
Prosedur LASIK dapat dilakukan untuk mengoreksi miopia (rabun jauh),
hipermetropia (rabun dekat) maupun astigmatisme (silinder). Tindakan ini bertujuan
untuk membantu melepaskan diri dari ketergantungan pada kacamata dan lensa
kontak. LASIK konvensional menggunakan alat mikrokeratom untuk membuka
lapisan permukaan kornea mata. Kemudian dilakukan excimer laser untuk
menghilangkan sebagian lapisan kornea.
Lapisan permukaan kornea yang dibuka (flap), dikembalikan ke posisi semula.
Karena prosedur LASIK hanya dikerjakan pada lapisan dalam kornea saja
(permukaan kornea sama sekali tidak disentuh), maka tidak ada rasa sakit pasca
tindakan. Flap akan secara alami melekat kembali setelah beberapa menit tanpa
perlu dijahit sama sekali.
Alternatif lain untuk pasien miopia adalah penanaman lensa intraokular yaitu suatu
lensa yang ditanam bilik mata depan melalui insisi kecil sedangkan lensa yang asli
masih tetap ada terutama dilakukan untuk mengoreksi miopi yang berat. Akan tetapi
keamanan penggunaan pada beberapa kasus dapat dilakukan ekstraksi l ensa ta pi
lens a intraokular tidak dipasang. Dengan mengangkat lensa maka sekitar 15 D dari
miopi secara otomatis akan terkoreksi. Namun harus diingat bahwa teknik ini dapat
menimbulkan komplikasi berupa ablasio retina sehingga jarang digunakan.

2.1.3.2.6 Prognosis
Prognosis tergantung onset kelainan, waktu pemberian peengobatan, pengobatan
yang diberikan dan penyakit penyerta. Pada anak-anak, jika koreksi diberikan
sebelum saraf optiknya matang (biasanya pada umur 8-10 tahun), maka
prognosisnya lebih baik.

2.1.3.3 Astigmatisma
2.1.3.3.1 Definisi

Astigmatisma adalah sebuah gejala penyimpangan dalam pembentukkan


bayangan pada lensa, hal ini disebabkan oleh cacat lensa yang tidak dapat
memberikan gambaran/ bayangan garis vertikal dengan horizotal secara
bersamaan.cacat mata ini dering di sebut juga mata silinder.

2.1.3.3.2 Faktor Resiko


Penyebabnya umumnya adalah bawaan. Beberapa penyakit mata dan pasca
bedah kornea, juga dapat menjadi penyebabnya. Astigmat bawaan tidak bisa
sembuh total, tetapi dapat dikoreksi dengan kacamata, lensa kontak atau
dengan bedah lasik, dan yang disebakan oleh penyakit misalnya
timbilen (hordeulum), selaput konjuctiva (pterigium) akan hilang apabila
penyakitnya sembuh atau di operasi, sedang astigmat pasca bedah kornea dapat
dikurangi dengan melepas jahitan atau dengan kacamata.

2.1.3.3.3 Patofisiologi
Akibat dari kurvatura yang tidak sama pada kornea atau lensa yang menyebabkan
sinar melengkung dalam arah yang berbeda (Wong, 2008).

2.1.3.3.4 Gejala Klinis


Melihat jauh kabur sedang melihat dekat lebih baik, melihat ganda dengan satu atau
kedua mata, melihat benda yang bulat menjadi lonjong, penglihatan akan kabur
untuk jauh ataupun dekat, bentuk benda yang dilihat berubah, mengecilkan celah
kelopak mata, sakit kepala, mata tegang dan pegal, mata dan fisik lelah ,
astigmatisme tinggi (4–8 D) yang selalu melihat kabur sering mengakibatkan
ambliopia (Ilyas, 2006), gambar di kornea terlihat tidak teratur (Istiqomah, 2005).
Tanda dan gejala astigmatisma berbeda manfestasinya antara satu
orang dengan yang lainnya. Tanda dan gejala astigmatisma menurut (Boyd,
2015) adalah sebagai berikut:
1. Pandangan kabur atau berbayang
2. Kelelahan mata
3. Nyeri kepala
4. Usaha menyipitkan mata untuk dapat melihat dengan jelas

2.1.3.3.5 Penatalaksanaan
Pengobatan dengan lensa kontak keras bila epitel tidak rapuh atau lensa kontak
lembek bila disebabkan infeksi, trauma untuk memberikan efek permukaan yang
ireguler (Ilyas, 2006).
Pada umumnya, astigmatisma dapat dikoreksi dengan kacamata lensa
silindris atau lensa kontak yang diresepkan dengan benar. Bahkan untuk
penderita astigmatisma yang derajatnya sangat ringan, lensa korektif belum
dibutuhkan selama astigmatisma tidak diiringi dengan kelainan refraksi lain
seperti miopia, atau hipermetropia. Namun, jika derajat astigmatisma sedang
sampai tinggi, maka lensa korektif mungkin diperlukan.
1) Lensa Korektif (Kacamata atau Lensa Kontak)
Koreksi astigmatisma biasanya dilakukan menggunakan kacamata. Lensa
yang digunakan untuk mengoreksi astigmatisma adalah lensa silindris. Lensa
ini digunakan untuk mengoreksi perbedaan antara kekuatan refraksi dua
meridian mata (Heiting dan Bailey, 2015). Alternatif lensa lain adalah lensa
kontak lunak yang disebut lensa toric. Lensa toric lembut memiliki kekuatan
cahaya lentur yang lebih besar dalam satu arah dari yang lain. Pilihan lain,
terutama untuk astigmatisma derajat tinggi adalah lensa kontak kaku yang
bersifat gas permeable (Yanoff dan Duker, 2014).
2) Bedah Refraktif
Metode lain untuk mengoreksi astigmatisma adalah mengubah bentuk
kornea melalui operasi mata refraktif atau laser. Operasi refraktif membutuhkan
mata yang sehat yang bebas dari masalah retina, bekas luka kornea, dan
penyakit mata lainnya (Yanoff dan Duker, 2014).

2.1.3.3.6 Prognosis
Astigmat derajat kecil masih bisa di toleransi oleh mata apabila mata dalam
keadaan sehat. Oleh karena itu perlu menjaga kesehatan mata dengan cara jika
melihat dekat jangan terlalu lama, maksimal 2 jam dan diistirahatkan kurang lebih
15 menit. Salah satu cara mengatasi astigmatisma yang effisien ialah dengan
menggunakan kacamata berbentuk silindris.
Oleh karena astigmat dapat menimbulkan pusing, kelelahan mata bahkan
kabur maka sebaiknya jika ada keluhan tersebut segera di konsultasikan ke dokter
spesialis mata. Astigmatisma disebabkan karena kornea mata tidak berbentuk
sferik (irisan bola), melainkan lebih melengkung pada satu bidang dari pada
bidang lainnya. Akibatnya benda yang berupa titik difokuskan sebagai garis. Mata
astigmatisma juga memfokuskan sinar-sinar pada bidang vertikal lebih pendek
dari sinar-sinar pada bidang horisontal.
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. Global data on visual impairements 2010. 2012.
http://www.who.int/blindness/GLOBALDATAFINALforweb.pdf. Accessed 2 Dec
2014
2. Riordan-Eva P, White OW. Optik & Refraksi. In: Vaughan DG, Asbury T,
Riordan-Eva P. Oftalmologi Umum. 14th ed. Alih Bahasa: Pendit BU.
Jakarta: Widya Medika, 2000.
3. Ilyas S. Tajam Penglihatan dan Kelainan Refraksi Penglihatan Warna.
In: Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. 3rd ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2009.
4. Wijana N. Refraksi. In: Wijana N. Ilmu Penyakit Mata. 3rd ed. Jakarta: 1983
5. American Academy of Ophtalmology. BCSC Section 8. Extemal Disease and
Comea. Section 13. Refractive Surgery. AAO Association. 2005.
6. http://repository.unand.ac.id/1267/1/Penatalaksanaan_Hipermetrop.pdf.
Diakses pada tanggal 11 Maret 2016.
7. http://repository.usu.ac.id/1221/2/hipermetropi.pdf Diakses pada tanggal 11
Maret 2016.

Anda mungkin juga menyukai