Anda di halaman 1dari 95

LAPORAN HASIL PENELITIAN

D-LPPM Nomor 016

KEPEMIMPINAN YANG EFEKTIF UNTUK


MASYARAKAT MULTIKULTUR DI INDONESIA

Peneliti:

DR. ERI R. HIDAYAT, MBA, MHRMC


DR. I GEDE SUMERTHA KY, PSC, M.SC
DRS. I NYOMAN ASTAWA, M.SI.,M.PHIL

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT


UNIVERSITAS PERTAHANAN

BOGOR,
NOPEMBER 2017
HALAMAN PENGESAHAN

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

UNIVERSITAS PERTAHANAN

LAPORAN HASIL PENELITIAN

1. Judul : Kepemimpinan Yang Efektif Untuk Masyarakat


Multikultur Di Indonesia

2. Bidang Keilmuan : Damai dan Resolusi Konflik

3. Peneliti : 1. Dr. Eri R. Hidayat, MBA, MHRMC


2. Dr. I Gede Sumertha Ky, Psc, M.Sc
3. Drs. I Nyoman Astawa, M.Si.,M.Phil

4. Jumlah Peneliti : 3 (tiga) orang

5. Lokasi Kegiatan : Jakarta, Bekasi dan Bandung Jawa Barat

Mengetahui: Bogor, Nopember 2017

Ketua LPPM Unhan Kapuslit Strategi Pertahanan

Tjuk Agus Minahasa, S.IP G. Eko Sunarto, S.Pd., M.Si


Mayor Jenderal TNI Kolonel Czi Nrp.1920044710870

LetkolCzi

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 ii


KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,


karena atas berkat rahmat dan karuniaNya, Laporan Hasil Penelitian ini
Dosen Program Studi Damai dan Resolusi Konflik dengan judul
“Kepemimpinan yang efektif untuk masyarakat multikultur di Indonesia” ini
telah dapat dilaksanakan dan diselesaikan pada waktunya.
Oleh karenanya pada kesempatan yang baik ini, dengan segala
kerendahan hati peneliti menghaturkan penghargaan dan ucapan terima
kasih yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Letnan Jenderal TNI Dr. I Wayan Midhio, M.Phil selaku Rektor
Universitas Pertahanan.
2. Mayjen TNI Tjuk Minahasa, S.IP selaku Kepala Lembaga Penelitian
dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Pertahanan.
3. Laksda TNI Dr. Siswo Hadi Sumantri, S.T., M.MT selaku Dekan
Fakultas Keamanan Nasional Universitas Pertahanan.
4. Pangdam Jaya, Mayjen Jaswandi, Pangdam III/Siliwangi Mayjen M.
Herindra, Kadispsiad, Brigjen Dr. Arief Budiarto, Dandim 0618/Berdiri
Sendiri (Kota Bandung), Dandim 0507 Kota Bekasi, Dandim 0502
Jakarta Utara, serta Dr. Istiani dengan stafnya Vania dan Ronald dari
Universitas Binus, yang telah memfasilitasi penelitian ini.
5. Para narasumber yang telah ikut berkontribusi dalam penelitian ini.
Peneliti sangat menyadari bahwa dalam Laporan Hasil Penelitian ini
masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu demi kesempurnaan penelitian
ini, diharapkan adanya kritik yang membangun untuk penyempurnaan
penelitian selanjutnya. Akhirnya tim peneliti berharap semoga penelitian ini
dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu damai dan resolusi konflik.

Tim Peneliti

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 iii


ABSTRAK

Kepemimpinan yang efektif untuk masyarakat multikultur di Indonesia

Studi awal ini mempunyai tujuan untuk merumuskan indikator pemimpin yang
efektif pada masyarakat multikultur. Penelitian ini penting untuk menjawab
permasalahan sosial yang selama ini sering terjadi di Indonesia, terutama
konflik sosial yang berkaitan dengan agama. Penelitian dilakukan di wilayah
Bandung, Jakarta dan Bekasi dengan pendekatan kualitatif. Metode yang
digunakan adalah wawancara dan Focus Group Discussion dengan jumlah
sampel 14 partisipan untuk FGD dan 7 partisipan yang diwawancara. Hasil
pengolahan data kualitatif memperlihatkan bahwa faktor yang berkaitan
dengan kepemimpinan multikultur adalah sifat-sifat bawaan (traits), sistem
nilai yang mendukung keberagaman yang ditanamkan sejak dini dan faktor
lingkungan yang dapat memberikan pengalaman untuk meningkatkan
kecerdasan budaya. Pada level indikator terdapat beberapa sifat-sifat bawaan
yang penting untuk dimiliki yaitu keberanian, kesabaran, ketegasan, ikhlas,
dan inovatif. Disarankan untuk melakukan penelitian kuantitatif lanjutan dan
melakukan program pengembangan kepemimpinan yang terkait.

Kata kunci: kepemimpinan multikultur, sifat-sifat bawaan, kecerdasan budaya

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 iv


ABSTRACT

Effective leadership for multicultural society in Indonesia

This initial study aims to formulate the indicators for effective leadership in a
multicultural society. This study is important to answer the social problems
that currently exist in Indonesia, especially social conflicts based on religion.
The qualitative study was conducted in the area of Bandung, Jakarta and
Bekasi. Seven informants were interviewed and 14 participated in a Focus
Group Discussions. Results showed that factors related to multicultural
leadership are traits, values system that support diversity and environmental
factors that can provide experience that can enhance cultural intelligence. At
the indicator level, several traits that are important are bravery, patience,
firmness, and innovativeness. It is suggested that further quantitative research
should be implemented and related leaderhsip development program should
be conducted.

Key Words: multicultural leadership, traits, cultural intelligence

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 v


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................ i


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................... iii
ABSTRAK .......................................................................................... iv
ABSTRACT ........................................................................................ v
DAFTAR ISI ....................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ viii
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................. 8
1.3 Tujuan dan Signifikansi Penelitian ..................................... 8
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................ 9
1.4.1 Manfaat Teoritis ................................................................ 9
1.4.2 Manfaat Praktis ................................................................. 9
1.5 Ruang Lingkup dan Gambaran Desain Penelitian ............. 10
1.5.1 Ruang Lingkup Penelitian ................................................. 10
1.5.2 Sistematika Penulisan ....................................................... 10
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ........ 12
2.1 Tinjauan Pustaka ........................................................ 12
2.1.1 Training Needs Analysis Theory.................................. 12
2.1.2 Pre Deployment Training ............................................ 16
2.1.3 Sistem Pembinaan Latihan ......................................... 22
2.1.4 Materi Pokok CPTM (Core Pre Deployment Training) . 31
2.2 Penelitian Terdahulu ................................................... 25
2.3 Kerangka Pemikiran .................................................... 27
BAB 3. METODE PENELITIAN ......................................................... 29
3.1 Desain Penelitian ........................................................ 29
3.2 Sumber Data, Obyek dan Subjek Penelitian ............... 30
3.3 Teknik Pengumpulan Data .......................................... 30
3.4 Teknik Analisis Data.................................................... 31
3.5 Prosedur Penelitian ..................................................... 32

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 vi


3.5.1 Instrumen Penelitian ................................................... 32
3.5.2 Data Primer ................................................................. 32
3.5.3 Data Sekunder ............................................................ 32
3.5.4 Pengujian Keabsahan dan Keterandalan Data ............ 33
3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................... 33
BAB 4. GAMBARAN DATA, ANALISIS DAN
PEMBAHASAN PENELITIAN .......................................................... 34
4.1 Gambaran Data Penelitian .......................................... 34
4.1.1 PMPP TNI ................................................................... 36
4.1.2 Peacekeeping Operations ........................................... 40
4.1.3 Materi Pelatihan .......................................................... 42
4.2 Analisis Hasil Penelitian .............................................. 44
4.2.1 Perencanaan dan Penyiapan Materi Utama Pelatihan
SGTM serta CPTM bagi Calon Peacekeeper
Di PMPP TNI............................................................... 44
4.2.2 Pre Deployment Training PKO Indonesia .................... 58
4.2.2.1 Pembelajaran yang diperoleh dalam
Pre Deployment Training ............................................ 59
4.2.2.2 Peningkatan Pengetahuan .......................................... 59
4.2.2.3 Sikap dan Keterampilan .............................................. 60
4.2.2.4 Meningkatkan Kompetensi .......................................... 60
4.3 Pembahasan ............................................................... 61
4.3.1 Pre Deployment Training Pasukan Peacekeeper ......... 61
4.3.2 Hasil Pemberian Materi Inti PDT bagi Peacekeeper ..... 67
BAB 5. SIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 74
5.1 Simpulan .................................................................... 74
5.2 Saran ......................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 76

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 vii


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka Pemikiran ........................................................ 2


Gambar 2 Hasil Word Query Masalah Konflik .................................. 4
Gambar 3 Hasil Word Query Masalah Kepemimpinan ..................... 25

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 viii


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Era globalisasi, yang dilandasi dengan pesatnya kemajuan teknologi
informasi dan multimedia, secara nyata sudah dirasakan oleh seluruh umat
manusia, melalui kemudahan mendapatkan informasi secara cepat dari
berbagai belahan dunia, sehingga seolah-olah dunia telah menjadi tanpa
tapal batas - bordeless world (Ohmae 1990). Kondisi ini memungkinkan
berbagai lapisan masyarakat yang memiliki akses terhadap teknologi
informasi untuk ikut merasakan dan menghayati apa yang terjadi di negara
lain dengan bebas tanpa adanya kendali dari pemerintah negaranya. Sebagai
salah satu akibat dari kondisi ini, abad 21 diprediksikan dan dikhawatirkan
benar-benar akan ditandai dengan berbagai tantangan yang bersifat penuh
ketidakpastian (uncertainty), tidak terduga (unpredictable), dan tentu saja
masa depan merupakan kehidupan yang sulit untuk benar-benar dikuasai dan
dikendalikan (uncontrollable) (Moskos dkk., 2000).
Di lain pihak, bangsa Indonesia yang heterogen, dalam menghadapi
pengaruh globalisasi ini, akan menunjukkan reaksi dan tindakan yang
berbeda-beda yang belum tentu sejalan dengan kepentingan bangsa dan
negara secara keseluruhan. Sejak bergulirnya Era Reformasi di Indonesia
sebagai salah satu akibat dari pengaruh globalisasi tadi, telah menghasilkan
krisis multidimensi dalam berbagai segi kehidupan dan cakupan eskalasinya,
sehingga menuntut dan menantang bangsa Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat global untuk dapat beradaptasi dan menyelaraskan diri dengan
berbagai perubahan yang berlangsung cepat di sekitar kita (Ryacudu, 2004).
Di lain pihak, secara jujur harus diakui oleh seluruh komponen bangsa bahwa
proses reformasi dan pencapaiannya yang telah berlangsung selama dua
dekade hingga saat ini, belum berjalan seperti yang diharapkan. Bahkan yang
dirasakan dalam pelaksanaan pemilu di berbagai daerah di Indonesia adalah
justru semakin meningkatnya politik identitas dan konflik bernuansa SARA
yang tentunya akan berbahaya bagi keutuhan NKRI (Yanuarti, 2017).
Padahal NKRI terdiri dari beragam budaya, agama, suku dan ras,
sehingga perbedaan persepsi mengenai hak dan kewajiban antar kelompok

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 1


yang memiliki budaya dan suku yang berbeda sangatlah mudah untuk muncul
kepermukaan. Berdasarkan hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh
Badan Pusat Statistik (2010), terdapat kurang lebih sebanyak 1.340 suku
bangsa, 300 kelompok etnis, 1.200 bahasa daerah, 6 agama yang diakui
pemerintah dan berbagai aliran kepercayaan. Keberagaman ini tentunya
dapat memunculkan potensi konflik yang besar dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Dalam hal ini, penelitian Hadiyanto (2016) terhadap konflik antara
penduduk asli Kalimantan dan penduduk asal Madura yang tinggal di
Kalimantan Barat, menunjukkan bahwa konflik yang terjadi disebabkan
karena adanya sekelompok orang dari etnis atau budaya tertentu merasa hak
mereka lebih penting atau direbut oleh kelompok dari etnis atau budaya lain,
ataupun suatu hal dianggap menjadi kewajiban suatu kelompok menurut
budayanya tetapi tidak bagi budaya lain, sehingga ada kelompok yang
merasa tidak dapat menerima atau tidak setuju dengan sikap tersebut.
Sebenarnya, konflik adalah bagian yang tak terpisahkan dan akan selalu
hadir dalam kehidupan manusia, baik karena disebabkan oleh perbedaan
suku, ras, golongan, maupun agama (Mutis dkk., 2007). Terlebih lagi dalam
masyarakat yang pluralis seperti yang ada di Indonesia, tentunya hubungan
antara satu pihak dengan lainnya tidak dapat dijamin akan selalu berlangsung
dengan harmonis. Hal ini antara lain dapat terlihat dari data konflik selama
tahun 2016 yang tercatat di Kementerian Dalam Negeri (Kementerian Dalam
Negeri, 2017), yang menunjukkan terjadinya 525 konflik di seluruh Indonesia,
dimana 431 konflik sudah diselesaikan dan 94 konflik masih dalam
penanganan. Dalam hal ini, adalah menarik untuk melihat kasus perselisihan
masyarakat Dayak dan Madura yang terjadi di Kalimantan Barat. Menurut
Hadiyanto (2016), membesarnya kasus konflik horizontal tersebut adalah
karena adanya kelemahan dari para unsur pimpinan di daerah tersebut, atau
dengan kata lain ketidakberdayaan unsur pimpinan lokal untuk menjadi
penengah sehingga terjadi korban jiwa yang cukup banyak sebagai akibat
dipilihnya jalur kekerasan oleh masyarakat setempat.
Terkait dengan hal ini, Erzen dan Armagan (2015) yang melakukan
penelitian ekstensif tentang pengaruh kepemimpinan terhadap resolusi konflik
juga menemukan bahwa kepemimpinan memiliki pengaruh yang signifikan
dalam manajemen konflik, karena pemimpin dapat memainkan peran

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 2


konstruktif untuk meyakinkan bahwa pengikutnya memiliki tujuan yang sama
untuk mengatasi atau mencegah konflik, atau sebaliknya pemimpin justru
dapat menjadi pencipta konflik. Indonesia sebagai negara yang memiliki
tingkat keberagaman yang tinggi, baik dari sisi budaya, agama, ras, status
sosial, maupun golongan dan aliran tentunya memendam potensi konflik yang
besar. Hal ini mengingat salah satu faktor utama yang dapat menyebabkan
konflik adalah adanya persepsi akan perbedaan yang kemudian menciptakan
“kita” versus “mereka” dan berubah menjadi konflik horizontal jika tidak dapat
dikelola dengan baik (Oakes, 2001). Terkait dengan keberagaman dan
perbedaan, maka banyak faktor pembeda tersebut pada akhirnya dapat
disederhanakan menjadi faktor perbedaan budaya, karena sebagai contoh
perbedaan agama, status sosial, etnis dan golongan pada akhirnya dapat
diterjemahkan melalui lensa budaya, atau “sudut pandang sekelompok
manusia dalam melihat suatu masalah” (Pedersen, 2001). Dalam konteks ini,
berbagai literatur tentang konflik menunjukkan bahwa faktor kepemimpinan
multikultur memegang peran penting dalam mengatasi konflik karena adanya
perbedaan budaya (Seiler, 2007).
Terkait masalah kepemimpinan itu sendiri, Bartone (2010), seorang
psikolog peneliti senior di Angkatan Darat Amerika Serikat dan mantan salah
satu presiden Asosiasi Psikologi Amerika Serikat (American Psychological
Association – APA) - suatu lembaga psikologi yang menjadi rujukan utama
dalam bidang kepemimpinan, menyatakan bahwa dalam konteks
kepemimpinan, tantangan ilmu psikologi adalah dalam menemukan karakter,
sifat bawaan atau suatu kemampuan individual tertentu dapat dihubungkan
dengan kinerja kepemimpinan yang efektif dalam berbagai situasi.
Pendekatan kepemimpinan modern yang terkini ini pada dasarnya adalah
suatu pendekatan integratif yang merupakan sintesa dari pendekatan-
pendekatan kepemimpinan terdahulu yang bermuara dari pertentangan dua
mazhab utama kepemimpinan yang dikenal dengan pendekataan sifat
bawaan (trait approach) yang banyak muncul di kawasan Eropa, versus
pendekatan perilaku (behavioral approach) yang berasal dari Amerika Serikat.
Pada akhirnya kedua pendekatan ini banyak mempengaruhi berbagai
pendekatan kepemimpinan di berbagai negara dan organisasi.

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 3


Sebagai contoh, di lingkungan organisasi Tentara Nasional Indonesia,
menurut salah satu founding fathers nya, Letnan Jenderal (Purn) Sayidiman
Suryohadiprojo (1996), istilah kepemimpinan di TNI baru ada sekitar 1953,
sejak sejumlah perwira TNI kembali dari pendidikan militer di Amerika
Serikat. Hal ini disebabkan karena sebelumnya, di Belanda, konsep
kepemimpinan (leiderschap) dianggap sebagai kemampuan manusia yang
diperoleh dari lahir (trait), bukan karena mendapat pendidikan tertentu.
Karena itu, Indonesia, yang pada saat itu di jajah Belanda, tentunya berbagai
organisasi dan lembaga pendidikan lebih mengikuti paradigma yang berlaku
di Belanda, termasuk di lingkungan militernya. Di lain pihak, di Amerika
Serikat, kepemimpinan, termasuk di kalangan militer dianggap bisa
dikembangkan (behavioristic approach).
Selain itu, hal lain yang perlu diketahui dalam suatu pembahasan
tentang tentang kepemimpinan adalah darimana pengaruh kepemimpinan itu
muncul ? Hal ini mengingat, sesuai penelitian Chan dkk. (2011), tidak semua
orang, walaupun orang tersebut menduduki jabatan formal sebagai seorang
pemimpin, kepemimpinannya akan muncul (emerge). Faktanya adalah
banyak orang yang menduduki jabatan formal sebagai pemimpin, namun
ternyata kepemimpinannya tidak muncul, dan sebaliknya banyak muncul
pemimpin informal yang tidak memiliki jabatan resmi sebagai pemimpin,
namun diakui sebagai pemimpin oleh banyak orang. Dalam hal ini, Chan dkk.
(2011:97-98) menyatakan bahwa sifat-sifat bawaan, termasuk kemampuan
bawaan seperti taraf kecerdasan serta kepribadian bawaan yang mencakup
extraversi, etos kerja, keterbukaan terhadap pengalaman baru serta stabilitas
emosi, termasuk sistem nilai dan motivasi, dapat menjadi prediksi yang kuat
dari munculnya (emergence) kepemimpinan.
Akan tetapi adalah penting untuk dicatat bahwa “kemunculan” seorang
pemimpin tidak sama atau berarti bahwa kepemimpinannya “efektif.” Seorang
yang muncul sebagai pemimpin di situasi kritis tidak harus berarti ia akan
mampu untuk menunjukkan kepemimpinan yang efektif. Chan dkk. (2011:6-8)
juga menemukan bahwa efektifitas kepemimpinan, yang didefinisikan sebagai
pencapaian kinerja dalam penugasan atau “hasil” dan cara-cara etis
bagaimana hasil ini dicapai, lebih banyak dipengaruhi oleh perilaku dari sang
pemimpin. Dalam hal ini, penelitian menunjukkan bahwa pelatihan dan

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 4


pengalaman yang dialami sebelumnyalah, yang banyak membentuk perilaku
seseorang dan kemudian memberikan kontribusi terhadap kemampuan
kepemimpinan.
Untuk konteks perilaku kepemimpinan, penelitian oleh Hidayat (2005)
menemukan bahwa sejak sepuluh tahun terakhir, banyak ilmuwan perilaku
dan praktisi dari berbagai organisasi sipil dan militer di Eropa, Asia and
Amerika Utara memilih untuk mengembangkan model kompetensi
kepemimpinan berbasis perilaku yang dirancang berdasarkan visi, misi dan
lingkungan operasional organisasi tersebut beroperasi. Terkait dengan hal ini,
Chan dkk. (2011:102-108) menemukan bahwa konsep pengembangan
kepemimpinan modern mengandalkan model kompetensi, dimana kursus
formal, pelatihan dan penempatan jabatan dikembangkan dan direncanakan
secara sistematis sesuai peta kompetensi yang ada di organisasi.
Walaupun sudah banyak literatur dan penelitian yang dilakukan dalam
konteks kepemimpinan, resolusi konflik, maupun tentang dunia yang
multikultural, namun demikian, studi literatur yang dibatasi selama 10 tahun
terakhir, dengan mesin pencari Proquest Database hanya menemukan sedikit
literatur tentang kepemimpinan multikultur dalam penanganan konflik. Hal ini
tidak lepas dari studi damai dan resolusi konflik yang masih banyak
didominasi oleh pendekatan Barat. Sebagai contoh, Duffey (2000) yang
meneliti tentang kegagalan pasukan perdamaian dibawah United Nations
Operation in Somalia (UNOSOM) yang dipimpin Amerika Serikat menemukan
bahwa pendekatan dan Standard Operating Procedure (SOP) yang diambil
oleh Komando UNOSOM pada dasarnya berorientasi pada pendekatan
resolusi konflik yang berasal dari budaya Barat, dalam hal ini Amerika Serikat.
Hal yang sama juga dinyatakan oleh Findlay (2002) yang menemukan doktrin,
SOP dan teori resolusi konflik yang digunakan diberbagai operasi perdamaian
PBB, pada dasarnya berasal dari kacamata “Barat” (Soeters dkk., 2006;
Rubinstein dkk., 2008).
Pendekatan-pendekatan ini lahir dari program studi tentang resolusi
konflik dan perdamaian yang lahir dan dikembangkan oleh para akademisi
yang bekerja di universitas-universitas di Eropa dan Amerika Utara. Dengan
demikian, tidaklah mengherankan bahwa pendekatan yang muncul
merefleksikan tradisi intelektual Barat, termasuk ekspektasi, sistem nilai dan

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 5


konsep kepemimpinan yang terkait budaya Barat. Permasalahan yang lebih
mendalam adalah dimana disiplin ilmu Damai dan Resolusi Konflik telah
membuat asumsi yang keliru bahwa teori, metoda dan konsep kepemimpinan
yang dilahirkan di universitas-universitas di negara-negara Barat tersebut,
dapat diaplikasikan secara universal. Padahal, observasi tentang
pelaksanaan resolusi konflik di Timor Leste (Bishop, 1999; Di Giovanni, 1999)
menunjukkan pendekatan non Barat, seperti misalnya pendekatan Asia
dianggap lebih kooperatif dan diterima oleh masyarakat setempat.
Prodi Damai dan Resolusi Konflik (DRK) dari Universitas Pertahanan
Indonesia adalah suatu prodi yang mendedikasikan dirinya pada studi dan
pencarian alternatif pemecahan konflik, antara lain melalui penelitian yang
terkait dengan upaya-upaya untuk mengatasi konflik, terutama upaya yang
dilandaskan oleh paradigma yang khas Indonesia. Karena itu, adalah suatu
keniscayaan bahwa Prodi DRK Unhan harus mampu menawarkan suatu
pendekatan dan paradigma kepemimpinan yang bersifat multikultur sesuai
dengan kondisi nyata yang ada di Indonesia. Penelitian ini berupaya untuk
memberikan kontribusi tentang konsep kepemimpinan multikultur yang dapat
mendukung upaya penanganan konflik horizontal di Indonesia. Suatu konsep
kepemimpinan yang dapat melintasi sekat-sekat perbedaan sehingga mampu
menciptakan rasa percaya (trust) yang dibutuhkan untuk mengatasi konflik
(Simpson, 2007), terutama konflik yang disebabkan oleh perbedaan identitas
seperti suku, agama, ras ataupun aliran (SARA).

1.2 Rumusan Masalah.


Sebagai suatu negara yang amat multikultur, Indonesia sudah pernah
mengalami berbagai konflik horizontal, namun juga dapat dikatakan sudah
dapat menunjukkan berbagai keberhasilan dalam menanganinya. Dalam hal
ini berbagai penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan memiliki korelasi
yang signfikan dalam keberhasilan resolusi konflik. Namun demikian, belum
banyak penelitian yang dilakukan terkait dengan kepemimpinan multikultur
yang sesuai dengan kondisi nyata di Indonesia dalam konteks penanganan
konflik. Tanpa dilakukannya penelitian sesegera mungkin untuk mendapatkan
profil kepemimpinan multikultur yang berhasil mengatasi konflik horizontal di
Indonesia, maka di masa depan akan sulit untuk mendapatkan sumber data

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 6


atau informan, mengingat sumber-sumber tersebut kemungkinan sudah lupa
atau tidak terindentifikasi lagi, sedangkan perubahan demografis secara
cepat, masif dan terus menerus sedang terjadi di Indonesia kontemporer,
yang berpotensi akan menghasilkan konflik. Oleh karena itu, dibutuhkan
suatu penelitian yang dapat memetakan kriteria-kriteria kepemimpinan
multikultur yang efektif, yang dapat mengatasi konflik yang bersifat SARA,
untuk kemudian dilakukan berbagai upaya pengembangan sehingga di
kemudian hari dapat dilahirkan para change agent yang dapat meminimalisir
konflik komunal di Indonesia.

Dari identifikasi masalah yang dihasilkan, maka pertanyaan penelitian


yang dapat diajukan adalah sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimanakah profil kepemimpinan multikultur yang efektif untuk
menangani konflik horizontal di Indonesia ?
1.2.2 Seperti apakah program pengembangan dan pendidikan
kepemimpinan yang dapat dilakukan untuk menciptakan pemimpin
yang multikultur di Indonesia ?

1.2 Tujuan dan Signifikansi Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan penelitian eksploratif
yang bersifat kualitatif tentang profil kepemimpinan multikultur yang dianggap
efektif untuk mengatasi potensi konflik horizontal di masa depan di Indonesia
dengan tujuan :
3.1 Mendapatkan profil kepemimpinan multikultur yang dapat
mengatasi konflik horizontal di Indonesia.
3.2 Mendapatkan metoda pengembangan kepemimpinan multikultur
yang dapat mendukung efektifitas penanganan konflik horizontal di
Indonesia.

Signifikansi penelitian ini adalah mengingat perubahan demografis


yang cepat di Indonesia telah berpotensi melahirkan konflik horizontal di
berbagai daerah. Hal ini dapat dilihat dengan potensi konflik yang ditunjukkan
dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang mengedepankan politik
identitas seperti yang dilihat dalam pelaksaaan berbagai Pilkada di Indonesia.

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 7


1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dan
teoritis bagi pengembangan paradigma kepemimpinan di Indonesia.
1.4.1. Manfaat Teoritis. Diharapkan penelitian ini akan dapat
merumuskan kriteria kepemimpinan multikultur yang khas
Indonesia, yang efektif dalam menangani potensi konflik
horizontal yang mungkin terjadi.
1.4.2 Manfaat Praktis. Dari penelitian ini diharapkan akan didapatkan
metoda pengembangan kepemimpinan multikultur yang efektif
untuk menangani konflik horizontal.

1.5 Ruang Lingkup dan Sistematika Penulisan


1.5.1 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini berkaitan dengan profil kepemimpinan
multikultur yang efektif untuk menangani konflik horizontal di Indonesia.
Namun demikian mengingat penelitian ini masih bersifat eksploratif, maka
penelitian ini dibatasi dengan lokasi penelitian di daerah Jabotabek dan
Bandung sebagai daerah metropolitan yang mengalami perubahan
demografis yang cepat sehingga dapat dikatakan sebagai miniatur Indonesia
yang multikultur. Adapun desain penelitian ini adalah menggunakan metoda
kualitatif, dimana di awal penelitian akan dilakukan penelitian kualitatif untuk
mendapatkan gambaran profil kepemimpinan multikultur yang efektif.
Selanjutnya dilakukan penelitian kuantitatif untuk memvalidasi faktor-faktor
kepemimpinan yang paling mendukung efektifitasnya.

1.5.2 Sistematika Penulisan


Dalam penelitian ini terbagi kepada 5 (lima) bab utama dan disusun
dengan sistematika sebagai berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan tentang gambaran yang bersifat umum yang terdiri dari
latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan signifikansi penelitian,
manfaat penelitian, ruang lingkup dan gambaran desain penelitian.

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 8


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Bab ini menjelaskan tentang tinjauan pustaka yang terdiri dari penelitian
terdahulu, uraian teori-teori yang relevan dengan penelitian, dan kerangka
pemikiran yang menjadi acuan dalam penelitian.

BAB 3 METODE PENELITIAN


Bab ini menjelaskan cara yang digunakan dalam mengumpulkan data
penelitian yang diperlukan dalam menganalisis masalah penelitian. Selain itu,
pada bagian ini dijelaskan pula teknik dalam menganalisis hasil penelitian
serta lokasi dan jadwal penelitian.

BAB 4 HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN DAN ANALISIS DATA


Bab ini menjelaskan gambaran umum subjek yang akan diteliti, analisis data
hasil penelitian dan pembahasan atas masalah penelitian dengan merujuk
pada teori dan konsep yang dijelaskan pada Bab 2.

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN


Bab ini menjelaskan hasil analisis yang berupa jawaban atas pertanyaan
penelitian. Selanjutnya, rekomendasi dalam penelitian dituangkan dalam
saran teoretis dan saran praktis.

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 9


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Pustaka.


Satu pertanyaan yang perlu dijawab peneliti masalah resolusi konflik
adalah bagaimana seharusnya seorang pemimpin dalam situasi konflik
horizontal dapat bertindak dan mengambil keputusan sesuai kondisi sosial
budaya setempat. Oleh karena itu dalam penelitian ini, variabel yang perlu
diperhatikan adalah faktor kepemimpinan yang efektif, kompetensi multikultur,
dan resolusi konflik.

2.1.1 Teori Kepemimpinan.


Kepemimpinan sebagai ilmu dan seni mempengaruhi orang lain,
adalah suatu topik yang tidak pernah habis dibahas sepanjang masa
(Robbins, 2013). Teori kepemimpinan itu sendiri telah banyak berkembang
dari waktu ke waktu, sehingga perlu dibahas dari sejak awal mulanya mulai
dari defnisi kepemimpinan, sampai dengan teori kepemimpinan kontemporer
masa kini, termasuk teori kepemimpinan yang berkembang di Indonesia

2.1.1.1 Definisi Kepemimpinan.


Banyak pihak menganggap kepemimpinan adalah suatu proses
dimana terdapat individu yang mempengaruhi pihak lain untuk mencapai
tujuan atau objektif dan juga ikut mengarahkan organisasi menjadi lebih
kohesif dan koheren (Sharma & Jain, 2013). Kemudian pengertian
kepemimpinan juga dapat dipahami dalam konteks tingkat kepengaruhannya.
Sebagai contoh, menurut Khan dkk. (2013) pengertian kepemimpinan dalam
konteks negara, ditujukan kepada individu yang memiliki keinginan dan
kapasitas untuk mengembangkan visi dan mampu mengubahnya menjadi
misi, dengan menggunakan strategi yang komprehensif. Pengaruh dari
individu tersebut, dimaksudkan sebagai pemimpin yang mampu mengubah
secara signifikan aspek sosial dan faktor ekonomi tertentu dan masyarakat
secara keseluruhan. Dalam hal ini, pemimpin dianggap sebagai agen
pengubah masyarakat yang memiliki kapasitas untuk mengatur sumberdaya
yang ada dan dapat menghasilkan kinerja terbaik dengan sumberdaya

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 10


tersebut. Di lain pihak, dalam konteks kelompok, kepemimpinan adalah
kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan
yang diinginkan (Rothmann & Cooper, 2014). Dari dua pemahaman tentang
konteks kepemimpinan ini, dapat dilihat bahwa definisi kepemimpinan tidak
memiliki pengertian standar tergantung dari pendapat para penulisnya (Yukl,
2010).
Di lain pihak, menurut Oxford English Dictionary (dalam Taormina,
2010), kepemimpinan bukanlah suatu proses, karena jika mengikuti peraturan
linguistik, maka makna kata – ship dalam leadership, bermakna “kondisi atau
a state”, serta “ kualitas, karakter, atau skill dari kata – ship itu sendiri.
Tannenbaum dkk. (1961, dalam Ali, 2012)) menyatakan bahwa konsep akan
kepemimpinan adalah suatu pengaruh interpersonal yang berlangsung dalam
satu situasi yang terarah, melalui proses komunikasi antar pihak, untuk
mencapai tujuan tertentu. Sedangkan Northouse (2004, dalam Ali 2012)
mengatakan adanya empat tema mendasar mengenai kepemimpinan yang
mencakup : (1) Kepemimpinan adalah suatu proses; (2) Kepemimpinan
terkait dengan kepengaruhan; (3) Kepemimpinan terjadi dalam konteks
kelompok; dan terakhir (4) Kepemimpinan terkait dengan pencapaian tujuan.

2.1.1.2 Sejarah Teori Kepemimpinan.


Berbicara tentang sejarah teori kepemimpinan, maka kita harus
memulai dari perbebatan tentang apakah seorang pemimpin itu dilahirkan
ataukah diciptakan ? (Horner 1997). Kenyataannya, berbagai catatan sejarah
membuktikan adanya kerajaan yang diwariskan secara turun temurun seperti
pada era imperium Romawi, kekaisaran Jepang, dinasti Ming di Cina, raja-
raja di Inggris - termasuk pula kerajaan-kerajaan besar di Nusantara. Bahkan
di era abad ke 21 saat ini, kita dapat melihat fakta akan adanya dinasti
Kennedy dan Bush di Amerika Serikat, dimana jabatan publik yang dipegang
oleh keluarga mereka, ternyata telah “diwariskan’ kepada turunannya. Dalam
hal ini kita dapat melihat akan kemampuan para pemimpin besar untuk tampil
secara alamiah seperti Lee Kuan Yew, Nelson Mandela, Mahathir
Muhammad, termasuk Soekarno, Soeharto, dan Jenderal Besar Soedirman -
yang sebelumnya hanyalah seorang guru Sekolah Dasar.

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 11


Pada dasarnya teori yang menyatakan kepemimpinan adalah
dilahirkan merujuk pada pemikiran sejarawan Inggris, Thomas Carlyle (1888)
dan disebut sebagai “Great Man Theory”. Teori yang populer sampai dengan
era Perang Dunia ke II ini, dikembangkan oleh para psikolog yang berupaya
untuk mencari ciri kepribadian, sosial, fisik atau intelektual yang secara
universal terkait dengan ciri-ciri pemimpin yang berhasil (Harshman &
Harshman, 2008). Pendekatan yang populer disebut “trait approach to
leadership” atau pendekatan sifat bawaan ini, lebih banyak populer di negara-
negara Eropa dan lebih berkonsentrasi pada meneliti para pemimpin yang
berhasil serta kemudian menemukan sifat-sifat bawaan yang melekat pada
para pemimpin ini (Bass, 1990).
Dalam perjalanan waktu, pendekatan sifat bawaan banyak ditinggalkan
karena walaupun fakta-fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa memang
pemimpin dapat lahir karena kekuasaan yang diwariskan, kekayaan,
kepercayaan yang diberikan, hingga kharisma yang dimiliki, berbagai
penelitian lanjutan kemudian juga menunjukkan bahwa banyak pemimpin
yang berhasil, tidak perlu memiliki sifat-sifat bawaan yang telah diteliti
sebelumnya, namun keberhasilan mereka lebih ditentukan karena
kepemimpinan mereka telah disemaikan, dilatih, diberi kesempatan dan
ditampilkan (Bennis 1989). Sebagai contoh, dalam sebuah jurnal berjudul
“The making of an expert” disimpulkan bahwa secara konsisten dan dengan
bukti yang sangat banyak, seorang pakar selalu diciptakan bukan dilahirkan,
begitu pula dalam hal kepemimpinan (Ericsso & Cokely, 2007). Untuk itu, kita
dapat melihat contoh-contoh dari presidan Bill Clinton, jenderal Collin Powell
dan presiden SBY, yang merupakan produk nyata dari “pemimpin yang
dipersiapkan” secara sistematis melalui berbagai program pendidikan,
pengembangan dan penempatan jabatan yang tepat, sehingga kompetensi
kepemimpinan mereka dapat muncul ke permukaan.
Pendekatan yang menyatakan kepemimpinan harus disiapkan, lebih
populer di Amerika Serikat (AS), dan setelah berakhirnya Perang Dunia II,
ketika Kepala Staf Angkatan Darat AS, Jenderal Dwight Eisenhower,
memerintahkan Komandan Akademi Militer di West Point untuk mendirikan
Departemen Ilmu-ilmu Perilaku dan Kepemimpinan (Department of Behavioral
Sciences and Leadership) dalam rangka untuk mengembangkan para kader

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 12


pimpinan Angkatan Darat AS (Fitton, 1993). Departemen ini kemudian
menghasilkan Buku “Leadership in Organizations”, yang menjadi referensi
dari berbagai pemangku kepentingan di bidang kepemimpinan, sekaligus
mempopulerkan kajian ilmiah tentang kepemimpinan dan upaya
pengembangannya secara luas (Department of Behavioral Sciences and
Leadership, 1976). Dari West Point inilah kemudian teori kepemimpinan
bergerak meninggalkan pendekatan sifat-sifat bawaan dan lebih
berkonsentrasi pada perilaku yang ditunjukkan oleh para pimpinan, sehingga
disebut dengan behavioristic approach, dimana ditemukan pada umumnya
para pemimpin menunjukkan perillaku yang berorientasi pada tugas (Task
Approach), berorientasi pada hubungan (Relationship Approach), atau
berorientasi pada keduanya, dalam rangka untuk mempengaruhi bawahannya
(Bass, 1990).

2.1.1.3 Teori Kepemimpinan Kontemporer.


Setelah dalam waktu yang cukup lama, teori pendekatan sifat-sifat
bawaan dan pendekatan perilaku mendominasi diskursus tentang
kepemimpinan, selanjutnya berbagai teori kepemimpinan lainnya mulai
muncul, seperti gaya kepemimpinan, kepemimpinan yang etis, dan
sebagainya. Sebagai contoh, Burns (1978 dalam Du dkk. , 2013) telah
mengidentifikasi dua gaya kepemimpinan, yaitu gaya transformasional dan
transaksional. Pemimpin transformasional adalah orang yang dapat
mengartikulasikan visi masa depan untuk dibagi dengan pengikutnya,
merangsang secara intelektual bawahannya, serta memperhatikan perbedaan
individual anggotanya. Kepemimpinan transformasional adalah proses untuk
memotivasi bawahan dengan memacu cita-cita dan nilai moral ke tingkat
yang lebih tinggi. Shamir dkk. (1993 dalam Khan, dkk., 2013) menjelaskan
bahwa pemimpin dengan gaya transformasional dapat merangsang pengikut
dengan tiga cara (1) meningkatkan kepercayaan diri (self-efficacy)
pengikutnya, (2) memfasilitasi identifikasi sosial bawahan dengan kelompok
atau organisasi mereka, dan (3) menghubungkan nilai kerja organisasi
dengan sistem nilai yang dianut oleh bawahannya.
Di lain pihak, para peneliti menemukan pemimpin transaksional
memotivasi karyawan terutama melalui transaksi terkait imbalan (Burns,

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 13


1978; Waldman dkk., 1987, dalam Du dkk., 2013). Melalui otoritas birokrasi
dan kekuatan yang sah dalam organisasi, pemimpin transaksional
menekankan tugas dalam pekerjaan, standar kerja, dan kepatuhan
karyawan, para pemimpin transaksional menggunakan mekanisme “reward
and punishment“ untuk mempengaruhi kinerja para bawahannya. Menurut
Bensimon (1989, dalam Khan dkk., 2013 ), pemimpin transaksional yang baik
selalu memiliki proses pertukaran dua arah dan saling mempengaruhi dengan
pengikutnya. Kemudian, studi Riaz dan Haider (2010, dalam Khan dkk., 2013)
juga menemukan bahwa pemimpin transaksional memberi penghargaan
positif kepada bawahan atas kinerja baiknya, serta memberi pengakuan atas
kontribusi mereka dalam keberhasilannya.
Selain gaya kepemimpinan, penelitian kontemporer tentang
kepemimpinan juga berbicara tentang kepemimpinan yang etis. Menurut
Wirawan (2014), etika adalah ilmu dan standar mengenai sesuatu yang benar
dan sesuatu yang salah; sesuatu yang boleh dilakukan; dan sesuatu yang
tidak boleh dilakukan. Karena itu, kepemimpinan etis menurut Van den Akker
dkk. (2009, dalam Wirawan, 2014) adalah kepemimpinan yang
mendemonstrasikan perilaku yang secara normatif tepat melalui tindakan-
tindakan personal dan hubungan interpesonal, dan menyemaikan perilaku
tersebut kepada para bawahannya melalui komunikasi dua arah, penguatan
(reinforcement), dan keputusan-keputusan yang diambil. Beberapa peneliti,
juga mencoba menggabungkan etika perilaku pemimpin sebagai bagian dari
kepemimpinan transformasional atau bahkan menganggapnya sebagai
seperangkat perilaku atau gaya kepemimpinan yang terpisah (Kalshoven
dkk., 2011).
Seperti banyak teori ilmu sosial lainnya, maka pendapat legendaris dari
Hegel yang menyatakan bahwa suatu tesis atau teori akan menghasilkan
antitesis dan pada akhirnya melahirkan sistesis (Mueller, 1958), ternyata juga
berlaku dalam kajian kepemimpinan. Pada saat ini, pendekatan
kepemimpinan lebih bersifat integratif, dimana penelitian tentang
kepemimpinan yang berhasil juga mengandung kajian tentang sifat-sifat
bawaan yang dimiliki oleh sang pemimpin, perilakunya, gaya
kepemimpinannya, serta situasi yang dihadapinya yang dapat membuatnya
menjadi seorang pemimpin yang efektif. Sebagai contoh, pendekatan sifat-

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 14


sifat bawaan telah kembali muncul pada kajian penelitian kepemimpinan
kontemporer dan para peneliti berupaya untuk mengintegrasikannya dengan
faktor-faktor lain yang dapat membuat kepemimpinan menjadi lebih efektif.
Pitcher (1994, dalam Ali, 2012) menggunakan teknik analisis faktor pada data
yang dikumpulkan selama 8 tahun, dan menyimpulkan bahwa terdapat tiga
jenis pemimpin, masing-masing memiliki profil psikologis dengan sifat-sifat
bawaan yang berbeda. Kelompok pertama dengan sifat-sifat yang imaginatif,
menginsiprasi, visioner, entrepreneurial, intuitif, berani, and emosional
disebutnya sebagai kelompok "artis”. Kelompok ke dua adalah “pekerja”
(craftsman), dengan ciri-ciri seimbang, ajek, masuk akal, bijaksana, dapat
diprediksi, dan dapat dipercaya, sedangkan kelompok terakhir adalah
kelompok “teknokratis” yang berorientasi pada pikiran dan hal-hal kecil, kritis,
tidak mau berkompromi, dan keras kepala.
Dalam perjalanan waktu penelitian-penelitian terkini lebih banyak
berbicara tentang kemampuan atau kompetensi kepemimpinan, dimana arah
penelitian lebih ditujukan pada rumusan kompetensi kepemimpinan yang
dapat merefleksikan perilaku pemimpin yang berhasil di masa depan,
terutama dalam menghadapi era ketidakpastian, sehingga perubahanlah yang
justru merupakan suatu kepastian (Hidayat, 2016). Para pakar menyebut
kompetensi kepemimpinan seperti ini adalah yang disebut dengan
“kompetensi meta”, suatu kompetensi yang dapat membangun kompetensi
perilaku lainnya, sehingga para pemimpinan yang berhasil adalah mereka
yang dapat terus menerus memimpin secara adaptif di lingkungan yang
dinamis dan kompleks (Briscoe & Hall, 1999). Penelitian Hidayat (2005)
menunjukkan ada dua kompetensi meta utama yang dianggap penting dalam
situasi apapun. Yang pertama adalah identitas diri atau self identity, yang
merupakan suatu kemampuan kepemimpinan yang memungkinkan
seseorang untuk memiliki konsep diri yang jelas tentang siapa dirinya
dihadapkan kepada situasi lingkungan yang sedang dihadapinya. Yang ke
dua adalah kesadaran diri atau self awareness, yang merupakan suatu
kemampuan untuk memahami kekuatan dan kelemahan diri sendiri.
Penelitian kepemimpinan yang terbaru selain berbicara masalah
efektifitas, juga membahas kondisi yang sebaliknya, atau dengan kata lain
jenis kepemimpinan yang harus dihindari. Sebagai contoh, jenis

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 15


kepemimpinan yang negatif, adalah yang disebut dengan kepemimpinan yang
beracun, atau kepemimpinan toksik (toxic leadership). Jenis kepemimpinan ini
pertama dikemukakan dalam buku berjudul “Toxic leader: When organization
go bad” oleh Marcia Lynn Whicker (1996, dalam Wirawan, 2014). Whicker
menyatakan bahwa kepemimpinan toksik adalah suatu kepemimpinan yang
disebabkan oleh pemimpin yang tidak etis, tidak berintegrritas atau
kepemimpinan yang disfungsional. Barbara Kellerman (2004, dalam Wirawan,
2014) menemukan tujuh karakteristik kepemimpinan toksik yaitu tidak
kompeten, kaku, tidak memiliki kendali diri, tidak berperasaan, korup, picik
dan jahat.

2.1.1.4 Kemunculan dan Efektifitas Kepemimpinan.


Kemunculan pemimpin (Leader emergence) mengacu pada “apakah
seorang individu dianggap oleh seorang pemimpin oleh orang lain” (Judge
dkk., 2002:767). Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua
orang yang diberi posisi dan otoritas sebagai pemimpin dalam suatu
organisasi mendapatkan pengakuan dan penghormatan dari bawahannya
sebagai seorang pemimpin (Hogan dkk., 1994). Di lain pihak, seorang yang
tidak memiliki posisi formal sebagai seorang pimpinan, namun mampu secara
sukarela mengambil alih tugas-tugas sebagai pemimpin, membantu orang
lain dalam pelaksanaan tugasnya, berhasil menciptakan konsensus diantara
rekan-rekannya dan dapat mengambil keputusan bagi orang lain, sehingga
yang bersangkutan diakui oleh lingkungannya sebagai seorang pemimpin
disebut oleh Lord dkk. (1986) sebagai pemimpin yang muncul (emergent
leader). Berdasarkan pemahaman ini, maka dapat dikatakan bahwa dalam
studi-studi kepemimpinan, adalah lebih tepat untuk melakukan penelitian
terhadap pemimpin yang muncul di permukaan dan mendapat pengakuan
dari lingkungannya, daripada terhadap orang-orang yang hanya menduduki
posisi formal sebagai pemimpin namun tidak diakui sebagai pemimpin.
Dilain pihak, walaupun seseorang telah muncul dan diakui
kepemimpinannya, tidak berarti kepemimpinannya tersebut berhasil.
Kemunculan sebagai seorang pemimpin saja belum tentu dapat membuat
tujuan organisasi dapat tercapai. Menurut Hogan dkk. (1994) adalah cukup
sulit untuk menentukan faktor-faktor keberhasilan yang seringkali diluar

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 16


kendali seorang pemimpin. Namun demikian menurut mereka efektifitas
kepemimpinan seseorang dapat diukur dari seberapa jauh dampak dari
kepimpinannya terhadap organisasi yang dipimpinannya, seperti keuntungan
perusahaan, kepuasan terhadap pelayanan yang diberikan oleh organisasi
nirlaba, ataupun perasaan menang yang dirasakan oleh angggota kelompok.
Penelitian oleh Chan dkk. (2011) menunjukkan bahwa sifat-sifat
bawaan, termasuk kemampuan bawaan seperti taraf kecerdasan serta
kepribadian bawaan seperti ekstraversi, etos kerja dan stabilitas emosi, dapat
menjadi prediksi yang kuat dari munculnya kepemimpinan. Sedangkan,
efektifitas kepemimpinan, lebih banyak dipengaruhi oleh perilaku dari sang
pemimpin. Pendapat Chan dkk. Ini diperkuat oleh penelitian Hidayat dan
Susetyo (2017) yang menunjukkan keberhasilan seorang Bintara Kopassus
pada saat seluruh insitusi formal lumpuh, dalam memimpin ribuan penyintas
bencana Tsunami di Aceh pada tahun 2004, termasuk keluarga anggota
Gerakan Aceh Merdeka (GAM), ke tempat yang aman dan memimpin mereka
untuk bertahan hidup secara damai di daerah GAM sampai bantuan tiba.
Proses seleksi Kopassus yang mencakup tes psikologi yang menggali sifat-
sifat bawaan tentunya banyak berpengaruh terhadap kemunculan Bintara
tersebut sebagai seorang pemimpin walaupun pangkatnya tidaklah tinggi. Di
lain pihak, pelatihan dan pengalaman yang dialami sebelumnya telah
membentuk perilakunya, sehingga kepemimpinan lapangannya efektif.

2.1.1.5 Pengembangan Kepemimpinan.


Secara umum praktisi pelatihan dan pengembangan sumber daya
manusia sepakat bahwa pada dasarnya dengan perjalanan waktu,
kemampuan memimpin dapat dikembangkan sesuai dengan kriteria yang
diharapkan (Athey & Orth, 1999). Pada dasarnya metoda pengembangan
kepemimpinan lebih berkembang di Amerika Serikat, dengan fokusnya pada
pengembangan kompetensi indidvidual, yang menekankan pada bagaimana
mengembangkan seorang calon pimpinan sehingga yang bersangkutan akan
mampu menghasilkan kinerja yang unggul (Conger & Ready, 2004), dimana
seringkali profil kompetensi yang akan dikembangkan dihasilkan dari dimensi
perilaku yang berasal dari Assessment Center (Shipmann dkk., 2000), suatu
metoda yang pada awalnya digunakan untuk mengidentifikasi potensi

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 17


kepemimpinan perwira Angkatan Darat Jerman pra Perang Dunia ke II, yang
kemudian diadopsi oleh Angkatan Bersenjata Amerika Serikat untuk
menyeleksi perwira intelijen mereka (Iles, 1992).
Banyak praktisi yang juga menyatakan bahwa kompetensi
kepemimpinan akan lebih mudah dikembangkan, jika aspek-aspek dari
kompetensi tersebut dapat dijabarkan dalam bentuk perilaku yang dapat
diidentifikasi, diobservasi dan dinilai (Wusteman, 2000). Oleh karena itu,
metoda pengembangan kompetensi yang dilakukan akan sangat tergantung
dari kompetensi spesifik yang akan dikembangkan (Byham, 1982). Sebagai
contoh, kompetensi “pemikiran strategis” akan lebih tepat jika dikembangkan
melalui diskusi studi kasus dan analisa masalah, sedangkan ketrampilan
interpersonal akan lebih baik jika dikembangkan melalui permainan peran dan
modeling (Peterson, 1996). Hal ini mengingat setiap manusia memiliki
kepribadian yang khas, maka program pengembangannya tidak dapat
dilakukan secara masal dengan menggunakan metoda pengajaran di kelas,
tetapi lebih tepat jika dikembangkan secara individual dan terencana, melalui
kegiatan pemberian umpan balik atas hasil penilaian kompetensi, perumusan
rencana pengembangan individual (individual development plan), serta one-
to-one coaching (Ahern, 2003). Sperry (2004:100) bahkan menemukan
bahwa intervensi coaching adalah metoda yang paling efektif untuk
mengembangkan kompetensi perilaku yang membutuhkan hubungan yang
serasi dengan orang lain (human relations skills).

2.1.1.6 Perkembangan Teori Kepemimpinan di Indonesia.


Teori kepemimpinan perlu disesuaikan dengan budaya yang ada,
mengingat kelompok dengan budaya yang berbeda mungkin memiliki
perspektif kepemimpinan yang berbeda (Hofstede,1983; Bass, 1990 dalam
Karadakal dkk., 2015). Dalam hal ini, Teori Kategorisasi Kepemimpinan (Lord
& Maher, 1991 dalam Karadakal dkk., 2015) menyatakan bahwa "setiap
orang memiliki gagasan implisit tentang bagaimana penampilan seorang
pemimpin, bertindak, dan berperilaku. Gagasan ini berakar pada pengalaman
awal orang-orang dengan para pemimpin dan dibentuk oleh budaya dan
asuhan seseorang ".

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 18


Teori kepemimpinan yang berkembang di Indonesia, tidaklah terlepas
dari perdebatan yang terjadi di negara lain. Dalam hal ini kita dapat melihat
perjalanan perumusan doktrin kepemimpinan di lingkungan TNI. Menurut
salah satu founding fathers TNI, Letnan Jenderal (Purn) Sayidiman
Suryohadiprojo (1996), istilah kepemimpinan di TNI baru ada sekitar 1953,
sejak sejumlah perwira TNI kembali dari pendidikan militer di Amerika
Serikat. Hal ini disebabkan karena sebelumnya, di Belanda, konsep
kepemimpinan (leiderschap) seperti pendekatan trait approach yang banyak
beredar di Eropa, dianggap sebagai kemampuan manusia yang diperoleh dari
lahir. Karena itu, di Indonesia, yang pada saat itu di jajah Belanda, konsep
kepemimpinan yang berlaku secara umum, tentunya mengikuti paradigma
yang berlaku di Belanda, termasuk di lingkungan militernya.
Setelah Jenderal Sayidiman dkk. kembali dari Amerika Serikat, mereka
mulai memperkenalkan pendekatan behavioristic approach, dan berupaya
untuk mengembangkan program-program pengembangan kepemimpinan
militer, baik di lingkungan Akademi Militer, Komando Pendidikan Angkatan
Darat, maupun Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, serta berupaya
untuk mengembangkan konsep kepemimpinan yang khas Indonesia. Di tahun
70 an, para pemikir TNI, termasuk Jenderal Sayidiman dan kawan-kawan,
kemudian berhasil merumuskan konsep kepemimimpinan TNI yang disebut
dengan 11 Asas Kepemimpinan TNI, yang didasari pada nilai-nilai budaya
Indonesia (Suryohadiprojo, 1996). Terkait dengan hal ini, di awal tahun 1980
an, Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Rudini kemudian memerintahkan
Kadispsiad pada waktu itu, yaitu Brigjen (Purn) Soemarto, Dipl Psych., untuk
mengkaji 11 Asas Kepemimpinan TNI dari segi disiplin ilmu psikologi (Markas
Besar Angkatan Darat, 2016). Dispsiad kemudian menyimpulkan bahwa
seperti kajian-kajian ilmu kepemimpinan modern lainnya, ke 11 Asas
Kepemimpinan TNI terdiri dari sifat bawaan (trait), perilaku (behavior) dan
nilai (values), sehingga untuk dapat dijadikan sebagai pedoman, perlu
dirumuskan lebih lanjut agar tidak rancu. Dengan kata lain, dibutuhkan suatu
doktrin atau model kepemimpinan yang khas TNI, namun demikian yang
mengikuti perkembangan disiplin ilmu perilaku, yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 19


Di luar lingkungan militer, Herbert Feith (1962, dalam Dewi, 2013)
seorang Indonesianis ternama mencoba mengkaji jenis kepemimpinan di
Indonesia dan menemukan dua tipe kepemimpinan, yaitu ”tipe pengelola”
(administrator) dan ”tipe pemersatu” (solidarity maker). Pemimpin tipe
pengelola adalah mereka yang memiliki kemampuan teknis dalam mengatur
negara, dan umumnya diwakili oleh tokoh-tokoh terdidik yang menguasai
suatu bidang tertentu. Sementara tipe pemersatu adalah orang-orang yang
mampu mendekati massa, mempengaruhi mereka, serta mendapatkan
simpati dan dukungan dari mereka. Sebagai contoh, Muhammad Hatta selaku
wakil presiden adalah pemimpin dengan tipe pengelola, sementara Presiden
Soekarno merupakan tipe pemersatu. Feith menyatakan bahwa dua karakter
kepemimpinan ini jarang bercampur pada diri satu orang. Para pemimpin
dengan tipe pemersatu biasanya mampu mengumpulkan dukungan rakyat
serta berhasil mempengaruhi mereka, tetapi ketika harus mengelola
pemerintahan, dia kerap gagal dan mengecewakan. Sebaliknya, para
pemimpin dengan tipe pengelola umumnya cakap dalam mengelola
pemerintahan tetapi kurang mendapat dukungan dari rakyat. Karena kurang
menguasai retorika atau tak memiliki kecakapan yang cukup untuk mendekati
massa, tipe pemimpin pengelola biasanya sering disalahpahami orang. Di sisi
lain, pada periode kemerdekaan sampai dengan 1949, Soekarno juga dapat
diklasifikasikan sebagai pemimpin yang transformasional, yang mampu
mengubah Indonesia dari fase penjajahan, ke fase kemerdekaan (Liddle
dalam Dewi, 2013).
Penelitian kontemporer tentang kepemimpinan di Indonesia antara lain
dilakukan oleh Sugiarto (2014), yang dalam penelitannya tentang karakteristik
pemimpin nasional yang ideal, menemukan beberapa karakteristik yang
diinginkan oleh para pemilih pemula di Yogyakarta. Yang pertama adalah
profesional, yang berarti mau bekerja dengan penekanan pada kepentingan
bersama, dibandingkan dengan politikus yang dipandang lebih mementingkan
tahta selama menjadi pemimpin. Yang kedua, para pemilih pemula di
Yogyakarta lebih memilih pemimpin baru dibandingkan pemimpin lama, dan
mereka juga lebih memilih pemimpin dari kalangan sipil (65,03%)
dibandingkan dengan militer (34,97%), karena pemimpin dari kalangan sipil
dianggap lebih mementingkan dialog, egaliter, dan berpihak kepada rakyat.

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 20


Selanjutnya, mereka juga menginginkan pemimpin yang cerdas (31,36%),
tegas (25,51%), sederhana (18,53%), religius (13,32%), lainnya (11,28%).
Selain itu, pemilih pemula di Yogyakarta juga lebih memilih tokoh yang
nasionalis daripada yang religius, dengan kombinasi yang muncul adalah
tokoh baru-profesional-bernasionalis yaitu 37,22% dan profesional-tokoh
lama-nasionalis sebesar 23,87%. Sedangkan pemimpin religius-sipil-tokoh
baru sebesar 12,70%, dan pemimpin dengan religius-sipil-tokoh lama sebesar
6,32%. Menurut Sugiarto, hal ini konsisten dengan hasil survey yang
dilakukan oleh Lembaga Survey CSI yang menemukan tokoh nasionalis
dipilih dengan persentasi 72,05%, sedangkan 27,95% memilih tokoh religius.
Dikaitkan dengan konteks Indonesia masa kini, keanekaragaman dan
kompleksitas persoalan yang dihadapi, tentunya bangsa Indonesia
membutuhkan kualitas kepemimpinan yang efektif di berbagai bidang
kehidupan. Untuk itulah, tentunya perlu dilakukan berbagai macam studi
empiris tentang kepemimpinan yang paling tepat untuk kondisi masyarakat
Indonesia yang multikultur, baik dari sisi sifat-sifat bawaannya, perilakunya,
maupun sistem nilai yang dianutnya.

2.1.2 Teori Kompetensi Multikultur.


Kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang kompleks, yang di
dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang
sebagai anggota masyarakat (Tylor, 1920). Matsumoto (2007) menyatakan
bahwa munculnya kebudayaan bermula dari kebutuhan manusia yang terdiri
dari kebutuhan biologis dan kebutuhan sosial, dimana untuk memenuhi
kebutuhan tersebut maka manusia membentuk kelompok yang saling
beradaptasi guna mendapatkan kekuatan dari satu sama lain dalam
memenuhi kebutuhannya dan menjadi dasar terbentuknya budaya. Jadi
budaya merupakan hasil adaptasi manusia dalam hidup berkelompok, dan
perbedaan budaya bergantung pada kesulitan atau masalah yang dihadapi
oleh setiap kelompok dalam bertahan hidup, karena budaya adalah
seperangkat cara yang menjadi solusi dari masalah yang mereka alami.
Perbedaan budaya juga mengakibatkan perbedaan perilaku dan persepsi
yang ditunjukkan oleh setiap individu, karena Shavitt dkk. (2008, dalam

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 21


Kastanakis, 2014) menegaskan bahwa budaya mencakup standar bersama
yang menyediakan standar untuk memahami, mempercayai, mengevaluasi,
berkomunikasi, dan bertindak di antara mereka yang berbagi bahasa, periode
historis, dan lokasi geografis.
Dalam bukunya yang berjudul “Ilmu Pengantar Antropologi” dapat
disimpulkan dari pernyataan Dr. Koentjaraningrat (1990) bahwa kebudayaan
dapat berkembang menjadi beragam dan disebabkan oleh beberapa hal yang
pertama yaitu tempat tinggal, sebagai contoh sebuah masyarakat yang
tinggal di daerah pegunungan akan cenderung memiliki mata pencaharian
petani kebun teh karena tanaman teh tumbuh subur di daerah pegunungan
sehingga dapat dijaddikan mata pencaharian oleh mereka. Penyebab yang
kedua adalah pengaruh dari masyarakat lain, contohnya saja masyarakat di
daerah Semarang memiliki banyak bangunan bercorak kebudayaan Cina
karena adanya salah satu tokoh dari Cina yang berperan di Indonesia pada
zaman dahulu (Laksamana Cheng Ho). Penyebab selanjutnya adalah
mobilitas yang mengakibatkan adanya penyesuaian yang dilakukan oleh
masyarakat yang melakukan mobilisasi tersebut, sehingga bisa saja terjadi
perpaduan budaya. Kemudian ada iklim, masyarakat di Indonesia tidak
terbiasa mengkonsumsi dan memproduksi alkohol dalam jumlah banyak
berbeda dengan masyarakat dari budaya barat yang memiliki iklim yang
cenderung dingin sehingga membutuhkan konsumsi alkohol untuk
menghangatkan badan. Penyebab lainnya adalah keturunan nenek moyang,
nenek moyang masyarakat Indonesia dan nenek moyang masyarakat Indian
memiliki tata cara yang berbeda dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, baik
secara sengaja ataupun tidak sengaja tercipta. Ada pula karena jarak dan
lingkungan serta kepercayaan. Sebagai contoh masyarakat Sumatera
mempercayai bahwa hewan kerbau adalah hewan yang suci untuk dijadikan
persembahan kepada Sang Pencipta, berbeda dengan masyarakat Jawa
yang lebih sering mempersembahkan makanan.
Dengan demikian, menurut Koentjaraningrat dari berbagai penyebab
perbedaan budaya tersebut, terbentuklah sebuah keanekaragaman yang
disebut dengan multikultural. Dengan kata lain, multikultural berarti
masyarakat yang terdiri dari beberapa jenis komunitas budaya dengan semua
manfaat dan perbedaan dalam konsepsi dunia, sistem makna, nilai, bentuk

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 22


organisasi sosial, sejarah, adat istiadat dan kebiasaan (Parekh, 2007).
Multikulturalisme itu sendiri dapat terlihat dengan jelas dari perbedaan suku
bangsa, ras, bahasa, dan agama yang berbeda-beda. Dalam konteks
masyarakat Indonesia yang memiliki wilayah yang sangat luas dan dengan
berbagai kebudayaan yang beragam, multikultural dapat dilihat dari
lingkungan kita sehari-hari, dimanapun di berbagai tempat dan organisasi
dimana kita berada, pasti akan ditemukan beragam suku bangsa, ras, agama,
dan kebudayaan. Perbedaan di antara orang-orang yang tinggal di kepulauan
Indonesia telah ada jauh sebelum abad kesembilan belas, terutama melalui
kontak antar istana kerajaan, dan kontak-kontak lainnya seperti melalui
pedagang, pelaut, tentara, dan bajak laut (Goebel, 2013).
Mengingat apa yang dilakukan seseorang dan dipikirkannya
dipengaruhi juga oleh latar belakang budayanya, sedangkan kepemimpinan
sendiri merupakan hasil pemikiran yang terwujud dalam perilaku si pemimpin,
maka dapat disimpulkan bahwa pemikiran dan perilaku seorang pemimpin
seharusnya dipengaruhi oleh latarbelakang budayanya dan individu yang
menjadi anggota organisasi juga memiliki perilaku dan pemikiran tertentu
yang dipengaruhi oleh budayanya. Dalam hal ini, Zamana dan Bhattia (2011),
yang meneliti hubungan antara gaya kepemimpinan dan pengaruh budaya
menemukan bahwa gaya kepemimpinan banyak dipengaruhi oleh budaya.
Walaupun penelitian mereka mengarah pada pengaruh budaya organisasi
terhadap bagaimana seorang pemimpin mengambil keputusan, akan tetapi
jika ditarik lebih luas budaya organisasi juga mencerminkan budaya negara.
Terkait dengan masalah kompetensi multikultur, maka suatu kontsrak
psikologis yang layak dibahas adalah apa yang disebut dengan kecerdasan
budaya (Cultural Intelligence - CQ). CQ ditemukan memiliki hubungan yang
positif dengan efektifitas pengambilan keputusan lintas budaya (Ang dkk.,
2007). Pertama kali diajukan oleh Earley dan Ang (2003), CQ didefinisikan
sebagai, "individual’s capability to function and manage effectively in culturally
diverse settings" (Ang dkk., 2007:336). CQ itu sendiri adalah suatu konstrak
berdimensi ganda, yang terdiri dari empat faktor khas, yaitu Kecerdasan
Budaya Metakognitif (Metacognitive Cultural Intelligence), Kecerdasan
Budaya Kognitif (Cognitive Cultural Intelligence), Kecerdasan Budaya

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 23


Motivasional (Motivational Cultural Intelligence), dan Kecerdasan Budaya
Perilaku (Behavioral Cultural Intelligence) (Ang & van Dyne, 2008).
Mengingat beberapa peneliti (Thomas dkk., 2008; Chua dkk., 2010),
berpendapat kecerdasan budaya metakognitif sebagai suatu konstrak yang
mengatur kognisi dan perilaku, dapat mengintegrasikan ke empat faktor
tersebut, maka dalam konteks kemampuan mental, mereka memilih untuk
meneliti faktor kecerdasaan budaya metakognitif saja. Kecerdasan budaya
metakognitif itu sendiri didefinisikan sebagai, "mental processes that
individuals use to acquire and understand cultural knowledge, including
knowledge of and control over individual thought processes relating to culture”
(Ang dkk., 2007:338).
Beberapa penulis (Ang dkk., 2011; Earley & Ang, 2003) menganggap,
individu dengan kecerdasan budaya metakognitif yang tinggi akan mampu
untuk untuk melakukan dua hal. Yang pertama, mereka menyadari asumsi
dan pengetahuan budaya yang dimiliki dan kemudian mempertanyakan
ketepatan generalisasi tersebut saat berinteraksi lintas budaya. Kedua,
merencanakan secara aktif cara berpikir dan perilaku yang diperlukan saat
akan melakukan interaksi lintas budaya. Contoh kecerdasan budaya
metakognitif yang tinggi adalah ketika invidu dari Barat, menyadari gaya
komunikasinya berbeda, saat mengobservasi interaksi dan pembicaraannya
dengan orang Asia (Ang & van Dyne, 2008). Karena itu, peneliti seperti Chua
dkk. (2010) menganggap, dalam konteks kompetensi lintas budaya di tingkat
mental, adalah lebih tepat untuk hanya mengikutkan faktor ini saja.
Mengingat kecerdasan budaya metakognitif dianggap dapat
memberikan kemampuan untuk memiliki kesadaran diri dan sensitivitas
terhadap orang dari budaya yang berbeda (Earley & Ang, 2003), Hidayat
(2012) berpendapat kecerdasan budaya metakognitif akan dapat membentuk
intuisi budaya yang akurat. Dengan demikian, saat seorang individu
mengalami suatu interaksi lintas budaya, mereka yang memiliki kecerdasan
budaya metakognitif yang tinggi, akan memiliki kesadaran yang tinggi tentang
perbedaan budaya antara dirinya dengan orang yang berasal dari budaya
berbeda. Selanjutnya, Cheng dkk. (2010:7) berpendapat pengalaman ini
akan berdampak positif, jika invididu tersebut mengalami perluasan kognisi
budaya (expanded cultural cognition), yang didefinisikan sebagai, "heightened

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 24


cultural information detection and processing toward individuals and social
environment in cross-cultural interaction". Perluasan kognisi budaya akan
terjadi jika individu tersebut telah melakukan penjelajahan lintas budaya di
alam pikirannya sendiri (Black dkk., 1991; Osland, 2000). Untuk itu, seorang
individu, selain secara kognitif harus memahami perbedaan budaya yang ada,
juga harus pernah melakukan perubahan kognisi (cognitive switching) dan
perilaku ke perspektif budaya baru (behavioral switching) (Mor & Morris,
2010).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kompetensi multikultur
sangat dipengaruhi oleh kecerdasan budaya. Dalam hal ini kecerdasan
budaya metakognitif akan memberikan kemampuan untuk menerapkan
strategi lintas budaya yang tepat, sehingga seorang individu akan memiliki
intuisi budaya yang memadai, dan kemudian mampu menduga secara cepat
dan akurat keputusan yang diambil individu yang berasal dari budaya lain.

2.1.3 Teori Resolusi Konflik.


Menurut Wani (2011), resolusi konflik adalah mekanisme di mana
pihak-pihak yang berkonflik berkumpul dan menyingkirkan ketidaksesuaian
dan konflik yang mereka alami dengan cara yang damai. Karena itu, resolusi
konflik mengacu pada serangkaian proses yang bertujuan untuk mengurangi
atau menghilangkan sumber konflik. Konflik sendiri memiliki makna sebagai
suatu interaksi antara aktor di mana setidaknya satu aktor merasakan ketidak
sesuaian antara pemikiran, imajinasi, persepsi, atau perasaan mereka, serta
bisa terjadi antara individu dengan kelompok, individu dengan individu, dan
kelompok dengan kelompok (Glasl, 2004). Menurut Stewart (2009), Kadang
kala konflik muncul karena adanya ketidaksamaan horizontal dalam bidang
politik, sosial, dan budaya, dan konflik yang terjadi dalam masyarakat
dinamakan konflik horizontal. Dalam hal perbedaan budaya, konflik bisa
terjadi karena perbedaan pemahaman, bahasa, kepercayaan, maupun dalam
hal praktis. Pengenalan budaya yang tidak merata antar satu kelompok
dengan yang lain juga merupakan faktor tambahan yang menjadi pemicu dari
timbulnya konflik horizontal. Dalam konteks Indonesia, tentunya kemampuan
dalam penyelesaian konflik atau resolusi konflik sangatlah diperlukan,
mengingat negara Indonesia merupakan negara dengan budaya yang

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 25


berbeda-beda sehingga diferensiasi horizontal nya yang tinggi, akan dapat
memicu berbagai konflik dalam masyarakat.
Resolusi konflik secara damai dari pihak-pihak yang memiliki identitas
kelompok berbeda yang didasari SARA seringkali menuntut pihak-pihak untuk
mengakui bahwa mereka memiliki latar belakang yang berbeda dan bahwa
mereka dapat menghargai perbedaan tersebut (Pedersen, 2001). Masalahnya
adalah jika pihak-pihak yang bertikai tidak paham akan perbedaan sistem nilai
budaya yang ada, dan walaupun kelompok-kelompok yang bertikai memiliki
sistem nilai universal yang sama, ekspresi perilaku yang muncul mungkin saja
berbeda (Fry & Bjorkqvist, 1997). Sebagai contoh, ekspresi perilaku yang
berbeda mungkin saja memiliki arti yang sama, sedangkan ekpresi perilaku
yang sama mungkin saja memiliki arti yang berbeda (mengangguk di India
bisa berarti tidak, sedangkan di Indonesia berarti menyetujui).
Selain itu, manajemen konflik pada dasarnya juga sangat dipengaruhi
oleh latar belakang budaya. Sebagai contoh manajemen konflik dalam
konteks Asia seringkali digambarkan sebagai upaya untuk memelihara
“muka”, menyelamatkan “muka”, merestorasi “muka” atau jangan sampai
kehilangan “muka” (Duryea, 1992). Dalam hal ini, menjaga “muka” menuntut
setiap pihak yang terlihat untuk menjaga harmoni dan menekankan pada
kemampuan untuk mengendalikan dan menekan emosi, keinginan dan
impuls-impuls psikologi dari pribadi-pribadi yang terlibat (Hwang, 1998). Hal
ini sangat berbeda dengan pendekatan Barat yang menuntut pihak-pihak
yang terlibat untuk terlebih dahulu menerima dan mengakui adanya konflik,
sehingga resolusi konflik dapat dimulai dengan metoda penanganan konflik
yang analitis untuk mencari akar permasalahan, sekalipun hal ini akan
membuat salah satu pihak kehilangan “muka” (Pedersen, 2001)
Karena itu, pihak-pihak yang berperan sebagai juru damai harus
memahami baik sistem nilai yang mendasari suatu budaya, maupun ekspresi
perilaku dari sistem nilai ini. Dengan demikian, model resolusi konflik yang
paling tepat seharusnya adalah model yang sensitif dengan budaya lokal,
dibandingkan dengan model resolusi konflik yang universal (“one-size-fits-all”)
yang berorientasi pada pendekatan Barat (Lund, 1996). Dalam konteks
Indonesia, pendekatan konflik yang efektif, nampaknya juga lebih mendekati
pendekatan Asia atau non Barat pada umumnya. Sebagai contoh, model

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 26


penanganan konflik oleh Walikota Bandung Ridwan Kamil atas konflik
bernuansa agama yang terkait dengan penggunaan gedung Sabuga dapat
terselesaikan dengan baik, tanpa ada pihak yang merasa kehilangan muka
(Wulandari, 2016).

2.2 Penelitian Terdahulu


Penelitian terdahulu tentang kepemimpinan dalam masyarakat
multikultur di Indonesia antara lain adalah oleh Suryawan (2010) dengan judul
“Analisis Kepemimpinan Multikultural di Sekolah Menengah dalam Upaya
Mencegah Fenomena Gegar Budaya: Konteks Indonesia”. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan wujud kepemimpinan berdasarkan
pendidikan multikultural di Sekolah Menengah Atas (SMA) dan
mendeskripsikan kekuatan dan kelemahan pelestarian budaya organisasi di
SMA. Melalui pendekatan etnografis, hasil penelitian menunjukkan bahwa
peran kepala sekolah sebagai pimpinan tertinggi di SMA memiliki peran yang
besar dalam pengembangan pendidikan berbasis multikultural di SMA.
Chamidah (2013) melakukan penelitian dengan judul “Peran dan
pengaruh penerapan karakter kepemimpinan kyai dan budaya multikultural
terhadap kemandirian dan kesejahteraan keluarga pondok pesantren di
provinsi Jawa Timur”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran
dan pengaruh karakter pimpinan pesantren dan budaya multikultural di
pondok pesantren se Jawa Timur. Dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif terhadap 360 responden di 24 pondok pesantren di Jawa Timur
berdasarkan pemilihan secara proporsional stratified random sampling,
dilakukan analisis dengan metoda PLS (Partial Least Square). Hasil penelitian
menunjukkan bawha tinggi rendahnya kemandirian dan kesejahteraan
pondok pesantren ditentukan oleh lima karakter kepemimpinan Kyai sebagai
pimpinan pondok pesantren, yakni karisma, perilaku zuhud dan jiwa
wirausaha Kyai, serta manejemen aset/lembaga dan Kaderisasi.
Syahmidi (2015) melakukan penelitian dengan judul “Kepemimpinan
Kepala Sekolah Perspektif Multikultural (Studi Kasus di SMA Katolik St.
Petrus Kanisius Palangka Raya”. Penelitian ini adalah jenis penelitian
lapangan yang bersifat deskriptif kualitatif melalui studi kasus tunggal dimana
peneliti menggali informasi tentang satu kasus yang dialami oleh satu

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 27


informan. Tujuan dari penelitian ini antara lain adalah untuk mengetahui
kepemimpinan Kepala SMA Katolik St. Petrus Kanisius Palangka Raya dari
perspektif multikultural. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kepala SMA
Katolik St. Petrus Kanisius Palangka Raya telah melaksanakan
kepemimpinannya berdasarkan unsur-unsur kepemimpinan multikultural yang
dilihat dari sisi gaya kepemimpinan, supervisi, hubungan interaksi serta
komunikasi dan manajerial.
Penelitian oleh Kariadi dan Suprapto (2017) dengan judul “Membangun
kepemimpinan berbasis nilai - nilai Pancasila dalam perspektif masyarakat
multikultural”, bertujuan untuk mengkaji kepemimpinan berdasarkan nilai -
nilai luhur Pancasila dalam masyarakat yang multikultur seperti yang ada di
Indonesia. Melalui metoda studi pustaka (library research), dengan teknik
analisa data berdasarkan analisis wacana (discourse analysis), hasil
penelitian menunjukkan bahwa nilai Pancasila jika dikaitkan dengan
organisasi harus didasarkan pada (1) nilai dasar, (2) nilai instrumental,
dan (3) nilai praktis. Sedangkan nilai kepemimpinan dapat dibangung
pada berbagai lembaga di Indonesia dengan mengembangkan nilai (1)
transendensi, (2) humanisasi, (3) kebhinekaan, liberasi, dan (5) keadilan.
Dibandingkan dengan penelitian terdahulu, perbedaan pada penelitian
ini adalah dalam menemukan kriteria kepemimpinan yang efektif di
masyarakat multikultural dari pandangan para tokoh masyarakat di daerah
Jabotabek dan Bandung, sehingga dapat dirancang alat ukur kepemimpinan
multikultural untuk digunakan sebagai alat seleksi dan alat pengembangan
kepemimpinan multikultur di berbagai lembaga di Indonesia.

2.3 Kerangka Pemikiran


Dari hasil studi pustaka atas berbagai teori tentang kepemimpinan,
diketahui bhwa perilaku kepemimpinan tidak berdiri sendiri, tapi dipengaruhi
oleh dua faktor utama yaitu sifat-sifat bawaan yang melekat pada seorang
individu, dan faktor lingkungan (environment) seperti pendidikan, pelatihan,
pengalaman, maupun tempat bekerja. Diketahui juga bahwa walaupun di satu
sisi, faktor kepribadian bawaan yang nantinya dapat memunculkan
kepemimpinan seseorang, faktor pengaruh lingkunganlah yang dapat
menentukan apakah seseorang kepemimpinannya akan efektif atau tidak.

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 28


Dalam konteks Indonesia, dimana masyarakat memiliki variasi yang
besar dalam hal suku, agama, ras, bahasa, ataupun budaya, keberagaman ini
menjadi kekuatan sekaligus kelemahan bangsa Indonesia karena walaupun
dapat menjadi kekayaan budaya, namun sekaligus juga menjadi sumber
ancaman bagi keutuhan NKRI, karena perbedaan tersebut dapat menjadi
sumber konflik. Karena itu, peneltian ini berupaya untuk menemukan
indikator-indikator kepemimpinan yang efektif untuk masyarakat multikultur
Indonesia sehingga nantinya akan dapat diseleksi dan dikembangkan
pemimpin-pemimpin yang efektif di segala bidang kehidupan bangsa. Gambar
berikut menunjukkan model kepemimpinan yang menjadi acuan dalam
melakukan penelitian ini.

Pengaruh
Sifat-sifat
Bawaan Lingkungan
(Traits) (Environment
)

Perilaku
Kepemimpinan
Multikultur

Kepemimpinan Kepemimpinan
Muncul Tidak Muncul
(Emergent (Non Emergent
Leadership) Leadership)

Kriteria
Kepemimpinan
Output Output
- Untuk Seleksi
Tidak Efektif Efektif - Untuk Pengembangan

Gambar 1
Kerangka Pemikiran

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 29


BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Pemilihan desain atau strategi penelitian yang dilakukan dalam
penelitian ini memperhatikan sifat-sifat objek penelitian dan jenis informasi
yang dibutuhkan untuk menjawab masalah (Creswell, 2007). Untuk itu,
penelitian ini menggunakan metode kualitatif di mana metode kualitatif
merupakan metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada objek
secara alamiah, sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan
metode wawancara, dengan analisis data yang bersifat induktif dan lebih
menekankan pada makna daripada generalisasi (Sugiyono, 2010).

3.2 Sumber Data , Obyek dan Subjek Penelitian


Sumber data penelitian ini terdiri dari 2 macam, yaitu data primer dan
sekunder. Data primer adalah data diperoleh langsung di lapangan untuk
memperoleh data tentang kriteria pemimpin yang efektif dalam masyarakat
multikultural. Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak
langsung seperti melalui studi pustaka. Objek penelitian dalam penelitian ini
yaitu kriteria pemimpin yang efektif dalam masyarakat multikultural. Dalam
penelitian ini penentuan informan atau nara sumber dilakukan dengan teknik
Purposive Random Sampling (PRS) yakni mereka yang diasumsikan
mempunyai pengetahuan atau informasi yang dibutuhkan (Creswell, 2011).
Dalam hal ini, para nara sumber tersebut adalah tokoh-tokoh yang dianggap
mampu memimpin masyarakat multikultur secara efektif di tiga Kodim di
wilayah Kodam Jaya dan Kodam III/Siliwangi yang dianggap rawan konflik
sosial (lihat lampiran). Sedangkan, subyek dalam penelitian ini terdiri dari
responden yang meliputi tokoh masyarakat, pejabat pemerintah serta para
aktor/pemangku kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan masalah
kepemimpinan multikultural seperti FKUB dan aparat Komando Kewilayahan.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai
berikut:

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 30


3.3.1 Wawancara Terstruktur.
Metode wawancara terstruktur adalah proses pengumpulan data dalam
suatu penelitian melalui tanya jawab sambil bertatap muka antara
pewawancara dengan responden berdasarkan suatu pedoman wawancara
(Bungin, 2008). Wawancara yang dilakukan adalah jenis wawancara
mendalam (in-depth interview) yang dilakukan secara langsung kepada
informan dalam rangka untuk mendapatkan data yang relevan dengan tema
penelitian. Wawancara semi-terstruktur dianggap lebih tepat untuk dilakukan
dalam penelitian ini karena bersifat sebagai inisiatif awal untuk
mengembangkan indikator kepemimpinan multikultural di Indonesia. Panduan
wawancara dikembangkan sesuai dengan tujuan penelitian dan pendekatan
yang digunakan.

3.3.2. Studi Kepustakaan.


Studi kepustakaan adalah suatu proses pengumpulan data dengan
cara mencari, membaca, memahami, dan menganalisis berbagai tulisan
ilmiah, hasil penelitian, dan studi yang berhubungan dengan penelitian yang
akan dilakukan (Martono, 2015). Dalam penelitian ini, studi pustaka dilakukan
dengan cara mengumpulkan data dari buku, jurnal, artikel, media elektronik
dan dokumen tentang kepemimpinan yang efektif dalam masyarakat
multikultural. Studi kepustakaan ini bermanfaat untuk memperkaya peneliti
dalam memberikan analisis dengan konsep atau teori yang akan digunakan
dalam penelitian.

3.4 Teknik Analisis Data


Analisis data merupakan proses pengolahan, penyajian, dan analisis
data yang diperoleh dari lapangan dengan tujuan agar data yang disajikan
mempunyai makna sehingga pembaca dapat mengetahui hasil peneltian.
Pada penelitian ini, teknik analisis yang akan digunakan yaitu teknik analisis
dari Miles and Huberman (2014), dimana secara umum, proses analisis data
kualitatif melibatkan empat proses, yaitu reduksi data untuk memilih,
menyederhanakan, abstraksi, dan kodifikasi data kasar untuk mendapatkan
kesatuan data; penyajian data dalam bentuk kata-kata, kalimat, gambar,
simbol, skema, bagan, grafik, tabel dan matriks dengan memfokuskan kriteria

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 31


kepemimpinan yang efektif dalam masyarakat multikultural, dan; verifikasi
data untuk merumuskan simpulan berdasarkan dua aktivitas sebelumnya.
Dalam konteks penelitian ini, kejadian yang akan dideskripsikan adalah
mengenai kriteria kepemimpinan yang efektif dalam masyarakat multikultur.
Untuk mempermudah analisis data, maka dalam penelitian ini, analisis
konten akan dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak khusus
penelitian kualitatif, Nvivo versi 11 untuk mengolah data teks yang diperoleh
dari transkripsi wawancara (Bazeley & Jackson, 2013).

3.5 Prosedur Penelitian


3.5.1 Instrumen Penelitian
Pada penelitian kualitatif, peneliti merupakan instrumen penelitian kunci.
Untuk pengumpulan data, peneliti didukung oleh instrumen penelitian dalam
bentuk pedoman wawancara dan alat perekam yang akan ditranskripsi secara
verbatim. Pedoman wawancara ini berfungsi untuk memudahkan peneliti
dalam memperoleh data yang relevan dengan masalah penelitian.

3.5.2 Data Primer


Data primer dalam proses penelitian didefinisikan sebagai sekumpulan
informasi yang diperoleh peneliti langsung dari lokasi penelitian melalui
sumber pertama yaitu melalui pengamatan dan wawancara. Pada penelitian
ini, data primer diperoleh melalui observasi dan wawancara terhadap
informan dengan merujuk pada pedoman wawancara tentang kriteria
kepemimpinan yang efektif dalam masyarakat multikultur.

3.5.3 Data Sekunder


Data sekunder dimaknai sebagai data yang tidak diperoleh dari sumber
pertama dan didapatkan dari buku, jurnal atau media massa, dokumen, dan
lain-lain. Data sekunder yang dikumpulkan adalah data tentang kriteria
kepemimpinan yang efektif dalam masyarakat multikultur.

3.5.4 Pengujian Keabsahan dan Keterandalan Data


Keabsahan dalam penelitian kualitatif bukan dimaknai sebagai validitas
instrumen penelitian. Hal ini disebabkan dalam penelitian kualitatif, peneliti

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 32


berperan sebagai instrumen penelitian yang utama. Oleh karena itu,
keabsahan data dalam penelitian kualitatif lebih ditujukan pada upaya untuk
mendapatkan data yang sahih, sesuai dengan rumusan masalah dan konsep
penelitian yang telah ditetapkan (Martono, 2015). Pada penelitian ini,
pengujian keabsahan data menggunakan teknik triangulasi. Menurut Denzin
(2006), triangulasi adalah langkah pemaduan berbagai sumber data, peneliti,
teori, dan metode dalam suatu penelitian tentang suatu gejala sosial tertentu.
Triangulasi yang difokuskan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber
data di mana peneliti mengambil data dari sumber yang berbeda dan
membandingkan kedua data yang didapatkan tersebut. Pertama-tama peneliti
mengambil data dengan melakukan wawancara perseorangan terhadap para
narasumber dan selanjutnya mengacu pada metode triangulasi pengambilan
data juga dilakukan dengan melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) di
lokasi yang sama dengan melibatkan maksimal 10 orang ataupun dari para
narasumber dari aparat Kewilayahan setempat. Untuk wilayah yang tidak
dilakukan FGD, maka triangulasi dilakukan terhadap staf atau orang yang
mengenal informan.

3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian.


Penelitian ini dilaksanakan di Komando Kewilayahan terpilih di Kodam
Jaya dan Kodam III/Siliwangi yang dianggap rawan konflik sosial.
Berdasarkan hasil analisis pejabat teritorial dan intelijen di Kodam-Kodam
tersebut, maka kemudian ditentukan lokasi penelitian adalah di Komando
Distrik Militer 0618/Berdiri Sendiri (Kota Bandung), Komando Distrik Militer
0507 Kota Bekasi, Komando Distrik Militer 0502 Jakarta Utara. Selain itu,
berdasarkan hasil FGD di Komando Distrik Militer 0507 Kota Bekasi, juga
dilaksanakan pengambilan data di Kantor Walikota Bekasi. Adapun waktu
penelitian adalah pada bulan Agustus sampai dengan bulan Desember 2017.

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 33


BAB 4
GAMBARAN DATA, ANALISIS DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

4.1 Gambaran Data Penelitian.


4.1.1 Profil Wilayah Penelitian.
Data utama tentang wilayah penelitian diambil dari situs resmi
pemerintah daerah Kota Bandung, Kota Administratif Jakarta Utama dan Kota
Bekasi, yaitu Badan Pusat Statistik Kota Bandung (2017), Kota Bekasi (2017)
dan Kota Jakarta Utarra (2017).

4.1.1.1 Bandung.
Kota Bandung terletak pada posisi 107º36’ Bujur Timur dan 6º55’
Lintang Selatan dengan luas 16.729,65 Hektar dan berada di ketinggian 791
meter diatas permukaan laut, dengan titik tertinggi 1.050 meter di atas
permukaan laut di utara dan terendah di selatan dengan ketinggian 675 meter
diatas permukaan laut. Kota ini secara geografis terletak di tengah-tengah
provinsi Jawa Barat, dan dialiri oleh dua sungai utama, yaitu sungai
Cikapundung dan sungai Citarum.
Dilihat dari data kependudukan kota Bandung, pada tahun 2016,
Bandung memiliki jumlah penduduk sebesar 2.490.622 jiwa, dengan laju
pertumbuhan 0,37 % per tahun. Kota Bandung sebagai ibu kota Provinsi
Jawa Barat, adalah merupakan kota metropolitan terbesar di provinsi
tersebut. Terletak pada 140 km sebelah tenggara Jakarta, Bandung
merupakan kota terbesar di wilayah Jawa bagian Selatan. Sedangkan wilayah
Bandung Raya (Metropolitan Bandung) adalah merupakan metropolitan
terbesar kedua di Indonesia setelah Jabodetabek. Didominasi oleh etnis
Sunda, Bandung adalah kota terpadat di Jawa Barat, dengan 30 kecamatan
dan 151 kelurahan. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah: Bandung Kulon,
Babakan Ciparay, Bojongloa Kaler, Bojongloa Kidul, Astana Anyar, Regol,
Lengkong, Bandung Kidul, Buah Batu, Rancasari, Gede Bage, Cibiru,
Panyileukan, Ujung Berung, Cinambo, Arcamanik, Antapani, Mandalajati,
Kiaracondong, Batununggal, Sumur Bandung, Andir, Cicendo, Bandung
Wetan, Cibeunying Kidul, Cibeunying Kaler, Coblong, Sukajadi, Sukasari,
Cidadap. Kota Bandung berada pada peringkat nomor 1 se Jawa Barat

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 34


berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik dalam Indeks Pembangunan
Manusia (IPM), dengan Angka Harapan Hidup pada tahun 2016 sebesar
73.84, Harapan Lama Sekolah pada tahun 2016 sebesar 13.89, kemudian
Rata-rata Lama Sekolah pada tahun 2016 sebesar 10.58, dengan
Pengeluaran Per Kapita (Ribuan rupiah per orang per tahun) pada tahun
2016 sebesar 15,805, dan IPM pada tahun 2016 sebesar 80.13, dengan
selisih IPM pada tahun 2015.
Konflik-konflik besar di Kota Bandung yang terlihat atau terpapar di
dalam berita, antara lain adalah aksi mogok angkutan umum se Bandung
pada tanggal 9 Maret 2017, yang diikuti oleh para supir angkot, taksi
konvensional dan bus angkutan umum, dan diikuti sekitar 10.000 orang
(Wijanarko, 2017). Selain itu, di Kota Bandung juga acapkali terjadi konflik
agama dikarenakan pembuatan rumah ibadah yang dianggap ilegal oleh
penduduk sekitar. Terakhir pada tanggal 10 Maret 2017, Warga Karasak RT
06, Kelurahan Karasak, Kecamatan Astana Anyar, Kota Bandung melakukan
unjuk rasa untuk memaksa otoritas pemerintah mencabut IMB Gereja
Rehobot yang dikeluarkan Pemkot Bandung pada tahun 2015, dengan
alasan penduduk sekitar tidak memberikan persetujuan untuk pendirian
rumah ibadah tersebut (Marsiela, 2016).

4.1.1.2 Jakarta Utara.


Kota Administrasi Jakarta Utara secara geografis terletak di tepi Laut
Jawa dengan koordinat 1060 29’00” - 106007’00” Bujur Timur dan 15010’00” -
05010’00” Lintang Selatan, dengan luas 174,560 Hektar, terdiri dari luas
lautan 35 Hektar dan luas daratan 139,560 Hektar. Daratan Jakarta Utara
membentang dari Barat ke Timur sepanjang kurang lebih 35 km, menjorok ke
darat antara 4 sampai dengan 10 km. Ketinggian dari permukaan laut antara
0 sampai dengan 20 meter, dan dari tempat tertentu ada yang dibawah
permukaan laut, sebagian besar terdiri dari rawa-rawa/empang air payau.
Sebelah Utara berbatasan dengan laut Jawa, sebelah Selatan dengan
Kabupaten Tangerang, Jakarta Pusat dan Jakarta Timur, sebelah Barat
dengan Tangerang dan Jakarta Pusat serta sebelah Timur dengan
Kabupaten Bekasi. Jakarta Utara merupakan daerah pantai dan tempat
bermuaranya 9 (sembilan) sungai dan 2 (dua) banjir kanal, menyebabkan

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 35


wilayah ini merupakan daerah rawan banjir, baik kiriman maupun banjir
karena air pasang laut.
Kota Jakarta Utara memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.468.840
jiwa dan kepadatan 10.721,46 jiwa/Km2 dan pertumbuhan penduduk 0,46%.
Dengan pusat pemerintahan di Koja, kota administratif Jakarta Utara terdiri
dari 6 Kecamatan, dan 31 kelurahan. Kecamatan yang ada di Jakarta Utara
adalah Kecamatan Cilincing, Kecamatan Koja, Kecamatan Kelapa Gading,
Kecamatan Tanjung Priok, Kecamatan Pademangan, dan Kecamatan
Penjaringan. Jakarta Utara berada pada peringkat ke dua terendah di
Propinsi DKI Jakarta, setelah Kepulauan Seribu, dan berdasarkan data dari
Badan Pusat Statistik dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dengan
Angka Harapan Hidup pada tahun 2016 sebesar 72.95, Harapan Lama
Sekolah pada tahun 2016 sebesar 12.53, kemudian Rata-rata Lama Sekolah
pada tahun 2016 sebesar 10.23, dengan Pengeluaran Per Kapita (Ribuan
rupiah per orang per tahun) pada tahun 2016 sebesar 17,418, dan IPM pada
tahun 2016 sebesar 78.78, dengan selisih IPM pada tahun 2015 meningkat
sebesar 0.48.
Konflik yang sering terjadi di Jakarta Utara adalah perkelahian antar
kelompok, yang dimulai dari tawuran kecil antar remaja yang bersumber dari
saling meledek di media sosial, sampai akhirnya menjadi besar dan
melibatkan preman-preman yang ada di sekitar wilayah tersebut dengan
seringkali pada akhirnya menggunakan senjata tajam (Pitoko, 2017). Adapun
konflik lain yang sering terjadi adalah masalah perebutan wilayah yang
terkadang dokumennya memang kurang jelas, ataupun masyarakat yang
tinggal di tanah yang bukan miliknya sehingga untuk mendapatkan fasilitas
sebagai masyarakat yang tinggal di daerah tersebut, menjadi sulit untuk
difasilitasi karena keberadaannya tidak diakui

4.1.1.3 Bekasi.
Letak geografis Kota Bekasi adalah 106o48’28’’ – 107o27’29’’ Bujur
Timur dan 6o10’6’’ – 6o30’6’’ Lintang Selatan, dengan luas wilayah sekitar
21,049 Hektar. Kondisi topografis kota Bekasi memiliki kemiringan antara 0 –
2 %, dan terletak pada ketinggian antara 11 m - 81 m di atas permukaan air
laut. Untuk ketinggian sampai dengan 25 m berada pada Kecamatan Medan

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 36


Satria, Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Bekasi Timur dan Pondok Gede dan
untuk ketinggian antara 25 - 100 m berada pada Kecamatan Bantargebang,
Pondok Melati, Jatiasih. Kota Bekasi memiliki batas wilayah di Utara
Kabupaten Bekasi, di Selatan Kabupaten Bogor dan Kota Depok, di sebelah
Barat Provinsi DKI Jakarta, dan terakhir di Timur berbatasan dengan
Kabupaten Bekasi. Kota Bekasi dialiri oleh tiga sungai, yaitu sungai Cakung,
sungai Bekasi dan sungai Sunter.
Jumlah penduduk Kota Bekasi saat ini lebih dari 2.733.240 juta jiwa
dan pertumbuhan penduduk sebesar 2,71 %, yang tersebar di 12 kecamatan
dan 56 kelurahan. Adapapun Kecamatan yang ada adalah Pondok Gede, Jati
Sampurna, Jati Asih, Bantar Gebang, Bekasi Timur, Rawa Lumbu, Bekasi
Selatan, Bekasi Barat, Medan Satria, Bekasi Utara, Mustika Jaya, dan
Pondok Melati. Kota Bekasi berada pada peringkat ke dua terbaik di Propinsi
Jawa Barat setelah Bandung, dengan Komponen IPM, Angka Harapan Hidup
per tahunnya pada tahun 2014 sebesar 74.18, kemudian Harapan Lama
Sekolah per tahunnya pada tahun 2014 sebesar 13.28, dengan Rata-rata
Lama Sekolah sebesar 10.55, dan Pengeluaran Per Kapita (Ribuan rupiah
per orang per tahun) pada tahun 2014 sebesar 14,556, dan IPM pada tahun
2014 sebesar 78.84.
Kota Bekasi juga tidak terlepas dari berbagai kasus konflik, dan untuk
konflik sosial, yang paling sering terjadi adalah kasus konflik agama, antara
lain adalah penolakan penduduk di Bekasi Utara terhadap pembangunan
Gereja Santa Clara (Rudi, 2017). Selain itu, terdapat juga konflik terhadap
Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di Bantargerbang antara
Pemda Bekasi dengan Pemprop DKI Jakarta (Rudi, 2015). Pada tahun 2001
sempat terjadi konflik antara DPRD Bekasi dengan Pemprop DKI Jakarta
yang menyebabkan Kantor TPA (Tempat Pembuangan Akhir) dan 2
kendaraan Dinas Kebersihan Pemprop DKI di bakar oleh massa. Pada
pemerintahan Walikota Rahmat Effendi, konflik ini kembali muncul pada tahun
2015 karena masalah yang sama. DPRD Bekasi melakukan protes karena
petugas Pemprop DKI Jakarta melewati batas waktu pengiriman sampah dan
melewati rute yang tidak ditentukan. Yang paling tidak dapat diterima adalah
karena truk dalam keadaan rusak, sehingga air sampahnya berceceran di
jalan, yang membuat bau. Selain itu, fasilitas sarana dan prasarana TPST di

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 37


Bantargebang belum dipenuhi sesuai perjanjian antara Pemprop Jakarta dan
Pemkot Bekasi.

4.1.2. Profil Informan.


Para informan dalam penelitian ini dipilih oleh Staf Intelijen dan Staf
Teritorial dari Kodim-Kodim yang telah ditunjuk oleh Pangdam Jaya dan
Pangdam III/Siliwangi beserta para Asistennya. Mereka dipilih atas dasar
reputasi dan kemampuan dalam menangani konflik sosial yang terjadi di
daerahnya, terutama konflik yang terkait dengan masalah perbedaaan
budaya, termasuk perbedaan suku, agama, ras dan aliran kepercayaan.
Selain itu, sebagian besar informan juga dipilih oleh para peserta FGD
sendiri, setelah pelaksanaan FDG di Kodim-Kodim tersebut.

4.1.2.1 Informan 1.
Informan 1, dari suku Sunda, beragama Islam, adalah seorang wanita
Ketua RW 12 di Perumahan Dian Harapan, Kelurahan Babakan, Kecamatan
Babakan Ciparay, Bandung. Yang bersangkutan telah menjabat sebagai
ketua RW selama 11 tahun terakhir sampai hari di wawancara. Awalnya ia
adalah seorang ibu rumah tangga biasa dengan suami bekerja di sebuah
bank swasta. Sebagai istri, ia aktif di organisasi para istri di bank tempat
suami bekerja. Di lingkungan perumahan, ia termasuk warga yang cukup aktif
dan sampai suatu saat ditunjuk menjadi ketua RW oleh warga.
Latar belakang pendidikan yang bersangkutan adalah mengikuti
pendidikan di pesantren. Dibesarkan oleh seorang ayah yang anggota TNI
AD dan mantan walikota Bandung, ia mendapatkan nilai-nilai dan model
pendidikan tentara yang tegas dan disiplin. Nilai-nilai yang menginspirasi
hidupnya dan membuatnya menjadi berani berasal dari keluarga dan
pendidikan pesantren. Nilai yang dipegangnya menjadi panutan dalam
hidupnya untuk menjadi warga yang baik, toleran, tegas, dan bermartabat,
dan yang utama adalah menjadi dasar dari kepemimpinan yamilikinya.
Sejak menjadi ketua RW, ia membuat perubahan yang signifikan di
lingkungannya, yaitu menyatukan warga yang awalnya saling curiga dan tidak
bersatu. Persoalan utama yang dihadapi adalah konflik yang terkait dengan
agama dan ras di lingkungan warganya. Wilayah tempat tinggalnya saat ini

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 38


berada di pusat kota Bandung dengan lingkungan perumahan yang ditempati
rata-rata dari kalangan menengah ke atas. Penduduknya terdiri dari beberapa
suku dan etnis, diantaranya Jawa, Sunda, Tionghoa dengan prosentase yang
seimbang, sedang untuk etnis minoritas berasal dari suku Batak, lndia, dan
Melayu. Prosentase agama yang dianut adalah Nasrani 45%, lslam 35% dan
sisanya dari agama Hindu, Budha dan Konghucu.
Saat awal menjabat, kesulitan yang dihadapi adalah banyaknya
penduduk dari etnis Tionghoa yang merasa terintimidasi dan takut untuk
membaur bersama masyarakat sekitar, dihadapkan pada adanya sebagian
penduduk yang memiliki pandangan keras terhadap suatu agama, serta tidak
adanya kegiatan yang bisa mengumpulkan masyarakat secara terpusat.
Untuk mengatasi permasalahan yang ada, ia kemudian membuka komunikasi
dua arah dan bersedia berdiskusi dengan penduduk yang memiliki
pandangan keras terhadap agama lain. Selain itu melakukan pendekatan
secara konstruktif dan individual (door to door) untuk meyakinkan warga
bahwa situasi di daerahnya aman dan oleh karena itu semua harus
berpartisipasi dalam kegiatan RW. Ia juga berhasil menyatukan anggota
warganya untuk melakukan kegiatan keagamaan yang dihadiri oleh seluruh
warga seperti misalnya acara Halal Bihalal dan Natal Bersama, yang pada
awalnya ditentang oleh sebagian warganya.
Menurut yang bersangkutan, kepemimpinan yang didapatnya tidaklah
dipelajari namun berdasarkan naluri, pengalaman dan nilai-nilai keagamaan
dan kebangsaan yang tertanam sejak kecil. Sedangkan dorongan yang paling
utama untuk menjadi pemimpin menurutnya adalah karena ia ingin
menciptakan kedamaian di masyarakat dan mencari pahala. Dalam setiap
permasalahan yang dihadapinya, biasanya ia lebih senang menyelesaikan
secara langsung dengan melakukan tatap muka, walaupun terhadap orang
atau pihak yang sangat menentangnya, dikarenakan itu dianggapnya lebih
berani dan bisa memberikan gambaran pengambilan keputusan yang tepat.
Ia juga berpendapat bahwa memberi teladan, komunikasi dan saran spiritual
merupakan hal yang paling penting dalam proses kepemimpinan.
Atas upaya yang dilakukannya, yang bersangkutan telah
mendapatkan pengakuan di tingkat lokal, regional dan nasional. Dengan
reputasinya yang telah terbangun, ia seringkali diminta pendapat oleh saat

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 39


terjadi permasalahan keagamaan seperti penolakan pembangunan rumah
ibadah. Hal ini tidak saja berlaku di lingkungan RW yang dipimpinnya, tapi
juga sudah mencakup berbagai wilayah di luar lingkungannya. Ia sering
diminta menjadi pemersatu pihak-pihak yang berkonflik pada level yang lebih
luas. Sebagai contoh, dalam konflik regional di tingkat kotamadya dan
propinsi, pihak eksekutif terkadang mengundang yang bersangkutan untuk
menjadi penengah dalam konflik horizontal yang muncul, sedangkan di
tingkat nasional yang bersangkutan. sudah pernah mendapatkan
penghargaan dari Komnas HAM.

4.1.2.2. Informan 2.
Informan 2 adalah merupakan ketua Forum Kerukuan Umat Beragama
(FKUB) kota Bandung, dari suku Sunda, beragama Islam, berjenis kelamin
pria dan berprofesi sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi di Bandung,
dan memiliki latar belakang pendidikan pesantren di Sukabumi, dan kemudian
melanjutkan pendidikan S1 di IKIP Bandung pada program studi Bahasa
Arab. Setelah itu ia melanjutkan studi ke jenjang magister dan doktoral di
Program Studi Pendidikan. Yang bersangkutan adalah orang yang berinisiatif
untuk mendirikan Forum Silaturahmi Antar Umat Beragama (FSAUB) di tahun
2006, sebelum di kemudian hari konsep dan idenya ini diambil di tingkat
nasional dan disebut sebagai Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB),
Sejak pendirian FKUB di Kota Bandung, ia didaulat untuk menjadi ketuanya
sampai dengan sekarang.
Inisiatif untuk mendirikan FSAUB ini muncul atas dasar keprihatinan
terhadap konflik berbau agama dan SARA yang pernah terjadi di berbagai
wilayah di lndonesia, terutama konflik agama di Ambon. Pada saat sedang
puncaknya konflik tersebut, kejadian-kejadian sadis ditayangkan dalam
bentuk video di masjid-masjid di Bandung. Ia kemudian merasa jika tidak ada
forum yang dapat mendinginkan suasana, maka orang-orang yang sudah
emosi setelah melihat video tersebut akan bergerak dan niscaya konflik
sejenis akan terjadi juga di Bandung.
Menurut yang bersangkutan, konflik agama adalah konflik yang paling
susah untuk diselesaikan dan mampu menyulut massa dalam jumlah yang
besar. Karena itu, pemimpin harus bisa dekat dengan masyarakat dan

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 40


berperan aktif untuk terus menyuarakan perdamaian. Pemimpin juga tidak
boleh fanatik terhadap agamanya dan harus bisa supel dalam bergaul serta
memahami perbedaan dengan agama lainnya. Masalahnya, pada saat ini,
melalui media sosial, seringkali muncul informasi yang tidak benar terkait
dengan agama, yang selanjutnya akan memperkeruh suasana di masyarakat.
Saat ini kota Bandung sudah mendeklarasikan Bandung Anti Hoax dan
membentuk aplikasi yang terkait. Tujuannya adalah untuk menghindari
adanya penyalagunaan informasi. Yang bersangkutan juga berpendapat
bahwa kepemimpinannya tidak dapat dipelajari, namun lebih merupakan
pengejawantahan dari sistem nilai yang dianutnya sejak kecil, yaitu nilai
agama lslam yang toleran yang didapatkannya dari Pesantren.
Ia juga menyatakan bahwa selama ini permasalahan konflik sosial
terkait agama di Kota Bandung masih dapat diatasi melalui FKUB, dan FKUB
lebih bergerak kepada progam pencegahan agar tidak seperti wilayah lainnya
yang pernah mengalami konflik perang saudara seperti di Ambon. Hal ini
mengingat Bandung sebagai kota metropolitan, penduduknya sudah sangat
beragam. Walaupun mayoritas penduduk Bandung beragama Islam, juga ada
penganut agama lainnya seperti Nasrani, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu.
Selain itu sebagai kota metropolitan, Bandung telah menjadi kota tujuan dari
masyarakat untuk dijadikan tempat memperbaiki kondisi erekonomian.
Walaupun suku yang paling dominan adalah suku Sunda, namun hampir
seluruh suku yang ada di indonesia memiliki perwakilannya, dimana pada
saat ini tercatat ada 32 suku dan enis yang hidup di Bandung.

4.1.2.3. Informan 3.
Informan 3 adalah Kepala Bidang Kewaspadaan Nasional Pemda
Bandung, berjenis kelamin laki-laki, suku Sunda, beragama Islam yang
bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) dan menjabat sebagai Kepala
Bidang Kewaspadaan Nasional pada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik
(Kesbangpol) Kota Bandung. Latar belakang pendidikannya adalah S1 di
bidang Manajemen. Awal karirnya, yang bersangkutan mengikuti pendidikan
penyidik dan kemudian intelijen dan di tempatkan sebagai penyidik pajak
selama 13 tahun. Sejak dipercaya menjabat di Kesbangpol, ia merasakan

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 41


bahwa inilah panggilan hidupnya dalam bekerja, sebagai individu yang
berkecimpung langsung dalam penyelesaian konflik sosial di masyarakat.
Sebagai bagian dari Tupoksinya di Bidang Kesbangpol yang menjadi
fasilitator dan mediator terhadap berbagai konflik di Bandung, maka ia harus
membangun jaringan yang luas di masyarakat, sehingga ia juga menjabat
sebagai Sekretaris di Komunitas Intelijen Daerah (Kominda) serta Sekretaris
di Unit Cyberbully Intelijen. Dengan demikian, ia merasa tugasnya adalah
sebagai mata dan telinga bagi pimpinan. Menurut yang bersangkutan, dalam
penyelesaian berbagai macam konflik, ia harus menjalin silaturahmi dan
komunikasi dengan semua pihak, Sebagai contoh, dalam hal kerukunan umat
beragama, sebagai wakil pemerintah, ia bekerja sama dengan FKUB Kota
Bandung untuk menjaga toleransi di kota Bandung, dan untuk itu, ia bersama
Walikota Bandung, telah penghargaan dari Komnas HAM karena Bandung
terpilih sebagai kota nomor 1 paling toleran di Indonesia.
Menurut yang bersangkutan konflik sosial yang banyak terjadi di
Bandung memang berasal dari dinamika pro dan kontra pembangunan rumah
ibadah, namun ia merasa mereka selalu dapat menyelesaikan secara damai,
karena menurutnya sebagai orang Timur, harus menerima bahwa NKRI
dibangun oleh seluruh elemen masyarakat dari berbagai suku ras, dan
agama. Sedangkan kelompok-kelompok yang radikal, sebenarnya mereka
juga merasa sebagai orang Timur, namun tidak mendapat penghargaan dari
masyarakat maupun pemerintah. Tetapi, ia juga berpendapat bahwa memang
ada masalah dengan ideologi. Ada pihak yang menganggap bahwa 4 pilar,
seperti Pancasial, Bhineka Tunggal Ika, UUD 45 dan NKRI sudah tidak sesuai
lagi dengan kondisi sekarang. Untuk itu, Kesbangpol berupaya untuk
memberikan sosialisasi bahwa jika 4 pilar ini hancur, maka otomatis NKRI ini
juga tidak akan bisa berdiri lagi.
Upaya lain untuk menangani konflik sosial yang dilakukannya adalah
bagi Kesbangpol merancang kegiatan Road Show di setiap Kecamatan,
dengan menghadirkan narasumber dari berbagai disiplin ilmu tentang metoda
penanganan konflik, cara penyelesaiannya, serta aturan-aturan yang berlaku
agar masyarakat menjadi sadar. Untuk kelompok yang sudah berkonflik,
Kesbangpol dibawah pimpinannya mencoba menjadi penghubung,
menetralisir dengan silaturahmi, karena konflik menurutnya terjadi karena

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 42


komunikasi yang tidak sampai. Kesbangpol juga sudah membentuk Kampung
Toleransi di 14 Kecamatan, dimana disana berbaur berbagai suku, etnis, dan
rumah ibadah. Dalam 1 kelurahan ada berbagai rumah ibadah, dan ternyata
harmonisasi antar umat tercipta dengan baik, dimana dalam kegiatan
keagamaan saling membantu, misalnya saat hendak Natal, umat Nasrani
dibantu umat Islam, sedang saat Idul Fitri, giliran mereka yang membantu. Ini
sudah berjalan kurang lebih hampir 1 tahun, dan kedepan sudah harus
terbentuk di ke 30 kecamatan di Kota Bandung.
Kemudian, di era digital saat ini, dengan banyaknya berita di media
sosial tentang berbagai hal yang tidak benar, masyarakat kadang-kadang
kalau mendapat informasi tidak melakukan “cek dan ricek”, dan langsung
percaya. Kesbangpol dalam hal ini sejak tahun 2016, telah melakukan upaya
perlawanan dengan mendeklarasikan Bandung “Anti Hoax” di seluruh kota
Bandung, sehingga walaupun prosentase masyarakat yang tetap percaya
hoax masih banyak, tapi mereka sudah menerima sosialisasinya. Hal ini
menurutnya menjadi tantangan bagi dirinya yang sudah merasa tua di umur
56, dan akan pensiun dalam 2 lagi. Namun ia seolah-olah mendapatkan
energi lain, sehingga merasa tidak lelah dan tetap bersemangat.
Untuk posisi sekarang ia merasa paling “enjoy”, padahal dulu ia
bercita-cita menjadi tentara, karena ayahnya juga tentara. Pada tahun 1980 ia
sudah masuk ke Akmil di Magelang, namun baru 40 hari sakit tifus, sehingga
dikeluarkan. Ia kemudian menjadi atlit bela diri olah raga silat di Sea Games
selama 10 tahun dan berhasil mendapatkan medali emas, sehingga berhasil
mengibarkan bendera Merah Putih di luar negeri. Ia kemudian mendapat
penghargaan dari pemerintah dan diangkat sebagai PNS propinsi, karena
selalu mewakili Jawa Barat. Menurut dia ini memang sudah jalannya dari
Tuhan, karena kalau mengetahui Tupoksi di Kesbangpol, dari dulu ia sudah
mendaftar menjadi PNS dan minta bekerja di Kesbangpol. Walaupun sering
dicaci oleh masyarakat yang tidak setuju, di maki dan disebut yang tidak
senonoh seperti “anjing” namun ia tetap tenang dan bersabar, karena ia
merasa di bidang inilah ia merasa cocok. Sekarang, pada saat menangani
konflik, bersosialisasi dengan masyarakat, ia merasa mendapat manfaat yang
banyak, karena pihak yang berkonflik bisa dijadikan sahabat oleh tim

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 43


Kesbangpol. Ini menimbulkan kepuasan dan kebanggaan baginya, yang tidak
dapat dinilai dengan uang.
Dalam menangani masalah radikalisme, sesuai amanat undang-
undang, Kesbangpol menjadi pembina ormas LSM, sehingga yang
bersangkutan memiliki kekuatan untuk membina dan mendidik ormas-ormas
yang tidak sesuai dengan ideologi negara. Selain itu, untuk mengatasi
masalah radikalisme di kalangan mahasiswa dan pelajar, ia juga menyatakan
memiliki jaringan yang baik di berbagai perguruan tinggi dan SMA se
Bandung. Sehingga katakanlah bila ada piring yang pecah di satu RT pun, ia
pasti mengetahuinya. Kemudian sebagai pembina dari Forum Kewaspadaan
Dini Masyarakat (FKDM) di kota Bandung, yang beranggotakan sekitar 360
anggota dengan hampir 40% nya mantan TNI dan Polri dengan kemampuan
intelijen yang mumpuni, maka ia biasa menerima laporan perkembangan
situasi, sehingga jika terjadi konflik, ia dan staf Kesbangpol dapat membuat
analisis untuk disampaikan pada pimpinan.
Terkait kriteria kepemimpinan yang efektif dalam masyarakat
multikultur, menurutnya haruslah seorang yang memiliki kreativitas dan
inovasi. Ia harus mampu menempatkan dirinya sebagai seorang bapak, mau
mengayomi, tidak menghindar dari berbagai permasalahan, komunikatif dan
selalu bersedia menampung aspirasi publik. Selain itu, harus hadir di
masyarakat, serta memberikan solusi dan manfaat bagi masyarakat dan
warganya, inovatif dalam menawarkan langkah-langkah pembaharuan. Juga
harus menjadi figur yang jujur, pernyataan dan sikap harus sesuai. Selain itu
harus bisa menghargai hasil karya bawahan, serta menghindari KKN dengan
cara menciptakan kesempatan bagi bawahan untuk bersaing. Dengan kata
lain seorang pemimpin harus memiliki kepribadian yang baik.
Walaupun bergelar doktor, professor, atau pendidikan S2, S3, tapi jika
pola kepemimpinannya tidak diterima, maka kepemimpinannya akan menjadi
tidak efektif. Dan menurut yang bersangkutan ini tidak didapat dari
pendidikan, tetapi alamiah dan terkait bagaimana kedua orang tua nya
membentuk karakter anaknya. Dalam hal ini ia memberi contoh anaknya yang
sudah berhasil menjadi Kapten TNI AD, berkat didikannya yang ia contoh dari
orang tuanya yang anggota tentara. Menurutnya ayahnya adalah seorang
yang keras tetapi tegas, dan disiplin soal waktu. Selain itu, ayahnya juga tidak

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 44


pernah mengesampingkan faktor agama, sehingga ia juga mendidik anaknya
dengan dengan dasar-dasar agama yang kuat, agama yang toleran, saling
menyayangi, saling menghormati, dan jangan sampai membenci orang dari
agama lain. Menurutnya inilah yang membentuk kepribadiannya yang menjadi
menghormati keberagaman baik suku, etnis, budaya dan agama.

4.1.2.4. Informan 4.
Informan 4, pria, suku Banten, agama islam, adalah anggota Forum
Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), Kelurahan Lagoa, Mitra Jaya 01/
Koja. Yang bersangkutan dipilih menjadi anggota FKDM sejak tahun 2010,
karena ketokohannya sebagai pemuka masyarakat Banten di Jakarta Utara,
serta pernah menjadi wakil RW dari tahun 2006-2013. Ia memang sejak muda
suka berorganisasi dan bermasyarakat, dan menurutnya, jika sudah di latar
belakangi rasa suka, biasanya orang akan melakukan apapun tanpa pamrih,
seperti pada saat jatuh cinta. Dari awalnya suka berorganisasi, dua per tiga
dari waktunya digunakan untuk membantu orang saat terjadi konflik. Dari
sanalah ia mengerti apa yang harus dilakukan saat terjadi konflik antar suku,
dan ternyata ia baru mengetahui bahwa sukunya dianggap garang oleh orang
dari suku lain. Ia jadi menyadari bahwa sukuisme ternyata berperan sangat
penting di Jakarta Utara. Ia juga menyampaikan bahwa ia paling tidak suka
jika konflik yang melibatkan sukunya, ada ormas tertentu yang melabeli
dirinya pendekar Banten, karena seringkali saat ia mencoba mengajak bicara
dalam bahasa Banten, orang yang mengaku-ngaku dari Banten tersebut,
tidak fasih berbicara bahasa Banten. Seiring dengan berjalannya waktu ia
kemudian ditokohkan oleh masyarakat dan kemudian ditunjuk menjadi wakil
oleh Ketua RW setempat.
Jakarta Utara menurutnya adalah daerah dengan istilah Kupat Kumis
(Kumuh Padat Kumuh Miskin) dengan tingkat kepadatan penduduk yang
tinggi sehingga menjadi rawan gesekan. Sebagai contoh, ada RW yang terdiri
dari 18 RT, dan ada pula 1 RT yang terdiri dari 256 KK. Padahal kalau bicara
ideal, satu RT seharusnya terdiri dari 60 KK. Permasalahan yang umum
terjadi di Jakarta Utara adalah banyaknya anak muda yang peminum miras,
dan yang terlalu banyak minum, maupun yang ingin menambah minum
namun kurang uang untuk membeli minum, sama-sama suka membuat

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 45


keributan. Masalahnya, mereka berkelompok sesuai suku, sehingga
sukuisme juga sangat berpengaruh dalam konflik-konflik yang terjadi.
Menurut yang bersangkutan, kriteria pemimpin yang efektif untuk
daerahnya antara lain adalah fisik yang mendukung, misalnya tinggi besar,
agar berwibawa. Kemudian untuk di daerah Jakarta Utara, jender juga
menentukan. Ditambah faktor suku dan dari mana seseorang berasal, aspek-
aspek ini menjadi sebuah kesatuan yang perlu dipertimbangkan. Dengan
demikian, walaupun pandai berbicara misalnya, tetapi jika wanita akan kurang
di dengar. Kemudian di lapangan juga dibutuhkan keberanian dan kesabaran,
serta mengingat di Koja masyarakatnya beragam dan seringkali warga tidak
mau mendengar, ia berpendapat pemimpin terkadang harus memakai tangan
besi, karena jika tidak, akan dilecehkan oleh warga.
Terkait pengembangan kepemimpinan, ia berpendapat alamlah yang
melatihnya. Ia menyatakan sudah kenyang mengikuti kursus kepemimpinan,
namun menurutnya kepemimpinan tetap tidak bisa di latih. Menurutnya, jika
ada yang berkata pendidikan formil dapat membentuk kepemimpinan, ini
adalah bohong belaka. Sebagai contoh, gelar Sarjana Sosial tidak ada
artinya, karena gelar itu sesungguhnya hanya bisa didapatkan dari bergaul di
masyarakat. Ia berpendapat kuatnya satu bangsa dapat dilihat dari
karakternya. Manusia yang berkarakter adalah manusia yang bermoral. Kalau
moralnya sudah kuat tidak akan rapuh walaupun ada serangan dari luar.
Untuk itu, orang tua juga perlu menanamkan pendidikan agama sejak dini.
Sebagai contoh, anaknya sejak SD diajarkan jika hendak masuk rumah harus
menyampaikan salam secara Islam.

4.1.2.5. Informan 5.
Informan 5 adalah seorang pria, suku Jawa beragama Islam, Ketua NU
tingkat Kecamatan dan berprofesi juga sebagai ustadz yang mengajar di
Pondok Pesantren Al Muhajirin. Setiap hari Jumat, ia melakukan khotbah
keliling. Materi yang disampaikan adalah tentang kesatuan Islam dan
kebangsaan, Islam yang taat, yang seimbang, yang toleran. Ia selalu
menyampaikan agar jemaatnya bersyukur menjadi orang Indonesia yang
beragam. Sehingga ayat-ayat yang disampaikan, yang pertama adalah
jangan menghina orang yang tidak menyembah Allah, karena ayat ini berasal

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 46


dari Kitab Suci Al Qur’an. Selain itu, Hadits Nabi juga mengatakan agar umat
Muslim tidak menyakiti orang non Muslim.
Ia merasa bersyukur karena selama ini para jemaatnya masih
menerima dan menyampaikan rasa terima kasih mereka bahwa tidak seperti
ustadz lain yang mengajarkan kebencian pada pihak lain, ia menyampaikan
hal-hal yang baik. Pada saat awal Reformasi dan terjadi kerusuhan rasial, ia
membuka pesantrennya untuk orang-orang Tionghoa yang ketakutan dan ia
berhasil mengamankan semuanya. Sampai sekarang mereka masih
berhubungan dengan baik dengan dirinya dan ia sangat terkesan atas
persahabatan yang terjadi dengan mereka. Ia menyatakan bahwa ia
diciptakan menjadi orang Jawa dan orang Islam, tanpa ia pernah meminta,
sehingga ia tidak mau membedakan, karena menurutnya itu adalah
pemberian dari dari Allah. Jadi menurut yang bersangkutan intinya, ia
tergerak menjadi juru damai justru karena ajaran agama Islamnya, dan
menurutnya, pondok pesantren yang sesungguhnyalah, adalah yang
mengajarkan toleransi serta menghormati budaya lokal. Atas reputasinya
sebagai juru damai, pada saat ini, ia sering diminta untuk membantu
penyelesaian konflik agama.
Dalam hal kecenderungan radikalisme, menurutnya memang
globalisasi sebagai pintu masuk sumber ajaran transnasional yang radikal,
tidak bisa dihindari, tetapi sebagai tokoh agama ia tidak kendur untuk
mendakwahkan Islam dari berbagai sisi, baik dari sisi budayanya, maupun
dari sisi yang lain, sebagai agama yang menerima agama lain, berdasarkan
sejarah yang sebenarnya tentang agama Islam. Menurutnya, orang-orang
menjadi keras dan tidak mau bergaul lintas budaya karena kurangnya
informasi. Selain itu, setelah Reformasi tahun 1998, pemahaman dari luar
yang keras itu masuk ke Indonesia. Ia bersyukur bahwa sekarang Putra
Mahkota Kerajaan Saudi Arabia yang baru sedang berupaya untuk
menghilangkan pemahaman-pemahaman yang ekstrim dan ada beberapa
lembaga yang dibiayai oleh negara tersebut, sekarang juga membantu untuk
mendukung kegiatan-kegiatan yang mengarah pada keberagaman. Terkait
radikalisme di kalangan milenial, atau mereka yang lahir di era digital
sehingga pemahaman agamanya juga lebih banyak didapat dari internet,
yang menyebabkan mereka berpotensi untuk mengalami radikalisasi sendiri

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 47


(self radicalization), menurutnya anak-anak ini masih dapat dirubah, namun
perlu bantuan dari pemerintah, antara lain melalui pemberian ceramah secara
masif, karena masalahnya ada di pemikiran orangnya.
Untuk masalah kepemimpinan di masyarakat multikultur, menurutnya
hal ini bisa dilatihkan. Menurut yang bersangkutan, saat SMP dan SMA ia
banyak bergaul dengan murid dari etnis Tionghoa, sehingga sejak kecil sudah
mendapatkan pendidikan dan pengalaman multikultur. Ia berpendapat potensi
bisa dilatih, di samping didapatkan dari alam, namun butuh waktu yang cukup
lama, dan tidak dapat dalam satu atau dua bulan saja. Selain itu, juga perlu
diobservasi bagaimana seseorang berinteraksi di lapangan, semakin banyak,
maka akan semakin cepat cepat juga perkembangannya. Jadi menurutnya,
pendidikan sebagai titik awal, sebagai pendorong, tetapi tetap untuk menjadi
pemimpin yang sebenarnya, harus belajar di masyarakat.
Terakhir, ia menyampaikan bahwa ada satu jenis pendidikan yang
sampai sekarang bertahan dan tidak menggunakan smartphone, yaitu
pesantren. Para santri selama 6 tahun tidak pernah menggunakan
smartphone di pesantren. Ia juga memperlakukan hal yang sama pada
anaknya, dengan penekanan agar selalu berhati-hati dan bertanya jika
mendapatkan informasi yang berasal dari media sosial. Dengan demikian,
para santri dan anak-anaknya dapat terhindar dari fenomena masa kini, yaitu
orang-orang yang belajar agama dari internet, atau istilahnya “pesantren
kilat”, atau orang-orang yang baru belajar agama, namun sudah berani
menafsirkan secara negatif bagaimana orang lain menjalankan agamanya.

4.1.2.6. Informan 6.
Informan 6 adalah seorang pria Tionghoa, beragama Budha. Dulunya
yang bersangkutan adalah pengusaha spare part, namun saat ini hanya
mengerjakan kegiatan sosial saja di bawah organisasi Walubi Pusat, yang
membidangi masalah sosial. Sebagai pekerja sosial maka ia banyak
melakukan perjalanan keliling dalam rangka penyelenggaraan pengobatan
gratis atau pembagian sembako. Pada dasarnya panggilan jiwanya adalah
untuk bergabung dengan organisasi Budha Suci, yang berorientasi pada
kegiatan sosial, seperti pembagian beras untuk rakyat miskin, maupun
pelaksanaan pengobatan gratis. Sedangkan pada saat di Vihara, ia menjadi

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 48


rohaniwan karena memimpin sembahyang. Dalam hal ini, di agama Budha,
karena ritualnya menggunakan beberapa macam alat, ia menjadi pelatih
dalam penggunaanya. Kemudian, sebagai warga Tanjung Priok, ia juga
menjadi perwakilan dari agama Budha di FKUB Jakarta Utara.
Menurut yang bersangkutan, untuk masalah konflik sosial, yang rawan
di daerahnya (Bahari) adalah karena daerah tersebut merupakan sarang
narkoba. Kemudian, masalah lain adalah seolah-olah konflik agama, namun
akar masalah yang sebenarnya adalah hal lain. Sebagai contoh, ada Ketua
RT yang justru memprovokasi warga untuk tidak mau memberi tanda tangan
untuk pendirian sekolah berbasis agama, tetapi ternyata yang bersangkutan
juga diketahui memiliki tempat pendidikan. Hal ini sampai dirapatkan di tingkat
Walikota dan akhirnya yang bersangkutan kalah. Karena itu, yang
bersangkutan tidak cocok untuk menjadi pemimpin karena baru di tingkat RT,
sudah berkehendak menguasai semuanya dan juga kurang membaur dengan
warga. Menurutnya, kalau di agamanya diajarkan hukum Karma, apa yang
dilakukan itulah yang akan diterima.
Terkait dengan fenomena radikalisme di kalangan remaja, ia
berpendapat perlu diajarkan kembali materi budi pekerti di sekolah-sekolah
seperti dahulu. Menurut yang bersangkutan materi pendidikan yang baik,
memiliki peran yang penting dalam menghasilkan anak didik yang berjiwa
pemimpin. Di era masa lalu, saat para murid di sekolah mengetahui guru
datang, meeka akan langsung diam, sedangkan di era sekarang menurutnya
muridnya menjadi lebih galak dari gurunya. Sekarang menurutnya tanpa budi
pekerti, orang dengan mudah menjadi fundamentalis. Contohnya, seorang
Budha yang pindah agama menjadi Kristen, kemudian tidak berani lagi masuk
Vihara, padahal bukan untuk sembahyang tetapi lebih untuk silahturahmi.
Sedangkan untuk bisa toleran dan menghormati agama dan budaya lain,
menurutnya seorang harus mampu menjadi low profile dan dapat masuk
kemana saja.
Selain itu, sebagai anggota FKUB yang bersangkutan juga sering
terlibat dalam mengatasi konflik internal antara sesama penganut agama,
misalnya perebutan lahan atau warisan. Sebagai contoh sebelumnya orang
tuanya memiliki tempat ibadah, tetapi suratnya tidak jelas. Di kemudian hari,

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 49


anaknya mencoba menguasai lahan yang ada, dan saat kalah di pengadilan,
yang bersangkutan membawa massa dari luar sehingga terjadi keributan.
Dalam hal ini, yang bersangkutan merasa jika sudah berhasil
membantu menangani konflik, merasakan adanya kepuasan batin, atau
istilahnya merasa passion atau minatnya memang berada disana. Selain itu,
kebetulan masyarakat Budha yang berada di daerahnya berasal dari
kalangan ekonomi kelas bawah, sehingga untuk mengajak umatnya aktif
dalam kegiatan sosial dan mau bergaul dengan kalangan dari etnis dan
agama lain, yang bersangkutan bersama Biksu Budha kerap harus
memberikan ceramah dan kemudian diikuti dengan memberi contoh perilaku
secara nyata, sehingga mereka kemudian bersedia untuk mengikuti contoh
tersebut dan setelah itu dapat ikut menikmati kegiatan tersebut.
Terkait dengan pengembangan kepemimpinan, menurut yang
bersangkutan, bisa dilaksanakan, tetapi tidak bisa melalui kursus-kursus
kepemimpinan yang singkat karena butuh proses.

4.1.2.7. Informan 7.
Informan ke 7 adalah Walikota Bekasi, seorang pria dari suku Sunda,
beragama Islam. Ia dilahirkan pada tanggal 3 Februari 1964 di Bekasi, dan
jika diurut dari silsilah, sudah keturunan ke tujuh yang lahir dan tinggal di
Bekasi dengan sejarah yang panjang. Kakeknya adalah Jawara Bekasi, yang
bersama Pahlawan Nasional yaitu Kyai Haji Noer Ali ikut mempertahankan
Bekasi. Ia pernah berhenti sekolah dan mengurus kerbau sampai 1 tahun
kemudian melanjutkan sekolah sampai lulus SMA, kemudian ia melakukan
berbagai pekerjaan dari mulai menjadi supir, berdagang rokok, sampai
mengangkut pasir dari pertambangan pasir. Hal ini dilakukannya karena ia
merasa bertanggung jawab sebagai anak tertua dengan 5 adik, sehingga ia
ikut membiayai sampai seluruhnya menikah. Ia kemudian melanjutkan ke
perguruan tinggi sampai menyelesaikan S3 di Universitas Pasundan.
Kemampuan kepemimpinan dan manajerialnya diasah dari bawah,
sejak ia mulai bekerja sebagai asisten pergudangan dan supervisor logistik
PT. Halliburton Indonesia untuk seluruh Indonesia. Mengingat untuk
peningkatan karir di Haliburton sebagai suatu perusahaan multinasional dari
Amerika Serikat harus bersedia ditempatkan di seluruh dunia, dan ibunya

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 50


meminta apapun yang terjadi untuk tidak keluar dari Bekasi, maka ia
kemudian memutuskan untuk keluar dari Halliburton, walaupun kehidupannya
sudah mapan dengan gaji yang tinggi. Ia kemudian mendirikan perusahaan
swasta dan menjadi Direktur PT. Rampita Aditama Rizki, sebelum diajak
berpolitik. Ia masuk ke ranah politik di saat Era Reformasi, dimulai dari tingkat
kelurahan dan dengan proses yang amat cepat kemudian menjadi Wakil
Sekretaris DPD Golkar, pada saat Golkar sedang mengalami proses
kemunduran yang luar biasa. Ia terpilih untuk periode 1999-2004, dan di
tahun 2004, terpilih sebagai ketua DPRD sampai tahun 2008. Di tahun 2008
ia terpilih bersama Walikota yang lama untuk menjadi Wakil Walikota. Di
tahun 2009 Walikota lama mengalami persoalan hukum karena tertangkap
OTT oleh KPK dan dikenakan hukuman penjara selama enam tahun,
sehingga ia mendapatkan mandat pada tahun 2011 menjadi Plt (Pelaksana
Tugas) Walikota. Kemudian yang bersangkutan menjadi walikota definitif di
tahun 2012, sebelum menang Pilkada di tahun 2013, dan menjadi Walikota
Bekasi sampai dengan sekarang.
Menurutnya, Kota Bekasi dulu memiliki masyarakat yang homogen,
tetapi sejak tahun 80'an ketika dijadikan kota penyanggah DKI Jakarta,
otomatis semua suku dan etnis yang ada di NKRI datang ke Bekasi. Pada
saat terjadi kekosongan pemerintahan di awal Era Reformasi, sangat terasa
kondisi Kota Bekasi yang masyarakatnya sudah menjadi heterogen, dimana
suku yang terbanyak sebesar 40% adalah suku Jawa, disusul oleh 31% suku
Betawi, 18% Sunda, dan sisanya sangat plural. Di tahun 2011, ia
berkomitmen untuk menciptakan kota Bekasi yang maju, aman, dan tidak
mengalami konflik sosial, dan untuk itu ia mendeklarasikan kerukunan antar
umat, sebelum FKUB ada.
Pada saat deklarasi pertama ia mendapatkan banyak tantangan, dan
dianggap sebagai orang gila, karena menurutnya dalam keadaan transisi
pemerintahan politik yang tidak menentu, biasanya kepala daerah tabu untuk
melakukan hal ini, dan jikapun melakukan hanya dianggap proses pencitraan.
Hal ini disebabkan karena saat itu dirasakan sangat sulit bagi umat Kristiani
yang jumlahnya sudah cukup besar karena proses migrasi ke Bekasi, untuk
membuat tempat ibadah. Pada kenyataannya, sekarang di Kota Bekasi sudah
ada hampir 280 tempat ibadah Nasrani yang dipergunakan secara nyata,

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 51


namun hanya 80 yang mendapatkan izin, sedangkan sisanya sulit
mendapatkan izin dari masyarakat. Sebagai tindak lanjut dari deklarasi, sejak
2013, secara bertahap, ia melakukan perjalanan keliling. Sebagai contoh, ia
ke Tarutung, ke pusatnya HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), dan oleh
pihak HKBP disampaikan bawah tidak ada walikota dan bupati dari daerah
lain yang berani datang. Setelah itu yang bersangkutan ke Uskupan Agung
Gereja Katholik, dan juga disampaikan bahwa baru kali ini ada walikota yang
berani secara terus menerus mendeklarasikan persatuan umat. Kemudian, ia
juga terus berkeliling, termasuk ke Manado di Gereja Protestan Indonesia
Bethel (GPIB), ke pusat gereja di Pasundan di depan Gambir, ke Pura Hindu,
ke Klenteng Konghucu. Setelah itu, ia mengambil kesimpulan bahwa untuk
membentuk satu pemerintahan di kota yang multietnik seperti di Bekasi, maka
prinsipnya adalah harus ada komitmen dan konsistensi.
Setelah deklarasi pertama, muncul persoalan Ciketing, dimana terjadi
penusukan sehingga menjadi berita nasional. Kejadian di Ciketing memberi
pelajaran baginya untuk memberikan izin pendirian gereja di Kalamiring, Jaka
Sampurna, setelah sebelumnya memberikan izin gereja Galilea di Pekayon,
walaupun kemudian yang bersangkutan di demo. Rata-rata butuh waktu 19
tahun untuk membanugn suatu gereja sampai selesai, sedangkan di
Kalamiring sampai 17 tahun. Yang bersangkutan pernah didemo, dibawakan
keranda, maupun dihujat oleh ormas Forum Pembela Islam (FPI). Tapi
sebenarnya bukan persoalan gereja saja, masjid pun menjadi persoalan. Di
Perumahan Harapan Indah, masjid Al Furqon yang didukung FPI
berkonfrontasi dengan pengembang selama hampir 13 tahun karena masjid
berada di lokasi Fasilitas Umum (Fasum), dan 2 walikota tidak bisa
menyelesaikan, sampai ia bertemu Habib Rizieq di Petamburan, dan
kemudian permasalahan yang ada dapat diselesaikan.
Masalah terbaru terkait konflik agama adalah Gereja Santa Clara, di
Bekasi Utara, dimana yang bersangkutan pernah dikurung di kantornya oleh
pihak yang tidak setuju gereja tersebut dibangun. Dalam hal ini ia
menganggap sebagai kepala daerah ia bertugas untuk berdiri diatas semua
kaki umat dan bersikap adil sebagai pemimpin. Pada saat seluruh proses
diikuti dan izin sudah keluar sesuai ketentuan, maka ia tidak akan mundur
walaupun banyak yang menentang. Dalam hal ini, ia sudah sempat 3 kali

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 52


mengembalikan berkas agar prosesnya selesai di lapangan, dan setelah
dinyatakan layak serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum positif,
maka ia mendatangani izinnya. Karena itu, ia berani menyampaikan kepada
umat yang mengurungnya bahwa ia bersedia ditembak kepalanya, tetapi ia
tidak akan mencabut izin nya, kecuali perintah hukum, karena tugas seorang
kepala daerah adalah untuk melaksanakan perintah hukum,
Menurut yang bersangkutan, sistem nilai yang menghargai perbedaan
yang dimilikinya sebagai pimpinan daerah, berdasarkan proses yang panjang
selama hidupnya. Ia selalu menekankan pemikiran yang visioner, jauh ke
depan, secara “out of the box”. Sebagai contoh, dari sisi anggaran, RPJMD
nya di tahun 2018 seharusnya Rp. 4,6 Triliun, tetapi di tahun 2017 sudah Rp
Rp. 5,8 triliun. Kemudian, Bekasi juga sudah punya stadion, sementara tidak
semua daerah memilikinya. Contoh lain, di Kota Bekasi yang penduduknya
mencapai 2,6 juta orang dengan luas hanya 21.000 hektar, memiliki 1.200
masjid untuk umat Islam beribadah, beserta tempat-tempat ibadah lainnya.
Permasalahannya adalah perkembangan Bekasi sudah sangat
dinamis, dibandingkan dengan tahun 80 an kebawah. Saat itu, Bekasi terdiri
dari masyarakat yang homogen, hampir seluruhnya petani dan pedagang,
masyarakat yang agamis, 90% lebih muslim. Sedangkan pada saat ini,
Bekasi sebagai bagian dari NKRI yang ekonominya tumbuh dan berkembang,
dengan masuknya pendatang dari berbagai suku dan keyakinan menjadi
seolah-olah umat agama lain melakukan penyebaran agama selain Islam,
sehingga umat muslim di Bekasi tinggal 82%. Menurutnya, ini adalah paham
yang keliru, karena jika masyarakat Indonesia masih dikungkung dengan
persoalan itu, maka nanti umat muslim yang tinggal di daerah lain sebagai
minoritas akan akan mendapatkan perlakuan yang sama, misalnya seperti di
Papua pasti akan menuntut hal yang sama.
Terkait dengan kepemimpinan, menurut yang bersangkutan seorang
pemimpin harus berani mengambil keputusan. Jika seorang pemimpin takut
mengambil keputusan, maka pemimpin tersebut tidak akan pernah bisa
menciptakan karya monumental untuk membangun proses peradaban. Untuk
itu, pemimpin harus memiliki data yang cukup sehingga tidak takut akan salah
saat mengambil keputusan. Sebagai contoh, ia selalu melakukan cek dan
ricek seperti pada saat persoalan Santa Clara, sampai 3 kali dokumen ia

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 53


kembalikan agar prosedurnya benar. Kemudian ada isu gereja Santa Clara
adalah gereja terbesar se Asia Tenggara. Dalam hal ini, jika itu benar,
tentunya sudah lebih besar dari kapasitas Keuskupan Agung Jakarta. Karena
itu, untuk membuktikan, ia kemudian mendatangi Keuskupan Agung Jakarta,
dan bersama-sama Uskup membuktikan bahwa isu itu tidak benar.
Menurutnya, kepemimpinan adalah juga merupakan proses yang
panjang. Ia sudah pernah mengikuti berbagai pelatihan kepemimpinan,
namun yang paling berpengaruh adalah pengalamanya. Sebagai contoh,
dalam bidang pekerjaan, ia merangkak dari bawah, mulai bekerja di
Halliburton hingga puluhan tahun di bidang jasa industri minyak, melihat
bagaimana orang lain, termasuk warga negara asing bekerja dan
menyelesaikan persoalan selama 24 jam. Sebagai orang yang memiliki gelar
akademis S3, ia juga berpendapat pendidikan akademis semata tidak dapat
menciptakan seorang pemimpin, sehingga ia percaya setiap pemimpin sudah
diwariskan dengan kepribadian yang mendukung. Dengan kata lain, karakter
dan perilaku lebih berpengaruh dari pendidikan formal, karena yang
menentukan keberhasilan adalah motivasi, tanggung jawab, bagaimana
menciptakan “trust” serta bagaimana memenuhi apa yang diinginkan oleh
masyarakat. Namun demikian, jika apa yang diinginkan oleh masyarakat tidak
sesuai dengan regulasi dan ketentuan atau aturan yang ada, maka pemimpin
harus bijak dan tetap berpijak pada ketentuan.
Menurutnya adalah mustahil untk dapat memenuhi semua yang
diinginkan oleh masyarakat yang heterogen, dan dari semua persoalan yang
ada di kota multi etnik dan heterogen seperti Bekasi, kebanggaannya adalah
ketika ia sebagai manusia merasa berhasil memberikan dan menempatkan
hak dan derajat warga NKRI di Bekasi secara sama tanpa mempersoalkan
suku, atau keyakinan. Menurutnya adalah tidak tepat dan tidak akan pernah
terjadi untuk mengembalikan masyarakat Bekasi yang heterogen menjadi
homogen seperti masa lalu, seperti yang diinginkan oleh sebagian orang.
Yang bersangkutan merasa bahwa keberhasilan yang paling monumental dari
transformasi aparat Pemkot Bekasi di bawah kepemimpinannya adalah
komitmen yang tinggi dari seluruh stafnya terhadap pluralisme di Kota Bekasi,
sehingga mendapatkan penghargaan Komnas HAM.

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 54


4.1.3. Profil Peserta FGD.
FGD diselenggarakan dalam rangka untuk melakukan triangulasi data
terhadap hasil wawancara yang didapatkan dari para informan. Untuk lokasi
wawancara yang tidak dilakukan FGD karena sulitnya melakukan
penjadwalan waktu, seperti di Bandung, trianguasi dilakukan terhadap hasil
wawancara dengan Staf Informan di RW nya maupun Staf Intelijen Kodim
0618/BS Kota Bandung.

4.1.3.1. FGD di Kodim 0507 Kota Bekasi.


Diluar tim peneliti, peserta FGD di Kodim 0507 Bekasi terdiri dari 6
orang anggota FKUB Kota Bekasi, yang terdiri dari Ketua FKUB Bekasi yang
mewakili umat Muslim, Wakil Ketua FKUB sekaligus Ketua MUI Kota Bekasi,
Sekretaris FKUB yang juga mewakili umat Muslim, kemudian pengurus FKUB
yang mewakili umat non Muslim dan terdiri dari perwakilan umat Katolik,
Hindu dan Kristen Protestan, serta didampingi oleh Kepala Staf Kodim 0507
Kota Bekasi.

4.1.3.2. FGD di Kodim 0502 Jakarta Utara.


Diluar tim peneliti, peserta FGD di Kodim 0502 Jakarta Utara terdiri
dari 2 orang perwakilan FKDM, 1 orang perwakilan dari Mitra Jaya Kodim
0502 Jakarta Utara, 3 orang anggota FKUB Jakarta Utara yang terdiri dari
seorang Ketua NU sekaligus pimpinan pondok pesantren Al Muhajirin, satu
orang perwakilan umat Budha serta satu orang Pendeta yang mewakili umat
Kristen Protestan, satu orang dari Pemda Jakarta Utara, yaitu Kasubbid
Ormas dan Kerukunan Masyarakat dari Kesbangpol, serta didampingi oleh
Komandan Kodim 0502 Jakarta Utara.

4.2 Analisis Hasil Penelitian.


Analisis konten dalam penelitian ini dilakukan dengan mengggunakan
fungsi Word Query pada perangkat lunak Nvivo terhadap teks hasil transkripsi
wawancara dengan para informan dan FGD di ketiga wilayah penelitian di
lokasi Kodim 0618/BS Kota Bandung, Kodim 0507 Kota Bekasi dan Kodim
0502 Jakarta Utara, dengan pengelompokan berdasarkan permasalahan
dengan kata kunci “konflik” dan “kepemimpinan”. Kemudian, dilihat kata-kata

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 55


yang paling sering muncul dan dapat menggambarkan permasalahan yang
ada akan dibahas, berdasarkan transrikpsi wawancara yang telah dilakukan.

4.2.1 Konflik Sosial Dalam Masyarakat yang Multikultur.


Analisis konten dengan mengggunakan fungsi Word Query pada
perangkat lunak Nvivo terhadap teks hasil transkripsi wawancara dengan
para informan dan FGD di ketiga wilayah penelitian di lokasi Kodim 0618/BS
Kota Bandung, Kodim 0507 Kota Bekasi dan Kodim 0502 Jakarta Utara,
untuk kelompok permasalahan konflik, menghasilkan kata yang paling sering
muncul dan dapat menjelaskan konflik sosial yang terjadi di ketiga lokasi
penelitian yang multikultur adalah “agama”. Jika dilanjutkan dengan analisis
hasil wawancara dan FGD yang telah dilaksanakan, maka memang masalah
utama dalam masyarakat yang heterogen dan multikultur yang ada di
Indonesia saat ini adalah faktor agama, utamanya pendirian tempat ibadah
bagi masyakarat minoritas - dalam hal ini kata “ibadah” juga cukup sering
muncul dalam Word Query. Walaupun mungkin ada faktor lain seperti
masalah perbedaan etnis, namun pada akhirnya yang muncul ke permukaan
adalah masalah perbedaan agama, dengan faktor pemicunya adalah
pendirian tempat ibadah, yang seringkali dipersepsi sebagai penyebaran
agama, dan kemudian disebarluaskan dan dijadikan isu oleh pihak dari luar
komunitas dimana permasalahan awal terjadi. Hal ini terkonfirmasi oleh hasil
Word Query pada permasalahan konlik, yang juga memunculkan kata
“provokator” sebagai salah satu kata yang cukup banyak muncul.

Berikut adalah gambar Word Query yang dihasilkan oleh peringkat


lunak Nvivo dengan permasalahan konflik (perhitungan dapat dilihat di
lampiran).

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 56


Gambar 2: Hasil Word Query untuk “Konflik Sosial“

Di Kota Bandung, seperti disampaikan oleh I1, walaupun konflik yang


terjadi di lokasi pemukiman dimana I1 tinggal seolah-olah adalah konflik antar
etnis, dalam hal ini antara etnis non pribumi Tionghoa dengan etnis pribumi,
yang mendasari konflik yang terjadi adalah isu agama. Dalam hal ini, isu
tersebutpun sebenarnya dihembuskan dari luar komunitas masyarakat yang
ada di lokasi tersebut.
“I1, ”Bukan, dari luar.. Seperti yang bilang bahwa bergaul dengan
non muslim itu haram”. Pewawancara, “Jadi isu yang digunakan
oleh pihak luar itu isu agama atau isu etnis juga, Bu?” I1, ” Agama
Neng, sampai ribut. Tidak boleh bergaul jadi pada ketakutan.
Sudah bergaul akhirnya mereka sadar enak juga bergaul. Enci-
enci semua berkumpul, saya panggil semuanya ibu dalam
arisan“... Kemudian saat Natalan orang muslim tidak mau ikut
misa acara Natalan karena haram. Saya bilang, bapak Ibu kita
bukan ikut misa tapi diundang makan malam. Akhirnya... membuat
dua undangan, yang satu untuk umat Kristen dari jam 5,
sedangkan untuk umat Muslim dari jam 7 malam setelah Isya’ dan
dalam acara tidak ada doa apapun, hanya hiburan saja. Kita
memakai topi Natal, Ibu juga pakai, walaupun memakai jilbab”.

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 57


Hal yang sama juga disampaikan oleh I2, terkait peran provokator luar
dalam mempolitisir isu agama.
“Ngeri hal ini soalnya kalau sudah konflik agama semua juga
berani mati, berani mati!. Sebab kan jaminannya surga gitu kan.
Makanya saya berpikir, saya tidak memikirkan surga dan neraka,
saya berpikirnya bagaimana Bandung aman, saya mikirnya gitu
aja waktu itu ... konflik di Ambon itu kan bukan konflik agama, itu
kan konflik seorang kenek mobil yang apalah gitu, yang dipolitisi(r)
katanya konflik agama. Konflik agama kan begitu memudahkan,
nah yang harus dijaga. Bagi saya tuh, ngga ada lagi konflik
agama. Konflik agama sudah banyak simpatisan yang dari mana,
bergabung-bergabung dan lebih besar lagi kalau konflik agama.

Selain itu, yang bersangkutan juga menyampaikan bahwa sebenarnya


hal yang sama juga terjadi di daerah lain, dimana agama Islam adalah
merupakan agama minoritas.
“Yang menjadi problem, ...salah satu tugas dari FKUB adalah
memberikan rekomendasi pendirian rumah ibadah. Ini se
Indonesia menjadi problem. Saya sudah ke Bali dan Medan, dan
ternyata yang menjadi pemicu konflik adalah pendirian rumah
ibadah. Pendirian rumah ibadah harus ada izin dari masyarakat
sekitar minimal 60 orang , untuk pengguna rumah ibadah ada 90
orang. Dan kebanyakan di Bandung adalah pembuatan gereja,
dan sudah 31 gereja direkomendasi, masjid 6, vihara 2”.

Satu jawaban mengapa ada resistensi yang tinggi terhadap pendirian


rumah ibadah minoritas di kota Bekasi, disampaikan oleh I7 sebagai berikut.
“Hanya persoalan tadi, persepsi. Kalau ada rumah ibadah ini akan
terjadi penyebaran (agama). Saya sudah turun ke gereja-gereja
yang sudah puluhan tahun disitu. Tidak ada orang miskin yang
mungkin yang 1 kali makan sehari, (kemudian) pindah keyakinan,
karena itu adalah urusan hati dengan Sang Pencipta. Makanya di
Kota Bekasi tidak ada Kepala Daerah yang tidak menyampaikan,
“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Selamat pagi,
Salam sejahtera bagi kita semua, Om Swastyastu, Namo
Buddhaya, selalu saya terus ucapkan”.

Permasalahannya, perbedaan persepsi ini juga terpicu oleh informasi


yang tidak benar (hoax) yang memang mungkin disebarkan oleh pihak-pihak
tertentu tanpa disaring terlebih dahulu oleh masyarakat yang menerima
infomrasi tersebut. Dalam hal ini, Word Query untuk kelompok permasalahan
konflik memang memunculkan kata “informasi” sebagai kata yang juga
sering muncul dalam kelompok ini.

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 58


Berikut adalah pernyataan dari I3 terkait masalah informasi yang
menyebabkan konflik sosial di masyarakat Bandung.
“ada... keterputusan informasi yang tidak mereka terima, sehingga
kalau sudah diberikan informasi ya mereka sadar, sehingga hal-
hal ini tentunya di Kota Bandung, Alhamdulillah, barangkali dari
berbagai kegiatan sosial budaya terutama yang menyangkut ke...
pendirian rumah ibadat... Bahkan kami sampai hari ini sudah
membentuk Kampung Toleransi, sudah di 14 Kecamatan. Disana
berbaur berbagai suku etnis, rumah ibadah. Kemarin kita deklarasi
dengan Pak Ketua... Dalam 1 kelurahan itu, disana ada berbagai
rumah ibadah, bagaimana harmonisasi antar umatnya tercipta
dengan baik”.

Yang bersangkutan juga menyampaikan bahwa informasi yang tidak


utuh tersebut pada dasarnya bersumber pada media sosial.
“Nah, apalagi sekarang era digital dengan banyaknya medsos
tentang hal segala macam, ini mereka kadang-kadang kalau
mendapat informasi kan tidak dicek dan ricek, langsung percaya.
Nah tugas kami disini, sehingga kemarin 2016, kami melakukan
suatu langkah yang cukup melawan, yaitu Bandung anti hoax. Kita
deklarasikan seluruh kota Bandung, sehingga masyarakat itu
walaupun persentasenya yang tetap percaya hoax juga masih
banyak, tapi kita punya kewajiban.”

Hal yang sama juga dikonfirmasi oleh peserta FGD di Kodim 0507 Kota
Bekasi yang mewakili umat Kristen Katolik sebagai berikut.
“Di lingkungan RT RW itu, ...saya sendiri juga sudah
menyampaikan, kalau bisa di RW itu jangan ada group Whatsapp
(WA). Kenapa? Karena itu memasukkan informasi-informasi dari
luar kepada kita yang setiap hari bertemu. Ketika sekelompok
komunitas yang semakin lebih sering di dunia digital ketimbang
tatap muka, itu pengaruh-pengaruh luar jauh lebih dominan.
Karena yang nempel di kepala justru lebih banyak yang
sensasional, yang lebih mengedepankan perbedaan. Bahwa
perbedaan itu buruk. Padahal itu semua kan, industri ya. Ada
kelompok yang mendapatkan uang banyak dari industri hoax dan
kebencian tersebut. Inilah ...yang terserap oleh mereka sehingga,
maka saya pikir, penghalang utama untuk intoleran(si) itu ya
keluarga, dari orang tua, bertemu, bahwa "Oh jangan begitu". Tapi
ketika orangtuanya juga sudah terlanjur menyerap hal yang hoax
seperti itu, yang lebih besar lagi barang kali RT RW seperti itu.
Sementara, ...kami ini kan fungsinya bagaimana meminimalisasi
potensi konflik yang ada”.

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 59


Pernyataan staf dari I1 juga menunjukkan upaya yang sama dari
komunitas untuk meminimalisir pengaruh medsos dalam menyebarkan
informasi negatif tentang agama di RW nya di kota Bandung.
“Mengenai media sosial tadi, kita juga sudah menggunakan grup
dalam menyebarkan informasi dan juga kami membuat perjanjian
tidak membahas politik di grup atau agama”.

Dalam hal ini, pernyataan dari I7 juga dapat memberikan tilikan (insight)
tentang mengapa kondisi ini sedang dan akan terus terjadi di NKRI, yaitu
terjadinya proses pembangunan yang cepat, yang menyebabkan terjadinya
migrasi internal besar-besaran ke seluruh daerah NKRI yang menjadi pusat-
pusat pertumbuhan seperti yang terjadi di kota Bekasi.
“(Kota Bekasi sudah) tidak bisa dibedakan lagi, sudah seperti bumi
dengan langit. Kalau dulu kan dalam tataran tahun 80 an
kebawah lah. Itu kan dalam tataran masyarakatnya homogen,
mereka petani, mereka pedagang, mereka sebagai masyarakat
agamis, karena 90% muslim. Sekarang ini 82% muslim, jadi
sisanya adalah yang lain-lain. ...Mulai datangnya berbagai macam
suku dan keyakinan di Kota Bekasi, ...seolah-olah ...ada umat ini
melakukan ...penyebaran (selain Islam). Ini kan paham yang keliru
sebenarnya. kalau masyarakat kita dikungkung dengan persoalan
itu, nanti Muslim yang kecil disana juga akan terjadi perlakuan
yang sama, bahkan dituntut. "Kami di Irian juga diperlakukan
sama". ....Kalau cara berpikir kita dalam satu kesatuan negara ini
seperti itu, kapan Indonesia majunya. ...Saya kira dari
perspektifnya dari masyarakat yang heterogen ini dikembalikan ke
masyarakat homogen, itu tidak akan pernah bisa terjadi. Tapi
membuat masyarakat sadar dan taat terhadap suatu sistem, itu
yang harus dibentuk oleh kota ini, Republik ini.”

Kota Bandung dan Bekasi, dengan nilai IPM tertinggi yang


menunjukkan tingkat ekonomi yang relatif lebih sejahtera di bandingkan
daerah lainnya di Jawa Barat

4.2.2. Kepemimpinan.
Analisis konten dengan mengggunakan fungsi Word Query pada
perangkat lunak Nvivo terhadap teks hasil transkripsi wawancara dengan
para informan dan FGD di ketiga wilayah penelitian di lokasi Kodim 0618/BS
Kota Bandung, Kodim 0507 Kota Bekasi dan Kodim 0502 Jakarta Utara,
untuk kelompok permasalahan kepemimpinan, menghasilkan kata yang

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 60


paling sering muncul dan dapat menjelaskan masalah kepemimpinan di
ketiga lokasi penelitian adalah “karakter”. Jika dilanjutkan dengan analisis
hasil wawancara dan FGD yang telah dilaksanakan, maka memang kriteria
kepemimpinan yang efektif untuk masyarakat multikultur yang ada di
Indonesia saat ini adalah faktor karakter kepribadian.

Di bawah ini adalah gambar Word Query untuk masalah


Kepemimpinan.

Gambar 3 : Word Query masalah Kepemimpinan

Berikut adalah pernyataan dari I3, tentang pembentukan kepemimpinan.


“Ini menyangkut karakter Pak. Pemimpin ini justru terbentuk dari
isu kepribadian. Saya pikir banyak yang bergelar Doktor, Profesor,
S2, S3, tapi pola pemimpin tidak diterima. Nah ini alami, jadi tidak
melalui pendidikan. ...Karena bagaimanakan kedua orang tua ini
yang punya beban untuk membentuk karakter anaknya”.

Terkait dengan kepemimpinan di masyarakat yang multikultur, berikut


adalah pernyataan I7.

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 61


“Makanya yang harus dibentuk adalah ...karakter yang ingin kita
buat. ...Kalau misalkan kita kembalikan pada semboyan hidup para
leluhur kita, gotong royong (dan) musyawarah, sebenarnya selesai
itu. Tapi bapak kan bisa lihat di Republik ini, Presiden kita saja
antara satu dengan yang lain sampe saat ini belum pernah ketemu,
duduk, ngopi. Itu kan sebenarnya cerminan”.

Dalam hal ini, karakter juga dianggap penting agar kepemimpinan dapat
efektif untuk mengatasi konflik sosial. Berikut adalah pernyataan dari I4 terkait
hal ini.
“Jadi menurut saya kuatnya satu bangsa dilihat dari karakternya.
Manusia yang berkarakter juga manusia yang bermoral. Kalau
moralnya sudah kuat tidak serapuh yang tidak (berkarakter),
walaupun ada serangan dari luar”.

Dalam hal karakter sebagai sifat bawaan, maka hasil Word Query
berdasarkan lima peringkat teratas yang paling sering muncul dan dianggap
dapat mendukung kepemimpinan yang efektif di masyarakat yang multikultur,
adalah berani/keberanian, kesabaran, ketegasan, ikhlas, dan inovatif (lihat
lampiran).
Berikut pernyataan dari staf I1 dalam menggambarkan keberanian yang
bersangkutan dalam “menceramahi” Seksi Rohani di RW nya yang
sebelumnya sangat anti terhadap perayaan keagamaan lain, sehingga Seksi
Rohani tersebut kemudian berbalik arah dan justru mendukung
kepemimpinannya.
“Yah mungkin bisa ditiru pertama kami mengulang Natal bersama,
ada sambutan dari seksi rohani, itu kami terbengong-bengong
karena singkatnya (yang bersangkutan menyatakan) “Ini perayaan
ulang tahun Nabi Isa, itu kan Nabi kita (25 Nabi), kalau mengurangi
satu Nabi bukan Muslim”. ...Berkat pendekatan beliau jadi kami
bisa menyelesaikan seluruh masalah. Mungkin yang bisa ditiru
adalah berani bicara, berani bertanggung jawab, dan mau
melaksanankannya.

Sedangkan I7 sebagai seorang Kepala Daerah di Kota Bekasi


menyampaikan hal berikut.
”Saya yakin bahwa kepemimpinan itu harus punya keberanian
dalam menyelesaikan persoalan. Pada saat kepemimpinan itu
takut mengambil keputusan, maka tidak akan pernah ada (hal
yang) monumental yang dibangun untuk membangun proses
peradaban”.

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 62


Dalam menangani konflik, seorang pemimpin tentunya harus memiliki
kesabaran. Berikut adalah pernyataan I3 tentang hal ini.
“Artinya bagaimana menangani emosi seseorang, perlu kesabaran (dan)
ketenangan. Jadi kalau sama-sama emosi, ya sudah tidak ada
penyelesaian. Tetap konflik akan berkepanjangan.

Selanjutnya adalah ketegasan, dimana seorang pemimpin yang efektif


di masyarakat multikultural yang rawan konflik memerlukan sifat bawaan ini.
Berikut adalah pernyataan I3 tentang perlunya ketegasan untuk memimpin
masyarakat yang multikultural.
“Nah itu tergantung kepada pemimpinnya... Memang perpaduan
pemimpin dulu dan sekarang harus dikombinasi. Artinya memang
ketegasan, kedisiplinan, cara kerja TNI sangat diperlukan, karena
pemimpin yang kurang tegas dan disiplin, ...juga tidak menjadi
catatan positif bagi masyarakat.”

Berikutnya adalah faktor keikhlasan. Berikut pernyataan dari I1 tentang


keikhlasan.
Itu dari agama dulu pak, harus kuat dasarnya. Keikhlasan sebagai
seorang pemimpin, bukan (karena) keuangan. Mau komunikasi
dan mendekatkan diri, selain ke Allah dan ke manusia. “

Terakhir adalah sifat inovatif dalam memimpin masyarakat. Dalam


hal ini, I3 menyampaikan sebagai berikut.
“Nah ini membuka ruang-ruang publik, jadi tidak membatasi
kreativitas warga. ...hal-hal yang berbau inovasi itu menampung.
Jadi artinya menjadi bahan pertimbangan, oh baik ini saran dari
masyarakat seperti ini, oke aplikasikan.”

Selanjutnya, untuk pertanyaan apakah kepemimpinan adalah suatu hal


yang dapat dilatihkan atau tidak, maka jawaban dari para informan cukuplah
menarik. Di satu sisi mereka menyatakan bahwa kepemimpinan bersifat
alamiah sehingga tidak dapat dikembangkan. Namun demikian memang
untuk meningkatkan kompetensi kepemimpinan perlu adanya
pelatihan/pendidikan dalam rangka untuk penanaman nilai-nilai dan
peningkatan kompetensi perilaku kepemimpinan. Sedangkan pengalaman
juga dianggap dapat meningkatkan keterampilan lintas budaya – dengan kata
lain dapat meningkatkan kecerdasan budaya.

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 63


Berikut adalah beberapa komentar terhadap pertanyaan apakah
kepemimpinan dapat dilatih ?
“I3: Susah, karena ini menyangkut karakter pak. Pemimpin ini
justru terbentuk dari isu kepribadian. Saya pikir banyak yang
bergelar Doktor, Profesor, S2, S3, tapi pola pemimpin tidak
diterima. Nah ini alami, jadi tidak melalui pendidikan.”

I4: Kalau saya jujur yang melatih saya alam. Dari awal saya
memang suka berorganisasi. Kalau sudah dilatar belakangi suka,
biasanya orang melakukan apapun tidak perlu ada balasan, seperti
suka dengan cewe, akan melakukan apapun. Dari mulai saya suka
berorganisasi dua per tiganya saya gunakan untuk membantu. Dari
sana saya mengerti, oh kita harus begini loh.”

“I5: Kalau dari saya bisa pak. Karena yang punya potensi memang
bisa dilatih di samping dari alam... Pewawancara: Tetapi harus
lama jangka waktunya ya? Kalau saya mau buat kursus
kepemimpinan, satu bulan gitu tidak bisa ya? I5: Oh tidak bisa.
Pewawancara: Jadi merupakan satu proses ? I5: Ya, jadi
bagaimana dia di lapangan ? Semakin banyak maka semakin
cepat perkembangannya.”

“I6: Mungkin juga itu budi pekerti. Kayak di sekolah kalau begitu
tahu ada guru datang, kan diam. Coba sekarang, galakan murid.
Jadi pendidikan itu penting.”

“I7: Banyak juga yang S3 ternyata jalannya juga lambat. Ini mohon
maaf ya, kemampuan ...itu tidak bisa ...ditentukan dari pendidikan
umum. Ya mungkin setiap pemimpin sudah digariskan dengan
persoalan-persoalan kepribadian.”

Sedangkan untuk kemampuan berinteraksi dengan orang dari budaya


lain, atau yang menurut teori memiliki kecerdasan budaya, berikut adalah
pengalaman yang mendasari para informan sehingga dapat memiliki
kepekaan lintas budaya.
“I1: Kami berbeda agama, warna kulit, suku bangsa, tapi kami
bergandeng tangan dan bersatu karena slogan kami, ‘Damai Itu
Indah’. Buat apa ribut, hidup tidak bisa tenang... Pewawancara:
Tapi Ibu pernah ikut pelatihan tidak sehingga bisa menjadi seperti
ini?” I1: Tidak ada, hanya naluri dan kasih sayang saja ... Staf I1:
Kayaknya memang sudah bakat dididik dari kecil. Beliau hidupnya
juga disiplin, tumbuhnya di lingkungan pesantren dan militer.”
Pewawancara: Untuk menjadi seorang RW ...ada pelatihan dari

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 64


pemerintah? I1: Tidak ada, alamiah, naluri. Naluri sebagai warga
Indonesia.”

“I5: Memang globalisasi tidak bisa kita hindari, tapi paling tidak
saya sebagai tokoh agama caranya adalah jangan kendur
mendakwakan Islam dari berbagai sisi, baik sisi budaya nya
maupun sisi yang lain, bahwa Islam adalah agama yang menerima.
...SMP saya bergaul dengan etnis Tionghoa, SMA saya di Gajah
Mada (Jakarta Kota), jadi tidak masalah buat saya.”

Dari hasil wawancara tersebut, dapat dilihat bahwa para informan


terekspos pada sistem nilai dan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang
dari budaya lain berdasarkan pengalaman dan pendidikannya di masa
pertumbuhan mereka, sehingga mereka memiliki apa yang disebut
kecerdasan budaya atau kompetensi multikultural.

4.3 Pembahasan
4.3.1 Gambaran Masyarakat.
Persoalan-persoalan sosial yang mendominasi di masyarakat
multikultur di tiga daerah penelitian adalah terutama karena sebagai daerah
yang menjadi pusat pertumbuhan, daerahnya menjadi magnet bagi
datangnya orang-orang dari suku dan keyakinan yang berbeda. Dan sebagai
bagian dari NKRI, hal ini tentunya tidak dapat dihindari. Lambat laun,
masyarakat yang tadinya homogen, kemudian menjadi heterogen dan multi
kultur. Dalam konteks ini, ternyata persoalan yang menonjol adalah
keberadaan umat beragama yang minoritas, terutama dalam hal pendirian
rumah ibadah, yang disebabkan oleh adanya salah penafsiran terkait upaya
penyebaran ajaran agama, serta memang adanya perspesi negatif terhadap
orang lain yang berbeda keyakinan. Hal ini ini diperparah oleh perilaku
masyarakat yang tidak melakukan cek dan ricek terhadap informasi yang
diterima, sehingga mudah tersulut dan terprovokasi oleh isu-isu yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, yang sebenarnya berasal dari
luar komunitasnya.

4.3.2. Gambaran Pemimpin Dalam Masyarakat Multikultur.

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 65


Berdasarkan gambaran masyarakat diatas, maka karakteristik
pemimpin yang berhasil mengatasi konflik sosial tersebut adalah mereka
yang memiliki sifat-sifat bawaan antara lain dengan ciri-ciri memiliki
keberanian, kesabaran, ketegasan, ikhlas, dan inovatif. Sesuai teori, maka
dengan sifat-sifat bawaan ini, mereka akan dapat muncul (emerge) atau
memiliki naluri untuk menjadi pemimpin di lingkungan yang multi kultur.
Keberanian menjadi penting karena dalam konteks penelitian ini, masalah
yang banyak muncul adalah masalah agama, utamanya pendirian rumah
ibadah. Tanpa ada keberanian, tidaklah mungkin seorang dapat memimpin
suatu masyarakat yang memiliki potensi perpecahan karena konflik agama,
karena seperti disampaikan oleh salah satu responden, dalam konflik
berbasis agama, semua orang ingin menjaga dan melindungi agamanya. Dan
hanya seorang yang berani dalam meluruskan pandangan di kelompok
agamanya sendiri dan kemudian berani berdamai dengan orang dari
kelompok agama yang lain lah, yang akan muncul sebagai seorang
pemimpin.
Selanjutnya, sistem nilai dan perilaku yang mendukung kepemimpinan
multi kultur juga dibentuk dari pengalaman dan pendidikan di saat-saat
pembentukan jati diri. Para informan menyampaikan bahwa pengalaman
multikultur mereka antara lain didapatkan dari pendidikan orang tuanya yang
TNI, sehingga mereka menghargai perbedaan. Ada juga yang karena
mengikuti pendidikan dimana para muridnya sudah heterogen sejak kecil.
Oleh karena itu, dalam rangka untuk membentuk pemimpin yang multikultur di
Indonesia, seyogyanya sekolah-sekolah Dasar dan Menengah kembali
mengajarkan materi Budi Pekerti dan Pancasila, sehingga penghormatan
terhadap nilai-nilai keberagaman dan toleransi dapat ditanamkan sejak kecil.
Dalam hal ini upaya-upaya inovatif seperti pembentukan Kampung
Toleransi adalah suatu upaya yang segar dan patut didukung, karena akan
dapat memberikan pengalaman bagi warganya untuk mengalami peningkatan
kecerdasan budaya mereka, sehingga mereka akan dapat meningkatkan
kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan orang dari budaya lain.

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 66


BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa masalah utama terkait konflik dalam masyarakat
multikultur yang ada di Indonesia adalah karena sebagai akibat dari
pertumbuhan ekonomi, masyarakat yang tadinya homogen telah berubah
menjadi heterogen. Dalam hal ini masalah agama menjadi masalah yang
cukup menonjol, dimana masyarakat pendatang yang memiliki keyakinan
berbeda kemudian berupaya untuk mendirikan tempat ibadah yang kemudian
dipersepsi sebagai upaya untuk mengembangkan agamanya.
Untuk itu, dibutuhkan kepemimpinan yang efektif untuk masyarakat
multikultur di Indonesia di era masa kini. Adapun kriteria pemimpin yang
efektif tersebut, perlu memiliki tiga indikator utama, yaitu
1. Memiliki sifat-sifat bawaan yang sesuai, dalam hal ini untuk
penelitian ini, sifat-sifat bawaan yang ditemukan dapat mendukung
munculnya kepemimpinan di masyarakat multikultur di Indonesia
adalah keberanian, kesabaran, ketegasan, ikhlas, dan inovatif.

2. Mendapatkan sistem nilai yang mendukung keberagaman yang


ditanamkan sejak dini.

3. Menerima pengalaman dan pendidikan yang mendukung


pengembangan kecerdasan budaya sehingga dapat efektif dalam
berinteraksi dengan orang yang berasal dari budaya lain.

Dengan demikian, dalam rangka untuk mengembangkan


kepemimpinan yang efektif untuk masyarakat multikultur di Indonesia, perlu
diperkuat faktor lingkungan yang dapat mendukungnya, seperti dilakukannya
upaya-upaya inovatif seperti yang telah dilakukan di Kota Bandung dalam
bentuk Kampung Toleransi, penanaman kembali nilai-nilai Budi Pekerti dan
Pancasila di sekolah-sekolah Dasar dan Menengah, sertai pelatihan-pelatihan
lainnya yang terkait yang dengan metoda yang sesuai untuk kondisi
masyarakat pada saat ini.

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 67


5.2 Saran
Dengan melihat permasalahan yang ada, maka berikut beberapa
saran dan rekomendasi:

5.2.1 Saran Teoritis.


Disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan dalam bentuk penelitian
kuantitatif untuk memvalidasi sifat-sifat bawaan yang sudah dihasilkan dalam
penelitian ini, sehingga hasilnya lebih dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah dan dapat diturunkan kedalam bentuk alat ukur.

5.2.2. Saran Praktis.


1. Mengingat sifat-sifat bawaan relatif bersifat menetap dan sulit
untuk dirubah, disarankan untuk lembaga pemerintah dan pendidikan
menyeleksi tokoh-tokoh potensial yang memiliki sifat-sifat bawaan yang
sudah dihasilkan dalam penelitian ini untuk dikembangkan lebih lanjut
sebagai pemimpin yang efektif.
2. Pemerintah dalam hal ini Kemhan maupun Unhan dapat
melakukan pendidikan Bela Negara yang kurikulumnya mengandung
materi Keberagaman, Budi Pekerti dan Pancasila, dengan contoh-
contoh perilaku seperti yang ditunjukkan oleh para informan dalam
penelitian ini, sehingga sistem nilai peserta yang mendukung
keberagaman dapat terbentuk sejak dini
3. Pemerintah terus mendukung ide-ide inovatif seperti pendirian
Kampung Toleransi dalam rangka untuk memberikan pengalaman pada
warganya tentang hidup bersama dengan orang yang berbeda latar
belakangnya, sehingga akan dapat meningkatkan kecerdasan budaya
warganya.

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 68


DAFTAR PUSTAKA

Ahern, G. (2003). Theory and Practice: Designing and implementing


coaching/mentoring competencies: a case study. Counselling
Psychology Quarterly, 16(4), 373-383.
Ali, A. (2012). Leadership and its Influence in Organizations – A Review of
Intellections. International Journal of Learning & Development 2(6), 73-
85.
Ang, S., & van Dyne, L. (2008). Conceptualization of cultural intelligence:
Defnition, distinctiveness, and nomological network. Dalam S. Ang & L.
van Dyne. (Ed). Handbook of cultural intelligence: Theory,
measurement, and applications. Armonk, NY: M.E. Sharpe.
Ang, S., van Dyne, L., Koh, C. Ng, K.Y., Templer, K. J., Tay, C., &
Chandrasekar, N.A. (2007). Cultural intelligence: Its measurement and
effects on cultural judgment and decision making, cultural adaptation
and task performance. Management and Organization Review, 3(3),
335–371.
Ang, S., Van Dyne, L., & Tan, M.L. (2011). Cultural intelligence. Dalam R.J.
Sternberg & S.B. Kaufman (Ed). Cambridge handbook on intelligence.
New York, NY: Cambridge University Press.
Athey, T. R., & Orth, M. S. (1999). Emerging competency methods for the
future. Human resource management, 38(3), 215-225.
Badan Pusat Statistik (2010). Kewarganegaraan, suku bangsa, agama, dan
bahasa sehari-hari penduduk Indonesia: Hasil sensus penduduk 2010.
Diunduh pada November 18 2017 dari
http://sp2010.bps.go.id/files/ebook/ kewarganegaraan %
20penduduk%20indonesia/index.html
Badan Pusat Statistik Kota Bandung (2017). Sosial dan Kependudukan.
Diunduh pada tanggal 30 Desember 2017, dari
https://bandungkota.bps.go.id/
Badan Pusat Statistik Kota Bekasi (2017). Sosial dan Kependudukan.
Diunduh pada tanggal 30 Desember 2017, dari
https://bekasikota.bps.go.id/
Badan Pusat Statistik Kota Jakarta Utara (2017). Sosial dan Kependudukan.
Diunduh pada tanggal 30 Desember 2017, dari
https://jakutkota.bps.go.id/
Bartone, P.T. (2010). Big five personality factors, hardiness, and social
judgment as predictors of leader performance. Human Resource
Management International Digest,18(1)
Bass, B.M. (1990). Bass & Stogdill’s handbook of leadership: Theory,
research, and managerial applications (3rd ed.). New York, NY: Free
Press.
Bazeley, P. & Jackson, K. (2013). Qualitative Data Analysis with Nvivo.
London: Sage
Bennis, W.G. (1989). On becoming a leader. Cambridge, MA :Perseus Books.
Bishop, P. (1999, September 23). Caution is the byword for Australian
peacekeepers. The Daily Telegraph, p.17, 2nd Edition.

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 69


Bjorkqvist, K., & Fry, D. P. (1997). Conclusions: Alternatives to violence.
Cultural variation in conflict resolution. Alternatives to violence, 243-
254.
Black, J. S., Mendenhall, M. E., & Oddou, G. (1991). Toward a
comprehensive model of international adjustment: An integration of
multiple theoretical perspectives. Academy of Management Review,
16(2), 177-192.

Briscoe & Hall. (1999). Grooming and picking leaders using competency
framework: Do they work? An alternative approach and new guidelines
for practice. Organizational Dynamics, Autumn, 37-52.
Bungin, B. S.(2008). Penelitian Kualitatif (Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.
Byham, W. C. (1982). Dimension of managerial competence. Monograph VI.
Pittsburgh, PA: Developmental Dimensions Press.
Carlyle, T. (1888). On Heroes, Hero-Worship and the Heroic in History. New
York : Fredrick A. Stokes & Brother.
Chamidah, N. (2013). Peran dan pengaruh penerapan karakter
kepemimpinan kyai dan budaya multikultural terhadap kemandirian dan
kesejahteraan keluarga pondok pesantren di provinsi Jawa Timur.
Tesis Master yang tidak dipublikasikan. Universitas Airlangga.
Chan, K. J., Soh S, Ramaya R. (2011). Military leadership in the 21st
century. Singapore: Cengage Learning Asia.
Cheng, C-Y, Mor, S., Wallen, A., & Morris, M. W. (2010). Global identity and
expanded cultural cognition as antecedents for global leadership.
Makalah yang dipresentasikan pada Academy of Management Annual
Meeting, Montreal, Agustus 6-10, 2010.
Chua, R.Y.J., Morris, M.W., & Mor, S. (2010). Collaborating across cultures:
The role of cultural metacognition and affect-based trust in creative
collaboration. Working Paper. Harvard Business School.
Conger, J. A., & Ready, D. A. (2004). Rethinking leadership
competencies. Leader to leader, 2004(32), 41-47.
Creswell, J. W., Hanson, W. E., Clark Plano, V. L., & Morales, A. (2007).
Qualitative research designs: Selection and implementation. The
counseling psychologist, 35(2), 236-264.
Creswell, J. W., Klassen, A. C., Plano Clark, V. L., & Smith, K. C. (2011). Best
practices for mixed methods research in the health sciences. Bethesda
(Maryland): National Institutes of Health.
Department of Behavioral Sciences and Leadership (1976). Leadership in
Organizations. West Point, NY: United States Military Academy.
Dewi, U. (2013). Karakteristik Kepemimpinan politik Indonesia: Transaksional
atau Transformatif ? Dipaparkan pada seminar nasional “Mencari
model kepemimpinan profetik transformatif: Menuju Indonesia
berdaulat", Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta pada
13 April 2013. Diunduh pada 5 November 2017 dari
http://staffnew.uny.ac.id/upload/197712152010122002/
penelitian/KARAKTERISTIK+KEPEMIMPINAN+POLITIK+INDONESIA
+revisi.pdf

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 70


Denzin, N. (2006). Sociological Methods: A Sourcebook. New Brunswick,
N.J.: Aldine Transaction.
Di Giovanni, J. (1999, September 25). Gurkhas tread softly intense city. The
Times, p.13.
Du, S., Swaen, V., Lindgreen, A., & Sen, S. (2013). The Roles of Leadership
Styles in Corporate Social Responsibility. Journal Business Ethics
114(1), 155-169.
Duffey, T. (2000). Cultural issues in contemporary peacekeeping. Dalam T.
Woodhouse & O. Ramsbotham (Ed). Peacekeeping and conflict
resolution. London: Frank Cass.
Duryea, M.L. (1992). Conflict and Culture: A Literature Review and
Bibliography. Victoria : Institute for Dispute Resolution, University of
Victoria.
Earley, P. C., & Ang, S. (2003). Cultural intelligence: Individual interactions
across cultures. Stanford, CA: Stanford University Press.
Ericsso, K. A., & Cokely, E. T. (2007). The Making of an Expert. Harvard
Bussiness review, 85(11), 147-147
Erzen, E. & Armagan, Y. (2015). The effect of leadership on conflict
management. Dalam Engin Karadak (Eds). Leadership and
organizational outcomes: Meta-analysis of empirical studies (p. 225-
237). Switzerland: Springer International Publishing.
Findlay, T. (2002). The use of force in UN peace operations. New York, NY:
Oxford University Press.
Fitton, R. (1993). Development of Strategic-Level Leaders. Fort Lesley
McNair, Washington, D.C.: The Industrial College of the Armed Forces,
National Defense University.
Fry, D.P. & Björkqvist, K. (1997). Cultural Variation in Conflict Resolution:
Alternatives to Violence. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates
Glasl, F. (2004). Ein Handbuch für Führungskräfte, Beraterinnen und Berater.
Stuttgart: Verlag Freies Geisteleben.
Goebel, Z. (2013). The idea of ethnicity in Indonesia. Tilburg Papers in
Cultures Study, 71.
Hadiyanto, A. (2016). Analisa penyebab terjadinya konflik horizontal di
Kalimantan Barat, Opini, 1(3).
Harshman, C. L. & Harshman E. F. (2008). The Gordian Knot of Ethics:
Understanding Leadership Effectiveness and Ethical Behavior. Journal
of Business Ethics, 78(1), 175-192.
Hidayat, E.R. (2005). A case study of the use of a competency framework in
the Australian army for performance management and development.
Master of Human Resources Management and Coaching Research
Report. University of Sydney, Sydney, Australia.
Hidayat, E.R. (2016). Competency-based assessment center: Selecting future
leaders at the Indonesian Army. Dalam S. Rawat (Ed). Military
Psychology: International perspectives. New Delhi, India: Rawat
Publications.
Hidayat, E.R. (2012). Pilihan moda keputusan dan kompetensi kognitif lintas
budaya dalam Operasi Perdamaian Internasional : Studi perbandingan
pemelihara perdamaian Indonesia dan Perancis. Disertasi Doktor
Psikologi yang tidak dipublikasikan. Depok: Universitas Indonesia.

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 71


Hidayat, E. & Susetyo, R. (2017). Leadership in Extreme Situations: Case
Study of an Indonesian Special Forces Soldier during the Boxing Day
Tsunami. Dalam M.O. Holenweger, M.K. Jager & F. Kernic (Eds).
Leadership in Extreme Situations. New York, NY: Springer
International Publisher.
Hogan, R., Curphy, G. J., & Hogan, J. (1994). What we know about
leadership: Effectiveness and personality, American Psychologist, 49,
493 - 504.
Horner, M. (1997). Leadership theory : Past, present and future. Team
Performance Management, 3(4), 270-287.
Hwang, K.K. (1998). Renqing and face: The Chinese power game. Dalam
K.K. Hwang (Ed). The Chinese power game. Taipei: Juliu.
Iles, P. (1992). Centres of excellence? Assessment and development centres,
managerial competence, and human resource strategies. British
Journal of Management, 3(2), 79-90.
Judge, T.A., Bono, J.E., Ilies, R. & Gerhardt, M.W. (2002). Personality and
leadership: A qualitative and quantitative review. Journal of Applied
Psychology, 87(4), 765-780.
Kalshoven, K., den Hartog, N. D., & de Hoogh, A.H.B. (2011). Ethical Leader
Behavior and Big Five Factors of Personality. Journal of Business
Ethics 100(2), 349-366.
Karadakal, N. V., Goud, N., & Thomas, P. (2015). Impact of leadership role
perspective on conflict resolution styles - a study on small and medium
sized entrepreneurs of Karnataka State in India. Journal of Global
Entrepreneurship Research 5(1), 1-20.
Kariadi, D. & Suprapto, W. (2017). Membangun kepemimpinan berbasis nilai -
nilai Pancasila dalam perspektif masyarakat multikultural, Citizenship
Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, 3(1), 86 – 96.
Kastanakis, M. & Voyer, Benjamin G. (2014). The effect of culture on
perception and cognition: a conceptual framework, Journal of Business
Research, 67 (4), 425-433.
Kementerian Dalam Negeri 2017). Data Pokok Kementerian Dalam Negeri
Tahun 2016. Jakarta: Sekretariat Kementerian Dalam Negeri.
Khan, R. N., Ghouri, A. M., Awang, M. (2013). Leadership styles and
organizational citizenship behavior in small and medium scale firms,
Researchers World: Journal of Arts, Science & Commerce, 4(2), 153-
163.
Koentjaraningrat, P. D. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:
PT.Rineka Cipta.
Lord, R. G., De Vader, C. L., & Alliger, G. M. (1986). A meta-analysis of the
relation between personality traits and leadership perceptions: An
application of validity generalization procedures, Journal of Applied
Psychology, 71, 402 - 410.
Lund, M.S. (1996). Preventing violent conflicts. Washington, DC : USIP Press.
Markas Bersar Angkatan Darat (2016). Doktrin induk kepemimpinan TNI AD.
Jakarta: Markas Besar Angkatan Darat.
Marsiela, A. (2016). Pemkot Bandung: Persyaratan Lengkap, IMB Gereja
Rehoboth Berea Keluar. Diunduh pada 10 November 2017 dari
http://www.beritasatu.com/ nasional/354347-pemkot-bandung-
persyaratan-lengkap-imb-gereja-rehoboth-berea-keluar.html

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 72


Martono, M. (2015). Metode penelitian sosial: Konsep-konsep kunci. Depok:
PT Rajagrafindo Persada.
Matsumoto, D. (2007). Culture, context, and behavior. Journal of Personality,
75(6), 1285–1320
Miles, M. B., Huberman, A. M., & Saldana, J. (2014). Qualitative data
analysis: A method sourcebook. CA, US: Sage Publications.
Mor, S., & Morris, M.W. (2010). The role of global identity and cultural frame
switching in intercultural inclusiveness. Makalah yang dipaparkan pada
23rd International Association for Conflict Management Annual
Conference, Boston, MA, 24-27 Juni, 2010
Moskos, C.C., Williams, J.A. & Segal, D.R. (2000). The Post Modern Military :
Armed Forces after the Cold War. New York: Oxford University Press
Inc.
Mueller, G. (1958). The Hegel Legend of "Thesis-Antithesis-Synthesis”,
Journal of the History of Ideas, 19 (4), 411–414.
Mutis, T, Rahardiansyah, P.T. & Prayitno, H.A. (2007). Keadaban publik:
menata masyarakat multikultural yang santun. Jakarta : Universitas
Trisakti.
Oakes, P. (2001). The root of all evil in intergroup relations? Unearthing the
categorization process. Dalam Rupert Brown & Sam Gaertner (Eds),
Blackwell handbook of social psychology: Intergroup processes.
Malden, MA: Blackwell.
Ohmae, K. (1990). The Borderless World: Power and strategy in the
interlinked economy. New York : Harper Business.
Osland, J. S. (2000). The journey inward: Expatriate hero tales and
paradoxes. Human Resource Management, 39(2-3), 227-238.
Parekh, B. C. (2007). Identity, Culture and Dialogue: Liberal Order or
Multicultural World. UK: Palgrave Macmillan .
Pedersen, P.B. (2001). The cultural context of peacemaking. Dalam Daniel J.
Christie, Richard V. Wagner, & Deborah A. Winter (Eds.), Peace,
conflict, and violence: Peace psychology for the 21st century.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Peterson, P. L., & Barnes, C. (1996). Learning together: The challenge of
mathematics, equity, and leadership. Phi Delta Kappan, 77(7), 485.
Pitoko, R.A. (2017). Tawuran Dua Kelompok Pemuda di Koja, Satu Orang
Tewas. Diunduh pada 30 Oktober 2017 dari
http://megapolitan.kompas.com/ read/2017/10/09/22112521/tawuran-
dua-kelompok-pemuda-di-koja-satu-orang-tewas
Robbins, S. J. (2013). Organizational behavior: Global edition . Boston:
Pearson.
Rothmann, I. & Cary L. Cooper, C.L. (2015). Work and Organizational
Psychology. London: Routledge.
Rubinstein, R.A., Keller, D.M. & Scherger, M.E. (2008). Culture and
interoperability in integrated missions. International Peacekeeping,
15(4), 540-555.
Rudi, A. (2017). Keteguhan Wali Kota Bekasi Pertahankan Gereja Santa
Clara. Diunduh pada tangal 18 November 2017 dari
http://megapolitan.kompas.com/
read/2017/03/25/08254701/keteguhan.wali.kota.bekasi.pertahankan.ge
reja.santa.clara

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 73


Rudi, A. (2015). Rumitnya Konflik Sampah Jakarta. Diunduh pada tangal 18
November 2017 dari
http://megapolitan.kompas.com/read/2015/11/05/09195231/Rumitnya.
Konflik.Sampah.Jakarta?page=all
Ryacudu, R. Jenderal TNI (2004). Memantapkan wawasan kebangsaan
dalam menghadapi perkembangan global dan disintegrasi bangsa.
Diunduh pada 17 November 2015 dari www.mabesad.mil.id.
Sharma, M.K. & Jain, S. (2013). Leadership Management: Principles, Models
and Theories, Global Journal of Management and Business Studies,
3(3), 309-318.
Shipmann, J., Ash, R., Battista, M., Carr, L., Eyde, H., Hesketh, B., Kehoe, J.,
Pearlman, K. & Prien, E. (2000). The practice of competency modeling.
Personnel Psychology, 53(3), 703-740.
Seiler, S. (2007). Determining factors of intercultural leadership: A theoretical
framework. Dalam Cees M. Coops & Tibor S. Tresch (Eds). Cultural
challenges in military operations. Rome: NATO Defense College.
Simpson, J.A. (2007). Foundations of interpersonal trust. Dalam Arie W.
Kruglanski & E. Tory Higgins (Eds). Social psychology: Handbook of
basic principles, 2nd Edition. New York, NY: Guilford Press.
Soeters, J. L., Poponete, C., Page Jr., J.T. (2006). Culture's consequences in
the military. In T.W. Britt, A.B. Adler & C.A. Castro (Eds). Military life:
The psychology of serving in peace and combat, Vol. 4 Military
Culture). Wesport, CT: Praeger.
Sperry, L. (2004). Executive coaching: The essential guide for mental health
professionals. Psychology Press.
Stewart, F. (2009 ). Horizontal inequalities as a cause of conflict: A review of
CRISE findings, Background Paper for World Development Report.
Sugiarto, R. (2014). Karakteristik Pemimpin Nasional Ideal menurut Pemilih
Pemula Yogyakarta. Jurnal Islamic Review, 3(1).
Sugiyono. (2010). Metode penelitian kualitatif, kuantitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suryaman (2010). Analisis Kepemimpinan Multikultural di Sekolah Menengah
dalam Upaya Mencegah Fenomena Gegar Budaya: Konteks
Indonesia, Sosiohumanika, 3(1), 109 – 122.
Suryohadiprojo, S. (1996). Kepemimpinan ABRI dalam sejarah dan
perjuangannya. Jakarta: Intermasa.
Syahmidi, S. (2015). Kepemimpinan Kepala Sekolah Perspektif
Multikultural (Studi Kasus di SMA Katolik St. Petrus Kanisius Palangka
Raya. Tesis Magister Pendidikan Islam yang tidak dipublikasikan. IAIN
Palangka Raya.
Taormina, R.J. (2010). The Art of Leadership: An Evolutionary Perspective,
International Journal of Arts Management, 13(1), 41-55.
Thomas, D.C., Elron, E., Stahl, G., Ekelund, B.Z, Ravlin, E.C., Cerdin, J.,
Poelmans, S., Brislin, R., Pekerti, A., Aycan, Z., Maznevski, M., Au, K., &
Lazarova, M.B. (2008). Cultural intelligence: Domain and assessment.
International Journal of Cross Cultural Management, 8(2): 123–143.
Tylor, E. B. (1920). Primitive Culture: Researches into the Development of
Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art, and Custom. London :
John Murray.

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 74


Wani, H. A. (2011). Understanding Conflict Resolution . International Journal
of Humanities and Social Science, 1 (2), 104-111.
Wijanarko, Y. (2017). Aksi Mogok Angkutan Umum se-Bandung Raya
Ditunda. Diunduh pada tangal 18 Desember 2018 dari Pikiran Rakyat
Online, http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2017/10/09/aksi-
mogok-angkutan-umum-se-bandung-raya-ditunda-411142
Wirawan. (2014). Kepemimpinan: Teori, psikologi, perilaku organisasi,
aplikasi dan penelitian. Jakarta : Rajagrafindo Persada.
Wulandari, C.R. (2016). Ini 10 Pernyataan Ridwan Kamil Soal Pembubaran
KKR Natal 2016 di Sabuga, Pikiran Rakyat, 7 Desember, 2016.
Wustemann, L. (2000). New dimensions to competencies: An interview with
Bill Byham. Competency & Emotional Intelligence Quarterly, 8(1), 15-
19.
Yanuarti, S. (2017). Diskusi ancaman konflik identitas (SARA) pada tahun
2019. Auditorium LIPI, Jakarta.
Yukl, G.A. (2010). Leadership in Organizations. Upper Saddle River, N.J.:
Prentice Hall.
Zamana, M. I., & Bhattia, M. N. (2011). The impact of culture and gender on
leadership behavior: Higher education and management.Management
Science Letters, 1(4), 531-540.

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 75


Dst s.d. Hal 4...

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 76


Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 77
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 78
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 79
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 80
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 81
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 82
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 83
Dst s.d. Hal 10...

Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 84


Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 85
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 86

Anda mungkin juga menyukai