Anda di halaman 1dari 17

AQIDAH RUHANIYAH

(ALAM DAN MAKHLUK GHAIB)

A. Pengertian Aqidah Ruhaniyah

Kata “‘aqidah” diambil dari kata dasar “al-‘aqdu” yaitu ar-rabth (ikatan), al ibraam
(pengesahan), al-ihkam (penguatan), at-tawatstsuq (menjadi kokoh, kuat) asy-syaddu
biquwwah(pengikatan dengan kuat) at-tamaasuk (pengokohan) dan al-
itsbaatu(penetapan). Diantaranya juga mempunyai arti al-yaqiin(keyakinan) al-jazmu
(penetapan).

“Al-‘aqdu” (ikatan) lawan kata dari al-hallu (penguraian, pelepasan). Dan kata
tersebut diambil dari kata kerja: “ ‘ Aqadahu” “Ya’qiduhu” (pengikatnya), “’aqdan” (ikatan
sumpah), dan “’uqdatun nikah” (ikatan menikah) Allah taala berfirman, : Allah tidak
menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja…’.(QS.al-maidah: 89 ).

Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil
keputusan. Sedangkan pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan
dengan keyakinan bukan perbuatan. Seperti aqidah dengan adanya Allah dan diutusnya
pada rasul. Bentuk jamak dari aqidah adalah aqa-id.

Jadi kesimpulannya, apa yang telah menjadi ketetapan hati seorang secara pasti
adalah aqidah; baik itu benar ataupun salah.

Pengertian aqidah secara istilah (terminologi) yaitu perkara yang wajib dibenarkan
oleh hati dan jiwa menjadi tentram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang
teguh dan kokoh, yang tidak tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.

Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun
pada orang yang meyakininya. Dan harus sesuai dengan keyataannya; yang tidak
menerima keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut tidak sampai pada singkat
keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan akidah. Dinamakan akidah, karena orang
itu mengikat hatinya diatas hal tersebut.

Akidah ruhaniyyah (metafisis) yaitu meyakini, menjiwai, memahami, segala sesuatu


yang bersifat ghoib (tidak terdeteksi oleh panca indra).
Masalah-masalah dan prakara-prakara yang wajib bagi seorang muslim untuk
mengimaninya (mempercayainya) didalam kaitannya dengan akidah islam dimungkinkan
untuk dibagi kedalam 4 macam :

1. Ketuhanan , yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan Allah SWT, baik itu nama-
namaNya dan juga sifat-sifatNya.
2. Kenabian dan risalah, yaitu yang berkaitan dengan seputar para Rosul, Nabi-Nabi,
keunggulannya, sifat-sifatnya, mukjizat-mukjizatnya, dan juga kemaksumannya.
3. Ruhaniyyah, yaitu yang berkaitan dengan alam yang tidak nampak secara kasat mata,
seperti adanya Malaikat, Jin, Syetan, dan ruh.
4. Sam’ihyat, yaitu berita-berita dari alam ghoib yang tidak ada yang mengetahuinnya
(kecuali Allah) yang disebut dalam Al-Quran dan sunnah Nabi.

B. Urgensi Keimanan Kepada Alam Dan Makhluk Ghoib

Alam ghoib menyimpan rahasia tersendiri. Rahasia alam ghoib, ada yang Allah
khususkan untuk diri-Nya semata dan tidak diberitakan kepada seorang pun dari hamba-
Nya, sebagaimana dalam firman-Nya :

ُ ُ‫ب اَل َيعْ لَ ُم َها إِاَّل ه َُو ۚ َو َيعْ لَ ُم َما فِي ْال َبرِّ َو ْال َبحْ ر ۚ َو َما َتسْ ق‬
‫ط مِنْ َو َر َق ٍة إِاَّل َيعْ لَ ُم َها َواَل َح َّب ٍة‬ ِ ‫َوعِ ْن َدهُ َم َفا ِت ُح ْال َغ ْي‬
ِ
‫ين‬
ٍ ‫ب م ُِب‬ ٍ ‫س إِاَّل فِي ِك َتا‬ ٍ ‫ب َواَل َي ِاب‬ ٍ ‫ض َواَل َر ْط‬ ِ ْ‫ت اأْل َر‬ ِ ‫ظلُ َما‬ ُ ‫فِي‬

Artinya : “ Dan hanya disisi Allah-lah semua yang ghaib. Tak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri , dan dia mengetahui apa yang ada didaratan dan dilautan, dan tiada
sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia menngetahuinya (pula). Dan tidak jatuh
sebutir bijipun dalam kegelapa bumi dan tidaklah ada sesuatu yang basah dan yang
kering, melainkan tertulis dalam kita yang nyata (Lauh Mahfuzh)”. (QS. Al-An’am : 59)

Tentang hal ini, Nabi Nuh as berkata, sebagaimana dalam firman-Nya :

‫ام َو َما َت ْد ِري َن ْفسٌ َم َاذا َت ْكسِ بُ َغ ًدا َو َما َت ْد ِري‬4ِ ‫ْث َو َيعْ لَ ُم َما فِي األرْ َح‬ َ ‫إِنَّ هَّللا َ عِ ْن َدهُ عِ ْل ُم الس‬
َ ‫َّاع ِة َو ُي َن ِّز ُل ْال َغي‬
‫ُوت إِنَّ هَّللا َ َعلِي ٌم َخ ِبي ٌر‬
ُ ‫ض َتم‬ ٍ ْ‫َن ْفسٌ ِبأَيِّ أَر‬

Artinya : “ sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya semata pengetahuan tentang (kapan
terjadinya) hari kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang
ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang bisa mengetahui (dengan pasti) apa yang
dia dapatkan di hari esok. Dan tiada seorang pun yang bisa mengetahui di bumi mana dia
akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Luqman :
34)

Hal ini sebagai mana yang dinyatakan Rasulullah ShallAllahu ’alaihi wa sallam ketika
ditanya Malaikat Jibril tentang kapan terjadinya hari kiamat :

“………..termasuk dari lima perkara (ghoib) yang tidak diketahui kecuali oleh Allah semata.
Kemudian Nabi membaca ayat (dari surat Luqman tersebut)”. (HR. Al-Bukhari dalam
Shahih-nya no. 50, dari sahabat Abu Hurairah RadhiAllahu’anhu)

Al-Iman Al-Qurtubi rahimahullahu berkata : “Berdasarkan hadist ini, tidak ada celah
sedikit pun bagi seorang pun untuk mengetahui (dengan pasti) salah satu dari lima
perkara (ghoib) tersebut. Dan Nabi telah menafsirkan firman Allah QS. Al-An’am: 59 (di
atas) dengan lima perkara ghoib (yang terdapat dalam QS. Luqman : 34) tersebut,
sebagaimana yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari”.

Diantara perkara ghoib, ada yang diberitakan Allah Subhanahuwa Ta’ala kepada
para Rasul yang diridhai-Nya, termasuk di antaranya Nabi Muhammad ShallAllahu ’alaihi
wa sallam. Allah berfirman :

)٢٦( ‫ب َفال ي ُْظ ِه ُر َعلَى َغي ِْب ِه أَ َح ًدا‬


ِ ‫َعالِ ُم ْال َغ ْي‬

َ ‫ْن َي َد ْي ِه َومِنْ َخ ْلفِ ِه َر‬


(٢٧( ‫ص ًدا‬ ُ ُ‫ُول َفإِ َّن ُه َيسْ ل‬
ِ ‫ك مِنْ َبي‬ َ ‫إِال َم ِن ارْ َت‬
ٍ ‫ضى مِنْ َرس‬

Artinya : “(Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala) Yang Maha Mengetahui perkara ghoib,
maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang perkara ghoib itu, kecuali
yang Dia ridhai dari kalangan Rasul, maka sesungguhnya Dia mengadakan di muka dan
di belakangnya penjaga-penjaga. ” (QS. Al-Jin : 26-27)

‫م َعلَى‬4ْ ‫ان هَّللا ُ لِي ُْطل َِع ُك‬


َ ‫ب ۗ َو َما َك‬ َّ ‫يث م َِن‬
ِ ‫الط ِّي‬ َ ‫ِين َعلَ ٰى َما أَ ْن ُت ْم َعلَ ْي ِه َح َّت ٰى َيم‬
َ ‫ِيز ْال َخ ِب‬ َ ‫ان هَّللا ُ لِ َي َذ َر ْالم ُْؤ ِمن‬
َ ‫َما َك‬
‫ َو َت َّتقُوا َفلَ ُك ْم أَجْ ٌر عَظِ ي ٌم‬4‫ب َو ٰلَكِنَّ هَّللا َ َيجْ َت ِبي مِنْ ُر ُسلِ ِه َمنْ َي َشا ُء ۖ َفآ ِم ُنوا ِباهَّلل ِ َو ُر ُسلِ ِه ۚ َوإِنْ ُت ْؤ ِم ُنوا‬ِ ‫ْال َغ ْي‬

Artinya : “Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kalian perkara-perkara
ghoib, akan tetapi Allah memilih siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara para Rasul-
Nya”. (QS. Ali Imran :179)
Maka dari itulah, perkara ghoib tidak mungkin diketahui secara pasti dan benar
kecuali dengan bersandar pada keterangan dari Allah dan Rasul-Nya. Lalu bagaimanakah
dengan orang-orang yang mengaku mengetahui perkara ghoib tanpa bersandar kepada
keterangan dari keduanya?

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Barang siapa mengetahui bahwa


dirinya mengetahui perkara ghoib tanpa bersandar kepada keterangan dari Rasullullah
SallAllahu ’alaihi wa sallam, maka dia adalah pendusta dalam pengakuannya tersebut”.

Apakah jin (setan) mengetahui perkara ghoib? Jawabannya adalah : Tidak. Jin tidak
mengerti perkara ghoib, sebagaimana yang Allah nyatakan :

ِ ‫ض َتأْ ُك ُل ِم ْن َسأ َ َت ُه َفلَمَّا َخرَّ َت َب َّي َن‬


‫ت ْال ِجنُّ أَنْ لَ ْو َكا ُنوا‬ َ ‫ َعلَ ْي ِه ْال َم ْو‬4‫ض ْي َنا‬
ِ ْ‫ت َما َدلَّ ُه ْم َعلَى َم ْو ِت ِه إِال دَا َّب ُة األر‬ َ ‫َفلَمَّا َق‬
‫ين‬ِ ‫ب ْالم ُِه‬ِ ‫ْب َما َل ِب ُثوا فِي ْال َع َذا‬ َ ‫ُون ْال َغي‬َ ‫َيعْ َلم‬

Artinya : “Mata tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang
menunjukkan kepada mereka (tentang kematiannya) itu kecuali rayap yang memakan
tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahukah jin itu bahwa kalau sekiranya
mereka mengetahui perkara ghoib tantulah mereka tidak akan berada dalam kerja keras
(untuk Sulaiman) yang menghinakan”. (QS. Saba’ :14)

Adapun apa yang mereka beritakan kepada kawan-kawannya dari kalangan


manusia (dukun, paranormal, orang pintar, dll.) tentang perkara ghoib, maka itu semata-
mata dari hasil mencuri pendengaran di langit-langit. Sebagaimana firman Allah
SubhanAllahu wa Ta’ala:

(١٨( ٌ‫َّمْع َفأ َ ْت َب َع ُه شِ َهابٌ م ُِبين‬


َ ‫) إِال َم ِن اسْ َت َر َق الس‬١٧( ‫ان َر ِج ٍيم‬ َ ‫َو َحف ِْظ َنا َها مِنْ ُك ِّل َشي‬
ٍ ‫ْط‬

Artinya : “Dan Kamu menjaganya (langit) dan tiap-tiap setan yang terkutuk. Kecuali setan
yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh
semburan api yang terang”. (QS.Al-Hijr:17-18)
C. Macam-macam Makhluk Ghoib

Allah membedakan atas alam ghoib (seperti Allah, malaikat, jin, surga, dan neraka)
dan alam tampak. Allah-lah yang paling mengetahui kedua alam tersebut.

ِ ‫ه َُو هَّللا ُ الَّذِي ال إِلَ َه إِال ه َُو َعالِ ُم ْال َغ ْي‬


‫ب َوال َّش َها َد ِة ه َُو الرَّ حْ َمنُ الرَّ حِي ُم‬
Artinya : “Dialah Allah yang tidak ada ilah kecuali Dia, yang mengetahui yang ghoib dan
yang tampak”. (QS. Al-Hasyr : 22)

‫ض َوأَعْ لَ ُم‬
ِ ْ‫ت َواألر‬ َ ‫م َقا َل أَلَ ْم أَقُ ْل لَ ُك ْم إِ ِّني أَعْ لَ ُم َغي‬4ْ ‫م َفلَمَّا أَ ْن َبأ َ ُه ْم ِبأَسْ َمائ ِِه‬4ْ ‫َقا َل َيا آ َد ُم أَ ْن ِب ْئ ُه ْم ِبأَسْ َمائ ِِه‬
ِ ‫ْب ال َّس َم َاوا‬
َ ‫ون َو َما ُك ْن ُت ْم َت ْك ُتم‬
‫ُون‬ َ ‫َما ُت ْب ُد‬

Artinya : “Sesungguhnya Aku mengetahui segala yang ghoib di langit dan di bumi dan
Aku mengetahui apa yang kalian tampakkan dan apa yang kalian sembunyikan”. (QS. Al-
Baqarah : 33)

Kita harus beriman kepada yang ghoib. “Kitab ini tidak ada keraguan di dalamnya
sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Yaitu mereka yang beriman kepada
yang ghoib….” (QS. Al-Baqarah : 2-3). Tetapi kita hanya bisa mengetahui yang ghoib
secara benar dengan cara ikhbari, yakni sejauh apa yang dikemukakan oleh Allah dan
Rasul-Nya (al-Quran dan as-Sunnah).

Alam ghoib yang diciptakan oleh Allah merupakan ujian bagi manusia selama ia
hidup di dunia. Manusia diuji apakah ketika di dunia dia beriman kepada Allah, Hari Akhir,
surga, neraka, pahala akhirat dan sebagainya – yang mana semuanya itu tidak tampak –
ataukah dia mengingkarinya.

1. Malaikat

Malaikat merupakan tentara-tentara Allah yang ditugaskan untuk urusan-urusan


tertentu. Diantara malaikat-malaikat Allah kita mengenal antara lain malaikat yang
sepuluh, delapan malaikat yang mengusung Arsy Allah.

‫ذ َث َما ِن َي ٌة‬4ٍ ‫م َي ْو َم ِئ‬4ْ ‫ِّك َف ْو َق ُه‬ َ ْ‫ك َعلَ ٰى أَرْ َجا ِئ َها ۚ َو َيحْ ِم ُل َعر‬
َ ‫ش َرب‬ ُ َ‫َو ْال َمل‬

Artinya : “Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu
delapan orang malaikat menjunjung Arasy Tuhanmu di atas (kepala) mereka”. (QS. Al-
Haaqqah : 17)
Dan malaikat-malaikat yang ditugaskan untuk menolong orang-orang mukmin
yang sedang berjihad.

‫ِين‬ ٍ ‫اب لَ ُك ْم أَ ِّني ُم ِم ُّد ُك ْم ِبأ َ ْل‬


َ ‫ف م َِن ْال َماَل ِئ َك ِة مُرْ ِدف‬ 4َ ‫ون َر َّب ُك ْم َفاسْ َت َج‬ ُ ‫إِ ْذ َتسْ َتغ‬
َ ‫ِيث‬
Artinya : “Ingatlah, ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu
diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan
kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut”. (QS. Al-Anfal : 9)

a. Sifat-sifat Malaikat :
1) Memiliki 2 atau 3 sayap (QS Faathir : 1), kecuali jibril yang merupakan malaikat
yang paling besar – memiliki 600 atau 700 sayap (Shahih Al-Bukhari)
2) Suka berkumpul di majelis dzikir atau ilmu sembari memohonkan ampun bagi
yang ada disitu dan mengepak-ngepakkan sayap mereka sebagai tanda ridha.
3) Merupakan tentara-tentara Allah yang tidak pernah bermaksiat
(membangkang) atas perintah Allah kepada mereka dan senantiasa
mengerjakan apa yang telah diperintahkan Allah kepada mereka.
4) Tidak menikah, tidak makan, dan tidak minum.
5) Tidak memasuki rumah yang didalamnya terdapat patung-patung atau gambar-
gambar yang diharamkan.
6) Menyukai tempat-tempat yang bersih

Malaikat adalah makhluk ghoib yang diciptakan Allah dari cahaya, senantiasa
menyembah Allah, tidak pernah mendurhakai perintah Allah serta senantiasa
melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka.

Keimanan kepada malaikat mengandung 4 unsur, yaitu:

1) Mengimani adanya malaikat.

Yaitu kepercayaan yang pasti tentang keberadaan para malaikat. Tidak


seperti yang dipahami oleh sebagian orang bahwa malaikat hanyalah sebuah
‘kata’ yang bermakna konotasi yang berarti kebaikan atau semacamnya. Allah
Ta’ala telah menyatakan keberadaan mereka dalam firman-Nya yang artinya :
“Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan,
mereka itu tidak mendaului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan
perintah-perintah-Nya”. (QS. Al-Anbiyaa’ : 26-27)

2) Mengimani nama-nama malaikat yang telah diketahui, sedangkan malaikat yang


tidak diketahui namanya wajib kita imani secara global.

Di antara dalil yang menunjukkan banyaknya bilangan malaikat dan tidak


ada yang dapat menghitungnya kecuali Allah Ta’ala adalah sebuah hadits shahih
yang berkaitan dengan baitul makmur. Di dalam hadits tersebut Rasulullah
Shallallau ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya baitul makmur berada
dilangit yang ketujuh setentang dengan Ka’bah di bumi, setiap hari ada 70 ribu
malaikat yang shalat di dalamnya kemudian apabila mereka telah keluar maka
tidak akan kembali lagi”. (HR. Bukhari & Muslim)

3) Mengimani sifat-sifat malaikat yang kita ketahui.

Seperti misalnya sifat jibril, dimana Nabi mengabarkan bahwa beliau


ShallAllahu ’alaihi wa sallam pernah melihat jibril dalam sifat yang asli, yang
ternyata mempunyai enam ratus sayap yang dapat menutupi cakrawala (HR.
Bukhari). Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam
musnadnya dari Abdullah bin Mas’ud radhiyAllahu ’anhu, ia berkata: “Rasulullah
shallAllahu ’alaihi wa sallam pernah melihat malaikat Jibril dalam bentuk aslinya
yang mempunyai enam ratus sayap, setiap sayap menutup ufuk, dari sayapnya
berjatuhan berbagai warna, mutiara dan permata yang hanya Allah sajalah yang
mengetahui keindahannya”.

Dalam hadits di atas disebutkan bahwa malaikat sayap dengan berbagai


warna. Hal ini menunjukkan kekuasaan Allah ‘Azza wa Jalla dan memberitahukan
bentuk Jibril ‘alaihissalam yang mempunyai enam ratus sayap, setiap sayap
menutup ufuk. Kita tidak perlu mempersoalkan bagaimana Rasullullah
shallalluhu ‘alaihi wa sallam dapat melihat enam ratus sayap dan bagaimana pula
cara beliau menghitungnya? Padahal satu sayap saja dapat menutupi ufuk? Kita
jawab: “Selagi hadits tersebut shahih dan para ulama menshahihkan sanadnya
maka kita tidak membahas mengenai kaifiyat (bagaimananya), karena Allah
Maha Kuasa untuk memperlihatkan kepada Nabi-Nya Rasullullah shallAllahu
’alaihi wa sallam hal-hal yang tidak dapat dibayangkan dan dicerna oleh akal
fikiran”.

Allah ta’ala menceritakan bahwa sayap yang dimiliki malaikat memiliki


jumlah bilangan yang berbeda-beda.

Artinya : “Segala puji bagi Allah, Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan
malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang
mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat. Allah
menambahkan pada ciptaan-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu”. (QS.Faathir:1)

Sifat malaikat yang lain adalah terkadang malaikat itu dengan kekuasaan
Allah bisa berubah bentuk menjadi manusia, sebagaimana yang terjadi pada Jibril
saat Allah mengutusnya kepada Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam untuk
mengajarkan pada manusia apa itu Islam, Iman dan Ihsan. Demikian juga dengan
para malaikat yang diutus oleh Allah kepada Ibrahim dan Luth ‘Alaihi wa sallam,
mereka semua datang dalam bentuk manusia. Para malaikat adalah hamba-
hamba Allah yang senantiasa mentaati apa yang diperintahkan oleh Allah dan
tidak pernah mendurhakai Allah Subhanahu wa Ta’ala.

4) Mengimani dengan apa yang kita ketahui tentang pekerjaan-pekerjaan malaikat.

Kita mengimani dengan apa yang kita ketahui tentang pekerjaan-pekerjaan


mereka yang mereka tunaikan berdasarkan perintah Allah Ta’ala, seperti
bertasbih (mensucikan Allah) dan beribadah kepada-Nya tanpa kenal lelah dan
tanpa pernah berhenti. Di antara para malaikat, ada yang memiliki tugas khusus,
misalnya:

a) Jibril ‘alaihissalam yang ditugasi menyampaikan wahyu dari Allah kepada


para Rasul-Nya ‘alaihimussalam.
b) Mikail yang ditugasi menurunkan hujan dan menyebarkannya.
c) Israfil yang ditugasi meniup sangkakala.
d) Malaikat Maut yang ditugasi mencabut nyawa. Dalam beberapa atsar ada
disebutkan bahwa malaikat maut bernama Izrail, namun atsar tersebut tidak
shahih. Nama yang benar adalah Malaikat Maut sebagaimana yang
disebutkan dalam firman Allah Ta’ala yang artinya: “Katakanlah: Malaikat
maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu”.
(QS. As-sajdah:11)
e) Yang ditugasi menjaga amal perbuatan hamba dan mencatatnya, perbuatan
yang baik maupun yang buruk, mereka adalah para malaikat pencatat yang
mulia. Adapun penanaman malaikat Raqib dan ‘Atid juga tidak memiliki
dasar dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka kita menanamkan malaikat sesuai
dengan apa yang telah Allah namakan bagi mereka.
f) Yang ditugasi menjaga hamba pada waktu bermukim atau bepergian, waktu
tidur atau ketika jaga dan pada semua keadaannya, mereka adalah Al-
Mu’aqqibat.
g) Para malaikat penjaga surga. Ridwan merupakan pemimpin para malaikat di
surga (apabila hadits tentang hal itu memang sah).
h) Sembilan belas malaikat yang merupakan pemimpin para malaikat penjaga
neraka dan permukaannya adalah malaikat Malik.
i) Para malaikat yang diserahi untuk mengatur janin di dalam rahim. Jika
seorang hamba telah sempurna empat bulan di dalam perut ibunya, maka
Allah Ta’ala mengutus seorang malaikat kepadanya dan memerintahkannya
untuk menulis rezekinya, ajalnya, amalnya dan sesangsara atau bahagianya.
j) Para malaikat yang diserahi untuk menanyai mayit ketika telah diletakkan di
dalam kuburnya. Ketika itu, dua malaikat mendatanginya untuk menanyakan
kepadanya tentang Rabb-Nya, agamanya dan nabinya.

b. Kesalahan-kesalahan

Terdapat kesalahan-kesalahan yang merusak keimanan kepada malaikat.


Bahkan bisa jadi kesalahan itu membawa kepada kekufuran –na’udzu billahi min
dzalik-. Oleh karena itulah, kita berlindung kepada Allah agar tidak terjatuh dalam
kesalahan tersebut. Beberapa kesalahan yang ada adalah:

1) Mengatakan bahwa malaikat adalah anak perempuan Allah. Sungguh inilah


yang juga dikatakan kaum musyirikin. Maha Suci Allah dari anggapan ini. Hal ini
terdapat dalam firman-Nya, yang artinya, “Dan mereka menetapkan bagi Allah
anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri apa yang
mereka sukai”.(QS. An-Nahl : 57)
2) Beribadah kepada para malaikat. Padahal jika mereka mau merenungi ayat-ayat
Al-Qur’an, akan jelas ditemukan bahwa para malaikat itu sendiri hanya
menyembah kepada Allah semata. Walaupun mereka diberi berbagai kelebihan
oleh Allah, mereka tetaplah makhluk Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa
enggan menyembah Allah dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-
Nya lah mereka bersujud”.
3) Menanamkan para malaikat dengan nama-nama yang tidak ditetapkan oleh
Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an dan tidak disampaikan oleh Nabi Muhammad
ShalAllahu ‘alaihi wasallam. Seperti misalnya menanamkan malaikat maut
dengan nama Izroil, malaikat pencatat amal dengan nama Roqib dan Atid.
4) Mengatakan bahwa malaikat-malaikat adalah pembantu Allah. Maha Suci Allah
dari perkataan seperti ini. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dia-lah yang
menciptakan para malaikat tersebut. Dan segala makhluk yang diciptakan Allah
adalah membutuhkan Allah. Malaikat-malaikat tersebut pun melaksanakan
tugas-tugasnya karena diperintah oleh Allah dan diberi kemampuan untuk
melaksanakannya. Kesalahan anggapan ini adalah termasuk dari kesalahan
pemahaman karena menyamakan Allah dengan makhluk, dalam hal ini adalah
menyamakan Allah dengan kondisi para raja yang membutuhkan pembantu-
pembantu untuk melaksanakan pekerjaannya. Dan ini termasuk dalam hakikat
kesyirikan, -na’udzubillah mindzalik-.

c. Buah keimanan kepada malaikat

Beriman kepada para malaikat memiliki pengaruh yang agung dalam


kehidupan setiap mukmin, di antaranya dapat kita sebutkan:

1) Mengetahui keagungan, kekuatan serta kesempurnaan kekuasaan-Nya. Sebab


keagungan (sesuatu) yang diciptakan (makhluk) menunjukan keagungan yang
menciptakan (al-Khaliq). Dengan demikian akan menambah pengagungan dan
pemuliaan seorang mukmin kepada Allah, dimana Allah menciptakan para
malaikat dari cahaya dan diberi-Nya sayap-sayap.
2) Senantiasa istiqomah (meneguhkan pendirian) dalam menaati Allah Ta’ala.
Karena barangsiapa beriman bahwa para malaikat itu mencatat semua amal
perbuatannya, maka ini menjadikannya semakin takut kepada Allah, sehingga ia
tidak akan berbuat maksiat kepada-Nya, baik secara terang-terangan maupun
secara sembunyi-sembunyi.
3) Bersabar dalam menaati Allah serta merasakan ketenangan dan kedamaian.
Karena sebagai seorang mukmin ia yakin bahwa bersamanya dalam alam yang
luas ini ada ribuan malaikat yang menaati Allah dengan sebaik-baiknya dan
sesempurna-sempurnanya.
4) Bersyukur kepada Allah atas perlindungan-Nya kepada anak Adam, dimana ia
menjadikan sebagian dari para malaikat sebagai penjaga mereka.
5) Waspada bahwa dunia ini adalah fana dan tidak kekal, yakni ketika ia ingat
Malaikat Maut yang suatu ketika akan diperintahkan untuk mencabut
nyawanya. Karena itu, ia akan semakin rajin mempersiapkan diri menghadapi
hari Akhir dengan beriman dan beramal shalih.

2. Jin

Jin dan manusia yang dua makhluk Allah yang dibebani dengan syariat agama,
sehingga dikenal pahala dan siksa. Semua jin bisa meninggal dunia kecuali Iblis dan
keturunannya yang ditangguhkan kematiannya sampai Hari Kiamat. Iblis dahulunya
juga jin tetapi setelah menolak sujud kepada Adam atas perintah Allah, ia beserta
keturunannya dilaknat oleh Allah. Jadi Iblis dan keturunnannya kafir seluruhnya,
berbeda dengan jin yang terdiri atas mukmin dan kafir. Jin yang kafir ini sering juga
disebut sebagai syaithan karena memiliki sifat yang serupa. Di samping itu, istilah
syaithan juga dipakai untuk manusia yang memiliki sifat-sifat syaithan. Adapun jin yang
muslim, sebagaimana manusia, ada yang benar-benar taat dan ada pula yang suka
berbuat maksiat.

Jin juga menikah, makan, dan minum. Keduanya tinggal di alam yang tidak
terlihat oleh manusia, tetapi mereka bisa melihat manusia. Tetapi jika mereka
menampakkan diri di alam tampak dalam wujud alam tampak maka manusia bisa
melihat mereka.

Syaithan dan jin yang ingkar menyukai tempat-tempat yang kotor dan juga
rumah-rumah yang tidak dibacakan Al-Qur’an di dalamnya dan rumah-rumah yang
penghuninya tidak pernah berdzikir kepada Allah.

Fakta mengungkapkan adanya dua kutub extreme dalam mensikapi masalh jin.
Sebagian orang tidak mengambil perhatian bahkan tidak mau tahu. Di sisi lain,
terdapat pula sebagian orang yang tersesat dalam kemusyrikan karena salah dalam
memahami masalah ini, naudzubillahi min dzalik. Padahal kita yakin bahwa Islam
adalah agama yang moderat dan comprehensive. Bagaimana sebenarnya Islam
mengatur tentang alam ghoib dan jin?

a. Ada tiga point penting dalam pembahasan dalam materi ini.


1) Sebagai seorang musllim, kitra harus beriman kepada yang ghoib seperti
meyakini adanya jin dan syaithan, percaya akan kabar-kabar yang akan dan telah
terjadi di dalm Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam QS.
Al-Baqarah ayat 3 tentang kewajiban untuk beriman kepada yang ghoib. Dalam
ayat tersebut juga menggandngkan antara sholat dengan kepercayaan terhadap
makhluk ghoib.
2) Seorang muslim harus beriman kepada takdir, baik maupun buruk. Misalnya,
apabila ada gangguan jin yang menimpa seorang muslim, maka harus dipercayai
sebagai takdir.
3) Seorang muslim harus selalu berusaha untuk bersabar dalam menjalani takdir.

Takut kepada jin? Jangan pernah merasa takut kepada setan dan jin. Dalam
QS. Al-A’rof ayat 27 dikatakan bahwa setan tidak ada yang benar, dia selalu
berkhianat dan membawa kesesatan. Hanya orang yang tidak berimanlah yang
menjadikan setan dan jin sebagai pemimpin. Allah telah menciptakan manusia
sebagai ciptaan yang paling mulia dia antara makhluk yang lain sebagaimana dalam
QS. Al-Isro’ ayat 70. Abu Bakar Al Jaziri berkata bahwa sesungguhnya jika terdapat
jin yang paling sholih dalam golongan jin, maka manusia lebih mulia daripada dia.
Sehingga kita tidak boleh takut kepada jin, menghormati jin bahkan meminta
perlindungan kepada jin (QS. Al-Jin ayat 6), naudzubillahi min dzalik. Kita sering
menyaksikan di masayarakat, misalnya ketika melewati jembatan yang konon “ada
yang menunggu” , maka pengemudi akan membunyikan klakson terlebih dahulu
agar tidak diganggu. Nah, praktik seperti ini adalah tidak ada syariatnya. Hal ini
merupakan bagian dari penghormatan terhadap jin. Padahal, semakin jin dihormati
maka dia akan menjadi semakin besar kepala.

b. Apa yang dimaksud dengan Jin?

Kata jin berasal dari jana-yajinu yang berarti sesuatu yang terhalang. Disebut
janah yaitu surga yang ditutupi oleh pohon yang rindang. Tameng atau alat
pelindung orang yang berperang disebut jina. Orang gila disebut majnun yang
artinya akal pikiran telah tertutup. Asal usul jin sebagaimana disebutkan dalam QS.
Al-Hijr ayat 26-27 bahwa jin diciptakan dari api yang sangat panas. Seorang muslim
tidak akan pernah dapat melihat jin dalam rupa aslinya kecuali jin tersebut
menjelma dalam bentuk manusia maupun binatang.

Jin hidup pula seperti manusia, yaitu berkabilah maupun bersuku-suku. Jin
terdiri dari tiga jenis:

1) Jin dari bangsa yang terbang di luar angkasa. Ini merupakan jin yang tertinggi
pangkatnya yang sering mencuri berita dari langit. Mereka biasanya bersekutu
dengan tukang sihir.
2) Jin dari kelompok ular dan anjing. Mereka biasanya berwarna hitam. Jin dalam
wujud ular dahulu ada pada zaman Rasulullah SAW. Apabila melihat ular maupun
anjing kita tidak boleh membunuhnya secara langsung. Kita diperintahkan untuk
mengusirnya terlebih dahulu dengan menyebut asma Allah sebanyak tiga kali,
baru kemudian membunuhnya apabila binatang tersebut tidak mau pergi.
3) Jin dari kelompok berkaki dua dan berkaki empat. Misalnya jin yang berwujud
manusia. Sahabat nabi, Abu Hurairan pernah suatu ketika didatangi oleh jin yang
berwujud orang tua. Jin tersebut mencuri di baitul mal, pergi selama berkali-kali
kemudian ditangkap. Jin tersebut juga mengajari ayat kursi kepada Abu Hurairah.
Para ulama menyepakati tentang diperbolehkannya menerima ajaran jin
tersebut, karena mengandung kebaikan.
Dalam QS.Az-Zariyat ayat 56 dan QS.Al-Ahqaf ayat 29 dikatakan bahwa
diciptakannya jin adalah untuk beribadah kepada Allah. Apakah antara jin dan
manusia dapat melakukan perkawinan? Ibnu Taimiyah berkata bahwa keduanya
dapat berkawin dan memiliki keturunan. Para ulama juga bersepakat bahwa
keduanya dapat terjadi perkawinan antara jin dan manusia.

c. Dimanakah tempat tinggal jin?


1) Tanah lapang, lembah-lembah dan lereng-lereng. Kita tidak boleh membiarkan
tanah kosong yang tidak ditempati sebagai tempat bermain anak-anak.
2) Tempat sampah dan tempat yang terdapat makanan.
3) Tandas dan tempat berwudhu.
4) Tanah-tanah yang retak, lubang-lubang maupun gua.
5) Tinggal bersama manusia di rumah.
6) Kandang onta sebagaimana sebuah hadits yang mengatakan bahwa Rasulullah
SAW melarang sholat di kandang onta.
7) Tempat yang ditinggal oleh tuannya.
8) Kuburan sebagaimana hadits yang mengatakan bahwa semua tempat di bumi ini
adalah suci kecuali kuburan dan kamar mandi.
9) Pasar-pasar. Terdapat sebuah hadits yang melarang kita untuk menjadi orang
pertama dalam pasar dan melarang menjadi orang terakhir yang berada di pasar.

D. Implementasi Keimanan Kepada Makhluk Ghoib

Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Agama sempurna dan penyempurna bagi
ajaran para Nabi sebelum Nabi Muhammad ShallAllahu ’alaihi wa sallam, agama yang
telah memadukan antara konsep keilmuan yang benar dengan konsep keimanan yang
lurus. Keilmuan yang berasaskan keimanan, dan keimanan yang ditunjang oleh keilmuan.

Adapun keilmuan semata tanpa memperdulikan norma-norma keimanan, maka


kesudahannya adalah kebinasaan, sebagaimana halnya orang-orang Yahudi dan yang
sejenisnya.D emikian pula keimanan (termasuk di dalamnya amalan) semata tanpa
memperdulikan keilmuan, kesudahannya adalah kesesatan, sebagaimana halnya orang-
orang Nashrani dan yang sejenisnya. Perpaduan antara dua konsep inilah yang
menjadikan Islam sebagai agama wasathan (adil dan pilihan) dan bersih dari segala
bentuk sikap berlebihan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: ”Oleh karena itu, di antara para imam
penulis kitab hadits yang menggunakan metode penyusunan berdasarkan babnya, ada
yang melulai penyusunannya dengan (menyebutkan hadits-hadits tentang) pokok
keilmuan dan keimanan. Sebagaimana yang dilakukan Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab
Shahih-nya, yang mana beliau memulainya dengan Kitab Bad’il Wahyi (awal mula
turunnya wahyu); yang merinci tentang kondisi turunnya ilmu dan iman kepada
Rasulullah ShallAllahu ’alaihi wa sallam, kemudian mengiringinya dengan Kitabul Iman
yang merupakan asas keyakinan terhadap apa yang dibawa Beliau ShallAllahu ’alaihi wa
sallam, setelah itu diiringi dengan Kitabul Ilmi yang merupakan perangkat untuk
mengenal apa yang dibawa Rasulullah ShallAllahu ’alaihi wa sallam, demikianlah tertib
penyusunan yang hakiki. Begitu pula Al-Imam Abu Muhammad Ad-Darimi…”.

Alam ghoib ibarat alam yang gelap gulita, sedangkan al-Qur’an dan hadits Nabi
ShallAllahu ’alaihi wa sallam ibarat dua cahaya yang terang benderang. Dengan dua
cahaya itulah berbagai peristiwa dan kejadian di alam ghoib tersebut menjadi jelas dan
terang. Atas dasar itulah, setiap pribadi muslim wajib untuk mengembalikannya kepada
firman Allah (al-Qur’an) dan petunjuk Rasulullah ShallAllahu ’alaihi wa sallam (al-Hadits).

Bila demikian, berarti semua perkara ghoib haruslah ditimbang dengan timbangan
Islam yaitu; al-Qur’an dan al-Hadits dengan pemahaman para shahabat Nabi ShallAllahu
’alaihi wa sallam. Jika perkara ghoib (baca: yang dianggap ghoib) ternyata tidak ada
keterangannya di dalam al-Qur’an dan al-Hadits, maka keberadaannya tidak boleh
diimani dan diyakini. Dan jika perkara ghoib tersebut diterangkan di dalam al-Qur’an dan
al-Hadits, baik berkaitan dengan peristiwa-peristiwa di masa lampau maupun di masa
datang, serta berbagai keadaan di akhirat, maka keberadaannya harus diimani dan
diyakini, walaupun pandangan mata dan akal kita tidak menjangkaunya.

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata: “Iman kepada perkara ghoib ini


mencakup keimanan kepada semua yang Allah Subhanahuwa Ta’ala dan Rasul-Nya
ShallAllahu’alaihi wa sallam beritakan dari peristiwa-peristiwa ghoib di masa lampau dan
di masa yang akan datang, bebagai keadaan di hari kiamat, dan tentang hakekat sifat-sifat
Allah Subhanahu wa Ta’ala”.
Beriman dengan (adanya) perkara ghoib yang diberitakan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya merupakan salah satu ciri orang yang bertaqwa. Sedangkan tidak
beriman dengan perkara ghoib tersebut merupakan ciri orang kafir atau ahli bid’ah. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Artinya: “Alif laam miim. Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa.(Yaitu) mereka yang beriman kepada perkara ghoib, yang
mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang kami anugerahkan kepada
mereka”. (QS. Al-Baqarah : 1-3)

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Hakikat iman adalah


keyakinan yang sempurna terhadap semua yang diberitakan para Rasul, yang mencakup
ketundukan anggota tubuh kepadanya. Iman yang dimaksud disini bukanlah yang
berkaitan dengan perkara yang bisa dijangkau panca indera, karena dalam perkara yang
seperti ini tidak berbeda antara muslim dengan kafir. Akan tetapi permasalahannya
berkaitan dengan perkara ghoib yang tidak bisa kita lihat dan saksikan (saat ini). Kita
mengimaninya, karena (adanya) berita yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya ShallAllahu ’alaihi wa sallam. Inilah keimanan yang membedakan antara
muslim dengan kafir, yang mengandung kemurnian iman kepada Allah dan Rasul-Nya
ShallAllahu ’alaihi wa sallam. Maka seorang mukmin (wajib) mengimani semua yang
diberitakan Allah dan Rasul-Nya baik yang dapat disaksikan oleh panca inderanya maupun
yang tidak dapat disaksikannya. Baik yang dapat dijangkau oleh akal dan nalarnya
maupun yang tidak dapat dijangkaunya. Hal ini berbeda dengan kaum zanadiqah (yang
menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran) dan para pendusta perkara
ghoib (yang telah diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya ShallAllahu ’alaihi
wa sallam). Dikarenakan akalnya yang bodoh lagi dangkal serta jangkauan ilmunya yang
pendek. Maka rusaklah akal-akal (pemikiran) mereka itu, dan bersihlah akal-akal
(pemikiran) kaum mukminin yang selalu berpegang dengan petunjuk Allah Subhanahu wa
Ta’ala”.

Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullahu berkata: “(Setiap muslim,-pen)


wajib beriman kepada semua yang diberitakan Nabi ShallAllahu ’alaihi wa sallam dan apa
yang dinukil secara shahih dari beliau ShallAllahu ’alaihi wa sallam, baik perkara tersebut
dapat dilihat mata maupun yang bersifat ghoib. Kita mengetahui (baca; meyakini) bahwa
semua itu benar, baik yang dapat dijangkau akal maupun yang tidak bisa dijangkau dan
tidak dimengerti hakikat maknanya”.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Berbagai macam berita


yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi ShallAllahu ’alaihi wa sallam maka benar
keberadaannya dan wajib dipercayai, baik dapat dirasakan oleh panca indera kita maupun
yang bersifat ghoib, baik yang dapat dijangkau oleh akal kita maupun yang tidak”.

Demikianlah manhaj (prinsip) yang benar di dalam menyikapi alam ghoib dan
berbagai peristiwanya. Siapa saja yang berprinsip dengannya, maka dia beruntung dan
berada di atas jalan yang lurus. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Artinya: “Maka orang-orang yang beriman kepadanya (Nabi Muhammad


ShallAllahu’alaihi wa sallam), memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang
terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang
beruntung”.(QS. Al-A’raf : 157)

E. Kesimpulan
Dari bahasan di atas dapatlah diambil pelajaran bagi kaum muslimin bahwa:
1. Setiap muslim wajib beriman dengan (adanya) alam ghoib dan semua peristiwanya
yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Baik yang dapat dijangkau
oleh akal dan panca indera maupun yang tidak
2. Mengedepankan akal dalam permasalahan semacam ini merupakan pangkal
kesehatan.
3. Setiap muslim wajib memahami berita yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan Rasul-Nya tentang alam ghoib dan peristiwanya, dengan pemahaman Rasulullah,
para shahabat Rasulullah (as-salafush shalih), karena dia merupakan jalan yang lurus.
Dan tidak dengan pemahaman ahli, filsafat, atheis sufi, dan bahkan atheis dahriyyah
yang menyesatkan.

Anda mungkin juga menyukai