Abstrak 3 Wakalah
Abstrak 3 Wakalah
Abstrak 3 Wakalah
Dosen Pembimbing:
Abstrak
Islam memberikan peluang bagi umatnya untuk melakukan kreasi di bidang ekonomi
atau muamalah agar bisa memudahkan umatnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pembolehan kreasi tersebut tidak lepas begitu saja, tetapi tetap merujuk pada aturan-aturan
umum yang telah digariskan. Apabila perilaku manusia melanggar aturan umum, maka hal
tersebut tidak dibolehkan dalam Islam. Kreasi manusia bidang muamalah banyak ditemukan
dalam lembaga keuangan. Wakalah adalah salah satu bentuk akad yang mana dapat
membantu seseorang dalam melakukan pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh orang
tersebut, tetapi pekerjaan tersebut masih tetap berjalan seperti layaknya yang telah
direncanakan. Wakalah dapat diartikan sebagai pelimpahan kekuasaan seseorang kepada
orang lain dengan menjalankan amanat tertentu. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui konsep akad wakalah berdasarkan tinjauan Fiqih Muamalah, fatwa DSN, HES,
dan untuk mengetahui aplikasi akad wakalah yang dilakukan di Lembaga Keuangan Syariah.
Jenis penelitian dengan studi pustaka yaitu suatu bentuk metodologi pengumpulan data dan
informasi dengan menelusuri buku-buku dan beberapa literarture terkait. Dari hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa implementasi akad wakalah pada lembaga keuangan syariah dalam
pelaksanaannya terjadi beberapa ketidaksesuaian yang berakibat tidak terlaksananya sesuai
ketentuan yang semestinya, sehingga hal ini mengindikasikan adanya aturan yang dilanggar.
PENDAHULUAN
Islam adalah suatu pandangan hidup yang mengatur semua sisi kehidupan manusia,
jadi tidak ada satupun aspek kehidupan manusia yang terlepas dari ajaran Islam, termasuk
aspek ekonomi. Dengan demikian, Islam juga mengatur tentang transaksi yang akan
dilakukan baik di lembaga keuangan maupun non lembaga keuangan. Dengan konsep bahwa
agama Islam bukan agama yang mempersulit urusan manusia tetapi Islam adalah agama yang
selalu punya jalan keluar pada setiap kesulitan yang dihadapi oleh umatya. Salah satunya
dalam bidang ekonomi atau muamalah yang mana Islam memberikan suatu prinsip selama
tidak ada dalil yang mengharamkan, maka persoalan muamalah itu dibolehkan. Dengan
konsep ini, memberikan peluang bagi manusia untuk berkreasi demi memudahkan segala
urusan bisnisnya, termasuk dalam bertransaksi antara pihak lembaga keuangan dengan
nasabahnya.
Makalah ini akan membahas mengenai akad wakalah (perwakilan), yang semuanya itu sudah
ada dan diatur dalam al Qur’an, Hadist, maupun dalam kitab-kitab klasik yang telah dibuat
oleh ulama terdahulu. Untuk mengetahui tentang hukum wakalah, sumber-sumber hukum
wakalah, dan bagaimana seharusnya wakalah diaplikasikan dalam kehidupan kita.
Wakalah sangat berperan penting dalam kehidupan sehari-hari. Hukum wakalah adalah
boleh, karena wakalah dianggap sebagai sikap tolong-menolong antar sesama, selama
wakalah tersebut bertujuan kepada kebaikan. Namun, pembolehan akad wakalah ini tidak
serta merta tanpa ada aturan yang mesti diikuti oleh kedua belah pihak yang berakad. Ulama
telah merumuskan tentang atauran-aturan tersebut dan mesti ditaati oleh pihak-pihak yang
akan menerapkannya termasuk lembaga keuangan syariah.
Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis kepustakaan (library research) dengan pendekatan kualitatif. Untuk memperoleh
informasi tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan persoalan penelitian, yaitu dengan menelaah buku-
buku atau sumber lainnya tentang topik penelitian.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wakalah
Secara etimologi wakalah berarti menyerahkan, mewakilkan dan menjaga.1
Wakalah dari sudut bahasa fuqaha merupakan penyerahan tugas kepada orang lain
untuk mengendalikan urusan-urusan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Wakalah dapat diartikan sebagai pelimpahan kekuasaan seseorang kepada orang
lain dengan menjalankan amanat tertentu. 2 Dari pengertian tersebut dapat diketahui
bahwa yang dimaksud akad wakalah adalah penyerahan dari seseorang kepada orang
lain untuk mengerjakan sesuatu dimana perwakilan tersebut berlaku selama yang
mewakilkan masih hidup.
Wakalah memiliki beberapa makna yang berbeda menurut pandangan para ulama,
berikut ini adalah masing-masing pandangan dari para ulama yaitu:3
1) Menurut Hasbi As Shiddieqy, Wakalah adalah akad penyerahan kekuasaan yang
pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai penggantinya dalam bertindak
(bertasharruf).
2) Menurut Sayyid Sabiq, Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang
kepada orang lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.
3) Menurut Ulama Malikiyah, Wakalah adalah penggantian oleh seseorang terhadap
orang lain di dalam haknya di mana ia melakukan tindakan hukum seperti
tindakannya, tanpa mengaitkan penggantian tersebut dengan apa yang terjadi setelah
kematian.
4) Menurut Ulama Hanafiyah, Wakalah adalah penempatan seseorang terhadap orang
lain di tempat dirinya dalam suatu tasarruf yang dibolehkan dan tertentu, dengan
ketentuan bahwa orang yang mewakilkan orang yang memiliki hak tasarruf.
5) Menurut Ulama Syafi’iyah, Wakalah adalah penyerahan oleh seseorang kepada
orang lain terhadap sesuatu yang ia berhak mengerjakannya dan sesuatu itu bisa
digantikan, untuk dikerjakannya pada masa hidupnya.
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-
MUI) NO.10/DSN-MUI/IV/2000 wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh satu
1
Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah (Jakarta:Kencana, 2012), h. 300
2
Ismail. Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 194
3
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 417
pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.4 Akad wakalah pada
hakikatya adalah akad yang digunakan oleh seseorang apabila dia membutuhkan
orang lain atau mengerjakan sesuatu yang tidak dapat dilakukannya sendiri dan
meminta orang lain untuk melaksanakannya.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) pasal 20 ayat 19
mendefinisikan wakalah sebagai “Pemberian kuasa kepada pihak lain untuk
mengerjakan sesuatu.” Kuasa dalam konteks ini kuasa untuk menjalankan kewajiban
dan juga kuasa untuk menerima hak. Kuasa untuk menjalankan kewajiban misalnya
seseorang mewakilkam kepada orang lain untuk membayar hutang. Sementara kuasa
untuk menerima hak seperti mewakilkan untuk menerima pembayaran hutang.
Seorang wakil sepenuhnya menjalankan dan kewenangan dan tanggung jawab orang
yang diwakilinya. Artinya, perwakilan dalam wakalah mencakup penerimaan hak dan
kewajiban.
Penerima kuasa (wakil) boleh menerima komisi (al-ujur) dan boleh tidak
menerima komisi (hanya mengharapkan ridho Allah/ tolong menolong). Tetapi bila
ada komisi atau upah maka akadnya seperti akad ijarah/ sewa menyewa. Wakalah
dengan imbalan disebut dengan wakalah bil-ujrah, bersifat mengikat dan tidak boleh
dibatalkan secara sepihak.5
4
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) NO.10/DSNMUI/IV/2000
tentang wakalah
5
Sri Nurhayati-Wasilah. Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2014), h. 254
a. Al-Qur’an
- Salah satu dibolehkannya wakalah adalah firman Allah berkenaan dengan
kisah Ashabul al-Kahfi, dalam QS. Al-Kahfi [18] :19
اق َبْينِ ِه َم ا فَ ْاب َع ُث ْوا َح َك ًم ا ِّم ْن اَ ْهلِهٖ َو َح َك ًم ا ِّم ْن اَ ْهلِ َه ا ۚ اِ ْن يُِّريْ َدآ
َ َواِ ْن ِخ ْفتُ ْم ِش َق
صاَل ًحا يُّ َوفِّ ِق ال ٰلّهُ َبْيَن ُه َما ۗ اِ َّن ال ٰلّهَ َكا َن َعلِْي ًما َخبِْيًراِ
ْا
Artinya : “Dan jika kalian khawatirkan terjadi persengketaan di antara
keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga wanita. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. An-Nisa
[4]: 35)
- Dan Allah menceritakan tentang Yusuf bahwa beliau berkata kepada raja (QS.
Yusuf [12] :55)
ٌ ضاِيِّنْ َح ِفْي
ظ َعلِْي ٌم ِ ۚ اج َع ْليِن ْ َع ٰلى َخَزاۤ ِٕى ِن ااْل َْر
ْ ال
َ َق
Artinya: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), karena
sesungguhnya aku adalah perang yang pandai menjadi dan berpengetahuan.
(QS. Yusuf [12] :55).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Nabi Yusuf menyatakan siap untuk
menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga urusan ekonomi negeri Mesir.
ضا َف ْلُي َؤ ِّد الَّ ِذى ْاؤمُتِ َن اََما َنتَهٗ َولْيَت َِّق ال ٰلّهَ َربَّ ٗه
ً ض ُك ْم َب ْع
ِ ِ
ُ فَا ْن اَم َن َب ْع
“Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah …”
b. As-Sunnah
- Al-Hadis Malik dalam Muwaththa:
Terdapat beberapa hadis yang membolehkan pelaksanaan akad
wakalah berikut, yang di anggap relevan dengan hukum wakalah:
Artinya :“Dan dari Sulaiman bin Yasar: Bahwa Nabi saw, mengutuskan Abu
Rafi, hamba yang pernah dimerdekakannya dan seorang laki-laki Anshar,
lalu kedua orang itu menikahkan Nabi dengan Maimunah binti harits dan
pada saat itu (Nabi saw) di Madinah sebelum keluar (ke Mieqat Dzil
Khulaifah).”
(HR. Malik dalam Muwaththa’).6
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan kepada
orang lain untuk berbagai urusan. Di antaranya adalah membayar utang,
mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurus unta,
membagi kandang hewan, dan lain-lainnya.
6
Mardani. Hukum Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015,) h. 236
Artinya: “Dan, tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan janganlah kamu tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) dosa dan
permusuhan.” (Al-Ma’idah [5] :2)
7
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI,
Ciputat: CV Gaung Persada, 2006, h.62-67
a. bahwa dalam rangka mencapai suatu tujuan sering diperlukan pihak lain untuk
mewakilinya melalui akad wakalah, yaitu pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak
kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan;
b. bahwa praktek wakalah pada LKS dilakukan sebagai salah satu bentuk pelayanan
jasa perbankan kepada nasabah;
c. bahwa agar praktek wakalah tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN
memandang perlu menetapkan fatwa tentang wakalah untuk dijadikan pedoman oleh
LKS.
Mengingat:
1. Firman Allah QS. al-Kahfi [18]: 19:
2. Firman Allah dalam QS. Yusuf [12]: 55
3. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 283:
4. Firman Allah QS. al-Ma’idah 5:2
5. Hadis-hadis Nabi, antara lain: HR. Malik dalam al-Muwaththa’) (HR. Bukhari dari
Abu Hurairah
6. Hadist Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
7. Umat Islam ijma’ atas kebolehkan wakalah, bahkan memandangnya sebagai
sunnah, karena hal itu termasuk jenis ta’awun (tolong-menolong) atas dasar kebaikan
dan taqwa, yang oleh al-Qur'an dan hadis.
8. Kaidah fiqh: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali
ada dalil yang mengharamkannya.”
Syarat Wakalah
Perwakilan tidak sah kecuali apabila syarat-syarat yang menjadi sahnya
wakalah terpenuhi. Diantara syarat-syarat ini ada yang berkaitan dengan muwakil, ada
yang berkaitan dengan wakil, dan ada pula yang berkaitan dengan muwakkal fih
(sesuatu yang diwakilkan).
1). Syarat Muwakil, Disyaratkan agar muwakil adalah orang yang memiliki kekuasaan
untuk bertindak dalam apa yang diwakilkannya. Apabila muwakil tidak memiliki
otoritas untuk bertindak, seperti orang gila, dan anak kecil yang belum mumayis,
maka penunjukan wakil olehnya tidak sah.
2). Syarat wakil, Wakil yang disyaratkan adalah orang yang berakal. Apabila dia
adalah orang gila, orang idiot, atau anak kecil yang belum mumayis maka penunjukan
sebagai wakil gagal.
3). Syarat muwakkal fih, Disyaratkan agar muwakkal fih adalah sesuatu yang
diketahui oleh wakil.
F. Ketentuan Wakalah
Dalam tataran teknis wakalah diatur dalam ketentuan Pasal 36 huruf c poin
pertama PBI No.6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yang intinya menyatakan bahwa bank wajib
menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam kegiatan usahanya yang
meliputi melakukan pemberian jasa pelayanan perbankan berdasarkan akad wakalah.
Bentuk-bentuk Wakalah
Adapun bentuk-bentuknya dalam KHES pasal 456 dijelaskan bahwa transaksi
pemberian kuasa dapat dilakukan dengan mutlak dan/ atau terbatas, ialah:
(1). Wakalah Muqayyadah (khusus), yaitu pendelegasian terhadap pekerjaan tertentu.
Dalam hal ini seorang wakil tidak boleh keluar dari wakalah yang ditentukan. Maka
melakukan perbuatan hukumnya secara terbatas (pasal 468 KHES)
(2). Wakalah Mutlaqah, yaitu pendelegasian secara mutlak, misalnya sebagai wakil
dalam pekerjaan. Maka seorang wakil dapat melaksanakan wakalah secara luas. Maka
melakukan perbuatan hukumnya secara mutlak (pasal 467 KHES)
(3). Al-Wakalah Al-Aamah yaitu bentuk wakalah antara yang luas dan yang terbatas.
Sedangkan KUHPer pasal 1795 dan 1796 Pemberian kuasa dapat dilakukan
secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara
umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa. Pemberian kuasa yang
dirumuskan secara umumhanya meliputi tindakan- tindakan yang menyangkut
pengurusan.
Untuk memindahtangankan barang atau meletakkan hipotek di atasnya, untuk
membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat
dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata
yang tegas.
Perbedaan Wakalah
Wakalah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu wakalah disertai upah atau
imbalan wakalatu bi-ujrin, dan wakalah tanpa upah wakalatu bighoiri ujrin. Kedua
jenis wakalah ini diperbolehkan, namun dalam wakalah jenis pertama berlaku
ketentuan ijarah. Artinya penerima wewenang, pemeliharaan berkewajiban
mengerjakan pekerjaan yang dilimpahkan sampai selesai. Sedangkan dalam wakalah
jenis kedua berlaku hukum kebiasaan al-urf . artinya imbalan kalau ada, disesuaikan
dengan adat kebiasaan dan tidak diberlakukan akad ijarah.
Dua jenis wakalah yang penulis paparkan diatas tergantung dengan apa yang
di wakilkan, kepada siapa mewakilkan, dan dalam kondisi apa praktek perwakilan
tersebut dilakukan. Jika wakalah yang dilakukan tanggung jawabnya berat,
pengrjaannya sulit, memrlukan biaya, menyita waktu, dan lain sebagainya, maka
wakil layak mendapatkan ujrah sesuai dengan apa yang dikerjakannya. Tetapi jika
praktek wakalahnya tidak berat sebagaimana tadi sudah disampaikan, seperti, dirumah
tangga, dengan masyarakat, teman, maka bentuk wakalah ini memakai ketentuan urf.
3. Inkaso
Inkaso adalah pemberian kuasa pada bank oleh perusahaan atau perorangan
untuk menagihkan, atau memintakan persetujuan pembayaran (akseptasi) atau
menyerahkan begitu saja kepada pihak yang bersangkutan (tertarik) di tempat lain
(dalam atau luar negeri) atas surat-surat berharga, dalam rupiah atau valuta asing
seperti wesel, cek, kwintansi, surat askep (promissory notes), dan lain-lain.
Inkaso merupakan jasa penagihan yang diberikan oleh bank terhadap warkat
kliring dan/atau surat berharga yang diterbitkan oleh bank yang berada di luar
10
Ibid, h. 215
wilayah kliring. Warkat yang diinkasokan sama halnya dengan warkat kliring
antara lalin: cek, bilyet giro, dan warkat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Hasil inkaso atau tagihan yang dilakukan oleh bank dengan menggunakan jasa
inkaso memakan waktu kurang lebih lima hari kerja.11
Bentuk wakalah dalam inkaso adalah adanya pemberian otoritas oleh pihak
tertentu kepada pihak bank untuk melakukan penagihan. Artinya bank mewakili
pihak yang memberikan perwakilan kepadanya.
4. Letter Of Credit
Letter of credit (L/C) adalah surat pernyataan akan membayar kepada yang
diterbitkan oleh Bank untuk kepentingan Importir / Eksportir dengan pemenuhan
persyaratan tertentu sesuai dengan prinsip syariah L/C syariah dalam
pelaksanaannya dapat menggunakan akad-akad: Wakalah bil Ujrah, Qardh,
Murabahah, Salam/ Istishna, Mudharabah, Musyarakah, dan Hawalah, Ijarah.
Bagi L/C yang menggunakan akad Wakalah tugas wewenang dan tanggung jawab
bank harus jelas sesuai kehendak nasabah bank. Setiap yang dilakukan harus
mengatas namakan nasabah dan harus dilaksanakan oleh bank. Atas pelaksanaan
tugasnya tersebut, bank mendapat pengganti biaya berdasarkan kesepakatan
bersama. Pemberian kuasa berakhir setelah tugas dilaksanakan dan disetujui
bersama antara nasabah dengan bank.12
Mengenai Latter of Creadit Impor Syari’ah telah diatur dalam fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No. 34/DSN-MUI/IX/2002, dengan menggunakan akad
wakalah bil ujrah. Dan tentang Latter of Creadit Ekspor Syari’ah yang
menggunakan akad wakalah diatur dalam fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.
35/DSN-MUI/IX/2002. Adapun proses latter of credit diawali dengan transaksi
jual-beli dengan syarat cara pembayaran menggunakan latter of credit. Kemudian
pihak pembeli mengajukan aplikasi latter of credit kepada Bank devisa di
Negaranya. Setelah itu bank penerbit melakukan pengiriman surat latter of credit
kepada beneficiary (penerima) Bank koresponden yang ada di Negara penjual.
Setelah itu Bank koresponden (advising bank) sebagai Bank yang meneruskan
akan memberikan informasi kepada Nasabah bahwa latter of credit telah dibuka.
Setelah penjual menerima latter of credit barang akan dikirim kepada pembeli.
Adapun dokumen asli akan diserahkan kepada advising bank sedangkan pembeli
11
Ismail, op.cit., h. 197-198
12
Imam Mustofa, op.cit., h. 216
akan meneriman dokumen salinan, setelah dokumen diperiksa pihak advising
bank akan melakukan proses pembayaran. Dokumen yang sudah diterima advising
bank kemudian akan dikirim ke issuing bank (bank pembuka L/C) kemudian
issuing bank akan membayar kepada pihak advising bank. Setelah dinotifikasi
oleh issuing bank pihak pembuka latter of credit akan membayar semua kewajiban
kepada advising bank. Fungsi latter of credit dalam perdagangan internasional
yaitu merupakan sebuah kontrak yang dapat menyelesaikan transaksi perdagangan
internasional, memberikan pengamanan bagi pihak yang terlibat dalam transaksi,
merupakan suatu instrumen yang berhubungan dengan dokumen-dokumen bukan
atas barang atau jasa, membantu issuing bank memberikan fasilitas pembiayaan
kepada importir serta menjamin dan memperlancarpembayaran dari importir
dengan melalui jasa perbankan.
Murabahah bil wakalah adalah jual beli dengan sistem wakalah. Dalam jual
beli sistem ini, pihak penjual mewakilkan pembeliannya kepada nasabah. Dengan
demikian, akad pertama adalah akad wakalah setelah akad wakalah berakhir
yang ditandai dengan penyerahan barang dari nasabah ke Lembaga Keuangan
Syariah, kemudian pihak lembaga memberikan akad murabahah.
Dengan begitu, aktivitas ini terdiri dari dua janji (kesepakatan), yaitu janji
dari nasabah (pemberi amanah) untuk membeli barang, dan janji dari bank untuk
menjual barang dengan cara murabahah, atau dengan menambahkan keuntungan
terhadap harga pertama.13
Sesuai dengan ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional
No:04/DSNMUI/IV/2000 Pasal 1 Ayat 9: “jika bank hendak mewakilkan kepada
nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus
dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank” Sesuai dengan
ketentuan Fatwa DSN MUI, akad murabahah bil wakalah dapat dilakukan dengan
syarat jika barang yang dibeli oleh nasabah sepenuhnya sudah menjadi milik
lembaga keuangan syariah, kemudian setelah barang tersebut dimiliki lembaga
13
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu terjemahan Indonesia Jilid 5 (Jakarta:Gema
Insani Darul Fikir, 2011), 366
keuangan syariah, maka akad murabahah dapat dilakukan.14
Akad murabahah bil wakalah adalah jual beli dimana lembaga keuangan
syariah mewakilkan pembelian produk kepada nasabah. Setelah produk tersebut
didapatkan oleh nasabah, kemudian nasabah memberikannya kepada pihak
lembaga keuangan syariah. Setelah barang tersebut dimiliki pihak lembaga dan
harga dari barang tersebut jelas, maka pihak lembaga menentukan margin yang
didapatkan serta jangka waktu pengembalian yang akan disepakati oleh pihak
lembaga keuangan syariah dan nasabah.15
Berdasarkan hal-hal tersebut dapat disimpulkan bahwa, peran bank selaku ba’i
salam pembiayaan murabahah lebih tepat digambarkan sebagai pembiayaan dan
bukan penjual barang, karena bank tidak memegang barang, tidak pula mengambil
resiko atasnya. Kerja bank (ba’i) hampir semuanya hanya terkait dengan penanganan
dokumen-dokumen. Kontrak murabahah umumnya ditanda tangani sebelum ba’i
mendapatkan barang yang dipesan oleh musytari, dalam kontak tersebut musytari lah
yang harus berhati-hati dan mematuhi hukum dan aturan yang terkait dengan
pengiriman barang, rasio laba, dan spesifikasi yang benar. Musytari sendirilah yang
menanggung semua tanggung jawab atas denda atau sanksi hukum yang diakibatkan
dari pelanggaran hukum tersebut. Ba’i tidak berkeinginan memikul tanggungjawab
yang terkait dengan barang, karena itu segala resiko yang terkait dengannya yang
secara teoritis harus ditanggung ba’i, secara efektif telah terhindar. Musytari
menyelesaikan kerugian tersebut bukan dengan ba’i akan tetapi dengan pihak
supplier.
16
Lathif, A. (2013). Konsep dan Aplikasi Akad Murabahah pada Perbankan Syariah di
Indonesia. AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah, 12, 7475.
Tipe ketiga ini merupakan tipe yang paling banyak dipraktekkan oleh bank
syariah. Praktik ini dikenal dengan akad murabahah bil wakalah. Murabahah
didasarkan pada Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSN-MUI/2000 tentang
Ketentuan Umum Akad Murabahah dalam Bank Syariah. Fatwa tersebut telah
merumuskan ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan akad murabahah, akan tetapi
dalam pelaksanaannya terdapat beberapa ketentuan yang tidak sesuai dengan fatwa
tersebut. Diantaranya:
Ketentuan pertama: Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank
sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
Terhadap ketentuan pertama ini, Bank dalam proses pembiayaan murabahah
selalu disertai dengan akad wakalah, tidak menggunakan akad murabahah murni. Hal
ini bertentangan dengan Pasal yang tercantum dalam Fatwa DSN di atas. Pasal
tersebut secara jelas menyatakan “bank membeli”. Maksudnya, bank bertindak secara
aktif atau pasif untuk membeli barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Jika dirunut
lebih jauh, model pembiayaan murabahah seperti ini terjadi ketidaksesuaian. Pihak
bank tidak pernah membelikan atau menyediakan barang yang dibutuhkan nasabah
secara langsung. Proses penyediaan barang tersebut memang tidak harus dilakukan
sendiri oleh bank, akan tetapi dalam konsep muamalah, proses membeli barang ini
dapat dilakukan oleh seorang wakil dengan menggunakan akad wakalah. Implikasi
yang terjadi dari proses membeli ini baik secara langsung maupun diwakilkan, adalah
barang tersebut secara prinsip menjadi milik pihak yang membeli. Apabila pembelian
dilakukan dengan cara mewakilkan dengan akad wakalah, maka barang menjadi milik
pihak yang mewakilkan. Wakil bertindak untuk dan atas nama yang mewakilkan
(muwakil). Hal inilah yang terkadang tidak terjadi dalam proses pembiayaan
murabahah dengan akad wakalah tersebut. Bank tidak pernah memiliki barang
kebutuhan nasabah. Seharusnya nasabah sebagai wakil dari bank membeli barang
untuk dan atas nama Bank Syariah, dengan demikian implikasi “bank membeli”
terpenuhi. Apabila dalam pembelian, bank tidak mewakilkan kepada nasabah, maka
secara otomatis pembelian barang tersebut atas nama bank. Hal inilah yang akan
memenuhi substansi dari jual beli murabahah. Praktek yang kebanyakan terjadi di
Bank Syariah adalah bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang, dan
barang tersebut langsung atas nama nasabah. Kondisi ini tidak sesuai dengan
pedoman yang ada dalam fatwa DSN Nomor 04/DSNMUI/IV/2000 tentang
Murabahah. Sehingga ketentuan Sah dan bebas riba tidak terpenuhi, karena
kepemilikan objek barang tidak jelas.
Ketentuan kedua: bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian.
Ketentuan ini menunjukkan seharusnya bank bertindak aktif membelikan
barang yang dibutuhkan nasabah. Penyampaian semua hal yang berkaitan dengan
pembelian tersebut dapat dilakukan apabila bank melakukan pembelian barang
langsung ke penjual atau supplier. Praktek yang terjadi di Bank Syariah, bank
mewakilkan pembelian barang kepada nasabah dengan menggunakan akad wakalah
sehingga bank tidak bisa menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan barang
apabila ternyata nasabah sendiri yang melakukan pembelian. Sehingga ketentuan
tersebut tidak terlaksana di dalam proses pembiayaan murabahah.
Ketentuan ketiga: bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga jual
senilai harga beli ditambah keuntungan
Sebelum dilaksanakannya akad murabahah dan akad wakalah, bank Syariah
melakukan proses administrasi, yaitu suatu proses di mana nasabah harus melengkapi
suatu persyaratan tertentu. Setelah semuanya dipenuhi, nasabah mengajukan
permohonan pembiayaan. Jika disetujui maka bank akan mengeluarkan Surat
Keputusan Pembiayaan (SKP) yang dibuat bersamaan dengan akad wakalah sebagai
bentuk perwujudan bahwa bank mewakilkan kepada nasabah untuk mencari barang
yang sesuai dengan kriteria nasabah. Setelah mendapatkan barang yang sesuai,
barulah dibuat akad pembiayaan murabahah dan ditandatangani atas persetujuan
kedua belah pihak (pada tahap ini bank sudah dapat memperkirakan biaya yang
diperlukan untuk pengadaan barang tersebut secara detail). Kemudian, bank akan
mentransfer sejumlah dana yang ditujukan ke rekening nasabah dan akan didebetkan
secara langsung kepada penjual. Dalam hal ini, nota pembelian langsung atas nama
nasabah bukan atas nama bank yang diwakilkan. Bank tidak bisa menjual barang
kepada nasabah apabila tidak bisa membuktikan secara prinsip maupun efektif, bahwa
barang tersebut adalah milik bank sebagai penjual, sehingga ketentuan tersebut tidak
terlaksana dan mengakibatkan tidak sahnya transaksi murabahah ditinjau dari sudut
pandang hukum Islam.
Ketentuan keempat: jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli
barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang
secara prinsip menjadi milik bank.
Praktek yang terjadi di kebanyakan Bank Syariah, produk pembiayaannya
menggunakan murabahah bil wakalah dan bukan murabahah murni karena disertai
dengan akad wakalah. Hal ini menyebabkan keraguan atas status kepemilikan barang
karena bank tidak membeli langsung barang yang dibutuhkan nasabah. Akad wakalah
dilakukan sebagai prasyarat dilangsungkannya akad murabahah dalam praktek
perbankan syariah di Indonesia. Ketentuan ini menegaskan bahwa apabila bank
hendak mewakilkan proses pengadaan barang kepada nasabah, maka pembelian
barang tersebut seharusnya menggunakan nama bank agar barang tersebut secara
prinsip menjadi milik bank. Prosedur pemberian akad wakalah inilah yang
menjadikan bank kurang bijak dan menjadi tidak hati-hati dalam menerapkan akad
wakalah dalam pengadaan atau pembelian barang oleh nasabah. Akibatnya terjadi
penyimpangan yang menyebabkan tidak sahnya akad tersebut secara syariah.
Ketidaksesuaian yang ditemukan di lapangan adalah bank langsung
mengatasnamakan pembelian barang dengan atas nama nasabah. Secara prinsip,
obyek murabahah memiliki spesifikasi yang jelas, mudah diidentifikasi, memiliki
nilai, memiliki bukti legal kepemilikan (akta milik), dapat diperjualbelikan, serta
dapat dipindahkan kepemilikiannya. Pada prakteknya, obyek tersebut langsung
diatasnamakan kepada nasabah, hal tersebut mengakibatkan akad tersebut tidak sesuai
dengan ketentuan syariah.
Ketentuan lain tentang prinsip pembiayaan murabahah yang dibuat oleh OJK
adalah sebagai berikut “Kepemilikan objek pembiayaan sedapat mungkin dialihkan
secara efektif dari bank sebagai penjual kepada nasabah sebagai pembeli sesuai
kebiasaan yang berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Syariah.
Bank Indonesia secara tegas melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI)
No.7/46/PBI/2005 tanggal 14 november 2005 tentang standarisasi akad pengunaan
media wakalah dalam murabahah pada pasal 9 ayat 1 butir d, yaitu dalam hal bank
mewakilkan kepada nasabah. Wakalah untuk membeli barang, maka akad murabahah
harus dilakukan setelah barang secara prinsip telah menjadi milik bank. Dalam
penjelasan PBI tersebut ditegaskan bahwa akad wakalah harus dibuat terpisah dengan
akad murabahah. Lalu ditegaskan yang dimaksud secara prinsip milik bank adalah
adanya aliran dana yang ditujukan kepada pemasok barang atau dibuktikan dengan
kuitansi pembelian. Konsep kepemilikan objek pembiayaan secara efektif yang
dimaksud adalah saat kedua belah pihak memasuki dan menyepakati kontrak sah jual
beli, tidak diharuskan adanya bukti legal administrasi kepemilikan oleh bank
(penguasaan fisik). Kepemilikan oleh bank dianggap sah hanya cukup dengan bukti
transaksi antara bank dan pemasok (penguasaan konstruktif). Tujuan pokok suatu
akad merupakan suatu hal yang esensial karena akan menentukan sah atau tidaknya
suatu akad. Dalam kaitannya dengan jual beli dengan pembiayaan murabahah ini
maka tujuan akad adalah pemindahan hak milik kebendaan dari pihak bank (bai')
kepada nasabah (musytari').
Berdasarkan uraian diatas, menunjukkan bahwa bank tidak memenuhi satu syarat
objek dalam jual beli, yaitu objek akad milik sendiri. Hal tersebut
dapat terjadi karena pada saat bank mewakilkan pembelian barang kepada nasabah,
bank langsung memerintahkan agar pembelian tersebut diatasnamakan nasabah.
Akibatnya syarat bahwa barang harus secara prinsip menjadi milik bank tidak
terpenuhi. Kuitansi pembelian barang juga diatasnamakan nasabah, sehingga bank
tidak menguasai barang secara fisik maupun konstruktif. Sebelum barang diserahkan
kepada pihak bank (muwakil), akad wakalah masih berjalan. Berakhirnya akad
wakalah apabila seorang wakil atau yang mewakili sudah menyelesaikan tugas dari
muwakil yang mewakilkan, amanat yang diberikan oleh muwakil kepada wakil telah
disampaikan kepada penerima amanat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
berakhirnya akad wakalah apabila barang telah diserahkan kepada pihak bank
(muwakil). Kemudian bank menjual kembali barang kepada nasabah sesuai dengan
ketentuan akad pembiayaan murabahah.
Ketentuan tentang murabahah yang telah diatur di dalam Fatwa Dewan Syariah
Nomor.4/ DSN -MUI/2000 tentang Murabahah, dalam pelaksanaannya terjadi
beberapa ketidaksesuaian yang berakibat tidak terlaksananya beberapa ketentuan
tentang murabahah seperti tersebut di atas. Meskipun demikian bank memiliki alasan
kuat untuk langsung mengatasnamakan kepada nasabah barang yang dibeli tersebut.
Untuk melihat dari segi keabsahan dari sisi administrasi dan mengapa harus ada akad
wakalah, beberapa faktor yang mendasari penggunaan akad wakalah di dalam
pembiayaan murabahah dan pengatsanamaan kuitansi pembelian langsung kepada
nasabah, faktor-faktor tersebut adalah:
a. Bank di Indonesia adalah institusi keuangan bukan sebagai rumah dagang. Bank
sebagai institusi keuangan dengan fungsi utama menghimpun dana dari
masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat, tidak memiliki stok
barang untuk diperjualbelikan. Sehingga apabila ada calon nasabah datang kepada
bank untuk mencari rumah misalnya, bank tidak memiliki stok rumah yang akan
dijual, walaupun bank bekerjasama dengan pihak pengembang, kesesuaian kriteria
barang dan lain sebagainya adalah hak nasabah untuk menentukan pilihan agar
barang sesuai dengan keinginan nasabah dan tercapai kesyar'i-an proses akad
tersebut dan menimbulkan kemaslahatan.
b. Efisiensi proses administrasi
Maksudnya, apabila bank membeli barang yang dibutuhkan nasabah tanpa
mewakilkan kepada nasabah dengan akad wakalah, dan kemudian barang tersebut
langsung diatasnamakan bank untuk kemudian dijual lagi kepada nasabah. Hal
tersebut dimungkinkan apabila yang diatasnamakan adalah suatu barang yang
mudah dan peralihan hak kepemilikan atau atas namanya. Hal tersebut akan sulit
dilaksanakan apabila objek barang membutuhkan proses admisnistrasi yang
membutuhkan waktu dan biaya, sebagai contoh rumah beserta tanah. Apabila
bank mengatasnamakan pembelian rumah beserta tanah tersebut kepada bank,
setelah itu baru dijual ke nasabah. Akibatnya terjadi dua kali proses peralihan hak
yang berakibat naiknya biaya administrasi, dan akan memberatkan salah salah
satu atau bahkan kedua belah pihak. Setiap transaksi jual beli akan selalu
didasarkan pada pembuatan akta jual beli, jika terjadi dua kali transaksi, hal
tersebut akan menimbulkan beban biaya untuk setiap transaksinya. Kondisi ini
tidak menguntungkan secara finansial bagi bank syariah sebagai institusi
keuangan yang menggunakan prinsip murabahah, sebagai contoh dalam proses
pembiayaan KPR biaya proses akan meningkat dengan adanya dua kali transaksi
jual beli, biaya tersebut meliputi biaya pembuatan akta jual beli, jasa
notaris/PPAT, beban pajak pendapatan dan BPHTB. Peningkatan biaya ini akan
melemahkan daya saing bank syariah bila dibandingkan dengan bank
konvensional, sehingga untuk itu di dalam pembiayaan kepemilikan rumah,
pemahaman jual beli adalah penguasaan kepemilikan secara prinsip atau
penguasaan secara efektif dan bukan diartikan secara harfiah. Akad wakalah
menjadi jembatan dari kondisi yang tidak menguntungkan ini. Akad wakalah
dianggap dapat mengakomodir terpenuhinya syarat prinsip jual beli murabahah,
namun pada saat yang sama dapat mereduksi biaya karena secara formil transaksi
jual beli terjadi hanya satu kali. Argumentasi reduksi biaya dapat dipahami
sebagai suatu strategi persaingan bisnis, agar bank syariah memiliki daya saing.
Sekalipun penggunaan akad wakalah sebagai media perantara dengan tujuan
mereduksi biaya, tetapi dalam pelaksanaannya wajib memperhatikan maksud,
tujuan dan esensi dari akad wakalah itu sendiri. Artinya rukun dan syarat wakalah
harus terpenuhi dalam pengaplikasian akad wakalah tersebut. Sehingga dapat
dipastikan bahwa pelaksanaan akad wakalah dibuat sebelum akad pembiayaan
murabahah dan pembuatan akta jual beli.
c. Memberikan kebebasan kepada nasabah
Penyertaan akad wakalah juga dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada
nasabah dalam membeli barang.Nasabah mendapat wewenang dan kebebasan
penuh untuk memilih barang yang mana yang nasabah kehendaki sesuai dengan
kebutuhannya.Selama barang tersebut tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Oleh karena itu, bank mewakilkan kepada nasabah dalam proses pengadaan
barang. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia NO:
10/DSNMUI/IV/2000 mengenai Wakalah, telah memberikan penjelasan mengenai
bagaimana seharusnya akad wakalah di implementasikan dalam kegiatan
muamalah dimasyarakat dan dalam aplikasinya di Perbankan Syariah dan
lembaga keuangan syariah. Hal ini akan mendukung perkembangan produk-
produk keuangan Islam yang menggunakan akad Wakalah yang dapat di
implementasikan dalam beberapa produk perbankan seperti, jual beli dan
investasi. Hal ini akan memotivasi perkembangan perbankan syariah di Indonesia.
Akad wakalah merupakan akad pelengkap dalam akad-akad di perbankan syariah
atau lembaga keuangan syariah, wakalah memiliki peranan yang sangat penting
untuk menentukan keberhasilan dan tercapainya prinsip syariah akad itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik . Jakarta: Gema
Insani Press
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah
Nasional MUI
Kamil, Ahmad, M Fauzan. 2007. Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi
Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Lathif, A. 2013. Konsep dan Aplikasi Akad Murabahah pada Perbankan Syariah di
Indonesia. AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah, 12, 7475.
Nurhayati , Sri -Wasilah. 2014. Akuntansi Syariah di Indonesia, Jakarta: Salemba Empat