Anda di halaman 1dari 106

UNIVERSITAS INDONESIA

PROPORSI KOMPLIKASI TRAKEOSTOMI


DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
DI DEPARTEMEN THT-KL RSUPN CIPTO
MANGUNKUSUMO PERIODE 2011 - 2013

TESIS

DINA NURDIANA
0906565330

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
BIDANG STUDI ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK
JAKARTA
2015

i
IIALAMAN PER}IYATAAII ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baikyang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama Dina Nurdiana

NPM

Tanda Tangan

Tanggal
HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh:


Nama Dina Nurdiana
NPM 0906s65330
Program studi Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, Leher
Judul tesis Proporsi Komplikasi Trakeostomi dan Faktor-faktor yang
Berhubungan di Departemen THT-KL RSUPN Cipto Mangunkusumo Periode
20tt - 2013

Telah berhasil dipertahankan di hadapan dewan penguji sebagai bagian dari


persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar dokter spesialis pada
Program Studi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher,
Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI
Pembimbing I : Prof. dr. Bambang Hermani, Sp.THT-KL(K)

Pembimbing II: dr. Syahrial M. Hutauruk, SpTHT-KL(K)

Pembimbing Statistik: Dr. dr. Saptawati Bardosono, M.Sc

Penguji Prof. dr. Jenny Bashiruddin, SpTHT-KL(K)

Penguji dr. Alfian Farid Hafil, SpTHT-KL(K)

Penguji dr. Marlinda Adham, SpTHT-KL(K), PhD

Penguji dr. Niken Lestari, SpTHT-KL(K) (....... ..........)

Penguji dr. Elvie ZulkaKautziaR, SpTHT-

Ditetapkan di Jakarta
Tanggal 16 Januari2015

III

Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014


UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia
dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu
tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam
menyelesaikan pendidikan spesialis dan tersusunnya tesis ini.

Kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Dr. dr. Ratna Sitompul,
SpM, dan kepada Dr. dr. Czeresna Heriawan Soejono, Sp.PD-K.Ger, M.Epid,
FACP, FINASIM sebagai Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat Negeri Dr.
Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM), saya ucapkan terima kasih atas izin dan
kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti dan menyelesaikan
pendidikan dokter spesialis di Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher (THT-KL) FKUI/ RSUPN-CM.

Pada kesempatan ini saya ucapkan terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya
kepada Dr. dr. Trimartani, SpTHT-KL (K) sebagai Ketua Departemen THT-KL
FKUI/ RSUPN-CM telah memberi kesempatan kepada saya untuk belajar di
Departemen ini, serta atas didikan, bimbingan, nasehat, dorongan, dan teladan
yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan ini. Terima kasih yang
sebesar-besarnya saya ucapkan kepada Dr. Nina Irawati, Sp.THT-KL (K) sebagai
Ketua Program Studi Departemen Ilmu Penyakit THT FKUI/ RSUPN-CM atas
bimbingan, arahan, nasihat, dukungan serta kemudahan yang diberikan selama
mengikuti pendidikan.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan ke pada Dr. dr.
Susyana Tamin, SpTHT-KL(K) sebagai Koordinator Penelitian dan

iv
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
Pengembangan Departemen THT FKUI/ RSUPN-CM yang telah memberikan
dukungan dan bimbingan dalam penulisan karya ilmiah dan telah memberikan
kesempatan kepada saya untuk mengembangkan diri. Kepada dr. Ronny Suwento,
SpTHT-KL(K) sebagai Koordinator Pelayanan Masyarakat Departemen THT-KL
FKUI/RSUPN-CM, saya ucapkan terima kasih atas nasihat, bimbingan dan
dukungan yang telah diberikan selama pendidikan.

Demikian pula kepada guru besar Departemen THT-KL FKUI/RSUPN-CM baik


yang masih aktif maupun telah memasuki masa purna bakti, Prof. dr. Nurbaiti
Iskandar, SpTHT-KL, Prof. dr. Bambang Hermani, SpTHT-KL, Prof. dr. Helmi,
SpTHT-KL, dan Prof. Dr. dr. Jenny Bashiruddin, SpTHT-KL, saya mengucapkan
terima kasih atas bimbingan, pengarahan, nasihat, dan tauladan, yang amat
berharga bagi saya dalam menyelesaikan pendidikan ini.

Kepada para Ketua Divisi THT-KL FKUI/RSUPN-CM dr. Zanil Musa, SpTHT-
KL(K), dr. Alfian Farid Hafil, SpTHT-KL(K), dr. Umar Said Dharmabakti,
SpTHT-KL(K), dr. Syahrial M. Hutauruk, SpTHT-KL(K), dr. Ronny Suwento,
SpTHT-KL(K), dr. Widayat Alviandi, SpTHT-KL(K), Dr. dr. Dini Widiarni,
SpTHT-KL(K), dr. Nina Irawati, SpTHT-KL(K) dan Dr. dr. Susyana Tamin,
SpTHT-KL(K), saya sampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya.

Saya sampaikan terima kasih kepada seluruh staf pengajar Departemen THT-KL
FKUI/RSUPN-CM, dr. Endang CH Mangunkusumo, SpTHT-KL(K), dr. Umar
Said Dharmabakti, SpTHT-KL(K), dr. Alfian Farid Hafil, SpTHT-KL(K), Prof.
Dr. dr. Jenny Bashiruddin, SpTHT-KL(K), Dr. dr. Trimartani, SpTHT-KL(K), dr.
Armiyanto, SpTHT-KL(K), dr. Zanil Musa, SpTHT-KL(K), DR. dr. Dini
Widiarni, SpTHT-KL(K), Dr. dr. Semiramis Zizlavsky, SpTHT-KL(K), Dr. dr.
Susyana Tamin, SpTHT-KL(K), Dr. dr. Ratna D Restuti, SpTHT-KL(K), dr.
Widayat Alviandi, SpTHT-KL(K), Dr. dr. Retno S Wardani, SpTHT-KL(K), dr.
Syahrial MH, SpTHT-KL(K), dr. Marlinda Adham Y, SpTHT-KL(K), dr. Arie
Cahyono, SpTHT-KL(K), dr. Brastho Bramantyo, SpTHT-KL(K), dr. Rusdian
Utama, SpTHT-KL, dr. Niken Lestari, SpTHT-KL, dr. Elvie Zulka, SpTHT-KL,

v
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
dr. Tri Juda Airlangga, SpTHT-KL, Dr. dr. Mirta Hediyati, SpTHT-KL(K), dr.
Fauziah Fardizza, SpTHT-KL, dr. Rahmanofa Yunizaf, SpTHT-KL, dr. Harim
Priyono, SpTHT-KL, dr. Fikry Hamdan Yasin, SpTHT-KL, dr. Ika Dewi
Mayangsari, SpTHT-KL, dr. Febriyani Endiyarti, SpTHT-KL dan dr. Ashadi
Budi, SpTHT-KL atas segala bimbingan dan dukungan yang telah diberikan
selama saya menjalani pendidikan ini.

Kepada Kepala Departemen THT RSUP Fatmawati dr. Syafrudin, Sp. THT-KL
serta seluruh staf pengajar dr. Sri Susilawati, Sp. THT-KL, dr. Sita A. Rasad, Sp.
THT-KL, dr. Zainal Adhim, Sp. THT-KL,PhD, dr. Heditya, Sp. THT-KL, dr.
Diana Rosalina, Sp. THT-KL, dr. Vicky Riyadi, Sp. THT-KL, dan Dr. Rully
Hardiansyah, Sp. THT-KL atas bimbingan, arahan dan nasihat pada saat saya
menjalani pendidikan di RSUP Fatmawati, demikian juga seluruh paramedis dan
karyawan-karyawati khususnya di bagian THT RSUP Fatmawati.

Selanjutnya kepada Kepala Departemen THT RS Persahabatan dr. Purna Irawan,


SpTHT-KL dan seluruh staf pengajar RS Persahabatan dr. Hatmansyah, SpTHT-
KL, dr. Dody Widodo, SpTHT-KL, dr. Deasi Anggraeni, SpTHT-KL dan dr.
Yulvina, SpTHT-KL, dr. Arfan Noer, SpTHT-KL, dr. Kartika Dwiyani, SpTHT-
KL, dan dr. Ena Sarikencana, SpTHT-KL, saya ucapkan terima kasih atas segala
bantuan, bimbingan, ajaran, nasihat dan arahan yang diberikan selama saya
menjalani pendidikan di RS Persahabatan. Ucapan terima kasih juga saya
sampaikan kepada seluruh paramedis, karyawan dan karyawati RS Persahabatan
atas bantuan dan kerjasama yang diberikan.

Dalam menghimpun dan menyelesaikan karya ilmiah akhir ini, dengan tulus dan
rasa hormat saya ucapkan terima kasih kepada seluruh pembimbing penelitian
saya Prof. dr. Bambang Hermani, SpTHT-KL(K), dr. Syahrial M. Hutauruk,
SpTHT-KL(K), Dr. dr. Saptawati Bardosono, MSc. yang telah meluangkan waktu
untuk membimbing, memberi arahan dan dukungan dalam menyelesaikan tugas
akhir ini. Rasa terima kasih yang mendalam saya haturkan kepada DR. dr.
Semiramis Zizlavsky, SpTHT-KL(K) dan dr. Fauziah Fardizza, SpTHT-KL yang

vi
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
membantu dan memberikan masukan sangat berarti dalam penyelesaian karya
ilmiah ini. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada ibu Hermi dan bapak
Endy di Unit Pelayanan Rekam Medis dan Administrasi Pasien Rawat Inap
RSCM untuk bantuannya dalam pengumpulan data.

Ucapan terima kasih yang tulus saya sampaikan kepada mentor saya Dr. dr. Dini
Widiarni, SpTHT-KL(K) yang telah membimbing, memberi dukungan dan
semangat hingga saya menyelesaikan pendidikan ini.

Rasa hormat dan ucapkan terima kasih saya haturkan kepada Bp. Asep Awaludin,
Bp. Momod, Bp. Richard(Alm), Ibu Siti, Mba Ririn, Mba Sarah, Mba Emi, Mas
Heru dan rekan-rekan karyawan yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu yang
telah memberi kontribusi yang sangat besar terhadap penelitian dan dalam
menyelesaikan masa pendidikan saya. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan
kepada seluruh paramedis IGD RSUPN-CM, perawat THT Public Wing lantai 7,
perawat IBP RSUPN-CM atas bantuan kerjasama yang telah diberikan kepada
saya dalam melaksanakan tugas sehari-hari selama masa pendidikan ini.

Terima kasih pada sahabat-sahabat saya, dr Duhita Yassi, dr Hastuti Rahmi, dr.
Afrina Yanti, Sp. THT-KL, dr Yadita Wira Pasra, Sp. THT-KL, dr Sakina Umar,
Sp.THT-KL, dr. Dwi Agustawan, Sp.THT-KL, dr Gustav Syukrinto, Sp. THT-
KL, dr. Riski Satria P. dan seluruh teman sejawat peserta Program Studi
Departemen THT-KL FKUI/RSUPN-CM yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu, terima kasih atas bantuan, kebersamaan, kerjasama, pengorbanan,
dukungan serta persahabatan dalam suka dan duka yang telah terjalin dalam
mengikuti pendidikan ini.

Karya ilmiah ini saya persembahkan untuk yang saya cintai dan selalu
memberikan dukungan, doa, pengertian, pengorbanan, dan kasih sayang selama
saya menyelesaikan pendidikan. Terima kasih dan rasa sayang yang tak terhingga
untuk mamah dan papah tercinta Tjutju Subardiah dan Ir. Dachlan R. Suhadi atas
cinta dan kasih sayang sepanjang masa, doa yang terlantun dan tidak pernah putus

vii
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
dalam membesarkan, mendidik dan mendukung saya hingga saat ini. Semoga
Allah SWT memberikan kesembuhan dan kesehatan. Untuk kakakku tercinta, dr.
Mira Roziati Dachlan, MARS yang selalu memberikan dukungan, doa, semangat
dan kebahagian saya ucapkan rasa sayang dan terimakasih saya.

Akhir kata, izinkanlah saya memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan
dan kekhilafan yang telah saya perbuat selama masa pendidikan ini. Semoga
Allah SWT senantiasa memberikan rahmat, berkah dan magfirah-Nya kepada kita
semua. Semoga ilmu yang saya dapatkan bermanfaat bagi masyarakat. Amin yaa
Robbal Alamin.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, Januari 2015

Dina Nurdiana

viii
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
HALAMAN PER}IYATAAII PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTTJK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini:

Nama Dina Nurdiana

NPM 0906565330

Program Studi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher

Departemen Telinga Hidung Tenggorok (THT)

Fakultas Kedokteran

Jenis Karya Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Righ[ atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Proporsi Komplikasi Trakeostomi dan Faktor-faktor yang Berhubungan di


Departemen TIIT-KL RSUPN Cipto Mangunkusumo Periode 20ll -2013

Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak


menyimpan, mengalihmedia /formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data
(database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap
/ pencipta dan sebagai pemilik Hak
mencantumkan nama saya sebagai penulis
Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenamya.

lx

Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014


ABSTRAK

Nama : Dina Nurdiana


Program Studi : Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher
Judul :Proporsi Komplikasi Trakeostomi dan Faktor-faktor yang
Berhubungan di Departemen THT-KL RSUPN Cipto Mangunkusumo Periode
2011 - 2013

Latar belakang: Trakeostomi merupakan pembuatan lubang pada anterior trakea


untuk memintas jalan napas. Pada prosedur trakeostomi dapat timbul komplikasi
selama operasi dan pascaoperatif. Tujuan: Mengetahui proporsi komplikasi
trakeostomi, sebaran jenis komplikasi yang terjadi dan hubungan karakteristik
subjek dengan komplikasi trakeostomi. Metode: Disain penelitian ini adalah studi
potong lintang pada 125 subjek yang menggunakan data sekunder berupa rekam
medis. Hasil: Indikasi sumbatan jalan napas atas merupakan indikasi trakeostomi
terbanyak (45,6%). Penyakit primer terbanyak adalah tumor kepala leher (74,4%).
Tindakan trakeostomi lebih banyak dilakukan di IGD (63,2%) dan lebih banyak
dilakukan dalam keadaan tidak terintubasi (74,4%). Proporsi komplikasi
trakeostomi sebesar 44,8%. Komplikasi terbanyak adalah komplikasi dini
pascaoperatif (60,7%) berupa emfisema subkutis (82,4%). Dari hasil analisis
bivariat, pasien usia dewasa tua bermakna meningkatkan terjadinya komplikasi
trakeostomi (p=0,035). Indikasi sumbatan jalan napas juga bermakna
meningkatkan terjadinya komplikasi (p=0,048) dan merupakan faktor yang paling
kuat meningkatkan terjadinya komplikasi trakeostomi (p=0,025) setelah dilakukan
analisis multivariat. Kesimpulan: Proporsi komplikasi trakeostomi sebesar 44,8%
dengan komplikasi terbanyak adalah emfisema subkutis. Indikasi sumbatan jalan
napas atas adalah faktor yang paling kuat meningkatkan terjadinya komplikasi
trakeostomi sehingga pada kasus tersebut harus dikerjakan secara hati-hati.

Kata kunci: Trakeostomi; proporsi komplikasi; faktor-faktor yang berhubungan

x
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
ABSTRACT

Name : Dina Nurdiana


Study Programme : Department of Otolaryngology Head and Neck Surgery
Title :The Proportion of Tracheostomy’s Complications and
Related Factors at RSUPN Cipto Mangunkusumo Department of Otolaryngology
Head and Neck Surgery 2011-2013 Periods

Background: Tracheostomy is making holes in the anterior trachea to bypass the


airway. In the tracheostomy procedure can arise complications during and
postoperative. Objective: To determine the proportion of complications, the
distribution of types of complications, the characteristics of the subject and its
relationship with the complications. Methods: The study design was cross-
sectional study on 125 subjects using secondary data from medical records.
Results: The most tracheostomy’s indication are upper airway obstruction
(45,6%) and the most primary disease is head and neck tumors (74,4%).
Tracheostomy performed most often in emergency room (63,2%) and more likely
in unintubated patients (74,4%). The proportion of tracheostomy’s complications
is 44,8%. Most complication was subcutaneous emphysema (82,4%) from early
postoperative complications (60,7%). From the results of bivariate analysis, old
adults patient giving the incidence of tracheostomy’s complications increasing
significantly (p=0,035). Upper airway obstruction’s indications is the most
powerful factor increased the occurrence of tracheostomy’s complications
(p=0,025) with multivariate analysis. Conclusions: The proportion of
tracheostomy’s complications is 44,8%. Most complication was subcutaneous
emphysema from early postoperative complications. Upper airway obstruction is
the most dominant factor in increasing the tracheostomy’s complications,
therefore in these cases the procedure should be done carefully.

Keywords: Tracheostomy, the proportion of complications, related factors.

xi
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
DAFTAR ISI
JUDUL .................................................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS……………………………….....ii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………..iii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... x
BAB I …………………………………………………………………………........1
1.1 LATAR BELAKANG……………………………………………………….1
1.2 MASALAH PENELITIAN………………………………………………….4
1.3 TUJUAN PENELITIAN ............................................................................... 4
1.3.1. Tujuan umum ........................................................................................ 4
1.3.2. Tujuan khusus ....................................................................................... 4
1.4 MANFAAT PENELITIAN ........................................................................... 5
1.4.1. Bagi pelayanan masyarakat ................................................................... 5
1.4.2. Bagi institusi ......................................................................................... 5
1.4.3. Bidang akademik ................................................................................... 5
BAB 2 ..................................................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 6
2.1 DEFINISI ...................................................................................................... 6
2.2 KEKERAPAN .............................................................................................. 7
2.3 ANATOMI .................................................................................................... 8
2.4 INDIKASI TRAKEOSTOMI ..................................................................... 11
2.4.1 Sumbatan jalan napas atas .................................................................... 12
2.5 KLASIFIKASI TRAKEOSTOMI .............................................................. 14
2.6 TEKNIK TRAKEOSTOMI ........................................................................ 15
2.7 JENIS KANUL TRAKEOSTOMI........................................................... 18
2.8 KOMPLIKASI TRAKEOSTOMI ........................................................... 19
2.8.1 Komplikasi Intraoperatif .................................................................. 21
2.8.1.1 Perdarahan Intraoperatif ................................................................ 21

xii
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
2.8.1.2 Cedera laring dan trakea................................................................ 23
2.8.1.3 Fistel trakeoesofagus intraoperatif ................................................ 23
2.8.1.4 Pneumotorak ................................................................................. 24
2.8.1.5 Pneumomediastinum……………………………………………...26
2.8.1.5 Emboli udara ................................................................................. 27
2.8.1.6 Cardiopulmonary Arrest ............................................................... 28
2.8.1.7 Kebakaran Intraoperatif ................................................................ 29
2.8.2 Komplikasi Dini Pascaoperatif ........................................................ 31
2.8.2.1 Perubahan posisi kanul trakeostomi .............................................. 31
2.8.2.2 Sumbatan kanul trakeostomi ......................................................... 32
2.8.2.3 Perdarahan pascaoperatif .............................................................. 33
2.8.2.4 Infeksi ........................................................................................... 35
2.8.2.5 Emfisema subkutis ........................................................................ 37
2.8.2.6 Edema paru pascasumbatan jalan napas ....................................... 38
2.8.2.7 Gangguan menelan……………………………………………......38
2.8.3 Komplikasi Lambat Pascaoperatif ................................................... 38
2.8.3.1 Jaringan granulasi pada stoma ...................................................... 39
2.8.3.2 Fistel trakeoesofageal lambat ........................................................ 40
2.8.3.3 Fistel trakeokutan .......................................................................... 40
2.8.3.4 Stenosis sublotis dan trakea .......................................................... 42
2.10 PERAWATAN PASCATRAKEOSTOMI ............................................. 42
2.11 DEKANULASI ....................................................................................... 44
2.12 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KOMPLIKASITRAKEOSTOMI ………………………………………45
2.13 KERANGKA TEORI …………………………………………………..47
BAB 3 ................................................................................................................... 49
METODE PENELITIAN ...................................................................................... 49
3.1 JENIS PENELITIAN .................................................................................. 49
3.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN .................................................... 49
3.3 POPULASI DAN SUBJEK ....................................................................... 49
3.3.1 Populasi Penelitian ............................................................................... 49
3.3.2 Subjek Penelitian ................................................................................. 49

xiii
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
3.4 BESAR MINIMAL SUBJEK ..................................................................... 49
3.5 TEKNIK SAMPLING ............................................................................... 50
3.6 KRITERIA PENERIMAAN DAN PENOLAKAN .................................... 50
3.6.1 Kriteria Penerimaan ............................................................................ 50
3.6.2 Kriteria Penolakan ............................................................................... 50
3.7 PROSEDUR PENELITIAN ....................................................................... 50
3.7.1 Alat ...................................................................................................... 50
3.7.2 Alur Penelitian .................................................................................... 50
3.7.3 Manajemen dan Analisa Data .............................................................. 51
3.8 DEFINISI OPERASIONAL ...................................................................... 52
3.9 HAMBATAN PENELITIAN .................................................................... 58
3.10 ETIKA PENELITIAN ............................................................................. 58
3.11 ORGANISASI PENELITIAN ................................................................. 59
BAB 4 .................................................................................................................. 60
HASIL PENELITIAN………………………………………………………….....60
4.1 Hasil Analisis Univariat ............................................................................. 60
4.1.1 Karakteristik subjek penelitian ................................................................. 60
4.1.2 Sebaran jenis komplikasi trakeostomi...................................................... 63
4.1.2.1 Sebaran jenis komplikasi intraoperatif .............................................. 63
4.1.2.2 Sebaran jenis komplikasi pascaoperatif ............................................ 64
4.2 Hasil Analisis Bivariat ............................................................................... 64
4.2.1 Hubungan karakteristik subjek trakeostomi terhadap komplikasi ....... 64
4.3 Analisis Multivariat .................................................................................... 66
BAB 5 .................................................................................................................. 68
PEMBAHASAN ................................................................................................... 68
5.1 Keterbatasan Penelitian ............................................................................... 68
5.2 Karakteristik Subjek Penelitian .................................................................. 68
5.3 Sebaran Jenis Komplikasi Trakeostomi ...................................................... 71
5.4 Hubungan Karakteristik Subjek Trakeostomi terhadap Komplikasi .......... 73
BAB 6 .................................................................................................................. 76
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 76
6.1 Kesimpulan ................................................................................................ 76

xiv
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
6.2 Saran ........................................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 79
LAMPIRAN ......................................................................................................... 83

xv
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Leher .................................................................................... 8


Gambar 2.2 Anatomi laring .................................................................................... 8
Gambar 2.3 Lanmark pada regio leher anterior ................................................... 10
Gambar 2.4 Trakeostomi memintas mekanisme pernapasan ................................ 12
Gambar 2.5 Posisi leher ekstensi terhadap bahu dan identifikasi segitiga
Jackson ............................................................................................. 16
Gambar 2.6 Insisi pada trakea .............................................................................. 17
Gambar 2.7 Gambaran pneumotorak .................................................................... 25
Gambar 2.8 Alat humidifikasi pada kanul trakeostomi ........................................ 43
Gambar 2.9 Cara penghisapan sekret pada kanul trakeostomi ............................ 43

xvi
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Karakteristik Subjek ............................................................................. 61


Tabel 4.2 Sebaran jenis komplikasi ..................................................................... 63
Tabel 4.3 Sebaran komplikasi intraoperatif .......................................................... 64
Tabel 4.4 Sebaran komplikasi dini pascaoperatif ................................................ 64
Tabel 4.5 Hubungan karakteristik subjek trakeostomi terhadap komplikasi ........ 65
Tabel 4.6 Variabel hasil analisis multivariat ........................................................ 67

xvii
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar kaji etik FKUI ..................................................................... 83


Lampiran 2 Status penelitian................................................................................. 84
Lampiran 3 Status trakeostomi ............................................................................. 86
Lampiran 4 Tabel induk ……………………………………………………….....88

xviii
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Trakeostomi merupakan sebuah tindakan medis berupa pembuatan lubang pada
dinding anterior trakea untuk memintas jalan napas atas.1-3 Trakeostomi pertama
kali dilakukan atas indikasi sumbatan jalan napas atas, namun saat ini indikasi
trakeostomi bergeser dan lebih sering dilakukan atas indikasi pemakaian mesin
ventilator dalam jangka waktu lama.1, 4

Pada prosedur trakeostomi dapat timbul berbagai komplikasi yang terjadi selama
operasi berlangsung maupun pascaoperatif. Komplikasi berdasarkan waktu dibagi
menjadi tiga yaitu komplikasi intraoperatif, komplikasi dini pasca operatif dan
komplikasi lambat pascaoperatif. Komplikasi intraoperatif di antaranya adalah
perdarahan, cedera laring dan trakea, udem paru. Komplikasi dini pasca operatif
seperti emfisema subkutis, perubahan posisi kanul trakeostomi, sumbatan kanul
trakeostomi, perdarahan pasca trakeostomi, infeksi dan Pneumomediastinum.
Komplikasi lambat pascaoperatif seperti jaringan granulasi, stenosis subglotik dan
fistel. Komplikasi trakeostomi bervariasi dari skala ringan hingga berat.
Komplikasi dikatakan berat karena dapat menyebabkan kematian. Komplikasi
skala berat seperti pneumomediastinum berat, perdarahan pada pembuluh darah
besar dan cardiopulmonary arrest. Komplikasi trakeostomi tersebut dapat terjadi
pada trakeostomi darurat maupun elektif.4, 5

Angka kejadian komplikasi trakeostomi pada beberapa penelitian berkisar 5%-


65%.5 Angka komplikasi di atas tergantung pada variasi penelitian yang
dilakukan, seperti jenis komplikasi yang diteliti, lama follow-up serta disain
penelitian yang digunakan.6, 7
Angka kematian yang terkait dengan trakeostomi
dilaporkan sekitar 2%.8 Angka kejadian komplikasi trakeostomi dipengaruhi oleh
kemampuan operator dalam teknik trakeostomi sehingga dokter THT-KL harus
menguasai teknik trakeostomi secara baik dan benar. Teknik tindakan trakeostomi
secara prosedural bisa dilakukan dengan mudah namun dapat menjadi sulit jika

1 Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
2

tindakan perlu dilakukan secara cepat seperti tindakan trakeostomi darurat


sehingga seringkali menimbulkan komplikasi. Proporsi komplikasi trakeostomi
lebih tinggi pada trakeostomi darurat (73,9%) dibandingkan trakeostomi elektif
(26,1%). Komplikasi dan kematian terkait trakeostomi dapat dihindari jika
prosedur dilakukan secara hati-hati dan penatalaksanaan pascaoperatif dilakukan
secara baik dan teliti. Komplikasi trakeostomi dapat meningkat pada kasus sulit
seperti pada pasien anak, pasca cedera kepala, obesitas, luka bakar atau penderita
penyakit berat.5, 8
Komplikasi trakeostomi pada anak berusia kurang atau sama
dengan 10 tahun lebih tinggi dibandingkan pasien dewasa.9

Goldenberg dkk.8 melaporkan komplikasi trakeostomi yang terjadi pada 1130


pasien pada satu institusi di Israel dalam jangka waktu 10 tahun. Pada penelitian
ini seluruh tindakan trakeostomi dilakukan dengan teknik pembedahan dan
memaparkan komplikasi mayor dan kematian. Penelitian ini merupakan penelitian
retrospekstif, data yang terbatas membuat penelitian ini hanya berupa laporan
deskriptif tanpa analisis. Indikasi trakeostomi pada penelitian ini adalah intubasi
lama, trauma maksilofasial luas dan sumbatan jalan napas atas. Hanya terdapat
tiga tindakan trakeostomi darurat dan tidak terdapat komplikasi. Komplikasi
mayor terjadi pada 49 kasus (4,3%) termasuk stenosis subglotik dan trakea,
perdarahan pascatindakan akibat fistel trakeoinominata, fistel trakeokutan, infeksi
berat, accidental decanulation, sumbatan kanul trakeostomi, emfisema subkutis,
pneumomediastinum dan fistel trakeoesofagus.5, 8

Gilyoma dkk.9 pada tahun 2011 melakukan penelitian pada suatu institusi di
Tanzania. Penelitian tersebut melaporkan komplikasi trakeostomi pada 293 pasien
dalam kurun waktu 10 tahun. Rasio antara pria lebih besar dibandingkan wanita
yaitu 3,1:1. Usia pasien mayoritas adalah dekade ketiga. Indikasi trakeostomi
terbanyak adalah sumbatan jalan napas atas sekunder akibat trauma (55,1%),
disusul sumbatan jalan napas atas akibat keganasan (39,3%). Tindakan
trakeostomi terbanyak adalah trakeostomi darurat (80,4%). Komplikasi
pascatrakeostomi adalah 21,5%. Pada penelitian ini juga didapatkan kasus
komplikasi trakeostomi darurat (80,4%) lebih tinggi dibandingkan elektif. Angka

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
3

kematian pasien pascatrakeostomi adalah 13,6%, yang dipengaruhi oleh penyakit


primer. Komplikasi trakeostomi dapat dihindari dengan memberi perhatian khusus
dan teliti pada teknik dan perawatan kanul trakeostomi pascaoperatif oleh staf
yang ahli dan terlatih.

Halum dkk.10 pada tahun 2011 melaporkan komplikasi trakeostomi pada 1.175
pasien pada 8 institusi di Amerika Serikat dalam kurun waktu 2 tahun. Tindakan
trakeostomi tersebut dilakukan oleh dokter THT-KL sebanyak 66,2% dan
selebihnya dilakukan oleh bedah umum, bedah torak, bedah plastik dan lain-lain.
Angka komplikasi intra operatif termasuk jarang (1,4%) dibandingkan komplikasi
dini pascaoperatif (5,6%) dan komplikasi lambat pascaoperatif (7,1%). Angka
kematian pasien trakeostomi saat dirawat di rumah sakit cukup tinggi sebesar
22%, namun dari kasus kematian tersebut hanya 10 kasus (0,85%) berhubungan
dengan komplikasi trakeostomi. komplikasi tersebut adalah lima kasus
intraoperatif, 5 kasus pascaoperatif (4 kasus akibat mucus plug dan satu kasus
accidental decanulation). Dari 5 kasus kematian intraoperatif tidak satupun yang
dilakukan oleh ahli THT. Komplikasi dini pascaoperatif terbanyak adalah
perdarahan (2,6%) sedangkan komplikasi lambat pascaoperatif terbanyak adalah
stenosis jalan napas (1,7%). Penggunaan kanul endotrakea ukuran besar (>7,5)
dan obesitas merupakan faktor risiko terbesar terjadinya stenosis jalan napas.

Pada tahun 1984, Abdullah11 melakukan penelitian tentang aspek THT penderita
penyakit difteri pada periode Januari 1979 sampai Desember 1981 di Departemen
THT RSCM. Pengambilan sampel diambil dari data sekunder yaitu rekam medis.
Dari 538 penderita difteri, trakeostomi dilakukan pada 333 penderita (61,9%)
yang seluruhnya dengan indikasi sumbatan jalan napas atas. Trakeostomi
terbanyak dilakukan pada kelompok usia 2-4 tahun sebesar 152 penderita.
Komplikasi trakeostomi yang ditemukan adalah 44 kasus bronkopneumonia, 25
kasus apneu dan henti jantung, 12 kasus pneumonia aspirasi, 13 kasus sumbatan
kanul, 8 kasus pneumomediastinum, 4 kasus emfisema subkutis, 3 kasus
perdarahan pascatrakeostomi dan 2 kasus stenosis trakea.

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
4

Sejak itu belum ada data mengenai komplikasi trakeostomi di Departemen THT-
KL RS Cipto Mangunkusumo (40 tahun). Pada periode Januari 2011 sampai
Desember 2013 di Departemen THT-KL RSCM didapatkan kasus trakeostomi
sebesar 175 kasus. Dari kasus trakeostomi tersebut peneliti ingin mendapatkan
data proporsi komplikasi, sebaran jenis komplikasi dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan komplikasi trakeostomi pada kurun waktu 3 tahun tersebut.
Dengan adanya data tersebut diharapkan dapat menjadi acuan para ahli THT-KL
dan ahli lain sebagai pertimbangan operator untuk menghindari terjadinya
komplikasi.

1.2 MASALAH PENELITIAN


Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian
sebagai berikut :
1. Bagaimana karakteristik subjek yang dilakukan trakeostomi di Departemen
THT-KL RSCM?
2. Berapakah proporsi komplikasi trakeostomi di Departemen THT-KL RSCM?
3. Bagaimanakah sebaran jenis komplikasi yang terjadi pada kasus trakeostomi di
Departemen THT-KL RSCM?
4. Bagaimana hubungan antara karakteristik klinis dan demografis pasien dengan
komplikasi trakeostomi di Departemen THT-KL RSCM?

1.3 TUJUAN PENELITIAN


1.3.1 Tujuan Umum
Meningkatkan penatalaksanaan trakeostomi sehingga dapat menurunkan angka
kejadian komplikasi trakeostomi.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Diketahuinya karakteristik subjek yang dilakukan trakeostomi di Departemen
THT-KL RSCM.
2. Diketahuinya data proporsi komplikasi trakeostomi di Departemen THT-KL
RSCM.

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
5

3. Diketahuinya data sebaran jenis komplikasi yang terjadi pada kasus


trakeostomi di Departemen THT-KL RSCM.
4. Diketahuinya hubungan antara karakteristik klinis dan demografis pasien
dengan komplikasi trakeostomi di Departemen THT-KL RS Cipto
Mangunkusumo.

1.4 MANFAAT PENELITIAN


1.4.1 Bagi Pelayanan Masyarakat
Dapat melakukan pelayanan yang baik berupa penatalaksanaan trakeostomi
dengan benar sehingga dapat menurunkan angka komplikasi trakeostomi.

1.4.2 Bagi Institusi


1. Memberikan data proporsi tindakan trakeostomi dan komplikasi yang terjadi di
Departemen THT-KL RSCM.
2. Memberikan gambaran variabel klinis dan demografi yang berhubungan
dengan kejadian komplikasi pascatrakeostomi di Departemen THT-KL RSCM.

1.4.3 Bidang Akademis


1. Memberikan hasil evaluasi keberhasilan pelaksanaan trakeostomi di
Departemen THT-KL RSCM.
2. Memberikan data dasar komplikasi pascatrakeostomi sehingga dapat
dipergunakan untuk penelitian selanjutnya.

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Trakeostomi adalah pembuatan lubang pada dinding anterior trakea untuk
memintas jalan napas atas.1, 2
McClelland yang dikutip oleh Goldenberg8
menyatakan kata trakeotomi berasal dari dua kata Yunani yang artinya memotong
trakea. Tindakan trakeotomi dulu disebut dengan beberapa istilah, antara lain
laringotomi, bronkotomi hingga istilah trakeotomi diperkenalkan oleh Heister
pada tahun 1718.

Saat ini prosedur melubangi bagian depan leher menggunakan istilah


trakeostomi.2 Istilah trakeostomi sebenarnya memiliki terminologi yang kurang
tepat karena berasal dari kata trakea dan stoma yang merupakan tindakan
menjahitkan trakea ke kulit sehingga terbentuk stoma permanen seperti yang
dilakukan pada tindakan laringektomi.

Asclepiades adalah seorang dokter berkebangsaan Yunani merupakan orang


pertama yang melakukan trakeostomi elektif pada 100 tahun sebelum masehi.
Pada tahun 1546, Antonio Brasavola melakukan tindakan trakeostomi pada
penyelamatan pasien abses laring.2, 12
Chevalier Jackson merupakan orang
pertama yang melakukan trakeostomi darurat pada kasus sumbatan jalan napas
dengan menggunakan teknik operasi trakeostomi baru. Teknik standar trakeostomi
menurut Chevalier Jackson ini menurunkan angka kematian tindakan trakeostomi
dari 25% menjadi 2% dan teknik operasi trakeostomi ini dilakukan hingga
sekarang.8, 13, 14

Pada awalnya trakeostomi sering dilakukan dengan indikasi sumbatan jalan napas
atas, namun saat ini sejalan dengan kemajuan unit perawatan intensif, trakeostomi
lebih sering dilakukan atas indikasi intubasi lama (prolonged intubation) dan
penggunaan mesin ventilasi dalam jangka waktu lama.1, 15

6 Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
7

2.2 KEKERAPAN
Prevalensi komplikasi trakeostomi berkisar 5%-65%. Peningkatan komplikasi
trakeostomi terjadi pada kelompok pasien anak, pasca cedera kepala, obesitas dan
luka bakar. 5

Streatmans dkk.16 pada penelitiannya menjelaskan bahwa dari 295 pasien yang
menjalani prosedur trakeostomi, 193 pasien adalah laki-laki (63,7%). Trakeostomi
dilakukan di unit perawatan intensif pada 241 pasien (81,7%) dengan
menggunakan mesin ventilator dengan rata-rata usia pasien adalah 57,8 tahun dan
dengan kisaran usia 15-96 tahun. Seratus enam puluh pasien (57,7%) berusia
antara 50-70 tahun. Total komplikasi yang terjadi sebanyak 94 orang (31%).
Delapan puluh enam pasien (28,4%) mengalami komplikasi ringan seperti
perdarahan intra operatif, kerusakan jaringan lunak, emfisema subkutis dan
pneumomediastinum; sedangkan 8 pasien (2,6%) mengalami komplikasi berat
berupa perdarahan yang hebat dan fistel pada trakea.

Goldenberg dkk.8 melaporkan komplikasi trakeostomi yang dialami pada 1130


pasien pada satu institusi di Israel dalam jangka waktu 10 tahun. Pada penelitian
ini seluruh tindakan trakeostomi dilakukan dengan teknik pembedahan dan
melaporkan tentang komplikasi mayor dan kematian. Penelitian ini merupakan
penelitian retrospektif sehingga datanya terbatas, oleh karena itu penelitian ini
hanya berupa laporan deskriptif tanpa analisis. Indikasi trakeostomi pada
penelitian ini adalah intubasi lama, trauma maksilofasial luas dan sumbatan jalan
napas atas. Hanya terdapat tiga tindakan trakeostomi darurat dan tidak terdapat
komplikasi. Komplikasi mayor terjadi pada 49 kasus (4,3%) termasuk stenosis
subglotik dan trakea, perdarahan pascatindakan akibat fistel trakeoinominata,
fistel trakeokutan, infeksi berat, accidental decanulation, sumbatan kanul
trakeostomi, emfisema subkutis, pneumomediastinum dan fistel trakeoesofagus.5, 8

Caro17 pada tahun 2012 melakukan penelitian multisenter di Spanyol selama 2


tahun (2008-2009) pada pasien anak yang telah dilakukan trakeostomi. Usia
pasien antara 1 hari sampai 18 tahun. Penelitian melibatkan 249 pasien dari 18

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
8

rumah sakit. Pada penelitian didapatkan bahwa 150 pasien (60,2%) lebih muda
dari 1 tahun dengan indikasi utama adalah ventilasi lama (n=156; 62,6%), stenosis
subglotis (n = 34; 13,6%), kelainan cranio-fasial kongenital atau didapat (n=25,
10%) dan kelainan kongenital saluran napas (n=24; 9,6%). Penyakit primer yang
paling sering adalah penyakit saraf (n=126; 50,6%) dan penyakit pernapasan
(n=98; 39,3%). Komplikasi terjadi pada 117 pasien (46,9%). Kematian yang
berkaitan dengan penyakit yang mendasarinya sebesar 12,5%, sedangkan yang
terkait langsung dengan trakeostomi hanya 3,2%.

Data retrospektif di Departemen THT-KL RS Cipto Mangunkusumo tahun 2011


sampai 2013 terdapat 175 kasus yang dilakukan trakeostomi. Namun sampai saat
ini belum dilakukan pendataan tentang proporsi, sebaran jenis komplikasi
trakeostomi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan komplikasi trakeostomi.

2.3 ANATOMI
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring,
laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus yang dilapisi oleh membran mukosa
bersilia.18

Gambar 2.1. Anatomi Leher.14 Gambar 2.2. Anatomi laring.19

Laring merupakan pintu masuk jalan napas atas yang berfungsi untuk proteksi,
batuk, respirasi, sirkulasi, menelan serta fonasi (gambar 2.1). Fungsi laring untuk
proteksi ialah untuk mencegah makanan dan benda asing masuk ke dalam trakea

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
9

dengan jalan menutup aditus laring dan rima glotis secara bersamaan. Terjadinya
penutupan aditus laring ialah karena pengangkatan laring ke atas akibat kontraksi
otot-otot ekstrinsik laring supra hyoid dan menutupnya pita suara akibat gerakan
otot-otot intrinsik laring. Menutupnya pita suara terjadi akibat kartilago aritenoid
bergerak ke depan akibat kontraksi muskulus arytenoid tranversa dan muskulus
krikoaritenoid lateral. Muskulus Ariepiglotika berfungsi sebagai sfingter.2

Trakea terletak di tengah dari leher namun makin ke distal bergeser ke arah kanan
kemudian masuk ke rongga mediastinum di belakang manubrium sterni. Trakea
sangat elastis, panjang dan letaknya berubah-ubah tergantung pada posisi kepala
dan leher. Ekstensi maksimal dari leher akan menambah panjang trakea
supraklavikula (gambar 2.2).2 Lumen trakea ditunjang oleh kira-kira 18 sampai 22
cincin tulang rawan yang bagian posteriornya tidak bertemu.20 Di antara kartilago
krikoid dengan fossa sternalis terdapat 11 cincin trakea dan panjang leher antara
kartilago krikoid dengan fossa sternalis sekitar 6,9-8,2cm (gambar 2.3).21 Trakea
berbentuk pipa yang terdiri dari kartilago dan membran dengan panjang 11 cm.
Batas atas trakea adalah kartilago krikoid dan batas bawah trakea adalah karina
yaitu cincin trakea yang paling bawah meluas ke inferior dan posterior di sebelah
dalam, di antara bronkus utama kanan dan kiri, membentuk sekat yang lancip.
Dinding belakang terdiri dari membran, dinding anterior dan lateral dibentuk oleh
cincin kartilago semisirkular.3 Panjang trakea sekitar 12 cm pada pria dan 10 cm
pada wanita. Diameter anterior posterior rata-rata 13 mm, sedangkan diameter
tranversal rata-rata 18 mm.2

Pada kelompok usia anak, ukuran trakea lebih kecil dan letaknya pun lebih dalam
dibandingkan kelompok usia dewasa. Posisi percabangan trakea juga lebih tinggi
dan sudut karina akan lebih besar dibandingkan kelompok dewasa sehingga apek
paru akan lebih tinggi di level leher jika dibandingkan dengan kelompok dewasa.
Hal tersebut akan terjadi sampai usia sekitar 10-12 tahun.22

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
10

Gambar 2.3. Lanmark pada regio leher anterior.21

Anterior trakea diliputi oleh kulit, fasia superfisial, fasia profunda dan otot strap
muscles (sternohioid dan sternotiroid). Ismus tiroid umumnya terletak setinggi
cincin trakea 2 dan 3. Hubungan anterior trakea pada leher bagian bawah dan pada
superior mediastinum adalah vena tiroid inferior, arteri tiroid ima dan timus.3

Arteri brakiosefalika yang juga dikenal dengan arteri inominata adalah cabang
terbesar dari arkus aorta. Pembuluh darah tersebut berjalan ke arah posterior ke
sentral manubrium sterni, menyebrangi trakea dari kiri ke kanan, menempel di
depan trakea dan kemudian ke arah kanan. Hal ini membagi pada level sendi
sternoklavikular tepat ke karotis kanan dan arteri subklavia kanan.23 Vena
brakiosefalika kiri dapat memproyeksi ke atas menuju leher ke anterior trakea
sehingga berisiko cedera saat trakeostomi. Struktur paratrakeal rentan terhadap
cedera termasuk nervus laringeus rekuren dan selubung karotis.3

Bagian anterior trakea diliputi kulit, jaringan subkutan, muskulus platisma, fasia
pretrakea dan kelenjar tiroid. Fasia servikalis dan profunda dibagi menjadi tiga
lapisan, yaitu lapisan selubung, lapisan pretrakea dan lapisan prevertebra. Fasia
pretrakea dan fasia prevertebra berisi faring bagian bawah, laring, trakea, esofagus
servikal, kelenjar tiroid dan pembuluh darah besar. Bagian bawah ruangan ini
berhubungan dengan mediastinum superior. Insisi fasia pretrakeal menyebabkan
terjadinya hubungan antara dunia luar dan rongga mediastinum. Bagian anterior
trakea sangat tipis sedangkan bagian lateral sangat tebal dan diselubungi oleh
selubung karotis.2

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
11

2.4 INDIKASI TRAKEOSTOMI


Trakeostomi selain memintas sumbatan jalan napas atas mempunyai beberapa
manfaat lain yaitu mengurangi ruang rugi (dead air space) dalam saluran
trakeobronkial sekitar 70 sampai 100 ml. Penurunan ruang rugi dapat berubah-
ubah dari 10% sampai 50%, tergantung pada ruang rugi fisiologik tiap individu.
Trakeostomi dapat dilakukan untuk tujuan terapi atau membantu suatu prosedur/
operasi elektif di daerah kepala dan leher. Trakeostomi elektif mungkin
diperlukan bila diduga akan terjadi kendala pada pernapasan pasien pasca bedah
daerah kepala, leher atau toraks atau pasien dengan insufisiensi paru kronis.
Intubasi orotrakea sukar dilakukan atau tak mungkin dilakukan untuk tujuan
anestesi umum. Trakeostomi juga harus dilakukan sebelum pembedahan tumor-
tumor orofaring atau laring untuk menghindari manipulasi tumor yang tidak
perlu.2

Trakeostomi pada anak dan dewasa umumnya berbeda dalam hal indikasi. Pada
kelompok anak, intubasi lama adalah indikasi yang paling sering (n = 45, 84.9%).
Penyebab utama intubasi adalah gagal napas (n = 24, 45.3%), penyakit
neuromuskuler (n = 11, 20,8%), periode pasca operasi besar (n = 8, 15,1%) dan
penyakit yang berhubungan dengan infeksi/ sepsis (n = 2, 3,8%). Trakeostomi
dilakukan pada sumbatan jalan napas atas pada 8 anak (15,1%). Penyebab paling
sering sumbatan jalan napas atas adalah anomali kraniofasial.24

Pada kelompok dewasa, indikasi yang paling umum untuk trakeostomi adalah
sumbatan saluran napas atas. Keganasan kepala dan leher adalah penyebab paling
sering untuk sumbatan jalan napas (32,5%) diikuti oleh stenosis laryngotracheal
(12%), parese pita suara bilateral (8,4%), dan kelainan kraniofasial (1,2%).24

Trakeostomi untuk terapi perlu dilakukan pada tiap kasus insufisiensi pernapasan
yang disebabkan oleh hipoventilasi alveolus untuk memintas sumbatan akibat
sumbatan laring, mengeluarkan sekret atau untuk tujuan penggunaan pernapasan
buatan secara mekanis.2

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
12

Gambar 2.4. Trakeostomi memintas mekanisme pernapasan.25

Bila mungkin, trakeostomi terapi harus didahului oleh intubasi endotrakea.


Walaupun intubasi endotrakea dapat segera memperbaiki gangguan jalan napas,
trakeostomi harus dilakukan bila diperhitungkan perlu perawatan jalan napas lebih
dari 48 jam, karena mengeluarkan sekret jauh lebih mudah lewat kanul
trakeostomi dibanding pipa endotrakea dan kemungkinan terjadinya sumbatan
kanul lebih kecil, pasien tidak bisa diberikan diet oral dengan adanya pipa
endotrakea, sulit membersihkan pipa endotrakea pada posisinya dan untuk
mengganti kanul diperlukan laringoskopi berulang. Intubasi lama endolaring
menimbulkan ulserasi mukosa laring dan trakea yang akhirnya dapat menjadi
granuloma, adhesi dan stenosis. Trakeostomi kurang menyebabkan rangsangan
refleks batuk, yang mungkin penting pada pasien dengan kelainan saraf dan
pascabedah dan dengan trakeostomi pasien yang sadar dapat berbicara.2

2.4.1 Sumbatan jalan napas atas


Sumbatan jalan napas atas, sering disebut juga sumbatan laring yang dapat
disebabkan oleh inflamasi, tumor, benda asing, trauma, parese pita suara atau
stenosis subglotik.26 Gejala yang timbul pada sumbatan jalan napas atas adalah
adanya dispneu, stridor serta retraksi. Tanda khas pada sumbatan jalan napas atas
adalah retraksi suprasternal dan retraksi epigastrium.27

Sumbatan jalan napas atas berdasarkan onset dibagi menjadi 2 yaitu akut (sering
timbul dalam beberapa jam) dan kronis (timbul lebih dari 1 hari).26
Gambaran analisis darah pada sumbatan jalan napas atas akut adalah pH <7,30,
PCO2 >48 mmHg, PO2 <60 mmHg, HCO3 dan BE normal), sedangkan gambaran

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
13

analisis gas darah pada sumbatan jalan napas kronis adalah pH antara 7,40-7,50,
PCO2 >48 mmHg, PO2 <60 mmHg, HCO3 dan BE diatas batas normal.

Pasien yang sadar dan menderita sumbatan jalan napas atas, biasanya
menunjukkan tanda hipoksemia akut, antara lain denyut nadi dan frekuensi napas
bertambah, gelisah, bingung dan udara yang masuk berkurang. Pada keadaan
demikian pasien akan kelelahan untuk mempertahankan kadar gas darah yang
adekuat sebelum terjadi desaturasi oksigen dalam arteri, yaitu pO2 turun sampai
40mmHg. Saat terjadi desaturasi, timbul dekompensasi sirkulasi dan pernapasan
menjadi cepat dan jika berlanjut akan segera mengakibatkan kematian. Tanda-
tanda desaturasi seperti sianosis, koma dan hipotensi merupakan tanda insufisiensi
lanjut. Pasien dengan sumbatan jalan napas atas akan timbul hipoksemia berat
sehingga harus segera dilakukan trakeostomi.2

Pada sumbatan jalan napas atas yang terjadi kronis, tanda hipoksemia ringan dan
manifestasi hiperkapnia lebih jelas. Sakit kepala, pusing, berkeringat dan muka
kemerahan merupakan tanda awal. Kemudian timbul kedutan, delirium, dan
koma. Pemberian oksigen akan memperbaiki kondisi sementara, namun
memperburuk retensi CO2. Oleh karena itu, dalam keadaan ini pemeriksaan gas
darah berulang sangat membantu menentukan perlunya bantuan ventilasi. Pada
umumnya, bila pasien tidak dapat mempertahankan saturasi O2 sebesar 85% atau
mengurangi pCO2 di bawah 50mmHg sewaktu menghirup 50% O2, trakeostomi
harus dilakukan.2

Berdasarkan tingkat keparahan sumbatan jalan napas atas, Jackson27 membaginya


dalam 4 stadium. Stadium 1 adalah retraksi minimal di fossa suprasternal saat
inspirasi dan pasien masih tampak tenang. Gejala klinis pada stadium 2 adalah
retraksi di fossa suprasternal makin dalam, timbul retraksi di daerah epigastrium
dan pasien tampak gelisah. Pasien harus diobservasi ketat dan dipersiapkan untuk
trakeostomi. Pada stadium 3, selain retraksi di fossa suprasternal dan epigastrium
timbul juga retraksi di infraklavikula dan sela-sela iga, pasien sangat gelisah.
Gejala klinis pada stadium 4 adalah retraksi di atas bertambah jelas, pasien

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
14

tampak sangat ketakutan dan sianosis. Jika keadaan ini berlangsung terus maka
pasien akan kehabisan tenaga, hiperkapneu sehingga pusat pernapasan paralitik.
Jika tidak segera ditangani pasien menjadi lemah dan penurunan kesadaran,
akhirnya meninggal karena asfiksia.

Jackson27 mengatakan terdapat kondisi ancaman sumbatan jalan napas atas yang
disebut juga impending asphyxia. Kondisi ini akibat kurangnya kadar oksigen
pada jaringan serta kadar karbondioksida pada darah secara bersamaan yang akan
menyebabkan terjadinya asfiksia. Beberapa contoh kasus yang dapat
menyebabkan kondisi tersebut adalah hilangnya reflex batuk, benda asing di
saluran napas (termasuk retensi sputum), inhalasi karbonmonoksida dan gas
beracun lain, jatuhnya pangkal lidah akibat penurunan kesadaran serta trauma
laring.

2.5 KLASIFIKASI TRAKEOSTOMI


Menurut letak stoma, trakeostomi dibedakan menjadi letak tinggi dan letak
rendah. Batas letak ini adalah cincin trakea ketiga.2 Trakeostomi letak tinggi
adalah melakukan insisi diantara cincin trakea satu dan dua. Umumnya dilakukan
pada pasien tumor laring atau hipofaring. Pada trakeostomi letak rendah, insisi
dilakukan di antara cincin trakea dua dan tiga atau di antara cincin trakea tiga dan
empat. Hal ini lebih sering dilakukan untuk menghindari stenosis subglotis.28

Menurut waktu dilakukan tindakan, trakeostomi dibagi menjadi trakeostomi


darurat dan trakeostomi elektif.2 Trakeostomi darurat dilakukan pada kasus
sumbatan jalan napas atas untuk penyelamatan nyawa. Trakeostomi elektif adalah
tindakan trakeostomi yang dilakukan dengan persiapan sarana dan persiapan
kondisi pasien secara baik. Pasien masih sempat dilakukan pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan laboratorium lengkap untuk dijadikan bahan
pertimbangan dalam melakukan tindakan. Jika pasien mengalami gangguan
hemostasis, umumnya dilakukan perbaikan hemostasis terlebih dahulu pada
pasien sebelum dilakukan tindakan trakeostomi.2

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
15

2.6 TEKNIK TRAKEOSTOMI

Trakeostomi dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu teknik pembedahan


(surgical/ open tracheostomy) dan teknik trakeostomi dilatasi perkutaneus
(Percutaneous Dilatational Tracheostomy (PDT)). Pasien dengan faktor risiko
tinggi dan kasus darurat umumnya menggunakan teknik pembedahan.16 Teknik
trakeostomi pembedahan yang dilakukan bedside dibandingkan di kamar operasi
ternyata dapat mengurangi waktu pembedahan, mengurangi biaya tindakan dan
diperkirakan dapat mengurangi lama perawatan di ICU.29 Selanjutnya akan
dijelaskan prosedur trakeostomi yang umum dikerjakan saat ini.

Saat persiapan tindakan, pastikan balon kanul trakeostomi dalam keadaan baik
dengan cara menggembungkan balon dengan udara sekitar 5-10cc kemudian
kempeskan kembali. Pada trakeostomi dengan teknik pembedahan, pasien
diposisikan terlentang dengan bahu disanggah gulungan kain atau bantalan
sehingga leher ekstensi terhadap bahu. Posisi ini dapat membuat trakea lebih
menonjol sehingga memudahkan operator mengakses trakea dari anterior leher.28
Ekstensi leher tidak dapat dilakukan jika terdapat kelainan di tulang belakang
bagian servikal. Pasien sumbatan jalan napas sesak berat juga tidak dapat kita
lakukan posisi ekstensi leher tersebut sehingga harus dilakukan trakeostomi dalam
posisi duduk atau setengah duduk. Prosedur trakeostomi dilakukan dalam kondisi
steril. Daerah leher dan sekitarnya dibersihkan dengan povidone-iodine. Prosedur
ini dapat dilakukan dalam anastesia lokal maupun anestesi umum. Penanda yang
harus diidentifikasi umumnya adalah adam’s apple/ thyroid notch, kartilago
krikoid dan fossa suprasternal. Lokasi insisi ditandai pada pertengahan antara
kartilago krikoid dan fossa suprasternal. Jika direncanakan insisi kulit secara
horizontal maka penanda yang harus diidentifikasi adalah segitiga Jackson/
Jackson’s triangle yaitu kartilago tiroid, fossa suprasternal dan medial
sternokledomastoid. Insisi kulit horizontal dilakukan 1 cm di atas fossa
suprasternal dan batas lateralnya adalah medial sternokleidomastoid.3, 27

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
16

Gambar 2.5.a. Posisi leher ekstensi terhadap bahu. b dan c. Identifikasi segitiga jackson.5

Panjang insisi pada kulit secara vertikal dilakukan sekitar 2-3cm sedangkan secara
horizontal sekitar 4-6cm diantara fossa sternalis dan kartilago tiroid (kira-kira
setinggi cincin trakea kedua).30 Kirchner yang dikutip oleh Vallamkondu3
menyarankan menggunakan insisi vertikal pada pasien sadar untuk membantu
mobilisasi kanul trakeostomi. Insisi vertikal juga disarankan pada trakeostomi
bayi dan anak-anak. Pada kelompok usia anak, apeks pleura dapat meluas secara
superior ke arah leher sehingga insisi kulit vertikal meminimalkan diseksi ke arah
lateral trakea sehingga dapat mengurangi risiko pneumotoraks.3

Insisi diperluas melewati jaringan subkutis, platisma sampai fasia servikalis


profunda. Strap muscles, yaitu sternotiroid dan sternohioid, dipisahkan secara
tumpul dan diretraksi ke lateral. Ismus tiroid dapat ditarik ke arah superior atau
dipisahkan.27, 28, 31
Perdarahan dapat diatasi dengan kauter atau ligasi. Fasia
pretrakea dipisahkan secara tumpul sampai trakea terindentifikasi. Untuk
mendapatkan visualisasi trakea yang baik dapat digunakan hook. Hal-hal yang
perlu diperhatikan sebelum membuat lubang pada trakea, perlu dibuktikan dulu
yang akan dipotong itu benar-benar trakea dengan cara melakukan penusukan
pada trakea dengan spuit berisi cairan dapat berupa garam fisiologis atau lidokain,
dilanjutkan dengan aspirasi. Bila yang ditusuk adalah trakea maka saat dilakukan
aspirasi terasa ringan dan udara yang terisap akan menimbulkan gelembung udara
(air aspiration test).28, 30
Untuk mengurangi refleks batuk dapat disuntikkan
lidokain sebanyak 1cc ke dalam trakea. Selanjutnya lakukan insisi trakea.
Terdapat beberapa jenis insisi pada trakea yaitu insisi vertikal, Bjork flap atau
insisi U terbalik, insisi palang, insisi horizontal dan insisi bulat. Pada kelompok
anak lebih sering dilakukan insisi vertikal sedangkan pada kelompok dewasa lebih
sering dilakukan insisi U terbalik atau Bjork flap.32 Insisi trakea dapat dilakukan

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
17

pada cincin trakea dua dan tiga atau tiga dan empat.28, 30
Trakeostomi di atas
cincin trakea pertama harus dihindari karena berisiko terjadinya stenosis subglotis.
Kateter penghisap dapat dimasukkan dahulu untuk membersihkan sekitar insisi
trakea dan sebagai penuntun insersi kanul trakeostomi. Pada anak-anak umumnya
dilakukan insisi trakea secara vertikal dan dilanjutkan dengan penjahitan pada
kedua sisi lateral insisi sebagai traksi.3, 32

Gambar 2.6. Insisi pada trakea.14

Jika trakeostomi dalam intubasi setelah dilakukan tindakan maka pipa endotrakea
dikeluarkan perlahan-lahan sampai ujung pipa endotrakeal tepat di atas batas
superior dari luka insisi. Selanjutnya dilakukan insersi kanul trakeostomi dengan
bantuan dilator trakea atau hak krikoid. Setelah kanul masuk, segera keluarkan
obturator dan masukkan kanul dalam. Kembungkan balon kanul dengan udara
sekitar 5-7cc. Jika luka insisi kulit terlalu lebar dapat dilakukan penjahitan.
Selanjutnya fiksasi kanul trakeostomi dengan tali pengikat atau dilakukan
penjahitan kanul ke kulit. Letakkan kassa disekitar stoma.3

Penempatan kanul trakeostomi yang benar dapat dikonfirmasi dengan visualisasi


langsung, end-tidal C02, kemudahan ventilasi dan saturasi oksigen yang adekuat.
Luka insisi pada tindakan trakeostomi jika terlalu panjang dapat dijahit.
Bronkoskopi fleksibel dapat digunakan untuk memastikan posisi kanul dan untuk
membersihkan sisa darah di bronkus.3, 32

Pada teknik PDT, tindakan trakeostomi dilakukan dengan insisi kulit yang kecil
kemudian dilanjutkan dengan dilatasi kulit. Mandren digunakan untuk menembus
trakea dan dilanjutkan dengan insersi kanul trakeostomi.2 Teknik ini lebih sering
dilakukan oleh ahli anestesi dan intensifis pada pasien perawatan intesif.28

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
18

2.7 JENIS KANUL TRAKEOSTOMI

Kanul trakeostomi dapat terbuat dari plastik (polyvinyl chloride atau silikon) atau
logam (perak atau stainless steel). Berbagai jenis kanul meliputi kanul trakeostomi
dengan balon (cuffed), tanpa balon (uncuffed), dengan lubang (fenestrated), tanpa
lubang (non fenestrated), variasi panjang kanul, lumen tunggal dan lumen ganda
(dengan kanul dalam). Semua kanul trakeostomi dilengkapi dengan obturator
untuk membantu insersi kanul trakeostomi.3

Kanul trakeostomi tersedia dengan kanul dalam (kanul ganda) dan tanpa kanul
dalam. Kanul ganda memiliki kanul dalam yang dapat menjaga kanul luar tetap
bersih sehingga mencegah sumbatan kanul total. Kekurangan kanul ganda adalah
diameter kanulnya yang lebih kecil sehingga dapat meningkatkan kerja
pernapasan dan dapat meningkatkan sekret yang terperangkap.3

Ukuran kanul harus disesuaikan dengan perkiraan ukuran trakea sesuai umur atau
berat badan. Bila kanul terlalu besar, sulit untuk memasukkannya ke dalam lumen
dan ujung kanul akan menekan mukosa trakea dan menyebabkan nekrosis dinding
trakea. Panjang kanul harus disesuaikan dengan kebutuhan. Bila terlalu pendek
akan mudah keluar lumen trakea dan masuk ke dalam jaringan subkutis sehingga
timbul emfisema kulit dan lumen kanul tertutup sehingga menimbulkan asfiksia.
Bila kanul terlalu panjang maka mukosa trakea dapat teriritasi dan mudah timbul
jaringan granulasi. 32, 33

Kanul trakeostomi dibagi menjadi 2 bahan yaitu bahan plastik dan bahan metal.
Secara umum, kanul trakeostomi yang terbuat dari bahan plastik lebih disukai
dibandingkan bahan bahan logam. Hal ini disebabkan bahan plastik lebih fleksibel
dan nyaman serta sedikit traumatik ke jaringan sekitarnya.33

Kanul dengan balon/ cuff umumnya digunakan untuk beberapa hari pertama
pascatrakeostomi. Kanul dengan balon mengurangi aspirasi sekresi orotrakeal.
Balon umumnya bertekanan rendah dan bervolume tinggi sehingga
memungkinkan distribusi yang lebih luas dari tekanan pada trakea dan

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
19

mengurangi insiden ulserasi dan stenosis pada trakea. Komplikasi dari kanul
dengan balon adalah terjadi gangguan menelan akibat penekanan balon pada
laring. Balon yang bertekanan tinggi dapat mengurangi aliran darah pada kapiler
dan menyebabkan iskemia mukosa untuk menilai tekanan pada balon dapat
digunakan manometer. Myers dkk yang dikutip oleh Vallamkondu3 menyarankan
agar tekanan balon harus tetap optimal yaitu kisaran 15-25 cmH20 (10-18 mmHg)
untuk meminimalisir ulserasi dan stenosis pada trakea.3

Kanul Fenestrated memiliki lubang tambahan di bagian posterior di atas balon.


Hal ini memungkinkan adanya aliran udara saluran napas atas dan memfasilitasi
bicara. Kanul ini memiliki kanul dalam tambahan yang ukurannya lebih kecil dan
memiliki penyumbat/ plug. Diameter kanul dalam lebih kecil dibandingkan
dengan diameter kanul luarnya, dan kanul dengan fenestrasi dapat tertutup oleh
kanul dalamnya. Untuk penggunaan kanul yang tepat, stoma pasien diukur dan
jarak dari flange ke fenestrasi 1cm lebih panjang dari stoma. Bentuk kanul
dirancang untuk mendapatkan sudut masuk yang tepat ke dalam trakea untuk
memfasilitasi ventilasi dan pembersihan sekresi.31

Ukuran kanul umumnya mewakili diameter kanul. Diameter kanul terbagi


menjadi diameter dalam dan luar. Behl dan Watt34 mengatakan bahwa untuk kasus
anak usia 1-14 tahun penentuan diameter dalam kanul dapat menggunakan usia
dalam satuan tahun, yaitu dengan rumus: (usia/3) + 3,5. Pada penentuan diameter
luar kanul dapat menggunakan rumus: (usia/3) + 5,5.34

2.8 KOMPLIKASI TRAKEOSTOMI

Suslu dkk24 mengatakan bahwa komplikasi trakeostomi pada anak dan dewasa
hampir sama. Komplikasi yg terjadi dibagi menjadi dini dan lanjut. Pada
kelompok anak, komplikasi dini dan komplikasi lanjut adalah 22,6% dan 5,7%
sedangkan dewasa 19,3% dan 7,2%. Accidental decannulation adalah komplikasi
dini yang paling sering pada anak (13,2%) sedangkan kasus komplikasi lanjut
hanya fistel trakeokutaneous yang terjadi pada 3 anak. Pada kelompok dewasa
komplikasi dini dan komplikasi lanjut adalah 19,3% dan 7,2%. Komplikasi dini

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
20

yang paling sering (9,6%). Komplikasi lanjut hanya fistel trakeokutaneous dan
terjadi pada 4 pasien dewasa (4,8%). Peneliti menemukan bahwa pada kelompok
dewasa terdapat penurunan tingkat komplikasi dini dan lanjut, analisis statistik
menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (p=0,636).24 Hal ini juga sesuai
dengan penelitian oleh Caro17, pada tahun 2012 di Spanyol dimana didapatkan
frekuensi komplikasi trakeostomi pada kelompok anak lebih tinggi dari dewasa
sebesar 46,9%.

Dalam sebuah survei multisenter, 22% dari dokter bedah anak melaporkan
komplikasi perioperatif selama trakeostomi yang menyebabkan perubahan dalam
prosedur sebesar 58% dari mereka. Sebuah studi dari 54 pasien dengan home
mechanical ventilation (45 via trakeostomi dan 9 via masker hidung) melaporkan
bahwa 66% dari kedaruratan dari pasien berhubungan dengan trakeostomi
tersebut. Infeksi dilaporkan menjadi komplikasi utama sebesar 90% dalam
beberapa senter. Persentase yang berbeda telah dilaporkan untuk endotrakeal
granulasi dalam kelompok anak bekisar antara 12,3% sampai 56%. Granulasi
menjadi komplikasi jika menimbulkan gejala dan memerlukan intervensi (8,4%).
Komplikasi yang paling mengancam jiwa pada penelitiannya adalah sumbatan
total pada kanul akibat plug lendir (29,3%) dan accidental decannulation (15,2%).
Komplikasi lain yang mengancam jiwa adalah pneumotoraks, emfisema subkutis
atau fistel arteri trakeoinomina.17

Komplikasi yang timbul akibat trakeostomi dapat bervariasi dari skala ringan
(misalnya jaringan granulasi) hingga fatal, yang dapat menyebabkan kematian
(fistula trakeoinominata, sumbatan jalan napas). Komplikasi trakeostomi juga
dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu komplikasi intraoperatif (immediate/
intraoperative complications), komplikasi dini pascaoperatif (early postoperative
complications), komplikasi lanjut pascaoperatif (late postoperative
complications). Komplikasi intraoperatif seperti perdarahan, cedera laring &
trakea, fistel trakeoesofagus intraoperatif, pneumotorak, emboli udara,
cardiopulmonary arrest, kebakaran intraoperatif. Komplikasi dini pascaoperatif
terjadi pada minggu pertama seperti perubahan posisi kanul, sumbatan kanul,

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
21

perdarahan pascaoperasi, infeksi, emfisema subkutis, pneumomediastinum dan


edema paru pasca sumbatan jalan napas. Komplikasi lambat pascaoperatif seperti
jaringan granulasi, fistel trakeokutan.5, 35-37

2.8.1 Komplikasi Intra operatif

Komplikasi yang dapat terjadi saat dilakukannya tindakan trakeostomi di


antaranya adalah perdarahan intraoperatif, cedera laring & trakea, fistel
trakeoesofagus intraoperatif, pneumotorak, emboli udara, cardiopulmonary arrest
dan kebakaran intraoperasi.

2.8.1.1 Perdarahan Intraoperatif


Perdarahan merupakan salah satu komplikasi trakeostomi yang jarang namun jika
terjadi umumnya fatal. Perdarahan dapat terjadi saat dan pasca tindakan
trakeostomi. Perdarahan primer saat trakeostomi umumnya akibat cedera pada
vena jugularis anterior disaat diseksi terutama saat prosedur darurat atau isthmus
tiroid saat mobilisasi dari dinding anterior trakea atau saat memisahkan dan
meligasi.23 Perdarahan juga dapat terjadi akibat laserasi pembuluh darah besar di
leher selama prosedur. Perdarahan hebat dapat terjadi pada arteri inominata letak
tinggi saat diseksi terlalu inferior.5

Perdarahan saat trakeostomi dikategorikan berdasarkan jumlah perdarahan yang


terjadi, yaitu perdarahan tidak biasa (unsual bleeding), perdarahan yang
berlebihan (excessive bleeding), perdarahan mayor dan perdarahan masif.
Perdarahan tidak biasa adalah perdarahan yang melebihi perdarahan yang tidak
diharapkan oleh operator karena melebihi estimasi perdarahan menurut operator.
Perdarahan yang berlebihan adalah perdarahan yang >20 ml dari estimasi
perdarahan. Perdarahan mayor adalah perdarahan dengan penurunan hematokrit
≥3 poin atau mendapatkan tranfusi darah ≥2 unit sel darah merah. Perdarahan
massif adalah penurunan hematokrit ≥6 poin atau mendapatkan tranfusi ≥2 unit
sel darah merah.31, 38
Insiden kerusakan arteri inominata lebih tinggi pada
trakeostomi di bawah cincin trakea keempat. Perdarahan minor lebih sering terjadi

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
22

dan diperkirakan hingga 40% kasus.5 Friedman dkk yang dikutip oleh Regan
dkk.39 membagi jenis perdarahan berdasarkan volumenya menjadi tiga kelompok,
yaitu: 1) Perdarahan kecil (25-100ml), 2) perdarahan sedang (100-250 ml) dan 3)
perdarahan berat (lebih dari 250ml).39

Sebelum dilakukan trakeostomi sebaiknya ditanyakan riwayat penyakit


sebelumnya dan riwayat penggunaan obat-obatan. Pasien dengan gangguan
koagulasi dan riwayat penggunaan obat antikoagulasi, aspirin atau anti inflamasi
non steroid dapat memengaruhi terjadinya perdarahan masif pada saat dan setelah
trakeostomi.31

Pencegahan perdarahan pasca trakeostomi dapat dilakukan dengan mempalpasi


didaerah substernal sebelum persiapan instrumen untuk menyingkirkan adanya
pulsasi prominen didaerah tersebut. Perdarahan dapat diminimalisir dengan
mengidentifikasi secara hati-hati dan mempertahankan tetap di garis tengah,
diseksi secara hati – hati lapis demi lapis, dan menjaga lapangan operasi dan
retraksi jaringan lunak tetap baik. Posisi pasien dan ekstensi leher juga harus
optimal. Jika menggunakan anestesi lokal, prosedur baru dimulai setelah efek
vasokonstriksi terjadi. Struktur seperti anterior vena jugularis dan ismus tiroid
harus diidentifikasi secara hati-hati untuk menghindari trauma yang tidak
diinginkan seperti perdarahan.31 Arteri inominata dapat melintang di depan
anterior trakea, sehingga rentan terhadap laserasi dan berpotensi perdarahan yang
mengancam jiwa.5, 40

Penatalaksanaan sementara pada perdarahan akibat fistel trakeoarteri adalah


dengan mengontrol perdarahan masif sekaligus menjaga jalan napas yang adekuat.
Banyak penulis menyarankan pemberian tekanan lebih pada balon trakeostomi
untuk memberikan efek tampon pada perdarahan sebagai langkah awal darurat
sebelum dilakukan eksplorasi. Pemberian tekanan lebih pada balok trakeostomi
selain membeli waktu untuk tindakan eksplorasi darurat, juga dapat mengurangi
aspirasi darah dan dapat menghindari sulit ventilasi. Pemberian tekanan lebih pada
balon trakeostomi dapat menghindari penggantian kanul trakeostomi dengan pipa
endotrakea untuk menghindari aspirasi.23

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
23

Penatalaksanaan perdarahan adalah dengan melakukan evaluasi setelah insersi


kanul trakeostomi untuk mencari sumber perdarahan. Adanya peningkatan
tekanan darah, yang dapat terjadi akibat adanya batuk saat insersi kanul
trakeostomi atau terjadinya pemulihan tekanan darah ke arah normal setelah
hipotensi relatif selama anestesi dapat menyamarkan sumber perdarahan saat
tindakan. Kanul trakeostomi jika diperlukan dapat diangkat terlebih dahulu jika
diduga sumber perdarahan letaknya di bawah luka insisi sehingga mendapat
lapang pandang yang baik dalam mencari sumber perdarahan. Retraktor dan
penghisap diperlukan untuk membantu identifikasi dan meligasi sumber
perdarahan. Perdarahan dapat dihentikan dengan elektrokauter atau ligasi.
Penghentian perdarahan hanya dengan menggunakan kassa dapat menimbulkan
emfisema subkutis.5, 31

2.8.1.2 Cedera laring dan trakea


Pada trakeostomi perlu dihindari kerusakan pada dinding posterior trakea,
kartilago krikoid, cincin trakea pertama dan nervus laringeus rekuren. Cedera
pada dinding posterior trakea dapat menyebabkan fistel tracheoesophageal. Pada
prosedur trakeostomi, Chevalier Jackson menyarankan untuk menghindari cedera
pada kartilago krikoid karena dapat menyebabkan kondritis yang dapat berlanjut
menjadi stenosis subglotis. Pasien dengan komplikasi stenosis suglotik umumnya
ditemukan pada pasien trakeostomi darurat. Diperlukan tindakan trakeostomi
ulang di lokasi yang lebih inferior dari lokasi sebelumnya jika tindakan
trakeostomi sebelumnya mencederai kartilago krikoid. Cedera kartilago krikoid
juga sering terjadi pada operator yang kurang berpengalaman.31 Diseksi lateral
trakea harus dihindari karena berisiko cedera pada nervus laringeus rekuren serta
selubung karotis.3

2.8.1.3 Fistel Trakeoesofagus intraoperatif/ Intraoperative Tracheoesophageal


Fistula (TEF)
Fistel trakeoesofagus intraoperatif juga dapat menjadi komplikasi pasca
trakeostomi lanjut akibat cedera cuff kanul trakeostomi, erosi selang nasogastrik
dan cedera langsung. Penetrasi pada dinding posterior trakea dapat menimbulkan

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
24

fistel antara dinding posterior trakea dan dinding anterior esophagus yang disebut
fistel trakeoesofagus intraoperatif/ Intraoperative Tracheoesophageal Fistula
(TEF).31

Fistel trakeoesofagus intraoperatif dicegah dengan membuka trakea cukup lebar


sehingga dapat memasukkan kanul trakeostomi dengan melihat secara langsung
trakea. Trakea akan lebih sulit diidentifikasi pada beberapa situasi seperti adanya
riwayat operasi di leher, massa di leher, obesitas, leher pendek dan kelainan
servikal. Pada kondisi seperti ini, dapat digunakan bronkoskopi serat lentur atau
menggunakan Trachlight sebagai penuntun.31

Penatalaksanaan TEF adalah dengan melakukan penutupan fistel sesegera


mungkin. Asupan makanan untuk sementara melalui selang nasogastrik sampai
luka penutupan fistel membaik. Antibiotik harus diberikan untuk mencegah
infeksi.5

2.8.1.4 Pneumotorak
Pada pasien dewasa, komplikasi pneumotorak umumnya timbul pada trakeostomi
darurat akibat rupturnya pulmonary bleb pada pasien sesak berat yang sedang
berusaha kuat untuk bernapas, gasping atau batuk-batuk kuat selama prosedur
dengan anestesi lokal. Pneumotorak juga dapat terjadi karena cedera langsung
pada pleura, akibat kontak langsung dengan pisau saat insisi dan akibat
pendorongan yang berlebihan saat insersi kanul trakeostomi sehingga salah jalur,
yaitu kanul trakeostomi masuk di antara dinding anterior trakea dan jaringan lunak
anterior mediastinum. Pneumotorak sering timbul pada pasien anak karena letak
apek pleura di leher lebih tingggi pada anak dibandingkan pada dewasa sehingga
mudah cedera dan lebih rentan lagi pada trakeostomi letak rendah. Tokur dkk.41
menyatakan bahwa kejadian pneumotoraks pada dewasa selama trakeostomi
dilaporkan sekitar 0-4%, sedangkan pada anak sekitar 10-17%. Kumar dkk.42
menyatakan bahwa komplikasi pneumotorak terjadi 17% pada anak usia >12
bulan, >4% pada bayi, >28% pada bayi prematur dan bayi baru lahir. Dispneu
pasien dengan komplikasi pneumotorak umumnya tidak membaik setelah

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
25

trakeostomi dan PaO2 tetap rendah. Rontgen torak dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi diagnosis. 31, 42

Gambar 2.7. Gambaran pneumotorak.43

Pneumotorak dapat dihindari dengan melakukan tindakan trakeostomi sesuai


prosedur dan insersi kanul trakeostomi secara hati-hati. Pastikan trakeostomi
dilakukan pada level yang benar pada trakea. Insersi kanul trakeostomi harus
dilakukan dalam kondisi dapat melihat langsung trakea dan dalam penerangan
yang cukup. Jika pasien bernapas secara spontan, pastikan pasase udara lancar
setelah insersi kanul trakeostomi. Jika pasien dalam anastesi umum, posisi kanul
harus di cek dengan menggunakan kateter penghisap.31

Beberapa ahli menyarankan dilakukan rontgen torak rutin pascatrakeostomi,


namun Smith dkk.44 menyarankan rontgen torak hanya dilakukan pada kasus
trakeostomi darurat, prosedur yang mengalami kesulitan atau pasien dengan tanda
dan gejala klinis pneumotorak.5, 44

Pneumotoraks dapat dicegah dengan menstabilkan jalan napas terlebih dahulu


sebelum dilakukan trakeostomi dan membatasi diseksi untuk tetap di daerah garis
tengah (midline). Insersi kanul trakeostomi harus dilakukan dengan visualisasi
langsung dan lapang pandang yang baik. Penghisapan sekret dari stoma
menggunakan kateter penghisap fleksibel harus dilakukan segera setelah insersi
kanul trakeostomi. End-tidal CO2 harus segera dikonfirmasi oleh ahli anestesi.
Oksigenasi melalui kanul trakeostomi dapat ditunda sampai selesai dikonfirmasi
oleh operator sehingga dapat menghindari adanya insuflasi ke mediastinum. Jika
diperlukan kanul trakeostomi dapat dikeluarkan dan untuk sementara retraktor

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
26

dapat dipasang di stoma untuk mempertahankan patensi sementara dan dilakukan


insersi ulang dengan visualisasi langsung. Penatalaksanaan pneumotoraks
iatrogenik yaitu melakukan intervensi seminimal mungkin dan sesuai klinis
pasien. Penatalaksanaan pneumotoraks dengan gejala harus dilakukan tindakan
drainase interkostal dengan insersi pipa pada torak.5, 31, 41

2.8.1.5 Pneumomediastinum
Pneumomediastinum adalah akumulasi udara pada rongga mediastinum.
Komplikasi ini cukup sering terjadi pascatrakeostomi terutama pada pasien anak-
anak.31 Dilaporkan sebanyak 43% terjadi pada anak di atas 1 tahun dan 28%
terjadi pada anak di bawah 1 tahun.31, 45 Komplikasi pneumomediastinum dapat
timbul akibat penekanan udara ke mediastinum pada pasien dengan sumbatan
jalan napas yang sedang berusaha keras. Pneumomediastinum juga dapat terjadi
saat insisi kulit dan fasia pada daerah servikal yang menembus sampai ke rongga
mediastinum. Penyebab lain adalah adanya batuk yang terus menerus dan kuat
sehingga menyebabkan tekanan udara dari luka insisi pada stoma ke lapisan
jaringan yang lebih dalam pada leher. Gejala klinis umumnya timbul batuk, sesak
napas dan nyeri dada. Diagnosis komplikasi ditegakkan dengan pemeriksaan
rontgen torak.5

Untuk mencegah terjadinya komplikasi pneumomediastinum maka usahakan


untuk menstabilkan jalan napas sebelum tindakan trakeostomi dimulai dengan
pemasangan pipa endotrakea jika memungkinkan. Saat tindakan trakeostomi
usahakan tidak membuat diseksi trakea yang terlalu besar. Pneumotorak sering
timbul akibat diseksi yang terlalu luas di peritrakea sehingga operator harus
berhati-hati dalam mengerjakan teknik trakeostomi dan membatasi diseksi hanya
di daerah anterior trakea. 5, 31

Penatalaksanaan pneumomediastinum tergantung banyaknya udara yang masuk ke


dalam rongga mediastinum. Jika jumlah udara tidak terlalu banyak maka udara
yang ada di mediastinum akan diserap secara spontan. Jika jumlah udara yang

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
27

masuk cukup banyak dan sampai menimbulkan gejala klinis maka diperlukan
pemasangan pipa drainase di toraks (chest tube).31

2.8.1.6 Emboli udara


Emboli udara dapat terjadi akibat aspirasi udara ke dalam pembuluh darah vena.
Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang terjadi.3 Komplikasi emboli
udara pada trakeostomi umumnya terjadi akibat cedera vena jugularis interna.3
Saat inspirasi, terjadi tekanan negatif pada vena. Saat terjadi kebocoran pada
struktur vena, tekanan negatif tersebut akan menyebabkan udara tertarik ke dalam
vena sehingga terjadi emboli udara. Hal ini sering terjadi pada tindakan
trakeostomi dengan pasien sadar, saat keadaan sumbatan jalan napas akan
mengakibatkan distensi pada sirkulasi vena di leher. Udara yang masuk dalam
peredaran darah vena akan berjalan melewati sirkulasi pulmoner menuju ke
atrium dan ventrikel jantung kanan, kemudian menuju arteri pulmoner dan dapat
mengganggu sistem pertukaran gas dalam darah, terjadi gangguan irama jantung,
hipertensi pulmoner bahkan mengakibatkan gagal jantung dan henti jantung. Jika
jumlah udara yang masuk ke dalam pembuluh darah sangat sedikit, udara akan
pecah dan diserap ke dalam sistem sirkulasi. Udara yang masuk ke dalam
pembuluh darah vena sebanyak 0,5 ml atau lebih dan berhasil masuk ke dalam
arteri koronaria desendens kiri akan mengakibatkan fibrilasi ventrikel.5, 46

Untuk mencegah terjadinya emboli udara, seluruh pembuluh darah vena harus
dikontrol secara menyeluruh untuk dapat menghindari potensi terjadinya
komplikasi yang mematikan. Trakeostomi disarankan dengan mempertahankan
diseksi tetap di garis tengah leher (midline) dan di atas ismus tiroid untuk
meminimalkan cedera pada vena sehingga meminimalkan pembengkakan vena
yang signifikan.3, 5

Saat dicurigai adanya emboli udara, sebaiknya dilakukan pemberian oksigen


100% dan intubasi jika terjadi stres pernapasan yang signifikan atau hipoksemia
refrakter. Pemberian oksigen ini dapat memperkecil ukuran dari gelembung
dengan memperbesar kadar nitrogen yang keluar. Selanjutnya pasien dapat

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
28

diletakkan dengan posisi trendelenburg dan posisi miring ke kiri. Maneuver ini
dapat mengeluarkan udara yang terperangkap dalam apeks ventrikel dan
mencegah udara masuk ke dalam sistem arteri pulmonal dan untuk
mempertahankan output ventrikel kanan. Hal lain yang dapat dilakukan adalah
resusitasi cairan untuk mempertahankan tekanan arteri sistemik dan penggunaan
vasopresor/ obat beta adrenergik bila diperlukan. Hiperbarik juga dapat
dipertimbangkan untuk menekan terjadinya gelembung-gelembung udara,
meningkatkan oksigenasi ke jaringan iskemik dan menurunkan tekanan intra
kranial. Emboli paru yang berlanjut dengan gagal sirkulasi diatasi dengan
resusitasi jantung-paru.5

2.8.1.7 Cardiopulmonary Arrest


Henti jantung dan henti napas dapat terjadi akibat pemasangan kanul trakeostomi
yang tidak baik sehingga terjadi false route dan timbul udem paru. Henti jantung
juga dapat terjadi jika prosedur trakeostomi dilakukan terlalu rendah di trakea dan
ujung kanul trakeostomi tertutup oleh dinding anterior trakea.
Pneumomediastinum dan pneumotorak akibat tekanan positif ventilasi dapat
menyebabkan henti jantung dan henti napas. Henti jantung diikuti dengan henti
napas dapat terjadi saat membuka trakea pada pasien dengan sumbatan jalan napas
atas kronis. Hal tersebut terjadi akibat berkurangnya stimulus hipoksemi, kadar
CO2 yang tinggi, terhadap pusat kemoreseptor. Hipoksia dan asidosis dapat
menimbulkan iritabilitas miokard dan dapat menimbulkan henti jantung.
Pemulihan sumbatan jalan napas atas kronis secara mendadak, dengan
dilakukannya trakeostomi, dapat menimbulkan udem paru. Hal tersebut timbul
akibat multifaktorial dan berhubungan dengan hipoksia, perubahan drastis
hemodinamik yang timbul saat respirasi dan kemungkinan adanya gangguan pada
endothelial paru. Hemodinamik pada paru dan fase ekspirasi pada pernapasan
mengalami perubahan saat insersi kanul trakeostomi, meningkatkan arus balik
vena sistemik (systemic venous return) dan mengakibatkan udem paru.31

Henti jantung dan henti napas dapat diminimalisir dengan melakukan prosedur
trakeostomi dengan pendampingan anestesiologi untuk memonitor pasien.

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
29

Anestesiologis diharapkan dapat mengawasi ancaman henti napas. Jika indikasi


trakeostomi adalah intubasi lama, anestesiologi dapat mempersiapkan intubasi
ulang untuk resusitasi jika hal tersebut terjadi sehingga pasien mendapatkan
oksigenisasi yang adekuat sampai hipoksia teratasi dan respon kemoreseptor
sentral kembali stabil.31

Penatalaksanaan udem paru adalah dengan menggunakan Ventilasi tekanan positif


kontinyu/ Continuous positive airway (CPAP) ventilation saat pasien mengalami
udem paru akut setelah dilakukan insersi kanul trakeostomi dan dilakukan
monitoring di ruang intensif. Penggunaan CPAP bersama pemberian diuretik
umumnya dapat mengatasi udem paru dalam waktu 24 jam dan dapat mengurangi
onset udem paru saat sumbatan jalan napas teratasi. Udem paru sering
terdiagnosis setelah keadaan klinis pasien buruk sehingga terlambat dalam
penanganan. Pada prosedur trakeostomi, operator harus memastikan ada tidaknya
udem paru dan jika terjadi harus dilakukan penanganan yang tepat.31

2.8.1.8 Kebakaran intra operatif


Di Amerika proporsi kebakaran intra operatif mencapai 100 kasus per tahun.5, 47
Komplikasi kebakaran pada saluran napas jarang dimasukkan pada daftar ceklis
yang umum digunakan sehingga potensi komplikasi tersebut jarang diperhatikan
atau disadari oleh operator. Kebakaran pada saluran napas akan timbul jika ada 3
faktor yaitu jika ada bahan bakar, oksigen dan panas. Bahan bakar yang dimaksud
bisa berupa suatu pipa endotrakeal, kain penutup, kapas, larutan alkohol atau
jaringan adiposa yang mudah menguap (vapourised adipose tissue). Sumber
oksigen dapat berupa oksigen murni atau nitrit oksida. Sumber panas dapat
ditimbulkan dari pemanas, laser, listrik atau cahaya bohlam. Selama tindakan
trakeostomi harus dikondisikan agar ketiga faktor tersebut tidak digunakan secara
bersamaan untuk mengurangi risiko kebakaran pada saluran napas.48, 49

Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mencegah timbulnya kebakaran pada
saluran napas adalah seluruh anggota tim operasi harus mengetahui dan
menyadari adanya bahaya kebakaran pada saluran napas yang dapat terjadi

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
30

selama tindakan trakeostomi. Sepanjang tindakan, harus disediakan kassa yang


dibasahi larutan garam. Pemadam api darurat disediakan di ruang operasi untuk
mengatasi kebakaran ruang operasi. Ambu bag disediakan untuk ventilasi
menggunakan udara bebas. Usahakan untuk menghindari penggunaan nitrit oksida
atau gas anestesi lainnya yang mudah terbakar. Konsentrasi oksigen yang
digunakan sebaiknya dipertahankan dalam kadar rendah dan tidak melebihi 50%
FiO2 (fraction of inspired oxygen).50 Kebakaran intraoperasi dapat terjasi akibat
penggunaan elektrokauter dekat oksigen yang berkonsentrasi tinggi. Jika pasien
menggunakan pipa endotrakea sebelum trakesotomi, gunakan pipa endotrakea
lumen tunggal yang cukup panjang sampai ujungnya mendekati karina. Balon
pipa endotrakea sebaiknya dikembangkan menggunakan larutan garam dan
pastikan tidak ada kebocoran gas anestesi pada balon pipa endotrakea.
Penggunaan nitrogen dan helium usahakan dalam batas aman terendah. Saat
insisi trakea, usahakan jangan menggunakan kauter untuk membuka trakea dan
hindari merusak balon pipa endotrakea. Saat akan memasukkan kanul trakeostomi
usahakan tidak merusak balon kanul endotrakea. Jika luka trakeostomi sangat
dalam, misalnya pada pasien obesitas gunakan kateter penghisap jika
menggunakan alat yang dapat menimbulkan panas. Jika operator akan
menggunakan kauter untuk mengatasi perdarahan setelah insisi trakea, sebaiknya
menggunakan kauter bipolar. Kassa yang dibasahi larutan garam digunakan di
sekitar insisi untuk menyumbat setiap kebocoran udara.48

Jika terjadi kebakaran, segera putuskan pasien dari mesin anestesi, matikan aliran
gas anestesi, lepaskan pipa gas dan ventilasi menggunakan udara ruangan dan
ambu bag. Gunakan filter saluran napas jika terdapat asap di ruang operasi dan
padamkan api. Pembilasan bagian bawah pipa endotrakea untuk memadamkan api
intraluminal dapat dipertimbangkan. Penggantian pipa endotrakea dapat
dipertimbangkan untuk meminimalkan efek toksik dari hasil produk pembakaran
dan menghindari penyebaran api ke dalam saluran napas lebih lanjut kecuali
pasien riwayat sulit intubasi atau jalan napas menjadi udem.5

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
31

2.8.2 Komplikasi Dini Pascaoperatif


Komplikasi yang dapat terjadi sesaat setelah dilakukannya tindakan trakeostomi di
antaranya adalah perubahan posisi kanul trakeostomi, sumbatan kanul, perdarahan
pascaoperasi, infeksi, emfisema subkutis, pneumomediastinum, edema paru pasca
sumbatan jalan napas dan lepasnya kanul.5

2.8.2.1 Perubahan posisi kanul trakeostomi


Insiden perubahan posisi kanul trakeostomi termasuk rendah yaitu sekitar 1,5%,
namun memiliki angka kematian yang tinggi jika hal tersebut terjadi.31
Komplikasi ini akan berbahaya jika perubahan posisi kanul trakeostomi terjadi
saat saluran (tract) antara kulit dan trakea belum matur. Maturitas saluran antara
kulit dan trakea mulai terjadi sekitar 5 sampai 6 hari pasca trakeostomi.31, 51

Saluran dikatakan matur sekitar 10 sampai 14 hari.31, 52 Jika saluran belum matur,
jaringan akan dengan mudah tertutup kembali saat terjadi perubahan posisi kanul
sehingga dapat menimbulkan sumbatan total saluran napas yang mengakibatkan
gagal napas dan kematian. Gejala akibat perubahan posisi kanul trakeostomi
kadang tidak timbul segera, terutama pada kasus yang tidak total menutup jalan
napas dan tidak tergantung ventilator.5, 31

Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi terjadinya perubahan posisi


kanul trakeostomi. Pertama, longgarnya tali atau jahitan pada stoma yang
memfiksasi kanul trakeostomi, terutama saat resolusi emfisema subkutis atau
edema pada leher. Kedua, penggunaan panjang kanul trakeostomi yang tidak
sesuai. Ketiga, batuk yang berlebihan. Keempat, gerakan berlebihan pada pasien
gaduh gelisah, tidak kooperatif, delirium atau pasien dibawah pengaruh sedasi.
Kelima, pasien dengan berat badan berlebih (overweight) mengakibatkan jarak
yang lebih jauh antara kulit dengan trakea.31, 53

Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya perubahan posisi


kanul trakeostomi adalah dengan memastikan posisi kanul dalam posisi baik saat
insersi kanul trakeostomi. Kateter penghisap dapat dimasukkan ke dalam kanul
sampai ke ujung kanul trakeostomi untuk memastikan posisi kanul baik.

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
32

Bronkoskopi serat lentur dapat digunakan untuk memastikan posisi kanul. Kanul
trakeostomi difiksasi dengan pengikatan tali kanul yang cukup ketat yaitu dapat
masuk sekitar satu jari antara tali kanul dengan kulit leher sebelum diletakkan
kassa atau dapat dilakukan penjahitan kanul ke kulit. Lakukan evaluasi kanul
trakeostomi secara berkala pada pasien pasca trakeostomi. Ventilator dan pipa
penghubung oksigen diposisikan tidak memberikan tegangan pada kanul
trakeostomi. Minimalisir transport dan mobilisasi pasien.31

Penatalaksanaan segera pada kondisi kehilangan jalur (tract) akibat perubahan


posisi kanul trakeostomi pada stoma yang masih imatur adalah sebisa mungkin
memasangkan ventilasi masker sampai jalan napas distabilkan dengan
pemasangan pipa endotrakea secara oral jika indikasi trakeostomi bukan sumbatan
jalan napas atas sambil mempersiapkan peralatan untuk insersi ulang kanul
trakeostomi.52 Posisikan badan supinasi, ekstensi leher, gunakan pencahayaan
yang baik dan gunakan peralatan untuk membuka stoma. Jika terdapat jahitan
traksi maka traksi dapat ditarik agar stoma terbuka. Lakukan penghisapan pada
daerah stoma sampai jalur pada stoma tervisualisasi dengan baik. Penggunaan
kanul baru disarankan menggunakan ukuran di bawah ukuran kanul sebelumnya
agar tidak terjadi cidera pada jaringan sekitar stoma. Insersi kanul trakeostomi dan
pastikan posisi kanul baik dengan memasukkan kateter penghisap sampai ke
ujung kanul trakeostomi. Laringoskop serat lentur atau kateter penghisap dapat
digunakan sebagai penuntun untuk insersi kanul trakeostomi. Jika kejadian darurat
dan tidak terdapat peralatan yang memadai untuk tindakan insersi kanul
trakeostomi, stoma dapat diidentifikasi menggunakan jari dan memasukkan kanul
trakeostomi dengan perasaan.3, 5, 31

2.8.2.2 Sumbatan kanul trakeostomi


Sumbatan kanul trakeostomi dapat disebabkan sekret yang mengering/ mucus
plugs, bekuan darah atau akibat perubahan posisi kanul trakeostomi. Mucus plugs
merupakan penyebab tersering komplikasi tersebut. Pada trakeostomi selain
terjadi pemintasan jalan napas juga terjadi pemintasan proses humidifikasi
sehingga pasien memiliki sekret yang lebih mudah kering dan berisiko menutup

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
33

lumen kanul. Perawatan kanul dan penghisapan berkala harus dilakukan cukup
sering karena pada kanul trakeostomi anak umumnya tidak ada kanul dalam.5, 31

Komplikasi sumbatan kanul trakeostomi dapat dikurangi dengan melakukan


tindakan trakeostomi sesuai prosedur, humidifikasi yang baik, penggunaan kanul
dalam dan perawatan kanul yang baik. Pascatrakeostomi pastikan ujung kanul
trakeostomi tidak tertutup oleh dinding trakea anterior atau posterior. Kanul
trakeostomi harus dilakukan penghisapan secara berkala, hidrasi yang adekuat dan
menggunakan oksigen humidifikasi. Pencegahan lain adalah dengan
membersihkan kanul dalam secara berkala.5, 15, 31

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk pasien dengan sesak napas akibat
sumbatan kanul trakeostomi adalah dengan mencabut kanul dalam. Jika terdapat
sumbatan tampak pada kanul dalam, pasien akan bernapas dengan baik setelah
pencabutan. Jika kanul dalam ternyata dalam keadaan bersih, maka mucus plugs
mungkin terletak pada saluran napas lebih dalam. Segera lakukan penghisapan
dengan kateter suction sampai melewati ujung kanul trakeostomi. Jika mucus
plugs tidak dapat diangkat dengan penghisapan, dapat dilakukan humidifikasi dan
pemberian garam fisiologis kurang lebih 5ml untuk mengencerkan sekret kering
kemudian dilanjutkan dengan penghisapan. Jika stoma diperkirakan telah matur
maka kanul trakeostomi dapat dilepas dan dilakukan penghisapan langsung dari
stoma. Bronkoskopi dapat dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengambil
mucus plugs.5, 15, 31

2.8.2.3 Perdarahan pascaoperatif


Perdarahan pascaoperatif dapat terjadi akibat ligasi yang tidak adekuat setelah
pemotongan ismus tiroid, erosi pembuluh darah, perdarahan dari jaringan
granulasi atau perdarahan dari dinding trakea akibat tindakan penghisapan kanul
trakeostomi yang agresif. Selain itu perdarahan pascaoperatif juga dapat terjadi
akibat efek vasokonstriksi dari zat anestesi lokal yang telah habis atau sebagai
akibat dari meningkatnya tekanan darah dari kondisi pasien yang sebelumnya
hipotensi.5

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
34

Perdarahan saat trakeostomi dapat terjadi juga akibat erosi pada arteri
brakiosefalika, vena brakiosefalika, arteri karotis dan arkus aorta. Hal ini dapat
terjadi pada trakeostomi letak rendah. Fistel trakeoarteri pasca trakeostomi
menyebabkan perdarahan masif yang jarang terjadi namun dapat serius dan sering
fatal. Trunkus brakiosefalika umumnya berisiko erosi karena berdekatan dengan
trakea. Faktor-faktor yang mempengaruhi adanya fistula adalah adanya tekanan
dari gesekan kanul pada trakea dan pembuluh darah yang berdekatan, infeksi,
invasi keganasan ke pembuluh darah yang berdekatan dengan trakea dan pada
trakeostomi letak rendah.23

Erosi pembuluh darah besar setelah trakeostomi biasanya disebabkan oleh


nekrosis tekanan akibat kanul trakeostomi. Erosi sering terjadi jika trakeostomi
dilakukan di bawah cincin trakea keempat. Mekanisme erosi melibatkan tekanan
langsung dan tekanan tidak langsung dari kanul trakeostomi. Tekanan tidak
langsung diberikan oleh ujung kanul yang bersinggungan dengan dinding trakea
anterior dan tekanan langsung terjadi ketika kanul bergesekan dengan pembuluh
darah langsung. Faktor lain yang memengaruhi terjadinya fistel trakeoarteri
adalah penggunaan ventilasi yang mengakibatkan gerakan kontinu dari kanul
trakeostomi (piston-like movement), tekanan cuff yang berlebihan dan terus-
menerus, infeksi di sekitar stoma trakeostomi, dan invasi neoplastik ganas ke
pembuluh darah dekat trakea.23

Trakeostomi letak rendah dapat menyebabkan hentakan antara pembuluh darah


dengan tepi inferior kanul yang sehingga menyebabkan erosi pembuluh darah,
karena itu trakeostomi sebaiknya tidak harus dilakukan lebih rendah dari cincin
trakea ketiga. Nekrotik dapat terjadi pada ligamen interkartilagenous dan dapat
meluas sampai ke kartilago trakea sehingga dapat menyebabkan perforasi pada
dinding trakea, juka berlanjut kanul dapat langsung merusak dinding arteri. Jika
trakeostomi terlalu rendah, permukaan cekung dari kanul trakeostomi dekat
dengan arteri brakiosefalika sehingga terjadi tekanan langsung. Utley dkk. yang
dikutip oleh Praven23 menjelaskan bahwa, dengan mengurangi kelengkungan

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
35

tabung trakeostomi dari 90° sampai 60° ternyata dapat mengurangi kejadian
erosi.23

Jika terjadi perdarahan yang cukup hebat, dapat dilakukan operasi untuk
eksplorasi sumber perdarahan dan atasi perdarahan dengan kauter atau ligasi
sumber perdarahan. Perdarahan yang minimal dapat diatasi dengan penekanan
pada sumber perdarahan dengan kasa atau dengan menggunakan balon cuff kanul
trakeostomi. Perdarahan yang berkelanjutan dapat terjadi akibat gangguan dalam
sistem hemostasis pasien. Kanul trakeostomi yang tampak bergerak pulsatif dapat
dicurigai menekan arteri inominata sehingga disarankan untuk dilakukan
trakeostomi di atas posisi trakeostomi sebelumnya. 5, 31

2.8.2.4 Infeksi
Infeksi pada stoma dapat terjadi terutama pada trakeostomi darurat dengan
sterilitas operasi yang rendah. Penggunaan kassa dan desinfektan ternyata juga
dapat menjadi penyebab infeksi pada stoma karena dapat memicu timbulnya
cedera pada stoma dan mengganggu proses penyembuhan. Stauffer yang dikutip
oleh Bove melaporkan proporsi infeksi pada stoma sebanyak 36% dari seluruh
kasus trakeostomi. Kejadian selulitis dan purulensi dilaporkan terjadi sebanyak 3-
8%. Infeksi stoma dapat bermanifestasi sebagai infeksi yang ringan, selulitis
ringan atau jaringan granulasi. Infeksi yang serius pada stoma mencakup
mediastinitis, fasitis, abses dan osteomielitis pada klavikula. Jika infeksi berlanjut
maka dapat mengakibatkan trakeitis, perikondritis, stenosis trakea, hilangnya
jaringan trakea, kebocoran pada trakea dan perdarahan. Area peristoma dapat
dengan cepat terbentuk kolonisasi kuman dan ditemukan kuman pseudomonas
sekitar 85%.3, 5

Tindakan pencegahan infeksi pada stoma dapat dilakukan dengan menjaga


kebersihan stoma, dengan cara membersihkan kanul dan mengganti kassa pada
stoma secara berkala. Kasa di stoma diberikan antiseptik untuk mencegah infeksi
pada luka insisi. Jika dilakukan penjahitan pada trakea maka benang harus
dilepaskan saat stoma sudah matur.5

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
36

Pemasangan perban fibrous yang mengandung carboxy methylcellulose natrium


atau yang biasa disebut Aquacel dan drain sponges anti mikroba yang
mengandung polyhexamethylene biguanide dapat digunakan untuk mengontrol
infeksi pada stoma tanpa mengganggu flora normal seperti α-hemolytic
streptococcus and Staphylococcus epidermidis.31 Tatalaksana infeksi yang serius
seperti abses paratrakeal mediastinal diperlukan antibiotik intravena dan tindakan
pengeluaran pus dengan aspirasi berulang atau pembedahan.31

Penggunaan antibiotik sebagai profilaksis sampai saat ini masih kontroversial.3


Studi yang dilakukan oleh Sasaki yang dikutip Bove menunjukkan bahwa pada
hewan coba yang diberikan povidone-iodine dan antibiotik sistemik untuk
profilaksis dapat mencegah pertumbuhan bakteri dan kerusakan pada laring. Pada
studi lain dilaporkan bahwa penggunaan antibiotik perioperatif hanya digunakan
untuk kuman patogen yang resisten dan akan menurunkan jumlah flora normal
kulit seperti Streptococcus Beta-hemoliticus dan Staphylococcus epidermidis.5, 54,
55

Sebaiknya dilakukan penggantian kanul trakeostomi secara rutin. Penggantian


kanul dilakukan 10-14 hari pada kanul trakeostomi tanpa kanul dalam, sedangkan
yang menggunakan kanul dalam penggantian kanul sebaiknya setiap 30 hari.5

Infeksi nekrotik dapat menyebabkan hilangnya jaringan trakea, bocornya udara


pernapasan dan terjadinya perdarahan masif. Pasien dengan penggunaan
trakeostomi dalam jangka waktu lama dapat terjadi bakteremia, sepsis, pneumonia
berulang dan timbulnya kolonisasi bakteri yang resisten dengan antibiotik. Saat
ini, biofilm juga ditemukan pada pemukaan kanul dalam trakeostomi. Bakteri
yang terdapat pada biofilm resisten pada beberapa antibiotik yang biasa
digunakan. Penatalaksanaan pada infeksi peristoma umumnya respon hanya
dengan perawatan luka infeksi saja.31

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
37

2.8.2.5 Emfisema Subkutis


Insiden emfisema subkutis pascatrakeostomi sekitar 0-4%.31 Komplikasi berupa
emfisema subkutis dapat terjadi akibat adanya tekanan udara yang cukup besar
pada jaringan mukosa saat pasien batuk-batuk kuat saat dilakukan trakeostomi
atau sesaat pasca trakeostomi. Emfisema subkutis pascatrakeostomi juga dapat
terjadi pada penjahitan luka insisi atau penggunaan kassa pada penggunaan kanul
trakeostomi tanpa cuff sehingga udara dari trakea terperangkap di jaringan lunak
sekitar stoma . Ukuran kanul trakeostomi yang terlalu kecil atau insisi trakea yang
terlalu besar juga dapat menyebabkan aliran udara terperangkap pada jaringan
subkutis melalui sela-sela kanul dan trakea.3, 31

Gejala klinis emfisema subkutis pascatrakeostomi dapat ditemukan krepitasi di


sekitar stoma. Pada kasus yang berat emfisema subkutis dapat menyebabkan
bengkak pada seluruh tubuh akibat udara yang terperangkap di jaringan lunak.5, 31

Emfisema subkutis pasca trakeostomi dapat dicegah dengan mengamankan jalan


napas dengan pipa endotrakea sebelum melakukan pemasangan kanul
trakeostomi. Pipa endotrakea juga dapat memudahkan tindakan anestesi umum
dengan demikian dapat mencegah batuk saat pemasangan kanul trakeostomi. Cara
lain adalah dengan menghindari diseksi pada sisi trakea. Luka insisi kulit
sebaiknya tidak ditutup rapat agar udara dari trakea dapat langsung keluar. Selain
itu diperlukan juga menjaga agar aliran udara kanul tetap lancar.5

Sebagian besar kasus emfisema subkutis dapat diserap secara spontan oleh tubuh
dalam beberapa hari. Jika dilakukan penjahitan pada kulit maka benang harus
dilepas. Jika luka tertutup kassa maka kassa tersebut harus dilepas. Kanul
trakeostomi yang digunakan sebaiknya kanul dengan balon yang dikembangkan.
Pemasangan drain subkutis cukup efektif untuk mengatasi dekompresi dan
resolusi emfisema subkutis. Cara lain adalah dengan memasukkan kateter ukuran
sedang sampai besar atau melakukan banyak insisi untuk dekompresi udara yang
terperangkap di jaringan subkutan. Emfisema subkutis jika ditangani dengan baik
akan mengalami resolusi setelah 10 hari. 5, 31

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
38

2.8.2.6 Edema paru pasca sumbatan jalan napas


Edema paru pasca sumbatan jalan napas (postobstructive pulmonary edema)
disebut juga edema paru tekanan negatif. Penyebab terjadinya komplikasi ini
dihubungkan dengan keadaan hipoksia akibat sumbatan jalan napas. Terjadi
perubahan tekanan intrapleura yang mengakibatkan translokasi aliran darah
sistemik ke aliran darah paru yang kemudian meningkatkan tekanan
mikrovaskuler paru. Saat sumbatan jalan napas telah teratasi dengan tindakan
trakeostomi atau pemasangan kanulendotrakea, edema pada paru akan tampak
lebih jelas secara langsung atau dalam beberapa jam.5

Belum ada cara yang efektif untuk mencegah edema paru pasca sumbatan jalan
napas. Terapi yang dapat diberikan adalah oksigenasi yang adekuat, positive end-
expiratory pressure (PEEP) melalui ventilator dan diuretik.5

2.8.2.7 Gangguan menelan


Pada beberapa pasien yang telah dilakukan trakeostomi mengeluh sulit menelan
(disgafia). Suiter yang dikutip oleh Walvekar dan Myers31 mengatakan bahwa
salah satu akibat dari gangguan menelan yang paling sering terjadi adalah aspirasi
dimana mekanismenya berhubungan dengan mekanisme disfagia dengan insidensi
berkisar antara 50-87%. Ada beberapa hal yang diduga menyebabkan gangguan
menelan. Hal tersebut adalah adanya fiksasi parsial pada saat pergerakan laring,
berkurangnya elevasi laring dan adanya penekanan pada daerah cuff yang dapat
meningkatkan tekanan di segmen atas esophagus. Hal lain yang diduga
menyebabkan gangguan menelan adalah adanya penurunan sensitifitas dari laring
dan hipofaring, hilangnya stimulasi olfaktori dan gustatorik pada saat proses
menelan. Gangguan menelan ini biasanya berangsur membaik secara spontan
setelah pengempesan cuff.

2.8.3 Komplikasi lambat Pascaoperatif


Komplikasi lambat yang dapat terjadi pascaoperatif adalah jaringan granulasi,
fistel trakeoesofagus lambat, fistel trakeokutan, stenosis subglotis & trakea.5, 15, 56

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
39

2.8.3.1 Jaringan Granulasi pada Stoma


Jaringan granulasi umumnya timbul akibat tingginya kolonisasi bakteri dari stoma
akibat luka pada stoma selalu lembab sehingga dapat menimbulkan infeksi
bakteri. Jaringan granulasi juga dapat disebabkan adanya iritasi mekanis akibat
pergerakan kanul. Insiden jaringan granulasi sekitar 10-80%.5, 31
Jaringan
granulasi dapat terjadi di stoma dan di lumen trakea. Teraba kenyal dan berwarna
kemerahan akibat adanya pembuluh darah di dalamnya. Jika proses berlanjut akan
terbentuk jaringan fibrosis dan diselimuti jaringan epitel di dalamnya. Jaringan
granulasi sering menimbulkan stenosis trakea pada sisi trakea yang dilakukan
trakeostomi. Jaringan granulasi yang sampai menyebabkan stenosis dan
membutuhkan intervensi sekitar 3-12%.3 Jaringan granulasi yang menimbulkan
penyumbatan dapat menyebabkan kematian pada beberapa pasien khususnya
anak-anak.31 Jaringan granulasi dapat menyebabkan perdarahan, terutama pada
pasien yang mengalami gangguan koagulasi, kesulitan dalam penggantian kanul
trakeostomi, penundaan dekanulasi atau adanya sumbatan pada kanul trakeostomi
atau pada trakea. Kanul trakeostomi dapat dianggap sebagai benda asing sehingga
menimbulkan reaksi inflamasi akibat gerakan menelan dan efek pulsatif dari
ventilasi mekanik tekanan positif. Pada stoma, perbatasan pada mukokutan
memungkinkan kontak dengan kulit dan lembab berasal dari mukosa trakea.
Debris yang terakumulasi di sekitar kanul trakeostomi dapat menjadi sumber
kolonisasi bakteri dan infeksi. Jaringan granulasi menimbulkan respon iritasi yang
tidak diinginkan akibat adanya kanul trakeostomi lama.5, 31

Yaremchuk yang dikutip oleh Bove5 melaporkan bahwa penggantian kanul


trakeostomi secara berkala menurunkan proporsi jaringan granulasi yang
memerlukan intervensi pembedahan. Penggantian kanul trakeostomi yang sering
dilakukan juga mengurangi pembentukan jaringan granulasi atau reaksi inflamasi
pada stoma.5, 31

Penatalaksanaan jaringan granulasi dapat dilakukan dengan melakukan perawatan


stoma yang baik, pemberian antibiotik dan kortikosteroid topikal untuk
mengurangi kontaminasi bakteri, reaksi inflamasi dan pembentukan jaringan

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
40

granulasi. Penatalaksanaan lain berupa kauterisasi topikal dengan perak nitrat,


inhalasi kortikosteroid atau pembedahan jika jaringan granulasi telah
5, 31, 57
menimbulkan sumbatan.

2.8.3.2 Fistel trakeoesofageal lambat (late tracheoesophageal fistula)


Fistula trakeoesofageal termasuk komplikasi yang jarang terjadi pada trakeostomi.
Proporsi fistel trakeoesofageal sekitar 1%.3, 15 Komplikasi ini dapat timbul karena
nekrosis yang disebabkan tekanan balon trakeostomi yang berlebihan dan terus
menerus atau akibat malposisi kanul trakeostomi yang menekan dinding posterior.
Penggunaan selang makan juga dapat meningkatkan faktor risiko timbulnya fistel
trakeoesofagus. Fistula trakeoesofageal juga dapat terjadi akibat trauma pada
dinding trakea posterior pada saat insersi kanul. Fistula trakeoesofageal dicurigai
bila ada sekresi berlebihan, aspirasi berulang, kebocoran balon trakeostomi yang
terus menerus, distensi lambung berat atau keluarnya isi lambung melalui kanul
trakeostomi. Diagnosis dapat ditegakkan menggunakan esofagoskopi dengan
kontras atau visualisasi langsung dengan bronkoskopi.3, 5, 58

Pencegahan timbulnya fistel trakeoesofagus adalah selalu memastikan posisi


kanul trakesotomi dalam keadaan baik. Pasien yang terpasang selang makan dan
kanul trakeostomi harus dimonitor untuk memastikan bahwa tekanan balon berada
dalam batas normal.5

Fistel trakeoesofagus dapat menutup secara spontan sehingga dapat dilakukan


dengan drainase, pengobatan dengan antibiotik dan perhatian terhadap nutrisi
yang tepat. Jika tindakan konservatif tidak berhasil, dapat dilakukan stenting
esophagus dan trakea. Jika mediastinum terlibat dalam proses supuratif sekunder,
torakotomi dapat dilakukan untuk mengalirkan pus. Jika proses terisolasi di
daerah leher, dapat dilakukan insisi di daerah leher. 5

2.8.3.3 Fistel trakeokutan


Fistel trakeokutan terjadi akibat adanya epitelisasi pada stoma. Fistel trakeokutan
umumnya terjadi pada pasien yang menggunakan kanul trakeostomi dalam jangka

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
41

waktu lama.3 Insiden fistel trakeokutan terjadi sekitar 70% pada pasien yang
dilakukan dekanulasi setelah 16 minggu pasca trakeostomi sedangkan pada pasien
yang dilakukan dekanulasi sebelum 16 minggu pasca trakeostomi terjadi fistel
trakeokutan. Insiden terjadinya fistel trakeokutan pasca trakeostomi sekitar 3,3-
42%.31 Pada kasus trakeostomi anak, insiden terjadinya fistel trakeokutan cukup
tinggi pada pasien yang dilakukan insisi trakea dengan teknik starplasy.31 Fistel
trakeokutan sering ditemukan dengan jaringan parut disekitarnya. Jaringan parut
melekat sampai ke trakea, ditandai dengan ikut bergeraknya jaringan parut saat
menelan. Penurunan berat badan yang signifikan diikuti dengan penggunaan
kortikosteroid juga akan meningkatkan terjadinya fistel trakeokutaneus karena
berkurangnya jaringan subkutan di leher yang menyebabkan kulit semakin dekat
ke trakea. Fistel trakeokutan yang terus menerus dapat mengakibatkan aspirasi,
infeksi, batuk hebat, iritasi kulit dan masalah dari segi kosmetik.31

Fistel trakeokutaneus yang tidak menutup secara spontan setelah 6 bulan pasca
dekanulasi perlu dilakukan tindakan penutupan fistel. Penatalaksanaan fistel
trakeokutan dapat dengan melakukan eksisi epitel di seluruh tepi fistel dilanjutkan
dengan mendekatkan tepi fistel sampai fistel menutup sempurna karena terjadinya
proses penyembuhan luka. Hal ini sering digunakan pada kasus trakeostomi anak
karena teknik ini tidak banyak melakukan manipulasi pada trakea. Teknik ini
sering menimbulkan jaringan parut kembali sehingga perlu dilakukan revisi pada
kemudian hari. Myers yang dikutip oleh Walvekar31 menjelaskan bahwa teknik
penutupan fistel trakeokutan adalah dengan mengeksisi fistel dan merevisi
jaringan parut dalam satu tahap. Prosedur dilakukan dengan melakukan insisi
elips, kemudian jaringan parut antara kulit dan fistel dibebaskan. Jaringan epitel
skuamosa pada fistel ditinggalkan pada trakea dan dibalikkan ke dalam stoma
sebagai trap-door flap sehingga trakea tertutup oleh epitel skuamosa. Kulit bagian
superior dan inferior di sekitar fistel dipisahkan. Strap muscles biasanya terpisah
dari jaringan parut dan menempel ke sisi trakea. Strap muscles dibebaskan dan
didekatkan kembali di tengah fistel. Dilakukan penjahitan strap muscles dengan
mengisi daerah bekas jaringan parut dan memisahkan trakea dari kulit sehingga
mencegah timbulnya jaringan parut kembali. Penutupan jaringan subkutan dan

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
42

kulit tidak boleh ada tekanan dan menggunakan benang yang mudah di serap.
Pada permukaan kulit dapat dilekatkan perekat seperti Steri-Strips.3, 31

2.8.3.4 Stenosis subglotis dan trakea


Angka kejadian komplikasi stenosis trakea pasca trakeostomi sekitar 0,6-21%
kasus. Trakea menjadi stenosis umumnya pada level stoma, tip serta balon kanul.
Stenosis trakea paling sering timbul akibat balon kanul trakeostomi yang
bertekanan tinggi dan bervolume rendah. Hal ini dapat menimbulkan iskemia pada
mukosa, ulserasi, kondritis, nekrosis kartilago dan jaringan parut pada trakea.
Pada kasus stenosis pada stoma, umumnya terjadi akibat infeksi dan penggunaan
ukuran kanul yang terlalu besar. Kasus stenosis subglotis pasca trakeostomi sering
timbul pada trakeostomi letak tinggi karena mencederai kartilago krikoid. Cedera
pada daerah tersebut dapat membuat iskemia pada mukosa, kondritis, serta jika
disertai infeksi bakteri maka dapat menimbulkan destruksi kartilago dan jaringan
parut sehingga menyempitkan jalan napas atas.31

Pencegahan stenosis trakea adalah dengan menggunakan kanul yang memiliki


balon yang bertekanan rendah dan bervolume tinggi. Kanul jenis ini dapat
mengurangi timbulnya trauma pada trakea. Balon kanul juga sebaiknya
dikempeskan secara berkala untuk mencegah iskemia pada mukosa. Penggunaan
ukuran kanul yang sesuai juga akan mengurangi timbulnya stenosis stoma.5

Penatalaksanaan stenosis trakea adalah dengan pembedahan. Jika stenosis trakea


masih berukuran kecil, hanya mengenai satu cincin trakea atau hanya sepanjang
1cm tanpa jaringan parut dan destruksi kartilago, dapat digunakan dilator atau
laser CO2. Jika stenosis luas dapat dilakukan reseksi.31

2.10 PERAWATAN PASCA TRAKEOSTOMI


Perawatan pasien pascatrakeostomi sangatlah penting, karena perawatan yang
buruk dapat mengakibatkan kematian. Kematian yang sering terjadi biasanya
disebabkan oleh sumbatan pada kanul karena penumpukan sekret. Penggantian

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
43

kanul trakeostomi tidak boleh dilakukan sesaat setelah trakeostomi selesai


dikerjakan karena jalur trakeostomi belum matur.5

Gambar 2.8. Alat humidifikasi pada kanul trakeostomi.59

Setelah tindakan trakeostomi selesai, pasien dimonitor secara ketat. Trakeostomi


akan memintas mekanisme alami untuk melembabkan udara inspirasi sehingga
pasca trakeostomi harus di lengkapi dengan humidifikasi buatan. Tujuan
humidifikasi adalah untuk mencegah terjadinya kekeringan pada trakea, trakeitis
atau terbentuknya krusta. Untuk melembabkan udara pernapasan dapat digunakan
alat nebulizer. Bila sekret yang timbul menjadi kental atau kering dapat
disemprotkan 1-2cc NaCl fisiologis pada lubang kanul trakeostomi yang
kemudian diikuti dengan pengisapan lendir.5

Gambar 2.9. Cara penyedotan sekret pada kanul trakeostomi.60

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
44

Kanul trakeostomi yang terpasang dianggap benda asing pada trakea sehingga
meningkatkan sekret yang kental di sekitar kanul. Jika sekret dibiarkan akan
meningkatkan risiko sumbatan pada kanul trakeostomi. Selain humidifikasi,
diperlukan pengisapan sekret secara berkala untuk menurunkan risiko tersebut.
Sebaiknya pengisapan dilakukan secara steril. Pada hari-hari pertama dapat
dilakukan setiap 1-2 jam dengan waktu 5-10 menit. Kemudian dilakukan
pengisapan sekret sesuai dengan interval yang dibutuhkan.3, 5
Diameter kateter
penghisap tidak boleh lebih dari setengah dari diameter interna kanul trakeostomi
yang digunakan. Penentuan ukuran kateter penghisap dapat digunakan rumus: 2 x
(ukuran kanul trakeostomi – 2). Panjang kateter penghisap yang dimasukkan ke
dalam kanul berkisar 10-15 cm sebelum dilakukan penghisapan. Penghisapan
tidak boleh lebih dari 10 detik. Jika pada penghisapan terjadi hambatan maka kita
harus curiga adanya sumbatan kanul atau perubahan kanul trakeostomi.61

Pada penggunaan kanul trakeostomi yang memiliki kanul dalam harus dilakukan
pelepasan kanul dalam, pembersihan serta pemasukkan kembali ke kanul luar
trakeostomi. Frekuensi pembersihan kanul dalam tergantung dari banyaknya
sekret serta kekentalan dari sekret tersebut.61

Pada sekitar stoma sering timbul banyak sekret. Hal ini dapat memicu terjadinya
eskoriasis pada kulit dan infeksi luka operasi sehingga perlu diletakkan kassa di
sekitar stoma untuk menyerap sekret dan menghalangi kanul bersentuhan
langsung dengan kulit.61 Kassa umumnya diganti sehari sekali namun dapat lebih
dari sekali jika kassa telah terlihat basah.5

2.11 DEKANULASI
Suslu24 memaparkan bahwa hasil penelitian dari subyek anak-anak yang
berjumlah 18 orang (34,6%) dan dewasa yang berjumlah 33 orang (40,2%)
didapatkan perbedaan penentuan waktu dekanulasi antara kasus trakeostomi
dewasa dan anak. Nilai tengah/ mean waktu dekanulasi pasca trakeostomi pada
kasus anak adalah 317 hari sedangkan pada kasus dewasa adalah 69 hari.

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
45

Dekanulasi hanya dilakukan jika pasien dalam kondisi klinis yang stabil, yaitu
tidak ada sumbatan jalan napas atas, tidak memerlukan lagi alat bantu napas
seperti ventilator dan tidak ada bahaya retensi sputum yaitu telah mampu
mengeluarkan dahaknya sendiri.32

Protokol dekanulasi setiap institusi berbeda-beda. Dekanulasi dapat dilakukan


dengan cara penurunan ukuran kanul trakeostomi (downsizing) atau dengan cara
penutupan kanul trakeostomi bertahap. Pada downsizing, umumnya digunakan
kanul tanpa balon. Sebelum dekanulasi umumnya dilakukan proses penutupan
kanul bertahap. Tahap pertama dilakukan penutupan kanul dari pagi hingga sore
hari kecuali malam hari; jika tidak ada keluhan saat penutupan kanul maka dapat
dilanjutkan dengan tahap berikutnya yaitu penutupan kanul selama 24 jam. Jika
pada saat penutupan kanul selama 24 jam tidak ada keluhan maka dekanulasi
aman dilakukan.3

Proses dekanulasi memerlukan waktu yang lebih lama pada kasus pasien dengan
penggunaan kanul trakeostomi dalam jangka waktu lama. Setelah dilakukan
dekanulasi, stoma ditutup dengan kassa steril. Penutupan stoma umumnya akan
terjadi setelah 7 sampai 10 hari pasca dekanulasi.3

2.12 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Komplikasi Trakeostomi


Gilyoma dkk.9 melaporkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
faktor demografik pasien dengan komplikasi intra operatif dan komplikasi dini
pascatrakeostomi. Desaturasi intraoperatif berat dan kematian intraoperatif
merupakan komplikasi intra operatif tertinggi. Satu kematian berhubungan
langsung akibat adanya trauma pada trakea saat tindakan, dimana kematian yang
lain berhubungan dengan hipotensi atau cardiac arrest. Trakeostomi pada kasus
darurat lebih tinggi dibandingkan kasus elektif (p<0,001). Angka mortalitas
pasien trakeostomi adalah 13,6%, yang dapat dipengaruhi oleh penyakit
primernya. Operator dengan jumlah trakeostomi sedikit mempunyai angka
komplikasi trakeostomi tinggi.9

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
46

Terdapat hubungan yang signifikan antara komplikasi lambat pascatrakeostomi


dengan indeks massa tubuh (IMT), terutama ketika pasien obesitas (IMT >30)
yang terintubasi dengan ukuran kanul endotrakea >7,5.9

Halum dkk.10 pada tahun 2011 melaporkan komplikasi trakeostomi yang dialami
1.175 pasien pada 8 institusi di Amerika Serikat dalam kurun waktu 2 tahun.
Penggunaan kanul endotrakea ukuran besar (>7,5) dan obesitas merupakan faktor
risiko terbesar terjadinya stenosis jalan napas (p< 0,05).

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
47

2.13 KERANGKA TEORI


Berdasarkan tinjauan pustaka pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan
komplikasi trakeostomi dalam sebuah kerangka teori seperti tercantum
dalam diagram 1.

Perdarahan Cedera laring Emboli Cardiopulmonary


Intraoperatif dan trakea Pneumotorak udara Arrest

Kebakaran
Komplikasi intraoperatif
intraoperatif

Prosedur

Perubahan posisi
Indikasi kanul trakeostomi

Stadium Sumbatan kanul


Sumbatan trakeostomi
Komplikasi
dini
Status Trakeostomi Komplikasi pasca
Intubasi operatif Infeksi

Emfisema
Jenis Subkutis
Kelamin

Pneumomediastinum
usia Faktor yang
berhubungan
Penyakit Edema paru pasca
Primer sumbatan jalan
napas

Anatomi Perdarahan
Jalan pascaoperatif
Napa
Komplikasi
Perawatan lambat
kanul pascaopertif

Stenosis Fistel Fistel Jaringan


subglotis trakeokutan Trakeoesofageal Granulasi
dan trakea lambat pada stoma

Diagram 2.1. Kerangka Teori komplikasi trakeostomi

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
48

2.13 KERANGKA KONSEP


Untuk menjawab masalah penelitian ini, maka dibuat kerangka konsep
penelitian seperti tercantum dalam diagram 2, berdasarkan kerangka teori
diatas.
Perdarahan Cedera laring Emboli Cardiopulmonary
Intraoperatif dan trakea Pneumotorak udara Arrest

Kebakaran
Komplikasi intraoperatif
intraoperatif

Prosedur

Perubahan posisi
Indikasi kanul trakeostomi

Stadium Sumbatan kanul


Sumbatan trakeostomi
Komplikasi
dini
Status Trakeostomi Komplikasi pasca
Intubasi operatif Infeksi

Emfisema
Jenis Subkutis
Kelamin

Pneumomediastinum
usia Faktor yang
berhubungan
Penyakit Edema paru pasca
Primer sumbatan jalan
napas

Anatomi Perdarahan
Jalan pascaoperatif
Napa
Komplikasi
Perawatan lambat
kanul pascaopertif

Keterangan gambar:
Variabel yang diteliti
Stenosis Fistel Fistel Jaringan
subglotis trakeokutan Trakeoesofageal Granulasi
dan trakea lambat pada stoma
Variabel yang tidak diteliti

Diagram 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
49

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 JENIS PENELITIAN


Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang/ cross sectional dari pasien RS
Cipto Mangunkusumo yang menjalani trakeostomi.

3.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN


Penelitian dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo mulai bulan September 2014
dan selesai bulan Desember 2014 dengan menggunakan data sekunder dari rekam
medik pasien yang menjalani trakeostomi.

3.3 POPULASI DAN SUBJEK


3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah pasien yang menjalani trakeostomi di Departemen
THT-KL RS Cipto Mangunkusumo.

3.3.2 Subjek Penelitian


Subjek penelitian adalah semua pasien yang menjalani trakeostomi di Departemen
THT-KL RS Cipto Mangunkusumo sejak Januari 2011 hingga Desember 2013
yang diambil dari data sekunder yaitu rekam medik pasien.

3.4 BESAR MINIMAL SUBJEK


Dihitung dengan rumus sebagai berikut:
n = (zα) 2 PQ
(d) 2
n = (1,96) 2 x 0,50 x (1-0,50) = 97
(0,10) 2
Keterangan:
n = jumlah subjek
zα = deviat baku normal untuk α (1,96)
P = proporsi populasi pasien trakeostomi yang mengalami

49 Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
50

Komplikasi (P = 0,5)
Q = (1-P)
d = delta atau effect size, perbedaan hasil yang diamati (0,10)

Besar minimal subjek untuk proporsi populasi pasien trakeostomi yang


mengalami komplikasi adalah 97 subjek.

3.5 TEKNIK SAMPLING


Subjek dipilih secara total population sampling.

3.6 Kriteria Penerimaan dan Penolakan


3.6.1 Kriteria Penerimaan
Kriteria penerimaan adalah rekam medik pasien yang dilakukan trakeostomi di
OK IBP, OK IGD, HCU dan ICU di Departemen THT-KL RS Cipto
Mangunkusumo pada Januari 2011 sampai Desember 2013.

3.6.2 Kriteria Penolakan


Kriteria penolakan adalah subyek yang tidak memiliki kelengkapan data rekam
medik berupa diagnosis penyakit, indikasi dilakukan trakeostomi, laporan operasi.

3.7 PROSEDUR PENELITIAN


3.7.1 Alat
 Alat tulis: kertas, pulpen, komputer
 Alat dokumentasi: data laporan tindakan di: OK IBP, OK IGD,
ICU, HCU; rekam medik; kamera

3.7.2 Alur Penelitian


Penelitian dimulai dengan meminta izin etik kedokteran RSCM dan direktur
RSCM untuk melakukan pencatatan dan penelitian pada rekam medik pasien
yang telah dilakukan trakeostomi di Departemen THT-KL RSCM, baik
trakeostomi darurat maupun trakeostomi berencana.

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
51

Pencatatan dilakukan terhadap jenis kelamin dan usia pasien, penyakit primer,
indikasi trakeostomi, status intubasi, onset sumbatan, stadium sumbatan, kelainan
anatomi jalan napas serta komplikasi yang terjadi akibat trakeostomi.

Data yang sudah ada kemudian akan dimasukkan ke dalam program SPSS versi
11,5 untuk selanjutnya dilakukan pengolahan data untuk melihat sebaran data dan
distribusi frekuensi. Kemudian akan dibuat sebuah laporan tertulis dari hasil
pengolahan data tersebut yang akan disajikan dalam sebuah sidang ilmiah.

Populasi rekam medis pasien Kriteria Penerimaan:


trakeostomi  Rekam medis pasien
trakeostomi di
Departemen THT-KL
RSCM
 Tindakan dilakukan di
Rekam medik yang memenuhi OK IBP, OK IGD,
kriteria penerimaan HCU, ICU
Kriteria Penolakan:
 Rekam medik tidak ada
identitas, indikasi
trakeostomi dan laporan
operasi trakeostomi
Rekam medik pasien yang diteliti

Analisis

Laporan

Algoritma 3.2. Alur penelitian

3.7.3 Manajemen dan Analisis Data


Semua data yang telah dicatat dalam formulir laporan penelitian dimasukkan ke
dalam data base komputer. Pengolahan data dilanjutkan dengan analisis statistik

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
52

menggunakan SPSS versi 11,5 sesuai dengan tujuan penelitian. Data akan
disajikan berupa teks, tabel atau grafik. Data yang diperoleh dibuat distribusi
frekuensi berupa n dan persen (%) serta akan dilakukan uji Chi-square.

3.8 DEFINISI OPERASIONAL


1. Jenis kelamin
Definisi : Jenis kelamin yang tertulis pada rekam medik
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Laki-laki, perempuan
Skala ukur : Kategorik

2. Usia
Definisi : Umur pada saat pasien dilakukan trakeostomi
berdasarkan tahun kelahiran yang tertulis
pada rekam medik (pembulatan ke atas
apabila lebih dari 6 bulan)
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Kelompok anak (1-11 tahun), dewasa muda
(12-59 tahun), dewasa tua (>60 tahun)
Skala ukur : Kategorik

3. Anatomi Jalan Napas


Definisi : Anatomi yang ditemukan pada regio
leher yang tertulis di rekam medik
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Normal, tidak normal (leher pendek, massa
leher, pendorongan trakea, kelainan tulang
cervikal)
Skala ukur : Kategorik

4. Penyakit Primer
Definisi : Penyakit dasar yang menyebabkan pasien

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
53

dirawat di rumah sakit


Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Kardiovaskuler, trauma, tumor
kepala leher, kelainan kongenital
Skala ukur : Kategorik

5. Indikasi trakeostomi
Definisi : Penyebab pasien dilakukan trakeostomi
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Sumbatan jalan napas atas, intubasi lama,
akses jalan napas operasi terencana, retensi
sputum, ancaman jalan napas atas
Skala ukur : Kategorik

6. Stadium sumbatan jalan napas atas


Definisi : Stadium sumbatan jalan atas pada pasien
berdasarkan klasifikasi Jackson.
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Stadium I, II, III atau IV
Skala ukur : Kategorik

7. Onset Sumbatan Jalan Napas Atas


Definisi : Sumbatan jalan napas atas akut (analisis gas
darah dengan pH <7,30, PCO2 >48 mmHg,
PO2 <60 mmHg, HCO3 dan BE normal),
Sumbatan jalan napas kronis (analisis gas
darah dengan pH antara 7,40-7,50, PCO2
>48 mmHg, PO2 <60 mmHg, HCO3 dan BE
diatas batas normal)
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Sumbatan jalan napas akut, sumbatan jalan
napas kronis

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
54

Skala ukur : Kategorik

8. Status intubasi
Definisi : Status intubasi pasien saat dilakukan
trakeostomi
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Terintubasi, tidak terintubasi
Skala ukur : Kategorik

9. Leher Pendek
Definisi : Panjang leher antara kartilago krikoid dengan
fossa sternalis (normal sekitar 6,9-8,2cm)
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Leher pendek, leher tidak pendek
Skala ukur : Kategorik

10. Massa Leher


Definisi : Massa yang timbul pada daerah leher yang
dapat terletak di garis tengah (midline) atau di
lateral
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Massa leher, tidak ada massa leher
Skala ukur : Kategorik

11. Pendorongan Trakea


Definisi : Pendorongan trakea yang terlihat pada
rontgen soft tissue cervical yang tercatat pada
rekam medis
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Pendorongan trakea, tidak ada pendorongan
trakea
Skala ukur : Kategorik

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
55

12. Lokasi insisi trakea


Definisi : Lokasi insisi pada trakea untuk pembuatan
stoma trakeostomi. lokasi insisi terbagi 3
yaitu insisi trakea letak tinggi (cincin trakea
pertama sampai ke-2), standar (cincin
trakea ke-2 sampai ke-3), letak rendah (di
bawah cincin trakea ke-3)
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Letak tinggi, standar, letak rendah
Skala ukur : Kategorik

13. Jenis Insisi Trakea


Definisi : Jenis insisi pada trakea untuk pembuatan
stoma trakeostomi. Jenis insisi trakea terbagi
dua yaitu bjork flap (insisi bentuk U terbalik,
berupa flap ke arah inferior trakea) dan insisi
vertikal (insisi secara vertikal dari superior ke
inferior trakea)
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Bjork flap, vertikal
Skala ukur : Kategorik

14. Indeks Massa Tubuh


Definisi : Indeks Massa Tubuh berdasarkan berat badan
dan tinggi badan. Dibagi 2 kelompok yaitu
kelompok tidak gemuk (IMT ≤25,0) dan
gemuk (IMT >25,0)
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Tidak gemuk, gemuk
Skala ukur : Kategorik

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
56

15. Durasi Trakeostomi


Definisi : Durasi tindakan trakeostomi yang ditulis di
rekam medis
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : ≤30 menit, >30 menit
Skala ukur : Kategorik

16. Lokasi tindakan


Definisi : Tempat dilakukan tindakan trakeostomi
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : IBP, IGD, ICU/HCU
Skala ukur : Kategorik

17. Komplikasi Trakeostomi


Definisi : Komplikasi yang terjadi intraoperatif
(komplikasi saat dilakukan trakeostomi) dan
komplikasi dini pascaoperatif (komplikasi
yang terjadi < 7 hari pascaoperatif)
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Komplikasi, tidak komplikasi
Skala ukur : Kategorik

18. Perdarahan
Definisi : Perdarahan yang terjadi >25ml
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Perdarahan, tidak perdarahan
Skala ukur : Kategorik

19. Pneumotorak
Definisi : Udara terperangkap pada rongga pleura
ditandai dengan adanya gambaran
pneumotorak pada hasil rontgen toraks.

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
57

Alat ukur : Rekam medik


Hasil ukur : Pneumotorak, tidak ada pneumotorak
Skala ukur : Kategorik

20. Cardiopulmonary Arrest


Definisi : Henti napas dan henti jantung yang tercatat di
rekam medis
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Cardiopulmonary arrest, tidak ada
cardiopulmonary arrest
Skala ukur : Kategorik

21. Pneumomediastinum
Definisi : Udara terperangkap pada rongga
mediastinum ditandai dengan adanya
gambaran pneumomediastinum pada hasil
rontgen toraks.
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Pneumomediastinum, tidak ada
pneumomediastinum
Skala ukur : Kategorik

22. Emfisema Subkutis


Definisi : Udara terperangkap pada jaringan subkutis
sekitar stoma yang ditandai dengan adanya
krepitasi dan atau gambaran emfisema
subkutis pada hasil rontgen toraks.
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Emfisema subkutis, tidak ada emfisema
subkutis
Skala ukur : Kategorik

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
58

23. Infeksi
Definisi : Terjadi tanda-tanda infeksi pada
stoma berupa hiperemis dan atau pus
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Infeksi, tidak infeksi
Skala ukur : Kategorik

24. Lepasnya Kanul Trakeostomi


Definisi : Perubahan posisi kanul trakeostomi atau
terlepasnya kanul trakeostomi pada stoma
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Lepasnya kanul trakeostomi,
tidak ada lepasnya kanul trakeostomi
Skala ukur : Kategorik

25. Sumbatan Kanul Trakeostomi


Definisi : Sumbatan kanul trakeostomi akibat mucus
plug atau bekuan darah
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Sumbatan kanul trakeostomi akibat mucus
plug atau bekuan darah, tidak ada
sumbatan kanul trakeostomi
Skala ukur : Kategorik

3.9 HAMBATAN PENELITIAN


Data laporan tindakan trakeostomi di RS Cipro Mangunkusumo tidak lengkap
sehingga peneliti mengalami kesulitan dalam pengambilan subjek.

3.10 ETIKA PENELITIAN


Penelitian diawali dengan memberikan penjelasan kepada pihak RS Cipto
Mangunkusumo mengenai prosedur pengambilan subjek dan tujuan penelitian.
Penelitian didahului dengan meminta persetujuan Panitia Tetap Etik Penelitian

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
59

Kedokteran FKUI-RSCM dan dimulai setelah pihak RS Cipto Mangunkusumo


menandatangani lembar persetujuan pengambilan data. Semua informasi dan data
yang diambil dari subjek akan dirahasiakan.

3.11 ORGANISASI PENELITIAN


Peneliti : dr. Dina Nurdiana
Pembimbing I : Prof. dr. Bambang Hermani SpTHT-KL(K)
Pembimbing II : dr. Syahrial M. Hutauruk SpTHT-KL(K)
Pembimbing Statistik : DR. dr. Saptawati Bardosono Msc.

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
60

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang diambil dari data sekunder
untuk mendapatkan proporsi komplikasi trakeostomi dan hubungannya dengan
karakteristik klinis dan demografis.

Penelitian ini dilakukan di Divisi Laring Faring Departemen THT FKUI-RSCM


dan Unit Pelayanan Rekam Medis dan Administrasi Pasien Rawat Inap RSCM.
Subjek penelitian ini adalah semua pasien yang menjalani trakeostomi di
Departemen THT-KL RS Cipto Mangunkusumo sejak Januari 2011 hingga
Desember 2013 yang diambil dari data sekunder yaitu rekam medis pasien yang
memenuhi kriteria penerimaan dan tidak memenuhi kriteria penolakan, dipilih
secara total population sampling. Tindakan trakeostomi yang tercatat adalah 175
kasus. Subjek yang memenuhi kriteria penerimaan adalah 125 subjek, 3 subjek
tidak memenuhi kriteria penerimaan karena data rekam medis tidak lengkap,
sedangkan 47 subjek tidak ditemukan data rekam medisnya.

4.1 Hasil Analisis Univariat


4.1.1 Karakteristik subjek penelitian
Data karakteristik dan sebaran subjek penelitian yang didapat pada penelitian
diolah secara deskriptif dan dilakukan analisis univariat. Karakteristik subjek
penelitian berupa jenis kelamin, usia, indikasi trakeostomi, status sumbatan,
stadium sumbatan jalan napas atas, onset sumbatan jalan napas atas, penyakit
primer, anatomi jalan napas, status intubasi, lokasi insisi trakea, jenis insisi trakea
dan lokasi tindakan disajikan pada tabel 4.1.

60 Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
61

Tabel 4.1 Karakteristik subjek


Variabel n %
Karakteristik demografis
Jenis Kelamin
Pria 94 75,2
Wanita 31 24,8
Usia
Anak (1-11 tahun) 11 8,8
Dewasa muda (12-59 tahun) 75 60,0
Dewasa tua (≥60 tahun) 39 31,2
Karakteristik Klinis
Indikasi trakeostomi
Sumbatan jalan napas atas 57 45,6
Intubasi lama 10 8,0
Akses jalan napas saat operasi 2 1,6
Ancaman sumbatan jalan napas atas 56 44,8
Onset sumbatan jalan napas atas (n=54)
Akut 13 24,1
Kronis 41 75,9
Stadium sumbatan
Stadium I 32 56,1
Stadium II 11 19,3
Stadium III 14 24,6
Penyakit primer
Kardiovaskuler 5 4,0
Tumor kepala leher 93 74,4
Infeksi 11 8,8
Lain-lain (trauma, kelainan kongenital, 16 12,8
stenosis subglotis)
Anatomi jalan napas
Normal 62 49,6
Tidak normal (Kelainan anatomi jalan napas) 63 50,4
Massa leher 54 85,7
Pendorongan trakea 14 22,2
Kelainan tulang servikal 9 14,3
Lain-lain (penyempitan trakea, trauma laring) 6 9,5

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
62

Tabel 4.1 Karakteristik subjek (lanjutan)


Variabel n %
Status intubasi
Terintubasi 32 25,6
Tidak terintubasi 93 74,4
Lokasi insisi trakea (n=36)
Letak tinggi 9
Standar 7
Letak rendah 20
Jenis insisi trakea
Bjork flap 114 91,2
Vertikal 9 8,8
Indeks Massa Tubuh (n=89)
Gemuk (>25) 8 9,0
Tidak gemuk (≤25) 81 91,0
Durasi tindakan (n=123)
≤ 30 menit 58 47,2
>30 menit 65 52,8
Lokasi tindakan
IBP 39 31,2
IGD 79 63,2
ICU/ HCU 7 5,6

Dari semua subjek yang dilakukan trakeostomi, laki-laki lebih banyak yaitu
sebesar 94 (75,2%) subjek dibandingkan perempuan dan lebih banyak dilakukan
pada usia dewasa muda sebesar 75 (60,0%) subjek dibandingkan anak-anak dan
dewasa tua.

Indikasi trakeostomi terbanyak adalah sumbatan jalan napas atas sebanyak 57


(45,6%), diikuti oleh ancaman sumbatan jalan napas atas sebanyak 56 (44,8%)
subjek.

Dari semua subjek yang mengalami sumbatan jalan napas atas, onset kronis lebih
banyak (75,9%) dibandingkan onset akut (24,1%) dan sumbatan jalan napas atas
stadium I lebih banyak dari stadium lainnya (56,1%). Penyakit primer terbanyak
adalah tumor kepala leher (74,4%). Kelompok subjek yang mengalami kelainan
anatomi jalan napas lebih banyak (50,4%) daripada kelompok normal (49,6%).

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
63

Kelainan anatomi jalan napas terbanyak adalah massa leher (85,7%) diikuti
dengan pendorongan trakea sebesar 22,2%. Subjek yang tidak terintubasi lebih
banyak (74,4%) dibandingkan yang terintubasi (25,6%). Dari 36 subjek penelitian
yang terdata, insisi letak rendah lebih banyak (20 subjek) dibandingkan letak
tinggi dan standar. Jenis insisi trakea dengan bjork flap lebih banyak (91,2%)
dibandingkan jenis insisi vertikal (8,8%). Lokasi tindakan trakeostomi tersering
adalah di IGD yaitu sebesar 63,2%. Subjek tidak gemuk lebih banyak (91,0%)
dibandingkan yang gemuk. Durasi tindakan trakeostomi lebih dari 30 menit lebih
banyak (52,8%) dibandingkan durasi ≤30 menit.

4.1.2 Sebaran Jenis Komplikasi Trakeostomi


Pada tabel 4.2 tampak mengalami pasien yang dilakukan trakeostomi, lebih
banyak subjek yang tidak terjadi komplikasi yaitu sebesar 69 (55,2%) subjek
dibandingkan dengan yang terjadi komplikasi yaitu sebesar 56 (44,8%) subjek.
Sebaran komplikasi dini pascaoperatif lebih banyak yaitu sebesar 40 (71,4%)
subjek dibandingkan kelompok komplikasi intraoperatif sebesar 6 (10,7%) subjek
serta kelompok yang mengalami komplikasi intraoperatif dan pascaoperatif
sebesar 10 (17,9%) subjek.

Tabel 4.2 Sebaran jenis komplikasi


Variabel n %
Komplikasi (n=125)
Komplikasi 56 44,8
Komplikasi intraoperatif 6 10,7
Komplikasi dini pascaoperatif 40 71,4
Komplikasi intraoperatif dan komplikasi dini pascaoperatif 10 17,9
Tidak komplikasi 69 55,2

4.1.2.1 Sebaran jenis komplikasi intraoperatif


Dari semua subjek yang mengalami komplikasi, jenis komplikasi terbanyak
adalah pneumomediastinum sebesar 11 subjek dari 16 subjek (lihat tabel 4.3).

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
64

Tabel 4.3 Sebaran komplikasi intraoperatif


Variabel n
Jumlah subjek 16
Perdarahan 2
Pneumotoraks 6
Pneumomediastinum 11
Cardiopulmonary arrest 4

4.1.2.2 Sebaran jenis komplikasi dini pascaoperatif


Dari semua subjek yang mengalami komplikasi dini pascaoperatif, jenis
komplikasi terbanyak adalah emfisema subkutis sebesar 42 (82,4%) subjek,
diikuti dengan sumbatan kanul sebesar 6 (11,8%) subjek, perdarahan sebesar 3
(5,9%) subjek dan Lepasnya kanul trakeostomi sebesar 2 (3,9%) subjek (lihat
tabel 4.4).

Tabel 4.4 Sebaran komplikasi dini pascaoperatif


Variabel n %
Jumlah subjek 50 100
Perdarahan 3 5,9
Emfisema subkutis 42 82,4
Lepasnya kanul trakeostomi 2 3,9
Sumbatan kanul trakeostomi 6 11,8

4.2 Hasil Analisis Bivariat


Pada data penelitian yang ada dilakukan analisis bivariat menggunakan uji Chi-
square. Apabila syarat uji Chi-square tidak terpenuhi, maka dilakukan uji
alternatif penggabungan sel dan uji Fisher.

4.2.1 Hubungan Karakteristik Subjek Trakeostomi terhadap Komplikasi


Terdapat hubungan antara kejadian komplikasi dan usia (p=0,035) dengan
proporsi dewasa tua sebesar 59%, dewasa muda 41,3% dan anak 18,2%. Pada
pasien dewasa tua lebih mudah terjadi komplikasi trakeostomi dibandingkan
kelompok usia lain (lihat tabel 4.5).

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
65

Tabel 4.5 Hubungan Karakteristik Subjek Trakeostomi terhadap Komplikasi


Variabel Komplikasi Tidak Komplikasi Nilai p
n (%) n (%)
Karakteristik demografik
Jenis kelamin
Laki-laki 44 (46,8) 50 (53,2) 0,432
Perempuan 12 (38,7) 19 (61,3)
Usia
Anak (1-11 tahun) 2 (18,2) 9 (81,8) 0,035
Dewasa muda (12-59 tahun) 31 (41,3) 44 (58,7)
Dewasa tua (≥60 tahun) 23 (59,0) 16 (41,0)
Karakteristik klinis
Indikasi trakeostomi
Sumbatan jalan napas atas 32 (56,1) 25 (43,9) 0,048
Intubasi lama dan akses jalan napas saat operasi 3 (25,0) 9 (75,5)
Ancaman sumbatan jalan napas atas 21 (37,5) 35 (62,5)
Penyakit primer
Kardiovaskuler 1 (20,0) 4 (80,00) 0,134
Tumor kepala leher 47 (50,5) 46 (49,5)
Infeksi 3 (27,3) 8 (72,7)
Lain-lain (trauma, kelainan kongenital) 5 (31,2) 11 (68,8)
Anatomi jalan napas atas
Normal 27 (43,5) 35 (56,5) 0,78
Tidak normal 29 (46,0) 34 (54,0)
Status intubasi
Terintubasi 10 (31,2) 22 (68,8) 0,074
Tidak terintubasi 46 (49,5) 47 (50,5)
Jenis insisi trakea
Bjork flap 55 (47,4) 61 (52,6) 0,041
Vertikal 1 (11,1) 8 (88,9)
Durasi trakeostomi (n=123)
≤30 menit 23 (39,7) 35 (60,3) 0,217
>30 menit 33 (50,8) 32 (49,2)
Lokasi tindakan
IBP 17 (43,6) 22 (56,4) 1,00
IGD 37 (46,8) 42 (53,2)
ICU/ HCU 2 (28,6) 5 (71,4)

Terdapat hubungan antara kejadian komplikasi dengan indikasi trakeostomi


(p=0,048) dengan proporsi kelompok sumbatan jalan napas atas sebesar 56,1%,
intubasi lama dan akses jalan napas 25,0% dan ancaman sumbatan jalan napas

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
66

atas sebesar 37,5%. Pasien dengan indikasi trakeostomi sumbatan jalan napas atas
lebih mudah terjadi komplikasi trakeostomi.

Hubungan antara kejadian komplikasi dengan status intubasi secara klinis


bermakna namun secara statistik tidak bermakna (p=0,074) dimana proporsi
kelompok tidak terintubasi 49,5% dan kelompok terintubasi sebesar 31,2%.

Jenis insisi trakea (p=0,041) dengan proporsi kelompok bjork flap sebesar 47,4%
dan kelompok vertikal sebesar 11,1%. Pasien dengan jenis insisi bjork flap lebih
mudah mengalami komplikasi trakeostomi.

Secara klinis, terdapat hubungan yang bermakna antara terjadinya komplikasi


dengan status intubasi dengan proporsi kelompok yang tidak terintubasi sebesar
49,5% dan kelompok yang terintubasi sebesar 31,2%.

Terdapat juga hubungan yang bermakna secara klinis antara durasi trakeostomi
dengan terjadinya komplikasi trakeostomi dengan proporsi kelompok durasi >30
menit 50,8% dan kelompok durasi ≤30 menit sebesar 39,7%.

Secara statistik, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin,
penyakit primer, anatomi jalan napas, status intubasi, lokasi tindakan, serta durasi
trakeostomi terhadap terjadinya komplikasi trakeostomi.

4.3. Analisis Multivariat


Pada penelitian ini dilakukan uji multivariat dengan variabel dependen yaitu
komplikasi trakeostomi dan variabel independen adalah variabel yang pada
analisis bivariat mempunyai nilai p<0,25, yaitu faktor usia (kelompok umur anak),
faktor indikasi trakeostomi, penyakit primer, status intubasi, jenis insisi trakea dan
durasi tindakan trakeostomi.

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
67

Tabel 4.6 Variabel hasil analisis multivariat


Variabel B S.E Wald df Sig. Exp(B)
Penyakit primer 0,545 0,502 1,178 1 0,278 1,725
Indikasi trakeostomi 0,907 0,406 5,000 1 0,025 2,477
Status intubasi 0,193 0,493 0,153 1 0,696 1,213
Jenis insisi trakea -1,777 1,809 0,965 1 0,326 0,169
Usia -0,012 1,487 0,000 1 0,993 0,988
Durasi trakeostomi 0,536 0,399 1,805 1 0,179 1,709
Constant -1,360 0,637 4,560 1 0,033 0,257

Analisis menggunakan model analisis regresi logistik. Model regresi tersebut


layak digunakan karena saat dilakukan uji kelayakan model regresi memiliki
p>0,05 yaitu p=0,355. Dari hasil analisis multivariat, hanya indikasi trakeostomi
yaitu sumbatan jalan napas atas yang memiliki angka probabilitas <0,05 (p=0,025)
sehingga pada penelitian ini indikasi sumbatan jalan napas atas adalah faktor yang
paling kuat terjadinya komplikasi setelah dilakukan analisis multivariate (lihat
tabel 4.6).

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
68

BAB 5

PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian studi potong lintang untuk mengetahui


proporsi komplikasi trakeostomi, sebaran jenis komplikasi yang terjadi,
karakteristik subjek serta hubungan antara karakteristik subjek dengan komplikasi
trakeostomi. Penelitian dilakukan selama 4 bulan yaitu sejak bulan September
sampai Desember 2014. Subjek penelitian adalah pasien yang dilakukan
trakeostomi di Departemen THT-KL RSCM sejak Januari 2011 sampai Desember
2013 yang diambil dari data sekunder yaitu rekam medis. Semua data subjek
dicatat dalam status penelitian.

5.1 Keterbatasan penelitian


Hambatan penelitian ini adalah adanya bias pada data penelitian karena data
diambil dari data sekunder yaitu rekam medis. Peneliti tidak dapat mengontrol
kualitas data tersebut. Cara mengurangi bias tersebut, peneliti membuat kriteria
catatan medis. Catatan medis yang digunakan adalah catatan medis dokter yang
berkompeten di bidang trakeostomi yaitu dokter ahli THT atau PPDS THT.

Bias lainnya adalah disain pada penelitian ini. Disain penelitian ini adalah potong
lintang yang hanya dapat melakukan eksplorasi data. Akan lebih baik penelitian
menggunakan disain kasus kontrol. Peneliti selain melakukan analisis bivariat
juga melakukan analisis lanjut berupa analisis multivariat untuk mengurangi bias
tersebut.

5.2 Karakteristik subjek penelitian


Penelitian ini melibatkan 125 subjek penelitian. Kelompok usia terbanyak adalah
usia dewasa muda (12-59 tahun) yaitu sebanyak 75 subjek. Penelitian oleh
Streatmans dkk16 melaporkan rerata usia pasien adalah 57,8 tahun dan kisaran usia
antara 15-96 tahun dan 241 (81,7%) subjek dilakukan trakeostomi atas indikasi
intubasi lama.

68 Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
69

Jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibanding perempuan (75,2%). Streatment


dkk melaporkan kelompok terbanyak adalah laki-laki sebanyak 193 (63,7%)
subjek. Faktor sumbatan jalan napas dengan penyakit primer terbanyak tumor
kepala leher, terutama karsinoma laring, diduga mempengaruhi hasil analisis
tersebut.

Indikasi trakeostomi terbanyak adalah sumbatan jalan napas atas sebesar 57


(45,6%) subjek diikuti dengan ancaman sumbatan jalan napas atas sebesar 56
(44,8%) subjek. Hasil ini cukup menarik karena berbeda dengan hasil yang
didapat oleh peneliti lain seperti Goldenberg dkk8 pada penelitiannya di Israel
yang menyatakan bahwa indikasi trakeostomi tersering adalah intubasi lama. Hal
ini dapat disebabkan oleh karena di RSCM tindakan trakeostomi tidak hanya
kompetensi ahli THT tetapi dapat juga dilakukan oleh ahli bedah lain seperti
bedah toraks. Ahli intesifis juga ikut berperan dalam hal keputusan permintaan
dilakukannya tindakan trakeostomi oleh ahli THT atau ahli bedah lain. Tidak
adanya kasus trakeostomi dengan indikasi retensi sputum kemungkinan
disebabkan kasus tersebut dimasukkan dalam indikasi intubasi lama mengingat
retensi sputum banyak terjadi pada pasien dengan penurunan kesadaran.

Pada 54 subjek yang mengalami sumbatan jalan napas atas, kasus terbanyak
adalah dengan onset kronik sebesar 75,9%. Hal ini karena ketidaktahuan
masyarakat dan dokter di layanan primer akan sumbatan jalan napas atas.

Penyakit primer tersering pada kasus trakeostomi adalah tumor kepala leher
sebesar 93 (74,4%) subjek, diikuti dengan penyakit infeksi sebesar 11 (8,8%)
4
subjek. Peneliti Shah dkk di Amerika serikat memaparkan bahwa penyakit
primer terbanyak adalah pneumonia (44,7%) diikuti oleh gagal jantung kronis
(27,1%) dan penyakit paru obstruktif kronis (25,4%). Perbedaan mayoritas
penyakit primer kemungkinan karena adanya perbedaan kesadaran akan kesehatan
antara mereka sebagai negara maju dengan kita sebagai negara berkembang
sehingga kasus tumor kepala leher di negara maju datang dengan stadium dini
sehingga belum memyebabkan sumbatan jalan napas atas.

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
70

Pada kelompok yang ditemukan massa leher, tidak terintubasi dan tidak gemuk
terbanyak karena kasus yang lebih sering didapat adalah tumor kepala leher
dengan stadium lanjut.

Pada kelainan anatomi tidak didapatkan data tentang leher pendek. Dari 125
subjek, tidak satupun yang menulis ada tidaknya leher pendek. Diperlukan status
khusus trakeostomi berupa check list setiap dilakukan trakeostomi untuk
mempermudah operator dalam mendokumentasi faktor yang diduga berisiko
timbulnya komplikasi seperti faktor kelainan leher pendek.

Jenis insisi trakea lebih banyak dilakukan bjork flap sebesar 114 (91,2%) subjek,
diikuti dengan insisi vertikal sebesar 9 (7,2%) subjek. Hal ini terjadi karena subjek
penelitian mayoritas adalah kelompok dewasa yang seluruhnya dilakukan insisi
Bjork flap.

Insisi kulit terbagi menjadi dua jenis yaitu insisi vertikal dan horizontal. Pada
kasus trakeostomi darurat disarankan menggunakan insisi kulit jenis vertikal
karena insisi hanya terkonsentrasi di daerah tengah leher/ midline sehingga risiko
cedera organ disekitar trakea lebih kecil dibandingkan insisi horizontal. Insisi kulit
vertikal juga sejalan dengan arah diseksi tumpul sehingga lebih mudah
menemukan trakea dibandingkan menggunakan insisi horizontal. Insisi kulit
horizontal memilki keunggulan dalam hal estetik karena arah insisi sesuai dengan
garis lange. Pada penelitian ini tidak dilakukan pengumpulan data mengenai jenis
insisi kulit sehingga perlu penelitian prospektif lebih lanjut mengenai insisi kulit
sehingga mendapatkan

Tindakan trakeostomi lebih banyak yang dilakukan dengan durasi lebih dari 30
menit. Gulsen dkk62 melakukan penelitian pada 40 kadaver. Rerata durasi
trakeostomi pada penelitian tersebut adalah 155 detik atau sekitar 2,6 menit. Hasil
penelitian ini dapat terjadi akibat ditemukannya banyak penyulit pada saat
tindakan dilakukan seperti pasien sumbatan jalan napas atas dengan massa leher.

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
71

Tindakan trakeostomi lebih banyak dilakukan di IGD sebesar 79 (63,2%) subjek,


diikuti dengan IBP sebesar 39 (31,2%) dan ICU/ HCU sebesar 7 (5,6%). Hal ini
dapat menjadi gambaran banyaknya kasus kedaruratan yang ditemukan
dibandingkan kasus elektif.

5.3 Sebaran jenis komplikasi trakeostomi


Bove dkk.5 menyatakan bahwa angka kejadian komplikasi trakeostomi berkisar 5-
65%. Angka komplikasi tersebut tergantung pada variasi penelitian yang
dilakukan, seperti jenis komplikasi yang diteliti, lama follow-up yang dilakukan
serta apa disain penelitian yang digunakan. Goldenberg dkk8 pada penelitiannya
di Israel melaporkan bahwa komplikasi yang sering terjadi adalah stenosis
subglotik dan trakea serta perdarahan pascaoperatif. Shah dkk pada penelitiannya
mengatakan bahwa fistel trakeoesofageal dan perdarahan intraoperatif lebih
banyak dibandingkan jenis komplikasi lain. Streatmans dkk16 pada penelitiannya
di Jerman menyatakan proporsi komplikasi yang terjadi sebanyak 31% dimana
28,4% mengalami komplikasi ringan seperti perdarahan intraoperatif, kerusakan
jaringan lunak, emfisema subkutis sedangkan 2,6% mengalami komplikasi berat
seperti perdarahan hebat dan fistel pada trakea. Penelitian Halum dkk10 di
Amerika serikat mendapatkan proporsi komplikasi intra operatif termasuk sedikit
(1,4%) dibandingkan komplikasi dini pascaoperatif (5,6%) dan komplikasi lambat
pascaoperatif (7,1%). Di Departemen THT-KL RSCM, proporsi komplikasi
trakeostomi cukup tinggi yaitu sebesar 44,8%.

Komplikasi terbanyak adalah komplikasi dini pascaoperatif (60,7%) berupa


emfisema subkutis sebesar 82,2% dari seluruh komplikasi dini pascaoperatif.
Abdullah11 melakukan penelitian terhadap penderita difteri di Departemen THT
RSCM pada tahun 1984. Hasil penelititannya pada kasus yang dilakukan
trakeostomi menemukan komplikasi trakeostomi terbanyak adalah
bronkopneumonia yaitu sebanyak 44 kasus dari 333 kasus trakeostomi. Saat ini
terjadi perubahan jenis komplikasi terbanyak jika dibandingkan sekitar 40 tahun
yang lalu. Hal ini diduga karena adanya perubahan penyakit primer terbanyak
pada kasus trakeostomi. Pada penderita difteri, infeksi pada paru tidak hanya

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
72

dipengaruhi oleh faktor sterilitas alat trakeostomi namun juga dipengaruhi oleh
infeksi akibat penyakit primernya. Saat ini lebih banyak emfisema subkutis karena
mayoritas penyakit primenya adalah tumor kepala leher yang lebih mudah terjadi
kerusakan jaringan saat dilakukan trakeostomi. Penyebab lain adalah akibat
penggunaan kanul yang tidak sesuai karena umumnya tumor kepala leher lebih
banyak dengan massa leher yang cukup besar sehingga udara mudah keluar dari
trakea dan masuk ke dalam jaringan subkutis sehingga menimbulkan emfisema
subkutis. Diperlukan pemilihan kanul yang sesuai yaitu kanul yang lebih panjang
(extended canule) yang harus disediakan jika sewaktu-waktu diperlukan.

Walvekar31 mengatakan komplikasi berupa emfisema subkutis dapat terjadi akibat


adanya tekanan udara yang cukup besar pada jaringan mukosa saat pasien batuk-
batuk kuat saat dilakukan trakeostomi atau sesaat pasca trakeostomi. Emfisema
subkutis pasca trakeostomi juga dapat terjadi pada penjahitan luka insisi atau
penggunaan kassa pada penggunaan kanul trakeostomi tanpa cuff sehingga udara
dari trakea terperangkap di jaringan lunak sekitar stoma . Ukuran kanul
trakeostomi yang terlalu kecil atau insisi trakea yang terlalu besar juga dapat
menyebabkan aliran udara terperangkap pada jaringan subkutis melalui sela-sela
kanul dan trakea.31 Emfisema subkutis dapat dicegah dengan penggunaan intubasi
sehingga dapat mencegah batuk saat pemasangan kanul trakeostomi serta hindari
diseksi yang terlalu lebar pada trakea. Sebagian besar kasus emfisema subkutis
dapat diserap kembali secara spontan oleh tubuh dalam beberapa hari oleh karena
itu emfisema subkutis termasuk kategori komplikasi ringan sehingga tidak
termasuk komplikasi yang mengkhawatirkan mengancam jiwa.

Kasus pneumotoraks yang tampak pada hasil rontgen toraks sering ditemukan
tanpa gejala klinis sehingga termasuk kasus pneumotoraks ringan yang tidak
memerlukan tindakan lebih lanjut. Dari 6 kasus pneumotoraks hanya 1 subjek
yang dilakukan tindakan drainase interkostal dengan insersi pipa pada torak. Pada
11 kasus pneumomediastinum yang terdiagnosis dari rontgen toraks tidak satupun
yang diikuti dengan gejala klinis sehingga diputuskan hanya dilakukan observasi
tanpa dilakukan tindakan lebih lanjut. Bove dkk5 mengatakan bahwa

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
73

pneumomediastinum dapat terjadi karena fasia pretrakea terbuka saat diseksi


sehingga dapat terjadi hubungan antara dunia luar dengan rongga mediastinum.
Untuk meminimalisir komplikasi tersebut, saat tindakan usahakan diseksi tetap di
daerah tengah dan tidak terlalu melebar ke sisi lateral leher.

5.4 Hubungan Karakteristik Subjek Trakeostomi terhadap


Komplikasi
Gilyoma dkk9 pada penelitiannya di Tanzania melaporkan bahwa komplikasi pada
pasien kelompok anak berusia kurang atau sama dengan 10 tahun lebih tinggi
dibandingkan pasien kelompok dewasa. Bove dkk5 meyatakan bahwa terjadi
peningkatan komplikasi trakeostomi pada kelompok anak. Dari hasil penelitian
didapatkan pasien dewasa tua lebih mudah terjadi komplikasi trakeostomi
dibandingkan usia dewasa muda dan anak. Pada penelitian ini kelompok pasien
dewasa tua lebih sering terkena komplikasi dibandingkan kelompok usia lain
akibat toleransi pasien geriatri terhadap hipoksia lebih rendah dibandingkan usia
lain. Hal lain yang dapat mempengaruhi adalah sedikitnya jumlah subjek
penelitian kelompok usia anak sehingga terjadi ketidakseimbangan antara jumlah
subjek dewasa dengan anak. Faktor operator juga dapat berhubungan yaitu pada
kasus trakeostomi anak kemungkinan dilakukan oleh konsultan atau PPDS yang
telah berpengalaman yang dilakukan dengan sangat hati-hati karena diperkirakan
akan berpotensi tinggi terjadi komplikasi.

Dari semua karakteristik yang ada, indikasi trakeostomi sumbatan jalan napas atas
ternyata menjadi faktor yang paling kuat hubungannya terhadap terjadinya
komplikasi trakeostomi. Pada pasien yang mengalami sumbatan jalan napas atas
sendiri telah memiliki risiko untuk terjadinya komplikasi trakeostomi di samping
risiko dari operator sehingga operator harus lebih berhati-hati dalam menghadapi
kasus sumbatan jalan napas atas. Goldenberg dkk8 menyatakan bahwa teknik
trakeostomi secara prosedural dapat dilakukan dengan mudah namun menjadi sulit

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
74

jika tindakan dilakukan secara cepat seperti saat melakukan tindakan trakeostomi
darurat sehingga seringkali menimbulkan komplikasi.

Proporsi komplikasi antara subjek yang tidak terintubasi dengan yang terintubasi
secara statistik tidak bermakna, namun secara klinis terdapat perbedaan proporsi
komplikasi lebih dari 10% pada pasien trakeostomi yang tidak terintubasi
dibandingkan dengan pasien yang terintubasi. Di Departemen THT-KL RSCM,
tindakan trakeostomi terintubasi umumnya dilakukan oleh PPDS tahap awal
sehingga tingkat kemahirannya sangat bervariasi.

Tindakan trakeostomi dengan durasi lebih dari 30 menit secara klinis lebih mudah
terjadi komplikasi dibandingkan dengan durasi kurang dari atau sama dengan 30
menit namun secara statistik pada penelitian ini tidak bermakna.
Ketidakbermaknaan ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain, misalnya
tindakan trakeostomi darurat harus dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin
tetapi pada akhirnya terjadi komplikasi atau sebaliknya durasi yang panjang
memang dibutuhkan untuk tindakan trakeostomi terintubasi dengan kasus sulit
tanpa mengurangi tingkat kehati-hatian.

Pada hasil penelitian ini, terlihat potret selama kurun waktu 3 tahun (periode
Januari 2011 sampai Desember 2013) komplikasi trakeostomi lebih mudah terjadi
pada subjek dengan jenis insisi bjork flap dibandingkan jenis insisi vertikal.
Belum ditemukan literatur yang membandingkan antara jenis insisi trakea Bjork
flap dengan insisi vertikal namun Malata dkk63 melakukan penelitian pada 95
subjek yang dilakukan insisi bjork flap. Hasil penelitian tersebut ternyata
menyimpulkan jenis insisi bjork flap aman dilakukan pada kasus tumor kepala
leher pada kelompok dewasa karena jenis insisi tersebut dapat dilakukan dengan
cepat dan termasuk jenis insisi yang dapat mempertahankan jalan napas dengan
baik pascaoperatif. Hasil penelitian tidak sesuai dengan literatur diduga karena
mayoritas subjek penelitian adalah kelompok dewasa yang seluruhnya dilakukan
insisi trakea jenis bjork flap dan insisi vertikal hanya dilakukan pada kelompok
anak saja sehingga sebaran subjek tidak merata pada kedua kelompok tersebut.

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
75

Hal ini terbukti saat dilakukan analisis lanjut, berupa analisis multivariat, faktor
tersebut tidak keluar sebagai faktor yang bermakna. Diperlukan penelitian lebih
lanjut dengan disain kasus kontrol untuk menilai jenis insisi trakea. Jumlah subjek
juga diharapkan seimbang antara kedua jenis insisi tersebut. Penelitian juga
sebaiknya tidak menggabungkan antara jenis kelompok anak dan dewasa agar
terdapat keseragaman populasi pada penelitian tersebut.

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
76

BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
1. Karakteristik subjek yang dilakukan trakeostomi di Departemen THT-KL
RSCM adalah lebih sering pada laki-laki usia dewasa muda tidak gemuk
dengan indikasi terbanyak sumbatan jalan napas atas. Penyakit primer
terbanyak tumor kepala leher dengan kelainan pada leher terbanyak massa
leher. Tindakan trakeostomi lebih sering dilakukan di IGD
(kegawatdaruratan) dalam keadaan tanpa intubasi. Prosedur trakeostomi
yang sering dilakukan adalah pembuatan stoma letak rendah dengan insisi
trakea jenis bjork flap dan lebih sering dilakukan dalam waktu lebih dari
30 menit.
2. Proporsi komplikasi trakeostomi di Departemen THT-KL RSCM sebesar
44,8%.
3. Komplikasi yang terjadi pada kasus trakeostomi di Departemen THT-KL
RSCM terbanyak adalah komplikasi dini pascaoperatif (60,7%) berupa
emfisema subkutis (82,4%). Sebaran jenis komplikasi intraoperatif sebesar
8,9%, komplikasi dini pasca operatif sebesar 60,7% dan yang mengalami
komplikasi keduanya sebesar 30,4%. Pada jenis komplikasi intraoperatif,
dari 23 kasus terdapat 11 kasus pneumomediastinum, 6 kasus
pneumotorak, 4 kasus cardiopulmonary arrest dan 2 kasus perdarahan.
Sebaran jenis komplikasi dini pascaoperatif adalah emfisema subkutis
sebesar 42 subjek (82,4%), sumbatan kanul sebesar 11,8%, perdarahan
sebanyak 3 kasus (5,9%) dan lepasnya kanul trakeostomi sebanyak 2 kasus
(3,9%).
4. Hubungan karakteristik klinis dan demografis pada kasus trakeostomi di
Departemen THT-KL RSCM dari analisis bivariat, didapatkan bahwa usia
dewasa tua (p=0,035), indikasi sumbatan jalan napas (p=0,048) secara
statistik bermakna meningkatkan terjadinya komplikasi trakeostomi. Pada
analisis multivariat, indikasi sumbatan jalan napas atas adalah faktor yang
paling kuat .

76 Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
77

6.2 Saran
1. Setiap pasien yang akan dilakukan tindakan trakeostomi sebelumnya
dilakukan pengecekan adanya faktor yang diduga berpotensi menimbulkan
komplikasi sehingga diharapkan operator akan lebih hati-hati dalam
mengerjakannya.
2. Diperlukan status khusus trakeostomi berupa check list setiap dilakukan
trakeostomi untuk mempermudah operator dalam mendokumentasi faktor
yang diduga berisiko timbulnya komplikasi sebelum dilakukan tindakan
serta memastikan ada tidaknya komplikasi yang berpotensi terjadi. Faktor-
faktor risiko yang dicantumkan dalam check list adalah faktor yang
ditemukan pada penelitian ini. Beberapa faktor risiko yang tidak
didapatkan pada penelitian namun dirasakan penting untuk diketahui juga
dimasukkan sebagai faktor yang berisiko timbulnya komplikasi seperti
leher pendek, lokasi stoma dan operator.
3. Tindakan trakeostomi dengan indikasi sumbatan jalan napas atas harus
dilakukan secara hati-hati karena lebih berpotensi terjadi komplikasi
dibandingkan dengan indikasi lain. Salah satu cara untuk meminimalisir
komplikasi tersebut adalah dengan mengusahakan melakukan trakeostomi
dilakukan dalam keadaan terintubasi. Cara lain adalah dengan melakukan
persiapan dan pemilihan kanul yang sesuai karena mayoritas kasus
trakeostomi dengan tumor kepala leher yang memerlukan kanul lebih
panjang. Selain itu diperlukan juga kerja sama yang baik dengan ahli
anestesi untuk memberikan informasi yang rinci mengenai kondisi klinis
pasien yang akan dilakukan trakeostomi.
4. Angka kejadian komplikasi pada kasus sumbatan jalan napas cukup
banyak. Hal ini secara tidak langsung menjadi tantangan untuk operator,
dalam hal ini PPDS, agar lebih meningkatkan pengetahuan dan
keterampilannya dalam teknik trakeostomi sehingga komplikasi dapat
dihindari atau diminimalisir dengan melakukan tindakan trakeostomi
secara hati-hati. Frekuensi pelatihan dengan kadaver (silent mentor) harus
dilakukan lebih sering. Pelatihan tersebut juga diharapkan tidak hanya

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
78

diberikan pada PPDS tahap awal saja namun diberikan juga pada tahap
lanjut. Target pelatihan tahap awal adalah untuk melatih teknik
trakeostomi sehingga dapat melakukan trakeostomi dengan baik pada
pasien terintubasi. Target pelatihan PPDS tahap lanjut adalah melatih
kecepatan dalam melakukan trakeostomi sehingga dapat melakukan
trakeostomi dengan baik pada kasus trakeostomi darurat.
5. Pencatatan data rekam medis preoperatif, intraoperatif maupun
pascaoperatif harus ditulis dengan lengkap dan rinci sehingga data yang
diperlukan untuk penelitian selanjutnya lebih mudah didapat.
6. Penelitian prospektif tentang komplikasi trakeostomi perlu dilakukan.
Penelitian tersebut untuk menambahkan data tentang beberapa faktor yang
tidak didapat di penelitian ini. Faktor-faktor tersebut seperti faktor
operator dan leher pendek. Penelitian khusus pada kelompok usia anak
juga perlu dilakukan untuk mendapatkan gambaran komplikasi
trakeostomi pada kasus anak karena pada penelitian ini tindakan
trakeostomi mayoritas dilakukan pada kelompok usia dewasa sehingga
tidak dapat mewakili kelompok usia anak.

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
79

DAFTAR PUSTAKA

1. Cox C, Carson S, Holmes G, Howard A, Carey T. Increase in Tracheostomy


for Prolong Mechanical Ventilation in North Carolina, 1993-2002. Crit Care
Med. 2004;32(11):2219-26.
2. Ballenger JJ. Insufisiensi Pernafasan dan Trakeostomi. In: Ballenger JJ, editor.
Penyakit Telinga, Hidung, Kepala dan Leher. 13 ed. Jakarta: Binapura Aksara;
1997. p. 450-61.
3. Vallamkondu V, Visvanathan V. Clinical review of adult tracheostomy. J
Periop Pract. 2011;21(5):172-6.
4. Shah RK, Lander L, Berry JG, Nussenbaum B, Merati A, Roberson DW.
Tracheotomy Outcames and Complications: national Perspective.
Laryngoscope. 2011;122:25-9.
5. Bove MJ, Morris LL. Complication and Emergency Procedures In: Morris LL,
Afifi MS, editors. Tracheostomies: The Complete Guide. New York: Springer
Publishing Company; 2010. p. 277-99.
6. Francois B, Clavel M, Desachy A, Puyraud S, Roustan J, Vignon P.
Complications of Tracheostomy Performed in the ICU:
Subthyroid Tracheostomy vs Surgical Cricothyroidotomy. Chest.
2003;123(1):151-8.
7. Waldron J, Padgham ND, Hurley SE. Complications of Emergency and
Elective Tracheostomy: a Retrospective Study of 150 Consecutive Cases. Ann
Royal College Surg Eng. 1990;72:218-20.
8. Goldenberg D, Ari EG, Golz A, Danino J, Netzer A, Joachims HZ.
Tracheotomy complications: A retrospective study of 1130 cases.
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2000;123(4):495-500.
9. Gilyoma JM, Balumuka DD, Chalya PL. Ten-year Experiences with
Tracheostomy at a University Teaching Hospital in Northwestern Tanzania: A
Retrospective Review of 214 Cases. World J Emerg Surg. 2011;6(38):1-7.
10. Halum SL, Ting JY, Plowman EK, Belafsky PC, Harbarger CF, Postma GN,
et al. A Multi-Institutional Analysis of Tracheotomy Complications.
Laryngoscope. 2011;122:38-45.
11. Abdullah H. Evaluasi Aspek THT pada Penderita Penyakit Difteri di RS. dr.
Cipto Mangunkusumo. Jakarta: University of Indonesia; 1984.
12. Kost KM, Myers EN. Tracheostomy. In: Myers EN, editor. Operative
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2nd ed. Philadelphia: Saunders;
2008. p. 577-94.
13. Quintel M, Brauer A. Timing of Tracheostomy. Minerva Anestesiol.
2009;75:375-83.
14. Leyn PD, Bedert L, Delcroix M, Depuydt P, Lauwers G, Sokolov Y, et al.
Tracheotomy: Clinical Review and Guidlines. Eur J Cardiothorac Surg
2007;32:412-21.
15. Epstein SK. Late Complication of Tracheostomy. Respir Care. 2005;50:543-9.
16. Straetmans J, Schlondorff G, Herzhoff G, Windfuhr JP, Kremer B.
Complications of Midline-Open Tracheotomy in Adults. Laringoscope.
2010;120:84-92.

79 Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
80

17. Caro EP-RP, Perez-Frias J, Cols M, Barrio I, Torrent A, Garcia MA, et al.
Paediatric Patients with A Tracheostomy. Spanish Multi-centre
Epidemiological Study. Eur Respir J. 2012;40(6):1502-7.
18. Wilson LM. Fungsi Pernafasan Normal. In: Price SA, Wilson LM, editors.
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 4 ed. Jakarta: EGC;
1994. p. 646-7.
19. Dhillon RS, East CA. Ear, Nose and Throat: Head and Neck Surgery. 2 ed.
London: Harcourt Publishers; 2000.
20. Rowshan HH, Baur DA. Surgical Tracheotomy. Atlas Oral Maxillofacial Surg
Clin N Am. 2010(18):39-50.
21. Gulsen S, Unal M, Dinc AH, Altinors N. Clinically Correlated Anatomical
Basis of Cricothyrotomy and Tracheostomy. J Korean Neurosurg Soc
2010;47:174-9.
22. Tewfik TL. Tracheal Anatomy. 2013 [cited 2015 January]; Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1949391.
23. Praveen C, Martin A. A Rare Case of Fatal Haemorrhage After Tracheostomy.
Ann R Coll Surg Engl. 2007;89(8):6-8.
24. Suslu N, Ermutlu G, Akyol U. Pediatric Tracheotomy: Comparison of
Indications and Complications between Children and Adults. Turkish J Ped.
2012;54:497-5.
25. Speech E. Tracheostomy and Ventilator Dependent Patients. 2009 [cited 2014
July]; Available from: http://everythingspeech.com.
26. Drake AF, Ferguson MO. Controversies in Upper Airway Obstruction. In:
Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, editors. Head & Neck Surgery -
Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
p. 803-13.
27. Jackson C, Jackson CL. Obstructive Laryngotracheal Disease.
Bronchoesophagology. Philadelphia: W. B. Saunders Company; 1958. p. 111-
51.
28. Noerdin S. Tracheostomy. Kuantan: ENT Clinic, Hospital Tengku Ampuan
Afzan.
29. Yoo DB, Schiff BA, Martz S, Fraioli RE, Smith RV, Kvetan V, et al. Open
Bedside Tracheotomy: Impact on Patient Care and Patient Safety.
Laryngoscope. 2011;121:515-20.
30. Lore JM. The Trachea and Mediastinum. In: Gaertner RS, Chappelle A,
editors. An Atlas of Head & Neck Surgery. 4th ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; Jesus E. Medina. p. 1015-24.
31. Walvekar RR, Myers EN. Tehcnique and Complications of Tracheostomy in
Adults. In: Myers EN, Johnson JT, editors. Tracheotomy: Airway
Management, Communication and Swollowing. 2nd ed. San Diego: Plural
Publishing; 2008. p. 35-67.
32. Engels PT, Bagshaw SM, Meier M, Brindley PG. Tracheostomy: from
Insertion to Decannulation. Can J Surg. 2009;52(5):427-33.
33. Sherman JM, Davis S, Petrick SA, Chatburn R, Fitton C, Green C, et al. Care
of The Child with a Chronic Tracheostomy. Am J Respir Crit Care Med.
2000;16(1):297-308.

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
81

34. Behl S, Watt JWH. Prediction of tracheostomy tube size for paediatric long-
term ventilation: an audit of children with spinal cord injury. Br J An.
2005;94(1):88-91.
35. Heffner JE. Management of the chronically ventilated patient with a
tracheostomy. Chronic Respiratory Disease. 2005; 2:151-61.
36. Neema PK, Manikandan S. Tracheostomy and Its Variants. Indian J Anaesth.
2005;49(4):323-7.
37. Singh N, Fung A, Cole IE. Innominate Artery Hemorrhage Following
Tracheostomy. Otolaryngol Head Neck Surg. 2007;136(48):68-72.
38. Freeman BD, Isabella K, Lin N, Buchman TG. A Meta-analysis of
Prospective Trials Comparing Percutaneus and Sugical Tracheostomy in
Critically Ill Patients. CHEST. 2000;118:1412-8.
39. Regan GD, Minambres E, Ruiz A, Gonzalez-Herrera S, Holanda-Pen M,
Lopez-Espadas F. Safety and Complications of Percutaneous Tracheostomy in
a Cohort of 800 Mixed ICU Patients. Anaesthesia. 2008;63:1198-203.
40. Grant CA, Dempsey G, Harrison J, Jones T. Tracheo-innominate artery fistula
after percutaneous tracheostomy: three case reports and a clinical review. Br J
Anaesth. 2006;96 (1):127-31.
41. Tokur M, Kurkcuoglu IC, Kurul C, Demircan S. Synchronous Bilateral
Pneumothorax as a Complication of Tracheostomy. Turkish Respir J.
2006;7(2):84-5.
42. Kumar KS, Nampoothiri PM, Suma R, Renu P. Pneumothorax Following
Tracheostomy and Its Management. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg.
2002;54(3):236-7.
43. Blaivas AJ. Pneumothorax. New Jersey: A.D.A.M., Inc.; 2002 [updated 2012].
44. Smith DK, Grillone GA, Fuleihan N. Use of postoperative chest x-ray after
elective adult tracheotomy. Otolaryngol Head Neck Surg. 1999;120:848-51.
45. Kremer B, Botos-Kremer AI, Eckel HE, Schlondorff G. Indications,
Complications, and Surgical Techniques for Pediatric Tracheostomies—An
Update. J Pediatr Surg 37:1556-1562. 2002;37:1556-62.
46. Agarwal SS, Kumar L, Chavali KH, Mestri SC. Fatal Venous Air Embolism
Following Intravenous Infusion. J Forensic Science. 2009;54(3):682-4.
47. Daane SP, Toth BA. Fire in the Operating Room: Principles and Prevention.
Plast Reconstr Surg. 2005;115:73-5.
48. Rogers M, Nickalls R, Brackenbury E, Salamal F, Beattie M, Perks A. Airway
fire during tracheostomy: prevention strategies for surgeons and anaesthetists.
Ann R Coll Surg Engl. 2001;83:376-80.
49. Rinder CS. Fire safety in the Operating Room. Current Opinion Anaesth.
2008;21(6):790-5.
50. Thompson JW, Colin W, Snowden T, Hengesteg A, Stocks RMS, Watson SP.
Fire in the Operating Room During Tracheostomy. Shoutern Med J.
1998;91(3):243-7.
51. Casserly P, Lang E, Fenton JE, Walsh M. Assessment of healthcare
professionals’ knowledge of managing emergency complications in patients
with a tracheostomy. British J Anaesth. 2007;99(3):380-3.
52. Rajendram R, McGuire N. Repositioning a displaced tracheostomy tube with
an Aintree intubation catheter mounted on a fibre-optic bronchoscope. Br J
Anaesth. 2006;97(4):576-9.

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
82

53. Dao-feng B, Kai-yang L, Xu-lin C, Xi-ya Y, Hui-Jun X, Fei C, et al.


Unplanned decannulation of tracheotomy tube in massive burn patients: a
retrospective case series study. Chin Med J. 2011;124(20):3309-13.
54. Mack D. Molecular mechanisms of Staphylococcus epidermidis biofilm
formation J Hospital Infection 1999;43:113-25.
55. von-Eiff C, Heilmann C, Peters G. New Aspects in the Molecular Basis of
Polymer-Associated Infections due to Staphylococci. Eur J Clin Microbiol
Infect Dis. 1999;18:843-6.
56. Gabriella C, Marcos L. Tracheostomy: Complication in Fresh Postoperative
and Late Postoperative Settings. Clin Ped Emerg Med. 2010;11(2):122-30.
57. Fang TJ, Lee LA, Lee HY. Powered Instrumentation in the Treatment of
Tracheal Granulation Tissue for Decannulation. Otolaryngol Head Neck Surg.
2005;133(4):520-4.
58. Sue RD, Susanto I. Long-term complications of artificial airways. Clin Chest
Med. 2003;24:257-71.
59. Portex Thermovent T2 Heat and Moisture Exchanger 50cs. Available from:
http://www.bestshoppingcenter.net/medical/products.php.
60. Leidholm M. Care: Humidifying and Suctioning. 2010 [cited 2013
November]; Available from:
http://www.cpnonline.org/CRS/CRS/pa_trachhum_pep.htm.
61. Khan MK. Tracheostomy Tubes. 2013 [cited 2013 April]; Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/2044774.
62. Gulsen S, Unal M, Dinc AH, Altinors N. Clinically Correlated Anatomical
Basis of Cricothyrotomy and Tracheostomy. J Korean Neurosurg Soc.
2010;47:174-9.
63. Malata CM, Foo I, Simpson K, Batchelor A. An audit of Bjork flap
tracheostomies in head and neck plastic surgery. Br J Oral Maxillofac Surg.
1996;34(1):42-6.

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
Komite Etik Penelitian Kesehatan
Fakultas Kedokteran U niversitas lndonesia
Rumah Sakit CiPto,Mangunkusumo '

Health Research Ethics Committee ''

FaculiJ of Medicine Unlversitas lndonesia'


QPto Mang unkusumo HosPital
E-maih ec*fkul@yahoo'com
Jalan salemba Raya No. 6, Jakarta Pusat 1M30.Te1p.021-3157008'

Nomor : (fr /uN2.F1/ETw2ol4

KETERANGAN LOLOS KAJI ETIK

ETHICAL APPROVAL

Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dalam upaya
melin$ungi hak asasi dan kesejahteriuur subyek penelitian ke(pk{eran, telah mengkaji
dengan teliti protokol berjudul: '

The Ethics Com,mittee of the Faculty of Medicine, (lniversity of Indonesia, with regards of
the Protection of humun rigtts and welfare
I
in rnedical research, has carefully reviewed the
researchprotocol entitted:
,'Proporsi Komplikasi Trakeostomi dan Faktor-faktor yang Berhubungan
91
Departemen THT-KL Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Sejak Januari 2011
Sampai Desember 2013".

Pene!iti'Utama : dr. Dina Nurdiana


Principal lnvestigator

Nama Institusi : Ilmu Penyakit THT FKUI/RSCM


Name of the Institution

dan telah memnyetujui protokol tersebut di atas.


and approcal the above-mentioned.proto col

"i

*Eghical approval berlaku satu tahun dari tanggal persetujuan


**Peneliti berkewajiban
l. Menjagakerahasiaan identitas subyekpenelitian
2. Membiritatrukan status penelitian apabila
a-
b. Setetah masa berlakunya keterangan lolos kaji ctih penelitian masih belum selesai, dalam hal ini elhical clearance
harus diPerPanjang
o. Penelitian bcrhenti di tengahjalan
3. Melaporkan kejadian serius yang tidak diinginkan (serlous adverse events)
4. penefiti tidak boteh metakukan tindakan apapun pada subyek sebelum penelitian lolos kqii etik dan informed consent

*--"*
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
84

LAMPIRAN 2
STATUS PENELITIAN

No Subjek :
No Rekam medik :
Nama :
Tanggal lahir/ Usia :
Jenis Kelamin : Laki-laki/ Perempuan
Lokasi tindakan : (IBP/ IGD/ICU/ HCU)
Jam tindakan :
Durasi tindakan :

1. Indikasi Trakeostomi
Sumbatan Jalan Napas atas 1
Intubasi lama 2
Akses Jalan napas 3
Retensi sputum 4
Lain-lain: ………………………. 5

2. Stadium sumbatan jalan napas atas


Stadium 1 1
Stadium 2 2
Stadium 3 3
Stadium 4 4

3. Onset Sumbatan Jalan Napas Atas


Akut 1
Kronis 2

4. Penyakit primer
Kardiovaskuler 1
Trauma 3
Tumor kepala leher 4
Kelainan kongenital 5
Infeksi 6
Lain-lain: ………………………. 7

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
85

5. Anatomi jalan napas


Leher pendek 1
Massa leher (midline/ lateral) 2
Pendorongan trakea 3
Kelainan tulang servikal 4
Lain-lain:…………………………………. 5

6. Status Intubasi
Terintubasi 1
Tidak Terintubasi 2

7. Lokasi insisi trakea


Letak Tinggi 1
Standar 2
Letak Rendah 3

8. Status Komplikasi
Komplikasi 1
Jika ya, jenis :
Komplikasi intraoperatif a
Perdarahan intra operatif
Pneumotoraks
Pneumomediastinum
Cardiopulmonary Arrest
Lain-lain:………………………
Komplikasi dini pascaoperatif b
Perdarahan pascaoperatif
Emfisema subkutis
Lepasnya kanul trakeostomi
Sumbatan kanul trakeostomi
Infeksi
Lain-lain:……………………….
Tidak Komplikasi 2

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
86

Lampiran 3

STATUS TRAKEOSTOMI

No Rekam medik :
Nama :
Tanggal lahir/ Usia :
Jenis Kelamin : Laki-laki/ Perempuan
Berat badan :
Tinggi badan :
Anamnesis :
Keputusan rencana trakeostomi (tgl, jam) :
Indikasi tindakan
Sumbatan jalan napas atas (stadium I II III IV)
Ancaman sumbatan jalan napas atas
Intubasi lama
Akses jalan napas saat operasi
Lain-lain:……………………

Penyakit primer
Tumor kepala leher (jenis tumor:………………………)
Infeksi (jenis infeksi:…………………………………....)
Stenosis subglotis
Kelainan kongenital
Trauma
Lain-lain:……………………

Kelainan anatomi leher


Leher pendek (dewasa: jarak kartilago krikoid dengan fossa
sternalis <6,9 cm)
Massa leher
Pendorongan trakea
Kelainan Tulang Servikal
Lain-lain:……………………

Pemeriksaan penunjang (jika dilakukan)


- Rontgen toraks preoperatif :

- Rontgen soft tissue Servikal :

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
87

- AGD: pH: PCO2: PO2: BE: HCO3:

Lokasi tindakan : (IBP/ IGD/ICU/ HCU/…………………...)


Jenis trakeostomi : Darurat/ Cito Elektif
Hari/ tgl tindakan :
Jam tindakan :
Durasi tindakan
(dimulai saat insisi kulit) : …….. menit
Operator : Tahap: 2A / 2B / 3 / K
DPJP :
Status intubasi : Terintubasi Tidak terintubasi
Jenis insisi Kulit : Vertikal Horizontal
Lokasi stoma : Letak tinggi Standar
Letak rendah
Jenis insisi Trakea : Bjork flap Vertikal
Lain-lain:………………………..
Rontgen torak posoperatif :

Status komplikasi
Tidak
Ya
Komplikasi Intraoperatif
Perdarahan intraoperatif
Cardiopulmonary arrest
Pneumotorak
Pneumomediastinum
Lain-lain:…………….
Komplikasi Dini Pascaoperatif
Perdarahan pascaoperatif
Sumbatan kanul
Lepas kanul
Emfisema subkutis
Lain-lain:………………

Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
88

LAMPIRAN 4
TABEL INDUK

No

Nama
Karakteristik Karakteristik Klinis
Demografis

Indikasi Trakeostomi

Onset obstruksi

Penyakit Primer

Anatomi Jalan Napas

Leher pendek

Massa leher

Pendorongan trakea

Kelainan tulang servikal

Kelainan anatomi lain

Status Intubasi

Lokasi Insisi Trakea

Jenis insisi trakea

Indeks Massa Tubuh

Durasi Tindakan

Lokasi Tindakan
Jenis kelamin

Usia
1 MD 1 2 1 2 2 2 2 1 1 1 2 2 1 2 2 2
2 IT 2 3 3 1 3 2 2 1 2 2 2 2 1 2 2 2
3 TS 1 2 5 4 2 2 2 2 2 1 2 1 2 2 2
4 ML 1 2 5 2 2 2 1 2 2 2 2 1 1 1 2
5 AS 1 2 1 2 4 1 2 2 2 2 2 2 1 1 1 2
6 JSP 1 2 3 4 1 2 2 2 2 2 2 1 1 2 2
7 AHK 1 3 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 1 1 2 2
8 DD 1 2 1 1 4 2 2 2 2 2 1 1 3 1 1 2 2
9 DP 2 2 5 2 2 2 1 2 2 1 2 2 1 1 1
10 AW 1 2 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 1 1 1 2
11 JY 1 2 5 2 2 2 1 2 2 2 2 1 1 2 1
12 NH 2 2 1 2 2 2 2 1 1 2 1 1 1 1 1 2 2
13 AR 1 2 5 2 2 2 1 2 2 2 2 1 1 1 1
14 PR 1 2 1 2 2 2 2 1 1 2 1 2 1 2 2
15 SD 1 3 1 2 2 1 2 2 2 2 2 2 1 1 2
16 AR 1 2 5 3 1 2 2 2 2 2 1 3 1 1 2 3
17 NH 2 2 1 2 4 1 2 2 2 2 2 2 1 1 2 1
18 AY 2 3 5 2 2 2 1 2 2 2 2 1 2 1
19 TR 2 2 1 2 2 1 2 2 2 2 2 2 3 1 1 2
20 DG 1 3 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 1 1 2
21 MSZ 1 3 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 1 1 2 2
22 EM 1 2 5 2 1 2 2 2 2 2 2 3 1 1 1 2
23 JS 1 1 1 2 4 1 2 2 2 2 2 2 2 1 2
24 SRY 2 2 5 4 2 2 2 2 2 2 2 1 2 1
25 HDJ 2 2 5 2 2 2 1 2 2 2 2 1 2 2
26 AND 1 2 1 1 2 2 2 2 1 2 2 2 1 1 1 2
27 SPH 2 2 3 2 1 2 2 2 2 2 1 1 1 2 1
28 GM 1 3 1 2 2 2 2 1 1 2 2 2 1 1 2 2
29 SA 1 3 5 2 2 2 1 2 2 2 1 3 2 1
30 IDH 2 2 5 2 1 2 2 2 2 2 2 1 2 1
31 ASM 2 3 3 3 1 2 2 2 2 2 2 1 1 2
32 UDJ 1 2 5 2 2 2 1 1 2 2 2 1 2 1
33 TMG 1 2 1 2 2 2 2 1 1 2 2 2 1 2 2
34 PT 1 3 5 2 1 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1
35 MDS 1 3 5 2 1 2 2 2 2 2 2 1 1 1
36 SS 1 3 1 1 2 1 2 2 2 2 2 2 1 1 1 2
37 ZA 1 2 1 2 2 1 2 2 2 2 2 1 1 1 1 2

Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014 Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai