Anda di halaman 1dari 47

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pemeriksaan radiologi paru-paru atau yang lebih dikenal dengan pemeriksaan

thoraks merupakan pemeriksaan yang sangat penting. Kemajuan yang pesat

selama dasawarsa terakhir dalam teknik pemeriksaan radiologi thoraks dan

pengetahuan untuk menilai suatu roentgenogram thoraks menyebabkan

pemeriksaan thoraks dengan sinar roentgen ini menjadi suatu keharusan yang

rutin. Pemeriksaan paru tanpa pemeriksaan roentgen saat ini dapat dianggap tidak

lengkap. Suatu penyakit paru belum dapat disingkirkan dengan pasti sebelum

dilakukan pemeriksaan radiologik. Selain itu, berbagai kelainan dini dalam paru

juga sudah dapat dilihat dengan jelas pada foto roentgen sebelum timbul gejala-

gejala klinis (Rasad, 2005).

Infeksi saluran nafas bawah masih menjadi masalah utama dalam bidang

kesehatan. World Health Organization (WHO) melaporkan infeksi saluran nafas

bawah sebagai infeksi penyebab kematian paling sering di dunia dengan hampir

3,5 juta kematian per tahun. Pneumonia dan influenza didapatkan sebagai

penyebab kematian sekitar 50.000 estimasi kematian pada tahun 2010 (PDPI,

2003; Wunderink dan Watever, 2014).

Infeksi paru non spesifik terbagi atas radang bronkus dan radang jaringan

paru. Berdasarkan lamanya peradangan, maka radang bronkus dibedakan menjadi

radang akut dan kronis (Rasad, 2005). Peradangan pada paru dapat disebabkan

oleh bakteri, virus, protozoa, jamur, bahan kimia, lesi kanker, dan radiasi ion.

Pemeriksaan radiologi pada paru merupakan pemeriksaan berperan sangat penting

dalam membantu menegakkan diagnosis penyakit infeksi pada paru. Namun,


2

pemeriksaan radiologi pada paru tidak selalu memberikan gambaran yang

spesifik. Oleh sebab itu, hasil pemeriksaan radiologi harus dikorelasikan dengan

manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang lainnya agar mendapatkan

diagnosis yang akurat.

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis akan membahas referat mengenai

pemeriksaan radiologi pada infeksi paru non spesifik, sehingga pembaca lebih

memahami gambaran hasil pemeriksaan radiologi dari penyakit infeksi paru non

spesifik.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah definisi, etiologi, patofisiologi, diagnosis, dan penatalaksanaan

penyakit infeksi paru non spesifik?

2. Bagaimanakah gambaran hasil pemeriksaan radiologi pada penyakit infeksi

paru non spesifik?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, diagnosis, dan penatalaksanaan

penyakit paru non spesifik.

2. Mengetahui gambaran hasil pemeriksaan radiologi pada penyakit infeksi paru

non spesifik.

1.4 Manfaat

Sebagai bekal klinisi agar mampu menegakkan diagnosis penyakit infeksi

paru non spesifik dengan pemeriksaan radiologi.


3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Paru

2.1.1 Anatomi Paru

Paru-paru manusia terletak pada rongga dada, bentuk dari paru-paru adalah

berbentuk kerucut yang ujungnya berada di atas tulang iga pertama dan dasarnya

berada pada diafragma. Paru terbagi menjadi dua bagian yaitu, paru kanan dan

paru kiri. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus sedangkan paru-paru kiri

mempunyai dua lobus. Setiap paru-paru terbagi lagi menjadi beberapa sub-bagian,

terdapat sekitar sepuluh unit terkecil yang disebut bronchopulmonary segments.

Paru-paru bagian kanan dan bagian kiri dipisahkan oleh sebuah ruang yang

disebut mediastinum (Guyton 2007).

Gambar 2.1 Anatomi Paru (Netter, 2014).


4

Paru-paru manusia dibungkus oleh selaput tipis yang bernama pleura. Pleura

terbagi menjadi pleura viseralis dan pleura pariental. Pleura viseralis, yaitu

selaput tipis yang langsung membungkus paru, sedangkan pleura parietal, yaitu

selaput yang menempel pada rongga dada. Diantara kedua pleura terdapat rongga

yang disebut cavum pleura (Guyton, 2007).

Gambar 2.2 Pleura (Netter, 2014).

Menurut Guyton (2007) sistem pernafasan manusia dapat dibagi ke dalam

sistem pernafasan bagian atas dan pernafasan bagian bawah.

a. Pernafasan bagian atas meliputi hidung, rongga hidung, sinus paranasal, dan

faring.

b. Pernafasan bagian bawah meliputi laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan

alveolus paru.

Menurut Alsagaff (2015) sistem pernapasan terbagi menjadi dari dua proses,

yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah pergerakan dari atmosfer ke dalam
5

paru, sedangkan ekspirasi adalah pergerakan dari dalam paru ke atmosfer. Agar

proses ventilasi dapat berjalan lancar dibutuhkan fungsi yang baik pada otot

pernafasan dan elastisitas jaringan paru. Otot-otot pernafasan dibagi menjadi dua,

yaitu:

a. Otot inspirasi yang terdiri atas, otot interkostalis eksterna,

sternokleidomastoideus, skalenus, dan diafragma.

b. Otot-otot ekspirasi adalah rektus abdominis dan interkostalis internus.

Gambar 2.3 Otot-otot pernapasan (Netter, 2014).

2.1.2 Fisiologi Paru

Paru-paru dan dinding dada mempunyai struktur yang elastis. Dalam keadaan

normal terdapat lapisan cairan tipis antara paru-paru dan dinding dada sehingga

paru-paru dengan mudah bergeser pada dinding dada karena memiliki struktur

yang elastis. Tekanan yang masuk pada ruangan antara paru-paru dan dinding

dada berada di bawah tekanan atmosfer (Guyton, 2007).

Fungsi utama dari paru-paru adalah untuk pertukaran gas antara darah dan
6

atmosfer. Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi

jaringan dan mengeluarkan karbon dioksida. Kebutuhan oksigen dan karbon

dioksida terus berubah sesuai dengan tingkat aktivitas dan metabolisme seseorang,

akan tetapi pernafasan harus tetap dapat berjalan agar pasokan kandungan oksigen

dan karbon dioksida bisa normal (Guyton, 2007).

Udara yang dihirup dan masuk ke paru-paru melalui sistem berupa pipa yang

menyempit (bronchi dan bronkiolus) yang bercabang di kedua belah paru-paru

utama (trachea). Pipa tersebut berakhir di gelembung-gelembung paru-paru

(alveoli) yang merupakan kantong udara terakhir dimana oksigen dan

karbondioksida dipindahkan dari tempat dimana darah mengalir. Ada lebih dari

300 juta alveoli di dalam paru-paru manusia dan bersifat elastis. Ruang udara

tersebut dipelihara dalam keadaan terbuka oleh bahan kimia surfaktan yang dapat

menetralkan kecenderungan alveoli untuk mengempis (Guyton, 2007).

Menurut Guyton (2007) untuk melaksanakan fungsi tersebut, pernafasan

dapat dibagi menjadi empat mekanisme dasar, yaitu:

a. Ventilasi paru yang berfungsi untuk proses masuk dan keluarnya udara antara

alveoli dan atmosfer.

b. Difusi dari oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah.

c. Transport dari pasokan oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan cairan

tubuh ke dan dari sel.

d. Pengaturan ventilasi pada sistem pernapasan.

Pada saat inspirasi otot diafragma akan berkontraksi dan bergerak ke bawah

dan memperbesar volume rongga thoraks. Otot intercostalis eksternal juga akan

berkontraski sehingga costae akan terangkat ke atas dan keluar. Akibatnya,


7

volume rongga thoraks akan meningkat dan memberikan ruang bagi paru-paru

untuk dapat mengembang (Guyton, 2007).

Pada saat ekspirasi otot inspirasi akan melemas (otot diafragma dan otot

intercostalis berelaksasi) sehingga ukuran rongga thoraks akan mengecil. Saat

ekspirasi, ukuran paru-paru akan mengecil kembali seperti ukuran semula

(Guyton, 2007).

Gambar 2.4 Fisiologi pernapasan manusia (Sherwood, 2014).

2.2 Teknik Radiografi Thoraks

Foto Rotngen thoraks adalah pemeriksaan radiologi yang paling sering

dilakukan. Untuk pemeriksaan rutin biasanya dilakukan foto PA, dan bila perlu

dapat ditambahkan foto lateral (biasanya foto lateral kiri) (Malueka, 2008).

2.2.1 Foto PA

Jika yang diambil foto AP, bayangan jantung akan termagnifikasi (besar) dan

menutupi sebagian paru karena letak jantung jauh dari film. Itulah sebabnya

dipilih foto PA. Biasanya foto AP diambil jika pasien tidak bisa turun dari tempat

tidur sehingga pasien difoto di tempat tidur sambil berbaring telentang. Karena
8

pasien berbaring, pada foto AP costa bagian posterior tampak lebih mendatar,

diafragma tampak lebih tinggi dan volume paru tampak lebih kecil jika

dibandingkan dengan gambaran jika pasien difoto berdiri. Pada foto PA jarak

antara tabung dan film (FFD/Film-Focus Distance) sekitar 1,8 m, biasanya

digunakan tegangan 60-90 kV. Tegangan yang tinggi (120-150 kV) dapat

digunakan untuk memperjelas tanda-tanda yang ada di jaringan paru (Malueka,

2008).

Gambar 2.5 Proyeksi foto thoraks PA dan AP


Keterangan: (A) dan (B) proyeksi PA erek; (C) dan (D) proyeksi AP duduk; (E)
proyeksi AP supine (Lange dan Walsh, 2007).

2.2.2 Foto Lateral Kiri

Foto lateral kiri dipilih karena dengan posisi ini jantung jadi terletak lebih
9

dekat pada film, sehingga bayangan jantung tak sebesar jika dilakukan foto lateral

kanan (bayangan jantung tidak mengganggu). Struktur-struktur yang tak terlihat

pada foto PA bisa ditampakkan dengan foto lateral, seperti retrosternal space dan

retrocardial space, juga masa di anterior mediastinum (sternum, subcutis, dan

cutis), cairan pleura, atau konsolidasi basal paru. Pada foto lateral kiri,

magnifikasi sisi kanan yang lebih besar dari sisi kiri akan membantu memisahkan

struktur yang tampak (Malueka, 2008).

Gambar 2.6 Proyeksi foto thoraks lateral


Keterangan: (A) dan (B) proyeksi lateral erek; (C) dan (D) proyeksi lateral duduk;
(E) proyeksi lateral supine (Lange dan Walsh, 2007).

2.2.3 Posisi-posisi Lain

Posisi-posisi lain biasanya digunakan sebagai pelengkap kalau dari foto PA


10

tidak terlihat. Bisa juga dilakukan untuk melihat struktur tertentu yang sulit dilihat

dengan posisi standar, contohnya (Malueka, 2008):

1. Top lordotic (apical lordotic) arah sinar dari AP tapi bersudut 50-60 o dari arah

bawah, untuk melihat sarang-sarang di apeks (puncak paru) yang pada foto PA

tersembunyi di bawah clavicula dan costa I. Dilakukan untuk memeriksa TB,

biasanya jenis minimal lesion.

Gambar 2.7 Foto thoraks top lordotic


Keterangan: (A) Erek; (B) Supine (Lange dan Walsh, 2007).

2. Foto posisi berbaring (recumbency), untuk melihat letak dan sifat cairan

dalam kavitas, rongga pleura atau sela pleura interlobaris. Sinar diarahkan dari

samping, bisa dari kiri, bisa dari kanan. Jadi seperti foto lateral, hanya saja

pasien dalam posisi tidur.

3. Foto posisi oblique dapat menunjukkan area retrocardia, sudut posterior ruang

costophrenica, dan dinding dada.


11

Gambar 2.8 Foto thoraks oblique


Keterangan: (A) Right anterior oblique (fencer) position; (B) left anterior oblique
(boxer) position (Lange dan Walsh, 2007).

4. Foto lateral decubitus dapat menunjukkan adanya cairan dalam pleura,

misalnya untuk membedakan gambaran efusi subpulmoner (efusi yang hanya

mengisi ruang costophrenicus) dengan gambaran diafragma yang terlalu

tinggi.

Gambar 2.9 Foto thoraks lateral decubitus

5. Foto ekspirasi maksimal selain inspirasi dapat digunakan untuk menunjukkan

air atau fluid trapping pada emfisema obstruktif yang mengenai seluruh paru,

lobus atau segmen, serta untuk melihat pergerakan diafragma pada kelainan

diafragma, misalnya paralisis nervis phrenicus, dll.


12

Pemeriksaan thoraks lain biasanya digunakan untuk kasus tertentu, antara lain:

flouroskopi, tomografi, bronkografi, angio kardiografi, dll.

2.3 Kriteria Kelayakan Foto

Foto thoraks harus memenuhi beberapa kriteria tertentu sebelum dinyatakan

layak baca. Kriteria-kriteria tersebut, yaitu faktor kondisi, inspirasi cukup, posisi

sesuai, simetris, dan foto tidak terpotong (Malueka, 2008).

2.3.1 Faktor kondisi

Faktor kondisi, yaitu fator yang menentukan kualitas sinar X selama di kamar

rontgen (tempat ekspos). Faktor kondisi meliputi hal-hal berikut, yang biasa

dinyatakan dengan menyebut satuannya (Malueka, 2008):

1. Waktu/lama exposure milisecond (ms).

2. Arus listrik tabung miliAmpere (mA).

3. Tegangan tabung kilovolt (kV).

Ketiga hal di atas akan menentukan kondisi foto apakah:

1. Cukup: normal.

2. Kurang: bila foto thoraks terlihat putih (samar-samar).

3. Lebih (kondisi keras): bila foto thoraks terlihat sangat hitam.

Dalam membuat foto thoraks ada dua kondisi yang dapat sengaja dibuat,

tergantung bagian mana yang ingin diperiksa, yaitu:

1. Kondisi pulmo (kondisi cukup)/Foto dengan kV rendah

Inilah kondisi standar pada foto thoraks, sehingga gambaran parenkim dan

corakan vaskuler pada paru bisa terlihat. Cara mengetahui apakah suatu foto

rontgen pulmo kondisinya cukup baik atau tidak:

a. Melihat lusensi udara (hitam) yang terdapat di luar tubuh.


13

b. Memperhatikan vertebra torakalis:

 Pada proyeksi PA kondisi cukup: tampak VTh I-IV

 Pada proyeksi PA kondisi kurang: hanya tampak VTh I

2. Kondisi kosta (kondisi keras/tulang)/Foto dengan kV tinggi

Cara mengetahui apakah suatu pulmo kondisinya keras atau tidak:

a. Pada foto kondisi keras, infiltrat pada paru tak terlihat lagi. Cara

megetahuinya adalah membandingkan densitas pulmo degan jaringan

lunak. Pada kondisi keras keduanya tampak sama.

b. Memperlihatkan vertebra torakalis:

 Proyeksi PA kondisi keras: tampak sampai VTh V-VI

 Pada proyeksi PA kondisi kurang: yang tampak VTh I-XII. Selain itu

densitas jaringan lunak dengan kosta terlihat mirip.

Gambar 2.10 Penetrasi foto thoraks


Keterangan: (A) Penetrasi kurang; (B) Penetrasi cukup; (C) Penetrasi berlebihan
(Planner, 2007).

2.3.2 Inspirasi cukup

Foto thoraks harus dibuat dalam keadaan inspirasi cukup. Cara mengetahui

cukup tidaknya inspirasi adalah (Malueka, 2008):

1. Foto dengan inspirasi cukup


14

 Diafragma setinggi VTh X (dalam keadaan ekspirasi diafragma setinggi

VTh VII-VIII).

 Kosta 6 anterior memotong dome diafragma.

Gambar 2.11 Foto thoraks dengan inspirasi cukup (Planner, 2007).

2. Foto dengan inspirasi kurang

 Ukuran jantung dan meniastinum meningkat sehingga dapat menyebabkan

salah interpretasi.

 Corakan bronkovaskuler meningkat sehingga dapat menjadi salah satu

interpretasi juga.

Gambar 2.12 Pengaruh inspirasi terhadap ukuran jantung dan corakan


bronkovaskular
Keterangan: (A) Inspirasi Kurang; (B) Inspirasi Cukup (Planner, 2007).

2.3.3 Posisi Sesuai


15

Seperti telah diterangkan di atas, posisi standar yang paling banyak dipakai

adalah PA dan lateral. Foto thoraks biasanya juga diambil dalam posisi erek. Cara

membedakan foto thoraks posisi PA dan AP adalah sebagai berikut (Malueka,

2008):

1. Pada foto AP skapula terletak di dalam bayangan thoraks, sementara pada

foto PA skapula terletak di luar bayangan thoraks.

2. Pada foto AP klavikula terlihat lebih tegak dibanding foto PA.

3. Pada foto PA jantung biasanya terlihat lebih jelas.

4. Pada foto AP gambaran vertebra biasanya terlihat lebih jelas.

5. Untuk tips gampang, foto AP biasanya labelnya terletak di sebelah kiri foto

(sebelah kiri pasien), sementara pada foto PA label biasanya terletak disebelah

kanan foto (sebelah kanan pasien).

Gambar 2.13 Posisi Posteroanterior (PA) dan Posisi Anteroposterior (AP) supine
16

Gambar 2.14 Foto thoraks PA dan AP (Planner, 2007).

Cara membedakan posisi erek dan supine:

1. Erect (berdiri)

 Di bawah hemidiafragma sinistra terdapat gambaran udara dalam fundus

gaster akibat aerofagia. Udara ini samar-samar karena bercampur

makanan. Jarak antara udara gaster dengan permukaan diafragma adalah 1

cm atau kurang. Udara di fundus gaster ini dinamakan megenblase.

 Terdapat gas di fleksura lienalis akibat bakteri komensal yang hidup di

situ. Warna lebih hitam (lusen)

2. Supine

Udara megenblase bergerak ke bawah (corpus gaster), sehingga jarak udara

megenblase dengan diafragma 3 cm. Jadi biasanya pada posisi supine, udara

megenblase tidak terlihat.

2.3.4 Simetris dan Foto Tidak Terpotong

Cara mengetahui kesimetrisan foto, yaitu jarak sendi sternoklavikularis dextra

dan sinistra terhadap garis median adalah sama. Jika jarak ini antara kanan dan

kiri berbeda berarti foto tidak simetris (Malueka, 2008).


17

Gambar 2.15 Foto thoraks simetris (Planner, 2007)

2.4 Cara Membaca Foto Thoraks

Foto thoraks bisa dibaca dari luar ke dalam, atas ke bawah, cor ke pulmo, dll.

Urutan pembacaan dari luar ke dalam, yaitu (Malueka, 2008):

1. Soft tissue, nilai ketebalannya, ada swelling atau tidak.

2. Tulang, cari ada tidaknya diskontinuitas, lesi litik dan sklerotik.

3. Pleura, ada tidaknya cairan atau udara di cavum pleura, nilai sinus

costophrenicus, sinus cardiophrenicus.

4. Pulmo (parenkim paru, corakan bronkovaskuler, keadaan hilus).

5. Jantung, hitung CTR, normalnya pada posisi PA <50%.

6. Diafragma

2.5 Brokitis

2.5.1 Definisi

Merupakan peradangan pada bronkus atau bronkhi, biasanya terjadi bilateral.

Tanda klinis peradangan akut adalah demam dan batuk produktif. Namun, pada

peradangan kronis, tanda klinisnya adalah iritasi bronkial dengan penambahan

sekresi dan batuk produktif yang mengandung sputum dan terjadi pada hampir

setiap hari selama sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun,

paling sedikit selama 2 tahun berturut-turut. Bronkitis kronis bisa mengakibatkan

kekurangan airflow (Malueka, 2008).


18

2.5.2 Etiologi

Bronkitis dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain:

a. Bronkitis infeksiosa, disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri atau organisme

lain yang menyerupai bakteri (Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia).

Serangan bronkitis berulang bisa terjadi pada perokok, penderita penyakit

paru-paru dan saluran pernapasan menahun.

b. Bronkitis iritatif, karena disebabkan oleh zat atau benda yang bersifat iritatif

seperti debu, asap (dari asam kuat, amonia, sejumlah pelarut organik, klorin,

hidrogen, sulfida, sulfur dioksida, dan bromin), polusi udara menyebabkan

iritasi ozon dan nitrogen dioksida serta tembakau dan rokok (Harrison, 2003).

2.5.3 Patofisiologi

Karena berbagai faktor risiko (merokok, polusi udara, hiperaktivitas bronkus,

infeksi saluran napas berulang, defisiensi antitripsin α-1), maka terjadi (Malueka,

2008):

1. Peradangan dan edem mukosa pada bronkus, sehingga terjadi peningkatan

vaskularisasi dan penebalan pada dinding bronkus dan peribronkus.

2. Pada bronkitis kronis juga terjadi hipertrofi hiperplasia kelenjar mukus

bronkus sehingga terjadi pernyumbatan mukus intraluminal. Hal-hal tersebut

menyebabkan obstruksi parsial pada saluran napas, sehingga udara

terperangkap di bronkus dan peribronkus.

3. Semakin lama peradangan semakin kronis sehingga terdapat sel-sel radang

kronis di sekitar bronkus dan peribronkus.

4. Apabila tidak ditangani dengan baik akan terjadi kronisitas menjadi emfisema,

yaitu udara dalam paru semakin banyak sehingga mendorong diafragma ke


19

bawah. Kapasitas paru juga menurun.

2.5.4 Manifestasi Klinis

1. Hasil Anamnesis (Subjective)

a. Batuk (berdahak maupun tidak berdahak) selama 2-3 minggu.

b. Dahak dapat berwarna jernih, putih, kekuning-kuningan atau kehijauan.

c. Demam (biasanya ringan).

d. Rasa berat dan tidak nyaman di dada.

e. Sesak napas.

f. Sering ditemukan bunyi napas mengi atau “ngik”, terutama saat batuk.

g. Bila iritasi saluran terjadi, maka dapat terjadi batuk darah (Harrison,

2003).

2. Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi : pasien tampak kurus dengan barrel shape chest (diameter

anteroposterior dada meningkat).

b. Palpasi : fremitus taktil dada normal.

c. Perkusi : sonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih

rendah.

d. Auskultasi : suara napas vesikuler atau bronkovesikuler, dengan

ekspirasi panjang, terdapat ronki basah kasar yang tidak tetap (dapat hilang

atau pindah setelah batuk), wheezing dengan berbagai gradasi

(perpanjangan ekspirasi hingga mengi) dan krepitasi (Harrison, 2003).

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan Gram akan banyak didapatkan

leukosit PMN dan mungkin pula bakteri.


20

b. Foto thoraks pada bronkitis kronis memperlihatkan tubular shadow berupa

bayangan garis-garis pararel keluar dari hilus menuju apex paru dan

corakan paru bertambah.

c. Tes fungsi paru dapat memperlihatkan obstruksi jalan napas yang

reversibel dengan menggunakan bronkodilator (Harrison, 2003).

2.5.5 Gambaran Radiologis

Pada foto thoraks PA posisi erek didapatkan gambaran corakan

bronkovaskuler bertambah, gambaran trains line (seperti jalan kereta, yang

merupakan gambaran bronkus yang terpotong secara longitudinal), air

bronkogram (+) (merupakan gambaran bronkus yang terpotong secara

transversal), infiltrat peribronkial (+), tanda-tanda emfisema meliputi hiperlusensi

paru bilateral, diafragma letak rendah (di bawah VThX) dan cenderung mendatar,

gambaran jantung tear drop sehingga sudut kardiofrenikus sinister lancip, SIC

melebar (biasanya di daerah basis SIC X-XI). Bronkitis kronik secara radiologis

dibagi menjadi 3 kategori (Malueka, 2008):

1. Ringan: corakan paru ramai di bagian basal

2. Sedang: corakan paru ramai di bagian basal disertai emfisema, kadang-kadang

disertai bronkiektasis di paracardial kanan dan kiri.

3. Berat: ditemukan emfisema, bronkiektasis dan disertai cor polmunale sebagai

komplikasi.
21

Gambar 2.16 Corakan ramai di parakardial kanan (Rasad, 2005).

Gambar 2.17 Corakan paru ramai dan emfisema (Rasad, 2005).


22

Gambar 2.18 Corakan paru ramai disertai bronkiektasi kanan dan kiri (Rasad,
2005).

Gambar 2.19 Peningkatan corakan vaskular pada bagian basal paru (Lange dan
Walsh, 2007).
2.5.6 Penatalaksanaan

1. Memperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala-gejala tidak hanya pada

fase akut, tapi juga pada fase kronik, serta dalam melaksanakan aktivitas

sehari-hari sesuai dengan pola kehidupannya.

2. Mengurangi laju perkembangan penyakit apabila dapat didetaksi lebih awal.

3. Oksigenasi harus memadai.


23

4. Istirahat yang cukup.

5. Pemberian obat antitusif (penekan batuk): Kodein dapat diberikan 10 mg,

diminum 3x/hari, bekerja dengan menekan batuk pada pusat batuk di otak.

Antitusif tidak dianjurkan pada kehamilan, ibu menyusui dan anak usia 6

tahun ke bawah. Pada penderita bronkitis akut yang disertai sesak napas,

pemberian antitusif perlu umpan balik dari penderita. Jika penderita merasa

tambah sesak, maka antitusif dihentikan.

6. Pemberian ekspektoran (obat batuk pengencer dahak) yang lazim digunakan

diantaranya: GG (Glyceryl Guaiacolate), bromheksin, ambroksol, dan lain-

lain.

7. Antipiretik: parasetamol (asetaminofen), dan sejenisnya, digunakan jika

penderita demam.

8. Bronkodilator: salbutamol, terbutalin sulfat, teofilin, aminofilin, dan lain-lain.

Obat-obat ini digunakan pada penderita yang disertai sesak napas atau rasa

berat bernapas, sehingga obat ini tidak hanya untuk obat asma, tetapi juga

untuk bronkitis. Efek samping obat bronkodilator perlu diketahui pasien, yaitu

berdebar, lemas, gemetar, dan keringat dingin.

9. Antibiotik hanya digunakan jika dijumpai tanda-tanda infeksi oleh kuman

berdasarkan pemeriksaan dokter. Antibiotik yang diberikan antara lain

ampisilin, eritromisin, atau spiramisin, 3x500 mg/hari.

10. Terapi lanjutan: jika terapi antiinflamasi sudah dimulai, lanjutkan terapi

hingga gejala menghilang paling sedikit 1 minggu. Bronkodilator juga dapat

diberikan jika diperlukan (Harrison, 2003).

2.6 Pneumonia
24

2.6.1 Definisi

Pneumonia adalah peradangan/inflamasi parenkim paru, distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta

menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat

(Sudoyo, 2005). Pneumonia adalah radang paru yang bisa disebabkan oleh

bakteri, virus, protozoa, bahan kimia, lesi kanker, dan radiasi ion (Malueka,

2008).

Pneumonia dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, klasifikasi paling

sering ialah menggunakan klasifikasi berdasarkan tempat didapatkannya

pneumonia (pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial). Pneumonia juga

sering diklasifikasikan berdasarkan kondisi yang mendasari pasien, seperti

pneumonia rekurens (pneumonia yang berulang kali, berdasarkan penyakit paru

kronik), pneumonia aspirasi (alkoholik, usia tua), dan pneumonia pada gangguan

imun (pneumonia pada pasien transplantasi organ, onkologi, dan AIDS) (Dahlan,

2009; Dunn, 2007). Berdasarkan gambaran radiologisnya pneumonia dibagi

menjadi 3, yaitu air space pneumonia (pneumonia alveolar), bronkopneumonia,

dan pneumonia interstisial. Inflamasi yang ekstensif dapat menyebabkan tipe

pneumonia campuran ketiganya (Malueka, 2008).

2.6.2 Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri,

virus, jamur, dan protozoa. Pneumoni komunitas yang diderita oleh masyarakat

luar negeri banyak disebabkan gram positif, sedangkan pneumonia rumah sakit

banyak disebabkan gram negatif. Dari laporan beberapa kota di Indonesia


25

ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita komunitas adalah bakteri gram

negatif (PDPI, 2003).

Penyebab paling sering pneumonia yang didapat dari masyarakat dan nosokomial:

a. Mikroorganisme yang didapat di masyarakat: Streeptococcus pneumonia,

Mycoplasma pneumonia, Hemophilus influenza, Legionella pneumophila,

chlamydia pneumonia, anaerob oral, adenovirus, influenza tipe A dan B

(Wilson, 2012).

b. Mikroorganisme yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative (E.

coli, Klebsiella pneumonia), Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus

aureus, anaerob oral (Wilson, 2012).

2.6.3 Patofisiologi

Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor, yaitu keaadan

(imunitas) pasien, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang

berinteraksi satu sama lain (Dahlan, 2009). Dalam keadaan sehat, pada paru tidak

akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya

mekanisme pertahanan paru. Adanya bakteri di paru merupakan akibat

ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan,

sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit

(Mandell, et al., 2007).

Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan: 1) Inokulasi

langsung; 2) Penyebaran melalui darah; 3) Inhalasi bahan aerosol, dan 4)

Kolonosiasi di permukaan mukosa (PDPI, 2003). Dari keempat cara tersebut, cara

yang terbanyak adalah dengan kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada virus,

mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteria dengan


26

ikuran 0,5-2,0 mikron melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol

dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas

atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan

terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari

sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi

pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran,

peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). Sekresi orofaring mengandung

konsentrasi bakteri yang sangat tinggi 108-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian

kecil sekret (0,001-1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi

dan terjadi pneumonia (PDPI, 2003; Dahlan, 2009).

Gambar 2.20 Patogenesis pneumonia oleh bakteri pneumokokkus (Mandell, et al.,


2007).

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi

radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan

diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk

antibodi. Sel-sel PNM mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan

leukosit yang lain melalui psedopodosis sistoplasmik mengelilingi bakteri tersebut


27

kemudian terjadi proses fagositosis. Pada waktu terjadi perlawanan antara host dan

bakteri maka akan nampak empat zona (Gambar 2.16), yaitu: 1) Zona luar (edama):

alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema; 2) Zona permulaan konsolidasi

(red hepatization): terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah; 3) Zona

konsolidasi yang luas (grey hepatization): daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif

dengan jumlah PMN yang banyak; 4) Zona resolusi E: daerah tempat terjadi resolusi

dengan banyak bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag (PDPI, 2003).

Air space pneumonia biasanya disebabkan oleh pneumokokus. Bakteri ini

menyebabkan eksudat yang menyebar dari satu alveolus ke alveolus yang lain

melalui kanal komunikasi (porus Khon, kanal Lambert). Karena batas segmental

tidak menghalangi pasase udara atau cairan melalui porus-porus ini, eksudat

pneumonia ini dapat menyebar sampai bagian perifer paru-paru dan

menampakkan distribusi non-segmental. Karena infeksi menyebar secara

sentrifugal, batasnya biasanya halus dan tegas (Malueka, 2008).

Bronkopneumonia disebabkan oleh infeksi stafilokokus. Infeksi ini bermula

dari jalan nafas dan menyebar ke alveoli peribronkial. Karena penyebaran

intraalveolar pada perifer jalan napas minimal, konsolidasi cenderung tetap dalam

distribusi segmen paru tertentu saja. Inflamasi menyebabkan obstruksi bronkial

dan bronkiolar menyebabkan atelektasis (Malueka, 2008).

Pneumonia interstisial biasanya disebabkan oleh infeksi virus dan

mikoplasma. Pada tipe ini, proses inflamasi melibatkan septum-septum alveolar

dan struktur pendukung interstisial, membentuk pola retikuler atau linear

(Malueka, 2008).
28

Gambar 2.21 Gambaran radiologi pada pneumonia (Lange and Walsh, 2007).

2.6.4 Manifestasi Klinis

1. Hasil Anamnesis (Subjective)

a. Demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40oC.

b. Batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah.

c. Sesak napas.

d. Nyeri dada (Dahlan, 2009).

2. Pemeriksaan Fisik

Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi di paru.

a. Inspeksi : dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas.

b. Palpasi : fremitus dapat mengeras pada bagian yang sakit.

c. Perkusi : redup dibagian yang sakit.

d. Auskultasi : terdengar suara napas bronkovaskuler sampai bronkial

yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki

basah kasar pada stadium resolusi (Dahlan, 2009).

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Radiologi

Pemeriksaan menggunakan foto thoraks (PA/lateral) merupakan

pemeriksaan penunjang utama (gold standard) untuk menegakkan


29

diagnosis pneumonia. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai

konsolidasi dengan air bronchogram, penyebaran bronkogenik dan

intertisial serta gambaran kavitas (Dahlan, 2009).

b. Laboratorium

Peningkatan jumlah leukosit berkisar antara 10.000-40.000/ul, leukosit

polimorfonuklear dengan banyak bentuk. Meskipun dapat pula ditemuka

leukopenia. Hitung jenis menunjukkan shift to the left, dan LED

meningkat (Luttfiya, et al., 2010).

c. Mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi diantaranya biakan sputum dan kultur darah

untuk mengetahui adanya S.pneumonia dengan pemeriksaan koagulasi

antigen polisakarida pneumokokkus (Luttfiya, et al., 2010).

d. Analisa Gas Darah

Ditemukan hipoksemia sedang atau berat. Pada beberapa kasus, tekanan

parsial karbondioksida (PCO2) menurun dan pada stadium lanjut

menunjukkan asidosis respiratorik (Luttfiya, et al., 2010).

2.6.5 Gambaran Radiologi

1. Air space pneumonia

Pada foto thoraks PA posisi erek tampak infiltrat di parenkim paru paru yang

semiopak, homogen tipis seperti awan, berbatas tegas, bagian perifer lebih

opak dibanding bagian sentral. Konsolidasi parenkim paru tanpa melibatkan

jalan udara mengakibatkan timbulnya air bronkogram. Tampak pelebaran

dinding bronkiolus. Tidak ada volume loss pada pneumonia tipe ini (Malueka,

2008).
30

Gambar 2.22 Konsolidasi homogen pada lobus medial dextra (Lange and
Walsh, 2007).
2. Bronkopneumonia

Pada foto thoraks tampak infiltrat peribronkial yang semiopak dan inhomogen

di daerah hilus yang menyebabkan batas jantung menghilang (silhouette sign).

Tampak juga air bronkogram, dapat terjadi nekrosis dan kavitasi pada

parenkim paru. Pada keadaan yang lebih lanjut dimana semakin banyak

alveolus yang terlibat maka gambaran opak menjadi terlihat homogen

(Malueka, 2008).
31

A B

Gambar 2.23 (A) Diffuse reticulonodular shadowing pada kanan bawah; (B)
Foto rotngen setelah 10 hari pemberian antibiotik (Lange and Walsh, 2007).

3. Pneumonia interstitiel

Pneumonia interstitiel ditandai dengan pola liniar atau retikuler pada parenkim

paru. Pada tahap akhir, dijumpai penebalan jaringan interstitiel sebagai

densitas noduler yang kecil (Malueka, 2008).


32

Gambar 2.24 Peningkatan perihilar linear markings (Lange and Walsh, 2007).

2.6.6 Diagnosis

Diagnosis pneumonia komunitas (pneumonia yang didapat dimasyarakat)

didasarkan kepada riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti

dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti pneumonia komunitas ditegakkan

jika pada foto thoraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progesif ditambah

dengan 2 atau lebih gejala dibawah ini:

a. Batuk-batuk bertambah

b. Perubahan karakteristik dahak/purulen

c. Suhu tubuh >38oC (aksila)/riwayat demam

d. Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial

dan ronki

e. Leukosit >10.000 atau <4.500


33

Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia komunitas dapat dilakukan

dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia, yaitu

Patient Outcome Research Team (PORT) (PDPI, 2003).

Gambar 2.25 Sistem skor pada pneumonia komunitas berdasarkan PORT


(PDPI, 2003).

PSI membagi kelompok pneumonia komunitas menjadi lima kelas

berdasarkan risiko mortalitas yang dimiliki pasien, dimana kelas I-III merupakan

pasien dengan mortalitas rendah, kelas IV merupakan pasien dengan mortalitas

sedang dan kelas V merupakan pasien dengan mortalitas tinggi. PSI juga

digunakan untuk menentukan pasien akan diterapi dengan rawat jalan atau rawat

inap, seperti yang tertera pada tabel 2.1.


34

Tabel 2.1 Derajat risiko dan rekomendasi perawatan menurut PORT/PSI


Kelas Risiko Total Skor Mortality (%) Perawatan
I Tidak diprediksi 0,1 Rawat jalan
II ≤ 70 0,6 Rawat jalan
III 71-90 2,8 Rawat inap
singkat
IV 91-130 8,2 Rawat inap
V >130 29,2 Rawat inap
2.6.7 Penatalaksanaan

Pada prinsipnya penatalaksaan utama pneumonia adalah memberikan

antibiotik tertentu terhadap kuman tertentu infeksi pneumonia. Pemberian

antibitotik bertujuan untuk memberikan terapi kausal terhadap kuman penyebab

infeksi, akan tetapi sebelum antibiotika definitif diberikan antibiotik empiris dan

terapi suportif perlu diberikan untuk menjaga kondisi pasien (Dahlan, 2009).

Terapi antibiotika empiris menggambarkan tebakan terbaik berdasarkan pada

klasifikasi pneumonia dan kemungkinan organisme, karena hasil mikrobiologis

umumnya tidak tersedia selama 12-72 jam. Maka dari itu membedakan jenis

pneumonia (CAP atau HAP) dan tingkat keparahan berdasarkan kondisi klinis

pasien dan faktor predisposisi sangatlah penting, karena akan menentukan pilihan

antibiotika empirik yang akan diberikan kepada pasien (Jeremy, 2007).

Tindakan suportif meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO2 > 8 kPa

(SaO2 > 92%) dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas

hemodinamik. Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan

napas positif kontinu (continous positive airway pressure), atau ventilasi mekanis

mungkin diperlukan pada gagal napas. Bila demam atau nyeri pleuritik dapat

diberikan antipiretik analgesik serta dapat diberika mukolitik atau ekspektoran

untuk mengurangi dahak.


35

Dalam memilih antibiotika yang tepat harus dipertimbangkan faktor

sensitivitas bakteri terhadap antibiotika, keadaan tubuh pasien, dan faktor biaya

pengobatan (Nuryasni, 2009). Pada infeksi pneumonia (CAP dan HAP) seringkali

harus segera diberikan antibiotika sementara sebelum diperoleh hasil pemeriksaan

mikrobiologik. Pemilihan ini harus didasarkan pada pengalaman empiris yang

rasional berdasarkan perkiraan etiologi yang paling mungkin serta antibiotika

terbaik untuk infeksi tersebut. Memilih antibiotika yang didasarkan pada luas

spektrum kerjanya tidak dibenarkan karena hasil terapi tidaklebih unggul daripada

hasil terapi dengan antibiotika berspektrum sempit, sedangkan superinfeksi lebih

sering terjadi dengan antibiotika berspektrum luas (Dahlan, 2009; Mandell, 2007).

Tabel 2.2 Rekomendasi antibiotik empiris pada CAP (Mandell, 2007)


Terapi pasien rawat jalan
1. Sebelumnya sehat dan tidak menggunakan antibiotik dalam 3 bulan
sebelumnya
a. Makrolid
b. Doxicilin
2. Ada komorbid (penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM, alkhol, keganasan,
asplenia, obat immunospresi, antibiotik 3 bulan sebelumnya)
a. Fluoroquinolon respirasi (moxifloxacin, gemifloxacin/ levofloxacin 750
mg)
b. β lactam + makrolid
3. Pada daerah dengan angka infeksi tinggi dan dengan resisitensi tinggi
makrolid terhadap S.pneumoniae , dipertimbangkan antibiotik sesuai poin 2.
Rawat inap tidak di ICU
Fluoroquinolon respirasi atau β lactam + makrolid
Rawat inap di ICU
β lactam (cefotaxim, ceftriaxon, atau ampicilin sulbaktam) + azitromisin atau
floroquinolon respirasi
Bila diperkirakan pseudomonas
1. β lactam antipseudomonas (piperasilin-tazobactam, cefepime, imipenem
atau merpenem) + ciprofloxasin atau levofloxacin (750 mg) atau
2. β lactam antipseudomonas + aminoglikosid dan azitromisin atau
3. β lactam antipseudomonas + aminoglikosid dan floroquinolon
antipneumococal (untuk pasien alergi penisilin ganti β lactam dengan
asteronam.
36

Bila dipertimbangkan CA-MRSA tambahkan vancomysin/linezolid

2.7 Abses Paru

2.7.1 Definisi

Abses paru adalah lesi pada paru yang bersifat supuratif disertai nekrotisasi

jaringan didalamnya. Abses paru dapat terjadi sebagai akibat lanjut dari aspirasi

pneumonia, obstruksi bronkus oleh benda asing, tumor dan sekret atau mukus,

pneumonia bakterial dengan emboli paru atau infark paru, emboli paru atau infark

paru, trauma thoraks, infeksi dari proses subdiafragma (jarang).

2.7.2 Etiologi

Mikroorganisme yang paling sering menyebabkan pneumonia dengan abses

paru adalah stafilokokus aureus. Mikroorganisme lain yang dapat ditemukan

antara lain haemofilus influenza, klebsiella pneumonia dan pseudomonas

aeruginosa.

2.7.3 Manifestasi Klinis

Pada kasus yang tipikal adalah gejala timbul 1 sampai 3 hari setelah aspirasi

bahan infeksius dengan malaise, demam, menggigil diikuti dengan batuk dan

sering dengan sakit dada. Bila tidak diobati keadaan tambah buruk dengan nyeri

pleural, sesak napas dan sianosis. Pada hari ke 10 biasanya timbul batuk dengan

nanah yang banyak berbau busuk dan campur darah. Pada kasus yang tidak khas

gejala seperti pneumonia dengan batuk sputum purulen dan batuk darah berulang

kali. Abses yang pecah ke dalam kavum pleura menimbulkan nyeri pleural hebat,

sesak napas dengan tanda - tanda empiema atau piopneumotoraks.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan penderita yang sakit berat, anemis, toksik,

demam, sputum, purulent dan busuk berwarna kecoklatan. Bila sputum


37

diendapkan tampak 3 lapis. busa, cairan dan begian padat paling bawah.

Pemeriksaan jasmani paling sering dijumpai redup dangan suara napas bronkial,

krepitasi dan “pleural friction" di daerah abses.

Pada pemeriksaan penunjang darah lengkap dapat ditemukan peningkatan

leukosit lebih dari 12.000, peningkatan LED, pada hitung jenis leukosit

didapatkan pergeseran shift to the left. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan

gram tahan asam dan KOH merupakan pemeriksaan awal untuk menentukan

pemilihan antibiotik secara tepat. Pada pemeriksaan foto thoraks PA dan lateral

abses paru biasanya ditemukan dalam satu kavitas, akan tetapi dapat ditemui juga

dalam multikavitas, serta dapat pula ditemukan permukaan udara dan cairan di

dalamnya. Pada pemeriksaan CT Scan abses paru didapatkan lesi dens bundar

dengan kavitas berdinding tebal, tidak teratur, dan terletak di daerah jaringan paru

yang rusak.

2.7.4 Gambaran Radiologi

1. Foto polos thoraks

Pada foto PA dan lateral ditemukan satu kavitas, dapat juga ditemukan multi-

kavitas berdinding tebal, ditemukan permukaan udara dan cairan didalamnya.


38

Gambar 2.26 Terdapat cavitas dengan air-fluid level (Lange and Walsh,
2007).
2. CT Scan

Gambaran khas CT Scan ialah berupa lesi dens bundar dengan kavitas dinding

tebal, tidak teratur dan terletak di daerah jaringan paru yang rusak. Perbedaan

abses dan empyema, yaitu pada empiema tampak pemisahan pleura parietal

dan viseral (pleura split) dan kompresi paru.

Gambar 2.27 Pneumonia dengan abses paru (Lange and Walsh, 2007).
39

Gambar 2.28 CT Scan menunjukkan empyema pada paru kanan dengan


split pleura sign (Lange and Walsh, 2007).
2.7.5 Penatalaksanaan

1. Antibiotik

Penisilin merupakan pilihan dengan dosis satu juta unit, 2-3 kali sehari

intramuskular. Bila diperkirakan terdapat kuman gram negatif dapat

ditambahkan kloramfenikol 500 mg empat kali sehari. Respons terapi yang

baik akan terjadi dalam 2-4 minggu, dan selanjutnya bisa dilanjutkan dengan

terapi antibiotik peroral. Pada terapi peroral diberikan:

a. Penisilin oral 750 mg empat kali sehari.

Apabila hasil terapi kurang memuaskan, terapi dapat dirubah dengan:

 Klindamisin 600 mg tiap 8 jam, atau

 Metronidazol 4x500 mg, atau

 Gentamisin 5 mg/kg BB dibagi dalam 3 dosis tiap hari.

2. Drainase postural

Selalu dilakukan bersama dengan pemberian terapi antibiotik. Tubuh

diposisikan sedemikian rupa sehingga drainase pun menjadi lancar. Pada

kebanyakan pasien, drainase spontan terjadi melalui cabang bronkus, dengan

produksi sputum purulen.


40

3. Bronkoskopi

Penting untuk membersihkan jalan napas sehingga drainase pun menjadi

lancar.

4. Bedah

Sekarang ini intervensi bedah sangat jarang dilakukan pada pasien abses paru.

2.8 Sindrom Loffler

2.8.1 Definisi

Sindrom loffler adalah sekumpulan gejala seperti demam, batuk, sesak dan

wheezing yang disertai penumpukan sel eosinofil dalam paru (Lange and Walsh,

2007).

2.8.2 Etiologi

Penyebab sindrom loffler ada berbagai macam, antara lain alergi obat

(nitrofurantoin, penicillin, sulfonamides,imipramine, PAS, diclofenac, ibuprofen,

aspirin, phenytoin, cocaine, tamoxifen, bleomycin, methotrexate, dll.), asma,

alergi jamur (bronchopulmonary aspergillosis, candidiasis, coccidioidomycosis),

parasit (ascariasis, echinococciasis, strongyloidiasis, ankylostomiasis, tropical

pulmonary eosinophilia, filariae, larva migrans, schistosomiasis), penyakit

kolagen (polyarteritis nodosa, wegener granulomatosis, antiglomerular basement

membrane disease, churg–strauss allergic granulomatosis, rheumatoid arthritis),

leukemia eosinofilik, hodgkin’s disease, paraneoplasia (bronchial carcinoma), dan

brucellosis. Penyebab paling sering pada sindrom loffler, yaitu infeksi cacing

Ascaris lumbricoides (Lange and Walsh, 2007).


41

2.8.3 Gambaran Radiologi

Gambaran radiologi menunjukkan bayangan kurang opak, dapat satu atau

ganda, unilateral atau bilateral. Dalam paru yang terkena beragam, tipe bayangan

tersebut menempel (patchy in type), biasanya kurang berbatas tegas. Menyerupai

pneumonia yang disebabkan hal lain, tapi yang unik densitas homogennya,

biasanya perifer dan cepat berubah. Pada kasus hebat konsolidasi paru dapat luas

dan bilateral. Tanpa terapi perubahan lamban. Ditemukan menetap beberapa hari.

Diagnosa sindrom loffler dapat ditegakkan jika perubahan bayangan opak dan

eosinophilia ditemukan pada pasien (Rasad, 2005).

Gambar 2.29 Infiltrat tersebar di bagian atas dan tengah paru (Lange and Walsh,
2007).
2.9 Lupus Eritematosa

2.9.1 Definisi

Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit inflamasi autoimun

sistemik kronik, ditandai dengan terbentuknya berbagai macam antibodi yang


42

membentuk kompleks imun dan menimbulkan reaksi inflamasi pada berbagai

organ tubuh. Penyebab SLE sampai sekarang belum diketahui (Rasad, 2005).

2.9.2 Patofisiologi
Terdapat kerusakan organ yang dimediasi oleh autoantibodi dan imun

kompleks. Kebanyakan autoantibodi telah ada sebelum simptom nampak.

Penyebabnya sampai sekarang belum diketahui, diduga diawali dengan faktor

pencetus yang terdapat di lingkungan yang menyebabkan abnormal immune

respond, yaitu 1) aktivasi innate immunity (sel dendritik, monosit/makrofag); 2)

menurunkan ambang aktivasi pada adaptive immunity cells (mature Limfosit B

dan T) 3) regulasi tidak efektif pada CD4 dan CD8 T cell, B cell, dan myeloid

derived suppresor cells; 4) hilangnya toleransi imun: sel T mengenali molekul

tubuh sebagai antigen karena adanya mimikri molekuler; 5) menurunkan

clearance imun kompleks dan sel apoptosis (Harrison, 2003).

Proses diatas tersebut menyebabkan pembentukan autoantibodi. Autoantibodi

yang terbentuk menyerang nukleus, sitoplasma, permukaan sel, IgG dan faktor

koagulasi. Ikatan autoantibodi dan antigennya akan membentuk imun kompleks.

Deposit kompleks imun akan memicu aktivasi sistem komplemen sehingga akan

mengaktifkan respon inflamasi dan gangguan organ terkait (Harrison, 2003).

2.9.3 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis dari sistemik lupus eritematosus adalah multipel organ

failure. Gejala mulai dari ringan hanya rash dan arthritis atau berat yang

menyerang organ vital, contohnya lupus nefritis, lupus cerebral, pneumonitis, dan

perdarahan paru.
43

2.9.4 Gambaran Radiologi


Pada pemeriksaan rontgen thoraks didapatkan parenkim paru berubah

berdeda-beda seperti poliarthritis, bercak densitas lunak dari edema paru dan

corakan bronkovaskuler meningkat. Kadang-kadang lesi berupa nodul. Jika

pernyakit paru menjadi kronis menyebabkan fibrosis dibasal (Rasad, 2005).

Gambar 2.26 Perihilar dan basal linear shadow (Lange and Walsh, 2007).
44

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Infeksi paru non spesifik pada pemeriksaan radiologi membeikan gambaran

yang bervariasi pada setiap kelainnya. Pemeriksaan radiologi pada kelainan paru

belum dapat menegakkan diagnosa secara pasti. Hasil pemeriksaan radiologi

harus dikorelasikan dengan manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang lainnya

untuk dapat menegakkan diagnosis yang akurat.

3.2 Saran

Penyakit pada paru merupakan penyakit yang sering kita jumpai di

masyarakat. Pengetahuan terkait gambaran radiologi sangatlah penting untuk

membantu menegakkan diagnosis agar dapat memberikan terapi yang tepat.

Sebaiknya perlu dilakukan tinjauan yang lebih luas terhadap gambaran radiologi

penyakit paru lainnya.


45

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hodd. Mukty, H. Abdul. 2005. Dasar-dasar ilmu penyakit paru.

Surabaya: Airlangga University Press.

Dahlan Z. 2009. Pneumonia, dalam Sudoyo AW, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam Universitas Indonesia.

Dunn, L. 2007. Pneumonia : Classification, Diagnosis and Nursing Management.

Royal Collage of Nursing Standard Great Britain.

Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.

Jakarta: EGC.

Harrison. 2003. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Volume Ketiga.

Jakarta: EGC.

Jeremy, P.T. 2007. At Glance Sistem Repiratory Edisi II. Jakarta: Erlangga

Medical Series.

Lange S dan Walsh G. 2007. Radiology of Chest Disease 3rd Edition. Georg

Thieme Verlag: New York.

Luttfiya MN, Henley E, Chang L. 2010. Diagnosis and treatment of community

acquired pneumonia. American Family Physician.

Malueka, Rusdy G. 2008. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta: Pustaka Cendikia

Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, et al. Infectious Diseases Society of

America/American Thoracic Society consensus guidelines on the

management of community-acquired pneumonia in adults. Clin Infect Dis

2007; 44: Suppl. 2, S27–S72. Tersedia di : www.thoracic.org/sections/


46

Netter, Frank H. 2014. Atlas of Human Anatomy Including Student Consult

Interactive Ancillaries and Guides (6th ed.). Philadelphia, Penn.: W B

Saunders Co. p. 200. ISBN 978-1-4557-0418-7.

Nuryasni. 2009. Pola Kepekaan Bakteri Gram Negatif pada Penderita Infeksi

Saluran Pernapasan Bawah terhadap Amoksisilin di Laboraturium

Mikrobiologi Klinik Departemen Mikrobiologi FK UI tahun 2001-2005.

Program Sarjana Pendidikan Dokter Umum. Universitas Indonesia: Jakarta.

PDPI. 2003. Pneumonia komuniti-pedoman diagnosis dan penatalaksaan di

Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Planner, Andrew. 2007. A to Z of Chest Radiology. Cambridge: Cambridge

University Press.

Rasad S. R 2005. Radiologi Diagnostik. Badan Penerbit FKUI: Jakarta

Sherwood, LZ., 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta:

EGC.

Sudoyo, 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit FK UI

Wexner Medical Center.Community-Aqquired Pneumonia: Pneumonia Severy

Index. Akses online pada tanggal 8 April 2020 di

https://internalmedicine.osu.edu /pulmonary/cap/10675.cfm.

Wilson LM. 2012. Penyakit pernapasan restriktif dalam Price SA, Wilson LM.

Patofisiologi: konsep klinis prosses-proses penyakit E/6 Vol.2.

Jakarta:EGC. Hal:796-815.

Wunderink RG, Watever GW. 2014. Community-acquired pneumonia. N Engl J

Med. 370: 543-51.


47

Anda mungkin juga menyukai