Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Penyakit ini paling umum mengenai paru-paru. Sistem organ lain yang sering terkena yaitu sistem pernapasan,
sistem gastrointestinal (GI), sistem limforetikuler, kulit, sistem saraf pusat, sistem muskuloskeletal, sistem
reproduksi, dan hati (Adigun and Singh, 2020). Indonesia menempati peringkat kedua di dunia dalam perkiraan
jumlah insiden kasus TB per-tahun (WHO, 2020). Pada penderita TB juga terjadi penurunan nafsu makan,
malabsorpsi nutrisi, dan perubahan metabolism yang berpengaruh terhadap nutrisi anak dan dapat menyebabkan
penurunan status nutrisi yang kerap disebut dengan gizi buruk (Cegielski & McMurray; 2004).
01
Pembahasan Kasus
Identitas
Identitas Pasien Identitas Orang Tua
Umur : 52 tahun
Pendidikan/pekerjaan : SD/IRT
Anamnesis
Keluhan Utama:
Sesak
Leher
Pembesaran KGB dextra sebesar kelereng, fix, keras, tidak berdungkul-dungkul
Thorax
Bentuk: normal
Paru: Jantung:
• Inspeksi: Bentuk dan pergerakan simetris • Inspeksi: Iktus tidak tampak
• Palpasi: Pergerakan dan fremitus raba • Palpasi: Iktus tidak teraba, pulsasi jantung teraba
simetris • Perkusi: Tidak ada data
• Perkusi: Tidak ada data • Auskultasi: S1 S2 tunggal, tidak ada S3, S4, systolic
• Auskultasi: Suara napas vesikuler ejection click, opening snap, dan bising gesekan
Abdomen
• Inspeksi: umbilicus masuk merata, kulit kering
• Auskultasi: Peristaltik usus normal
• Perkusi: Tidak ada data
• Palpasi: bising hepar (-), lien dan ginjal tidak teraba
Inguinal-Genitalia-Anus
Tidak ada data
Ekstremitas
• Otot atrofi pada ekstremitas atas dan bawah
• Tulang belakang tidak ada data
Pemeriksaan Penunjang
CXR
Infiltrat yang tersebar pada kedua lapang paru
Hasil Laboratorium
No. Parameter Nilai normal Hasil No. Parameter Nilai normal Hasil
1. WBC (/μL) 4500-11000 5578 11. BE (mEq/L) -2 sampai +2 1,2
2. Na (mmol/L) 135-145 125 12. SpO2 95-100 98
3. K (mmol/L) 3,5-5,5 3,3 13. Alb (g/dL) 3,7-5,5 2,1
4. Cl (mmol/L) 95-105 85 14. GDA (mg/dL) 70-110 90
5. Ca (mg/dL) 9,2-10,7 6,7 15. PT (detik) 12,9-16,9 14
6. pH 7,35-7,45 7,55 16. CRP (mg/ml) <1,0 18,4
7. pCO2 (mmHg) 33-43 27 17. BUN (mg/dL) 5-20 6
8. pO2 (mmHg) 88-105 88 18. SK (mg/dL) 0,12-1,06 0,3
9. HCO3 (mEq/L) 22-26 23 19. GFR (ml/min/1,73m2) ≥ 60 200,3
10. TCO2 (mEq/L) 23-29 24 20. LED (mm/jam) ≤ 20 9
01
Analisis Masalah
Daftar Masalah
1. Sesak 11. Kelopak cowong
2. Batuk sejak 3 bulan lalu 12. Konjungtiva anemis
3. Penurunan BB 5 kg selama 3 13. Atrofi otot ekstremitas atas dan bawah
bulan terakhir 14. CXR: Infiltrat yang tersebar pada kedua
4. Pembesaran KGB leher kanan lapang paru
sebesar kelereng, fix, keras, dan 15. Hipokalemia, hiponatremia,
tidak berdungkul hipokloremia, hipokalsemia
5. Underweight 16. Alkalosis respiratorik terkompensasi
6. Short stature 17. Hipoalbuminemia
7. Takikardi 18. Peningkatan CRP
8. Takipnea 19. Riwayat demam naik turun selama 3
9. Kulit dan mukosa mulut pucat bulan terakhir
Analisis Masalah
An. F, 14 tahun, datang dengan keluhan sesak. Selain sesak, juga ada keluhan batuk lama sejak 3 bulan
lalu. Saat ini pasien tidak demam, namun An. F memiliki riwayat demam naik turun serta disertai penurunan
berat badan sebanyak 5 kg dalam 3 bulan terakhir. Keluhan batuk sudah pernah diobati dengan obat batuk dan
vitamin, namun tidak sembuh. Berdasarkan deskripsi ini, keluhan An. F memenuhi kriteria tuberkulosis (TB)
yaitu satu atau lebih gejala: batuk ≥ 2 minggu; demam ≥ 2 minggu; BB turun dalam 2 bulan terakhir; malaise ≥ 2
minggu, yang menetap meskipun sudah diberikan terapi yang adekuat. Pada kasus ini, diagnosis TB diperkuat
dengan hasil CXR infiltrat yang tersebar pada kedua lapang paru yang khas pada TB Milier. Oleh karena itu,
An. F di diagnosis sebagai TB Milier.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan CRP dengan kadar 18.4 mg/mL (N: <10 mg/mL).
Peningkatan CRP merupakan salah satu marker awal adanya inflamasi atau infeksi pyogenik yang dimediasi IL-6
seperti pada TB aktif (Yoon et al., 2017). Sesuai rekomendasi WHO, diperlukan rencana diagnosis dengan tes
cepat molekuler (TCM) untuk mendukung penegakan diagnosis TB paru serta mengetahui resistensi terhadap
rifampicin (WHO, 2014).
Ditemukan benjolan pembesaran KGB di leher kanan sebesar kelereng, tidak mobile, konsistensi
keras, dan tidak berdungkul. Karakteristik ini sesuai dengan gejala klinis TB limfadenitis yaitu adanya batuk,
demam, malaise, penurunan BB yang menetap ≥2 minggu disertai pembesaran KGB yang tidak nyeri dan
dengan atau tanpa fistula (WHO, 2014). Diagnosis banding pembesaran KGB pada kasus ini adalah limfoma
dengan karakteristik yang serupa salah satunya adalah pembesaran KGB di area leher. Untuk membedakan
keduanya dapat dilakukan fine-needle aspiration biopsy (FNAB) (Storck et al., 2019).
Pada An. F didapatkan sesak yang disertai takikardi dan takipneu. Sesak kemungkinan karena adanya
komplikasi TB milier yaitu pneumothorax dan efusi pleura. Secondary spontaneous pneumothorax (SSP)
dapat terjadi sebagai komplikasi penyakit paru yang mendasari seperti tuberkulosis (Singh et al., 2014). Efusi
pleura merupakan salah satu abnormalitas yang ditemukan pada pemeriksaan radiologis kasus TB milier
(Sharma et al., 2016). Pada An. F perlu dilakukan CXR untuk menegakkan diagnosis pneumothorax dan efusi
pleura yang merupakan komplikasi dari TB milier.
Dari BGA ditemukan alkalosis respiratorik terkompensasi dengan HCO3 23 mEq/L (N: 22-26).
Alkalosis respiratorik adalah keadaan pH tubuh meningkat di atas 7,45 akibat berbagai proses pernapasan.
Sistem penyangga pH/buffer utama dalam tubuh adalah keseimbangan HCO3/CO2. Kadar CO2 diatur oleh
paru melalui respirasi, sedangkan kadar HCO3 diatur melalui ginjal dengan reabsorpsi. Alkalosis respiratorik
akut atau tidak terkompensasi dikaitkan dengan kadar bikarbonat (HCO3) tinggi karena tidak cukup waktu
untuk menurunkan kadar HCO3, sedangkan alkalosis respiratorik kronis atau terkompensasi dikaitkan dengan
kadar HCO3 yang rendah hingga normal (Brinkman and Sharma, 2020).
Data antropometri grafik CDC 2000 menunjukkan An. F berperawakan pendek (TB/U< P5) dan
underweight (IMT/U <P5). Status gizi ditentukan menggunakan IMT/U dan juga rumus Waterlow (1972) yang
didapatkan hasil 54,1% dengan interpretasi gizi buruk. Diagnosis gizi buruk juga didukung dengan temuan
atrofi otot ekstremitas, kelopak cowong, defisiensi mikronutrien, komorbiditas dengan infeksi (TB), dan
gejala anemia. Atrofi otot disebabkan karena hilangnya massa otot kronis akibat kurangnya intake nutrisi
sehingga mengubah komposisi tubuh (penurunan komposisi otot) dan masa sel tubuh (Cedeholm et al., 2017;
Landi et al., 2018). Tanda dehidrasi tidak dapat dinilai karena kulit dan lemak subkutan mengalami atrofi yang
menyebabkan hilangnya turgor meskipun tidak dehidrasi (IDAI, 2011). Pada An. F, kelopak cowong tidak
dapat dinilai sebagai tanda dehidrasi karena diduga disebabkan karena hilangnya lemak subkutan di sekitar
mata. Dehidrasi dapat ditegakkan apabila ditemukan riwayat kehilangan cairan (diare, muntah) dan penurunan
produksi urin.
Defisiensi mikronutrien ditunjukkan dengan penurunan serum elektrolit (hiponatremia, hipokalemia,
hipokloremia, hipokalsemia) serta hipoalbuminemia yang dapat disebabkan oleh intake nutrisi yang tidak
seimbang dengan kebutuhan tubuh. Selain itu, kondisi hiponatremia, hipokalemia, dan hipokloremia sering
dijumpai pada penderita TB (Kaur et al., 2021) dan dapat diperparah dengan adanya gizi buruk. Evaluasi
menyeluruh perlu dilakukan untuk mengetahui defisit mikronutrien lainnya.
Daftar Masalah Permanen
• Diagnosis Penyakit Utama
TB Milier + TB Limfadenitis
• Diagnosis Banding
Limfoma
Penilaian Awal (Initial Assesment)
No. Problem Planning
• Mengedukasi bahwa
obat sebaiknya
diminum dalam
keadaan perut kosong
(1 jam sebelum
makan).
3. Gizi Buruk - • Pemberian makan awal: • Klinis • Mengedukasi untuk
Fase stabilisasi: F75 1680- (gejala) mengonsumsi nutrisi
2352 ml diberikan setiap 2 • TTV yang diberikan secara
jam (12x (140-196 ml)) • Produksi teratur.
ditingkatkan 10% per urin
harinya. • Asupan
• Berat
Protein: RDA prot. HA x badan
BBI x F. Stress
= 1 x 36 x 1.5
= 54 gr
No. Problem Planning
• BB 19,5 kilogram dibutuhkan 4 tablet KDT (@ Rifampisin 75 mg, Isoniazid 50 mg, Pirazinamid 150 mg) dan
Ethambutol 15-20 mg/kgBB/hari (292,5–390 mg, diberi 300 mg puyer).
• Isoniazid menyebabkan defisiensi piridoksin terutama pada anak gizi buruk, sehingga perlu diberikan suplementasi
Piridoksin dengan dosis 10 mg/hari.
• Kortikosteroid untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadinya perlekatan pada TB milier. Diberikan
prednison dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis yaitu 19,5-39 mg/hari dibagi 3 dosis : 6,5-13 mg/x
(tiap minum 2 tablet 5 mg, 3 kali sehari) dengan lama pemberian 2 hingga 4 minggu dengan dosis penuh,
kemudian tappering off dalam jangka waktu 2 hingga 6 minggu.
Pengobatan dipantau setiap 2 minggu untuk menilai respon pengobatan, kepatuhan minum obat, dan efek samping obat.
Setelah diberikan OAT selama 2 bulan harus dilakukan evaluasi respon hasil pengobatan. Dikatan baik jika gejala klinis
berkurang, nafsu makan meningkat, BB meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang.
Diagnosis Penyerta – Gizi Buruk
Rencana terapi gizi buruk didasarkan pada 10 Langkah Tatalaksana Gizi Buruk berdasarkan panduan WHO (2013)
dan Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik IDAI (2011). Pengobatan gizi buruk dilakukan bersamaan
dengan terapi TB milier dan TB limfadenitis.
1. Dilakukan penghitungan kebutuhan kalori, protein, dan cairan yang dapat dihitung dengan rumus RDA height age
(RDA-HA) (UKK NPM, 2011; IDAI, 2011):
• Kebutuhan kalori = BB ideal x RDA kalori height age= 36 x 70 = 2520 kkal.
An. F diterapi terlebih dahulu pada fase stabilisasi dengan diberikan makanan awal Formula WHO 75 (F75) yang
mengandung 75 kkal/100 ml. Karena An. F mengalami gizi buruk, maka hanya diberikan 50 – 70% dari total kebutuhan
kalori, yaitu 1260 – 1764 kkal. Pemberian 50 – 70% dari total kalori bertujuan agar tidak terjadi refeeding syndrome.
Dengan menggunaan F75, dibutuhkan 1680 – 2352 ml yang diberikan setiap 2 jam sekali, sehingga diberikan 140 –
196 ml tiap 2 jam (12 x (140 – 196 ml). F75 diberikan sepanjang hari hingga malam, dengan porsi kecil dan sering.
Pemberian F75 juga bertujuan mencegah hipoglikemia dan hipotermia, serta mengoreksi gangguan elektrolit pada
pasien. Setelah itu, pemberian dapat ditingkatkan 10% per harinya.
• Kebutuhan protein = RDA protein height age x BB Ideal x faktor stress = 1 x 36 x 1,5 = 54 gram.
• Kebutuhan cairan = BB aktual x RDA cairan height age = 19,5 x 70 = 1365 ml.
2. Mineral mix 20 ml yang ditambahkan pada 1 L makanan F75 untuk memenuhi kebutuhan kalium, magnesium,
seng, dan tembaga. Juga diberikan vitamin-mix untuk memperbaiki kekurangan vitamin yang tidak tampak pada klinis.
3. Koreksi mikronutrien dimulai pada hari pertama dengan vitamin A 200.000 IU single dose dan asam folat 5 mg
single dose per oral.
4. Diberikan antibiotik Ampicillin 50 mg/kgBB IV sebanyak empat kali sehari selama 2 hari, sehingga diberikan IV
Ampicillin 1 g 4x1 hari selama 2 hari. Antibiotik spektrum luas diberikan karena pada anak dengan gizi buruk
terdapat infeksi saluran pernapasan yang bermanifestasi (WHO, 2013).
An. F tidak perlu diberikan ReSoMal karena tidak tampak klinis dehidrasi (turgor baik), tidak terdapat riwayat
diare/muntah, dan tidak terdapat data penurunan produksi urin. Selama dirawat di rumah sakit, perlu pendampingan dari
ibu untuk memberikan stimulasi fisik, sensorik, dan dukungan emosional yang berdampak pada kesembuhan anak.
Jika An. F membaik setelah diterapi fase stabilisasi selama 2 hari, maka dapat dilanjutkan ke fase rehabilitasi
(kejar tumbuh). Makanan F75 diganti dengan F100 dengan dosis yang sama seperti F75, diberikan selama 48 jam
(fase transisi). Volume F100 dapat dinaikkan sebanyak 10 ml/kali. Lanjutkan penambahan volume F100 hingga
anak tidak mampu menghabiskannya. Jika An. F tampak kelaparan, menolak makanan (formula), dan
menginginkan makanan padat, maka menunjukkan anak sudah pada fase rehabilitasi. Makanan biasa dapat diberikan,
tetapi tetap ditambah dengan mineral mix dan vitamin mix untuk memperbaiki kadar kalium dan magnesium tubuh.
An. F dianjurkan untuk tetap mengonsumsi formula di antara jadwal makanan padat.
01
Tinjauan Pustaka
Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Myobacterium
tuberculosis dan dapat mengenai berbagai sistem didalam tubuh. TB milier adalah salah
satu bentuk TB berat akibat penyebaran secara hematogen dan TB Limfadenitis adalah TB
pada kelenjar limfe yang merupalan salah satu bentuk dari TB ekstrapulmonal pada anak
dengan kejadian paling sering (Kemenkes, 2016).
Berdasarkan lokasi:
• TB paru
1. TB pada parenkim paru
2. TB limfadenitis
3. TB paru sekaligus TB ekstra paru
• TB ekstra paru
TB pada organ selain paru, seperti pada kelenjar
limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi,
selaput otak, dan tulang
(Kemenkes, 2016)
Algoritma Alur
Diagnosis TB Anak
Keterangan:
*) Dapat dilakukan bersamaan dengan
pemeriksaan sputum
**) Kontak TB paru dewasa dan kontak TB paru
anak terkonfirmasi bakteriologis
***) Evaluasi respon pengobatan. Jika tidak ada
respon dengan pengobatan adekuat, evaluasi
ulang diagnosis TB dan adanya komorbiditas
atau rujuk
(Titi-Lartey & Gupta, 2021; Rabinowitz, 2016; Benjamin & Lappin, 2020)
Salah satu dari: Anamnesis
Untuk menemukan tanda bahaya
Penegakan
• BB/TB < -3SD
• LILA <115 mm Pemeriksaan Fisik
• Edema pada kedua kaki Tanda syok, dehidrasi, infeksi,
Diagnosis
defisiensi vit. A dan lainnya
• Klinis: tampak severe wasting, tulang iga
Pemeriksaan Penunjang
terlihat jelas, tidak memiliki jaringan lemak di
Hb atau HCT terutama bila
(WHO, 2009; WHO, 2013) bawah kulit terutama bahu, lengan, pantat, paha. pucat parah
Tatalaksana
(WHO, 2013; IDAI, 2011; Kemenkes, 2019)
Ahmed, T., Michaelsen, K. F., Frem, J. C., & Tumvine, J. 2012. Malnutrition: Report Dipasquale, V., Cucinotta, U., & Romano, C. 2020. Acute Malnutrition in Children:
of the FISPGHAN Working Group. Journal of pediatric gastroenterology and Pathophysiology, Clinical Effects and Treatment. Nutrients, 12(8), 2413.
nutrition, 55(5), 626–631. Elia, M. 2017. Defining, Recognizing, and Reporting Malnutrition. The International
Batool, R., Butt, M. S., Sultan, M. T., Saeed, F., & Naz, R. 2015. Protein-energy Journal of Lower Extremity Wounds, 16(4), 230–237.
malnutrition: a risk factor for various ailments. Critical reviews in food science and Fischer Walker, C. L., Lamberti, L., Adair, L., Guerrant, R. L., Lescano, A. G.,
nutrition, 55(2), 242–253. Martorell, R., Pinkerton, R. C., & Black, R. E. 2012. Does childhood diarrhea
Benjamin, O., Lappin, S.L. Kwashiorkor. 2020. StatPearls Publishing. Available at: influence cognition beyond the diarrhea-stunting pathway?. PloS one, 7(10), e47908.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507876/. IDAI, 2009. Pedoman Pelayanan Medis. s.l.:Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Bhutta, Z. A., Berkley, J. A., Bandsma, R., Kerac, M., Trehan, I., & Briend, A. 2017. IDAI. 2011. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Badan Penerbit
Severe childhood malnutrition. Nature reviews. Disease primers, 3, 17067. IDAI: Jakarta.
Boah, M., Azupogo, F., Amporfro, D. A., & Abada, L. A. 2019. The epidemiology Jaspreet, K., Gitanjali, G., Renu, C., Mithilesh, K.S. 2021. Evaluation of serum
of undernutrition and its determinants in children under five years in Ghana. PloS electrolyte status among newly diagnosed cases of pulmonary tuberculosis: an
one, 14(7). observational study. International Journal of Health and Clinical Research. 4(5):219-
Brinkman, J. E. and Sharma, S. (2020) ‘Respiratory Alkalosis’, in StatPearls. 222
StatPearls Publishing, Treasure Island (FL), p. 11. Available at: Karyadi, E., Schultink, W., Nelwan, R.H., Gross, R., Amin, Z., Dolmans, W.M., et
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482117/#!po=22.7273. al. 2000. Poor micronutrient status of active pulmonary tuberculosis in Indonesia. J
Cederholm, T., Barazzoni, R., Austin, P., Ballmer, P., Biolo, G., Bischoff. SC., et al. Nutr. 130:2953–8.
2017. ESPEN guidelines on definitions and terminology of clinical nutrition. Clin Kementerian Kesehatan RI (2016) Petunjuk Klinis Manajemen dan Tatalaksana TB
Nutr. 36:49e64. Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementrian Kesehatan RI, 2019. Buku Saku Pencegahan dan Tata Laksana Gizi Singh, A. S., Atam, V. and Das, L. (2014) ‘Secondary spontaneous pneumothorax
Buruk Pada Balita di Layanan Rawat Jalan: Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta: complicating miliary tuberculosis in a young woman’, BMJ Case Reports, pp. 2013–
Kementerian Kesehatan RI. 2014. doi: 10.1136/bcr-2013-201109.
Kementrian Kesehatan RI. 2019. Warta Kesmas Edisi 1. Jakarta: Direktorat Jenderal Suryadi, D.., Delyuzar, dan Soekimin, 2020. Analisis Gambaran Morfologi
Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI. Limfadenitis Tuberkulosis Menggunakan Metode Biopsi Aspirasi Jarum Halus dan
Polymerase Chain Reaction. Maj Patol Indonesia 2020; 29(2): 95-100. Available
Landi, F. et al. 2018. Muscle loss: The new malnutrition challenge in clinical [online]
practice, Clinical Nutrition. https://majalahpatologiindonesia.com/p/index.php/patologi/article/download/419/295
Mehta, N. M., Corkins, M. R., Lyman, B., Malone, A., Goday, P. S., Carney, L. N., Storck, K. et al. (2019) ‘Clinical presentation and characteristics of lymphoma in the
Monczka, J. L., Plogsted, S. W., Schwenk, W. F., & American Society for Parenteral head and neck region’, Head and Face Medicine, 15(1), pp. 4–11. doi:
and Enteral Nutrition Board of Directors. 2013. Defining pediatric malnutrition: a 10.1186/s13005-018-0186-0.
paradigm shift toward etiology-related definitions. JPEN. Journal of parenteral and
enteral nutrition, 37(4), 460–481. Titi-Lartey, O.A., Gupta, V. 2021. Marasmus. StatPearls Publishing. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559224/.
Rabinowitz, S.S. 2016. Marasmus. New York. Medscape. Diakses 6 Juni 2021.
Available at: https://emedicine.medscape.com/article/984496-clinical#b4. UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik (NPM). Rekomendasi IDAI: Asuhan Nutrisi
Pediatrik. Edisi 1. Jakarta: IDAI.
Safithri, F., 2011. Diagnosis TB Dewasa dan Anak Berdasarkan ISTC (International
Standard for TB Care. Saintika Medika: Jurnal Ilmu Kesehatan dan Kedokteran World Health Organization. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Keluarga Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang, Vol. 7 No.2, Sakit. 1 ed. Jakarta: World Health Organization.
available [online] https://doi.org/10.22219/sm.v7i2.4078
World Health Organization (WHO). 2013. Pocket Book of Hospital Care for
Saunders, J., & Smith, T. 2010. Malnutrition: causes and consequences. Clinical Children: Guidelines for the Management of Common Childhood Ilness. Edisi
medicine (London, England), 10(6), 624–627. Kedua. Geneva: WHO Press.
Shahrin, L., Chisti, M. J., & Ahmed, T. 2015. 3.1 Primary and secondary World Health Organization (2014) Guidance for National Tuberculosis Programmes
malnutrition. World review of nutrition and dietetics, 113, 139–146 on the Management of Tuberculosis in Children. 2nd Editio.
Sharma, S. K., Mohan, A. and Sharma, A. (2016) ‘Miliary tuberculosis: A new look World Health Organization (2020) Global Tuberculosis Report 2020.
at an old foe’, Journal of Clinical Tuberculosis and Other Mycobacterial Diseases,
Yoon, C. et al. (2017) ‘Diagnostic accuracy of C-reactive protein for active
3, pp. 13–27. doi: 10.1016/j.jctube.2016.03.003.
pulmonary tuberculosis: a systematic review and meta-analysis’, in StatPearls.
StatPearls Publishing, Treasure Island (FL), p. 23. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5633000/#__ffn_sectitle