Anda di halaman 1dari 14

HAKIKAT PUASA DAN I’TIKAF

Nama Penulis :

1. Dewi Santika
2. Mamira Alda Sabilla
3. Vanesza Patricia Villanuega

Email :

1. dewisbaru@gmail.com
2. mamiraalda@gmail.com
3. vaneszavillanuega@gmail.com

Universitas Widyagama Malang

1. 191742028152665
2. 191742028152670
3. 191742028152638

Dewi Santika

SDN Genengan 02

SMPN 1 Kepanjen

SMKN 1 Malang

Mamira Alda Sabilla

SDN Pisang Candi II Malang

SMP PGRI 1 Wagir

SMKN 11 Malang

Vanesza Patricia Villanuega

SDN Randuagung 3 Singosari, Malang

SMPN 1 Lawang, Malang

SMK Muhammadiyah 3 Singosari, Malang


Abstract

As a Muslim is obliged to carry out the 4th Pillar of Islam, namely Fasting As
instructed by Allah SWT, by following and exemplifying the teachings of the
Prophet Muhammad SAW. Ramadan fasting can foster gratitude, compassion,
and help fellow human beings, and by fasting then one gets a Reward and Ridho
from Allah SWT. Ramadan is a month of glory and blessings for a Muslim to
multiply worship and other righteous practices. The book written by the Scholars
on Fasting and I'tikaf taken from history, the holy book of the Qur'an and the
comparison of several mahzab that exist.

Keywords

Definition of Fasting, Rukun Puasa, Mandatory Requirements for Fasting, Laylat


al-Qadr and I'tikaf.

Abstrak

Sebagai seorang muslim wajib melaksanakan Rukun Islam Ke-4 yaitu Ibadah
Puasa sebagaimana yang di perintahkan oleh Allah SWT, dengan mengikuti dan
meneladani ajaran Nabi Muhammad SAW. Puasa Ramadhan dapat
menumbuhkan rasa syukur, kasih sayang, dan tolong menolong sesama
manusia, serta dengan berpuasa maka seseorang mendapatkan Pahala serta
Ridho dari Allah SWT. Bulan Ramadhan merupakan bulan kemuliaan dan
keberkahan bagi seorang muslim untuk memperbanyak Ibadah, bertaubat serta
amalan-amalan sholeh lainnya. Buku yang ditulis Para Ulama mengenai Puasa
dan I‟tikaf yang diambil dari sejarah, kitab suci Al-Qur‟an maupun perbandingan
dari beberapa mahzab yang ada.

Kata Kunci

Definisi Puasa, Rukun Puasa, Syarat Wajib Puasa, Lailatul Qadar dan I‟tikaf.

Pendahuluan

Bulan Ramadhan atau bulan yang penuh kemuliaan dan keberkahan ini selalu
dinantikan seorang muslim untuk melakukan Ibadah Puasa Wajib Ramadhan
dengan mensucikan hati, jiwa, pikiran, memperbanyak amalan sholeh serta
saling berbagi kebahagiaan agar terciptanya rasa syukur terhadap apa yang
dimiliki saat ini. Dengan berpuasa, seseorang dilatih untuk menjaga hawa nafsu,
syahwat dan kesabaran dengan semata-mata mengharap Ridho dari Allah SWT.
Tidak hanya berpuasa, ada amalan lain yang tepat dilakukan dibulan suci ini
yaitu I‟tikaf dengan berdiam dan bertaubat pada sesuatu yang baik secara terus
menerus.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

A. Definisi Puasa

Arti shaum (puasa) dalam bahasa Arab adalah menahan diri dari sesuatu.
Shaama 'anil kalaam artinya menahan diri dari berbicara. Allah Ta'ala berfirman
tentang Maryam,

"sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha


Pengasih." (Maryam:26)

Artinya, puasa adalah penahanan diri dari syahwat perut dan syahwat
kemaluan, serta dari segala benda konkret yang memasuki rongga dalam tubuh
(seperti obat dan sejenisnya), dalam rentang waktu tertentu-yaitu sejak terbitnya
fajar kedua (yakni fajar shadiq) sampai terbenamnya matahari-yang dilakukan
oleh orang tertentu yang memenuhi syarat-yaitu beragama Islam, berakal, dan
tidak sedang haid dan nifas, disertai niat-yaitu kehendak hati untuk melakukan
ibadah dan mengharap Ridho dari Allah SWT.

Pengertian puasa selain menjaga hawa nafsu, juga wajib dilakukan oleh umat
Islam. Hal ini sudah dijelaskan dalam firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah ayat
183 yaitu:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa


sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Jadi firman Allah SWT di atas menjelaskan bahwa melaksanakan puasa


Ramadhan adalah wajib hukumnya, di mana hal tersebut adalah bentuk
pertanggungjawaban manusia kepada penciptanya.

Pendapat para fuqaha tentang cara memastikan kemunculan hilal


Ramadhan dan Syawwal.
Madzhab Hanaffa

Jika langit cerah, untuk menetapkan tibanya bulan Ramadhan, hilal harus
terlihat oleh khalayak ramai. "Khalayak ramai" adalah sejumlah orang yang
dapat memberi informasi secara pasti fatau hampir pasti), Pengukuran jumlah
mereka diserahkan kepada pemimpin negara (menurut pendapat paling
shahih). Syarat terlihatnya hilal oleh khalayak ramai adalah karena
mathla'hanya satu di kawasan itu, sementara tidak ada penghalang (mendung
misalnya), mata semua orang sehat, dan mereka semua berkeinginan untuk
melihat hilal. Sehingga, dalam kondisi seperti ini, jika hanya satu orang di
antara khalayak yang melihat hilal, ini jelas menunjukkan kekeliruan
penglihatannya.

Madzhab Malik

Hilal Ramadhan dipastikan kemunculannya melalui ru'yah dengan tiga cara


berikut. L. Hilal terlihat oleh khalayak ramai, meskipun mereka tidak berbudi
luhur. "Khalayak ramai" adalah orang-orang dalam suatu jumlah yang-menurut
kebiasaan tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta. Mereka tidak
disyaratkan harus laki-laki, merdeka, atau berbudi luhur. 2. Hilal terlihat oleh
dua orang atau lebih yang berbudi luhur. Dengan demikian, tidak wajib puasa
pada waktu cuaca mendung jika yang melihat hilal hanya satu pria yang
berbudi luhur, atau satu wanita, atau dua wanita (menurut pendapat yang
masyhur); tapi orang yang melihat hilal itu sendiri wajib berpuasa. Boleh
memberi kesaksian berdasarkan kesaksian dua pria berbudi luhur, apabila
berita kedua pria tersebut dinukil oleh dua orang dari masing-masing mereka;
tidak cukup jika yang menukil hanya satu orang. Dalam pernyataan yang
disampaikan oleh dua pria berbudi luhur atau oleh orang yang menukil
pernyataan mereka, tidak harus dipakai ungkapan „‟Aku bersaksi."

Madzhab Syafi’i

Kemunculan hilal funtuk Ramadhan, Syawwal, maupun bulan yang lain)-bagi


masyarakat umum-dipastikan dengan penglihatan satu orang yang berbudi
luhun meskipun orang ini tidak dikenal, baik langit cerah ataupun tidak, dengan
syarat bahwa orang yang melihat tersebut berbudi luhur; Muslim, balig, berakal,
merdeka, laki-laki, dan mengucapkan kalimat'Aku bersaksi." fadi, hilal tidak
dapat dipastikan kemunculannya berdasarkan penglihatan orang fasik, anak
kecil, orang gila, budak, dan wanita. Dalil mereka: Suatu ketika Ibnu Umar r.a.
melihat hilal lalu dia melapor kepada Rasulullah saw., kemudian Rasulullah
berpuasa dan memerintahkan orang-orang berpuasa Ibnu Abbas r.a.
meriwayatkan hadits berikut:

"Seorang Arab Badui menghadap Rasulullah saw. lalu berkata, 'Saya telah
melihat hilal Ramadhan!' Beliau bertanya, Apakah kau bersaksi bahwa tiada
tuhan selain AllahT Orang itu menjawab,'Ya.' Beliau bertanya lagi, Apakah kau
bersaksi bahwa Muhammad ada' lah rasul Allah?' Dia menjawab, 'Ya.' Beliau
lantas bersabda, 'Hai Bilal, umumkan kepada semua orang agar mereka
berpuasa besok." Dipastikannya kemunculan hilal berdasarkan informasi satu
orang adalah untuk ihtiyath puasa.

Madzhab Hambali

Untuk memastikan kemunculan hilal Ramadhan, dapat diterima perkataan


seorang mukalaf yang berbudi luhur, secara zahir dan batin, baik dia pria
maupun wanita, merdeka maupun budah meskipun dia tidak mengucapkan
'Aku bersaksi bahwa aku sudah melihat hilal." fadi, tidak dapat diterima
perkataan seorang mumayiz dan orang yang tidak diketahui perangainya.
Sebab, ucapannya tidak bisa diyakini kebenarannya, baik dalam cuaca
mendung maupun cerah, meskipun orang yang melihat itu berada di
kerumunan orang banyak dan hanya dia seorang yang melihat hilal.

1. Rukun Puasa
Rukun puasa adalah menahan diri dari syahwat perut dan syahwat kemaluan;
atau menahan diri dari hal-hal yang membatalkan. Madzhab Maliki dan Syafi'i
menambahkan rukun lain, yaitu niat pada malam hari.
2. Faedah Puasa

Dengan puasa seseorang mendapat keridhaan Allah, berhak masuk surga


melalui pintu yang khusus disediakan bagi orang-orang yang berpuasa, yang
disebut dengan pintu ar-Rayyan.3 Orang yang berpuasa menjauhkan dirinya
dari azab Allah Ta'ala, yang akan menimpa akibat maksiat-maksiat yang kadang
ia lakukan.

Allah Ta'ala berfirman,


"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa." (al-
Baqarah: 183)

Puasa mengajarkan sifat amanah dan menumbuhkan perasaan diawasi oleh


Allah Ta'ala dalam keadaan sepi maupun ramai.

3. Keutamaan Bulan Ramadhan dan Lailatul Qadar


Dalam bulan ini terdapat Lailatul Qadar (Malam Kemuliaan) yang lebih baik
daripada seribu bulan. Dengan sarana bulan ini, seorang mukmin memperbaiki
perilaku keagamaannya dan menata urusan dunianya dan kesempatan bagi
umat islam agar terkabulnya doa.
Sabda Nabi Muhammad SAW
"Bulan paling utama adalah Bulan Ramadhan,dan hari yang paling utama
adalah hari jumat”
4. Lailatul Qadar (Malam Kemuliaan)
Dianjurkan mencari Lailatul Qadar; sebab ia adalah malam yang mulia,
penuh berkah, dan amat agung. Ada harapan doa terkabul pada malam
tersebut. Ia adalah malam yang paling utama, bahkan melebihi malam jum‟at.
Malam Kemuliaan terdapat pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan,
khususnya pada malam-malam gasal. Sebab, Nabi saw. pernah bersabda,
"Carilah Malam Kemuliaan itu pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan,
terutama setiap malam gasal.”

B. KEWAJIBAN DAN MACAM MACAM PUASA


Berdasarkan dalil Al-Qur'an, sunnah, dan ijma, puasa bulan Ramadhan
merupakan salah satu rukun dan fardhu (kewajiban) dalam Islam. Dalil dari Al-
Qur'an adalah firman-Nya,
"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwa jibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa....
Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah.."
(al-Baqarah: 183 dan 185)
1. MACAM MACAM PUASA
Jenls pertama, puasa wajlb.
Puasa ini terbagi ke dalam tiga kategori. Pertama, puasa yang wajib karena
datangnya waktu tertentu, yaitu puasa bulan Ramadhan. Kedua, puasa yang
wajib karena suatu 'illat (sebab), yaitu puasa kafarat. Ketiga, puasa yang wajib
karena diwajibkan oleh seseorang atas dirinya sendiri, yaitu puasa nadzar.
Jenis Kedua, puasa haram Menurut jumhur atau makruh tahriiman menurut
madzhab Hanafi, antara lain berikut ini.
1. Puasa sunnah bagi istri tanpa izin suaminya atau tanpa keyakinan si istri bahwa
suaminya rela jika dia berpuasa.
2. Puasa pada hari syakk (keraguan), yaitu tanggal 30 Sya'ban apabila masyarakat
ragu apakah hari tersebut sudah masuk bulan Ramadhan atau belum.

Jenis ketiga, puasa makruh Misalnya, puasa dahr, puasa hari jumat semata,
puasa hari Sabtu semata, puasa hari syakk, dan puasa sehari atau dua hari
sebelum Ramadhan (menurut jumhur tapi menurut madzhab Syafi'i dua jenis
puasa terakhir ini haram).

Jenis keempat, puasa tathawwu' atau sunnah Tathawwu' artinya mendekatkan


diri kepada Allah Ta'ala dengan melaksanakan ibadah yang tidak wajib. Kata ini
diambil dari firman-Nya: wq man tathawwa'a khairan (Dan barangsiapa
mengeriakan suatu kebaiikan dengan kerelaan hati...) (al-Baqarah: 158).

2. Syarat Wajib Puasa Ramadan

Berikut ini syarat wajib untuk menjalankan puasa Ramadan yang baik dan
benar:

 Mempunyai keyakinan Islam atau beragama Islam.


 Telah melalui masa baligh atau telah mencapai umur dewasa.
 Mempunyai akal.
 Sehat jasmani dan rohani.
 Bukan seorang musafir atau sedang melakukan perjalanan jauh.
 Suci dari haid dan nifas.
 Mampu atau kuat melaksanakan ibadah puasa Ramadan

3. Syarat Sahnya Puasa


1. Beragama Islam, orang-orang non muslim tidak sah bila melakukan ibadah
puasa.

2. Mumayyiz, yaitu seorang anak baik laki-laki ataupun perempuan yang telah
memiliki kemampuan membedakan kebaikan dan keburukan.

3. Suci dari haid dan nifas, bagi perempuan yang sedang haid atau nifas (keluar
darah sehabis melahirkan) tidak boleh berpuasa. Namun mereka wajib
mengqadha (mengganti) puasa yang ditinggalkannya pada hari lain setelah
mereka suci dari haid dan nifasnya. Keterangan dari hadis riwayat Aisyah r.a :

“…Kami diperintahkan Rasulullah s.a.w. mengqadha puasa dan tidak


disuruhnya untuk mengqadha shalat”. (Hadis Shahih, riwayat Muslim: 508)

4. Dikerjakan pada waktu yang diperkenankan puasa padanya, jika


melaksanakan puasa pada waktu yang tidak diperbolehkan puasa padanya,
maka puasanya tidak sah, bahkan tidak boleh dilaku¬kan. Dilarang berpuasa
pada (1) Hari raya „Idul Fitri. (2) Hari raya „Idul Adha. (3) Hari Tasyriq, yaitu
tanggal 11, 12 dan 13 bulan Dzulhijjah. Dijelaskan dalam hadis Nabi s.a.w.:

“Nabi s.a.w. melarang puasa pada hari Idul Fitri, dan Idul Adha”. (Hadis Shahih,
riwayat al-Bukhari: 1855 dan Muslim: 1921)

3. Uzur Yang Membolehkan Tidak Puasa

1. Safar

Safar adalah berpergian jauh yang jarak perjalanannya sama dengan jarak yang
membolehkan qoshar shalat, atau sekitar 85 km bagi orang musafir (melakukan
perjalanan jauh) dibolehkan tidak berpuasa namun diwajibkan meng-qodho,
atau menggantinya di hari yang lain, berdasarkan firman Allah:”Maka barang
siapa diantara kamu ada yang sakait atau dalam perjalanan (lalu tidak
berpuasa), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan
itu pada hari-hari yang lain (QS. Al-Baqarah:184).

2. Sakit
Dalam masalah sakit dikelompokan menjadi dua.

 Orang yang sakit dan ada harapan bisa sembuh, seperti demam biasa, maka
wajib mengqodho puasanya.
 Orang yang sakit dan tidak harapan sembuh, seperti orang yang sakit karena
lanjut usia dan terbaring dalam waktu yang lama, maka ia membayar fidyah
dengan memberi makan 1 mud (porsi) makanan kepada orang miskin untuk
setiap hari yang ia tidak berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:”Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS.2 Al-Baqarah:
184).

3. Wanita hamil dan menyusui

Wanita yang hamil jika ia kawatir atas keselamatan janinnya atau merasa tidak
mampu berpuasa, maka diberikan keringanan baginya untuk tidak berpuasa ,
namun diwajibkan baginya mengqodho puasanya diwaktu yang lain diqiyaskan
dengan orang yang sakit, demikian juga wanita yang sedang menyusui.

4. Jompo atau lanjut usia.

Jompo dan lanjut usia salah satu sebab yang membolehkan untuk tidak
berpuasa. Dengan syarat ia tidak mampu melakukan puasa disebabkan fisiknya
terlalu lemah atau ada penyakit yang menghalanginya melakukan puasa.
Namun jika fisiknya masih kuat, dan mapu untuk berpuasa, maka ia tetap wajib
berpuasa. Namun saat ia tidak mampu, maka sebaiknya ia tidak berpuasa, dan
ia wajib membayar fidyah. Hal ini berdasarkan firman Allah: “Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al-Baqarah:
184).

5. Kehausan dan kelaparan yang melampaui batas

Seorang yang berpuasa ditengah puasanya, ia merasa kelaparan atau


kehausan yang sangat, maka ia dibolehkan membatalkan puasanya dan
diwajibkan atasnya qodho , diqiyaskan dengan orang yang sakit, serta
berdasarkan kaidah fiqih:”Kesulitan mendatangkan kemudahan”.
C. Definisi i’tikaf

Dalam bahasa arab, i‟tikaf artinya berdiam dan bertaubat pada sesuatu, baik
maupun buruk, secara terus – menerus.

Dalam konteks syariat, definisi i‟tikaf dalam berbagai mahzab hampir sama satu
sama lain.

Madzhab Hanafi

I'tikaf artinya berdiam di dalam masjid yang biasanya didirikan shalat jamaah di
situ-disertai dengan puasa dan niat I'tikaf. "Berdiam" adalah rukun i'tikaf, sebab
terwujudnya i'tikaf tergantung kepadanya.

Madzhab Maliki

I'tikaf adalah berdiamnya seorang Muslim yang mumayiz di sebuah masjid yang
boleh didatangi semua orang, diiringi dengan puasa, sambil menjauhi jimak dan
foreplay (pendahuIuan jimak), selama sehari semalam atau lebih dengan tujuan
beribadah, dan dibarengi dengan niat. jadi, i'tikaf tidak sah jika dilakukan oleh
orang kafir atau anak yang belum mumayiz, atau dilakukan di masjid rumah
yang tak boleh didatangi oleh orang lain, atau dilakukan tanpa puasa-puasa apa
pun, baik wajib maupun sunnah, puasa Ramadhan ataupun yang lain.

Madzhab Syaf‟i

I'tikaf adalah berdiamnya seseorang dengan kriteria khusus di dalam masjid


dengan niat.

Madzhab Hambali

I'tikaf adalah berdiam di masjid untuk beribadah, dengan tata cara tertentu
sekurangkurangnya selama sesaat, yang dilakukan oleh seorang Muslim yang
berotak waras meskipun dia hanya mumayiz [belum balig), dan dia suci dari
perkara yang mewajibkan mandi.

I'tikaf termasuk amal paling mulia dan paling dicintai oleh Allah jika dilakukan
dengan ikhlas. Sebab, orang yang berl'tikaf senantiasa menunggu shalat, dan
orang yang menunggu shalat sama dengan orang yang sedang menunaikan
shalat; dan ini adalah kondisi yang paling dekat dengan Allah.
Waktu i’tikaf

i'tikaf dianjurkan pada semua waktu, di bulan Ramadhan maupun yang lain.
Menurut madzhab Hanafi, i'tikaf sunnah itu sekurang-kurangnya selama tempo
yang singkat tidak ada ukurannya, sudah terlaksana hanya dengan berdiam di
masjid disertai niat, meskipun dia meniatkannya sambil berjalan (menurut
pendapat yang dipegang sebagai fatwa). Sebab, pelaksana i'tikaf ini
sukarelawan.

Menurut madzhab Maliki, minimal i'tikaf itu selama sehari semalam, tapi
sebaiknya tidak kurang dari sepuluh hari, dan harus diiringi dengan puasa apa
pun (puasa Ramadhan maupun yang lain). |adi, i'tikaf tidak sah jika pelakunya
tidak berpuasa, meskipun ia punya uzur. Artinya, orang yang tidak dapat
berpuasa tidak sah beri'tikaf.

Menurut pendapat yang paling shahih dalam madzhab Syafi'i, dalam i'tikaf
disyaratkan tinggal dalam tempo yang bisa disebut 'menetap/berdiam diri,' yaitu
temponya lebih panjang daripada ukuran waktu tuma'ninah dalam rukuk dan
sejenisnya.

Menurut madzhab Hambali, minimal i'tikaf itu sesaat, yakni selama tempo yang
bisa disebut tinggal/menetap, meskipun hanya sekejap.

Kesimpulannya, jumhur memandang bahwa i'tikaf itu sah dilakukan dalam


tempo yang singkat, sedangkan madzhab Maliki mensyaratkan minimal sehari
semalam.

Tempat I’tikaf

Menurut madzhab Hanafi, tempat I'tikaf bagi laki-laki atau orang yang mumayiz
adalah di masjid jamaah, yaitu masjid yang ada imam dan mudazinnya, baik
didirikan shalat Iima waktu di situ maupun tidak. Adapun masjid jamil sah untuk
berl'tikaf di situ secara mutlak; dan hal ini disepakati seluruh ulama. Ibnu Mas'ud
berkata, "l'tikaf tidak sah kecuali dilaksanakan di masjid jamaah."

Sedangkan tempat I'tikaf bagi wanita adalah masjid rumahnya, yaitu tempat
yang dikhususkan untuk shalat. Setiap wanita dianjurkan membuat masjid
[mushalla) ini di rumahnya
Madzhab Hamball z' Bagi laki-laki yang berkewajiban menunaikan shalat secara
berjamaah, I'tikaf tidak sah kecuali di masjid yang mendirikan shalat jamaah.
Semua ulama sepakat bahwa I'tikaf tidak sah jika dilakukan di selain masjid.

Madzhab Maliki

Tempat I'tikaf adalah semua masjid, tapi tidak sah di masjid rumah yang tertutup
bagi umum. Barangsiapa berniat I'tikaf selama tempo tertentu yang dia
berkewajiban meng' hadiri shalatfumat dalam tempo tersebut, maka dia harus
melaksanakan I'tikafnya di masjid jami'. Sebab, jika dia keluar untuk
menunaikan shalat fumat, maka I'tikafnya batal. Nadzar harus dilaksanakan di
tempat yang ditentukan oleh orang yang bernadzar.

Madzhab Syafi'I juga berpendapat demikian. Kata mereka, I'tikaf hanya sah di
masjid, baik di atapnya maupun tempat lain yang masih bagian dari masiid.
Lebih utama I'tikaf itu dikerjakan di masjid iami'?sz ketimbang masjid lain, demi
menghindari perbedaan pendapat dengan ulama yang mewajibkan
dikerjakannya I'tikaf di masjid jami‟.

Hukum l'tikaf

Seluruh ulama sepakat bahwa I'tikaf yang tidak dinadzarkan adalah sunnah.
Namun, ada baiknya dijelaskan pendapat berbagai madzhab agar kita tahu
derajat kesunnahan ini secara persis.

Madzhab Hanafi

I'tikaf itu ada tiga macam: wajib, sunnah muakad, dan mustahab. I'tikaf yang
wajib adalah yang dinadzarkan. Misalnya, seseorang bernadzar begini, 'Aku
bernadzar untuk berl'tikaf selama sehari."

Madzhab Maliki

I'tikaf adalah ibadah nafilah (sunnah) yang dianjurkan oleh syariat bagi pria
maupun wanita, terutama pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.
I'tikaf bisa menjadi wajib jika dinadzarkan.

Madzhab Syaf i dan Hambali


I'tikaf adalah sunnah atau mustahab pada semua waktu-tapi jika dinadzarkan,
maka ia harus dilaksanakan-, sebab Nabi saw dulu mengerjakannya secara
rutin sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah Ta'ala. Para istri beliau juga
mengerjakannya sepeninggal beliau. |ika seseorang menadzarkannya, ia wajib
melaksanakannya dengan cara yang telah ia sebutkan dalam nadzarnya
(misalnya nadzar I'tikaf dalam beberapa hari tertentu secara berurutan).

Juga, berdasarkan riwayat Umar bahwa dia pernah berkata, "Wahai Rasulullah,
saya pernah bernadzar untuk berl'tikaf selama satu malam di Masjidil Haram."
Rasulullah saw. lalu bersabda kepadanya, "Laksanakanlah nqdzarmu.'

SYARAT - SYARAT I'TIKAF

Untuk sahnya I'tikaf disyaratkan hal-hal berikut :

1.Islam. I'tikaf tidak sah dilakukan oleh orang kafir sebab I'tikaf adalah cabang
dari iman.

2. Berakal atau tamyiz. I'tikaf tidak sah dilakukan oleh orang gila dan sejenisnya,
juga tidak sah dilakukan oleh bocah yang belum mumayiz. Sebab, dia bukan
orang yang berkelayakan untuk menjalani ibadah, karena itu I'tikafnya tidak sah
seperti orang kafir. Adapun I'tikafnya bocah yang sudah mumayiz adalah sah.

3. Bertempat di masjid. I'tikaf tidak sah dikerjakan di rumah, sebagaimana telah


dijelaskan sebelumnya. Hanya saja madzhab Hanafi membolehkan wanita
beri'tikaf di masjid rumahnya, yaitu tempat yang dikhususkannya untuk shalat
dalam rumah.

4. Niat. Syarat ini disepakati seluruh ulama. I'tikaf tidak sah kecuali dengan niat,
berdasarkan hadits yang sudah disebutkan sebelumnya.

5. Puasa. Menurut madzhab Maliki, ini adalah syarat untuk semua I'tikaf.
Menurut madzhab Hanafi, ini adalah syarat untuk I'tikaf yang dinadzarkan saja,
bukan syarat bagi I'tikaf yang sunnah. Sedangkan madzhab Syafi'i dan Hambali
berpendapat bahwa ini bukan syarat. fadi, I'tikaf sah tanpa puasa, kecuali jika ia
dinadzarkan bersama I'tikaf.

6. Suci dari junub, haid, dan nifas. Ini adalah syarat menurut jumhu4, hanya saja
madzhab Maliki memandang bahwa suci dari junub adalah syarat untuk
bolehnya berdiam di masjid, bukan syarat sahnya I'tikaf. fadi, apabila pelaksana
I'tikaf mengalami mimpi basah, dia wajib mandi, baik di dalam masjid-jika ada
air-atau di luar.

7. . Izin suami bagi istrinya. Ini adalah syarat menurut madzhab Hanafi, Syafi'i,
dan Hambali. |adi, tidak sah bagi wanita berI'tikaf tanpa izin suaminya meskipun
I'tikafnya itu dinadzarkan. Sedangkan madzhab Maliki berpendapat, bahwa
I'tikaf seorang wanita tanpa izin suaminya adalah sah meskipun dia berdosa.

Kesimpulan

(QS. Maryam:26) Artinya, puasa adalah penahanan diri dari syahwat perut dan
syahwat kemaluan, serta dari segala benda konkret yang memasuki rongga
dalam tubuh (seperti obat dan sejenisnya), dalam rentang waktu tertentu-yaitu
sejak terbitnya fajar kedua (yakni fajar shadiq) sampai terbenamnya matahari-
yang dilakukan oleh orang tertentu yang memenuhi syarat-yaitu beragama Islam,
berakal, dan tidak sedang haid dan nifas, disertai niat-yaitu kehendak hati untuk
melakukan ibadah dan mengharap Ridho dari Allah SWT.

Madzhab Hanafi I'tikaf artinya berdiam di dalam masjid yang biasanya didirikan
shalat jamaah di situ-disertai dengan puasa dan niat I'tikaf. Menurut pendapat
yang paling shahih dalam madzhab Syafi'i, dalam i'tikaf disyaratkan tinggal dalam
tempo yang bisa disebut 'menetap/berdiam diri,' yaitu temponya lebih panjang
daripada ukuran waktu tuma'ninah dalam rukuk dan sejenisnya. Tempat I‟tikaf
Menurut madzhab Hanafi, tempat I'tikaf bagi laki-laki atau orang yang mumayiz
adalah di masjid jamaah, yaitu masjid yang ada imam dan mudazinnya, baik
didirikan shalat Iima waktu di situ maupun tidak.

Daftar Pustaka

Buku Prof. Wahbah Al-Zuhaili

Anda mungkin juga menyukai