39ada922cd6d4f9bd5d83227ed971614
39ada922cd6d4f9bd5d83227ed971614
Pembimbing :
dr. I. G. N. Agung Tresna Erawan, M.Biomed, Sp.PD
Oleh :
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
atas karunia-Nya, laporan responsi yang berjudul “Chronic Kidney Disease Stage
V on Hemodialisis” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Responsi ini
disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis banyak memperoleh
bimbingan, petunjuk serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui
kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada yang terhormat:
1. Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD – KHOM selaku ketua KSM/Bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSUP Sanglah/FK UNUD , Denpasar.
2. dr. I Made Susila Susila Utama, Sp.PD- KPTI selaku koordinator pendidikan
di KSM/Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Sanglah/FK UNUD, Denpasar.
3. dr. I. G. N. Agung Tresna Erawan, M.Biomed, Sp.PD, selaku pembimbing
laporan responsi di RSUP Sanglah/FK UNUD, Denpasar.
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan
bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Semoga laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah
kesehatan dan memberi manfaat bagi masyarakat.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................6
2.1 Definisi...........................................................................................................6
2.2 Klasifikasi......................................................................................................6
2.3 Epidemiologi..................................................................................................8
2.4 Faktor Risiko..................................................................................................9
2.5 Patofisiologi.................................................................................................12
2.6 Manifestasi Klinis........................................................................................13
2.7 Diagnosis......................................................................................................14
2.8 Penatalaksanaan...........................................................................................16
2.9 Prognosis......................................................................................................25
BAB III LAPORAN KASUS................................................................................34
I. Identitas Pasien...............................................................................................34
II. Anamnesis.....................................................................................................34
III. Pemeriksaan Fisik........................................................................................36
IV. Pemeriksaan Penunjang...............................................................................38
V. Diagnosis......................................................................................................43
VI. Penatalaksanaan...........................................................................................44
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................46
BAB V SIMPULAN..............................................................................................49
Daftar Pustaka
3
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah
suatu proses patofisiologis yang didasari oleh etiologi yang beragam, yang
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif, dan pada umumnya berakhir
dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel yang mencapai pada derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal tetap, yaitu dapat berupa dialisis atau
transplantasi ginjal.1 Kerusakan ginjal mengacu pada berbagai macam kelainan yang
ditemukan selama pemeriksaan, yang bisa saja bersifat non-spesifik terhadap
penyakit penyebabnya tetapi dapat mengarah pada penurunan fungsi ginjal. Fungsi
ekskresi, endokrin, dan metabolik menurun secara bersamaan pada hampir semua
kasus CKD. Kriteria CKD menurut KDIGO 2012 adalah kerusakan ginjal ≥ 3 bulan,
baik berupa kelainan struktural atau fungional yang dapat dideteksi melalui
pemeriksaan laboratorium (proteinuria; Albumin-Creatinine-Ratio > 30 mg/g; total
protein-creatinine-ratio > 200 mg/g), abnormalitas sedimen urin, gangguan elektrolit
atau yang lain oleh karena gangguan pada tubulus, kelainan pada pemeriksaan
histologi, kelainan struktural yang terdeteksi melalui pemeriksaan radiologi, atau
riwayat transplantasi ginjal serta penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG < 60
ml/menit/1,73 m2) dalam waktu lebih dari 3 bulan, dengan atau tanpa kelainan
struktural ginjal.2
2.1.1 Klasifikasi
Klasifikasi CKD didasarkan atas dua hal yaitu berdasarkan derajat
penyakit dan berdasarkan etiologi. Klasifikasi berdasarkan derajat penyakit
didasarkan pada LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockroft-
Gault sebagai berikut:
LFG (ml/menit/1,73m2) = (140 – umur) x berat badan (kg)
72 x kreatinin plasma (mg/dl)
Pada perempuan, rumus tersebut dikalikan 0,85.
Kockroft-Gault tidak berlaku pada umur di bawah 18 tahun atau di
atas 80 tahun, berat badan di bawah 40 kg atau di atas 100 kg, wanita hamil,
pasien penderita Acute Kidney Injury (AKI), kerusakan otot yang luas (crush
syndrome, tetraparesis), atau ada anggota tubuh yang tidak lengkap
(amputasi).1
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dapat dilihat di tabel berikut:2
Tabel 1. Klasfikasi derajat CKD berdasarkan LFG
Stadium Deskripsi LFG (ml/menit/1,73 m2)
I Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ≥90
meningkat
II Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan 60 – 89
III Penurunan LFG sedang 30 – 59
IV Penurunan LFG berat 15 – 29
V Gagal ginjal < 15 atau dialisis
2.1.2 Epidemiologi
Chronic Kidney Disease merupakan penyakit yang sering dijumpai
pada praktek klinik sehari-hari. Prevalensinya di negara maju mencapai 10-
13% dari populasi. Di Australia pada tahun 2015 diperkirakan terdapat 1.7
juta pasien yang menderita Chronic Kidney Disease, atau 1 dari 10 orang di
Australi mengalami Chronic Kidney Disease.4 Di negara-negara berkembang
lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus per juta penduduk per
tahun.1
Di Indonesia, populasi yang terdiagnosis CKD sebesar 0,2% yang
lebih rendah dari prevalensi CKD di negara-negara lain. Menurut Riskesdes
2013 prevalensi meningkat seiring bertambahnya umur, pada kelompok umur
35-44 tahun dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. Sebuah studi yang
dilakukan Perhimpunan Nefrologi Indonesia melaporkan sebayak 12,5%
populasi di Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal.4
2.1.4.1 Glomerulonefritis
Seluruh bentuk dari penyakit glomerulonephritis akut dapat menjadi
progresif dan menyebabkan perubahan menjadi glomerulonephritis kronik.
Kondisi ini dikarakteristikan sebagai ireversibilitas dan progresifitas
glomerulus dan fibrosis dari tubulointerstitial, yang menyebabkan terjadinya
penurunan pada laju filtrasi glomerulus (LFG) dan retensi terhadap racun
uremia. Bila progresifitas dari glomerulonephritis kronik tidak segera
ditangani, maka glomerulonephritis kronik dapat berubah menjadi CKD,
penyakit gagal ginjal, dan bahkan penyakit kardiovaskular.5
2.1.4.2 Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita
seumur hidup. Diabetes dapat terjadi saat tubuh tidak memproduksi insulin
yang cukup atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang sudah ada.
Insulin merupakan hormon yang sangat penting untuk mengatur kadar
glukosa dalam darah.6
Diabetes dapat merusak ginjal dengan memberikan gangguan pada
aliran darah yang melewati ginjal. Sistem filtrasi pada ginjal dipenuhi oleh
pembuluh darah yang sangat kecil. Seiring waktu, tingginya kadar gula dalam
darah dapat menyebabkan pembuluh darah tersebut menjadi sempit dan
terhambat. Tanpa darah yang cukup, kerusakan dapat terjadi pada ginjal dan
albumin dapat melewati sistem filtrasi tersebut dan akan didapatkan pada urin,
dimana hal tersebut tidak seharusnya terjadi.6
Selain itu, sistem saraf di tubuh juga dapat terganggu. Sistem saraf
membawa pesan ke otak dan seluruh tubuh termasuk kandung kemih untuk
memberi tahu bila kandung kemih sudah penuh. Namun, apabila sistem saraf
pada kandung kemih mengalami gangguan, maka pasien tidak akan dapat
merasakan apabila kandung kemih sudah penuh. Tekanan pada kandung
kemih yang tinggi akan dapat merusak ginjal.7
2.1.4 Patofisiologi
Chronic Kidney Disease disebabkan oleh adanya gangguan atau
kerusakan pada ginjal, terutama pada komponen filtrasi ginjal seperti
membrane basal glomerulus, sel endotel, dan sel podosit. Kerusakan
komponen ini dapat disebabkan secara langsung oleh kompleks imun,
mediator inflamasi, atau toksin serta dapat pula disebabkan oleh mekanisme
progresif yang berlangsung dalam jangka panjang.9
Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi
kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons)
sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti
sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi,
yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya
diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walapun penyakit
dasarnya sudak tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-
angiotensin-aldosteron intrarenal ikut memberikan kontribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka
panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron sebagian diperantarai oleh growth
factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga
dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas CKD adalah albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual
untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.1
Gambar 1. Patogenesis CKD1
2.1.6 Diagnosis
Diagnosis pasti sering memerlukan biopsi ginjal yang meskipun sangat
jarang dilakukan karena dapat menimbulkan komplikasi. Oleh karena itu,
biopsi ginjal dilakukan pada pasien tertentu yang diagnosis pastinya hanya
dapat ditegakkan dengan biopsi ginjal atau jika diagnosis pasti tersebut akan
merubah baik pengobatan maupun prognosis. Pada sebagian pasien diagnosis
ditegakkan berdasarkan gambaran klinik yang lengkap dan faktor penyebab
yang didapat dari evaluasi klinik dan pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan laboratorium dan pencitraan ginjal.5
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran
ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasive tidak bisa
ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,
menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.
Biopsi ginjal indikasi – kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal sudah
mengecil (cintracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,
infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.1,5
2.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan CKD meliputi1:
a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
c. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
d. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
e. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
2.1.9 Prognosis
2.1 HEMODIALIS
2.2.1 Definisi
Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan
menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser), yang berfungsi
seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan
mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal
ginjal.4,6 Hemodialisis digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan
memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa
minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal
disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen.
Hemodialisis bertujuan untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen dan racun lain
yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan.2 Pada
penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah kematian.
Hemodialisis bukan bertujuan untuk menyembuhkan penyakit ginjal dan tidak
mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang
dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal, tetapi terapi hemodialisa ini
bertujuan untuk menggantikan kerja ginjal sebagai alat filtrasi dan ekskresi
serta berdampak terhadap kualitas hidup pasien.1, 3
Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut
yang berpindah. Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi
lebih lambat dibanding molekul dengan berat molekul lebih rendah.
Kecepatan perpindahan zat terlarut tersebut makin tinggi bila (1) perbedaan
konsentrasi di kedua komparlemen makin besar, (2) diberi tekanan hidrolik di
komparlemen darah, dan (3) bila tekanan osmotik di komparlemen cairan
dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan
darah untuk meningkatkan efisiensi (Gambar 2).
Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat tetapi
kemudian melambat sampai konsentrasinya sama di kedua komparlemen.
Terdapat 4 jenis membran dialiser yaitu: selulosa, selulosa yang diperkaya,
selulo sintetik, dan membran sintetik. Pada membran selulosa terjadi aktivasi
komplemen oleh gugus hidroksil bebas, karena itu penggunaan membran ini
cenderung berkurang digantikan oleh membran lain. Aktivasi sistem
komplemen oleh membran lain tidak sehebat aktivasi oleh membran selulosa.
Selama proses dialisis pasien akan terpajan dengan cairan dialisat
sebanyak 120-150 liter setiap dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang
terdapat dalam cairan dialisat akan dapat dengan mudah berdifusi ke dalam
darah pasien selama dialisis. Karena itu kandungan solut cairan dialisat harus
dalam batas-batas yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Cairan diaLisat perlu
dimurnikan agar tidak terlalu banyak mengandung zat yang dapat
membahayakan tubuh. Dengan teknik reverse osmosis air akan melewati
membran semi permeabel yang memiliki pori-pori kecil sehingga dapat
menahan molekul dengan berat molekul kecil seperti urea, natrium, dan
klorida. Cairan dialisat tidak perlu steril karena membran dialisis dapat
berperan sebagai penyaring kuman dan endotoksin. Tetapi kuman harus dijaga
agar kurang dari 200 koloni/ml dengan melakukan desinfektan cairan dialisat.
Kadar natrium dalam cairan dialisat berkisar 135-145 meq/L. Bila kadar
natrium lebih rendah maka risiko untuk terjadinya gangguan hemodinamik
selama hemodialisis akan bertambah. Sedangkan bila kadar natrium lebih
tinggi gangguan hemodinamik akan berkurang tetapi akan meningkatkan
kadar natrium darah pascadialisis. Keadaan ini akan menimbulkan rasa haus
dan pasien akan cenderung untuk minun lebih banyak.
Pada proses dialisis terjadi aliran darah di luar tubuh. Pada keadaan ini
akan terjadi aktivasi sistem koagulasi darah dengan akibat timbulnya bekuan
darah. Karena itu pada dialisis diperlukan pemberian heparin selama dialisis
berlangsung. Ada tiga teknik pemberian heparin yaitu teknik heparin rutin,
heparin minimal, dan bebas heparin. Pada teknik heparin rutin, teknik yang
paling sering digunakan sehari-hari, heparin diberikan dengan cara bolus
diikuti dengan continous infusion. Pada keadaan di mana risiko perdarahan
sedang atau berat digunakan teknik heparin minimal dan teknik bebas heparin.
Di Indonesia hemodialisis dilakukan 2 kali seminggu dengan setiap
hemodialisis dilakukan selama 5 jam. Di senter dialisis lain ada juga dialisis
yang dilakukan 3 kali seminggu dengan lama dialisis 4 jam. Pasien
hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam
gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang penting untk terjadinya
kematian pada pasien hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1 sampai 1,2
kg/BB/hari yang terdiri atas protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan
kalium diberikan 40-70 meq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan.
karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak
dianjurkan dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah
air kencing yang ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi
40-l20 meq/hari guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan
tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong
pasien untuk minum.
Terdapat korelasi yang kuat antara adekuasi dialisis dengan angka
morbiditas dan mortalitas pada pasien dialisis. Adekuasi dialisis diukur
dengan menghitung urea reduction ratio (URR) dan (Kt/V). URR dihitung
dengan mencari rasio hasil pengurangan kadar ureum predialisis dengan kadar
ureum pascadialisis dibagi kadar ureum pascadialisis. Pada hemodialisis 2 kali
seminggu dialisis dianggap cukup bila UUR-nya lebih dari 80V. Cara lain
menghitung adekuasi dengan menghitun Kt/V Terdapat rumus Dougirdas
untuk menghitung Kt/V dengan memasukkan nilai ureum pra dan
pascadialisis, berat badan pra dan pascadialisis. Pada hemodialisis 3 kali
seminggu Kt/V dianggap cukup bila lebih besar atau sama dengan 1,8.
2.2.5 Komplikasi
Hemodialisis merupakan tindakan untuk mengganti sebagian dari
fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal
tahap akhir stadium akhir. Walaupun tindakan hemodialisis saat ini
mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita
yang mengalami masalah medis saat menjalani hemodialisis. Komplikasi
yang sering terjadi pada penderita yang menjalani hemodialisis adalah
gangguan hemodinamik.
1. Komplikasi Akut
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah
hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit
punggung, gatal, demam, dan menggigil. 1,3,5
2. Komplikasi Kronis
Komplikasi kronik yang terjadi pada pasien hemodialisis yaitu penyakit
jantung, malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia, renal osteodystrophy,
neurophaty, disfungsi reproduksi, komplikasi pada akses, gangguan
perdarahan, infeksi, amiloidosis, dan Acquired cystic kidney disease.10
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Bengkak di kedua tungkai
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan rujukan dari RSAD Udayana, Denpasar ke UGD RSUP
Sanglah (15 November 2019) dengan keluhan bengkak pada kedua tungkai. Pasien
mengeluh bengkak dirasakan sejak lima hari sebelum masuk rumah sakit (10
November 2019). Bengkak awalnya dirasakan muncul terlebih dahulu pada tungkai
kiri dan disusul dengan bengkak pada tungkai kanan, bengkak dirasakan semakin hari
semakin bertambah besar dan semakin mengkilat, tungkai dikatakan tidak terasa nyeri
dan tidak terasa panas. Pasien juga mengeluhkan terdapat nyeri pada kedua lutut sejak
kurang lebih 2 minggu yang lalu, keluhan nyeri ini dikatakan mengakibatkan pasien
sulit untuk berjalan. Lutut terasa nyeri juga dirasakan terasa agak kaku, nyeri pada
lutut lebih dirasakan saat beraktivitas. Demam dikatakan tidak ada, sesak dan batuk
tidak dirasakan oleh pasien.
Selain itu pasien mengeluhkan tubuh terasa lemas sejak 3 hari sebelum masuk
Rumah Sakit. Keluhan lemas dirasakan diseluruh tubuh. Keluhan lemas dikatakan
mengakibatkan pasien enggan untuk beraktivitas. BAK dikatakan ± 4 – 5 hari dalam
sehari, dengan jumlah ± ¼ hingga ½ gelas per hari. Pasien mengatakan mampu
minum sehari sebanyak 2 botol akua sedang. BAB dikatakan normal dan adanya
BAB berwarna hitam disangkal oleh pasien. Keluhan nyeri perut, mual, muntah,
disangkal oleh pasien.
Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang pensiunan PNS. Sebelum sakit, pasien mengatakan
aktivitasnya dalam keseharian ialah diam di rumah, memasak, dan merawat cucu.
Namun semenjak sakit, pasien mengatakan mengalami penurunan aktivitas dan
enggan untuk memasak. Sehari-hari pasien mengatakan makan 3-4 kali per hari,
namun semenjak sakit nafsu makan menurun dan pasien juga mengaku lebih nyaman
untuk beristirahat dibandingkan beraktivitas. Riwayat merokok dan minum –
minuman beralkohol, dan konsumsi obat-obatan terlarang disangkal pasien. Pasien
tinggal satu rumah bersama anak dan menantunya, serta cucunya. Suami pasien
dikatakan telah lama meninggal.
Hepar: ukuran tidak membesar, permukaan licin, sudut tajam, tepi rata, sistem
vaskuler dan bilier tampak normal, echoparenchym normal
GB: ukuran normal, dindin tidak menebal, tak tampak
batu/sludge Lien: ukuran normal, echoparencym normal
Pankreas: ukuran normal, echoparencym normal
Ginjal kanan: ukuran mengecil, echocortex meningkat, batas sinus cortex tak
jelas, pelviocalyceal sistem tidak melebar, tak tampak batu/massa, tampak
kista (+)
Ginjal kiri: ukuran mengecil, echocortex meningkat, batas sinus cortex tak
jelas, pelviocalyceal sistem tidak melebar, tak tampak batu/massa, tampak
kista (+)
Buli: terisi urine cukup, dinding buli tak tampak menebal, tak tampak
batu/massa
Uterus: sulit dievaluasi, tertutup gas usus
Adnexa kanan kiri: tidak tampak kista/nodul/massa
Kesan:
Nefritis kronik dengan kista multiple bilateral
Organ hepar, gb, lien, pankreas, buli saat ini tak tampak kelainan
Genu Dextra :
Varus malalignment
Tampak osteophyte pada condylus medialis dan lateralis os femur dan tibia
dextra, dan pada os patella dextra aspek superoposterior
Tampak penyempitan celah sendi femorotibial medial dan lateral
dextra(dominan medial), disertai sclerotik pada plateu tibia medial dan lateral
dextra
Tampak fusi dari os patella dextra dengan distal os femur dextra
Tampak pula deposisi kalsium pada articular cartilage genu dextra
Densitas tulang menurun
Tak tampak erosi /destruksi tulang
Tak tampak jelas soft tissue swelling
Genu Sinistra :
Varus malalignment
Tampak osteophyte pada condylus medialis dan lateralis os femur dan tibia
sinistra, dan pada os patella sinistra aspek superoposterior
Tampak penyempitan celah sendi femorotibial medial dan lateral sinistra
(dominan medial), disertai sclerotik pada plateu tibia medial sinistra dan
subchondral condylus medialis os femur sinistra
Tampak pula deposisi kalsium pada articular cartilage genu sinistra
Densitas tulang menurun
Tak tampak erosi /destruksi tulang
Tak tampak jelas soft tissue swelling
Kesan:
OA genu grade III bilateral (sesuai Kellgren-Lawrence grading
system) dengan CPPD.
Bony ankylosing femoropatellar
dextra. Osteopenia.
3.7. Planning
3.8. Monitoring
3.9. Prognosis
3.10. KIE
Memberikan informasi tentang penyakit dan kondisi pasien pada pasien dan
keluarganya secara lengkap.
Memberikan edukasi tentang obat yang diminum kepada pasien dan keluarga
pasien serta terapi hemodialisis yang harus dilakukan secara rutin.
Mengedukasi keluarga pasien untuk menjaga higienitas pasien dan lingkungan
rumah serta menjaga asupan nutrisi yang bergizi baik dan seimbang dan sesuai
dengan diet pada penyakit ginjal.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien NMS, perempuan, usia 73 tahun datang dengan keluhan bengkak pada
kedua tungkai sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Bengkak awalnya dirasakan
muncul terlebih dahulu pada tungkai kiri dan disusul bengkak pada tungkai kanan,
bengkak dirasakan semakin hari semakin bertambah besar, tungkai dikatakan tidak
terasa nyeri dan tidak terasa panas.
Selain itu, pasien mengeluhkan tubuh terasa lemas sejak 3 hari sebelum
masuk Rumah Sakit. Keluhan lemas dirasakan diseluruh tubuh. Lemas dirasakan
sangat berat sehingga pasien memutuskan lebih banyak diam di rumah dan tidak
bekerja. Keluhan lemas awalnya terasa ringan dan hanya memberat saat melakukan
aktivitas. Keluhan tersebut awalnya membaik dengan istirahat, namun dalam 1
minggu terakhir keluhan tersebut menetap.
Dari anamnesis, keluhan baru dirasakan pertama kalinya oleh pasien. Pasien
menyangkal memiliki riwayat penyakit ginjal, serta diabetes melitus. Pada anamnesis
tersebut juga didapatkan pasien telah memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol
yang telah berlangsung sejak 10 tahun yang lalu yang menjadi salah satu faktor risiko
untuk terjadinya gagal ginjal. Pada pemeriksaan mata, didapatkan konjungtiva pasien
tampak pucat sehingga membuktikan tanda tanda anemis positif dimana ini
merupakan salah satu gejala uremia pada kerusakan fungsi ginjal. Pada pasien,
didapatkan pitting edema positif pada kedua tungkai. Dilakukan penekanan ringan
pada punggung kaki dan pada daerah tersebut didapatkan cekungan yang menetap.
Gambaran laboratorium CKD meliputi1:
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya;
2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum serta penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault
3. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin
(anemia), hiponatremia, hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia,
dan asidosis metabolik
4. Kelainan urinalisis yang meliputi proteinuria, hematuria dan
eritrosituria.
Dari hasil pemeriksaan darah lengkap pada kasus ini, dijumpai adanya anemia
sedang normokromik normositer (hemoglobin 9,23 g/dl, MCV 87,60 fL, MCH
28,84 pg). Pada pemeriksaan kimia klinik ditemukan adanya peningkatan kadar BUN
(54,70 mg/dl), peningkatan kreatinin (4,24 mg/dl) dan penurunan rumus kockroft
gault didapatkan LFG (10,89 ml/menit/1,73 m2).
Pada pemeriksaan analisis gas darah ditemukan adanya asidosis metabolik (pH 7,30,
pCO2 24,0 mmHg, pO2 127,90 mmHg, HCO3 -11,60 mmol/L, BEecf -14,9 mmol/L).
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang,
maka pasien ini didiagnosis dengan CKD Stage V on HD et causa Nefrosklerosis
karena secara klinis dijumpai 2 tanda klasik CKD yaitu anemia dan hipertensi,
ditambah penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan LFG <15 ml/menit/1,73m2.
Penyebab Nefrosklerosis dipilih karena penderita memiliki riwayat penyakit
hipertensi tidak terkontrol sejak 10 tahun lalu.
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien CKD disesuaikan dengan
stadium penyakit pasien tersebut (National Kidney Foundation, 2010). Selain itu
diperlukan penatalaksanaan yang komprehensif meliputi:
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (faktor komorbid
tersebut antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang
tidak terkontrol, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau
peningkatan aktivitas penyakit dasarnya),
3. Memperlambat perburukan fungsi ginjal (restriksi protein dan terapi
farmakologis),
4. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi (anemia, osteodistrofi renal,
pembatasan cairan dan elektrolit) dan
5. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Pada
pasien-pasien yang penurunan fungsi ginjalnya berjalan terus, maka saat
laju filtrasi glomerulus mencapai 10 - 12 ml/menit (setara dengan klirens
kreatinin kurang dari 15 ml/menit atau serum kreatinin lebih dari 6 mg/dl)
dianjurkan untuk memulai dialisis (hemodialisis atau peritoneal dialisis),
walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai kapan sebaiknya terapi
pengganti ginjal ini dimulai. Pilihan pengobatan gagal ginjal terminal
yang lain adalah trasnplantasi ginjal.
Pada pasien ini diindikasikan untuk inisial HD untuk memperbaiki kondisi
klinis. Pasien juga diberikan diet CKD 1733 kkal/hari dengan 40 gram protein,
diberikan anti hipertensi golongan Ace inhibitor dan Beta Blocker (Captopril 12,5 mg
tiap 8 jam, bisoprolol 1,25 mg tiap 24 jam), diberikan allopurinol untuk nyeri lututnya
100mg tiap 24 jam. Pada pasien ini juga disarankan untuk rutin melakukan
hemodialisis reguler 2 kali dalam seminggu, kemudian pemeriksaan monitoring dan
evaluasi dari kadar hemoglobin selanjutnya ditentukan status anemia dan diberikan
asupan eritropoietin jika perlu, tujuannya mencegah perburukan klinis akibat hipoksia
karena kadar Hb menurun.
BAB V
KESIMPULAN