Sungai Cisadane-WPS Office
Sungai Cisadane-WPS Office
“Semua ini ada kaitannya dengan Sungai Cisadane, karena ini (Sungai
Cisadane) kan perlintasan, pada zaman babat tanah Banten.
Berpindahnya agama Sunda Wiwitan dari tanah Pajajaran ke Banten, ini
perlintasannya. Makanya, sebelum orang Tionghoa datang ke
Tangerang, di sekitarnya itu orang-orang Sunda, ”. Abah Mustayah
meriwayatkan, dahulu arus air sungai tersebut sangat deras dan
bersuara gemuruh. Nama "cisadane" sendiri menurut Abah Mustayah,
barasal dari akar bahasa Sunda, yang airtinya air yang riaknya gemuruh.
“Itu (Sungai Cisadane) padahal tidak ada batu-batu, tapi suaranya
gemuruh. Makanya dikasih nama 'cisadane,' akarnya dari bahasa
Sunda. Dari orang-orang Sunda Wiwitan. Sekarang sudah enggak lagi
kan karena ada Sangego (bendungan) yang dibangun pada zaman
Belanda sekitar tahun 1921-an,”.
“Sebelum banjir itu buaya putih muncul. Itu banjirnya luar biasa,
Gerendeng itu tenggelam sampai empat meter,” ungkapnya.
Selain misteri buaya putih, kata Abah, juga terdapat misteri kura-kura
berukuran besar yang di punggungnya terdapat tulisan huruf Cina. “Jadi
ada buaya putih, ada kura-kura raksasa yang ada tulisan huruf Cina. Itu
di sekitar Pekong, yang biasa buat perayaan Pe Chun,”
Kala itu daerah Mauk, Kedaung, Sewan, Kampung Melayu, dan Teluk
Naga, masih berupa rawa-rawa, sehingga muara Cisadane masih berada
di dekat Tangerang.
Aliran air Cisadane dimanfaatkan sebagai produksi air bersih yang
memasok Tangerang, pusat irigasi, serta pengendali banjir.