Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada masa lalu aturan adat sangat berkuasa dalam masyarakat Indonesia. Adatlah
yang menetapkan bagaimana seharusnya dilakukan pergaulan antara pejabat tinggi
dengan bawahannya, antara kaum tua dengan kaum muda, dan antara laki-laki dengan
perempuan. Adat istiadat diwaktu itu tidak memperkenankan kaum wanita pergi ke
sekolah. Hal tersebut wanita-wanita Indonesia tidak hanya diam melihat keadaan-
keadaan yang menyedihkan di lingkungannya. Sejak itu timbullah usaha-usaha untuk
mengubah kedudukan wanita Indoesia.
Nasib wanita mulai diperjuangkan agar mendapat perbaikan sepenuhnya. Salah
satu jalan yang ditempuhnya yaitu melalui pendidikan. Kita mungkin sudah mengenal
nama-nama berikut seperti R.A. Kartini yang membuka sekolah bagi kaum wanita, Rd.
Dewi Sartika yang mendirikan sekolah istri, Rohana Kuddus yang merupakan pelopor
emansipasi wanita di Pulau Sumatra dan mendirikan sekolah untuk kaum wanita di Kota
Gedang yang diberi nama Kerajinan Amal Setia.
Dalam makalah ini penulis akan membahas seorang tokoh yang luar biasa dalam
1
sejarahnya yaitu Rahmah El-Yunusiyah yang mendirikan Madrasah Diniyah Putri.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana latar belakang kehidupan Rahmah El-Yunusiyah?
2. Bagaimana pemikiran pendidikan Rahmah El-Yunusiyah?
3. Bagaimana kiprah Rahmah El-Yunusiyah dalam bidang politik?
BAB II
PEMBAHASAN

A. LATAR BELAKANG KEHIDUPAN RAHMAH EL-YUNUSIYAH


Rahmah El-Yunusiyah lahir dari pasangan Moh. Yunus dan Rafiah dari suku
Minang. Ayahnya merupakan seorang ulama besar yang menjabat sebagai kadi di Pandai
Sikek, Tanah Datar. Kakeknya Imanuddin merupakan seorang ahli falaq dan pemimpin
Tarekat Naqsyabandiyah. Sejak kecil Rahmah El-Yunusiyah sudah ditinggalkan ayahnya
dan ia dibesarkan serta diasuh oleh Ibu dan kakak-kakaknya. Lingkungan yang taat
dengan ajaran agama telah membentuk kepribadiannya untuk menjadi seorang yang
sabar dan berpendirian teguh.
Rahmah El-Yunusiyah belajar secara otodidak. Ia belajar dari kakak-kakaknya
Zainuddin Labay dan M. Rasyad. Ketika Zainuddin Labay mendirikan Sekolah
Diniyyah, Rahmah El-Yunusiyah ikut belajar disana. Ia juga belajar kepada Abdul
Karim Amrullah, Tuanku Mudo, dan Abdul Hamid. Disamping belajar agama Rahmah
El-Yunusiyah juga mengikuti kursus ilmu kebidanan di Rumah Sakit Umum Kayutanam.
Rahmah El-Yunusiyah lahir di Padangpanjang pada tanggal 31 Desember 1900
dan dididik oleh kakaknya sendiri sampai tahun 1923 M. dan meninggal di
1
Padangpanjang pada tanggal 26 Februari 1969. Pada tahun 1955 Abdurrahman Taj
(Syekh Jami Al-Azhar) yang berkunjung ke Indonesia menyempatkan diri mengunjungi
Sekolah Diniyyah Putri. Dan sebagai penghargaan ia mengundang Rahmah El-
Yunusiyah ke Universitas Al-Azhar untuk berbagi pengalaman.
Pada tahun 1957 Rahmah El-Yunusiyah menunaikan ibadah haji dan berkunjung
ke Universitas Al-Azhar. Disana ia disambut dengan gelar Syaikhah, gelar agama
tertinggi yang diberikan kepada perempuan.1 Penganugerahan gelar syaikhah ini
dimaksudkan untuk menghormati jasa-jasa beliau dalam bidang pendidikan kaum
perempuan. Sekolah yang didirikannya merupakan sebuah terobosan bagi pendidikan
kaum perempuan ketika itu. Tak lama setelah itu nama Rahmah El-Yunusiyah dan
Diniyyah Putri melambung tinggi. Di Semenanjung Malaysia, Rahmah El-Yunusiyah
diminta keluarga kerajaan untuk mengajar di sekolah kerajaan. Berkat usahanya itu,
negara-negara luar mulai mengenal dan memberikan perhatian kepada Diniyyah Putri.
Banyak sumbangan mengalir dan ia berhasil melakukan modernisasi terhadap
perguruannya.2

1
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES,1996), hlm. 62.
2
Audrey R. Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia,
1926-1998 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 89.
B. PEMIKIRAN PENDIDIKAN RAHMAH EL-YUNUSIYAH
Perempuan, dalam pandangan Rahmah El-Yunusiyah, mempunyai peran penting
dalam kehidupan. Perempuan adalah pendidik anak yang akan mengendalikan jalur
kehidupan mereka selanjutnya. Atas dasar itu, untuk meningkatkan kualitas dan
memperbaiki kedudukan perempuan diperlukan pendidikan khusus kaum perempuan
yang diajarkan oleh kaum perempuan sendiri. Dalam hal ini perlu adanya upaya untuk
meningkatkan kemampuan kaum perempuan, baik di bidang intelektual, kepribadian
ataupun keterampilan.3
Sejak belajar di Diniyah School yang didirikan kakaknya, Zainuddin Labay, pada
tanggal 10 Oktober 1915, Rahmah banyak memperoleh pengetahuan praktis yang
berkenaan dengan pergaulan, terutama pergaulan antara murid-murid perempuan dan
laki-laki serta watak manusia yang beragam. Ia dapat bertukar pikiran dengan mereka
baik mengenai hukum Islam, sosial, budaya dan pergaulan (muamalah). Dari pengenalan
berbagai macam watak manusia ini ia mulai menyadari dirinya dan keadaan masyarakat
lingkungannya, terutama masyarakat wanita, yaitu mereka yang tidak memperoleh
kesempatan menuntut ilmu sebagaimana yang dialaminya.4
Selama ia menjadi siswa Diniyah School, ia dapat menuntut ilmu dengan baik
1
dan dengan kecerdasannya Rahmah mendorong dirinya untuk bersikap kritis, ia tidak
puas dengan sistem koedukasi pada Diniyah School yang kurang memberikan penjelasan
terbuka kepada siswa puteri mengenai persoalan khusus perempuan. Rasa ketidak-
puasannya ini dibicarakan dengan tiga temannya sesama wanita (Rasuna Said, Nanisah
dan Jawana Basyir), untuk kemudian bersepakat untuk membentuk kelompok belajar.
Rahmah mengajak ketiga temannya ini untuk menambah ilmu agama secara mendalam
di luar perguruan di antaranya di Surau Jembatan Besi.
Bagi Rahmah pengajian dan pelajaran yang diterimanya di surau ini pun belum
memuaskan hatinya, karena banyak masalah-masalah yang berkaitan dengan wanita
yang ditanyakannya tidak memperoleh jawaban yang memuaskan sebagaimana yang
dialaminya di Diniyah School. Karena itu Rahmah akhirnya meminta kepada Syekh
Abdul Karim Amrullah untuk berkenan memberikan pengajian secara privat di
rumahnya di Gatangan. Di sini ia memperdalam pengajian mengenai masalah agama dan
wanita, di samping itu juga ia mempelajari bahasa Arab, fiqih dan ushul fiqih. Ia baru
merasakan adanya kepuasan dan telah menemukan apa yang dicarinya selama ini.5
3
Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah Dan Perjuangan Kaum Agama di
Sumatera (Jakarta: Ummida, 1982), hlm. 245
4
Hamruni, Pendidikan Perempuan Dalam Pemikiran Rahmah El-Yunusiyah.pdf
5
Ibid.,
Demikianlah dilihat dari usaha Rahmah menuntut ilmu, nampak bahwa hal
tersebut merupakan perwujudan dari ketidak-puasannya terhadap pengetahuan yang
diperolehnya dalam masalah kewanitaan. Anak-anak perempuan dan perempuan dewasa
mungkin saja mendapat dorongan untuk mengaji Al-Qur’an dan sholat; tetapi tidak
seperti kaum laki-laki, mereka memiliki sedikit peluang untuk dapat melek aksara
Melayu (yang menjadi bahasa nasional Indonesia) atau Belanda (sebagai bahasa
pendidikan modern). Rahmah El-Yunusiyah percaya bahwa kaum perempuan
membutuhkan model pendidikan tersendiri yang terpisah dari laki-laki, karena ajaran
Islam memberikan perhatian khusus kepada watak dan peran kaum perempuan dan
mereka membutuhkan lingkungan pendidikan tersendiri di mana topik-topik ini bisa
dibicarakan secara bebas.6
Cita-cita pendidikan Rahmah tersebut kemudian diwujudkannya dengan
mendirikan sekolah agama khusus untuk perempuan yang pertama di Sumatera, bahkan
di Indonesia, yang diberi nama Meisjes Diniyah School, yang kemudian dikenal dengan
nama Sekolah Diniyah Putri pada 1923. Melalui lembaga pendidikan ini Rahmah,
memperluas misi kaum modernis untuk menyediakan sarana pendidikan bagi kaum
perempuan yang akan menyiapkan mereka menjadi warga yang produktif dan muslim
yang baik. Ia menciptakan wacana baru di Minangkabau dan meletakkan tradisi baru
1
dalam pendidikan bagi kaum perempuan di kepulauan Indonesia.7

C. SEKOLAH DINIYAH PUTRI


Dibantu oleh Zainuddin Labay, Rahmah mengelola Sekolah Diniyah Putri yang
pada permulaan berdirinya hanya memiliki 71 orang murid yang sebagian besar adalah
wanita berumah-tangga dengan jumlah guru hanya empat orang, yaitu Rahmah El
Yunusiyyah sendiri yang merangkap sebagai pimpinan perguruan, Darwisah, Nanisah,
dan Jawana Basyir. Tempat belajarnya berada di salah satu ruangan di Masjid Pasar
Usang, Padangpanjang. Proses pendidikan dimulai dengan fasilitas dan metode
sederhana sekali, yaitu murid-murid duduk di lantai sambil mengelilingi guru. Ini yang
disebut sistem halaqah. Kurikulum dan materi pelajaran adalah pengetahuan umum dan
bahasa Arab ditambah dengan keterampilan praktis, seperti menjahit.8 2 tahun kemudian
Sekolah Diniyah Putri pindah ke tempat barunya di sebuah rumah bertingkat di kawasan

6
Mark R. Woodward, Jalan Baru Islam Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia
(Bandung: Mizan, 1998), hlm. 216
7
http://syafieh.blogspot.com/2013/02/pemikiran-pendidikan-rahmah-el-
yunusia.html#ixzz46Rv4Xt51, diakses pada tanggal 22 April 2016
8
Ari Febrianto, Rahmah el Yunusiyyah (1900-1969): Wanita Pejuang dan Pendidik dari Ranah
Minang.pdf
Pasar Usang. Rahmah pun menambah perlengkapan sekolah dengan bangku, meja, dan
papan tulis.
Perguruan ini kemudian kian menarik perhatian. Banyak berdatangan murid-
murid dari luar Padangpanjang menimba ilmu di sana. Kemajuan pesat yang dialami
oleh perguruan ini, menimbulkan gagasan baru untuk mendirikan suatu gedung sekolah
lengkap dengan peralatan sebagai lembaga perguruan modern berikut asramanya. Namun
demikian, perjalanan yang ditempuh Rahmah dalam mengembangkan Sekolah Diniyah
Putri tidak selalu mudah. Tantangan pertama yang harus dihadapi Rahmah adalah
wafatnya orang yang selama ini menjadi tulang punggung dan penyemangat baginya,
yakni Zainuddin Labay. Kakaknya itu wafat 10 Juli 1924. Gempa bumi besar yang
melanda Padangpanjang tahun 1926, juga menjadi tantangan tersulit. Pada tahun 1927
digerakkanlah usaha mengumpulkan dana. Untuk maksud ini berangkatlah Rahmah ke
Aceh dan Sumatera utara. Di daerah ini, uang yang diperolehnya dalam perjalanannya
selama tiga bulan adalah 1.569 gulden. Inilah modal pembangunan gedung baru Sekolah
Diniyah Putri. Gedung ini baru diresmikan pada pertengahan bulan Agustus 1929.9
Berkat kegigihan Rahmah, lembaga pendidikannya mengalami perkembangan
yang sangat pesat.  Di tahun 1926 ia membuka kelas ‘Menjesal School’. Kelas ini khusus
ditujukan untuk ibu-ibu rumah-tangga yang tidak mendapatkan kesempatan belajar dan
1
tidak bisa baca tulis. Kemudian tahun 1934 Rahmah berhasil mendirikan Freubel School
(Taman Kanak Kanak) dan Junior School (setingkat HIS). Ia juga mendirikan Diniyah
School Putri 7 tahun secara berjenjang dari tingkat Ibditaiyah selama empat  tahun dan
tingkat Tsanawiyah selama tiga tahun.10
Rahmah El-Yunusiyah mengutamakan bidang pendidikan di atas kepentingan
lainnya, meskipun di kemudian hari ia juga berkiprah di dunia politik. Atas dasar ini ia
menempatkan sekolah secara independen, bebas dari afiliasi dengan ormas atau
organisasi politik manapun. Independensi sekolah ini ditunjukkan Rahmah ketika dia
menolak upaya penggabungan sekolah-sekolah Islam di Minangkabau oleh Mahmud
Yunus. Seperti diketahui, pada tahun 1930-an ini pembaharuan sekolah agama
berkembang pesat, namun tidak ada keseragaman program atau buku standar yang
digunakan. Melihat keadan ini Mahmud Yunus alumni Universitas Cairo yang saat itu
menjadi Direktur Normal School, ingin menerapkan konsep pembaharuan pendidikannya
dan memprakarsai pembentukan Panitia Islah al-Madaris al- Islamiyah Sumatera Barat.
Namun Rahmah tetap teguh pada pendirian independensi sekolahnya, maka ia menolak

9
Ibid,.
10
Jajat Burhanuddin dan Oman Fathurrahman, Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 19
keras ide itu. Menurutnya, lebih baik memelihara satu saja tapi terawat daripada
bergabung tapi porak poranda.11
Berhadapan dengan politik kolonialisme pemerintahan Belanda, Rahmah
memilih sikap nonkooperatif dalam memperjuangkan kelangsungan sekolah yang
dipimpinnya. Atas dasar sikap ini, ia menolak bekerja sama dengan Belanda termasuk
dalam hal pemberian subsidi yang berulangkali ditawarkan. Subsidi pemerintah kolonial
akan membuat dirinya terikat, dan mengakibatkan keleluasan pemerintah kolonial
mempengaruhi pengelolaan program pendidikan Sekolah Diniyah Putri ini. Kondisi
seperti itu telah di alami Adabiyah School yang pada tahun 1915 menerima subsidi
pemerintah kolonial. Dengan tegas dan bijaksana Rahmah menyatakan bahwa
perguruannya akan berusaha dengan kekuatan sendiri menanggulangi berbagai kesulitan
yang dihadapi. Independensi sekolah ini sangat dikhawatirkan oleh pemerintah kalau di
kemudian hari akan melahirkan tokoh-tokoh pejuang yang militan, sebagaimana yang
pernah dilakukan surau-surau dalam mencetak tokoh-tokoh pembaharu dan pejuang
perang paderi.12

D. KIPRAH RAHMAH EL-YUNUSIYAH DALAM BIDANG POLITIK


Rahmah ternyata tidak hanya menjadi pelopor dalam pendidikan bagi kaumnya,
1
tapi juga menjadi bagian dari dunia politik, terbukti dengan keterlibatannya dalam
kancah perpolitikan di masa kolonial dan merdeka. Jika politik diartikan secara luas,
maka saat pendirian dan pengembangan Sekolah Diniyah Putri saja Rahmah sudah harus
berpolitik, seperti terlihat saat ia menolak tawaran pemerintah Belanda membantu
Diniyah Putri. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Rahmah bersama beberapa
perempuan lainnya di Sumatera Tengah mendirikan Anggota Daerah Ibu (ADI) yang
bertujuan menentang pemerintah Jepang mempergunakan perempuan-perempuan lokal
untuk dijadikan wanita penghibur tentara Jepang. Selain itu, Rahmah juga menjadi ketua
Haha Nokai atau “Organisasi Kaum Ibu” dari Gyugun Ko EnKai di Sumatera Tengah di
Padangpanjang13 yang didirikan untuk membantu para pemuda Indonesia yang berada
dalam pasukan Gyugun agar dapat dijadikan alat perjuangan bangsa.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 oleh
Sukarno-Hatta, Rahmah pun segera mengibarkan bendera Merah Putih di halaman
perguruannya. Dialah orang pertama di Padangpanjang yang mengibarkan bendera
11
http://syafieh.blogspot.com/2013/02/pemikiran-pendidikan-rahmah-el-
yunusia.html#ixzz46Rv4Xt51, diakses pada tanggal 22 April 2016
12
Ibid.,
13
Aminuddin Rasyad dkk, H. Rahmah El-Yunusiyyah dan Zainuddin Labay El-Yunusy: Dua
Tokoh Bersaudara Tokoh Pembaharu Sistem Pendidikan di Indonesia Riwayat Hidup, Cita-Cita, dan
Perjuangannya (Jakarta: Pengurus Perguruan Diniyyah Puteri Perwakilan Jakarta,1991), hlm. 60
Merah Putih saat itu yang kemudian menjalar ke seluruh pelosok kota dan sekitarnya.
Pada 2 Oktober 1945, Rahmah mempelopori berdirinya Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) di Padangpanjang dengan mengumpulkan laskar Gyugun. Pembentukan TKR
dengan biayanya sendiri. Sementara semua kebutuhan TKR disediakan oleh para ibu
yang pernah tergabung dalam Haha Nokai, sehingga gelar yang diberikan masyarakat
adalah “Bundo Kanduang” dari barisan perjuangan.
Pada awal 1949 terjadi Agresi Belanda II, Rahmah dan tentara RI melakukan
gerilya dengan mendirikan dapur umum. Tetapi, pada 7 Januari 1949, ia dapat ditangkap
Belanda dan dibawa ke Padang. Di kota ini ia ditahan dalam rumah seorang pejabat
kepolisian Belanda dengan mendapat penjagaan ketat. Rahmah tidak pernah diproses
verbal atau diinterogasi. Ia baru meninggalkan Padang setelah diizinkan Belanda untuk
menghadiri Konggres Pendidikan Antar Indonesia di Yogyakarta bulan Oktober 1949
dan dari sana langsung pulang ke Padangpanjang. Pada 1952-1954 ia menjadi anggota
Dewan Pimpinan Pusat Masyumi di Jakarta, dan terpilih sebagai anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Sementara (1955-1958).14 Pada 1958 itu ia berseberangan dengan
Presiden Soekarno yang kala itu lebih condong kepada PKI. Itu sebabnya ia kembali ke
dunia pendidikan dengan meningkatkan kualitas Diniyah School Putri.

14
Mestika Zed dkk, Sumatera Barat di Panggung Sejarah 1945-1995 (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1998), hlm. 133.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas, dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu:
- Latar Belakang Kehidupan Rahmah El-Yunusiyah
Rahmah El-Yunusiyah lahir dari pasangan Moh. Yunus dan Rafiah dari suku
Minang. Ayahnya merupakan seorang ulama besar yang menjabat sebagai kadi di
Pandai Sikek, Tanah Datar. Kakeknya Imanuddin merupakan seorang ahli falaq
dan pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah. Lingkungan yang taat dengan ajaran
agama telah membentuk kepribadiannya untuk menjadi seorang yang sabar dan
berpendirian teguh. Rahmah El-Yunusiyah lahir di Padangpanjang pada tanggal
31 Desember 1900 dan dididik oleh kakaknya sendiri sampai tahun 1923 M. dan
meninggal di Padangpanjang pada tanggal 26 Februari 1969.

- Pemikiran Pendidikan Rahmah El-Yunusiyah


Perempuan, dalam pandangan Rahmah El-Yunusiyah, mempunyai peran
penting dalam kehidupan. Perempuan adalah pendidik anak yang akan
1
mengendalikan jalur kehidupan mereka selanjutnya. Atas dasar itu, dalam hal ini
perlu adanya upaya untuk meningkatkan kemampuan kaum perempuan, baik di
bidang intelektual, kepribadian ataupun keterampilan. Rahmah El-Yunusiyah
percaya bahwa kaum perempuan membutuhkan model pendidikan tersendiri yang
terpisah dari laki-laki, karena ajaran Islam memberikan perhatian khusus kepada
watak dan peran kaum perempuan dan mereka membutuhkan lingkungan
pendidikan tersendiri di mana topik-topik ini bisa dibicarakan secara bebas.

- Kiprah Rahmah El-Yunusiyah dalam bidang Politik


 Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Rahmah bersama beberapa
perempuan lainnya di Sumatera Tengah mendirikan Anggota Daerah Ibu
(ADI).
 menjadi ketua Haha Nokai atau “Organisasi Kaum Ibu” dari Gyugun Ko
EnKai di Sumatera Tengah di Padangpanjang.
 Pada 1952-1954 ia menjadi anggota Dewan Pimpinan Pusat Masyumi di
Jakarta, dan terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara
(1955-1958)
DAFTAR PUSTAKA

Burhanuddin, Jajat dan Oman Fathurrahman. 2004. Tentang Perempuan Islam:


Wacana dan Gerakan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Febrianto, Ari. Rahmah el Yunusiyyah (1900-1969): Wanita Pejuang dan Pendidik
dari Ranah Minang.pdf
Hamka. 1982. Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah Dan
Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Jakarta: Ummida.
Hamruni. Pendidikan Perempuan Dalam Pemikiran Rahmah El-Yunusiyah.pdf
Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta: Rajawali Press.
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900 – 1942. Jakarta:
LP3ES.
Kahin, Audrey R. 2005. Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan
Politik Indonesia, 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Zed, Mestika dkk. 1998. Sumatera Barat di Panggung Sejarah 1945-1995. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.

1
Internet
http://syafieh.blogspot.com/2013/02/pemikiran-pendidikan-rahmah-el-
yunusia.html#ixzz46Rv4Xt51, diakses pada tanggal 22 April 2016

Anda mungkin juga menyukai