Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

TINJAUAN SOSIOLOGIS TENTANG POLA PENDIDIKAN DAN


KEPEMIMPINAN PONDOK PESANTREN

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah: Sosiologi Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Siti Umroh Amrillah, M.Pd.I.

Oleh: Kelompok 9
Muh. Zainul Hamdi (2201010194)
Nia Patmalasari (2201010233)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI NW LOMBOK TIMUR
TA. 2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT., atas rahmat dan karunia-Nya kami
masih diberikan kesehatan dan kesempatan sehingga dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Tinjauan Sosiologis Tentang Pola Pendidikan dan Kepemimpinan Pondok
Pesantren”.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW., yang telah diutus oleh Allah SWT., untuk mengadakan sebuah reformasi dengan misi
pencerahan didalam kehidupan manusia sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Sosiologi Pendidikan
Islam. Semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dalam ilmu
pengetahuan. Dan tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada dosen pengampu Ibu Siti
Umroh Amrillah, M.Pd.I., yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah memberikan kontribusinya
dalam pembuatan makalah kali ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa tugas ini masih jauh dari kata sempurna, karena
masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, kami
meminta maaf dan mengharapkan kritik serta saran yang membangun untuk perbaikan dan
penyempurnaan kedepannya. Akhir kata kami mengucapkan selamat membaca dan semoga
bermanfaat.

Ttd

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER.............................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................4
A. Latar Belakang......................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................4
C. Tujuan...................................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................5
A. Pengertian Pondok Pesantren...............................................................................................5
B. Karakteristik Pondok Pesantren............................................................................................5
C. Pola Pendidikan dan Kepemimpinan Pondok Pesantren......................................................6
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................14
A. Kesimpulan.........................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di masa sekarang ini, kemajuan sebuah negara sangat dipengaruhi oleh maju tidaknya
dunia pendidikan. Dalam sebuah lembaga pendidikan, khususnya dalam lembaga pendidikan
Islam mempunyai beberapa unsur, dan manusia merupakan unsur terpenting. Untuk itu bisa
dikatakan bahwa sukses tidaknya sebuah pendidikan tergantung bagaimana kemampuan
pemimpinnya dalam mengorganisasikan suatu lembaga. Oleh karena itu dibutuhkan kerja
sama yang bisa menggerakkan sumber daya yang ada, sehingga tujuan yang hendak dicapai
akan berjalan secara efektif dan efisien. Dalam suatu kelompok organisasi dapat dipastikan
pasti ada yang namanya seorang pemimpin. Kaitannya dengan pesantren, Kiai sebagaimana
yang kita ketahui merupakan senter utama berdirinya pondok pesantren, tidak ada pesantren
tanpa Kiai. Pesantren merupakan sebuah lembaga dan sistem pendidikan Islam tertua di
Indonesia yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Dan makalah ini akan membahas
mengenai pengertian, karakteristik, serta macam-macam pola pendidikan dan kepemimpinan
pondok pesantren.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pondok pesantren?
2. Apa saja karakteristik dari pondok pesantren?
3. Bagaimana pola pendidikan dan kepemimpinan yang ada di pondok pesantren?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian pondok pesantren.
2. Mengetahui karakteristik pondok pesantren.
3. Memahami pola pendidikan dan kepemimpinan pondok pesantran.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pondok Pesantren


Pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri. “Kata santri
berasal dari kata cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berarti orang yang
selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam
sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Istilah santri juga ada dalam bahasa Tamil, yang
berarti guru mengaji”.1 Pondok pesantren adalah “sebuah lembaga pendidikan dan
pengembangan agama Islam di Indonesia. Pondok pesantren yang pertama adalah pondok
pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maghribi”.2
Syekh Maulana Malik Ibrahim dikenal juga dengan nama Sunan Gresik, beliau orang
pertama dari sembilan wali yang terkenal dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa.
“Tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan mengembangkan pondok pesantren dalam
arti yang sesungguhnya adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel). Ia mendirikan pesantren
Kembang Kuning, yang pada waktu didirikan hanya memiliki tiga santri, yaitu Wiryo
Suroso, Abu Hurairoh dan Kyai Kembang Kuning. Kemudian ia pindah ke Ampel Denta,
Surabaya, dan mendirikan pondok pesantren di sana”.3
Pondok pesantren memang dari semula adalah sebuah lembaga pendidikan yang
khusus untuk mempelajari agama Islam, selain dari itu, pondok pesantren juga menjadi
sarana dakwah para penyebar agama Islam ketika masa awal kedatangan Islam di Indonesia.
Seiring perkembangan zaman, model pondok pesantren juga turut berubah, beberapa jenis
pondok pesantren yang ada hingga sekarang juga bermacam-macam.

B. Karakteristik Pondok Pesantren


Dalam operasionalnya pesantren memiliki nilai-nilai pokok yang tidak dimiliki oleh
lembaga lain: pertama, adalah cara pandang kehidupan yang utuh (kaffah) maksudnya
adalah sebagai ibadah; kedua, menuntut ilmu tidak berkesudahan (long life education) yang
1
Salman Risa, “Pengertian Pondok Pesantren”, dalam, http://www.tsalmans.blogspot.com
/2010/05/pengertian-pondok-pesantren.html, diakses pada Senin 30 Oktober 2023.
2
Salman Risa, ‘Pengertian Pondok Pesantren’, diakses pada Senin 30 Oktober 2023.
3
Tim, ‘Perkembangan Pondok Pesantren’, dalam, http:// www. nabilhusein. com / index. php?
option=com_content&view=article & id=59&itemid=37, diakses pada Senin 30 Oktober 2023.

5
kemudian diamalkan. Ilmu dan ibadah menjadi identik baginya yang dengan sendirinya akan
muncul kecintaan yang mendalam pada ilmu pengetahuan sebagai nilai utama; ketiga,
keikhlasan bekerja untuk tujuan bersama; keempat, sistem pondok pesantren mengutamakan
martabat, idealisme, persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri dan keberanian.
Disisi lain, terdapat pondok tempat Kiai bersama santrinya. Pondok pesantren juga
tumbuh dan berkembang dengan sendirinya dalam masyarakat karena dihadapkan dengan
makna politis dan kultural yang menggambarkan sikap ulama-ulama Islam sepanjang sejarah.

C. Pola Pendidikan dan Kepemimpinan Pondok Pesantren


1. Pola Pendidikan
Ciri-ciri dan pola pendidikan pondok pesantren di Indonesia sebagai lembaga
pendidikan Islam, yaitu:4
a. Menggunakan sistem tradisional yang mempunyai kebebasan penuh dibandingkan
dengan sekolah modern sehingga menimbulkan hubungan dua arah antara santri
dengan ustadz.
b. Kehidupan di sekolah menunjukkan kerukunan demokrasi karena praktis bersinergi
dalam mengatasi masalah nonkurikuler.
c. Sistem pesantren yang diutamakan adalah kesederhanaan, idealisme , persaudaraan,
kesetaraan, percaya diri dan keberanian.
Disisi lain, terdapat masjid tempat kegiatan belajar-mengajar serta adanya santri
dan para ustdaz yang merupakan tokoh sentral dalam pesantren yang memberikan
pengajaran dan kitab-kitab Islam klasik.

2. Pola Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah perilaku yang disengaja dijalankan oleh seseorang
terhadap orang lain untuk menstruktur aktifitas serta hubungan di dalam sebuah
kelompok, organisasi atau lembaga pendidikan.

4
Ferdinan M, ‘Pondok Pesantren dan Ciri Khas Perkembangannya’, dalam,
https:/journal.unismuh.ac.id/index.php/tarbawi/article/view/348/0#:~:text=Karakteristik%20dan%20corak
%20pesantren%20di,menampilkan%20semangat%20demokrasi%20karena%20merdeka, diakses pada Selasa 11
November 2023.

6
Selanjutnya, kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang berarti bimbing dan
tuntun, misalnya orang buta datang dipimpin. Maksudnya orang buta datang dituntun.
Selain itu pimpin juga berarti menunjukan jalan, mengetuai atau mengepalai (rapat,
perserikatan dan sebagainya) serta melatih (mendidik, mengajari dan sebagainya) supaya
akhirnya dapat mengerjakan sendiri. Selanjutnya kosa kata pimpin mendapatkan awal
“ke” dan akhiran “an”, sehingga menjadi kepemimpinan. Namun di dalam Kamus Bahasa
Indonesia kata pimpinan tersebut tidak dikembangkan menjadi kata kepemimpinan,
sehingga tidak ada penjelasannya. Kata kepemimpinan selanjutnya merupakan
terjemahan dari kosakata bahasa Inggris, leadership. Dalam bahasa Arab kosakata yang
dekat dengan kosakata kepemimpinan adalah al-imamiyah, ra’iyah, sulthaniyah, al-
khilafah dan al-mulkiyah, yang secara harfiah berarti orang yang berada di barisan depan,
yang mengasuh, yang mengepalai, yang menjadi khalifah dan yang menjadi raja.
Dalam dunia pesantren pemimpin atau yang memiliki kedudukan tertinggi di
pondok yaitu Kiai. Kiai merupakan elemen paling esensial dari suatu pesantren. Menurut
asal-usulnya, perkataan Kiai dipakai untuk ketiga jenis gelar yang saling berbeda:
pertama, yaitu sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat;
umpanya, “Kiai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang ada di
Keraton Yogyakarta. Kedua, sebagai gelar kehormatan untuk orang yang dijadikan
sebagai contoh atau panutan dalam masyarakat. Ketiga, sebagi gelar agama yang
diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi
pemimpin pesantren dan mengajarkan kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya. Ia
juga sering disebut seorang alim (orang yang dalam pengetahuan Islamnya).5
Dalam hal pendidikan, baik yang menyangkut format kelembagaan, kurikulum
dan metode yang diterapkan tidak lepas dari kebijakan Kiai. Segala aspek policy
pendidikan maupun manajerial, pihak lain hanyalah sebagai pelengkap. Ketika terjadi
perbedaan pendapat antara santri dan Kiai, belum pernah dalam sejarah kepesantrenan
para santri mengalahkan kehendak Kiai. Profil kepemimpinan Kiai yang kharismatik
akan menimbulkan sikap otoriter dan berkuasa mutlak diramalkan tidak mampu bertahan
lama. Kaderisasinya hanya terbatas keturunan, sebab tidak semua putra Kiai memiliki

5
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan
Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011). hlm. 93.

7
kapasitas, orientasi dan kecenderungan yang sama dengan sang ayah, karenanya tidak
sedikit putra Kiai yang lari ke jalur umum.
Keahlian seseorang untuk merencanakan, mengorganisasikan dan menggerakkan
atau memobilisasi kekuatan yang ada tidak pernah dijadikan alternatif pertama dalam
memimpin pesantren. Sebaliknya, pertimbangan yang dikedepankan adalah kesalihan.
Berikut jenis pola kepemimpinan Kiai di pesantren secara umum terdapat beberapa
macam, diantaranya adalah:
a. Kepemimpinan Individual
Pola kepemimpinan individual ini masih banyak melekat pada Kiai di
pesantren, sehingga kesan bahwa pesantren adalah milik pribadi Kiai. Dimikian juga
eksistensi Kiai sebagai pemimpin pesantren, ditinjau dari tugas dan fungsinya, dapat
dipandang sebagai sebuah fenomena yang unik. Di katakan unik karena Kiai sebagai
pemimpin sebuah lembaga pendidikan Islam tidak sekedar bertugas menyusun
kurikulum, membuat peraturan atau tata tertib, merancang sistem evaluasi, sekaligus
melaksanakan proses belajar-mengajar yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama di
lembaga yang diasuhnya, melainkan pula sebagai pembina dan pendidik umat serta
menjadi pemimpin masyarakat.6
Peran yang begitu sentral yang dilaksanakan oleh Kiai seorang diri
menjadikan pesantren sulit berkembang. Perkembangan atau besar tidaknya pesantren
semacam ini sangat ditentukan oleh kekarismaan Kiai pengasuh. Dengan kata lain,
semakin karismatik Kiai (pengasuh), semakin banyak masyarakat yang akan
berduyun-duyun untuk belajar bahkan hanya untuk mencari barakah dari Kiai tersebut
dan pesantren tersebut akan lebih besar dan berkembang pesat.
Kepemimpinan individual Kiai inilah yang sesungguhnya mewarnai pola
relasi dikalangan pesantren dan telah berlangsung dalam rentang waktu yang lama,
sejak pesantren berdiri pertama hingga sekarang dalam kebanyakan kasus. Lantaran
kepemimpinan individual Kiai itu pula, kokoh kesan bahwa pesantren adalah milik
pribadi kiai. Karena pesantren tersebut milik pribadi kiai, kepemimpinan yang
dijalankan adalah kepemimpinan individual.7

6
Imron Arifin, Kepemimpinan Kiai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, (Malang: Kalimasada Press, 1993).
hlm. 45.

8
Dengan kepemimpinan semacam itu, pesantren terkesan eksklusif. Tidak ada
celah yang longgar bagi masuknya pemikiran atau usulan dari luar walaupun untuk
kebaikan dan pengembangan pesantren karena hal itu wewenang mutlak Kiai. Hal
seperti itu biasanya masih berlangsung di pesantren salaf.
Model kepemimpinan tersebut memengaruhi eksistensi pesantren. Bahkan
belakangan ada pesantren yang dilanda masalah kepemimpinan ketika ditinggal oleh
kiai pendirinya. Hal itu disebabkan tidak adanya anak Kiai yang mampu meneruskan
kepemimpinan pesantren yang ditinggalkan ayahnya baik dari segi penguasaan ilmu
keislaman maupun pengelolaan kelembagaan. Karena itu, kesinambungan pesantren
menjadi terancam.
Krisis kepemimpinan juga bisa terjadi ketika kiai terjun ke dalam partai
politik praktis. Kesibukannya di politik akan menurunkan perhatiannya terhadap
pesantren dan tugas utamanya sebagai pembimbing santri terabaikan, sehingga
kelangsungan aktivitas pesantren menjadi terbengkalai. Adapun pergantian
kepemimpinan di pesantren dilaksanakan apabila Kiai yang menjadi pengasuh utama
meninggal dunia. Jadi Kiai adalah pemimpin pesantren seumur hidup. Apabila Kiai
sudah meninggal, estafet kepemimpinan biasanya dilanjutkan oleh adik tertua dan
kalau tidak mempunyai adik atau saudara, biasanya kepemimpinan langsung
digantikan oleh putra Kiai. Biasanya Kiai mengkader putra-putranya untuk
meneruskan kepemimpinannya. Namun, jika kaderisasi itu gagal, biasanya yang
melanjutkan adalah menantu yang paling pandai atau menjodohkan putrinya dengan
putra Kiai lain. Jadi tidak ada peluang masuknya orang luar menjadi pemimpin
pesantren tanpa memasuki jalur feodalisme Kiai.
Dengan demikian, jelas bahwa posisi kepemimpinan Kiai adalah posisi yang
sangat menentukan kebijaksanaan di semua segi kehidupan pesantren, sehingga
cenderung menumbuhkan otoritas mutlak, yang pada hakikatnya justru berakibat
fatal. Namun profil Kiai di atas pada umumnya hanyalah terbatas pada Kiai pengasuh
pesantren tradisional yang memegang wewenang (otoritas) mutlak dan tidak boleh
diganggu gugat oleh pihak manapun. Sedangkan Kiai di pesantren khalaf ataupun
modern tidaklah sedemikian otoriter.
7
M. Dawan Rahardjo, Pergumulan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985). hlm.
114.

9
b. Kepemimpinan Kolektif
Kepemimpinan kolektif sebagaimana disebutkan di atas, kepemimpinan Kiai
yang karismatik cenderung individual dan memunculkan timbulnya sikap otoriter
mutlak Kiai. Otoritas mutlak tersebut kurang baik bagi kelangsungan hidup pesantren,
terutama dalam hal suksesi kepemimpinan. Kaderisasi hanya terbatas keturunan dan
saudara, menyebabkan tidak adanya kesiapan menerima tongkat estafet
kepemimpinan ayahnya. Oleh karena itu, tidak semua putra Kiai mempunyai
kemampuan, orientasi, dan kecenderungan yang sama dengan ayahnya. Selain itu,
pihak luar sulit sekali untuk bisa menembus kalangan elite kepemimpinan pesantren,
maksimal mereka hanya bisa menjadi menantu Kiai. Padahal menantu kebanyakan
tidak berani untuk maju memimpin pesantren kalau masih ada anak atau saudara Kiai,
walaupun dia lebih siap dari segi kompetensi maupun kepribadiannya. Akhirnya
sering terjadi pesantren yang semula maju dan tersohor, tiba-tiba kehilangan pamor
bahkan mati lantaran Kiainya meninggal.
Akibat fatal dari kepemimpinan individual tersebut menyadarkan sebagian
pengasuh pesantren, Kementerian Agama, di samping masyarakat sekitar. Mereka
berusaha menawarkan solusi terbaik guna menanggulangi musibah kematian
pesantren. Kementerian Agama pernah mengintroduksi bentuk yayasan sebagai badan
hukum pesantren, meskipun jauh sebelum dilontarkan, beberapa pesantren sudah
menerapkannya. Pelembagaan semacam itu mendorong pesantren menjadi organisasi
impersonal. Pembagian wewenang dalam tatalaksana kepengurusan diatur secara
fungsional, sehingga akhirnya semua itu harus diwadahi dan digerakkan menurut tata
aturan manajemen modern.
Kepemimpinan kolektif dapat diartikan sebagai proses kepemimpinan
kolaborasi yang saling menguntungkan, yang memungkinkan seluruh elemen sebuah
institusi turut ambil bagian dalam membangun sebuah kesepakatan yang
mengakomodasi tujuan semua. Kolaborasi yang dimaksud bukan hanya berarti
“setiap orang” dapat menyelesaikan tugasnya, melainkan yang terpenting adalah

10
semua dilakukan dalam suasana kebersamaan dan saling mendukung (al-jam’iyah al
murassalah atau collegiality and supportiveness).8
Model kepemimpinan kolektif atau yayasan tersebut menjadi solusi strategis.
Beban Kiai menjadi lebih ringan karena ditangani bersama sesuai dengan tugas
masing-masing. Kiai juga tidak terlalu menanggung beban moral tentang kelanjutan
pesantren di masa depan.
Namun demikian, tidak semua Kiai pesantren merespons positif solusi
tersebut. Mereka lebih mampu mengungkapkan kelemahan-kelemahan yang mungkin
timbul disbanding kelebihannya. Keberadaan yayasan dipahami sebagai upaya
menggoyahkan kepemimpinan Kiai. Padahal, keberadaan yayasan justru ingin
meringankan beban, baik akademik maupun moral. Kecenderungan untuk
membentuk yayasan ternyata hanya diminati pesantren-pesantren yang tergolong
modern, belum berhasil memikat pesantren tradisiona. Kiai pesantren tradisional
cenderung lebih otoriter daripada Kiai pesantren modern.9
Pesantren memang sedang melakukan konsolidasi organisasi kelembagaan,
khususnya pada aspek kepemimpinan dan manajemen. Secara tradisional,
kepemimpinan pesantren dipegang oleh satu atau dua Kiai, yang biasanya merupakan
pendiri pesantren yang bersangkutan. Tetapi karena diversifikasi pendidikan yang
diselenggarakan, kepemimpinan tunggal Kiai tidak memadai lagi. Banyak pesantren
kemudian mengembangkan kelembagaan yayasan yang pada dasarnya merupakan
kepemimpinan kolektif.
Konsekuensi dan pelembagaan yayasan itu adalah perubahan otoritas Kiai
yang semula bersifat mutlak menjadi tidak mutlak lagi, melainkan bersifat kolektif
ditangani bersama menurut pembagian tugas masing-masing individu, kendati peran
Kiai masih dominan. Ketentuan yang menyangkut kebijaksanaan-kebijaksanaan
pendidikan merupakan consensus semua pihak. Yayasan memiliki peran yang cukup
besar dalam pembagian tugas yang terkait dengan kelangsungan pendidikan
pesantren. Perubahan dan kepemimpinan individual menuju kepemimpinan kolektif

8
Amin Hadari dan M. Ishom El Saha, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madasah Diniyah,
(Jakarta: Diva Pustaka, 2004). hlm. 22.
9
Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, (Jakarta: Erlangga,
2004). hlm.45

11
akan sangat berpengaruh terhadap hubungan pesantren dan masyarakat. Semula
hubungan bersifat patron klien, yakni seorang kiai dengan karisma besar berhubungan
dengan masyarakat luas yang menghormatinya. Sekarang hubungan semacam itu
semakin menipis. Justru yang berkembang adalah hubungan kelembagaan antara
pesantren dengan masyarakat.

c. Kepemimpinan Demokratis
Bergesernya pola kepemimpinan individual ke kolektif yayasan membawa
perubahan yang mestinya tidak kecil. Perubahan tersebut menyangkut kewenangan
Kiai serta partisipasi para ustadzah dan santri. Nuansa baru semakin menguatnya
partisipasi ustadz berdampak timbulnya sistem demokrasi dalam pesantren, meskipun
permasalahannya tidak sederhana relasi sosial Kiai-santri dibangun atas landasan
kepercayaan. Ketaatan santri pada Kiai disebabkan mengharapkan barokah (grace),
sebagaimana dipahami dari konsep sufi.
Kepemimpinan Kiai secara demokratis merupakan gaya kepemimpinan yang
didasari prinsip saling menghormati dan saling menghargai antar manusia.
Maksudnya dalam pemilihan pemimpin pendapat yang dikemukakan setiap orang
patut dihargai dan dihormati. Maka dari itu tiap orang berhak ikut serta dalam
pemilihan pemimpin dengan mengemukakan pendapat masing-masing yang
kemudian dimusyawarahkan. Dalam pemilihan pemimpin tentunya harus sesuai
dengan kriteria yang disepakati. Seorang pemimpin dalam sebuah lembaga harus
dapat bertanggung jawab atas lembaga yang dipimpinnya serta dapat memberikan
motivasi kepada para anggota agar tugas yang dikerakan masing-masing anggota
menjadi terarah seseuai tujuan yang dicapai. (Ainun jariah: 2019, 129)
Kepemimpinan Kiai dengan gaya demokrasi dalam pembagian tugas kepada
para anggota harus sesuai dengan kemapuan para anggota. Kepemimpinan demokrasi
dalam pengambilan keputusan berdasarkan hasil musyawarah dan mufakat bersama.
Setiap anggota bebas berperdapat tanpa adanya paksaan. Keberhasilan kepemimpinan
juga ditentukan oleh faktor-faktor yaitu; anggota yang dipimpin, lingkungan kerja,
kebudayaan, karakteristik anggota, serta waktu. Kepemimpinan dikatakan berhasil
apabila memenuhi kebutuhan lingkungan masyarakat yang dibutuhkan serta dapat

12
menerapkan gaya kepemimpinannya dengan baik sesuai dengan situasi. Sosok
pemimpin demokarasi harus dapat memahami karakteristik kepribadian tiap anggota
yang berbeda-beda. Hal ini membantu pemimpin dalam memberikan tugas dan
arahan pada para anggotanya. Pemimpin demokratis merupakan pemimpin yang
mengikutseterakan anggota dalam mengambil keputusan untuk dalam mencapai
tujuan lembaga.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri. “Kata santri
berasal dari kata cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berarti orang yang
selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam
sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Istilah santri juga ada dalam bahasa Tamil, yang
berarti guru mengaji”. Pondok pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan dan
pengembangan agama Islam di Indonesia.
Pondok pesantren memang dari semula adalah sebuah lembaga pendidikan yang
khusus untuk mempelajari agama Islam, selain dari itu, pondok pesantren juga menjadi
sarana dakwah para penyebar agama Islam ketika masa awal kedatangan Islam di Indonesia.
Seiring perkembangan zaman, model pondok pesantren juga turut berubah, beberapa jenis
pondok pesantren yang ada hingga sekarang juga bermacam-macam.
Dalam operasionalnya pesantren memiliki nilai-nilai pokok yang tidak dimiliki oleh
lembaga lain: pertama, adalah cara pandang kehidupan yang utuh (kaffah) maksudnya adalah
sebagai ibadah; kedua, menuntut ilmu tidak berkesudahan (long life education) yang
kemudian diamalkan. Ilmu dan ibadah menjadi identik baginya yang dengan sendirinya akan
muncul kecintaan yang mendalam pada ilmu pengetahuan sebagai nilai utama; ketiga,
keikhlasan bekerja untuk tujuan bersama.
Pesantren memiliki ciri-ciri dan pola pendidikan tersendiri sebagai lembaga
pendidikan Islam, yaitu: menggunakan sistem tradisional yang mempunyai kebebasan penuh
dibandingkan dengan sekolah modern sehingga menimbulkan hubungan dua arah antara
santri dengan ustadz, kehidupan di sekolah menunjukkan kerukunan demokrasi karena
praktis bersinergi dalam mengatasi masalah nonkurikuler, serta sistem pesantren yang
diutamakan adalah kesederhanaan, idealisme , persaudaraan, kesetaraan, percaya diri dan
keberanian.
Adapun beberapa pola kepemimpinan yang terdapat di pondok pesantren antara lain:
kepemimpinan individual yang masih bersifat otoriter, kepemimpinan kolektif berupa
kolaborasi yang menguntungkan, dan kepemimpinan demokratis yang mengutamakan
musyawarah untuk mencapai mufakat.
14
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Imron. Kepemimpinan Kiai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. Malang: Kalimasada
Press, 1993.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai danVisinya Mengenai
Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2011.
Ferdinan, M. “Pondok Pesantren dan Ciri Khas Perkembangannya”.
https:/journal.unismuh.ac.id/index.php/tarbawi/article/view/348/0#:~:text=Karakteristik
%20dan%20corak%20pesantren%20di,menampilkan%20semangat%20demokrasi
%20karena%20merdeka. Di Akses Pada Selasa, 11 November 2023.
Hadari, Amin dan M. Ishom El Saha. Peningkatan Mutu Terpadu Pesantrendan Madrasah
Diniyah. Jakarta: Diva Pustaka, 2004.
Qomar, Mujamil. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi.
Jakarta: Erlangga, 2004.
Rahardjo, M. Dawam. Pergumulan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, Jakarta: P3M,
1985.
Risa, Salman. “Pengertian Pondok Pesantren”. http://www.tsalmans.blogspot.com
/2010/05/pengertian-pondok-pesantren.html. Di Akses Pada Senin, 30 Oktober 2023.
Tim. “Perkembangan Pondok Pesantren”. http:// www. nabilhusein. com / index. php?
option=com_content&view=article & id=59&itemid=37. Di Akses Pada Senin, 30
Oktober 2023.

15

Anda mungkin juga menyukai