OFTALMOLOGI
Author:
2021
OUTLINE
1. ANATOMI MATA
2. KELAINAN KELOPAK DAN ORBITA
3. KELAINAN APARATUS LAKRIMALIS
4. MATA MERAH VISUS NORMAL
5. MATA MERAH VISUS TURUN
6. MATA TENANG VISUS TURUN PERLAHAN
7. MATA TENANG VISUS TURUN MENDADAK
8. KELAINAN REFRAKSI DAN PENGLIHATAN WARNA
9. STRABISMUS
10. TRAUMA MATA
11. TUMOR MATA
ANATOMI MATA
Anatomi Kelopak Mata
- Kelenjar pada kelompak mata :
o Kelenjar sebasea
o Kelenjar Moll atau kelenjar keringan
o Kelenjar Zeis pada pangkal rambut
o Kelenjar Meibom pada kasus
Bola mata dibungkus oleh tiga lapisan jaringan, yaitu lapisan sklera yang bagian
terdepannya disebut kornea, lapisan uvea, dan lapisan retina. Di dalam bola mata terdapat
cairan aqueous humor, lensa dan vitreous humor.
1. Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan keloak bagian belakang.
Terdapat kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet, berfungsi untuk membasahi
bola mata terutama kornea.
- Konjungtiva tarsal
- Konjungtiva bulbi
- Konjungtiva fornises
2. Sklera
Merupakan pembungkus dan pelindung isi bola mata.
3. Kornea
Merupakan selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya dam
merupakan lapisan jaringan yang menutup bola mata sebelah depan.
Terdiri dari 5 lapis :
1. Epitel
2. Membran bowman
3. Stroma
4. Membran descement
5. Endotel
4. Uvea
Lapis vaskular di dalam bola mata yang terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid
5. Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, bersifat bening, kenyal terletak
didalam bilik mata belakang. Lensa ditahan di tempatnya oleh ligamentum
suspensorium yang dikenal sebagai zonula Zinii.
6. Retina
Retina merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang menerima rangsangan
cahaya (sel batang/gelap dan sel kerucu/terang. Retina terdiri dari 9 lapisan berupa :
Rongga Orbita
o Blefaritis Posterior
Blefaritis posterior adalah peradangan kelopak mata sekunder akibat disfungsi
kelenjar meibom.
Tatalaksana :
- Kompres hangat
- Pemijatan kelopak mata
- Antibiotik topikal
- Antibiotik oral (doksisiklin 2 x 1000mg, azitromisin 1 gram setiap minggu
selama 3 minggu)
Gambar. (A) seborrheic blepharitis, (B) staphylococcal blepharitis, (C) meibomian gland dysfunction.
2. Hordeolum
Definisi
Peradangan supuratif kelenjar kelopak mata
Klasifikasi
o Hordeolum eksternum : peradangan supuratif kelenjar Zeis, kelanjar Mol
o Hordeolum internum : peradangan supuratif kelenjar Meibom
Manifestasi Klinis
Bengkak/ benjolan pada kelopak mata atas atau bawah, nyeri, merah, mata berair,
silau, gatal, terdapat krusta pada tepi kelopak mata
Tatalaksana
- Kompres hangat selama 10-15 menit, 3-4 kali sehari
- Antibiotik
o Topikal
o Sistemik : amoxicillin 3 x 500mg, ciprofloxacin 250-500mg
- Insisi : Bila tidak terjadi resorbsi dengan pengobatan konservatif, atau sudah fase
abses, dianjurkan insisi dan drainage
o Hordeolum internum : tegak lurus margo palpebra
o Hordeolum eksternum : sejajar dengan margo palpebra
3. Kalazion
Definisi
Peradangan granulomatosa kelenjar meibom
Manifestasi Klinis
Benjolan pada kelopak mata, tidak nyeri, tidak hiperemis, terkadang terjadi
pseudoptosis
Tatalaksana
- Kompres hangat selama 10-15 menit, 3-4 kali sehari
- Ekokleasi : anestesi menggunakan pantokain, kemudian klem kalazion,
dilakukan insisi tegak lurus margo palpebra dan kemudian isi kalazion
dikuret sampai bersih.
Gambar. Kalazion
Ektropion
- Definisi : kelainan posisi kelopak mata dimana tepi kelopak mata mengarah
keluar (eksorotasi) sehingga bagian dalam kelopak mata atu konjungtiva tarsal
behubungan langsung dengan dunia luar
- Etiologi : kelainan kongenital, paralitik (gangguan saraf), spasme, senilis, atonik,
mekanik dan sikatrik (riwayat trauma). Pada entropion senilis terjadi akibat
relaksasi atau kelumpuhan kelopak mata bawah.
- Manifestasi : epifora, mata merah dan meradang. Akibat ektropion tidak
jarang terjadi lagoftamus sehingga akan terjadi konjungtivitis dan keratitis
- Tatalaksana : operasi plastik
Gambar. Trikiasis
Distikiasis
- Definisi :
o pertumbuhan bola mata abnormal atau terdapatnya duplikasi bulu mata
daerah tempat keluarnya saluran Meibom.
o berbentuk lebih halus, tipis, dan pendek dibanding bulu mata normal.
o dapat tumbuh ke dalam sehingga mengakibatkan bulu mata menusuk
jaringan bola mata (trikiasis)
- Etiologi : bersifat kongenital yang dominan. Biasanya disertai kelainan
kongenital lainnya.
- Tatalaksana: pengobatan distikiasis bila telah memberikan penyulit berupa
epilasi atau melakuka krioterapi pada folikel rambut sehingga bulu mata tersebut
tidak tumbuh lagi.
Gambar. Distichiasis
6. Ptosis, pseudoptosis, dan lagoftalmos
Ptosis
- Definisi : keadaan dimana kelopak mata atas tidak bisa diangkat atau terbuka
sehingga celah kelopak mata menjadi lebih kecil dibandingkan dengan keadaan
normal.
- Etiologi
o Kelainan kongenital, miogenik dan neurogenik
o Keadaan ini terutama terjadi akibat tidak baiknya fungsi m. levator
palpebra, lumpuhnya saraf ke III untuk levator palpebra atau dapat pula
terjadi akibat jaringan penyokong bola mata yang tidak sempurna,
sehingga bola mata tertaring ke belakang atau enofthalmus.
- Tatalaksana : surgery → memperbaiki fungsi otot levator palpebra
yaitu dengan memperpendek levator palpepbra sehingga tarsus akan
terangkat.
Gambar. Ptosis
Pseudoptosis
- Definisi : bila terdapat suatu kelainan pada kelopak sehingga megakibatkan
kelopak tidak mudah bergerak atau diangkat
- Etiologi : pseudoptosis dapat terlihat pada kelainan kelopak mata seperti
hordeolum, kalazion, tumor kelopak ataupun blefarokalasis.
- Tatalaksana : mengobati penyebab pseudoptosis.
Lagoftalmos
- Definisi :
o suatu keadaan dimana kelopak mata tidak dapat menutup bola
mata dengan sempurna.
o Kelainan ini dapat mengakibatkan trauma, infeksi konjungtiva dan kornea,
dan dry eye.
- Etiologi : lagoftalmos dapat terjadi akibat jaringan parut atau sikatrik yang
dapat menarik kelopak, ektoprion, paralisis orbikularis okuli, eksoftalmos goiter,
dan terdapatnya tumor retroorbita.
- Tatalaksana
o Pengobatan pada lagoftalmos merupakan usaha mempertahankan bola
mata tetap basah dengan memberikan artificial tears.
o Terkadang menggunakan lensa kontak untuk mempertahankan air mata
tetap berada dipermukaan kornea.
o Bila keadaan terlalu berat maka dilakukan blefarorafi dengan menjahit dan
mendekatkan kedua kelopak atas dengan bawah.
7. Xanthelasma
- Xantelasma merupakan bentuk degenerasi lemak pada kulit kelopak nasal bawah dan
atas sehingga memberikan gambaran kupu-kupu yang berwarna kuning jingga pada
pangkal hidung.
- Kelainan ini berhubungan erat dengan kadar kolesterol dalam serum, hiperlipidemia
esensial atau pasien dengan diabetes melitus.
- Tatalaksana : ekstirpasi dan mengontrol hiperlipidemia yang akan regresi lambat.
Gambar. Xanthelasma
8. Koloboma
- Definisi : merupakan kelainan kongenital kelopak dimana terlihat celah kelopak
pada bagian tengah palpebra superior
- Etiologi : kelainan ini terjadi akibat tidak sempurnanya menutup celah embrional
fasial.
- Tatalaksana : surgery
Gambar. Koloboma Palpebra
9. Selulitis orbita
- Definisi : peradangan supuratif jaringan ikat longgar intraorbita di belakang
septum orbita.
- Etiologi :
o Selulitis orbita sering disebabkan sinusitis terutama sinus etmoid, trauma,
sepsis, piemia, dan erisepelas.
o Bakteri yang menyebabkan selulitis orbita biasanya adalah penumokokus,
streptokokus, atau stafilokokus yang berjalan akut.
o Dapat juga terjadi akibat jamur dan sarkoidosis yang memiliki
perjalanan penyakit kronis.
- Manifestasi : demam, mata merah, kelopak sangan edema dan kemotik, mata
proptosis, eksoftalmus diplopia, sakit terutama bila digerakkan, proptosis,
demam, dan tajam pengelihatan menurun bila terjadi penyulit neuritis retrobulbar.
Pada retina terlihat tanda stasis pembuluh darah vena dengan edema papil/
- Tatalaksana :
o Istirahat bed rest atau rawat inap
o Antibiotik sistemik dosis tinggi
o Insisi bila terdapat fluktuasi abses
o Pengobatan penyabab selulitis orbita seperti pengobatan sinusitis.
Enoftalmos
- Definisi : bola mata tampak mengecil
- Etiologi :
o Isi jaringan retroorbita berkurang.
o Fraktur dasar orbita → orbita masuk ke dalam rongga sinus paranasal
o Selulitis orbita
Gambar. Eksoftalmos
Dakriosistitis
- Definisi : peradangan pada sakus lakrimal.
- Etiologi
o Biasanya dakriosistitis dimulai oleh terdapatnya obstruksi duktus
lakrimalis (tidak terbukanya membran nasolakrimal pada anak dan pada
dewasa akibat tertekannya saluran nasolakrimal dikarenakan polip hidung
)
o Bakteri patogen berpa stafilokokus, pneumokokus, streptokokus, dan
pseudomonas.
o Pada penyakit menahun disebabkan oleh kuman tuberkulosis, lepra,
trakoma dan infeksi jamur
- Gejala :
o epifora, demam, nyeri daerah sakus, edema dan tanda inflamasi di daerah
sakus, nyeri tekan sakus, disertai sekret mukopurulen yang memancar bila
sakus lakrimal ditekan.
o Uji regurgitasi positif
- Tatalaksana
o Masase daerah sakus ke arah pangkal hidung
o Kompres hangat
o Antibiotik sistemik dan lokal
o Insisi dan drainase bila terjadi abses
Gambar. Dakrioadenitis
Gambar. Dakriosistitis
Etiologi
Etiologi pasti dari penyakit ini belum diketahui secara pasti. Mekanisme imun,
predisposisi genetik, dan iritasi lingkungan, termasuk radiasi UV, cuaca yang kering dan
panas, angin, lingkungan yang berdebu dan lamanya periode paparan terhadap
lingkungan ini. Namun faktor yang paling sering berperan adalah meningkatnya waktu
paparan terhadap sinar UV dari matahari, diikuti iritasi kronis mata akibat kondisi yang
kering dan berdebu. Beberapa penelitian menyebutkan insidensi yang lebih tinggi pada
laki-laki dibanding wanita, hal ini dikaitkan dengan faktor paparan sinar UV dan debu
yang lebih sering pada laki-laki.
Faktor risiko
Radiasi sinar UV, debu, bermukim di daerah yang dekat dengan garis ekuator, iklim
yang kering, kegiatan atau gaya hidup yang banyak dilakukan diluar.
Patofisiologi
Banyaknya teori yang berhubungan dengan patofisiologi pterigium dikaitkan dengan
etiologinya yang belum pasti. Peningkatan prevalensi pada daerah dengan iklim panas
dan kering ataupun daerah yang dekat dengan garis ekuator disebutkan berhubungan
dengan faktor lingkungan seperti sinar UV dan suasana kering. Sinar UV menyebabkan
kehancuran dari sel stem limbal, mengaktivasi tissue growth factor dan berujung pada
angiogenesis dan proliferasi sel. Sel stem limbal yang hancur menyebabkan
conjunctivalization dari kornea dan kornea diinvasi oleh fibroblast yang agresif. Radiasi
sinar UV dapat menyebabkan mutasi dari p53 tumor suppressor gene. Kemungkinan
peranan virus seperti papillomavirus dapat terlibat dalam patogenesis pterigium.
Pada pterigium yang rekuren, hal ini terjadi akibat reaktivasi proses inflamatori. Trauma
operasi meningkatkan respons inflamatori. Proliferasi dari sitokin dan growth factors
dapat meningkat setelah operasi jika sel stem limbus masih teraktivasi dan jaringan
fibroelastik juga terkait. Maka dari itu, terjadi akselerasi proliferasi fibrovaskular dan
peningkatan sintesis metaloproteinase yang menghancurkan membran bowman dan
kolagen stroma yang dapat meningkatkan progres dari pterigium.
Derajat
- Derajat 1: Terbatas sampai limbus
- Derajat 2: Tidak melewati pertengahan antara limbus dan pupil (<2 mm dari limbus)
- Derajat 3: Melewati pertengahan antara limbus dan pupil (>2 mm dari limbus)
- Derajat 4: Pterigium melewati pupil
Diagnosis
Diagnosis pterigium dibuat dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan dengan bantuan
pemeriksaan penunjang berupa slit lamp. Pemeriksaan mata lengkap harus dilakukan
pada semua pasien dengan gambaran klinis pterigium yang berfokus pada penilaian
penglihatan dan keterlibatan media refraksi. Dari anamnesis penderita akan menunjukkan
gejala iritasi pada mata, lakrimasi, sensasi benda asing, gangguan fungsi penglihatan,
kesulitan ketika memakai lensa kontak , dan timbulnya bentukan seperti daging yang
menjalar ke kornea. Pada anamnesis penting pula untuk menanyakan riwayat
sebelumnya untuk mengklasifikasikan sebagai pterigium primer atau rekuren.
Pseudopterigium
Suatu reaksi dari konjungtiva berupa perlekatan dengan kornea oleh karena ulkus atau
sikatriks kornea. Pada pengecekan dengan sonde, sonde dapat masuk di antara
konjungtiva dan kornea yang disebut tes sonde (+). Berbeda pada pterigium yang hasil
tes sondenya (-). Tatalaksana yang dapat dilakukan berupa pembedahan.
Gambar 2. Pseudopterigium
2. Pinguekula dan hematoma subkonjungtiva
Pingekuela
Pingekuela merupakan suatu kondisi dimana terjadi degenerasi hialin pada jaringan
submukosa konjungtiva. Pingekuela berasal dari bahasa Latin “pinguis” yang berarti
lemak. Penyakit ini dapat terjadi unilateral maupun bilateral. Pingekuela khas terjadi
pada sisi nasal dari konjungtiva bulbi, hal ini terjadi akibat kerusakan aktinik pada area
ini karena refleksi dari hidung. Pingekuela memberikan gambaran masa meninggi
berwarna kuning keputihan yang dapat membesar perlahan dalam waktu yang lama.
Penyakit ini terjadi akibat penuaan, paparan sinar UV, trauma, dan faktor lingkungan
seperti debu dan angin. Tatalaksana pada pingekuela jarang dibutuhkan, penggunaan
artificial tears dapat membantu mengurangi gejala sensasi benda asing ataupun mata
kering. Terapi eksisi dilakukan dengan indikasi kosmetik, pingekuela dengan inflamasi
kronis, atau ketika mengganggu pada penggunaan lensa kontak. Penggunaan
kortikosteroid topikal dapat dipertimbangkan pada pasien dengan inflamasi. NSAID
topikal efektif diberikan pada pingekulitis. Lindungi mata dari paparan sinar matahari
langsung, debu atau angin dengan penggunaan kacamata. Kompres dingin dapat
meringankan gejala pada pingekuela yang terinflamasi.
Subconjunctival Hemorrhage
Suatu kondisi bertumpuknya darah di bawah konjungtiva dan berwarna merah terang.
Subconjunctival hemorrhage (SCH) ini terjadi secara tiba-tiba, biasanya hanya pada satu
mata. Perdarahan ini terjadi akibat rupturnya pembuluh darah konjungtiva, yang terjadi
akibat muntah, batuk atau bersin yang keras (manuver valsava). Perdarahan ini dapat
diserap dalam 1-2 minggu atau hingga 3 minggu pada pasien dengan penggunaan
antikoagulan. Kompres dingin dan artificial tears dapat membantu meringankan keluhan.
Pada kondisi SCH berulang dan mengenai kedua mata dapat dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut untuk menyingkirkan kemungkinan diskrasia darah.
Etiologi
1. Gangguan sistemik (rheumatoid arthritis, chron disease, ulcerative colitis, psoriatic
arthritis, systemic lupus erythematosus, ankylosing spondilitis)
2. Infeksi (lyme disease, syphilis, infeksi yang berkaitan dengan virus herpes,
tuberkulosis)
3. Collagene vascular disease
4. Autoimun.
Patofisiologi
Patofisiologi dari episkleritis adalah inflamasi non-granulomatosa dari jaringan episklera.
Proses inflamasi akut ini melibatkan aktivasi dari sel imun, termasuk limfosit dan
makrofag. Setelah aktif, sel imun ini mengeluarkan mediator inflamasi yang meyebabkan
vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular, dan migrasi dari sel darah putih dan
makrofag. Proses ini bersifat self-limited dan berlangsung dari 2 hingga 21 hari.
Klasifikasi
1. Episkleritis Difusa
Tatalaksana
Kebanyakan kasus episkleiritis termasuk ringan, dan akan membaik tanpa intervensi
dalam 2 hingga 21 hari. Tatalaksana suporif dengan artifial tears yang didinginkan
setidaknya empat kali sehari sangat direkomendasikan. Namun pada beberapa kasus
dibutuhkan peresepan obat, seperti kortikosteroid topikal, NSAID topikal, pengobatan
penyakit yang mendasari, NSAID oral dapat pula digunakan sebagai alternatif jika
steroid topikal tidak adekuat mengurangi inflamasi.
Skleritis
Definisi
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai oleh
destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya
vaskulitis.
Etiologi
1. Autoimun: Penyakit jaringan ikat dna Penyakit vaskulitik
2. Infeksi dan Granulomatosa
3. Atopi
4. Sekunder karena benda asing, trauma kimia, atau obat-obatan
5. Idiopatik
Klasifikasi
Skeleritis dapat di klasifikasikan menjadi skleritis anterior dan skleritis posterior:
1. Skleritis Anterior
a. Difus
Bentuk ini dihubungkan dengan artritis rematoid, herpes zoster oftalmikus dan
gout. Ditandai dengan peradangan yang meluas pada seluruh permukaan sklera.
Merupakan skleritis yang paling umum terjadi.
b. Nodular
Bentuk ini dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus. Ditandai dengan
adanya satu atau lebih nodul radang yang eritem, tidak dapat digerakkan, dan
nyeri pada sklera anterior. Sekitar 20% kasus berkembang menjadi skleritis
nekrosis.
Diagnosis
Dari anamnesis dapat digali:
1. Nyeri berat menjalar ke sekitar, kemosis, fotfobia, sekret (-)
2. Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat
3. Penyakit infeksi. Ciri-cirinya adanya nodul abses dan nekrosis, memburuk dengan
terapi kortikosteroid, dan merespon dengan terapi antibiotik sesuai kultur. Proses
kembalinya ketajaman visus biasanya baik pada beberapa kasus.
4. Penyakit miscellanous ( atopi,gout, trauma kimia, rosasea)
5. Trauma tumpul atau trauma tajam pada mata
6. Obat-obatan seperti pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid dan
ibandronate.
7. Post pembedahan pada mata
8. Riwayat penyakit dahulu seperti ulserasi gaster, diabetes, penyaki hati,
9. penyakit ginjal, hipertensi dimana mempengaruhi pengobatan selanjutnya.
10. Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang berlangsung dan
responnya terhadap pengobatan.
Tatalaksana
1. Pada skleritis tidak infeksius diberikan NSAID, kortikosteroid atau obat
imunomodulator
2. Pada skleritis yang infeksius, diberikan pengobatan sistemik dengan atau tanpa
antimikrobial topikal dapat digunakan. Sedangkan, kortikosteroid dan imunosupresif
tidak boleh digunakan.
3. Konsultasi pada ahli penyakit dalam terkait penyakit penyerta.
4. Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi sklera atau
kornea.
Konjungtivitis
Definisi
Konjungtivitis merupakan inflamasi pada konjungtiva. Dapat bersifat akut maupun
kronik, infeksius dan non-infeksius. Konjungtivitis akut berdurasi 3-4 minggu,
sedangkan kronik berlangsung lebih dari 4 minggu. Manifestasi klinis dari konjungtivitis
beragam dapat berupa hiperemia, epiphora, eksudasi, pseudoptosis, hipertrofi papilari,
kemosis, folikel, pseudomembran dan membran, granuloma, limfadenopati preaurikular.
Etiologi
1. Virus. 80% kasus disebabkan oleh virus, dengan patogen terbanyak yaitu
adenovirus. Virus lainnya yang dapat menyebabkan konjungtivitis adalah herpes
simpleks, herpes zoster, dan enterovirus.
2. Bakteri. Konjungtivitis ini lebih sering terjadi pada anak daripada dewasa.
Disebabkan oleh Staphylococcal aureus, Streptococcus pneumonia, Neisseria
gonnorhoeae, Chlamydia trachomatis, Cyanobacterium diphteria, dan Haemophilus
influenza.
3. Alergen, toksin, dan bahan iritan
Patofisiologi
Konjungtivitis disebabkan akibat inflamasi pada konjungtiva. Penyebabnya dapat terjadi
akibat infeksi maupun bahan iritan non-infeksi. Akibat dari iritasi atau infeksi ini berupa
dilatasi dari pembuluh darah konjungtiva., yang menyebabkan kemerahan atau hiperemia
dan edema dari konjungtiva. Seluruh konjungtiva terlibat, dan terdapat discharge.
Discharge ini bervariasi tergantung dengan agen penyebab konjungtivitis.
Klasifikasi
Clinical findings Viral Bacterial Chlamydial Allergic
Itching Minimal Minimal Minimal Severe
Hyperemia Generalized Generalized Generalized Generalized
Tearing Profuse Moderate Moderate Moderate
Exudation Minimal Profuse Profuse Minimal
Common only in inclusion
Preauricular adenopathy Common Uncommon None
conjunctivitis
In stained scrapings and Bacteria, PMNs, plasma cels,
Monocytes Eosinophils
exudates PMNs inclussion bodies
Associated sore throat and
Occasionally Occasionally Never Never
fever
a. Konjungtivitis bakteri
Gejala dari konjungtivitis bakteri berupa mata merah dan sensasi benda asing
bilateral dengan produksi eksudat purulen putih kekuningan atau mukopurulen yang
menyebabkan kelopak mata terasa lengket ketika bangun tidur, terkadang dapat
menyebabkan edema kelopak mata, dan jarang melibatkan limfadenopati preaurikula.
Infeksi biasa terjadi dimulai pada satu mata dan menyebar ke sebelah akibat kontak
dengan perantara tangan.
Konjungtivitis bakteri dapat diklasifikasikan berdasarkan onset menjadi:
1. Konjungtivitis bakteri hiperakut (purulen). Disebabkan oleh N. gonorrhoeae, N.
kochii, N. meningitidis
2. Konjungtivitis bakteri akut mukopurulen (kataral). Disebabkan oleh S.
pneumonia, H. aegyptius
3. Konjungtivitis subakut. Disebabkan oleh H. influenzae dan Escherichia coli.
4. Konjungtivitis bakteri kronik. Terjadi pada pasien dengan obstruksi duktus
nasolakrimal dan dakriosistitis kronik, yang biasanya terjadi unilateral. Dapat
pula berkaitan dengan kejadian blefaritis bakteri kronik atau disfungsi kelenjar
meibom.
Konjungtivitis bakteri bersifat self-limiting dan dapat sembuh tanpa pengobatan
dalam 10-14 hari, namun dengan pemberian terapi menjadi 1-3 hari. Terapi awal
untuk konjungtivitis bakteri akut, tersedia dalam sediaan cair atau salep topikal yang
diaplikasikan pada mata yang terinfeksi setiap 2-6 jam selama 5-7 hari. Antibiotik
yang dapat dipilih adalah polymyxin b/trimethoprim, ciprofloxacin, ofloxacin,
levofloxacin, moxifloxacin, gatifloxacin or azithromycin, sedangkan bacitracin,
eritromisin dan siprofloksasin dapat diaplikasikan sebagai salep. Untuk konjungtivitis
gonokokal diberikan seftriakson 1 gr IM, dan direkomendasikan pula untuk
mengobati infeksi konkuren dari chalmydial dengan 1 gr azitromisin PO. Untuk
pengobatan konjungtivitis gonokokal pada neonatus diberikan seftriakson 25 – 50
mg/kg IV/IM dengan dosis maksimum 125 mg, dan azitromisin 20 mg/kg PO satu
kali sehari selama tiga hari.
b. Konjungtivitis virus
Paling sering disebabkan oleh adenovirus, diikuti oleh herpes simpleks, herpes zoster
dan enterovirus. Manifestasi klinis pada konjungtivitis jenis ini adalah rasa gatal,
mata berair, riwayat ISPA sebelumnya, folikel pada konjungtiva palpebra inferior,
limfadenopati preaurikula.
Konjungtivitis viral akibat adenovirus bersifat self-limiting, dan pengobatan yang
diberikan bersifat simptomatik berupa kompres dingin dan artificial tears. Terapi
untuk konjungtivitis herpes zoster termasuk kombinasi antivirus oral dan steroid
topikal, namun pemberian steroid harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan
dokter mata. Antivirus yang dapat dipilih berupa asiklovir 5x800mg, famciclovir oral
3x500mg, atau valacyclovir oral 3x1gr 7-10 hari. Pemberian steroid hanya diberikan
pada kasus yang disebabkan oleh herpes zoster, karena pemberian pada kasus lain
dapat menyebabkan gejala memanjang, infeksi pontesial, dan menyebabkan
komplikasi seperti kebutaan.
c. Konjungtivitis Alergi
Manifestasi alergi pada mata dapat memengaruhi seluruh permukaan mata, termasuk
konjungtiva, kelopak mata, dan kornea.
Simple allergic conjunctivitis
Terjadi sekunder akibat paparan alergen pada permukaan mata. Seringkali
berhubungan dengan rhinitis alergi, dermatitis atopik, dan atau asma. Tipe ini
melibatkan IgE (hipersensitivitas tipe I). Gejala berupa mata berair, bilateral
dengan krusta sedikit pada pagi hari dan tidak disertai demam. Jarang dijumpai
edema kelopak mata ataupun kemosis. Terapi berupa jauhi alergen, artificial
tears, kompres dingin. Pada kasus akut dapat diberikan antihistamin. Untuk
kasus yang sulit disembuhkan, dapat diberikan tetes mata kortikosteroid (selama
kurang dari 2 minggu).
Vernal conjunctivitis
Penyebab pastinya masih belum diketahui secara pasti, namun gabungan antara
iklim dan allergen dipercaya merupakan dua faktor yang berpengaruh besar.
Berhubungan dengan riwayat atopi atau asma. Mekanisme pasti terjadinya
masih belum diketahui secara pasti, namun diyakini berkaitan dengan IgE dan
sel T. Gejala lebih para pada musim semi, berupa discharge mukus yang tebal,
nyeri, fotofobia, penglihatan kabur, sensasi benda asing, pada pemeriksaan
dapat ditemukan ulkus kornea dan infiltrat konjungtiva. Didapati cobblestone
appearance dan tranta’s dots. Penatalaksanaan berupa jauhi alergen, artificial
tears, kompres dingin, tetes mata antihistamin. Pada kasus yang sulit sembuh,
diberikan kortikosteroid topikal. Dan jika masih belum perbaikan jg dapat
diberikan calcineurin inhibitors topikal atau sistemik.
Atopic conjunctivitis
Penyebab pasti belum diketahui, namun dipercaya akibat kombinasi dari
paparan alergen, dermatitis atopi, dan predisposisi genetik. Merupakan
kombinasi dari hipersensitivitas tipe I dan IV. Gejala berupa nyeri, pandangan
kabur, fotofobia, dan sensasi benda asing. Pada kondisi dengan inflamasi
kronik, terjadi skar kornea dan neovaskularisasi. Penatalaksanaan berupa jauhi
alergen, artificial tears, kompres dingin, tetes mata antihistamin. Pada kasus
yang sulit sembuh, diberikan kortikosteroid topikal. Dan jika masih belum
perbaikan jg dapat diberikan calcineurin inhibitors topikal atau sistemik.
Giant papillary conjunctivitis
Paparan alergen dan respon sekunder terhadap benda asing (contoh lensa
kontak, prostese, suture, atau cyanocrylate glue) pada permukaan mata
berkaitan dengan kejadian penyakit ini. Merupakan kombinasi dari
hipersensitivitas tipe I dan IV. Gejala berupa gatal yang mengganggu, discharge
mukoid, nyeri, pandangan kabur, sensasi benda asing. Pada pemeriksaan fisik
didapati giant papil pada konjungtiva tarsal. Terapi berupa jauhi alergen,
artificial tears, kompres dingin, antihistamin topikal, atau tetes mata kombinasi
antihistamin dan sel mas stabilizer.
4. Trachoma
Trachoma merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada komunitas dengan hygiene yang
kurang dan sanitasi yang tidak adekuat.
Klasifikasi
Klasifikasi dan staging menurut MacCallan
St. I : Trakoma insipien : folikel imatur, hipertrofi papil minimal
St. II : Trakoma : folikel matur pada tarsal atas
- IIA : dominan hipertrofi folikular
- IIB : dominan hipertrofi papilar
St. III : Trakoma sikatriks : sikatriks pada konjungtiva tarsal atas, awal trikiasis
St. IV: Trakoma sembuh : tak aktif, tak ada hipertrofi papilar atau folikular.
Tatalaksana
Pengobatan dapat menggunakan azitromisin dosis tunggal 1 gr PO; doksisiklin, 100 mg
PO 2x/hari selama 3 minggu; eritromisisn 1g/hari PO dalam empat dosis terbagi selama
3-4 minggu; atau tetrasiklin, 1-1,5 g/hari PO dalam empat dosis terbagi selama 3-4
minggu. Penggunaan salep topikal atau obat tetes dari sediaan-sediaan sulfonamide,
tetrasiklin, eritromisin dan rifampin 4x/hari selama 6 minggu juga dilaporkan efektif.
5. Defisiensi vitamin A
Defisiensi vitamin A merupakan salah satu penyebab kebutaan pada negara berkembang.
Gejala pertama yang ditunjukkan berupa rabun senja atau nyctalopia.
Etiologi
Kondisi ini dapat terjadi akibat kurangnya asupan vitamin A harian ataupun kurangnya
absorbsi vitamin A, seperti pada gangguan pankreas, liver, dan intestinal. Kerusakan
hepar memiliki mekanisme yang sama dengan penyakit measles dalam menyebabkan
defisiensi vitain A, yaitu akibat terjadi penurunan sintesis retinol-binding protein (RBP)
dan menyebabkan ekskresi vitamin A berlebih dari urin.
Patofisiologi
Vitamin A berperan dalam regenerasi pigmen visual, membran mukosa dan untuk fungsi
imun. Defisiensi vitamin A menyebabkan kebutaan dengan menghambat produksi
rhodopsin (pigmen visual). Jika defisiensi ini terus terjadi maka sel batang akan
mengalami degenerasi, dan xeroftalmia dapat terjadi, menyebabkan kebutaan permanen.
Xerosis (kekeringan) konjungtiva dan kornea akibat defisiensi vitamin A berhubungan
dengan hilangnya produksi mukus oleh sel goblet. Perubahan yang sama dapat terjadi
pada sel epitel gastrointestinal, genitourinari, dan traktus respiratorius.
Manifestasi Klinis
Defisiensi vitamin A menyebabkan gangguan permukaan okular, retinopati, berupa
disfungsi fotoreseptor sel batang dengan buta senja (nyctalopia) dan gangguan lapang
pandang perifer. Manifestasi klinis dari defisiensi vitamin A berupa munculnya bitot spot
(lesi superfisial, berbusa, berwarna abu-abu) pada konjungtiva bulbi, mata kering akibat
terjadi kerusakan sel goblet, rabun senja, penglihatan turun perlahan, xerosis
konjungtiva, xerosis kornea, ulkus kornea, keratomalasia.
Gambar 11. bitot spot (AAO, 2020)
Klasifikasi
WHO mengklasifikasikan defisiensi vitamin A berdasarkan perubahan permukaan okular
menjadi:
XN Buta senja (hemeralopia, nyctalopia)
X1A Xerosis konjungtiva TANPA bitot
spot
X2 Xerosis kornea
XF Xeroflamia fundus
XN, X1A, X1B, X2 biasanya dapat sembuh kembali normal dengan pengobatan yang
baik. pada stadium X2 merupakan keadaan gawat darurat yang harus segera diobati
karena dalam beberapa hari bisa berubah menjadi X3. X3A dan X3B bila diobati dapat
sembuh tetapi dengan meninggalkan cacat yang bahkan dapat menyebabkan kebutaan
total bila lesi (kelainan) pada kornea cukup luas sehingga menutupi seluruh kornea.
Tatalaksana
WHO merekomendasikan tatalaksana dengan vitamin A oral dosis 50.000 IU untuk
anak <6 bulan, 100.000 IU 6-12 bulan, dan 200.000 IU pada >12 bulan setiap hari
selama 2 hari dan kemudian diikuti satu dosis tambahan setelah 2 minggu (hari ke-
1,2,14).
Berdasarkan AAO penatalaksanaan xeroftalmia dengan buta senja dengan atau tanpa
bitot spot dapat diberikan vitamin A dengan dosis 10.000 IU/hari selama 2 minggu atau
25.000IU/minggu selama 4 minggu. Pada kasus dengan lesi kornea yang aktif diberikan
terapi vitamin A oral 200.000 IU pada hari 1,2, dan 14.
Perbaikan bitot spot biasanya terlihat pada minggu kedua penggunaan vitamin A dosis
tinggi. Namun untuk manifestasi retina dari defisiensi vitamin A lebih lambat berespon
terhadap pengobatan. Buta senja dan gangguan adaptasi gelap seringkali bertahan
hingga 4 minggu.
Mata Merah Visus Turun
1. Keratitis
Keratitis merupakan inflamasi pada kornea dan dikarakteristikkan dengan edema
korneal, infiltrasi sel inflamatori, dan kongesti silier. Gejala lain pada keratitis berupa
mata merah, visus turun mendadak, epifora, fotofobia, dan blefarospasme.
Klasifikasi
- Epitel superfisial : FT (+), placido (+)
- Subepitel superfisial : FT (-), placido (+)
- Profunda/interstisial : FT (+), placido (-)
Keratitis bakterial
Keratitis bakterial berkaitan dengan faktor risiko yang dapat menyebabkan
kerusakan integritas epitel kornea, seperti penggunaan kontak lensa, trauma,
mekanisme pertahanan tubuh yang kurang baik, struktur permukaan kornea yang
berubah. Keratitis bakterial disebabkan oleh Pseudomonas, Staphylococcus,
Streptococcus, Moraxella, Nocardia, dan Mycobacteria atipikal. Keratitis oleh
bakteri gram positif disebabkan oleh kontak langsung terhadap organisme atau
dengan toksinnya. Patogen yang menempel pada kornea akan berproliferasi dan
mengivasi stroma kornea. Kemudian tubuh akan berespon dan mulai mengaktifkan
berbagai sitokin dan kemokin, memanggil sel inflamatori dari air mata dan
pembuluh darah limbus, dan sekresi MMP yang akan menyebabkan nekrosis
kornea. Patogen bakteri dapat menyebabkan scar irreversible pada kornea dalam
hitungan jam karena pertumbuhannya yang cepat, enzim keratolytic, dan stimulasi
respons imun destruksi sel inang.
Keratitis bakteri yang disebabkan oleh staphylococcal biasanya menyerang kornea
perifer sehingga disebut keratitis marginal. Lesi kornea biasanya terjadi pada arah
pukul 10, 2, 4, dan 8. Sedangkan pada konjungtivitis yang disebabkan
Pseudomonas berhubungan dengan penggunaan lensa kontak 24 jam.
Keratitis viral
1. Keratitis adenoviral
Awalnya mengenai unilateral lalu bilateral. Pada kondisi inflamasi yang parah,
dapat menunjukkan pembentukkan pseudomembran. Secara klinis, epiteliopati
kornea menyebabkan erosi kornea punctata, yang dalam seminggu
berkembang menjadi infiltrat stroma anterior multipel punctata hingga
numular. Limfadenopati preaurikular (+). Pada fase kronik, simblefaron dapat
ditemukan, pasien juga mengeluhkan fotofobia, silau, dan adanya halo.
2. Keratitis herpes simpleks
Gejala klinis awal yang dikeluhkan pasien berupa iritasi, fotofobia, mata
berair, limfadenitis preaurikula dan jika sudah mengenai kornea sentral maka
terjadi penurunan fungsi penglihatan. Infeksi virush herpes simpleks (VHS)
bermanifestasi sebagai kerusakan epitel, keratitis stromal, dan endotelitis.
Kerusakan epitel bervariasi dari multipel punctata hingga dendritik. Keratitis
jenis ini pada kebanyakan kasus terjadi unilateral. Asiklovir 5x400mg 7 hari.
3. Keratitis herpes zoster
Berhubungan dengan rash unilateral pada dahi dan kelopak mata. Khas dari
penyakit ini berupa lesi pseudodendritik. Dapat pula bermanifestasi sebagai
Epiteliopati yang dapat menyebabkan kerusakan epitel permanen dengan
komplikasi ulkus stroma. Ulkus ini disebut dengan ulkus neurotropik.
Asiklovir 5x800 mg 7-10 hari.
Keratitis akantamoeba
Berkaitan dengan penggunaan lensa kontak, namun dapat pula terjadi akibat papara
terhadap air atau tanah yang kontaminasi. Gejala awal berupa nyeri, kemerahan
dan fotofobia. Kemudian menjadi ulkus kornea, cincin stromal, dan infiltrat
perineural. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan kultur pada agar nonnuntrien,
atau dengan biopsi kornea
Keratitis fungal
Disebabkan oleh Candida, Fusarium, Aspergillus, Penicillum, Cephalosporium,
dan lainnya. Kejadian keratitis fungal meningkat terutama pada musim hujan.
Riwayat terpapar air lumpur juga merupakan faktor predisposisi yang penting.
Begitu juga dengan riwayat terkena benda seperti kayu atau dedaunan, penyakit
imunosupresif, atau penggunaan kortikosteroid. Infiltrasi kornea pada keratitis
fungal memiliki gambaran sebagai lesi satelit atau dapat juga gambaran yang
menyerupai plak.
Type First line Regimen Second-line
treatment
Bacterial Topical Hourly day and night for 48 Topical cefuroxime
fluoroquinolone hours, then hourly during (fortified 5%) and
(ofloxacin, the day for 3 days, then 4 gentamicin (fortified
moxifloxacin) times daily until resolutin 1,5%)
Chlamydial Oral azitromycin, doxyxicline, erythromycin, or Topical sulfonamide,
tetracycline tetracycline,
erythromycin, or
rifampicin
Mycobacterial Topical amikacin Hourly day and night for 48 Topical azithromycin
2,5% and hours then tapper down
levofloxacin
Fungi Fillamentary: Hourly day and night for 24 Topical voriconazole
topical natamycin hours then hourly during (1%)
Yeast: topical the day until signs of
ampothericin healing, then 4 times daily
(0,15%) until resolution
Viral Topical acyclovit 5 times daily for 1 week Topical
or ganciclovir then 3 times daily for 1 trifluorothymidine
week.
Acanthamoeba Biguanide Hourly day and night for 48
hurs, then hourly during the
day for 3 days, then every 2
hours for 3-4 weeks, then 4
times daily.
2. Keratokonjungtivitis sicca
Disebut juga sindrom mata kering (dry eyes syndrome). Keratokonjungtivitis sicca
merupakan penyakit multifaktorial yang dikarakteristikkan dengan hilangnya
homeostasis air mata, dan diikuti dengan simptom okular berupa inflamasi dan
kerusakan okular, dan juga abnormalitas neurosensori. Air mata terdiri dari 3 bagian
(lipid, aqueos, dan mucin). Faktor risiko berupa usia tua, jenis kelamin wanita,
penggunaan antihistamin, antidepresan dan antianxietas, blefaritis kronik, distikiasis,
sjorgen’s syndrome, defisiensi vitamin A, trauma kimia, lagoftalmus, lingkungan
kering, atau operasi yang dapat mengganggu saraf sensori trigeminal aferen (contohnya
LASIK). Penurunan sekresi airmata menyebabkan respon inflamatori pada permukaan
okular. Gejala berupa sensasi benda asing, gatal, iritasi, mata merah, berair, fotofobia,
peningkatan frekuensi mengedip, dan mata lelah. Pada anamnesis jangan lupa tanyakan
pula penyakit yang dapat menyebabkan keratokonjungtivitis sicca seperti riwayat bell’s
palsy, riwayat operasi kelopak mata (repair ptosis, bhleparoplasty, repair
entropion/ectropion), atopi, atau riwayat trauma.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan:
a. Tes osmolaritas air mata: Meningkat, adanya perbedaan antar mata termasuk
abnormal.
b. Schirmer test: < 10mm termasuk abnormal (normal resapan air mata pada kertas
chirmer >10mm dalam 5 menit.
c. Tear break up time: < 10 detik termasuk tidak normal.(normal timbul bercak kering
setelah 15-20 detik)
d. Fungsi kelenjar lakrimal: menurunnya konsentrasi laktoferin pada air mata.
e. Penggunaan kuesioner tervalidasi, seperti Ocular Surface Disease Index (OSDI),
Dry Eye Questionnaire (DEQ-5), and Symptoms Analysis in Dry Eye (SANDE).
Gambar 12. Media inflamasi pada dry eye syndrome (AAO, 2018)
Tatalaksana disesuaikan dengan etiologi penyebab, dapat berupa pemberian artificial
tears, vitamin A, penggunaan pelindung mata, penutupan punctum lakrimal,
penggunaan obat yang dapat mentimulasi sekresi air mata (pilocarpine dan cevimeline
hydrochloride).
3. Ulkus kornea
Ulkus kornea, diskontinuitas sebagian permukaan kornea akibat nekrosis, merupakan
suatu emergensi okular yang dapat menyebabkan kebutaan. Bahkan dengan pengobatan
yang adekuat, pasien dapat mengalami kecacatan akibat komplikasi skar atau perforasi
pada kornea, glaukoma, katarak, atau kebutaan. Manifestasi klinis berupa mata merah,
nyeri sekali, sensasi benda asing, mata berair, pus atau discharge, penglihatan kabur,
sensitif terhadap cahaya, kelopak mata bengkak, bintik putih pada kornea yang dapat
atau tidak disadari ketika pasien bercermin. Penyebab ulkus kornea dapat berupa
infeksi bakteri, virus, fungal, acanthamoeba, abrasi atau luka pada mata, dry eye
syndrome, bell’s palsy (gangguan pada fungsi palpebra), penyakit autoimun atau
defisiensi vitamin A. dapat dilakukan pemeriksaan seidel untuk melihat adakah
perforasi kornea yang dilakukan dengan cara fluoroscein diteteskan pada konjungtiva,
dilihat aliran cairan mata berwarna bening dari lubang fistula.
Tatalaksana berupa tetes mata antibiotik (fluoroquinolone), antifungal (natamycin,
amphotericin), atau antiviral (acyclovir topikal atau oral, valacyclovir oral) tergantung
etiologi, dapat pula diresepkan tetes mata steroid atau anti-inflamatori ketika infeksi
sudah perbaikan, bertujuan untuk mencegah edema dan skaring. Prosedur transplantasi
kornea dapat pula dilakukan untuk mengganti kornea yang telah rusak dengan kornea
donor untuk perbaikan penglihatan. Dan jika ulkus kornea tidak menunjukkan
perbaikan dengan obat-obatan maka prosedur ini dapat dipilih.
Sikatrik
- Nebula (ringan) : kekeruhan halus dan sukar terlihat dengan senter.
- Makula (sedang) : kekeruhan berwarna putih berbatas tegas mudah terlihat
dengan senter.
- Leukoma (berat) : kekeruhan berwarna putih padat terlihat jelas oleh mata.
Ulkus mooren
Merupakan ulkus kronik yang biasanya mulai dari bagian perifer kornea beralan
progresif ke arah sentral tanpa adanya kecenderungan untuk perforasi.
Idiopatik
Gambaran khas berupa terdapat tepi tukak bergaung dengan bagan sentral tanpa
adanya kelainan dalam waktu yang agak lama.
Keluhan biasanya berupa rasa sakit berat pada mata.
Pengobatan dengan steroid, radioterapi, flep konjungtiva, rejeksi konjungtiva,
keratektomi dan keratoplasti
Ulkus marginal
Merupakan peradangan kornea bagian perifer dapat berbentuk bulat atau
segiempat.
Dapat berjumlah satu atau banyak
Terdapat daerah kornea yang sehat dengan limbus.
Ulkus serpens
Ulkus kornea sentral yang menjalar dengan bentuk khusus seperti ular
Sebagian besar disebabkan pneumokokus.
Ulkus terlihat dengan infiltrasi sel yang penuh dan berwarna kekuning-kuningan.
Nyeri, fotofobia, epifora, visus menurun, hipopion steril
Tatalaksana berupa antibiotik spektrum luas topikal, keratoplasti.
4. Glaukoma akut
Glaukoma akut merupakan suatu keadaan darurat mata yang memerlukan penanganan
segera untuk mencegah kerusakan nervus optikus yang dapat menyebabkan kebutaan.
Terjadi akibat adanya peningkatan tekanan intraokular yang mendadak. Ditandai
dengan nyeri pada mata, sakit kepala yang diikuti dengan penglihatan kabur, melihat
halo pelangi bila melihat ke cahaya terang, mata merah, mual, muntah, dan edema
kornea. Tekanan intraokular dapat meningkat hingga 60 hingga 80 mmHg pada
serangan akut. Nervus optikus dapat pula ditemukan edema pada serangan akut.
Tatalaksana
- Pilocarpin 1-2% tiap menit selama 5 menit (meningkatkan aliran aqueous
humor/uveoscleral outflow)
- Asetazolamide 500 mg iv --> 250 mg po tiap 4 jam (untuk memblok produksi
aqueous humor melalui inhibisi enzim karbonik anhidrase)
- Manitol 20% 1,5-2 mg/kgBB (untuk menurunkan secara cepat volume aqueous
humor)
- Beta-blocker (timolol 0,5%) (untuk memblok produksi aqueous humor melalui
stimulasi reseptor beta di prosessus siliaris)
- Definitif: iridektomi baik laser ataupun bedah
1. Bedah iridektomi
Iridektomi insisi dilakukan pada pasien yang tidak berhasil dengan tindakan
laser iridotomi, seperti:
Pada situasi iris tidak dapat dilihat dengan jelas karena edema kornea,
hal ini sering terjadi pada pasien glaukoma akut berat yang berlansung 4-
8 minggu
Sudut bilik mata depan dangkal, dengan kontak irido-korneal yang luas
Pasien yang tidak kooperatif
Tidak tersedianya peralatan laser.
2. Ekstraksi lensa
Ekstraksi lensa sebaiknya dipertimbangkan pada kasus PACG terutama yang
disertai dengan hiperopia atau kondisi lensa yang cembung di anterior.
- Rujuk segera ke dokter spesialis mata/pelayanan kesehatan tingkat sekunder/tersier
setelah diberikan pertolongan tersebut.
5. Uveitis
Istilah uveitis mengacu pada inflamasi iris (iritis, iridosiklitis), badan siliar (uveitis
intermediet, siklitis, uveitis perifer, atau pars planitis), atau koroid (koroiditis).
Gambar 13. Klasifikasi uveitis berdasarkan anatomi (Riordan-Eva, P dan Augsburger,
J., 2018)
Etiologi
Uveitis anterior dapat disebabkan akibat kelainan sistemik (sarcoidosis, IBD, behcet’s
disease, atau tubulo-interstisial nephritis (TINU)). Multipel sklerosis, sarcoidosis, dan
TINU merupakan penyebab uveitis intermediet, sedangkan Vogt-Koyanagi-Harada
syndrome, leukimia, lupus, dan multipel sklerosis dapat menyebabkan uveitis posterior.
Behcet’s disease seringkali ditemukan berhubungan pula dengan panuveitis. Selain
kelainan sistemik, uveitis dapat disebabkan pula oleh infeksi virus (HSV, VZV, CMV),
bakteri (sifilis, tuberkulosis), atau parasit (toksoplasmosis, lyme disease, Bartonella
sp.).
Manifestasi klinis
Uveitis anterior: dapat terjadi unilateral atau bilateral (pada penyakit autoimun),
nyeri, penglihatan kabur, fotofobia, pupil miosis dan injeksi circumlimbal, mata
merah, ditemukannya sel dan flare pada bilik depan mata, sinekia posterior, keratic
precipitates.
Uveitis intermediet: dengan atau tanpa disertai nyeri, penglihatan kabur, floaters,
kabut dan sel pada vitreous, pars plana snowbank, cystoid macular edema.
Uveitis posterior: gangguan lapang pandang, kebutaan, dan atau dysphotopsias, lesi
korioretinal, retina memucat.
Panuveitis: merupakan kombinasi dari semua simptom diatas.
Tatalaksana
Pada uveitis anterior, terapi bertujuan untuk menghilangkan inflamasi dan nyeri dengan
pemberian steroid dan siklopegik topikal. Siklopegik diberikan untuk meminimalisir
nyeri dengan mengurangi spasme badan siliar dan mencegah sinekia posterior.
Pengobatan dengan steroid dan siklopegik topikal ini diaplikasikan 2x/hari hingga
inflamasi sudah perbaikan. Sedangkan untuk uveitis intermediet, posterior, dan
panuveitis, harus dirujuk ke dokter spesialis mata karena membutuhkan pengobatan
yang lebih kompleks.
6. Endoftalmitis, panoftalmitis
Endoftalmitis
Endoftalmitis merupakan peradangan ebrat dalam bola mata, akibat infeksi setelah
trauma atau bedah, atau endogen akibat sepsis, berbentuk radang supuratif di dalam
rongga mata dan struktur di dalamnya.
Disebabkan oleh kuman dan jamur yang asuk bersama trauma tembus (eksogen)
atau sistemik melalui peredaran darah (endogen), atau dapat juga akibat infeksi
sekunder pada tindakan pembedahan yang membuka bola mata.
Manifestasi klinis berupa nyeri hebat, kelopak mata bengkak dan merah, kelopak
sukar dibuka, konjungtiva kemotik dan merah, kornea keruh, bilik mata depan
keruh yang kadang-kadang disertai dengan hipopion.
Tatalaksana
o Antibiotika melalui periokular atau subkonjungtiva.
Antibiotik topikal dan sistemik ampisilin 2 gr/hari dan kloramfenikol 3
gr/hari
Atau dapat dipilih antibiotik sesuai etiologi: stafilokokus-basitrasin
topikal, pneumokokus, streptokokus, dan stafilokokus-penisilin G,
neisseria-Penisilin G, Pseudomonas-gentamisin.
o Siklopegik, diberikan 3 kali sehari tetes mata.
o Kortikosteroid dapat diberikan dengan hati-hati
o Eviserasi, apabila pengobatan gagal
o Enukleas dilakukan bila mata telah tenang dan ftisis bulbi.
Panoftalmitis
Merupakan peradangan seluruh bola mata termasuk sklera dan kapsul tenon
sehingga bola mata merupakan rongga abses.
Disebabkan oleh infeksi ke dalam bola mata melalui peredaran darah (endogen) atu
perforasi bola mata (eksogen), atau akibat tukak kornea perforasi.
Manifestasi klinis berupa kemunduran tajam penglihatan disertai rasa sakit, mata
menonjol, edema kelopak, konjungtiva kemotik, kornea keruh, bilik mata dengan
hipopion dan refleks putih di dalam fundus dan okuli.
Pengobatan dengan antibiotik dosis tinggi dan bila gejala radang sangat berat
dilakukan segera eviserasi isi bola mata.
Miopia
- Etiologi dan klasifikasi
o Miopia refraktif : lensa lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat
o Miopia aksial : panjang axis bola mata terlalu panjang
- Derajat
Klasifikasi Sferis
Miopia Ringan < 3.00 D
Miopia Sedang 3.00-6.00 D
Miopia Berat >6.00 D
- Tatalaksana
Lensa sferis negatif terkecil yang memberikan visus maksimal.
Hipermetropia
Pada hipermetropia sinar sejajar difokuskan dibelakang retina.
- Derajat berdasarkan dioptri
Klasifikasi Sferis
Hipermetropia Ringan + 0.25 sampai + 3.00 D
Hipermetropia Sedang + 3.25 sampai +6.00 D
Hipermetropia Berat + 6.25 D atau lebih
- Hipermetropia dikenal dalam bentuk :
o Hipertemetropia Laten, dimana kelainan hipermetropia tanpa siklopegia
diimbangi seluruhnya dengan akomodasi.
o Hipermetropia Manifes, hipermetropia manifes didapatkan tanpa siklopegik,
yang dapat dikoreksi dengan kacamata positif maksimal yang memberikan visus
normal.
Hipermetropia manifes absolut, kelainan refraksi yang tidak diimbangi
dengan akomodasi dan memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh.
Hipermetropia manifes fakultatif, kelainan hipermetropia dapat
diimbangi dengan akomodasi ataupun dengan kacamata positif.
o Hipermetropia Total, hipermetropia laten dan manifes yang ukurannya
didapatkan setelah diberikan sikopegik.
Hipermetropia
Total
Hipermetropia Hipermetropia
Laten Manifes
Hipertmetropia
Hipermetropia
Manifes Fakultatif
Manifes Absolt
- Tatalaksana
Lensa sferis positif terbesar yang memberikan visus maksimal
Astigmatisme
Pada astigmatisme cahaya masuk tidak difokuskan pada satu titik.
- Klasifikasi
o Astigmatisme regular : kedua bidang utama saling tegak lurus
o Astigmatisme iregular : tidak mempunyai 2 meridian yang tegak lurus (titik
fokus tidak beraturan)
o Simple astigmatisme → satu titik tepat di retina, titik lain tidak
di retina (di depan atau di belakang retina)
Astigmatisme miopikus simpleks (C-)
Astigmatisme hipermetropi simpleks (C+)
o Compound astigmatisme → ketika kedua meridian terletak pada
depan atau belakang retina
Astigmatisme miopikus kompositus (C-, S-)
Astigmatisme hipermetropi kompositus (C+, S+)
o Mixed astigmatisme → satu titik di depan retina, satu titik
dibelakang retina, S dan C berlainan tanda engan syarat C>S
Presbiopi
- Usia tua lebih dari 40 tahun → kelemahan otot akomodasi, lensa mata
tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat sklerosis lensa.
Usia Koreksi Lensa
40 tahun + 1.00 D
45 tahun + 1.50 D
50 tahun + 2.00 D
55 tahun + 2.50 D
60 tahun + 3.00 D
2. Katarak
Definisi
Setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan
cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau keduanya
Manifestasi Klinis
Pandangan silau, berkabut/seperti asap, sulit melihat pada malam hari, diplopia, halo
sign, penurunan pengelihatan
Klasifikasi
- Katarak kongenital
o Definisi : katarak yang mulai terjadi sebelum atau segera setelah lahir
dan bayi berusia kurang dari 1 tahun
o Etiologi : infeksi rubela
o Manifestasi Klinis : bercak putih pada pupil atau leukokoria
o Tatalaksana : rujuk → operasi katarak kongenital
- Katarak juvenil : > 1 tahun
- Katarak senilis : > 50 tahun
Stadium Katarak Senilis
Insipien Imatur Matur Hipermatur
Kekeruhan Ringan Sebagian Seluruh Masif
Cairan Lensa Normal Bertambah (air Normal Berkurang
masuk) (air+masa lensa
berkurang)
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Bilik mata Normal Dangkal Normal Dalam
depan
Sudut bilik Normal Sempit Normal Terbuka
mata
Shadow test Normal Positif Normal Pseudopos
Penyulit - Glaukoma - Uveitis +
glaukoma
- Katarak Komplikata
Merupakan katarak akibat penyakit mata lain seperti radang dan proses
degenerasi, akibat suatu trauma dan pasca bedah mata.
Tatalaksana
- Intracapsular Cataract Extraction (ICCE)
Pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsul
- Extracapsular Cataract Extraction (ECCE)
Pembedahan dimana dilakukan pengeluaran isi lensa dengan memecah atau
merobek kapsul lensa anterior sehingga masa lensa dan korteks lensa dapat keluar
melalui robekan tersebut, kemudia dikeluarkan melalui insisi 9-10mm, lensa
intraokular diletakkan pada kapsul posterior.
- Phacoemulsification
Pembedahan dengan menggunakan vibrator ultrasonik untuk menghancurkan
nukleus yang kemudian diaspirasi melalui insisi 2,5-3mm, dan kemudian
dimasukkan lensa intraokular yang dapat dilipat/
3. Glaukoma
Definisi
Glaukoma ditandai dengan :
1. Tekanan bola mata meningkat
2. Atrofi papil saraf optik
3. Defek lapangan pandang
Klasifikasi
1. Glaukoma kongenital
- Buphthalmos (bola mata besar) dengan kornea keruh
- Mata merah dengan fotofobia dan epifora
Tatalaksana
Kelas Obat Regimen Mekanisme Aksi
Beta Bloker Timolol maleate 0.25%- Menurunkan sekresi
0.5%; 1-2 kali/hari aqueous humour melalui
stimulasi reseptor beta di
prosesus siliaris
Carbonic Anhidrase Acetazolamide 250mg Menurunkan produksi
Inhibitor tablet; ½-4 tab/hari aquoeus humour melalui
inhibisi enzim karbonik
anhidrase
Parasympathomimetic Pilocarpine 1,2,4%; 2- Meningkatkan
Drugs 4kali/hari /hari pengeluaran aqueous
humour melalui
trabekular meshwork
Prostaglandins Latanoprost 0.005%; Meningkatkan
1kali/hari pengeluaran aqueous
humour melalui
uveoscleral outflow
4. Retinopati
Merupakan kelainan pada retina yang tidak disebabkan radang.
5. Retinitis pigmentosa
- Merupakan degenerasi sel epitel retina, terutama sel batang, dan atrofi saraf optik
yang menyebar tanpa tanda inflamasi.
- Merupakan kelainan yang berjalan progresif dengan onset bermula sejak masa anak-
anak.
- Retinitis pigmentosa merupakan kelainan autosomal resesif, autosomal dominan, X
linked resesif.
- Manifestasi klinis → sukar melihat di malam hari (buta senja), lapang
pandang lebih sempit dibanding normal, buta warna
- Pemeriksaan funduskopi → penumpukan pigmen perivaskular di perifer
retina, atrofi pigmen epitel, arteri mengecil, papil pucat
- Tatalaksana :
a. Tidak ada pengobatan yang efektif
b. Dapat dicoba: vitamin A 10000-15000 IU, batasi asupan lemak harian,
fortifikasi Zinc, kacamata lapis gelap
- Klasifikasi
Ablasio retina rhegmatogen
- Terjadi akibat adanya robekan pada retina sehingga cairan masuk ke
belakang antara sel pigmen epitel dengan retina
- Faktor risiko : miopia tinggi, trauma, afakia dan post retinitis
- Manifestasi : gangguan pengelihatan yang terkadang terlihat sebagai tabir yang
menutup, fotopsia, floaters
- Pemeriksaan funduskopi : retina yang terangkat berwarna pucat dengan
pembuluh darah diatasnya dan terlihat adanya robekan retina berwarna
merah
3. CRAO, CRVO
Central Retinal Artery Occlusion (CRAO)
- Terdapat pada usia tua atau pertengahan
- Etiologi : arteritik (temporal arteritis), nonarteritik (emboli, aterosklerotik)
- Manifestasi :
• Pengelihatan kabur hilang timbul (amaurosis fugak)
• Serangan berulang visus menurun
• pupil anisokoria
- Pemeriksaan funduskopi: seluruh retina pucat, gambaran sosis pada arteri retina,
cherry red spot pada makula lutea, papil pucat dengan batas kabur
Gambar. CRAO
Gambar. CRVO
Gangguan Pengelihatan Warna
Pengelihatan warna diperankan oleh sel kerucut yang mempunyai pigmen terutama
cis aldehida A2.
Buta warna dapat dikenal dalam bentuk :
1. Trikromatik, yaitu keadaan pasien yang mempunyai 3 pigmen kerucut
yang mengatur fungsi pengelihatan.
- Protanomali (kurang merah), penurunan sensitivitas terhadap cahaya merah
- Deutronomali (kurang hijau) penurunan sensitivitas terhadap cahaya hijau
- Tritanomali (kurang biru), dimana pasien mempunyai ketiga pigmen kerucut
akan tetapi satu tidak normal.
2. Dikromat, pasien yang mempunyai 2 pigmen kerucut dan mengakibatkan
sukar membedakan warna tertentu.
- Protanopia (tidak kenal merah)
- Deuteranopia (tidak kenal hijau)
- Tritanopia (tidak kenal biru)
3. Monokromat atau akromatopsia dimana hanya terdapat satu jenis kerucut
Strabismus
Strabismus merupakan ketidakseimbangan dalam kedudukan bola mata.
Ortoforia : kedudukan bola mata dimana kerja otot seimbang sehingga memungkinkan
terjadinya fusi tanpa usaha apapun. Pada ortoforia kedudukan bola mata tidak berubah
walaupun refleks fusi terganggu.
Heteroforia (strabismus laten) : kedudukan bola mata normal namun timbul deviasi bila
refleks fusi terganggu
o Esoforia : deviasi sumbu pengelihatan kearah nasal yang tersembunyi oleh karena
masih adanya refleks fusi
o Eksoforia : deviasi sumbu pengelihatan kearah temporal
o Hiperforia : deviasi sumbu pengelihatan kearah atas
o Hipoforia : deviasi sumbu pengelihatan kearah bawah
Heterotropia : suatu keadaan deviasi sumbu bola mata yang nyata dimana kedua sumbu
pengelihatan tidak berpotongan pada titik fiksasi.
o Esotropia
o Eksotropia
o Hipertropia, hipotropia
Ambliopia
- Definisi : Ambliopia adalah suatu keadaan mata dimana tajam pengelihatan tidak
mencapai optimal sesuai dengan usia dan intelegensinya walaupun sudah
dikoreksi kelainan refraksinya.
- Etiologi
• Anisometropia : suatu kondisi dimana terdapat perbedaan refraksi pada kedua mata
yang terlalu besar atau lebih dari 2.5 dioptri.
• Strabismus
• Katarak
• Oklusi
- Pemeriksaan
• Uji crowding phenomena
• Uji densiti filter netral
• Uji worth’s four dot
Trauma Mata
1. Corpus alienum
Corpus alienum konjungtiva
- Mata terasa mengganjal, epifora, kemosis konjungtiva
- Biasa pada forniks
- Tatalaksana :
1. Anestesi lokal lidokain 2%
2. Ekstraksi dengan lidi kapas
3. Antibiotik topikal
Corpus alienum kornea
- Mata terasa mengganjal, epifora, fotofobia, nyeri, visus dapat turun ataupun tidak
- Pemeriksaan :
- Slit lamp
- Fluorescein test untuk mengetahui adanya erosi kornea
- Tatalaksana → rujuk
- Anestesi lokal
- Ekstraksi dengan cotton buds ke arah limbus; gram besi ekstraksi dengan
ujung nald
- Antibiotik topikal
2. Hifema
Definisi
Darah di dalam bilik mata depan akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah
iris atau badan siliar.
Grade
Tatalaksana
o Bed rest dengan head up 30o
o Jika perdarahan terus menerus → asam tranexamat
o Parasintesis, jika : terlihat tanda imbibisi kornea, glaukoma sekunder, hifema
penuh, atau bila setelah 5 hari tidak terlihat tanda-tanda hifema berkurang
Komplikasi
Glaukoma sekunder, imbibisi kornea, siderosis bulbi
Tatalaksana
1. Irigasi dengan larutan garam fisiologis selama mungkin dan paling sedikit 15-30
menit.
2. Menentukan sifat bahan kimia menggunakan kertas lakmus
3. Steroid topikal untuk mengurangi peradangan
4. Siklopegik topikal
5. Asetazolamid → mengurangi TIO
6. Antibiotik topikal
Tumor Mata
1. Karsinoma sel skuamosa
- Karsinoma sel skuamosa berasal dari epitel skuamosa berlapis.
- 5-10% dari keganasan kelopak mata
- Manifestasi : nodul hiperkeratosis yang tumbuh progresif lambat, tidak nyeri.
Terdapat ulserasi dangkal dengan granular, dasar eritem dengan tepi keras
dan meninggi.
- Cenderung invasif lokal dan dapat bermetastasis ke kelenjar getah bening regional.
4. Retinoblastoma
- Retinoblastoma adalah neoplasma intraokular primer ganas yang muncul dari sel
neuroepitel immature
- Paling sering berkembang pada beberapa tahun pertama kehidupan, terkadang
telah teridentifikasi dengan pencitraan prenatal
- Sebagian individu memiliki delesi pada kromosom 13q, 90-95% autosomal dominan
- Retinoblastoma yang kecil bermanifes sebagai nodul retina putih yang tembus cahaya
5. Rhabdomyosarcoma
- Rhabdomyosarcoma merupakan tumor orbital primer ganas yang paling umum terjadi
pada anak-anak
- Sebelum usia 10 tahun
- Manifestasi : proptosis dan/atau displacement bola mata kebawah, karena dua pertiga
dari tumor ini terletak di orbit superonasal.
- Tumor dapat menghancurkan daerah sekitar tulang orbita dan menyebar ke otak
- Terapi tergantung stadium meliputi pembedahan, kemoterapi dan/atau radioterapi
Gambar. (a) rhamdobyosarcoma di orbita kanan; (b) MRI potongan coronal menunjukkan
tumor di superonasal orbita,
6. Hemangioma Kapiler
- Hemangioma kapiler merupakan tumor orbital jinak yang paling umum pada anak-
anak
- Lesi superfisial yang melibatkan kelopak mata berwarna kemerahan
(strawberry nevus) dan lesi orbita lebih berwarna kebiruan.
- Lebih dari 90% terlihat sebelum usia 6 bulan
- Cenderung membesar dengan cepat di tahun pertama kehidupan dan regresi perlahan
selama 6-7 tahun.
- Tatalaksana :
• steroid sistemik atau intralesi merupakan terapi first line
• beta bloker (propanolol)
Gambar. hemangioma kapiler dengan keterlibatan cutaneus dan orbital
pada sisi kanan yang menyebabkan esotropia.
(a) sebelum terapi; (b) resolusi setelah 4 bulan terapi dengan propanolol.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, Sidarta dan Yulianti, Sri Rahayu. 2015. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta :
Badan Penerbit FKUI
2. Eva, Paul Riordan dan Augsburgur, James J. 2018. Vaughan dan Asbury’s General
Opthalmology Nineteenth Edition. United Stage:McGraw-Hill Education
3. www.aao.org
4. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/
5. AAO. 2020. External Disease and Cornea. San Francisco: American Academy of
Ophthalmology.
6. Riordan-Eva, P dan Augsburger, J. 2018. Vaughan & Asbury’s General Ophthtalmology
19th edition. New York: McGraw-Hill Education.
7. Caldwell, M., Hirst, L, dkk. 2021. Pterygium. Available at:
https://eyewiki.org/Pterygium
8. Sarkar, P., dan Tripathy, K. 2021. Pterygium.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK558907/
9. Schonberg, S. dan Stokkermans, T. 2021. Episcleritis.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534796/
10. Somnath, A. dan Tripathy, K. 2021. Pingecuela.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK558965/
11. Ryder. E. dan Benson, S. 2020. Conjunctivitis.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK567744/
12. Feroze, K. dan Kaufman, E. 2021. Xerophtalmia.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK431094/
13. Azari, A. dan Arabi, A. 2020. Conjunctivitis: A systematic Review. Journal of
Ophthalmologic and Vision Research.
https://www.researchgate.net/publication/343538969_Conjunctivitis_A_Systematic_Rev
iew
14. Baab, S., Le, P., dan Konzer, E. 2021. Allergic Conjunctivitis.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448118/
15. Singh, P, dan Tripathy, K. 2021. Keratitis.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559014/
16. AAO. 2018. Dry Eye Syndrome Preffered Practice Pattern. San Francisco: American
Academy of Ophthalmology.
17. Hwang, F., Sirajedin, A., Bunya, V., dkk. Mooren’s ulcer.
https://eyewiki.aao.org/Mooren's_Ulcer
18. Duplechain, A., Conrady, C., dkk. 2021. Uveitis.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK540993/