Abstract
Islamic education will never escape from the basic fundamentals of the Qur'an and Sunnah.
Both play an absolute role in the education process which involves education practitioners
as a whole and has no limits at all levels, ages, even positions. The role of educators is
crucial to achieving educational goals because it is in direct contact with students on a
daily basis. Services and education try to pass on the value of endeavor to students in
running their activities. Control in the inner battle between good and evil that is
Sunnatullah must if made the main basis. This study will explore the views of the previous
Muslim scientists in the book of Tafsir Ibn Katsir, Al-Maraghi, and At-Thabari which the
author relied on in writing. God as the Educator of the Universe always pays attention to
His servants as evidenced by the delegation of Malaikat at all times to safeguard people
from misconduct and always direct humans on the straight path.
Abstrak
Pendidikan Islam tidak akan pernah melepaskan diri dari dasar-dasar yang hakiki yaitu Al-
Qur’an dan Sunnah. Keduanya berperan mutlak dalam proses Pendidikan yang melibatkan
pelaku pendidikan secara menyeluruh dan tiada batas baik jenjang, usia, bahkan jabatan
sekalipun. Peran pendidik krusial untuk mencapai tujuan pendidikan karena bersentuhan
langsung dengan peserta didik pada kesehariannya. Pelayanan dan pendidikan berusaha
menularkan nilai ikhsan kepada peserta didik dalam menjalakan aktivitasnya. Kontrol
dalam peperangan batin antara kebaikan dan keburukan yang bersifat Sunnatullah harus
jika jadikan dasar utama. Kajian ini akan mengupas pandangan para mufassir terdahulu
dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, Al-Maraghi, dan At-Thabari yang penulis jadikan sandaran
dalam penulisan. Allah sebagai Pendidik Semesta Alam selalu memperhatikan hamba-Nya
terbukti pendelegasian para malaikat setiap waktu untuk menjaga manusia dari perbuatan
tercela dan selalu mengarahkan manusia pada jalan yang lurus.
1
HAK PREROGATIF ALLAH KEPADA MALAIKAT |2
PENDAHULUAN
Pendidikan seyogyanya menciptakan suasana yang nyaman, aman, dan
damai bagi para pelaku di dalamnya tanpa terkecuali. Pencapaian kualitas ideal
dalam pendidikan tidak dapat diukur hanya sekedar penilaian formatif tapi harus
juga melalui pendekatan normatif yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Hal ini kemudian akan menghadirkan pemahaman mendalam terkait hakikat
pendidikan guna menghidupkan nilai ketauhidan bagi para pelakunya. Namun jika
tidak dipahami dengan tepat, maka hal ini kemudian akan memunculkan masalah
dan problematika dalam dunia pendidikan.
Pencapaian sebuah tujuan tentu tidak terlepas dari proses yang dihadapi.
Perjalanan panjang atas kehidupan jika tidak dapat dimaknai secara hakikat maka
hanya mengantarkan manusia ke jalan yang penuh dengan kehampaan dan ke sia-
siaan karena ketidak tepatan dalam berpijak.2 Ini akhirnya diperlukan effort yang
sungguh-sungguh dari pemangku kepentingan secara menyeluruh untuk dapat
menghadirkan nili-nilai yang akan bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat.
Usaha dan upaya yang kemudian membutuhkan kerjasama akan mendapat
hambatan jika metode dan pendekatan yang digunakan bertentangan dengan dasar
ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
1
Mahfud, “Mengenal Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi dalam Pendidikan Islam”,
dalam Cendikia: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 4 No. 1 Juni 2018, h. 87
2
Humam Mustajib, “Filsafat Pendidikan Hasan Langgulung”, dalam El-Tarbawi, Vol. 9 No.
2 Januari 2016, h. 91
Berangkat dari pernyataan di atas secara makna memberikan kita isyarat dan
pencerahan bahwa kita tidak boleh berlari serta menjauhi disiplin ilmu Tafsir Al-
Qur’an mengenai pemahaman di dalamnya, secara khusus terkait dengan Tafsir
ayat-ayat pendidikan. Berhubungan dengan hal tersebut, maka dalam literatur ini
akan dihadirkan tafsir ayat-ayat pendidikan mengenai hubungan Allah dan pelaku
pendidikan secara menyeluruh baik itu pendidik, peserta didik, dan keluarga.
METODE
Dalam tulisan ini penulis menggunakan penelitian kualitatif dalam kategori
kepustakaan (library research) yang pokok kajiannya dihasilkan dari sumber yang
sudah ada yaitu kitab tafsir para mufassir terdahulu. Adapun sumber data yang
digunakan adalah buku, karya ilmiah, dan penelitian terdahulu yang telah dilakukan
oleh tokoh pemikir sebelumnya.3 Sumber data sekunder ini diperoleh dari tangan
kedua yang pada kondisinya tidak terbatas ruang dan waktu.4 Sumber data tersebut
kemudian peneliti analisis berdasarkan pengumpulan data pustaka serta diolah
untuk sajikan dalam bentuk pengetahuan baru yang disebut juga hasil temuan.
Analisis deskriptif komparatif dijadikan sebagai pendekatan yang dilakukan
dalam penulisan ini yang bertujuan untuk membuat konsep dasar baru.5 Teori
substantif ini menjelaskan temuan secara deskriptif yang memiliki relevansi dengan
realita dalam lingkup pendidikan Islam sebagai objek penulisan. Nantinya
penafsiran hasil temuan bertujuan untuk memperkuat ataupun memperjelas teori
yang sudah ada.6 Penulisan ini berusaha meng-construct teori lama dengan temuan
penelitian hingga akhirnya memberikan pandangan baru terkait nilai pendidikan
yang ada dalam Q.S Ar-Ra’du ayat 11.
3
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2017), Cet. ke-36, h. 159
4
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Pustaka Obor, 2014), h. 4-5
5
Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 269
6
J.R Raco, Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karakter, dan Keunggulannya, (Jakarta:
Grasindo, 2010), h. 127
A. Hasil
Tabel 1 Penjagaan Malaikat Allah Terhadap Manusia
B. Pembahasan
ْح
ِ صبُّ ص َلةِ ال َ َو َيجْ ت َِمعُونَ فِي،ار ِ َيتَ َعاقَبُونَ فِي ُك ْم َم َل ِئ َكةٌ ِباللَّ ْي ِل َو َم َل ِئ َكةٌ ِبال َّن َه
:ص َع ُد ِإلَ ْي ِه الَّذِينَ َباتُوا فِي ُك ْم فَ َي ْسأَلُ ُه ْم َوه َُو أ َ ْعلَ ُم بكم
ْ فَ َي،ص ِر ْ ص َلةِ ْال َع َ ْف َو َ َكي
َصلُّون
َ ُ َوت ََر ْكنَا ُه ْم َو ُه ْم ي، َصلُّون
َ ُ أَتَ ْينَا ُه ْم َو ُه ْم ي: َت ََر ْكت ُ ْم ِع َبادِي؟ فَ َيقُولُون
7
Al-Imam Abul Fida Ismai’il Ibnu Katsir ad-Dimasyqy, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir
Juz 13, (Bandung: Sinar Baru Al-Gesindo, 2006), h. 482
8
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid VIII, (Jakarta: Gema Insani, 2010), h. 38
9
Az Zamakhsyari, al-Kasyaf an Haqaiq Gawamid at Tanzil wa Uyun al Aqawil fi Wujuh
at Ta’wil Juz III, (Beirut: Dar El Hadist, 2008), h. 336
10
Al-Maraghi, Ahmad Mustofa, Tafsir al-Maraghi Juz XIII, (Beirut, tt, 1365), h. 77
11
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ayi Al-Qur’an
(Beirut: Dar al-Fikr, 1995), h. 369
Allah kemudian bermaksiat dan durhaka kepada Allah, pasti Allah merubah
dari mereka apa yang disenangi menjadi sesuatu yang mereka benci.”12
Masih memiliki kaitan dengan ayat sebelumnya yang membicarakan
tugas mulia para malaikat. Tidak sebatas penjagaan dan pencatatan semata,
adapun tindak lanjut dari pengawasan malaikat ini langsung ditangani oleh
Allah SWT. Segala upaya manusia untuk merubah keadaan dan kondisi
mereka di aminkan oleh Allah dengan merubah keadaan hamba-Nya.
Keadaan dan kondisi manusia yang dimaksudkan disini yaitu
berkaitan dengan kenikmatan, bencana, kemuliaan, kerendahan, kedudukan,
atau kehinaan suatu hamba13. Hal yang paling penting disini adalah sejauh
mana manusia dapat mengolah perasaan, perbuatan, dan kenyataan hidup
mereka agar senantiasa dalam kebenaran dan jauh dari kezhaliman. Hukum
sebab-akibat bermain disini, yang mengakibatkan manusia berada dalam
posisi kurang baik adalah sebab-sebab yang telah dilakukan manusia itu
sendiri. Adapun ketentuan Allah ini mutlak atas kehendak Allah tidak bisa
diduga oleh manusia itu sendiri.
Konsekuensi manusia sebagai ciptaan Allah sudahlah amat jelas
yaitu beribadah dan melakukan amar ma’ruf . Segala yang kita lakukan jika
kita sandarkan kepada Allah maka segala sesuatunya akan mudah, tentunya
diiringi dengan usaha dan kerja keras kita sebagai makhluk ekonomi sosial.
Allah memberikan keleluasaan kepada kita untuk melakukan hal apapun
sesuai kehendak kita selama masih berada dalam koridor Allah
Dalam tafsir Al-Thobari dijelaskan bahwa yang dimaksud pada ayat
ini adalah keadaan manusia dalam hal kesehatan dan nikmat 14. Dapat
dikatakan bahwa segala nikmat dan sehat yang kita alami sesungguhnya
adalah usaha dan kemampuan kita untuk menjaga takdir yang telah Allah
tentukan kepada kita, adapun sebaliknya jika kita mendzalimi atas takdir
Allah maka kita mendapatkan konsekuensi atas apa yang kita perbuat.
12
Ibnu Katsir ad-Dimasyqy, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir Juz 13, h. 484
13
Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid VIII, h. 38
14
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ayi Al-Qur’an, h. 383
2. Nilai-nilai Pendidikan
a. Tauhid Uluhiyyah-Nilai Ketaatan kepada Allah
Kasih Allah kepada kita sebagai hamba dapat dianalisa dengan
sangat mudahnya. Alat indera sudah paling sempurna, Allah berikan
akal untuk kita berpikir, rasa sudah Allah sisipkan dalam diri kita untuk
merasakan kenikmatan luar biasa. Pertanyaan mendasar bagi manusia
adalah pengulangan ayat sebanyak 31 kali dalam surah Ar-Rahman.
15
Muhammad Ahsin Sakho, Keberkahan Al-Qur’an:Memahami Tema-Tema Penting
Kehidupan dalam Terang Kitab Suci, (Jakarta: Qaf Media Kreativa, 2017), h. 84
16
Abdul Hadi Hasan, Agar dicintai Allah-Fii Zhilalil Mahabbah, (Jakarta: Robbani Press,
2003), h. 14
c. Pendidikan Karakter-Ikhsan
Pembinaan manusia dalam kehidupan ini secara keseluruhan
telah di atur oleh Al-Qur’an. Pendidikan karakter yang di galakkan
akhir-akhir ini oleh pemerintah ternyata sudah terlebih dahulu bahkan
Allah sudah memberikan banyak isyarat tentang pentingnya karakter
baik segi spiritual, mental, dan akhlak. Karakter seseorang tidak menjadi
baik jika tidak dilandasi dengan nilai spiritual yang tinggi, sentuhan
spiritual begitu memiliki makna hebat untuk pembinaan manusia.
Pendekatan Allah untuk melakukan pembinaan kepada hamba-
Nya sangatlah sempurna dan salah satunya dibuktikan dengan turunnya
ayat ini yang menjadikan malaikat sebagai media yang menjembatani
terwujudnya manusia yang berkarakter dengan ibadah. Segala yang
dilakukan oleh malaikat hakikatnya untuk mengontrol dan mengawasi
yang secara kasat mata keberadaannya tidak bisa dijangkau. Hanya
manusia yang memiliki keyakinan dan penghambaan kepada Allah lah
yang dapat merasakan kehadiran dan kontrol Allah melalui malaikat.
Menarik bagi penulis untuk mengkaitkannya dengan nilai Ikhsan.
Ikhsan berasal dari kata bahasa Arab َحسُن
َ yang berarti berbuat baik,
ْ س
bentuk mashdarnya yaitu ان َ ْ اِحyang berarti kebaikan. Ihsan dalam arti
khusus disamakan dengan akhlak, yaitu tingkah laku dan budi pekerti
yang baik.17 Pendapat lain mengemukakan ihsan dengan muraqabah
yang berarti merasa diawasi; penghambaan dan ibadah kita kepada
Allah seakan-akan dilihat dan diperhatikan.18
17
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 37
18
Abdul Hadi, Agar dicintai Allah-Fii Zhilalil Mahabbah, h. 188
19
Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith, Mengenal Mudah Rukun Islam, Rukun Iman, Rukun
Ihsan Secara Terpadu, h. 123
20
Zakiah Daradjat, Dasar-Dasar Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 256
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ayi Al-Qur’an, h. 370
21
Amzah, 2015), h. 10
23
Yusuf, Tafsir Tarbawi : Pesan-Pesan Al-Qur’an tentang Pendidikan, h. 139
Allah pada hakikatnya tidak dibatasi oleh waktu karena datangnya gelap
dan kita terlelap masih ada kegiatan ibadah.
Fenomena ini penulis pahami sebagai proses pembelajaran
dimana Allah adalah Pendidik bagi alam semesta yang dijadikan-Nya
sebagai media bagi manusia untuk dapat belajar lebih dekat dengan
Allah menggunakan potensi jasmani dan rohani yang dimiliki manusia24
dengan memanfaatkan segala sesuatu yang ada di bumi sebagai
penghormatan Allah atas manusia25.
Menarik dan membuat penulis berpikir lebih dalam tentang rotasi
yang Allah tetapkan pada malaikat penjaga. Ibnu Katsir menerangkan
perotasian malaikat terjadi pada waktu ashar dan shubuh sehingga dua
waktu tersebut pastinya memiliki keistimewaan. Jikalau memang tidak,
kenapa bukan waktu sholat magrib yang digunakan untuk berotasi
dimana waktu itulah yang menjadi pembatas antara siang dan malam.
Setelah melewati proses berpikir berdasar pada kajian literatur
Qur’an, penulis mencoba sedikit menoleh kepada Qur’an Surat Al-‘Ashr
yang memiliki arti demi masa/waktu. Allah mengajak manusia lewat
surah ini untuk memikirkan kembali apakah waktu yang telah
dihabiskan bermanfaat dan bernilai ibadah ataukah justru
menjerumuskan manusia ke dalam jurang kerugian.
Dengan jumlah ayat yang sedikit namun ternyata surat ini
memiliki makna yang sangat luas bahkan dapat menjadi tolak ukur
kesuksesan manusia. Imam Asy Syafi’i dalam tafsir Ibnu Katsir berkata
; “Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu
akan mencukupi untuk mereka.26” Cukup jelas bahwasanya Allah
ciptakan waktu ashar ini khusus bagi manusia untuk mengevaluasi diri
mereka atas apa yang telah diperbuat untuk kemudian diperbaiki.
24
Yusuf, Tafsir Tarbawi : Pesan-Pesan Al-Qur’an tentang Pendidikan, h. 7
25
Sakho, Keberkahan Al-Qur’an:Memahami Tema-Tema Penting Kehidupan dalam
Terang Kitab Suci, h. 52
26
Muhammad Nur Ichwan Muslim, Tafsir Surat Al-‘Ashr: Membebaskan Diri Dari
Kerugian, dipublikasikan pada 7 April 2010 pada laman muslim.or.id, di akses pada 13 November
2019 Pukul 00.24 WIB.
27
PERMENDIKBUD No. 23 Tahun 2016, BAB IV, Pasal 5
28
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.
29
Yusuf, Tafsir Tarbawi : Pesan-Pesan Al-Qur’an tentang Pendidikan, h. 92
atau tidak. Ruang lingkup ibadah ini sangat luas karena menyangkut
ketaatan manusia terhadap aturan Allah. Hubungannya vertikal dan
horizontal yaitu berhubungan langsung dengan Allah dalam hal ibadah,
dan aturan yang berhubungan dengan manusia terkait perbuatan.
Pendidikan dan ibadah menghasilkan pola pikir rasional dan
integral bahwa sesungguhnya sebuah pendidikan tidak bisa terlepas dari
ibadah. Pembahasan malaikat untuk mengawal perbuatan manusia sama
hal nya dengan Allah senantiasa memberikan perintah kepada kita untuk
selalu memulai segala aktivitas dengan nama Allah dan karena Allah.
h. Kerja keras
Takdir yang Allah gariskan kepada kita di dunia terdiri atas
kemudahan dan kesulitan sebagaimana telah diterangkan dalam Q.S Al-
Insyirah ayat 5 dan 6. Ahsin Sako dalam bukunya menyatakan kata “al-
‘usr” dan “yusran” memiliki makna mendalam. Kesulitan yang ada di
dunia bersifat sementara sedangkan kemudahan bersifat tidak terbatas,30
kesuksesan di dunia pasti melewati fase kesulitan di dalam nya.
Banyak sekali nikmat yang kita rasakan hingga tidak dapat kita
deskripsikan kata demi kata, Sayyidina Ali pernah menyebutkan bahwa
nikmat dibagi menjadi 6 macam, yaitu ; Islam, Qur’an, Muhammad,
terpelihara dari ‘aib, keselamatan, dan kecukupan. Adapun hal yang bisa
disetarakan dengan kenikmatan dunia yaitu; makanan lezat, anak sholeh,
istri sholehah, ucapan yang dapat dipercaya, akal, dan kesehatan.31
31
Sholihin, Terjemahan Kitab: Nashaihul Ibad, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 210
32
Wahyudi, Dedi, dan Lilis Marwiyanti, Penerapan Model Pembelajaran Inside Outside
Circle dalam Mata Pelajaran Akidah Akhlak, dalam Jurnal MUDARRISUNA, Vol. 2 No. 2 July-
Desember 2017, h. 276
33
Nurwahidin, Memaknai Eskatologi dan Semangat Etos Kerja Islami, dalam Humanika,
Vol. 9 No. 1 Maret 2009, h. 17
34
Sakho, Oase Al-Qur’an Penyejuk Kehidupan, h. 118.
35
Sholihin, Terjemahan Kitab: Nashaihul Ibad, h. 90
36
Abu Abdullah Ali al-Maghribi, Terjemahan Kitab: Ash Shahih Min Fadhail al-A’mal wal
Auqat wal Amkinah, (Jakarta:Darul Haq, 2006), h. 204
SIMPULAN
Ayat ini secara garis besar merupakan peringatan dari Allah kepada orang-
orang musyrik dan umat muslim secara umum. Memperolok para Nabi dan Rasul
Allah merupakan hal yang mencelakakan mereka (musyrik), dan umat muslim
senantiasa berbuat kebajikan dan mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan
dengan meningkatkan nilai Iman dan Taqwa dilandasi niat beribadah kepada Allah.
Segala perbuatan dan tingkah laku hamba menjadi target malaikat dalam
menjalankan tugas dari Allah SWT. Senantiasa apa yang dikerjakan berlandaskan
atas niat ibadah kepada Allah bukan karena hal lain, dimaksudkan agar keridhoan
dan Rahmat Allah sampai kepada kita. Adapun urusan hati adalah hubungan
manusia dengan Allah dan diluar kekuasaan serta tanggung jawab malaikat.
Nilai Pendidikan yang terkandung dalam ayat ini sangatlah luas, hal yang
dinilai penting diataranya yaitu nilai ketauhidan. Bertauhid kepada Allah dengan
kesungguhan dan yakin atas Dzat Yang Maha Esa merupakan kewajiban nyata bagi
umat muslim. Memikirkan betapa Besar dan Kasihnya Allah kepada hamba-Nya
dengan segala penciptaan yang maha sempurna teruntuk manusia adalah kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinan kita kepada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Dimasyqy, Al-Imam Abul Fida Ismai’il Ibnu Katsir, Terjemahan Tafsir Ibnu
Katsir Juz 13, Bandung: Sinar Baru Al-Gesindo, 2006.
Al-Maghribi, Abu Abdullah Ali, Terjemahan Kitab: Ash Shahih Min Fadhail al-
A’mal wal Auqat wal Amkinah, Jakarta : Darul Haq, 2006.
Al-Maraghi, Ahmad Mustofa, Tafsir al-Maraghi Juz XIII, Beirut, tt, 1365.
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ayi Al-
Qur’an, Beirut : Dar al-Fikr, 1995.