Asuransi merupakan suatu sistem ganti kerugian yang bersifat finansial atau materil
dengan cara mengadakan pengalihan risiko dari suatu pihak kepada pihak lain. Dasar
hukum asuransi secara materil Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya ditulis
KUHD). Pasal 246 KUHD merumuskan bahwa:
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung
mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk
memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang
tak tertentu.1
Salah satu unsur penting dalam peristiwa asuransi yang terdapat dalam rumusan Pasal
246 KUHD adalah ganti kerugian. Unsur tersebut hanya menunjuk kepada asuransi
kerugian (loss insurance) yang objeknya adalah harta kekayaan. Asuransi jiwa ( life
insurance) tidak termasuk dalam rumusan Pasal 246 KUHD, karena jiwa manusia bukanlah
harta kekayaan.2
Salah satu asuransi yang sudah disebut dalam KUHD adalah asuransi laut. Asuransi ini
merupakan asuransi kerugian yang oleh KUHD sudah diatur secara lengkap. Berkembangnya
asuransi laut karena pelaksanaan pengangkutan atau pelayaran melalui laut yang penuh
dengan ancaman bahaya laut.
Dalam asuransi angkutan laut, kepentingan yang ditanggung (insurable interest) terdiri
dari kapal dan muatannya (barang). Kapal dipertanggungkan oleh pemilik kapal kepada
penanggung, sedangkan barang-barang dipertanggungkan oleh pemilik barang.3
Menurut ketentuan Pasal 593 KUHD, yang dapat menjadi objek asuransi laut adalah
benda-benda berikut ini:4
1. Tubuh kapal (kasko) kosong atau bermuatan, dengan atau tanpa persenjataan,
berlayar sendirian atau bersama-sama dengan kapal lain;
2. Alat perlengkapan kapal.
3. Alat perlengkapan perang.
4. Bahan keperluan hidup bagi kapal.
5. Barang-barang muatan
6. Keuntungan yang diharapkan diperoleh.
7. Biaya angkutan yang akan diterima.
1
Subekti, dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Dan Undang-Undang Kepailitan,
(Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2013), h. 77.
2
Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H., Hukum Asuransi Indonesia Cetakan Keenam 2015, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2015), h. 9.
3
Radiks Purba, Asuransi Angkutan Laut, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), h. 4.
4
Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H., Hukum Asuransi Indonesia Cetakan Keenam 2015, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2015), h. 169.
2
Kerugian dapat timbul karena peristiwa kebetulan atau karena unsur ketidaksengajaan,
baik karena dari pihak tertanggung ataupun karena pihak ketiga. Tertanggung yang
mengasuransikan harta bendanya kepada perusahaan asuransi, apabila terjadi kerugian
namun diakibatkan oleh pihak ketiga, maka tertanggung akan mendapatkan ganti kerugian
dari pihak asuransi, sedangkan pihak asuransi dapat menggantikan posisi tertanggung untuk
menuntut ganti kerugian kepada pihak ketiga tersebut. Tuntutan perusahaan asuransi kepada pihak
ketiga yang menimbulkan kerugian tersebut dinamakan subrograsi.
Subrogasi itu sendiri diatur dalam Pasal 284 KUHD, yang sebenarnya merupakan
pengembangan subrograsi utang-piutang pada Pasal 1400 Kitab Undang Undang Hukum Perdata
(selanjutnya ditulis KUHPerdata). Penjelasannya yaitu penanggung yang telah membayar
ganti kerugian atas benda yang diasuransikan mendapat semua hak-hak yang ada pada
tertanggung terhadap orang ketiga mengenai kerugian itu dan tertanggung bertanggung
jawab untuk setiap perbuatan yang mungkin dapat merugikan hak penanggung terhadap
pihak ketiga itu. Jika tertanggung mempunyai hak untuk menuntut ganti kerugian kepada
penanggung, maka penanggung juga mempunyai hak untuk menuntut ganti kerugian kepada
pihak ketiga penyebab kerugian terjadi.
Adanya hak subrogasi bertujuan untuk mencegah penggantian kerugian ganda yang
akan diperoleh tertanggung. Selain itu tertanggung juga dapat langsung menuntut kerugian
terhadap pihak ketiga tetapi tidak lagi menuntut klaim terhadap pihak asuransi.
Namun, dalam praktiknya ternyata penuntutan hak subrogasi banyak menimbulkan
sengketa hukum. Sengketa hukum ini biasanya disebabkan karena pihak ketiga melalaikan
tanggung jawabnya untuk melaksanakan tuntutan hak subrogasi dengan cara tidak mau
membayar ganti kerugian dengan berbagai macam alasan, sehingga menimbulkan kerugian
terhadap pihak perusahaan asuransi yang telah membayar klaim kepada tertanggung.
Sengketa hukum yang terjadi mengenai tuntutan hak subrogasi dilakukan oleh para pihak
sampai ke pengadilan agar para pihak bisa mendapatkan hak yang seadil-adilnya.
Salah satu putusan pengadilan yang menjelaskan tentang sengketa hak subrogasi yaitu
Putusan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 322
PK/Pdt/2018. Subjek atau para pihak dalam putusan tersebut yaitu PT. Asuransi Indrapura
sebagai perusahaan asuransi dan juga sebagai pihak penggugat, PT. Pelayaran Nasional
Fajar Marindo sebagai perusahaan pengangkutan laut pemilik kapal penarik (tugboat Putra
Bess 005) dan juga sebagai pihak tergugat sekaligus sebagai pihak ketiga, serta PT. Surya
Karya Cipta Makmur sebagai pihak tertanggung dan juga sebagai pemilik kapal tongkang
(TK. Cipta Makmur I). Sedangkan objek dalam putusan berupa dokumen yang
disengketakan oleh para pihak, yaitu Surat Pernyataan Pelimpahan Hak (Letter of
Subrogation).
3
Adapun dalam kasus perdata antara PT. Asuransi Indrapura melawan PT. Pelayaran
Nasional Fajar Marindo yang berkaitan dengan PK, yakni bermula ketika diajukan dimuka
persidangan Pengadilan Negeri Jambi telah memberikan Putusan Nomor
10/Pdt.G/2013/PN.Jbi telah diputus pada tanggal 31 Juli 2013, putusan tersebut telah
memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dengan putusan hakim menolak
gugatan provisi penggugat. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Jambi dengan Putusan
Nomor 60/PDT/2011/PT.JBI., tanggal 6 Januari 2014 membatalkan putusan PN Jambi.
PT. Pelayaran Nasional Fajar Marindo kemudian mengajukan upaya hukum kasasi
namun ditolak oleh Mahkamah Agung dengan Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 2366K/Pdt/2014, tanggal 23 Maret 2015. Tidak berhenti sampai di situ,
untuk mencari keadilan, PT. Pelayaran Nasional Fajar Marindo melakukan upaya hukum
Peninjauan Kembali dengan alasan kekhilafan hakim yang menjadi dasar mengajukan PK.
Namun, PK tersebut juga ditolak oleh Mahkamah Agung.
Berdasarkan keterangan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
terhadap Putusan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung Repiblik Indonesia dan
dituangkan dalam skripsi yang berjudul “IMPLEMENTASI HAK SUBROGASI DALAM
SENGKETA ASURANSI RANGKA KAPAL (Studi Kasus Putusan Peninjauan
Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 322 PK/Pdt/2018)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahn yang dapat dirumuskan
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana doktrin subrogasi yang terdapat dalam hukum asuransi di Indonesia?
2. Bagaimana Implementasi Hak Subrogasi Dalam Sengketa Hukum Asuransi Rangka
Kapal dalam perkara Perusahaan PT. Asuransi Indrapura melawan PT. Pelayaran
Nasional Fajar Marindo Berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 322 PK/Pdt/2018?
4
5
. Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 121.
5
kegunaan yang positif baik bagi masyarakat, perusahaan maupun bagi pembangunan suatu
negara. Suatu perusahaan yang mengalihkan risikonya melalui perjanjian asuransi akan
mampu meningkatkan usahanya dan berani menggalang tujuan yang lebih besar.6
Ketentuan Pasal 246 KUHD memberi pengertian tentang apa yang dimaksud dengan
asuransi, maka dijumpai beberapa unsur sebagai berikut:
1. Asuransi sebagai suatu perjanjian
Di dalam perumusan Pasal 246 KUHD tentang arti Asuransi atau pertanggungan
itu ada unsur suatu perjanjian, maka dapatlah dikatakan asuransi itu juga mengikuti
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam hukum perjanjian yang diatur di dalam
KUHPerdata. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa
setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (tegoeder trouw good
faith). Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 KUHPerdata.
2. Asuransi sebagai perjanjian ganti rugi (contract of indemnity)
Di dalam perjanjian pertanggungan pihak penanggung terikat untuk memberikan
ganti rugi kepada tertanggung sehingga sebenarnya Asuransi itu merupakan
perjanjian ganti rugi (contract of indemnity).
3. Di dalam asuransi juga dikenal adanya asas kepentingan (insurable interest)
Salah satu syarat di dalam perjanjian pertanggungan adalah bahwa pihak
tertanggung diharuskan mempunyai kepentingan atas benda yang dipertanggungkan.
Dalam hal ini penanggung akan memberikan ganti rugi kepada tertanggung sebagai
akibat suatu kerugian yang mungkin dideritanya, karena suatu kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan.
Dari rumusan ini dapat disimpulkan, bahwa penggantian kerugian harus dibayar
oleh penanggung kepada tertanggung yang menderita kerugian. Hal ini dengan
sendirinya akan terlaksana, apabila tertanggung benar-benar mempunyai kepentingan
terhadap kerugian yang diderita tersebut; jadi harus ada hubungan hokum tertentu
antara tertanggung dengan benda yang diasuransikan/ dipertanggungkan. Asas
kepentingan seperti yang dimaksud tersebut dapat di jumpai dalam Pasal 250
KUHD:
Bilamana seseorang yang mempertanggungkan untuk diri sendiri atau seseorang,
untuk tanggungan siapa diadakan pertanggungan oleh seorang lain, pada waktu
pertanggungan tidak mempunyai kepentingan atas benda yang dipertanggungkan,
maka penanggung tidak berkewajiban mengganti kerugian.
6
Djoko Imbawani Atmadjaya, Hukum Dagang Indonesia: Sejarah, Pengertian, dan Prinsip-Prinsip Hukum
Dagang, Setara Press, Malang, hlm.313.
6
Pasal 284 KUHD tersebut seperti diketahui sangat erat hubungannya dengan Pasal
1366 KUHPerdata, pasal mana berbunyi antara lain: “Setiap orang bertanggung jawab tidak
saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
Kalau diteliti lebih mendalam rumusan Pasal 284 KUHD itu maka dapat diketahui
adanya keharusan dari tertanggung untuk menyelamatkan hak-hak tuntutannya kepada pihak
ketiga yang bertanggung jawab atas kerugian yang dideritanya dan hak tuntutan tersebut
segera beralih kepada penanggung segera setelah penanggung membayar ganti rugi
kepadanya. Jika tertanggung lalai dalam hal ini, maka tertanggung bertanggung jawab
7
kepada penanggung untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap
kepada penanggung secara tidak langsung didorong untuk berbuat sesuai dengan kehendak
subrogasi ini penanggung yang telah membayar ganti kerugian kepada tertanggung
berdasarkan perjanjian pertanggungan, dapat menuntut ganti kerugian itu kepada orang yang
oleh tertanggung dapat dituntut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita dan yang
tuntutannya ini sudah dilepaskannya karena ia telah menuntut dari penanggung. Oleh
karena itu, asas subrogasi hanya dapat ditegakkan apabila memenuhi 2 (dua) syarat berikut. 8
2. Kerangka Konseptual
Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi sesuatu
yang konkrit. Konsepsi digunakan juga untuk memberi pegangan pada proses penelitian,
oleh karena itu dalam rangka penelitian ini perlu dirumuskan serangkaian defenisi agar
tidak menimbulkan perbedaan penafsiran.9
7
Sri Rejeki Hartono, 2001, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi. Jakarta, Sinar Grafika. hlm. 107
8
Sri Rejeki Hartono, 2001. Op. Cit. hlm. 107
8
Berdasarkan uraian kerangka teori tersebut, dijelaskan konsep-konsep dasar atau istilah-
istilah yang digunakan dalam penelitian ini agar diperoleh hasil penelitian yang sesuai
dengan tujuan yang ditentukan, antara lain:
a. Subrogasi merupakan peralihan hak dari tertanggung kepada penanggung untuk
menuntut ganti rugi kepada pihak lain yang mengakibatkan timbulnya kerugian
terhadap obyek pertanggungan dari tertanggung sesaat setelah penanggung
10
membayar ganti rugi tersebut kepada tertanggung sesuai jaminan polis.
b. Asuransi berarti pertanggungan atau perlindungan atas suatu objek dari ancaman
bahaya yang menimbulkan kerugian.11
c. Pengalihan adalah proses/cara/perbuatan mengalihkan; pemindahan; penggantian. 12
d. Tongkang adalah perahu yang agak besar (untuk mengangkut barang dan
sebagainya).13
e. Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan,
kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.14
f. Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan
perairan pedalamannya.15
g. Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan
penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal.16
E. Metode Penelitian
Tipe yang dipilih dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang
dilakukan pada doktrin hukum, dokumen hukum, dan peristiwa hukum, dimana data yang
9
Masri Singarimbun, dkk., Metode Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES, 1999), hlm. 34
10
Kun Wahyu Wardana, SH., AMII., ACII., AAAIK, 2009, Hukum Asuransi Proteksi Kecelakaan Asuransi.
Bandung, CV Mandar Maju. hlm. 42
11
Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H., Hukum Asuransi Indonesia Cetakan Keenam 2015, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2015), h. 5
12
“Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus Versi Online/ Daring (dalam Jaringan)”,http://kbbi.web.id/,
diakses 4 Mei 2021.
13
“Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus Versi Online/ Daring (dalam Jaringan)”,http://kbbi.web.id/,
diakses 4 Mei 2021.
14
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849, Pasal 1
angka 1.
15
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849, Pasal 1
angka 2
16
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849, Pasal 1
angka 3.
9
dikumpulkan adalah data sekunder. Data sekunder tersebut berupa bahan hukum yang bila
dikelompokkan menjadi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Uraian penelitiannya dilakukan secara deskriptif analistis, yaitu menggambarkan peraturan
perundang-undangan (dokumen hukum) yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum
(doktrin hukum) dan praktek pelaksanaan hukum positif (peristiwa hukum) yang menyangkut
permasalahan yang diteliti.17 Dalam hal ini kajian mengenai prinsip subrogasi yang
tertuang dalam Pasal 284 KUHD, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, kasus kapal tongkang
Cipta Makmur 1 milik PT.Surya Karya Cipta Makmur yang digandeng kapal tugboat Putra
Bess 005 milik PT. Pelayaran Nasional Fajar Marindo Raya bertabrakan dengan kapal
tongkang Soekawati 18 dikarenakan kelalaian dari nahkoda kapal tugboat Putra Bess 005 di
Perairan Karimun Jawa yang mengakibatkan kapal tongkang Cipta Makmur 1 mengalami
kerusakan parah dan barang angkutan berupa biji tembaga rusak total.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan,
dan pendekatan kasus. Pendekatan perundang-undangan digunakan sebagai cara dalam
mengungkap doktrin-doktrin hukum khususnya doktrin subrorasi, ganti rugi, dan lain-lain yang
terdapat dalam KUHD, KUHPerdata, dan Undang Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang
Perasuransia, dan Undang Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Sedangkan
pendekatan kasus dipakai untuk menelaah kasus implementasi doktrin subrograsi pada peristiwa
hukum yang dibawa ke pengadilan dari tingkat pengadilan negeri, banding, kasasi, dan peninjauan
kembali.
Pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumen, yang meliputi bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yaitu: Norma dasar
Pancasila, Peraturan dasar: batang tubuh UUD 1945, Ketetapan-ketetapan MPR, Peraturan
perundang-undangan, Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan; misalnya: hukum adat,
Yurisprudensi, Traktat.18 Bahan hukum primer yang peneliti gunakan diantaranya ialah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-empat (IV),
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-
Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, dan Undang-Undang No. 17 Tahun 2008
tentang Pelayaran. Kemudian hukum sekunder yang dikumpulkan adalah membantu
menganalisis dan memahami bahan hukum primer, adalah: Rancangan peraturan perundang-
undangan, hasil karya ilmiah para sarjana, hasil-hasil penelitian. 19. sedangkan bahan hukum
tersier misalnya: bibliografi, kamus, dll.20
17
Ronny Hanitijio, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalian Inonesia, Jakarta, 1990, hlm. 97-98
18
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit., Hlm. 11-12.
19
Ibid
10
20
Ibid