Anda di halaman 1dari 6

Nama : Nadya Dina Tazkiyah

NIM : P17311193028
Semester :V
Prodi : Sarjana Terapan Kebidanan Malang
Mata Kuliah : Asuhan Kebidanan Nifas dan Laktasi
Dosen pengampu : Sri Rahayu, S.Kep., Ns., M.Kes

RESUME
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MASA NIFAS
Nifas adalah masa dua jam setelah plasenta lahir sampai organ-organ kembali
seperti sebelum hamil yang umumnya berlangsung selama enam minggu. Dalam
masa nifas, terdapat banyak perubahan pada tubuh ibu, mulai dari organ
kandungan, sistem endokrin, sirkulasi darah, pencernaan, dll.

Ada dua peristiwa penting yang terjadi pada masa nifas, yaitu laktasi dan involusi
uteri. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dua peristiwa tersebut, yaitu:

A. Laktasi
1) Prolaktin
Pada proses laktasi, terdapat proses produksi ASI dan pengeluaran
ASI. Hormon Prolaktin memiliki peran yang penting untuk
memberikan sinyal kepada sel-sel alveolus di payudara untuk
memproduksi ASI. Hormon ini akan secara otomatis diproduksi oleh
kelenjar pituitary anterior setelah mendapat sinyal dari hipotalamus
ketika bayi mengisap puting ibu.
2) Oksitosin
Setelah ASI diproduksi, ASI perlu dikeluarkan agar dapat dikonsumsi
bayi. Pada proses pengeluaran ASI, hormon oksitosin berperan penting
dalam memberikan sinyal kepada sel-sel myoepitel di payudara untuk
mengeluarkan ASI. Hormon ini akan secara otomatis diproduksi oleh
kelenjar pituitary posterior setelah mendapat sinyal dari hipotalamus
ketika bayi mengisap puting ibu. Jika hormon oksitosin tidak
disekresikan dengan baik, maka ibu rentan terkena bendungan ASI
karena ASI terus diproduksi, namun rendahnya hormon oksitosin
mengakibatkan ASI tersebut tidak bisa dikeluarkan.

3) Isapan bayi
Dalam puting susu terdapat banyak ujung saraf sensoris. Bila
dirangsang, timbul implus menuju hipotalamus selanjutnya ke kelenjar
hipofise anterior (bagian depan) sehingga kelenjar ini menghasilkan
hormon prolaktin. Rangsangan puting susu tidak hanya diteruskan
sampai ke kelenjar hipofise anterior, tetapi juga ke kelenjar hipofise
posterior (bagian belakang), yang menghasilkan hormon oksitosin.
Salah satu usaha untuk memperbanyak ASI adalah dengan menyusui
anak secara teratur. Semakin sering anak menghisap puting susu ibu,
maka akan terjadi peningkatan produksi ASI. Dan sebaliknya jika anak
berhenti menyusu maka terjadi penurunan ASI. (Tauriska Tri &
Umamah, 2014)
4) Stress
Setelah persalinan, umumnya ibu nifas juga mengalami adaptasi
psikologis, yaitu:
- Fase taking in atau periode ketergantungan (1-2 hari)
- Fase taking hold atau saat ibu mulai bisa menerima keadaan (3-10
hari)
- Letting go atau saat ibu mulai menerima tanggung jawab dan peran
barunya sebagai ibu. Sudah mandiri, dan dapat melakukan
perawatan sendiri
Adaptasi psikologis tersebut adalah normal, namun ketika terjadi stress
berkelanjutan, atau depresi postpartum, maka hormon kortisol akan
meningkat. Peningkatan hormon kortisol atau hormon stress ini lah
yang mengakibatkan adanya negative feedback terhadap hormon
prolaktin. Semakin tinggi tingkat gangguan emosional, semakin sedikit
rangsangan hormon prolaktin yang diberikan untuk memproduksi ASI.
(Amalia, 2018)
5) Nutrisi
Jumlah produksi ASI bergantung pada besarnya cadangan lemak yang
tertimbun selama hamil, dalam batas waktu tertentu, dan diet selama
menyusui. Oleh karena itu, persiapan ibu untuk masa menyusui sudah
harus dimulai sejak awal kehamilan, makanan diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan zat gizi yang dibutuhkan untuk memenuhi zat
gizi dalam ASI, kebutuhan zat gizi untuk memproduksi ASI, dan
kebutuhan zat gizi untuk kesehatan ibu sendiri. Pada masa menyusui
kebutuhan zat gizi semakin meningkat dan apabila konsumsi makanan
sehari-hari kurang beraneka ragam maka akan timbul
ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan zat gizi yang
diperlukan untuk proses produksi, pengeluaran ASI dan proses
menyusui selanjutnya. (Salamah et al., 2020)
B. Involusi uteri
1) Paritas
Ibu dengan paritas satu atau primipara proses involusi uterus cendrung
berlangsung lebih cepat. Sedangkan pada ibu dengan paritas lebih dari satu, proses
involusi menjadi lambat. Hal ini dikarenakan proses peregangan otot dan tingkat
elastisitasnya akan berkurang. Pada primipara ditunjukkan dengan kekuatan
kontraksi uterus lebih tinggi dan uterus teraba keras sedangkan pada multipara
kontraksi dan relaksasi uterus berlangsung lebih lama. Namun, proses involusi
uterus yang melemah akibat paritas masih dapat dimaksimalkan dengan kegiatan
lain seperti menyusui dini dan mobilisasi. (Hadi & Fairus, 2014)
2) Jarak antar kehamilan
Alat-alat kandungan maupun anggota tubuh lainnya pasti memerlukan banyak
penyesuaian sehingga memerlukan waktu yang cukup untuk kembali ke
bentuknya semula seperti sebelum hamil. Jika jarak antar kehamilan terlalu dekat
saat organ-organ tersebut masih belum siap, dikhawatirkan akan terjadi
komplikasi karena pemulihanyang belum sempurna.
3) Usia ibu
Pada umur kurang dari 20 tahun elastisitas otot rahim belum maksimal
dikarenakan organ reproduksi belum matang, sedangkan usia diatas 35 tahun
sering terjadi komplikasi saat sebelum dan setelah kelahiran dikarenakan
elastisitas otot rahim sudah menurun, menyebabkan kontraksi uterus tidak
maksimal. Umur 20-35 tahun merupakan masa yang sangat ideal untuk terjadinya
proses involusi yang baik. Hal ini disebabkan karena faktor elastisitas dari otot
uterus dalam kondisi vitalitas yang prima sehingga kontraksi otot dan kembalinya
alat- alat kandungan juga semakin cepat karena proses regenerasi dari sel-sel alat
kandungan yang sangat bagus pada usia-usia tersebut. (Palupi dalam Hadi &
Fairus, 2014)
4) Inisiasi menyusui dini
Peran menyusui dini terhadap involusi uterus adalah ketika bayi mengisap, otot-
otot polos pada puting susu terangsang, rangsangan ini oleh syaraf diteruskan ke
otak. Kemudian otak memerintahkan kelenjar hipofise bagian belakang
mengeluarkan hormon oksitosin yang akan masuk kedalam darah menuju otot-
otot polos pada uterus, dan memacu uterus untuk berkontraksi. Kontraksi uterus
menyebabkan pengeluaran lochea lebih lancar, yang berarti involusi uterus
berlangsung lebih cepat. (Hadi & Fairus, 2014)
5) Mobilisasi dini
Mobilisasi dini yang dimaksud adalah gerakan-gerakan ringan yang bisa mulai
dilakukan setelah observasi kala IV, atau 2 jam setelah plasenta lahir. Mobilisasi
meningkatkan kontraksi dan retraksi dari otot-otot uterus setelah bayi lahir.
Kontraksi dan retraksi ini diperlukan untuk menjepit pembuluh darah yang pecah
akibat pelepasan plasenta. Dengan adanya kontraksi dan retraksi yang terus
menerus ini menyebabkan terganggunya peredaran darah dalam uterus
mengakibatkan jaringan otot kekurangan zat-zat yang diperlukan, sehingga ukuran
jaringan otot-otot tersebut menjadi kecil. Dengan demikian ibu yang melakukan
mobilisasi dini mempunyai penurunan fundus uteri lebih cepat dan kontraksi
uterus yang lebih kuat dibandingkan ibu yang tidak melakukan mobilisasi dini.
(Hadi & Fairus, 2014)
Tidak hanya itu, mobilisasi yang dilanjutkan, contohnya senam nifas, bermanfaat
untuk memperkuat otot rahim dan otot organ lainnya, serta memperlancar
sirkulasi darah dari ekstermitas bawah ke jantung sehingga tidak menimbulkan
trombophlebitis.
6) Kandung kemih
Kandung kemih adalah organ yang sangat dekat dengan uterus. Bahkan, ketika ibu
sedang hamil, utamanya trimester III, kandung kemih akan terdesak oleh uterus
yang membesar sehingga ibu akan lebih sering kencing. Hal ini diakibatkan
karena volume urin yang mampu ditampung oleh kandung kemih pun akan
berkurang ketika didesak oleh uterus.
Saat nifas, jika urin tidak selalu dikosongkan, maka desakan urin yang berada di
dalam kandung kemih akan menggeser uterus sehingga kontraksi tidak maksimal
dan menghambat proses involusi uteri.
SUMBER

Amalia, R. (2018). HUBUNGAN STRES DENGAN KELANCARAN ASI PADA IBU


MENYUSUI PASCA PERSALINAN Di RSI A.YANI SURABAYA. Journal of Health
Sciences, 9(1), 12–16. https://doi.org/10.33086/jhs.v9i1.178

Hadi, Y., & Fairus, M. (2014). Faktor- Faktor Yang Berhubungan Dengan Involusi Uterus
Pada Ibu Post Partum Di Wilayah Kerja Puskesmas Ketapang Lampung Utara. Jurnal
Kesehatan Metro Sai Wawai, VII(2), 1–7. http://www.ejurnal.poltekkes-
tjk.ac.id/index.php/JKM/article/view/548/501%0Ahttp://www.ejurnal.poltekkes-
tjk.ac.id/index.php/JKM/article/view/548

Salamah, Zaitun, Putri, H., & Putri, I. (2020). HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN
WAKTU PENGELUARAN KOLOSTRUM PADA IBU NIFAS DI PMB NURAINI,
SKM KECAMATAN BATEE KABUPATEN PIDIE TAHUN 2020. JOURNAL OF
HEALTHCARE TECHNOLOGY AND MEDICINE, 6(2), 1278–1284.
https://doi.org/10.33143/jhtm.v6i2.1392

Tauriska Tri, A., & Umamah, F. (2014). HUBUNGAN ANTARA ISAPAN BAYI DENGAN
PRODUKSI ASI PADA IBU MENYUSUI DI RUMAH SAKIT ISLAM JEMURSARI
SURABAYA. JURNAL ILMIAH KESEHATAN (JOURNAL OF HEALTH SCIENCE),
7(1), 283. https://doi.org/10.33086/jhs.v7i1.448

Anda mungkin juga menyukai