Anda di halaman 1dari 30

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
ASI (Air Susu Ibu) merupakan sumber gizi paling ideal yang cocok untuk
dibeirkan kepada neonates dan bayi. WHO merekomendasikan pemberian ASI
secara eksklusif untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian pada bayi.
Pemberian ASI mlindungi bayi dari penyakit infeksi, terutama penyakit yang
sering menimbulkan kematian seperti pneumonia, dan diare (Wahidah et al,
2018).
Menurut data statistik, angka pemberian ASI secara eksklusif di dunia
relatif masih rendah, Afrika hanya sekitar 25% yang mendapatkan ASI eksklusif,
45 % Asia, 31% Amerika latin. Data ini menunjukkan kurangnya perhatian Ibu,
keluarga dan orang bidang kesehatan dalam manajemen laktasi dan menyusui
(Tasnim et al, 2016). Masalah yang sering mengakibatkan ibu menghentikan
pemberian ASI biasanya dikarenakan sakit pada puting ketika bayi menyusui,
bengkak pada payudara, ASI kurang atau bahkan tidak mau keluar, dan mastitis
(Perry et al, 2017)
Kunci agar ibu terdorong terus menyusui dan dapat memanajemen laktasi
dengan baik adalah diberikannya pendidikan, pemahaman dan bimbingan
antisipatif dimulai sedini mungkin sebelum dan selama kehamilan. Setiap
pertemuan dengan ibu hamil adalah kesempatan untuk mendidik, menghilangkan
mitos, mengklarifikasi misinformasi, dan mengatasi masalah yang biasanya
terjadi pada seorang ibu sebelum dan saat menyusui nanti. Pendidikan pralahir
dan persiapan untuk menyusui memengaruhi keputusan pemberian ASI, frekuensi
dan durasi pemberian ASI, serta keberhasilan menyusui (Perry et al, 2017).

B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memberikkan informasi ilmiah
mengenai penilaian proses menyusui yg meliputi definisi, anatomi, fisiologi
menyusui, manfaat ASI, cara optimal menyusui, permasalahan yang sering terjadi
saat masa menyusui.

1
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Laktasi
Laktasi merupakan keseluruhan proses menyusui mulai dari proses
produksi ASI dampai dengan bayi menghisap dan menelan ASI. Proses laktasi
tidak terlepas dari proses hormonal karena membutuhkan berbagai macam
hormon untuk mendorong produksi dan ejeksi dari ASI itu sendiri (Lawrence &
Lawrence, 2016).
Terdapat dua tahap inisiasi pada proses laktasi yaitu proses diferensiasi
dan aktivasi. Proses diferensiasi atau perkembangan terjadi ketika saat masa hamil
karena terjadinya perkembangan epitel dari laktosit yang menyebabkan produksi
cairan susu yang khas seperti laktosa. Proses diferensiasi melibatkan kompleks
hormon seperti estrogen, progesteron, prolaktin dan beberapa hormon metabolik
lainnya. Proses aktivasi merupakan proses ketika terjadinya penurunan beberapa
hormone yang menyebabkan ASI yang sudah diproduksi sudah siap unuk
dikeluarkan (Lawrence & Lawrence, 2016)

B. Anatomi Payudara

Payudara terletak di fascia superficialis yang meliputi dinding anterior


dada dan meluas dari pinggir lateral sternum sampai linea axillaris media, dan
pinggir lateral atas payudara meluas sampai sekitar pinggir bawah musculus
pectoralis major dan masuk ke axilla. Payudara dewasa normalnya terletak di
hemithoraks kanan dan kiri dengan dasarnya terletak dari kira-kira costa II-VI atau
III- VII. Pada wanita dewasa muda payudara terletak di atas costa II–IV (Snell,
2018)

Jaringan payudara terdiri dari berbagai komponen, yakni lemak subkutis,


stroma dan parenkim yang ditunjang oleh jaringan ikat (ligamen Cooper),

2
pembuluh darah, saraf, dan jaringan limfatik. Bagian dalam payudara terdiri dari
beberapa bagian yaitu (Netter, 2019):

a. lobulus (glandula/kelenjar susu), kantong pembuat susu

b. duktus laktoferus (saluran susu), mengalirkan susu menuju ke puting susu.

c. Sinus laktoferus, tempat penyimpanan air susu sampai bayi meminumnya

d. Areola, bagian yang berwarna gelap dengan kulit agak kasar di sekelililng
puting susu. Areola mengandung folikel rambut, kelenjar apokrin, dan
kelenjar sebaseus Montgomery yang menghasilkan air susu

e. Nipple (puting susu), puting susu mengandung akhiran saraf dan otot polos,
serta 8-20 duktus laktiferus komunis yang merupakan terminal dari duktus
laktiferus tempat dimana air susu mengalir keluar dari
payudara.

Gambar 1. Anatomi payudara (Netter, 2019)

Suplai arteri ke payudara berasal dari beberapa percabangan. Bagian


medial mamae berasal dari percabangan arteri torakalis internal yang berasal dari

3
percabangan arteri subklavia. Arteri lateral torakalis dan torako acromial
percabangan dari arteri aksilaris mensuplai bagian lateral dari mamae. Arteri
interkostalis posterior percabangan dari torasik aorta ikut mensuplai mamae.
Darah dialirkan dari payudara melalui vena dalam dan vena superfisial yang
menuju vena kava superior sedangkan aliran limfatik dari bagian sentral kelenjar
mammae, kulit, puting, dan aerola adalah melalui sisi lateral menuju aksila.
Dengan demikian, limfe dari payudara mengalir melalui nodus limfe aksilar
(Moore, 2019).

C. Fisiologi Laktasi
1. Pembentukan ASI
Payudara mulai berkembang saat pubertas. Estrogen merangsang
pertumbuhan payudara, kelenjar susu dan timbunan lemak untuk memberi
massa pada payudara itu sendiri. Pertumbuhan yang lebih besar terjadi selama
kehamilan diiringi dengan pertumbuhan dan perkembanan jaringan kelenjar
sehingga siap untuk produksi ASI.
Selama kehamilan terjadi perubahan-perubahan payudara terutama
besarnya payudara yang disebabkan oleh adanya proliferasi sel-sel duktus
laktiferus dan sel-sel kelenjar pembentukan ASI serta lancarnya peredaran
darah pada payudara. Proses proliferasi ini dipengaruhi oleh hormon-hormon
yang dihasilkan oleh plasenta, yaitu prolaktin, esterogen dan progesteron.
Hormon prolaktin merupakan suatu hormon yang disekresi oleh glandula
pituitari dan memiliki peranan penting dalam memproduksi ASI. Kerja
hormon ini dihambat oleh hormon plasenta. Dengan lepasnya atau keluarnya
plasenta pada akhir proses persalinan, maka kadar esterogen dan progesteron
berangsur-angsur menurun sampai pada tingkat dimana prolaktin dapat
dilepaskan dan diaktifkan (Smitha & Kumar, 2019).
Hormon prolaktin merangsang sel-sel alveoli yang berfungsi
memproduksi air susu. Kadar prolaktin yang tinggi dipertahankan melalui

4
efek menyusui, dan sekresi air susu yang banyak. Pelepasan prolaktin oleh
hipofisis anterior dikontrol oleh dua hormone yang disekresikan oleh
hipotalamus yaitu prolactin inhibiting hormone (PIH), dan prolactin realizing
hormone (PRH). PRH sebagai hormone yang dikeluarkan oleh hipotalamus
akan merangsang sekresi prolaktin melalui hipofisis anterior untuk
mendorong produksi melalui epitel alveolus (Sherewood, 2015; Martini et al,
2017).

2. Sekresi Asi

ASI disekresikan oleh sel asini pada mamae secara terus menerus,
tetapi tidak dapat mengalir dengan mudah ke dalam saluran karena
dibutuhkannya peran neuroendokrin untuk merangsang ekskresi dari ASI
tersebut..Ejeksi susu (milk letdown) meupakan ekspulsi kuat susu dari lumen
alveolus keluar melalui duktus (Smitha, 2015) Pemberian ASI pada bayi
secara langsung melalui puting akan menstimulasi ujung saraf sensorik yang
ada pada puting sehingga impuls sensorik yang berasal dari puting masuk
kedalam medula spinalis melalui “dorsal root”.lalu potensial aksi akan
merambat naik dan menstimulasi neuron di nucleus paraventrikular
hipotalamus untuk mensekresikan oksitosin melalui kelenjar hipofisis
posterior. Oksitosin menstimulasi sel-sel myoepithelial yang termasuk
kelenjar asinar di sekitar alveoli untuk berkontraksi dan mendorong air susu
masuk ke duktus laktiferus dan akan segera mengisi sinus laktiferus lalu
terhisap oleh bayi (Saladin, 2020).

Beberapa tanda adanya refleks oksitosin adalah rasa diperas atau


tingling pada payudara sebelum dan selama menyusui, ASI keluar bila ibu
memikirkan bayinya dan mendengar tangisannya, ASI menetes pada payudara
yang lain bila bayi menyusui, Rasa sakit karena kontraksi rahim, kadang-
kadang disertai keluarnya darah, waktu menyusui, dan Isapan pelan dan dalam

5
serta menelan menunjukkan ASI mengalir kedalam mulut bayi (Smitha and
Kumar, 2019).

Gambar 2. Fisiologi Menyusui (Martini, 2017)

D. Kandungan ASI

ASI adalah cairan terbaik yang sangat dibutuhkan oleh bayi. Banyak
zat yang terkandung dalam ASI yang sangat berperan penting bagi tumbuh
kembang bayi (Wahidah et al, 2018). ASI mengandung kolostrum yang kaya
akan antibodi karena mengandung protein untuk daya tahan tubuh dan
pembunuh kuman dalam jumlah tinggi sehingga pemberian ASI eksklusif
dapat mengurangi risiko kematian pada bayi. Kolostrum berwarna kekuningan
dihasilkan pada hari pertama sampai hari ketiga. Hari keempat sampai hari
kesepuluh ASI mengandung immunoglobulin, protein, dan laktosa lebih
sedikit dibandingkan kolostrum tetapi lemak dan kalori lebih tinggi dengan
warna susu lebih putih. Selain mengandung zat-zat makanan, ASI juga

6
mengandung zat penyerap berupa enzim tersendiri yang tidak akan
menganggu enzim di usus. Susu formula tidak mengandung enzim sehingga
penyerapan makanan tergantung pada enzim yang terdapat di usus bayi
(Kemenkes RI, 2016).

ASI terdiri dari berbagai makro dan mikronutrien yang sangat


dibutuhkan bayi. Lemak merupakan salah satu makronutrien utama dalam
ASI yang terdiri dari Long chain polyunsaturated fatty acids (LCPUFA)
memiliki peran penting dalam pengaturan sistem kekebalan tubuh, pembekuan
darah, neurotransmiter, metabolisme kolesterol, dan dalam struktur membran
fosfolipid di otak dan retina. Asam arakidonat (AA) dan docosahexaenoic acid
(DHA) yang terkandung pada ASI mempunyai peran besar dalam
perkembangan kesehatan optimal, kognisi dan perkembangan selama janin
dan awal kehidupan pasca kelahiran (Lorenzo et al, 2019).

E. Cara Menyusui Yang Optimal


Agar proses menyusui dapat berjalan lancar, maka seorang ibu harus
mempunyai keterampilan menyusui agar ASI dapat mengalir dari payudara
ibu ke bayi secara efektif. Keterampilan menyusui yang baik meliputi posisi
menyusui dan perlekatan bayi pada payudara yang tepat akan mencegah
pembengkakan dan sakit pada puting, serta mencegah mastitis (Tamiru &
Jisha, 2019)
Posisi menyusui harus senyaman mungkin, dapat dilakukan dengan
cara mengambil posisi duduk, posisi tidur terlentang, atau posisi tidur miring.
Posisi menyusui harus memperhatikan posisi badan ibu, posisi badan bayi,
serta posisi mulut bayi dan payudara ibu (perlekatan/ attachment) untuk
mengoptimalkan masuknya ASI, dan untuk kenyamanan ibu serta bayi. Posisi
yang kurang tepat akan menghasilkan perlekatan yang tidak baik dan kurang
optimalnya pemberian ASI (Wambach, 2016).
Memastikan refleks hisap pada bayi penting dilakukan sebagai
persiapan pemberian ASI. Tes refleks hisap bayi dengan menyentuh sudut

7
bibirnya. Saat mulut bayi terbuka lebar, masukkan area kehitaman di sekitar
puting (areola) sebanyak-banyaknya ke dalam mulut bayi. Saat menyusui,
bayi harus disanggah sehingga kepala lurus menghadap payudara dengan
hidung menghadap ke puting dan badan bayi menempel dengan badan ibu
(sanggahan bukan hanya pada bahu dan leher). Sentuh bibir bawah bayi
dengan puting, tunggu sampai mulut bayi terbuka lebar dan secepatnya
dekatkan bayi ke payudara dengan cara menekan punggung dan bahu bayi
(bukan kepala bayi). Arahkan puting susu ke atas, lalu masukkan ke mulut
bayi dengan cara menyusuri langit-langitnya. Masukkan payudara ibu
sebanyak mungkin ke mulut bayi sehingga hanya sedikit bagian areola bawah
yang terlihat dibanding aerola bagian atas. Bibir bayi akan memutar keluar,
dagu bayi menempel pada payudara dan puting susu terlipat di bawah bibir
atas bayi (Wambach, 2016).
Hendaknya seluruh badan bayi menghadap ke dada dan perut ibu;
bukan hanya wajahnya saja. Telinga bayi akan tampak sejajar dengan bahu
dan hidung mendekat ke payudara. Rangsang refleks hisap bayi dengan
menyentuh sudut bibirnya. Perlekatan yang baik akan terjadi bila mulut bayi
terbuka lebar dengan bibir atas dan bawah terlipat keluar. Bayi dikatakan
menyusu efektif bila ia menghisap perlahan, pipi membulat, dan sesekali
berhenti untuk menelan ASI (Walker, 2016).

Gambar 5. Pelekatan bayi

8
Menurut WHO, ada tiga prinsip dasar penting yang mempengaruhi
keberhasilan ibu dalam menyusui, yaitu teknik menyusui (posisi dan
pelekatan/latch-on) yang tepat, dan frekuensi menyusui Hal ini dilaksanakan
setelah ibu lancar menyusui dan bayi lancar menyusu. Untuk bayi yang baru
lahir, upayakan ibu menyusui 8 hingga 12 kali dalam 24 jam.
1. Posisi Menyusui
Ada beberapa posisi yang sering digunakan ibu untuk menyusui
bayinya agar nyaman untuk ibu dan bayi sehingga dapat menyusui secara
optimal. Dalam penerapan posisi yang diterapkan perlu memperhatikan
tinggi badan, ukuran badan, ukuran payudara dan panjang lengannya dan
hal ini berbeda pada setiap ibu, sehingga untuk optimalisasi menyusui
sangat perlu diperhatikan (Walker, 2016).
a. Posisi Cross Cradle
Posisi ini cocok digunakan untuk bayi kecil dan biasanya paling
umum dilakukan oleh ibu yang pertama kali menyusui. Posisi ini baik
untuk bayi yang mempunyai tonus otot yang lemah, reflek hisap yang
tidak kuat (Walker, 2016; Perry et al, 2017).
Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam posisi Cross
Cradle diantaranya:
1) Sang ibu duduk dengan punggung tegak dan bahunya rileks dan
lengan di sampingnya. Bantal bisa berguna selama awal untuk
mendukung punggung dan lengan ibu atau jika bayinya kecil.
2) Kaki ibu biasanya rata di lantai sehingga kakinya santai. Lututnya
rata atau lututnya sedikit lebih tinggi dari pinggulnya.
3) Ibu menempatkan bayi di depan, wajah, dada dan lutut bayi
semuanya menghadap ibu. Dadanya kontak penuh dengan tubuh
ibu
4) Ibu menopang leher dan bahu bayi dengan tangannya di sisi
payudara yang berlawanan tempat bayi menyusui sehingga
kepalanya dapat dimiringkan dengan mudah

9
5) Hidung bayi mendekati puting. Dagu bayi menyentuh payudara
pertama kali. Saat mulut bayi terbuka dekatkan bayi ke puting
bahu dan pantat bayi arahkan lebih dekat, ibu tidak perlu
membungkuk atau mendorong puting ke dalam mulut bayi.
6) Setelah bayi sesuai posisi, ibu mungkin ingin bergeser untuk
menemukan tempat yang lebih nyaman. Dia mungkin
memindahkan tangannya untuk menopang bayinya di pergelangan
tangannya di sisi yang sama dengan payudara di mana bayi sedang
menyusui.

Gambar 4. Posisi Cross Craddle (Walker, 2016)

b. Posisi Craddle
Posisi ini nyaman diterapkan ketika ibu sudah nyaman dalam
menyusui dan bayi menempel dengan kuat pada ibu . Pada posisi ini,
bayi menghadap kearah ibu, ibu dalam keadaan menopang leher,
punggung, dan bahu bayi. Bayi dipegang di lengan yang paling dekat
dengan payudara yang akan dihisap. Bayi akan lebih mudah
memiringkan kepalanya dan sedikit menengadah ke belakang sambil
membuka mulutnya. Pada posisi ini jalan nafas akan lebih baik pada

10
bayi, karena saluran napas tidak akan terhalangi dan penghisapanpun
tetap optimal.

Gambar 5. Posisi Craddle (walker, 2016)

c. Posisi Football/ Rugby


Posisi Rugby atau Football cocok diterapkan untuk bayi
premature, bayi yang mempunyai tonus otot yang kecil, dapat
membantu ketika menyusui bayi prematur dan juga bisa menjadi posisi
yang baik ketika menyusui bayi kembar. Bayi diposisikan di sisi ibu
dengan bantuan alas bantal. Tangan ibu menopang leher, punggung,
dan bahu bayi dan jari-jarinya berada di belakang telinga bayi. Bayi
berada di dekat sehingga payudara ibu dapat masuk secara optimal ke
dalam mulut bayi, Bayi itu kemudian meringkuk dekat dan mulai
menyusui.

11
Gambar 6. Posisi Football/ Rugby (Walker, 2016)

d. Posisi Side lying


Posisi Side lying biasanya diterapkan ketika seorag ibu memang
sulit atau sakit untuk duduk, sehingga memilih untuk tiduran, selain itu
ibu mengambil posisi seperti ini agar tidak cepat lelah dan untuk
ukuran payudara yang besar supaya tidak terlalu memberatkan beban.
Ibu berbaring di sisi bayi dengan memastikan keadaan leher dan
punggung ibu nyaman . Bayi berada dekat dengan ibu, di depan
payudara yang akan dihisap. Hidung bayi berada didekat puting
paydara ibu memungkinkan bayi untuk merasakan puting dan mencium
bau ASI. Bayi didekatkan ke arah payudara sehingga payudara ibu
berada didalam mulut bayi secara optimal (Walker, 2016; Perry et al,
2017).

Gambar 7. Posisi Side Lying Bed (walker, 2016)

12
2. Perlekatan Bayi Pada Ibu
Menyusui sering digambarkan sebagai sesuatu yang alami yang akan
terjadi ketika seorang ibu memiliki seorang anak. Meskipun dianggap
sebagai sesuatu yang alami, menyusui menjadi tugas yang cukup rumit
untuk seorang ibu, jika ibu tidak terampil dalam manajemen laktasi dan
menyusui salah satunya dalam mengatur perlekatan ibu dan bayi (Ying et
al, 2015). Perlekatan bayi dengan ibu sangatlah penting karena hal ini
dapat terbentuk dari posisi yang baik untuk efektivitas dari penghisapan
ASI. Teknik mengisap yang efektif sangat penting untuk optimalisasi
dalam menyusui, untuk memastikan pemindahan ASI, dan untuk
mencegah masalah yang terjadi saat menyusui teruatam trauma pada
puting (Goyal et al, 2016).
Perlekatan didefinisikan sebagai menempelnya mulut bayi pada
puting, areola dan payudara, untuk membuat hisapan yang cukup untuk
mengeluarkan ASI. Pada awal menyusui ibu harus secara manual
mengeluarkan sedikit tetesan ASI dan mendistribusikannya pada puting.
Pada awal menyusui, ibu harus secara manual mengekstrak beberapa tetes
kolostrum atau susu dan mendistribusikannya pada puting, tindakan ini
bertujuan untuk melumasi puting dan mendorong bayi untuk membuka
mulut (Perry et al, 2017) .Latching atau perlekatan harus memperhatikan
keadaan ibu dan bayi. Pastikan ibu dan bayi dalam keadaan tenang, posisi
bayi sudah diatas perut ibu atau sudah mendekati puting, hidung bayi
dekat dengan puting agar bisa menstimulasi pembauan terhadap ASI, bayi
bisa menyentuh dan merekatkan muka, pipi, mulut dan lidahnya pada
payudara (Goyal et al, 2016).
Tanda-tanda perlekatan yang baik ketika bayi sudah menempel dan
menghisap ASI diantaranya (1) ibu melaporkan adanya sensasi tarikan
pada putingnya, tetapi tidak merasa seperti tercubit dan tidak terasa sakit;
(2) pipi bayi dalam keadaan “membulat” tidak monyong ; (3) rahang bayi
terlihat rileks saat sedang mengisap; dan (4) biasanya akan terdengar suara

13
saat menelan, yang menandakan bahwa ASI sudah melewati faring. Jika
dalam proses menyusui terasa sakit dan tidak terasa adanya tarikan yang
kuat pada puting, maka perlu dilakukan evaluasi pada posisi bayi dan ibu,
serta pelekatan dan penguncian. Setiap evaluasi yang dilakukan usahakan
melepaskan bayi dari pelekatan dan menghentikan proses menyusui
dengan cara mengeluarkan puting dari mulut bayi dengan bantuan jari ibu
untuk membantu membuka mulut bayi sampai puting sudah benar-benar
keluar dari mulut bayi, hal ini bertujuan untuk mencegah trauma pada
mulut bayi (Perry et al, 2017).

3. Durasi dan Frekuensi Menyusui


Pola waktu menyusui sangat bervariasi tergantung dari faktor ibu
dan faktor bayi itu sendiri. Frekuensi menyusui dipengaruhi oleh berbagai
faktor, termasuk usia bayi, berat badan bayi, kapasitas lambung bayi ,
pengosongan lambung, dan kapasitas penyimpanan pada payudara ibu
(Perry et al, 2017).
Bayi baru lahir perlu menyusui setidaknya 8 hingga 12 kali dalam
periode 24 jam. Beberapa bayi menyusui setiap 2 sampai 3 jam selama
periode 24 jam (Boskabadi, 2017). Biasanya bagi beberapa ibu hamper
setiap jam atau sekitar tiga sampai empat jam. Selama 24 hingga 48 jam
setelah lahir, kebanyakan bayi sering tertidur sehingga tidak mendapatkan
asupan nutrisi sehingga orangtua harus memahami bahwa kondisi bayi
harus tetap terpenuhi nutrisinya dengan cara setidaknya memberikan ASI
setiap 3 jam sekali selama siang, dan 4 jam sekali selama malam hari.
Setelah bayi menyusui dengan baik dan sudah mencapai berat badan yang
cukup dan terus terjadi peningkatan maka kebutuhan nutrisi pada bayi
akan semakin bertambah sehingga akan meningkatkan frekuensi menyusui
( Perry et al, 2017).
Durasi menyusui sangat bervariasi karena waktu penyaluran susu
setiap pasangan ibu dan bayi berbeda. Waktu rata-rata yang dihabiskan

14
untum memberikan saat awal menyusui adalah 30 hingga 40 menit atau
sekitar 15 hingga 20 menit per payudara. Saat bayi tumbuh mereka
menjadi lebih efisien saat menyusui, dan akibatnya waktu menyusui
menurun. Durasi menyusui tidak dapat dijadikan suatu untuk menilai
jumlah ASI yang dikonsumsi oleh bayi karena beberapa saat saat
menyusui akan menghisap zat nonnutrien (Perry et al, 2017).

F. Penilaian Proses Menyusui


Terdapat
G. Cara Penyimpanan ASI
Bagi sebagian besar ibu, cara paling mudah untuk memberikan ASI
pada bayi adalah dengan menetekkan langsung pada payudara. Namun, pada
beberapa keadaan tertentu, hal ini sulit dilakukan sehingga ASI akhirnya
diberikan dalam bentuk perahan. Contohnya adalah ketika bayi lahir dalam
kondisi prematur sehingga kemampuan untuk menetek masih belum
sempurna, atau bayi maupun ibu perlu dirawat di rumah sakit sehingga tidak
memungkinkan untuk sering bertemu. Kondisi dimana ibu diharuskan untuk
kembali bekerja, sekolah atau menjalankan kesibukan lainnya juga
mempersulit pemberian ASI secara langsung. Banyak ibu juga seringkali
merasa payudaranya penuh dan tidak nyaman, sehingga ASI perlu segera
diperah (Eglash & Simon, 2017).
Penyimpanan susu harus dirotasi menggunakan prinsip first-in-first-
out (FIFO), prinsip ini mengharuskan mengkonsumsi susu yang lebih dahulu
disimpan sebelum mengkonsumsi susu yang baru. Waktu penyimpanan dan
suhu merupakan komponen penting yang harus diperhatikan karena dapat
mempengaruhi kualitas nutrisi, komponen aktif biologis dalam ASI, dan laju /
kejadian pertumbuhan mikroba (Steele, 2018). Saat akan melakukan

15
penyimpanan ASI, ada beberapa hal yang harus diketahui oleh ibu dimulai
dari proses sebelum penyimpanan atau sebelum memerah ASI, pemilihan
bahan penyimpanan dan proses penyimpanan, dan pengenceran atau pencairan
(CDC, 2017; Eglash & Simon, 2017).

1. Sebelum Memerah ASI


a. Cuci tangan dengan sabun dan air. Jika sabun dan air tidak tersedia,
gunakan pembersih tangan berbahan dasar alkohol yang mengandung
setidaknya 60% alkohol.
b. Ibu dapat mengeluarkan ASI secara manual dengan tangan atau
dengan pompa manual atau listrik.
c. Jika menggunakan pompa, periksa kit pompa dan tabung untuk
memastikannya bersih. Buang dan ganti tabung yang sudah berjamur.
d. Jika menggunakan kit pompa bersama (dalam suatu grup), pastikan
pompa bersih, dan semua komponen kit pompa beserta meja yang
digunakan untuk menyimpan pompa tersebut dibersihkan dengan
desinfektan.
2. Penyimpanan ASI Setelah Diperah
a. Gunakan tas penyimpanan ASI atau wadah makanan bersih dengan
tutup ketat yang terbuat dari gelas atau plastik untuk menyimpan ASI.
b. Hindari botol dengan simbol daur ulang nomor 7, yang menunjukkan
bahwa wadah dapat terbuat dari plastik yang mengandung BPA.
c. Jangan pernah menyimpan ASI dalam botol sekali pakai atau kantong
plastik yang tidak dikhususkan untuk menyimpan ASI.
d. Susu yang baru dikeluarkan dapat disimpan:
- Pada suhu kamar (77 ° F atau lebih dingin) hingga 4 jam.
- Di dalam kulkas hingga 4 hari.
- Dalam freezer sekitar 6 bulan adalah yang terbaik; hingga 12 bulan
masih dapat dipakai. Meskipun pembekuan membuat makanan
aman dalam jangka waktu yang sangat lama, tetapi waktu

16
penyimpanan yang disarankan penting untuk diikuti demi kualitas
terbaik.

Tabel 1. Penyimpanan ASI guideline (CDC, 2017)

e. Tandai setiap tempat penyimpanan ASI dengan tanggal


pengeluarannya.
f. Jangan simpan ASI di pintu kulkas atau freezer untuk mencegah
perubahan suhu dari pembukaan dan penutupan pintu.
g. Jika Ibu tidak akan memberikan ASI yang telah dikeluarkan sampai 4
hari, diutamakan untuk segera masukan ke dalam freezer untuk
dibekukan.
h. Bekukan ASI dalam jumlah yang sesuai dengan pemberian ASI
selama satu kali minum, untuk menhindari ASI yang terbuang karena
tidak terminum.
i. Saat membekukan ASI, pastikan ruangan cukup dan tidak terlalu
berdempetan karena ketika dibekukan ASI akan mengembang.
j. Jika akan mengirim ASI ke tempat pengasuhan anak, beri label wadah
dengan jelas dengan nama anak dan bicarakan dengan penyedia
perawatan anak.
k. ASI dapat disimpan dalam kantong pendingin berisikan bongkahan es
batu hingga 24 jam saat bepergian. Begitu tiba di tempat tujuan, susu
harus segera digunakan, disimpan di lemari es, atau dibekukan.
3. Penyimpanan Asi Yang Diencerkan

17
a. Selalu batasi ASI tertua dulu. Ingat dulu, pertama keluar. Seiring
waktu, kualitas ASI dapat menurun.
b. Ada beberapa cara untuk mencairkan ASI Anda:
- Di dalam kulkas semalam.
- Taruh dalam wadah air hangat atau hangat.
- Di bawah air mengalir suam-suam kuku.
c. Jangan mencairkan atau memanaskan ASI dalam microwave.
Microwave dapat menghancurkan nutrisi dalam ASI dan menciptakan
bagian yang panas pada sehingga dikhawatirkan membakar mulut
bayi.
d. Gunakan ASI dalam waktu 24 jam dari pencairan di lemari es
e. Asi yang dibawa ke tempat dengan suhu ruangan harus segera
dikonsumsi sampai 2 jam.
f. Jangan membekukan kembali ASI yang telah dicairkan.

H. Masalah Dalam Proses Menyusui


Ibu yang menyusui dapat mengalami beberapa masalah umum yang
biasanya karena ketidaktahuan ibu dalam mengatur proses laktasi dan
menyusui. Pada kebanyakan kasus, masalah sering kali dapat dicegah jika ibu
sudah diberikan informasi tentang manajemen laktasi, sehingga ibu dan
keluarga lebih memperhatikan proses penyusui. Pengenalan dini dan resolusi
yang cepat dari masalah ini penting untuk mencegah gangguan menyusui dan
meningkatkan kenyamanan dan rasa nyaman ibu. Masalah yang sering terjadi
biasanya pembengkakan payudara, sakit pada puting, kurangnya suplai asi
yang dapat diberikkan, dan juga mastitis (Perry et al, 2017)
1. Pembengkakkan payudara
Pembengkakkan payudara adalah terisinya payudara oleh susu
secara berlebihan sehingga menyebabkan payudara membengkak, keras
dan menyakitkan. Banyak wanita mengalami hal ini selama beberapa hari

18
pertama setelah melahirkan. Hal Ini lebih sering terjadi ketika waktu untuk
menyusui dibatasi tidak sesuai dengan kebutuhan yang benar, atau dapat
terjadi ketika bayi kesulitan menghisap atau ibu dipisahkan dari bayinya
sehingga tidak terjadi pengosongan pada payudara. Pembengkakan
payudara dapat menyulitkan wanita untuk menyusui dan dapat
menyebabkan komplikasi seperti radang payudara, infeksi dan puting sakit
(Mangesi & Zrkovic, 2016).
Pada saat post partum akan terjadi peningkatan volume produksi
susu dan dapat kapasitas penyimpanan alveoli di payudara. Jika susu tidak
dikeluarkan, alveoli lama-kelamaan menjadi distensi, menyebabkan
kongesti pembuluh darah di sekitar sel alveolar, sehingga cairan akan
masuk ke dalam jaringan sekitarnya dan timbulah edema. Duktus
laktoferus terkompresi oleh edema jaringan sehingga susu tidak dapat
dikeluarkan dengan mudah dari payudara (Perry et al, 2017). Payudara
yang bengkak menjadi tegang dan mengeras dan terasa lebih panas,
areolae ikut menegang dan kaku, sehingga membuat perlekatan bayi dan
ibu semakin sulit (Mangesi & Zrkovic, 2016).
Payudara yang membengkak menyebabkan sulitnya perlekatan bayi
pada ibu sehingga diperlukannya terapi untuk mengatasai keluhan ketika
pembengkakan payudara. Rasa panas pada payudara biasanya dikurangi
dengan cara dikompres dengan es (Bergmann et al, 2013). Payudara yang
sudah terasa panas disertai nyeri bisa diberikan ibuprofen sebagai
antinflamasi (Perry et al 2017).

19
Gambar 8. Pembengkakan payudara

2. Nyeri Puting
Nyeri puting adalah salah satu alasan paling umum dari ibu untuk
berhenti menyusui terutama pada saat awal masa menyusui. Rasa nyeri
yang dirasakan dapat berpengaruh terhadap psikologis, mengganggu
aktivitas sehari-hari, suasana hati, dan ikatan antara ibu dan bayi. Sebagian
besar ibu mengalami nyeri saat awal mereka menyusui dan bisa sampai
berminggu minggu. (Bourdillon et al, 2020).
Penatalaksanaan pada puting yang sakit harus diidentifikasi
penyebabnya terlebih dahulu kemudian berikan tatalaksana yang tepat
sesuai dengan indikasinya. Nyeri puting sering dikaitkan dengan posisi
dan pelekatan bayi yang tidak optimal. Penyebab lain nyeri puting adalah
nipple inverted, tindakan menghisap oleh bayi yang menyebabkan gesekan
pada puting, ankiloglosia bayi, anomali palatal bayi, dan infeksi
(Bourdillon et al, 2020)
Setelah masalah sudah teridentifikasi harus segera disembuhkan.
Bayi harus terus menyusui secara teratur meskipun dalam keadaan puting
yang sakit jika masih memungkinkan. Evaluasi puting dan kulit sekitarnya
untuk mencegah risiko infeksi, pemberian antibiotik topikal dapat

20
membantu mengurangi risiko infeksi dan mempercepat penyembuhan
(Perry et al, 2017)
3. Kurangnya Suplai ASI
Kurangnya suplai atau pasokan ASI disebabkan karena faktor
primer dan sekunder. Faktor primer berkaitan dengan proliferasi kelenjar
payudara yang tidak optimal. Pada keadaan ini sedikit sulit untuk
diidentifikasi karena pada saat masa hamil dan setelah hamil tidak
menunjukkan gejala apapun, adanya kelainan pada duktus, hormonal
ataupun sistem saraf bisa menjadi penyebab utama insufisiensi ASI.
Peyebab sekunder kurangnya suplai ASI biasanya terjadi karena kesulitan
dalam menyusui yang disebabkan oleh ketidaktahuan ibu dalam teknik
menyusui yang baik dan benar, teknik pelekatan bayi dan posisi yang
benar serta kondisi fisik dan psikis pada ibu (Perry et al, 2017).
Tatalaksana yang biasanya diberikan secara farmakologis dan
tindakan operatif. Tindakan operatif dilakukan mammoplasty
augmentation dan secara farmakologoki biasanya diberikan
metoklopramide dan domperidon, keduanya merupakan obat antagonis
dopamin yang biasanya digunakan untuk mengobati refluks
gastroesofageal. Kedua obat tersebut mempunyai efek meningkatkan
kadar prolaktin, sehingga dapat meningkatkan produksi ASI.
Metoklopramide memiliki efek samping yang tidak menyenangkan
seperti kelelahan, iritable, dan dapat menyebabkan alergi jika
berkepanjangan (Perry et al, 2017; Bergmann et al, 2013).
4. Puting Tenggelam
Puting tenggelam merupakan masalah yang relatif umum terjadi
pada 2-10% wanita. Wanita dengan keadaan puting terbenam biasanya
sangat memperhatikan keadaan dirinya karena perasaan ketidakpercayaan
pada dirinya tentang penampilan payudara. Puting yang terbenam dapat
menghambat pemberian ASI, dan ikatan antara ibu dan bayi (Dessana et
al, 2018).

21
Terdapat beberapa tipe (grade) dari bentuk puting terbenam yang
dilihat dari presentasi puting itu sendiri ( Gould et al, 2018):
l. Grade I
Puting tampak datar dan masuk ke dalam areola sehingga akan tampak
rata. Pada keadaan ini puting masih dapat dikeluarkan dengan mudah
dengan cara memberikan tekanan pada areola. Pada grade 1 ini
terkadang dengan tarikan bayipun puting masih bisa keluar dan saluran
ASIpun tidak bermasalah sehingga dapat menyusui seperti biasa.
2. Grade II
Puting yang masuk ke dalam areola masih dapat dikeluarkan dengan
cara memberikan tekanan pada sekitar areola, tetapi ketika tekanan
dilepaskan puting akan masuk kembali. Biasanya terdapat jaringan
fibrosis pada puting yang menyebabkan semakin sulit untuk
mengeluarkan ASI.
3. Grade III
Puting sudah sangat sulit untuk dikeluarkan dari areola, sehingga
membutuhkan tindakan operatif untuk merekonstruksi sehingga
mengeluarkan puting yang terbenam. Pada derajat ini biasanya sudah
terjadi konstriksi pada ductus laktoferus sehingga ASI akan sulit untuk
dikeluarkan dan sering terjadi ruam dan infeksi pada sekitar areola

22
Tabel 2. Klasifikasi Puting tenggelam/ terbenam (Gould, 2018)

Penatalaksanaan untuk puting yang tenggelam biasanya


disesuaikan dengan grade atau seberapa parah puting itu tenggelam.
Untuk grade 1 biasanya dilakukan traksi secara manual dan secara vakum.
Penarikan dapat dilakukan dengan spuit dengan cara melepaskan jarum
spuit dan lakukan penarikan pada puting setiap tiga kali sehari masing-
masing sebanyak 10 kali. Grade 2 dan 3 biasanya melakukan prosedur
tindakan operasi untuk menjaga bentuk, fungsi serta sensitivitas payudara
ketika menyusui (Dessana et al, 2018).

5. Puting Besar
Bayi yang baru lahir diharuskan untuk tetap dapat menyusui
meskipun ukuran puting ibu kecil ataupun besar, bahkan mungkin lebih
mudah bagi bayi yang sehat untuk menyusui pada puting yang besar.
Namun, bayi yang baru lahir atau bayi prematur dapat terjadi kesulitan
dalam menempel jika ibu memiliki puting yang sangat besar (Perry et al,
2017).
Ketika bayi sudah dalam posisi dan perlekatan yang benar, saat ia
menyusui, mulutnya akan menekan saluran susu di bawah areola untuk

23
mengeluarkan ASI. Jika ibu memiliki puting besar, puting ibu akan
mengisi penuh mulut bayi sehingga tidak bisa menekan bagian areola
untuk membantu pompa ASI. Penatalaksanaan yang biasa dilakukan
adalah pngaturan posisi dan menggunakan pompa agar ASI tetap keluar
(Dash, 2016).
a. Menggunakan pompa untuk mengeluarkan ASI dan juga sekaligus
membuat struktur puting menjadi lebih panjang dan lebih tipis sehingga
bayi akan lebih mudah untuk melakulan perlekatan.
b. Menunggu bayi membuka mulutnya yang lebar. Jika bayi tidak membuka
mulutnya cukup lebar, bayi akan sulit untuk menyusui.
c. Penggunaan nipple shield.
d. Posisi rugby atau football bisa menjadi salah satu alternative posisi yang
baik untuk digunakan pada kondisi puting yang besar. Posisi ini lebih
memudahkan ibu untuk mengarahkan mulut bayi masuk ke dalam puting.

24
6. Bingung Puting.
Bingung puting adalah keadaan dimana bayi sulit dan enggan
menyusui pada pada puting ibu secara langsung, dan memilih untuk
menyusui dengan menggunakan alat buatan (dot). Hal ini terjadi karena
mekanisme menyusu dari ibu berbeda dengan minum melalui botol dan
dot. Menyusu pada ibu memerlukan koordinasi lidah, langit-langit, gusi
dan otot-otot pipi sedangkan menyusu dari botol lebih bersifat pasif
tergantung pada kemiringan botol, besarnya lubang dan ketebalan karet
dot (Zimmerman & Thompson, 2015).
Ketika bayi menyusui langsung pada payudara, bayi mengatur
sendiri banyaknya ASI yang keluar dengan gerakan mulutnya sendiri,
tetapi berbeda dengan menyusui botol yang memiliki aliran pasif sendiri,
sehingga mengalir lebih cepat meskipun tampa adanya gerakan pada
mulut bayi. Kondisi tersebut menjadi salah satu penyebab bayi menjadi
mogok menyusui atau biasa dikenal dengan sebutan bingung puting
karena bayi tidak mau lagi menyusui lewat payudara ibu secara langsung.
Solusi terbaiknya adalah bayi diberikan ASI secara langsung pada 6
minggu pertama, jika bayi sudah terjadi bingung puting, hindarkan botol
ASI dan berikan ASI secara langsung secara perlahan (Zimmerman &
Thompson, 2015; .

I. Kontraindikasi Menyusui
Kontaindikasi menyusui terjadi pada beberapa keadaan yang
dikhawatirkan dapat membuat bahaya keadaan bayi. Bayi dengan
galaktosemia merupakan salah satu kontraindikasi dari menyusui karena tidak
dapat memetabolisme karbohhidrat. Menyusui merupakan kontraindikasi bagi
ibu yang positif yang terkena T-cell lymphotropic virus tipe I atau II dan
mereka dengan brucellosis yang tidak diobati. Wanita tidak boleh menyusui
jika mereka memiliki tuberkulosis aktif (TB) atau jika mereka memiliki lesi
herpes simpleks aktif pada payudara. Kondisi tersebut belum mutlak tidak

25
bisa menyusui. Wanita dengan TB aktif dapat menyusui ketika mereka telah
dirawat selama minimal 2 minggu dan dianggap tidak menular. Varicella yang
terjadi 5 hari sebelum atau 2 hari setelah lahir dan infeksi H1N1 akut
membutuhkan pemisahan sementara ibu dan bayi. Pada ibu yang terkena
herpes simpleks masih bisa menyusui ketika tidak terdapat luka pada
payudara karena herpes tidak menular lewat ASI tapi lewat darah (jika ada
lecet pada payudara). Pada ibu yang terkena HIV diharuskan untuk tidak
menyusui dan anakpun diberikan pengobatan terlebih dahulu selama beberapa
waktu untuk mencegah infeksi HIV itu sendiri (Perry, 2017).
Umumnya obat-obatan sangat aman untuk ibu yang menyusui jika
dipakai dengan anjuran dan resep dokter. Obat yang sampai masuk ke dalam
ASI biasanya masih dalam rentang dosis aman, bahkan sangat rendah
sehingga tidak akan mempengaruhi bayi. Menyusui tidak dianjurkan ketika
ibu sedang dalam program kemoterapi atau isotop radioaktif. Penggunaan
obat-obatan psikotropika ataupun penyalahgunaan obat obatan psikis jadi
salah satu kontraindikasi dalam menyusui contohnya litium. Obat-obat lain
yang merupakan kontra indikasi adalah amiodarone, Iodin, retinoid oral, dan
antineoplastic, pada neonatus belum dapat memetabolisme dan eksreksikan
obat dengan tingkat kadar yang rendah (Perry, 2017; Hotham, 2015).

26
III. KESIMPULAN

Laktasi merupakan suatu proses sintesis dan produksi air susu dari glandula
mammae yang melibatkan hormonal dan distimulasi oleh isapan bayi. ASI yang
keluar dari ibu memberikan manfaat yang sangat banyak dan tidak hanya
berpengaruh pada masa anak-anak, menyusui dapat berkontribusi untuk kesehatan
seumur hidup. Seorang ibu harus memahami cara menyusui yang benar untuk
mencegah masalah pada ibu maupun pada anaknya sehingga menyusui tidak optimal .

Optimalisasi menyusui dipengaruhi oleh faktor ibu dan bayi, posisi menyusui
dan pelekatan bayi pada ibu sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas menyusui.
Kurang baiknya posisi dan pelekatan bayi dapat menyebabkan masalah dalam proses
menyusui dan bahkan bisa berakibat fatal. Masalah yang terjadi pada umumnya
timbulnya payudara yang bengkak, puting yang sakit, suplai susu yang kurang, puting
terbenam, puting besar dan mastitis jika terjadi inflamasi lebih lanjut.

Bagi sebagian besar ibu, cara paling mudah untuk memberikan ASI pada bayi
adalah dengan menetekkan langsung pada payudara. Namun, pada beberapa keadaan
tertentu, hal ini sulit dilakukan sehingga ASI akhirnya diberikan dalam bentuk
perahan. Perlunya pengetahuan cara yang benar untuk penyimpanan ASI dimulai dari
proses sebelum memerah ASI, pemilihan ASI, penyimpanan ASI samppai dengan
pengenceran ASI itu sendiri untuk menjaga kandungan ASI agar tetap memberikan
asupan yang dapat mencukupi bayi.

27
IV. DAFTAR PUSTAKA

Alden, K R. 2017. Nerborn Nutrition and Feeding, in Perry, SE (eds) . Maternal


Child Nursing Care. St Lous, Missouri. Elsevier Mosby.

Ambelina, S., Chundrayetti, Lipoeto N.I. 2014. Hubungan Riwayat Pola Pemberian
ASI dengan Tingkat Kecerdasan Anak SD di SDN 01 Sawahan Kecamatan
Padang Timur Kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas 3(2): 229-230

Bergmann, R., Bergmann, K E., Katharina, von W., Monika, B., Wolfgang, H., and
Joachim, W. Dudenhausen. 2014. Breastfeeding is natural but not always
easy: intervention for common medical problems of breastfeeding mothers –
a review of the scientific evidence. Journal of Perinatal Medicine. Vol 42
(1): 9-18.
Bourdillon, Katie., McCauseland, Tom., Jones, Stephanie. 2020. Latch-Related nipple
pain in breastfeeding woman: the impact on breastfeeding outcomes.
Busch, D W., DNP., CPNP-PC., CLC.,Logan, K., MSN et al. 2014. Breastfeeding
Recommendations for Primary Care: Applying a Tri-Core Breastfeeding
Conceptual Model. Journal of Pediatric Health Care. Vol 28(6): 489-496.
CDC. 2017. Proper Storage and Preparation of Breast Milk.
Dash, Manjubala. 2017. Intervention Strategies for Successful Breast Feeding:
Randomized Clinical Trial. Pediatric Neonatol. Vol 3:1
Dessana, L., Dast,S., Perez, S., Mercut, R., Herlin, C., Sinna, R. 2018. Inverted
Nipple Treatment and Poliglecaprone Spacer. International Society of
Aesthetic Plastic Surgery. Vol 41 (4); 958-963.
Eglash, A., Simon, L. 2017. ABM Clinical Protocol #8: Human Milk Storage
Information for Home Use for Full-Term Infants, revised 2017. Breastfeeding
Medicine. Vol 12 (7).
Gould, D J., Stevens, W G. 2018. Correction of Inverted Nipple. Springer
International Publishing AG: 331-339.

28
Hotham M. 2015. Drugs In Breastfeeding. Australian Prescriber. Vol 38(5): 156-
160.

Kemenkes RI. 2016. Profil Kesehatan 2015. Jakarta: Kemenkes RI.

Kent, J C., Ashton, E., Hardwick, C M., Rowan, M K., Chia, E S., Fairclough K A et
al. 2015. Nipple Pain in Breastfeeding Mothers: Incidence, Causes and
Treatments. International Journal Environment. Res. Public Health. Vol 12:
12247-12263
Lawrence, R., Lawrence, R. 2016. Breast Feeding A Guide For Medical Profession
8th. United States. ELSEVIER.
Lorenzo, Salas Isabel., Aida M., Andrea, de la Garza., et al. 2019. The Effect of an
Infant Formula Supplemented with AA and DHA on Fatty Acid Levels of
Infants with Different FADS Genotypes: The COGNIS Study. Nutrients. Vol
11.
Mangesi, L., Grkovic, I Z. 2016. Treatments of Breast Engorgement during lactation.
Cochrane Database Systematic Review. Vol (6)

Marmi, S.ST. 2012. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas “Peurperium Care”. Pustaka
Pelajar: Yogyakarta.

Martini FH, Nath J., Bartolomew EF. 2017. Fundamentals of Anatomy & Physiology.
11th ed. Development. San Francisco: Pearsin Education.
Moore, K L., Dalley A F. 2019. Clinically Oriented
Anatomy. 6th ed International Edition. Philadelphia : Wolters Kluwer Health.
Netter, F MD. 2019. Atlas of Human Anatomy 7thED. USA Elsevier IE
Saladin, K.S. 2020. Anatomy & Physiology: The Unity of Form and
Function 7th Edition. Amerika Serikat: McGraw-Hill
Sherewood, L. 2015. Fundamentals of Human Physiology. Belmont, CA Brooks/
Cole Cengage Learning.

29
Smitha A., Mukesh Kumar. 2019. Lactaion of Physiology and Problems of Feeding
Mothers. International Ayurvedic Medical Journal. Vol 3:3
Steele, C. 2018. Best Practices for Handling anad Administration of Expressed
Human Mild and Donor Human Milk for Hospitalized Preterm Infants.
Frontier Nutrition. Vol 6(72)
Tasnim, Sa., Akhtar, S N., Haque, F M A. 2016. Nutritional Status and Breast
Feeding Practice among Mother Attending Lactation Management Centre.
Pediatric Research International Journal. Vol 2014
Wahidah, Nurul., Sulaeman ES., Setia Budiastuti UR. 2018. Determinants of
Midwife Performance in Lactation Management in Surakarta and
Karanganyar, Central Java. Journal of Health Policy and Management. Vol
3:1 (26-33)
Walker, M. 2016. Breastfeeding management for the clinician using the evidence.
(4th ed.) Sudbury (MA): Jones & Bartlett.
Wambach K and Riordan J. Breastfeeding and Human Lactation. Enhanced 5th Ed.
Boston: Jones and Bartlett; 2016
WIneski, Lawrence. 2018. Snell’s Clinical Anatomy by Region 10 th edition.
Lippincolt Williams.
Witt, Ann M., MD, IBCLC., Bolman, Maya,. BA,. BSN., et al. 2016. Therapeutic
Breast Massage in Lactation for the Management of Engorgement, Plugged
Ducts. Journal of Human Lactation. Vol 32(1): 123-131.
Zimmerman E, Thompson K. 2015. Clarifying nipple confusion. Journal of
Perinatalogy 35(11):895-9. 

30

Anda mungkin juga menyukai