Anda di halaman 1dari 41

Pengendalian Hayati Hama Ulat tritip (Plutela xylostella) Oleh Musuh Alami

Diadegma semiclausum Hellen dan Jenis Pengendalian Hama Lainnya


Pada Tanaman Kubis Di Desa Pumo Kecamatan Wuluhan Kabupaten Jember

LAPORAN PENELITIAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengendalian Hayati

Dosen pengampu Hasni Ummul Hasanah S,Si., M.Pd.

Disusun Oleh :

Kelompok 1/Biologi 1

Riza Fauziyah T20188011


Risma Aini T20188029
Siti Alfiyana Azizah T20188037
Ro’ihatul Jannah T20188035

PROGRAM STUDI TADRIS BIOLOGI

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER

JUNI 2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. yang senantiasa melimpahkan
rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulisan makalah ini dapat diselesaikan. Selawat
serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai pembawa
kabar gembira bagi umat yang bertaqwa.

Laporan Penelitian yang berjudul Pengendalian Hayati Hama Ulat tritik (Plutela
xylostella) Oleh Musuh Alami Diadegma semiclausum Hellen dan Jenis Pengendalian Hama
Lainnya Pada Tanaman Kubis Di Desa Pumo Kecamatan Wuluhan Kabupaten Jember ini
disusun dalam rangka untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengendalian Hayati yang diampu
oleh ibu Hasni Ummul Hasanah S,Si., M.Pd.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih belum sempurna dan
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis
harapkan demi perbaikan makalah. Akhirnya, mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat
untuk pengembangan kita semua dan dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang
Pengendalian Hayati.

Jember, 25 Juni 2021

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1

C. Tujuan Penulisan .................................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 3

A. Pengertian Kubis dan Macam-macam Kubis ...................................... 3

B. Jenis Hama Pada Tanaman Kubis ....................................................... 6

C. Jenis Pengendalian Hama Pada Tanaman Kubis ................................ 9

D. Pengendalian Hama Pada Tanaman Kubis ......................................... 18

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 19

A. Hasil ................................................................................................... 21
B. Pembahasan ........................................................................................ 23

BAB III PENUTUP ....................................................................................... 29

A. Kesimpulan ........................................................................................ 29
B. Saran ................................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 31

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kubis atau kol (Brassica oleraceae L.) dari famili Brassicaceae merupakan
tanaman sayuran, berupa tumbuhan berbatang lunak yang dikenal sejak jaman
purbakala (2500-2000 SM) dan merupakan tanaman yang dipuja dan dimuliakan
masyarakat Yunani Kuno (Aditya, 2009 dalam Rumthe, dkk, 2013).
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik tahun 2019, produksi kubis di Provinsi
Jawa Timur adalah sebesar 225.829 ton. Sedangkan di Kabupaten Jember,
produktifitas kubis mencapai 148,42 kw/ha dengan produksi 499 kw/ha dan luas
panen 128 ha (BPS, 2019). Dalam usaha peningkatan produksi tanaman kubis tidak
lepas dari kendala yang mempengaruhinya yaitu serangan hama dan penyakit.
Kerugian besar bahkan gagal panen dapat terjadi bila gangguan tersebut tidak diatasi
dengan baik. Kehilangan hasil kubis akibat serangan hama cukup tinggi yakni dapat
mencapai 100% oleh Plutella xylostella. Kerusakan yang dihasilkan sangat khas, pada
daun akan terbentuk suatu lubang dengan diameter 0,5 cm sehingga daun berlubang-
lubang dan apabila serangan cukup berat, tanaman kubis gagal membentuk krop dan
gagal panen. Kedudukan hama Plutella xylostella ini menempati kedudukan sebagai
hama utama (Soekarto, dkk, 2013).
Dengan adanya masalah serangan hama tersebut, para petani berusaha untuk
mengatasi cara untuk mengendalikan serangan hama pada tanaman kubisnya supaya
tidak mengalami penurunan produktivitas kubis sehingga mengurangi dampak
kerugian yang akan dirasakan petani nantinya. Beberapa cara pengendalian hama
yang dilakukan baik secara alami maupun non alami juga dilakukan oleh para petani.
Untuk itulah makalah hasil observasi yang kami susun ini bertujuan untuk mengetahui
hama pada tanaman kubis dan cara mengendalikan hama pada tanaman kubis tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud tanaman kubis dan apa saja macam-macam kubis?
2. Apa saja jenis hama pada tanaman kubis?
3. Apa saja jenis pengendalian hama pada tanaman kubis?
4. Bagaimana cara mengendalikan hama pada tanaman kubis?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan pengertian tanaman kubis dan macam-macam kubis
2. Mendeskripsikan jenis hama pada tanaman kubis
3. Mendeskripsikan jenis pengendalian hama pada tanaman kubis
4. Mendeskripsikan cara mengendalikan hama pada tanaman kubis

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Kubis dan Macam-macam Kubis


Kubis (Brassica oleracea var.capitala) merupakan salah satu sayuran yang
dikonsumsi oleh manusia. Kubis krop merupakan salah satu anggota dari kubis
(Cruciferae) bagian yang dikonsumsi dari kubis krop adalah daunya. Sayuran kubis
sudah dikenal oleh masyarakat umum, kubis semula dikenal sebagai tanaman sub-
tropis. Untuk produksinya di Indonesia terbatas didataran tinggi (Rukmana, 2003).
Kubis bukan termasuk tanaman asli Indonesia, diduga kubis berasal dari
daerah subtropics yang pada awalnya adalah tumbuhan liar. Di Indonesia Kubis
adalah tanaman semusim (annual), sedangkan didaerah subtropis kubis tergolong
tanaman dua musim (biannual). Kubis termasuk tanaman biannual karena merupakan
tanaman yang pertumbuhan awalnya adalah vegetative dan selanjutnya bila musim
dingin tiba pertumbuhanya berubah menjadi generative. Untuk pembentukan benih
kubis tergantung dari temperature bukanlah panjanghari (Pracaya, 2003). Oleh sebab
itu kubis hybrid di Indonesia tidak bisa berbunga secara alami. Sehingga benih kubis
didatangkan dari luar negri (import) benih kubis harganya relative mahal sehingga
menjadikendala dalam budidaya kubis di Indonesia.
Sejak kubis ditanam secara intensif dan komersial di Indonesia, telah banyak
sekali varietasnya, karena dari waktu ke waktu selalu terjadi pergantian dan
penambahan varietas kubis sesuai dengan pilihan petani dan peluang pasarnya.
Sampai saat ini, benih kubis masih di impor (diintroduksi) dari berbagai Negara
antara lain, jepang, Australia, Taiwan, belanda, korea dan india. Disamping itu
beberapa varietas telah beradaptasi terlebih dahulu di Indonesia. Beberapa varietas
kubis yang sedang berkembang di Indonesia khususnya daerah dataran tinggi, karena
kubis menghendaki kawasan atau lingkungan yang dingin (Rukmana 2003).
Berdasarkan taksonomi tanaman kubis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Klas : Dicotyledonae

3
Famili : Cruciferae

Genus : Brassica

Spesies : Brassica oleracea

Secara keseluruhan jumlah varietas kubis yang dibudidayakan hanya beberapa


varietas saja antara lain yaitu sebagai berikut :

a. Kubis Putih

Berdasarkan bentuk kropnya, kubis putih dibedakan menjadi tiga macam yaitu:

a) Kubis putih kepala bulat bercirikan bentuk kropnya bulat dan kompak,teras atau
hatinya kecil, daun berukuran kecil samapai sedang, warna daun hijau muda,
mempunyai beberapa daun luar dan batangnya pendek
b) Kubis kepala bulat bentuk krop kubis kepala bulat dataran bulat dengan bagian
atasnya datar. Garis tengah krop lebih panjang dari tingginya sehingga terkesan
gepeng
c) Kubis kepala bulat runcing bentuk kropnya bulat tetapi bagian atasnya
meruncing atau dapat disebut bentuk kerucut. Kubis putih ini memiliki banyak
varietas diantarnya yaitu Gloria Osena, Green Coronet, K-K cross, K-Y
cross,Hibrid oscar,dsb.

b. Kubis Merah

Kubis merah karena memiliki daun berwarna merah kubis jenis ini disebut
kubis merah. Umunya bentuk kropnya bulat. Untuk varietas yang berumur kurang
dari 3 bulan berat kropnya mencapai 120-150 kg, sedangkan varietas yang berumur
anatara 120-150 hari, berat kropnya antara 2-4 kg. Varietas kubis merah yang
dibudidayakan lebih sedikit jumlahnya dibandingkan kubis putih. Kubis merah
mempunyai banyak varietas diantaranya yaitu Red Acre, Ruby Ball, Kissendrup,
Tete de negre.dsb.

c. Kubis Savoy

Kubis savoy dikenal juga dengan sebutan kubis keriting atau kubis babad.
Disebut kubis keriting karena daunya keriting, disebut kubis babad karena
bentuknya seperti babad. Bentuk kropnya ada yang bulat, dan ada yang kerucut.

4
Umur panen antara 70-90 hari. Beratnya dapat mencapai 3,5 kg per
krop.Dibandingkan kubis putih, kubis savoy kurang diminati petani maupun
konsumen. Oleh petani, kubis ini dianggap susah dalam mengendalikan hama.
Daunnya yang keriting menjadi tempat sembunyi hama. Sedagakan bagi konsumen
kubis ini kurang cocok rasanya bagi selera Indonesia. Kubis savoy mempunyai
banyak varietas diantaranya yaitu Vorbote, Savoy King Hybrid, Prefection
Drumhead, Laangedijk early tellow, dsb.

Macam varietas kubis yang di budidayakan di dataran tinggi yaitu :

a. Kubis Green Nova adalah kubis produk dari Takii Seed Jepang. Sudah banyak
di tanam oleh petani di Indonesia terutama di dataran tinggi, mempunyai
bentuk Crop semi bulat, berat mencapai 4 Kg dengan waktu panen 85 HST.
Crop keras dan padat sehingga sangat kuat untuk pengangkutan jarak jauh dan
tunda panen. Tanaman tahan tehadap penyakit busuk hitam, kebutuhan benih
200 Gram / Ha.
b. Kubis grand 22 adalah kubis Cocok ditanam di dataran menengah sampai
tinggi (600 - 1.500 m dpl), beradaptasi baik di musim hujan. Tanaman tegak
dan seragam, daun berwarna hijau dengan kepala bulat pipih, kompak dan
sangat keras sehingga baik untuk pengiriman jarak jauh. Berat kepala antara
1.5 - 2.0 Kg/kepala. Dapat dipanen pada umur ± 65 hari setelah pindah tanam.
Kebutuhan benih ± 200 g/Ha
c. Kubis Grand 11
Kubis Grand 11 adalah produk kubis dari Cap Kapal Terbang yang
sudah banyak ditanam dan sudah Familiar di petani. Kubis ini bisa di tanam di
dataran menengah sampai dataran tinggi (500 - 1.500 Mdpl) baik di musim
penghujan maupun kemarau. Tanaman tahan penyakit busuk hitam dan bercak
daun. Dapat di panen mulai umur 70 HST. Bentuk kepala sangat seragam dan
bulat pipih serta sangat padat sehingga tahan terhadap pengangkutan, crop
berwarna hujau tua dengan berat 1.5 - 2.5 Kg / Crop. Kebutuhan benih 200
Gram / Ha.
Varietas ini merupakan salah satu komponen teknologi yang sangat
penting untuk meningkatkan produktivitas produksi dan pendapatan usaha
tani tanaman kubis. Pada saat ini tersedia banyak varietas kubis dengan
keunggulan masing-masing varietas yang beragam. Dengan banyaknya

5
varietas yang tersedia, diperlukan suatu cara atau metode yang dapat
membantu petani dalam memilih varietas yang sesuai dengan kondisi biotik
dan abiotik setempat serta keinginan atau kebutuhan petani dan pasar
(Simanjuntak, 2010).
Grand 11 merupakan varietas kubis yang dibudidayakan di dataran
tinggi, karena memiliki daya adaptasi yang baik pada kondisi lingkungan
setempat. Sehingga kubis ini bisa tumbuh optimal meskipun ditanam pada
musim hujan ataupun kemarau. Kubis varietas grand 11 memiliki ketahanan
terhadap serangan penyakit busuk hitam dan dan bercak daun. Dalam budidaya
tanaman kubis varietas ini dapat dipanen dalam kurun waktu kurang lebih 70
hari. Bentuk fisik dari varietas kubis Grand 11 yaitu bulat pipih, padat dan
berwarna hijau tua. Dengan berat antara 1,5 – 2,5 kg/kepala. Dalam 1 hektar
lahan dapat ditanami 20.000 bibit kubis, dengan potensi hasil mencapai 40 ton.
Hanya saja untuk memperoleh hasil panen yang optimal sebaiknya ditanam di
daerah yang memiliki ketinggian sekitar 500 – 1.500 mdpl (Tanindo, 2012).
B. Jenis Hama Pada Tanaman Kubis
Beberapa jenis hama yang sering menyerang tanaman kubis, antara lain:
1. Ulat Tritip atau Ulat Daun Kubis (Plutela xylostella)
Ulat ini memiliki tubuh yang kecil, dengan panjang berkisar antara 8-10 mm,
dan lebar antara 1-1,5 mm. Ulat tritip memiliki badan berwarna hijau. Ulat ini
merupakan larva dari ngengat (kupu-kupu) berwarna coklat keabu-abuan.
Perkembangbiakan ngengat tergolong cepat, dalam 1 hari dapat menghasilkan 50
telur dan dalam satu tahun dapat menghasilkan 10 generasi atau lebih. Ngengat
dapat berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain, sehingga serangan dan
penyebarannya terjadi dengan cepat.
Bagian tanaman yang diserang adalah daun. Ulat memakan daging daun,
sehingga hanya tersisa tulang-tulang daunnya dan bagian epidermis daun bagian
atas saja. Ulat ini juga menyerang segala tingkatan umur. Ulat juga menyerang
fisik tumbuh yang dapat menyebabkan terhentinya pertumbuhan. Kerugian akibat
ulat ini adalah antara 58%-100% (Mulyono, 2007).

6
Ulat Daun Kubis (Plutella xylostella L.)

Klasifikasi Plutella xylostella L .yaitu sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insekta

Ordo : Lepidoptera

Famili : Plutellidae

Genus : Plutella

Spesies : Plutella xylostella L. P. xylostella L.

merupakan hama utama pada tanaman kubis dataran tinggi di Pulau Jawa, Bali,
Sumatera, Sulawesi dan banyak daerah lainnya di Indonesia. Serangga ini bersifat
kosmopolitan yang mana hidup di daerah yang beriklim tropis maupun subtropis.
Serangga dewasa P. xylostella merupakan ngengat kecil berwarna coklat kelabu yang
dikenal dengan sebutan “Diamondback Moth (DBM)”, ini dikarenakan serangga dewasa
P. xylostella pada sayap depan terdapat tiga buah “titik” (undulasi) seperti intan.
(Sudarwohadi, 2005)

(a) (b)

Gambar (a) Larva Plutela xylostella yang menyerang daun kubis, dan gambar (b)
Siklus hidup Plutela xylostella

7
Telur dari P. xylostella berukuran sangat kecil atau berbentuk oval dengan wama
putih kekuningan, panjang berkisar 0,25 mm sampai 0,50 mm. Ngengat umumnya
meletakkan telurnya di sekitar tulang daun dari permukaan bawah daun yang mana pada
permukaan bawah daun lebih kasar dibandingkan dengan permukaan daun yang halus.
Telur diletakkan secara tunggal ataupun dalam kelompok kecil. Jumlah telur yang
dihasilkan oleh imago betina P. xylostlla selama hidupnya adalah 92 hingga 130 butir.
(Sudarwohadi, 2005)

Larva P. xylostella berbentuk silindris, relatife tidak berbulu. Larva terdiri dari
empat instar. Larva mempunyai pertumbuhan maksimum dengan ukuran panjang tubuh
mencapai 10-12 mm. Larva instar pertama berwarna hijau muda hingga wama hijau tua
pada saat mencapai larva instar keempat. Ukuran larva relatif kecil dan bersifat lincah
apabila larva tersentuh ataupun mendapat gangguan maka larva P. xylostella akan
menjatuhkan diri dengan benang sutera, ini merupakan ciri khas dari larva P. xylostella.
Stadium larva pada instar pertama hingga instar keempat memiliki periode waktu yang
berbeda dimana berturutturut yaitu : 4 hari, 2 hari, 3 hari, dan 3 hari. Pada musim panas
dan hujan periode larva berkisar 10 hari dan di musim dingin dengan periode larva
berkisar 1 2 - 1 5 hari. (Sudarwohadi, 2005)

Larva instar keempat merupakan larva instar akhir. Larva instar terakhir akan
memintal benang yang akan dibuat menjadi kokon dimana pada umumnya kokon P.
xylostella terdapat pada sisi bawah daun dan waktu yang diperlukan untuk membuat
kokonnya kurang dari 24 jam. Kepompong yang baru dibentuk akan memiliki wama hijau
kekuningan kemudian setelah satu atau dua hari akan berubah menjadi wama coklat dan
secara bertahap akan berubah menjadi coklat tua hingga muncul serangga dewasa.
(Sudarwohadi, 2005)

Umur P. xylostella di daerah dingin lebih panjang daripada di daerah panas. Daur
hidup serangga P. xylostella di daerah panas dengan ketinggian hingga 250 m dpl, yaitu :
stadium telur selama 2 hari, larva selama 9 hari, pupa selama 4 hari dan imagonya selama
7 hari. Sementara itu, di dataran tinggi dengan ketinggian tempat sekitar 1.100 - 1.200
mdpl, stadium telur sekitar 3-4 hari, larva 12 hari, pupa 6-7 hari dan imago 20 hari.
(Sudarwohadi, 2005)

8
(a) (b)

Gambar, (a) Kerugian 58% sedangkan (b) Kerugian 100%

Bagian tanaman yang diserang adalah daun. Ulat memakan daging daun,
sehingga hanya tersisa tulang-tulang daunnya dan bagian epidermis daun bagian
atas saja. Ulat ini juga menyerang segala tingkatab umur. Ulat juga menyerang
fisik tumbuh yang dapat menyebabkan terhentinya pertumbuhan. Kerugian akibat
ulat ini adalah antara 58% - 100% (Mulyono, 2007).

C. Jenis Pengendalian Hama

1. Pengendalian Hayati ( Musuh Alami )

1) Klasifikasi, karakteristik dan daur hidup ( Diadegma semiclausum Hellen


(Hymenoptera: Ichneumonidae))

Ada beberapa cara pengendalian P.xylostella, diantaranya ialah


pengendalian secara hayati maupun kimiawi. Dalam lingkup pengendalian
hayati, Diadegma semiclausum Hellen (Hymenoptera:Ichneumonidae) memiliki
peran penting. Menurut Sastrosiswojo & Sastrodihardjo (1986), tingkat
parasitisasi P. xylostella oleh D. semiclausum di Indonesia mencapai 80%
bila insektisida tidak digunakan. Dalam pengendalian kimiawi, penggunaan
insektisida sering melebihi dosis yang dianjurkan. Akibatnya, P. xylostella
menjadi salah satu spesies yang paling banyak dilaporkan resisten terhadap
pestisida (Idris & Grafius 1993b; Iman et al. 1986; Agboyi et al. 2016).

Diadegma semiclausum adalah spesies tawon parasit dalam famili


Ichneumonidae. Larvanya adalah larva parasit ngengat punggung berlian(
Plutella xylostella ) dan ngengat tertentu lainnya. Berikut merupakan
klasifikasinya ;
9
Kingdom : Hewan

Divisi : Arthropoda

Class : insecta

Ordo : Hymenoptera

Famili : Ichneumonidae

Genus : Diadegma

Spesies : D. semiclausum

Diadegma semiclausum ini bisa dikenali dengan ciri-ciri yaitu Imago


memiliki tubuh berwarna hitam pekat. Memiliki sepasang faset yang berwarna
coklat kehitaman. Antena berbentuk filiform atau panjang menyerupai benang
dan beruas-ruas. Scapus berwarna coklat, dengan pedicel kecil bulat; sedangkan
flagellum terdiri dari 26 ruas yang masing-masing ruas ditumbuhi rambut-rambut
halus.

Tungkai depan dan tengah ber-warna coklat kekuningan, bagian tarsus


berwarna coklat keitaman. Coxa tungkai belakang agak membesar berwarna
hitam, pangkal trochanter berwarna hitam, femur berwana coklat dengan spot
berwarna hitam yang melingkar pada bagian pangkalnya; tibia tungkai belakang
pada bagian pangkal dan ujung berwarna coklat dan tarsus berwarna coklat
kehitaman pada setiap ruasnya dengan rumus tarsi adalah 5-5-5.

Kedua pasang sayap transparan, pasangan sayap depan dan belakang


memiliki venasi yang khas dan ditumbuhi rambut-rambut halus yang jarang,
abdomen berwarna hitam namun pada bagian ventral terutama ruas kedua dan
ketiga berwarna coklat muda, ruas pertama abdomen berwarna hitam dan
memanjang. (Michael Syntha dkk: 2012)

Daur hidup D. semiclausum dari telur sampai serangga dewasa (imago) di


dataran tinggi lamanya 18-20 hari, sedang di dataran rendah lamanya 14 hari
(Vos 1953). Masa telur, larva (4 instar) dan pupa masing-masing 2 hari, 8 hari
dan 8-10 hari di dataran tinggi. Seekor betina D. semiclausum mampu memarasit
sampai 117 ekor larva P. xylostella.

10
2. Cara Diadegma semiclausum Mengenali Inangnya

Diadegma semiclausum Hellen merupakan parasitoid larva P. xylostella yang


bersifat soliter. D. semiclausum juga merupakan komponen pengendali biologi yang
penting untuk hama P. xylostella khususnya di dataran tinggi. Apabila D.
semiclausum memarasit hama P. xylostella maka akan mempengaruhi
perkembangan serangga inangnya terutama berpengaruh terhadap fisiologi dan
perilaku larva P. xylostella sehingga parasitoid D. semiclausum berperan penting
dalam menurunkan populasi serangga inangnya. Berkurangnya peluang bertahan
hidup dan menurunnya jumlah keturunan dari hama P. xylostella akibat dari adanya
parasitoid D. semiclausum. Parasitoid D. semiclausum dikatakan serangga tabuhan
yang berwarna hitam dengan panjang tubuh 4,0–5,0 mm. Larva P. xylostella yang
terparasit oleh D. semiclausum terlihat hijau kekuningan dan abdomen tengah
membesar, sedangkan saat membentuk pupa yaitu bagian posterior membulat serta
pupanya berwarna hitam (Yuliadhi, dkk, 2018)

Gambar, tersebut merupakan gambaran awal dari cara musuh alami D. semiclausum
mengenali inangnya.

Fase larva parasitoid hanya dapat hidup pada fase inang tertentu terutama fase
telur dan larva, sehingga kelanjutan hidup parasitoid hanya dapat ditentukan oleh
ketersediaan fase inangnya yang tepat. Apabila parasitoid akan meletakkan telurnya
namun pada waktu itu tidak tersedia fase inang yang tepat, parasitoid tersebut tidak
dapat melaksanakan fungsinya untuk menegendalikan hama Lengkong, dkk, 2019).

Musuh alami, seperti parasitoid larva P. xylostella yang telah dilaporkan efektif
mengendalikan hama ini adalah Diadegma semiclausum Hellen (Hymenoptera:
Ichneumonidae). Musuh alami D. semiclausum dapat berasosiasi dengan larva P.
11
xylostella dengan perlakuan pestisida dan tanpa perlakuan pestisida. Sebelum
terjadinya proses interaksi antara D. semiclausum dengan inangnya yaitu P.
xylostella maka akan diawali dengan proses invasi.

Gambar, tersebut menunjukkan proses invasi D. semiclausum Hellen

Invasi merupakan proses masuknya suatu organisme ke habitat organisme lain


untuk melakukan serangkaian aktifitas memarasit demi untuk melanjutkan
keturunannya. Aktifitas invasi tersebut dimulai dari proses penemuan habitat inang
sampai penemuan inang. Dalam pencarian dan penemuan inang ada beberapa
tahapan yang harus dilakukan mulai dari penemuan habitat inang, kemudian
penemuan inang, pengenalan inang atau penerimaan inang, dan kesesuian inang.
Parasitoid pertama-tama akan berusaha menemukan dan memilih habitat inang
sebelum menemukan inangnya (Adnyana, dkk, 2019).

3. D. Parasitisasi Diadegma semiclausum Terhadap Pllutela xylostella

Diadegma semiclausum adalah endoparasitoid larva soliter. Endoparasit


merupakan parasitoid yang berkembang di dalam tubuh inang. Parasitoid soliter
ialah parasitoid yang hanya satu individu parasitoid dapat berkembang pada satu
individu inang. Parasitoid larva atau nimfa adalah parasitoid yang menyerang fase
larva atau nimfa inang dan menyelesaikan perkembangan pradewasanya pada fase
larva atau nimfa inang tersebut (Irsan dan Herlinda, 2015).

Parasitisasi parasitoid Diadegma semiclausum yaitu mula-mula parasitoid ini


meletakkan telur di dalam tubuh larva P. xylostella, terutama pada instar ketiga.
Imago D. semiclausum muncul dari tubuh inang saat inang berada masih dalam fase
larva. Setelah larva D. semiclausum memasuki instar akhir (keempat), larva D.
semiclausum keluar dari tubuh larva P. xylostella dan memintal kokon di dalam
kokon P. xylostella. Kokon D. semiclausum berwarna abu-abu kecokelatan. Imago
D. Semiclausum yang muncul dari kokon berwarna hitam mengkilat dengan panjang
12
tubuh berkisar 4.5-5.5 mm. Diadegma semiclausum adalah parasitoid larva tetapi di
laboratorium pernah juga ditemukan larva D. semiclausum berada di dalam tubuh
pupa P. xylostella. Larva P. xylostella yang terparasit oleh D. semiclausum terlihat
hijau kekuningan, abdomen tengah membesar dan warnanya lebih hijau, dan ujung
abdomen membulat. Pupa yang sakit ini memperlihatkan gejala, yaitu bagian
posterior membulat dan tubuhnya berwarna hitam, sedangkan pupa yang sehat
berwarna hijau dan tubuhnya runcing (Herlinda, 2005).

Meletakkan telur di dalam Larva P. xylostella yang terparasit


tubuh larva P. xylostella oleh D. semiclausum terlihat hijau
kekuningan,

Kokon terparasit, dan pada fase


Exarate yang mempunyai kokon
prapupa yaitu saat kokon telah
seperti pintalan benang sutera.
terbentuk.

Gambar, Skema tersebut merupakan lanjutan proses dari cara musuh alami mengenali
inangnya yaitu D. Parasitisasi Diadegma semiclausum Terhadap Pllutela xylostella

Menurut Kartosuwondo (1987) dalam Nazar dan Wardani (2002), stadium larva
rata-rata 6.1-6.4 hari dan mengalami 4 instar. Panjang dan lebar larva instar 1 lebih
kurang 0.72-0.73 dan 0.10 mm, sedangkan instar terakhir rata-rata 4.61-4.73 dan
1.26-1.30 mm. Pada saat larva menjelang menjadi pupa, sebagian besar isi tubuh
inang telah dimakan. Pupa parasitoid ini berbentuk exarate yang mempunyai kokon
seperti pintalan benang sutera. Kokon terparasit berbentuk silindris, tidak transparan
dan kedua ujungnya tertutup. Stadium pupa berlangsung 8-10 hari. Inang mati pada
fase prapupa yaitu saat kokon telah terbentuk. Menurut Vos (1953) dalam Nazar dan

13
Wardani (2002), bila peletakan telur terjadi pada saat instar 1, maka prapupa
berlangsung selama beberapa jam, bila pada instar 2, prapupa berlangsung 2 hari dan
jika pada instar 3, maka prapupa berlangsung 3-5 hari.

2. Pestisida Alami
Pestisida alami adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari bahanbahan
yang terdapat di alam, diekstraksi, diproses, atau dibuat menjadi konsentrat
dengan tidak mengubah struktur kimianya. Pestisida alami yang kini dikenal dapat
dikelompokan menjadi tiga golongan sebagai berikut :
a. Pestisida botani (botanical pesticides) yang berasal dari ekstrak tanaman.
Seperti diketahui, berbagai jenis tanaman memproduksi senyawa kimia untuk
melindungi dirinya dari serangan hama. Senyawa inilah yang
kemudiandiambil dan dipakai untuk melindungi tanaman lain. Penelitian
tentang tanaman-tanaman beracun botani di Indonesia dimulai sejak
didirikannya Pusat Ilmu Pengetahuan Botani oleh Belanda pada tahun 1888.
Sementara itu penelitian tentang pemanfaatan tanaman tuba (Derris sp.),
bunga krisan liar (Pyrethrum sp.), dan bengkuang sebagai pestisida sebagai
pestisida botani dimulai sejak dekade 1950-an di Bogor. Saat ini setidaknya
terdapat lebih dari 2.000 jenis tanaman yang dikenal memiliki kemampuan
sebagai pestisida. Berbeda dengan pestisida sintetis, pestisida botani umumnya
memang tidak langsung mematikan serangga yang disemprot. Pada umumnya
insektisida botani berfungsi sebagai berikut:
1. Repelen, yaitu menolak kehadiran serangga teritama disebabkan oleh
adanya bau yang menyengat.
2. Antifidan, mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot,
terutama disebabkan oleh karena rasanya yang pahit.
1. Mencegah serangga meletakan telurnya dan menghentikan proses
penetasan telur.
2. Racun syaraf.
3. Mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga.
4. Atraktan, sebagai pemikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada
perangkap serangga.
5. Beberapa jenis pestisida botani berperan mengendalikan pertumbuhan
jamur (fungisida) dan bakteri (bakterisida) perusak tanaman.
14
Beberapa contoh tanaman penghasil pestisida botani yaitu bunga krisan, akar
tuba, tembakau, mimba, mindi, bandotan, bawang putih dll (Teguh hadi dan
Mahfud, 2005). Menurut Debi (2015), Pada bawang putih mengandung zat
alicin yang berungsi menyerang sel-sel saraf pada hama sehingga
menyebabkan kematian pada hama.

b. Pestisida biologis (biological pesticides) yang mengandung mikroorganisme


pengganggu serangga hama, seperti bakteri patogenik, virus, dan jamur.
Mikroorganisme ini secara alami memang merupakan musuh serangga hama,
yang kemudian dikembangbiakan untuk keperluan perlindungan tanaman.
Proses manufaktur dari organisme ini telah memungkinkan petani
memakainya sebagaimana memakai pestisida lainnya dengan cara
menyemprot atau menebarkannya. Pestisida biologi yang saat ini banyak
dipakai adalah jenis insektisida biologi (mikroorganisme pengendali serangga)
dan jenis fungisida biologi (mikroorganisme pengendali jamur). Pestisida
biologi dapat berasal dari bakteri, jamur, virus, dan protozoa. Beberapa contoh
mikroorganisme yang telah dapat dipergunakan sebagai . bahan dasar
insektisida biologi. Contoh dari pestisida biologi ini adalah Bakteri (Bacillus
thuringiensis dan B. popilae), jamur (Beaveria bassiana, Metharhizum
anisopliae dan Verticillium lecani), virus (Baculoviruses (Nuclear
Polyhedrosis Viruses (NPV)), protozoa (Nosema locustae N. fumiferanae)
(Teguh Hadi dan Mahfud, 2005).
c. Pestisida berbahan dasar mineral anorganik yang terdapat pada kulit bumi.
Biasanya bahan mineral ini berbentuk kristal, tidak mudah menguap, dan
bersifat stabil secara kimia, seperti belerang dan kapur. Minyak bumi atau
minyak nabati dan sabun pun dapatdipakai untuk mengendalikan hama. Pada
pertanian organik, minyak dan sabun sangat lazim dipakai. Di Indonesia
pemakaian minyak untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman oleh
petani padi di Pulau Jawa mulai banyak diberitakan sejak terjadinya krisis
moneter. Minyak yang banyak dipakai adalah minyak solar. Sifat minyak yang
bersahabat dengan lingkungan tidak perlu disangsikan lagi. Penyemprotan
minyak relatif lebih aman bagi manusia, hewan ternak, dan musuh alami yang
menguntungkan. Daya racun minyak sangat rendah jika dibandingkan dengan
jenis pestisida sintetis dan beberapa pestisida botani. Minyak didefinisikan

15
sebagai cairan alami yang tidak larut dalam air, memiliki kekentalan
(viskositas), dan mudah terbakar. Beberapa jenis minyak dapat dilarutkan
dalam air dengan bahan pengemulsi, seperti sabun atau senyawa alkali untuk
disemprotkan pada tajuk tanaman. Minyak yang dipakai untuk pengendalian
hama dapat berasal dari tumbuhan, binatang, atau minyak bumi seperti minyak
tanah dan minyak diesel (Teguh Hadi dan Mahfud, 2005).
3. Pengendalian Hama Dengan Menggunakan Bahan Kimia
Bahan kimia yang biasanya digunakan bersifat sebagai pestisida, walaupun
ada pula yang digunakan sebagai attractants (zat penarik hama) atau repellant (zat
penolak hama). Pestisida sebenarnya baru digunakan secara besar-besaran setelah
Perang Dunia II, yang kemudian intensifikasi dari penggunaannya meningkat
secara cepat sekali. Pestisida berasal dari kata pest = serangga; sida = racun,
dengan kemajuan zaman tidak saja untuk membunuh serangga, tetapi sekarang
sudah berkembang menjadi racun-racun yang khusus untuk mengendalikan
organisme pengganggu tertentu, seperti :
(a) Insektisida racun untuk mengendalikan serangga
(b) Askarisida racun untuk mengendalikan tungau/caplak
(c) Nematisida racun untuk mengendalikan nematode
(d) Rodentisida racun untuk mengendalikan binatang pengerat
(e) Herbisida racun untuk mengendalikan tanaman pengganggu/gulma
(f) Fungisida racun untuk mengendalikan jamur
(g) Molukisida racun untuk mengendalikan bangsa siput/moluska
Penggunaan pestisida untuk mengendalikan organisme pengganggu sangat
disukai karena hal-hal sebagai berikut:
 Hasilnya akan cepat diketahui
 Relatif sangat murah
 Mudah digunakan dan praktis
 Dalam waktu singkat dapat digunakan di areal yang sangat luas dan sulit
dijangkau.

Masa ketenaran penggunaan pestisida mulai menurun sejak diketahui bahwa akibat
sampingan yang ditimbulkannya khususnya terhadap manusia atau ternak. Penemuan
dampak negatif penggunaan pestisida DDT dan Chlorinated Hydrocarbon Compound
lainnya menyebabkan banyak orang yang mengurangi

16
atau menghindari bahan kimia tersebut, bahkan banyak negara termasuk Indonesia
hanya menggunakan DDT untuk membrantas suatu penyakit manusia, seperti
malaria.
Bahan kimia yang banyak digunakan berpindah ke kelompok insektisida fosfat
organik (organic phosphate) dan karbamat (carbamates). Disamping kedua
kelompok insektisida organik tersebut dikenal pula insektisida dari golongan
Thiocyanates, Dinitrophenols, Sulfonates, Sulfides, Sulfones, Sulfites dan
lainlainnya. Beberapa negara telah berbalik menggunakan insektisida alam (nabati)
seperti Pyrethrin, Nicotin atau Derris. Keampuhan Pyrethrine yang tidak
mempunyai akibat sampingan, telah mendorong beberapa negara untuk membuat
sintesanya di pabrik. Meskipun orang telah mengurangi penggunaan insektisida,
namun tampaknya orang belum mau meninggalkan penggunaan insektisida organik
ini khususnya di bidang pertanian (termasuk kehutanan dan perkebunan) (Teguh
Hadi dan Mahfud, 2005). Beberapa contoh dari pestisida yaitu:
1. Topsin merupakan bagian dariinsektisida karbamat, Insektisida karbamat
berkembang setelah organofosfat. Insektisida karbamat biasanya daya
toksisitasnya rendah terhadap mamalia dibandingkan dengan organofosfat,
tetapi sangat efektif untuk membunuh insekta. Mekanisme toksisitas dari
karbamat adalah sama dengan organofosfat, dimana enzim achE dihambat dan
mengalam karbamilasi. Bahan aktif yang termasuk golongan karbamat antara
lain karbaril dan metomil yang telah dilarang penggunaannya. Namun, masih
banyak formulasi pestisida berbahan aktif lain dari golongan karbamat. Sebagai
contoh fungsida Previcur-N dan Enpil 670 EC; insektisida Currater 3 G,
Dicarzol 25 SP. Bahan aktif ini bila masuk dalam tubuh akan menghambat
enzim kholinesterase, seperti halnya golongan organophosphat. (Dian
Nuswantoro: 2014).
2. Curacron 500EC merupakan merek dagang untuk pestisida yang berbahan aktif
profenofos. Pestisida ini termasuk dalam kategori racun kontak lambung dan
berspektrum luas, yang mampu bereaksi cepat untuk mengendalikan serangan
beragam hama. Cairan Curacron 500EC berwarna bening sangat mudah
menyerap ke dalam jaringan tanaman melalui stomata sehingga Curacron cukup
efektif untuk mengendalikan hama tersembunyi di balik dedaunan. Pestisida ini
digunakan untuk mengendalikan hama ulat bawang (grayak) (Nur Ilma Hidayat
dkk: 2015).

17
3. Insektisida Endure 120 SC merupakan prodak unggulan dari Corteva
AgroScience, Bahan aktif Spinoteram 120g/l yang terkandung pada insektisida
Endure 120 SC ini adalah jenis bahan aktif yang cukup langka peredarannya di
Indonesia, sehingga menjadi keunggulan insektisida Endure 120 SC karena akan
mampu mengendalikan hama lebih efektif meski sudah resistensi. Bahan aktif
spinetoram termasuk dalam kelompok spinosyns, efek spinetoram pada Endure
120 SC dapat bekerja pada reseptor asetilkolin nikotinat, fungsinya saraf hama
akan terganggu, yang berkibatkan pada kelumpuhan, gangguan pernapasan dan
pada akhirnya hama akan mati. Bahan aktif Spinoteram ini bahan aktif yang
langka dan jarang dipakai oleh produk pestisida lain, sehingga resistensi masih
sangat jarang di timbulkan oleh insektisida jenis ini.
Endure 120SC sendiri adalah insektisida bersifat racun kontak dan
lambung, yang berbentuk pekatan suspensi berwarna kecoklatan untuk
mengendalikan hama ulat, thrips, dan kutu daun pada tanaman padi, cabai,
tomat, dan lain-lain. Kubis : Ulat daun (Plutella xylostella), dan ulat Krop
(Crocidolomia pavonana) adalah dua jenis hama tanaman kubis yang mampu
diberantas dengan tuntas oleh Insektisida Endure 120SC ini. Dosis yang di
gunakan 250 - 300 ml/ha dan lakukan penyemprotan volume tinggi.
D. Cara Mengendalikan Hama Pada Tanaman Kubis
Pengendalian serangga hama menyangkut beberapa usaha, seperti misalnya
pemakaian insektisida atau berbagai usaha lain. Dasar pengendalian adalah dibuatnya
suatu teknik untuk menghindarkan serangan hama, membunuh serangga atau
menciptakan keadaan lingkungan yang tidak dapat ditoleransi oleh serangga. Pada
waktu sekarang konsepsi pengendalian hama sering dikaitkan dengan istilah
pengelolaan hama (pest management). Di dalam pengertian pengelolaan ini
mencakup pengertian kontrol populasi dan perlindungan tanaman budidaya (crop).
Kontrol populasi dimaksudkan untuk mengurangi populasi hama sebelum hama
mencapai tingkat makan aktif di daerah atau luar daerah sebaran hama. Kontrol
populasi ini dapat dilakukan dengan cara sanitasi, pergiliran tanaman (crop rotation)
dan kontrol secara biologi. Usaha ini hanya akan efektif jika dikerjakan atas dasar
usaha masyarakat bersama yang terintegrasi. Usaha perorangan tidak akan
memberikan hasil yang memuaskan.
Perlindungan tanaman (crop protection) bertujuan secara langsung mengurangi
kerusakan pada tanaman tersebut. Penggunaan bahan kimia dapat mencapai

18
sasarannya karena mengurangi populasi serangga hama yang aktif memakan tanaman.
Pengunduran waktu tanam atau panen, penggunaan varietas tahan hama dapat juga
mengurangi kerusakan pada tanaman, meskipun tanpa mengurangi populasi hama
secara langsung.
Cara pemakaian insektisida (Insecticide application methods) :
1. Penyemprotan (spraying): merupakan metode yang paling banyak digunakan.
Biasanya digunakan 100 – 200 liter enceran insektisida per ha. Paling banyak
adalah 1000 liter/ha, sedangkan paling kecil 1 liter/ha seperti ULV (Ultra Low
Volume Concentration= insektisida yang dilarutkan kedalam sedikit pelarut dan
tidak memerlukan pengenceran lagi).
2. Penggunaan langsung dalam bentuk dusts, yaitu racun yang tidak diencerkan,
misalnya langsung dicampurkan dengan benih (direct dust admixture)
3. Penaburan seperti halnya dalam penggunaan granule (G). Granule adalah
insektisida dalam bentuk butiran yang aplikasinya dapat secara langsung
4. Penuangan atau penyiraman, misalnya untuk membunuh sarang (koloni) semut,
rayap, serangga tanah dipersemaian.
5. Ijeksi batang: dengan insektisida sistemik bagi hama penggerek batang, daun dan
sebagainya.
6. Perendaman/pencelupan (dopping)perti untuk benih/biji, kayu.
7. Penguapan (fumigasi) misalnya pada hama gudang atau hama kayu.
8. Penyampuran (admixture), misalnya insektisida dalam formulasi dust yang diberi
bahan perekat, dicampur dengan biji sehingga membentuk pelindung.
9. Pengabutan (fogging)
Beberapa hal lain yang perlu diketahui dalam kaitan dengan aplikasi pestisida,
adalah: Dosage, yaitu banyaknya (volume) racun (bahan aktif), walaupun dalam
praktek yang dimaksud adalah product formulation yang diaplikasikan pada satu
satuan luas atau volume, misalnya 1 liter/ha luasan, 100 cc/m3 kayu dan seterusnya.
Dosis (dose) atau takaran adalah banyaknya racun (biasanya dinyatakan dalam
berat, mg) yang diperlukan untuk masuk dalam tubuh organisme dan dapat
mematikannya, misalnya dosis yang mematikan atau lethal dose (LD) dinyatakan
dalam mg/kg (mg bahan aktif/kg berat tubuh organisme). Konsentrasi, adalah
perbandingan (persentase) antara bahan aktif dengan bahan pengencer / pelarut /
pembawa. Volume semprot, adalah banyaknya insektisida bersama-sama dengan
bahan pembawa yang diperlukan untuk luasan tertentu.

19
Klasifikasi Insektisida :
1. Berdasarkan cara masuk (mode of entry) :
a. Insektisida yang masuk melalui lambung. Insektisida yang masuk melalui
makanan dan befungsi mengganggu alat pencernaan. Hal ini terjadi secara
efektif pada serangga hama yang mulutnya bertipe penggigit dan pengunyah
atau tipe mandibulate. Contohnya : Copper, Arsenat, Nicotin, Parathion.
b. Insektisida yang masuk melalui kontak. Insektisida yang masuk melalui
kutikula, serangga mengalami kontak langsung dengan bahan kimia.
Contohnya : Sodium arsenat.
c. Insektisida yang masuk melalui alat pernafasan Insektisida yang masuk
kedalam tubuh serangga melalui alat pernafasan (spiraculum) ialah fumigan.
Contohnya : HCN, H2S (Teguh Hadi dan Mahfud, 2005).

20
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel hasil dokumentasi kondisi kubis sebelum terserang hama dan setelah terserang
hama

No Gambar Kondisi Kubis Keterangan


1. Tanaman Kubis yang di tanam
merupakan kubis bervariant
kubis putih yang dimana
berjenis kubis green coronet.
Tanaman Kubis yang baru,
dalam kondisi segar, karena
pada bulan ini cuaca panas,
musim kemarau maka para
petani sudah memberikan
perlakuan pemupukan atau
pemberian obat dosis rendah
pada tanaman agar terhindar
dari hama.
2. Pemberian pupuk pada tanaman
kubis.

21
3. Tanaman Kubis yang sudah siap
panen, dalam kondisi segar dan
tanpa adanya penyakit ( tidak
berlubang, warna segar, dan
kwalitas bagus ). Gambar
tersebut menunjukkan bahwa
tanaman kubis tersebut tidak
terserang hama atau tidak ada
hama yang mendekat. Karena
petani sudah mengatisipasi
dengan pemberian pengendalian
hayati berupa pemberian
pestisida alami yaitu pertisida
botani dan pestisida bahan
kimia
4. Tanaman Kubis tersebut sudah
siap di panen namun ada sedikit
kerusakan pada daunnya, jadi
kerusakan yang ada tidak begitu
banyak karena petani sudah
memberikan penanganan pada
tanaman tersebut dengan
pengendaliannya. Kondisi kubis
tersebut rusak dengan berlubang
bagian daunnya, namun masih
tetap segar. Hal ini dinyatakan
berlubang tetap segar karena
memang para petani sudah
memberikan penganagan
langsung pada tanaman tersebut
dengan pengendalian hama agar
tidak semakin meluas kerusakan
pada tanaman tersebut.

22
B. Pembahasan
a) Wawancara

Penelitian yang telah kami lakukan pada hari Minggu, 08 Mei 2021 di
persawahan Pumo kecematan Wuluhan kabupaten Jember pukul 08.00 WIB. Telah
dihasilkan bedasarkan pada tabel diatas kami telah menemukan salah satu petani
yang tidak jauh dari daerah kediaman kami. Kami memulai dengan awal wawancara
demgan narasumber kami yaitu Bapak Sukri yang bertempat tinggal di desa Kepel,
kecamatan Wuluhan, kabupaten Jember. Bapak sukri ini merupakan seseorang yang
cukup lama berkecimpung didunia pertanian. Saat ini beliau menanam tanaman jenis
Kubis, Menurut beliau Jenis Kubis itu ada tiga yaitu Green 11, Green Coronet dan
juga gubis Mutivo. kubis yang beliau tanaman adalah gubis jenis Green Coronet,
menurut bapak sukri kubis green coronet ini merupakan jenis gubis yang berkualitas
baik dan juga gubisnya tahan lama sampai tiga bulan dari pada jenis gubis lainnya.
Dapat diketahui bahwa kubis green coronet merupakan kubis bervariant kubis putih,
merupakan kubis kepala bulat runcing bentuk kropnya bulat tetapi bagian atasnya
meruncing atau dapat disebut bentuk kerucut. Kubis putih ini memiliki banyak
varietas diantarnya yaitu Gloria Osena, Green Coronet, K-K cross, K-Y cross,Hibrid
oscar,dsb (Mega, 2015).

Layaknya petani pada umumnya, bapak sukri juga mengalami permasalahan


saat menanam kubis, Permasalahan ini disebabkan oleh cuaca alam dan juga adanya
hama. Menurut bapak sukri hama yang biasa menyerang tanaman gubis dan
menimbulkan penyakit itu ada tiga, yang pertama yaitu kupu-kupu. Kupu-kupu ini
akan bertelur dan menjadi ulat, ulat ini yang dapat merusak daun kubis. Untuk ulat
dari kupu-kupu yang dimaksud bisa jadi merupakan spesies ulat tritip Plutella
xylostella atau ulat grayak Spodoptera litura F. Atau ulat titik tumbuh Crociolomia
binotalis dan atau ulat tanah Agrotis ipsilon. Karena keempat jenis hama ulat tersebut
merupakan hama yang biasa ditemukan pada tanaman kubis dan sama-sama
menyerang daun kubis (Mulyono, 2007). Bedanya hanya pada ulat tanah, karena ulat
tanah ini menyerang batang kubis yang maih muda. Hama kedua yang mengganggu
yaitu kupu-kupu jenis kaper. Kupu-kupu jenis kaper ini merupakan hama yang paling
ganas. mekanisme perusakannya juga hampir sama kayak kupu-kupu biasa, namun
ketika kaper ini sudah menempel pada daun maka daunnya akan langsung banyak
23
lubangnya dan langsung rusak daunnya. Untuk jenis hama kupu-kupu-kupu kaper ini
mungkin yang dimaksud pak Sukri adalah ngengat dari ulat grayak, dimana gejala
tanaman yang timbul akibat serangan grayak ini mirip seperti yang ada pada gambar
nomor 4 yaitu daun berlubang-lubang. Menurut Mulyono (2007), Gejala-gejala yang
tampak dari serangan ulat grayak adalah daun berlubang dan meninggalkan bekas
berwarna putih. Ulat grayak merupakan hama ulat daun yang memiliki tubuh
berbintik-bintik hitam bebentuk segitiga, dan pada sisi badannya terdapat garis-garis
dengan warna kekuning-kuningan. Ulat ini memiliki siklus hidup 20 hari, setelah itu
menjadi pupa. Ulat ini menyerang pada malam hari, dan siang hari bersembunyi di
dalam tanah. Kupu-kupu ulat grayak berwarna abu-abu gelap. Setiap ngengat betina
dapat bertelur sampai 2.000 butir yang ditempatkan di bawah permukaan daun secara
berkelompok. Setiap kelompok terdiri kurang lebih 350 butir telur. Dalam waktu 3-5
hari telur akan menetas. Ulat itu dengan cepat memakan satu tanaman sampai habis,
dan setelah habis akan berpindah pada tanaman lainnya. Hama Ketiga yaitu belalang.
Hama ini merupakan hama yang paling ringan, karena mekanisme perusakan yang
dilakukan belalang yaitu langsung memakan daunnya tetapi hanya sedikit. Cuaca
yang banyak memunculkan hama yaitu pada saat kemarau atau panas. Pada jenis
hama ketiga yaitu belalang, petani masih bisa mengatasi karena tidak terlalu
menimbulkan kerusakan dan hama yang paling dominan adalah hama jenis ulat pada
daun kubis. Untuk hama belalang paling tidak gejala yang timbul daun kubis pada
umumnya berupa gesekan pada daun yang tidak teratur. Selain daun, serangga ini juga
memakan tangkai daun (Teguh Hadi dan Mahfud, 2005).

Upaya pencegahan atau pegendalian hayati yang biasa dilakukan oleh pak
sukri yaitu menggunakan obat-obatan alami atau membuat sendiri dan juga obat-
obatan pestisida. Obat alami ini dibuat dari bawang putih, daun pepaya, daun srikaya,
gadung, dan micin. semua bahan tersebut di campur dihaluskan lalu direndam dengan
air dan didiamkan sampai membusuk selama kurang lebih 15 hari baru bisa
digunakan. Menurut Debi (2015), pada bawang putih mengandung zat alicin yang
berungsi menyerang sel-sel saraf pada hama sehingga menyebabkan kematian pada
hama sehingga obat alami ini sangat efektif digunakan untuk membasmi hama, dan
penggunaan atau penyemprotan obat ini dilakukan pada malam hari yaitu sekitar
pukul 20.00 – 22.00 karena hama ini beraktifitas dan menyerang pada jam tersebut
atau pada malam hari. Selain obat alami ini pak sukri juga menyebutkan bahwa hujan
juga bisa membantu untuk membasmi hama khususnya hama kupu-kupu, karena
24
ketika hujan turun maka kupu-kupu yang menempel di daun akan jatuh sehingga daun
gubis akan aman. Dalam upaya pengendalian hayati tanaman gubis pak sukri belum
menemukan musuh alami dari hama yang menyerang.

Dari upaya yang telah bapak sukri laukukan di atas perlu di ingat untuk cara
menggunakan pengendalian hama harus menggunakan cara dan langkah-langkah yang
teratur dan sesuai takaran. Berdasarkan tinjauan teori yang telah kami dapatkan bahwa
Pengendalian serangga hama menyangkut beberapa usaha, seperti misalnya
pemakaian insektisida atau berbagai usaha lain. Dasar pengendalian adalah dibuatnya
suatu teknik untuk menghindarkan serangan hama, membunuh serangga atau
menciptakan keadaan lingkungan yang tidak dapat ditoleransi oleh serangga. Pada
waktu sekarang konsepsi pengendalian hama sering dikaitkan dengan istilah
pengelolaan hama (pest management). Di dalam pengertian pengelolaan ini mencakup
pengertian kontrol populasi dan perlindungan tanaman budidaya (crop) (Teguh,
2012).

Pada tabel diatas yaitu pada poin 3 terdapat tanaman kubis yang masih segar
dan belum berlubang. Hal ini terjadi katrena petani sebelumnya telah melakuykan
kontrol populasi dimaksudkan untuk mengurangi populasi hama sebelum hama
mencapai tingkat makan aktif di daerah atau luar daerah sebaran hama. Kontrol
populasi ini dapat dilakukan dengan cara sanitasi, pergiliran tanaman (crop rotation)
dan kontrol secara biologi. Usaha ini hanya akan efektif jika dikerjakan atas dasar
usaha masyarakat bersama yang terintegrasi. Usaha perorangan tidak akan
memberikan hasil yang memuaskan.

Perlindungan tanaman (crop protection) bertujuan secara langsung mengurangi


kerusakan pada tanaman tersebut. Penggunaan bahan kimia dapat mencapai
sasarannya karena mengurangi populasi serangga hama yang aktif memakan tanaman.
Pengunduran waktu tanam atau panen, penggunaan varietas tahan hama dapat juga
mengurangi kerusakan pada tanaman, meskipun tanpa mengurangi populasi hama
secara langsung (Teguh, 2012).

a. Obat pestisida yang digunakan bapak Sukri ini berdosis ringan, yaitu topsin,
curakron dan Endur. Topsin ini bersifat mencegah karena bertujuan untuk
menghaluskan daun sebelum hama menyerang. Topsin merupakan bagian
dariinsektisida karbamat, Insektisida karbamat berkembang setelah

25
organofosfat. Insektisida karbamat biasanya daya toksisitasnya rendah terhadap
mamalia dibandingkan dengan organofosfat, tetapi sangat efektif untuk
membunuh insekta. Mekanisme toksisitas dari karbamat adalah sama dengan
organofosfat, dimana enzim achE dihambat dan mengalam karbamilasi (Dian
Nuswantoro: 2014).

b. Kedua yaitu Curakron, digunakan untuk mengahambat pertumbuhan ulat,


biasanya ulat mulai muncul ketika tanaman berumur 20 hari keatas, selain
menggunakan curakron untuk menghambat ulat juga bisa menggunkan refaton.
Cairan Curacron 500EC berwarna bening sangat mudah menyerap ke dalam
jaringan tanaman melalui stomata sehingga Curacron cukup efektif untuk
mengendalikan hama tersembunyi di balik dedaunan. Pestisida ini digunakan
untuk mengendalikan hama ulat bawang (grayak) (Nur Ilma Hidayat, dkk,
2015).

c. Ketiga yaitu Endur, obat ini menurut pak sukri merupakan obat paling ampuh
untuk membasmi hama ketika tanaman gubis sudah besar, biasanya pak sukri
mencampur endur dengan bawang putih untuk membasmi hama.

d. Menurut pak Sukri keuntungan dari pengendalian hayati menggunakan obat


alami yaitu kalau sewaktu-waku ada kupu-kupu datang, jika terkena obat itu
maka kupu-kupu tadi sudah nggak bisa lari lagi, bisa terbang tapi langsung
jatuh lagi, dan juga biaya yang digunakan hemat. untuk kelemahannya yaitu
proses pembuatannya cukup lama karena harus menungggu 15 hari,
penyemprotannya harus dilakukan malam hari, dan kalau ada hujan obat alami
ini tidak berfungsi.

e. Keuntungan menggunakan obat pestisida menurut pak sukri yaitu semua hama
akan habis sampai keakar-akarnya, kualitas tanaman lebih bagus dan lebih
cepat dan efektif dalam membasmi hama. Kelemahannya yaitu biaya yang
diperlukan lebih mahal.

b) Hasil Musuh Alami Dari Jurnal


Pada jurnal yang telah di dapatkan terdapat musuh alami untuk pembasmian dan
pemberantasan hama jenis ulat tritip atau Ulat Daun Kubis (Plutela xylostella). Jenis
ulat ini berasal dari kupu-kupu yang berkembang biak. Serangga dewasa P. xylostella

26
merupakan ngengat kecil berwarna coklat kelabu yang dikenal dengan sebutan
“Diamondback Moth (DBM)”, ini dikarenakan serangga dewasa P. xylostella pada
sayap depan terdapat tiga buah “titik” (undulasi) seperti intan. Seperti gamabar di
bawah ini.

Gambar, Kupu-kupu ulat tritip dan ulat tritip

Adapun mekanisme pembuatan inang yang dilakukan oleh ular triirip ini yaitu seperti (
Gambar di bawah )

Tahap awal yaitu dari telur, Ngengat umumnya meletakkan telurnya di


sekitar tulang daun dari permukaan bawah daun yang mana pada permukaan
bawah daun lebih kasar dibandingkan dengan permukaan daun yang halus. Telur
diletakkan secara tunggal ataupun dalam kelompok kecil. Jumlah telur yang
dihasilkan oleh imago betina P. xylostlla selama hidupnya adalah 92 hingga 130
butir.

Kemudian Stadium larva pada instar pertama hingga instar keempat


memiliki periode waktu yang berbeda dimana berturutturut yaitu : 4 hari, 2 hari, 3
hari, dan 3 hari. Pada musim panas dan hujan periode larva berkisar 10 hari dan di
musim dingin dengan periode larva berkisar 1 2 - 1 5 hari. Larva instar keempat
merupakan larva instar akhir. Larva instar terakhir akan memintal benang yang
akan dibuat menjadi kokon dimana pada umumnya kokon P. xylostella terdapat
pada sisi bawah daun dan waktu yang diperlukan untuk membuat kokonnya
kurang dari 24 jam. Selamjutnya Kepompong yang baru dibentuk akan memiliki
27
wama hijau kekuningan kemudian setelah satu atau dua hari akan berubah menjadi
wama coklat dan secara bertahap akan berubah menjadi coklat tua hingga muncul
serangga dewasa.
Tahap terakhir yaitu imago yang di mana Umur P. xylostella di daerah
dingin lebih panjang daripada di daerah panas. Daur hidup serangga P. xylostella
di daerah panas dengan ketinggian hingga 250 m dpl, yaitu : stadium telur selama
2 hari, larva selama 9 hari, pupa selama 4 hari dan imagonya selama 7 hari.
Sementara itu, di dataran tinggi dengan ketinggian tempat sekitar 1.100 - 1.200
mdpl, stadium telur sekitar 3-4 hari, larva 12 hari, pupa 6-7 hari dan imago 20
hari.
Adapun untuk membasmi adanya ulat teririp ini agar tidak merugikan
petani saat panen kubis maka ada pengendalian hayati berupa musuh alami nya itu
sendiri yaitu, Diadegma semiclausum Hellen. D. semiclausum Hellen meruapakan
spesies tawon parasit dalam famili Ichneumonidae. Larvanya adalah larva parasit
ngengat punggung berlian( Plutella xylostella ) dan ngengat tertentu lainnya. Daur
hidup D. semiclausum dari telur sampai serangga dewasa (imago). Di dataran
tinggi lamanya 18-20 hari, sedang di dataran rendah lamanya 14 hari. Masa telur,
larva (4 instar) dan pupa masing-masing 2 hari, 8 hari dan 8-10 hari di dataran
tinggi. Seekor betina D. semiclausum mampu memarasit sampai 117 ekor larva P.
xylostella.
Musuh alami, seperti parasitoid larva P. xylostella yang telah dilaporkan
efektif mengendalikan hama ini adalah Diadegma semiclausum Hellen
(Hymenoptera:Ichneumonidae). Dengan cara mengenali inangnya Berasosiasi
dengan larva P. xylostella dengan perlakuan pestisida dan tanpa perlakuan
pestisida. Selanjutnya melakukan Invasi merupakan proses masuknya suatu
organisme ke habitat organisme lain untuk melakukan serangkaian aktifitas
memarasit demi untuk melanjutkan keturunannya.
Kemudian dalam pencarian dan penemuan inang ada beberapa tahapan
yang harus dilakukan mulai dari penemuan habitat inang, kemudian penemuan
inang, pengenalan inang atau penerimaan inang, dan kesesuian inang. Tahap
selanjutnya Parasitoid larva atau nimfa adalah parasitoid yang menyerang fase
larva atau nimfa inang dan menyelesaikan perkembangan pradewasanya pada fase
larva atau nimfa inang tersebut. Pada awalnya parasitoid ini meletakkan telur di
dalam tubuh larva P. xylostella, terutama pada instar ketiga. Kemudian larva D.
semiclausum berada di dalam tubuh pupa P. xylostella. Larva P. xylostella yang
terparasit oleh D. semiclausum terlihat hijau kekuningan, abdomen tengah
membesar dan warnanya lebih hijau, dan ujung abdomen membulat.
Selanjutnya Pada saat larva menjelang menjadi pupa, sebagian besar isi tubuh
inang telah dimakan. Pupa parasitoid ini berbentuk exarate yang mempunyai kokon
seperti pintalan benang sutera. Dan pada tahap terakhir Kokon terparasit berbentuk
silindris, tidak transparan dan kedua ujungnya tertutup. Stadium pupa berlangsung 8-10
hari. Inang mati pada fase prapupa yaitu saat kokon telah terbentuk.

28
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan makalah yang telah disusun, kesimpulan yang didapatkan yaitu :
1. Kubis (Brassica oleracea) merupakan salah satu sayuran yang dikonsumsi oleh
manusia. Kubis krop merupakan salah satu anggota dari kubis (Cruciferae), bagian
yang dikonsumsi dari kubis krop adalah daunya. Jenis kubis terdiri dari kubis
putih, kubis merah dn kubis savoy. Sedangkan varietas kubis diantaranya yaitu
kubis green nova, kubis grand 22, dan kubis grand 11.
2. Jenis hama yang biasa menyerang tanaman kubis terdiri dari ulat tritip Plutella
xylostella, ulat grayak Spodoptera litura F., ulat titik tumbuh Crociolomia
binotalis, ulat tanah Agrotis ipsilon, dan belalang (bangsa Orthoptera; suku
Acrididae).
3. Adapun untuk membasmi adanya ulat teririp ini agar tidak merugikan petani saat
panen kubis maka ada pengendalian hayati berupa musuh alami nya itu sendiri
yaitu, Diadegma semiclausum Hellen. D. semiclausum Hellen meruapakan spesies
tawon parasit dalam famili Ichneumonidae
4. Musuh alami, seperti parasitoid larva P. xylostella yang telah dilaporkan efektif
mengendalikan hama ini adalah Diadegma semiclausum Hellen
(Hymenoptera:Ichneumonidae). Dengan cara mengenali inangnya Berasosiasi
dengan larva P. xylostella dengan perlakuan pestisida dan tanpa perlakuan
pestisida.
5. Jenis pengendalian hama pada tanaman kubis yaitu dengan menggunakan
pestisida alami (terdiri dari pestisida botani, biologis, dan pestisida berbahan dasar
mineral anorganik); dan menggunakan bahan kimia.
6. Cara mengendalikan hama pada tanaman kubis yaitu dengan penggunaan atau
pemanfaatan pestisida (insektisida) atau berbagai usaha lain. Dasar
pengendaliannya adalah dibuatnya suatu teknik untuk menghindarkan serangan
hama, membunuh serangga atau menciptakan keadaan lingkungan yang tidak
dapat ditoleransi oleh serangga.

29
B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih belum sempurna
dan banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat
penulis harapkan demi perbaikan makalah.

30
DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, I.M.M., Susila, I.W., dan Yudha, I.K.W. 2019. Pola Interaksi Parasitoid
Larva Diadegma semiclausum Hellen (Hymnoptera: Ichneumonidae) dengan
Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Plutelliadae) Pada Tanaman Kubis Yang
Diperlakukabln Dengan Insektisida Berbahan Aktif Emanectin Benzoat 5,7%.
Badan Pusat Statistik. 2019. Luas Panen, Rata-rata Produksi, dan Total Produksi
Sayur-sayuran Menurut Jenis Sayuran 2017. Artikel. Diakses pada tanggal 17
Mei 2021 dari https://jemberkab.bps.go.id/statictable/2020/11/11/240/luas-
panen-rata---rata-produksi-dan-total-produksi-sayur---sayuran-menurut-jenis-
sayuran-2017.html.

D. Moniharapon Debby dan Maria Nindatu. 2015. PENGARUH EKSTRAK AIR


BAWANG PUTIH (Allium sativum) TERHADAP MORTALITAS LARVA
Crocidolomia binotalis PADA TANAMAN KUBIS. Ambon: Universitas
Pattimura

Fajar, D. Murdono, B & H. Simanjuntak. 2010. Potensi Beberapa Varietas Kubis


Hibrida (Brassica Oleracea L. Var Capitata) Dalam Menghasilkan Benih
Melalui Metode Penyambungan Dengan Caisim Sebagai Batang Bawah.
Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Dan Bisnis Universitas
Kristen Satya Wacana. Jurnal Agric. Vol. 22. No.1.
Firmansyah, A.P. 2017. Pengantar Perlindungan Tanaman. CV Inti Mediatama:
Makassar

Hartin Eko dan Dian Nuswantoro. 2014. KONTAMINASI RESIDU PESTISIDA


DALAM BUAH MELON (STUDI KASUS PADA PETANI DI KECAMATAN
PENAWANGAN. Jurnal Kesehatan Masyarakat
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas. Semarang: Universitas
Semarang
Herlinda, Siti. 2005. Parasitoid dan Parasitisasi Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera:
Yponomeutidae) di Sumatera Selatan. Jurnal Hayati. Vol.12 No.4

Hidayat Nur Ilma, dkk. 2015. IDENTIFIKASI RESIDU PESTISIDA KLORPIRIFOS


DAN PROFENOFOS PADA BAWANG MERAH (Allium ascalonicum) DI PASAR
TERONG DAN LOTTE MARTKOTA MAKASSAR. Makassar: Universitas
Hasanuddin
31
Irsan, C., dan Herlinda, S. 2015. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan. Palembang:
Unsri Press

Lengkong, dkk. 2019. Viabilitas Pupa Parasitoid Diadegma Aemiclausum Hellen


(Hymenoptera: Ichneumonidae) Berdasarkan Lama Penyimpanan Di Lemari
Pendingin. Jurnal. Program Studi Agroteknologi. Fakultas Pertanian. Universitas
Sam Ratulangi: Manado

Mulyono, S. 2007. Bercocok Tanam Kubis. Azka Mulia Media: Padang

Nazar, A., dan Wardani, N. 2002. Evaluasi Tingkat Parasitisasi Parasitoid Telur dan
Larva Terhadap Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Yponomeutidae) Pada
Tanaman Kubis-kubisan. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika. Vol.2
No.2

Pracaya. 2003. Bertanam Sayuran Organik di Kebun, Pot, dan Polibag. Penebar
Swadaya: Salatiga.
Rukmana, Rahmat. 2003. Usaha Tani Kapri. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Sastrosiswojo, Sudarwohadi dkk. 2005. Penerapan Teknologi PHT pada Tanaman
Kubis. Balai Penelitian Tanaman Sayuran : Bandung

Syntha Michael N B dkk. 2012. PARASITISASI Diadegma semiclausum Hellen


(HYMENOPTERA: ICHNEUMONIDAE) PADA HAMA Plutella xylostella
(LEPIDOPTERA; PLUTELIDAE) DI TOMOHON. Fakultas Pertanian
Universitas Sam Ratulangi, Manado

Yuliadhi, K.A., Supartha, I.W., dan Kumarawati, N.P.N. 2018. Parameter Biologi dan
Demografi Parasitoid Diadegma Semiclausum Hellen (Hymenoptera:
Ichneumonidae) pada Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Plutellidae). Jurnal
Agrotrop. Vol.8 No.2

32
Rumthe, R.Y., Uluputty, M.R., dan Luhukay, J.N. 2013. Respons Lima Varietas
Kubis (Brassica oleracea L.) Terhadap Serangan Hama Pemakan Daun
Plutella xylostella (Lepidoptera; Plutellidae). Jurnal Agrologia. Vol.2. No.2.
Soekarto, Sutjipto, dan Kristanto, S.P. 2013. Pengendalian Hama Pada Tanaman
Kubis Dengan Sistem Tanam Tumpangsari. Jurnal Berkala Ilmiah Pertanian.
Vol.1. No.1.
Tanindo. 2012. F1-GRAND11. Artikel. Diakses pada tanggal 1 Maret 2013 dari
http://www.tanindo.com/index.php?option=com_content&view=section&layout
=blog&id=48&Itemid=52

Trihartono Bambang dan Mahfudz. 2005. Hama Hutan Indonesia Catatan 20 Tahun
Peneliti. Manado: Balai Penelitian Kehutanan Manado

33
34
35
36
37
38

Anda mungkin juga menyukai