Anda di halaman 1dari 39

BAB II

KONSEP TEORITIS

2.1 Konsep Stroke


2.1.1 Konsep Dasar Medis
1. Definisi Stroke
Stroke adalah gangguang fungsi otak yang terjadi dengan cepat (tiba-
tiba) dan berlangsung lebih dari 24 jam karena gangguan suplai darah ke
otak. Dalam jaringan otak, kekurangan aliran darah menyebabkan reaksi bio-
kimia yang dapat merusakkan atau mematikan sel-sel otak. Kematian
jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh
jaringan itu. Seperti yang kita ketahui, otak adalah pusat sistem saraf dalam
tubuh manusia. Otak tidak hanya mengendalikan gerakan, namun juga
pikiran, ingatan, emosi, suasana hati, bahkan sampai dorongan seksual.
Selama masih hidup, otak terus menurus menerima rangsangan, mengolah,
dan menyimpan informasi dalam bentuk memori (Wiwit S, 2014).
Stroke merupakan gangguan peredaran darah pada otak yang
menyebabkan defisit neurologis mendadak sebagai akibat iskemik atau
hemoragik sirkulasi saraf otak. Istilah stroke biasanya digunakan secara
spesifik untuk menjelaskan infark serebrum (Huda & Kusuma 2016).
Stroke merupakan manifestasi gangguan saraf umum, yaitu timbul
secara mendadak dalam waktu yang singkat, yang diakibatkan gangguan
aliran darah ke otak akibat penyumbatan (ischemic stroke) atau perdarahan
(hemorrhagic stroke) (Wiwit S, 2014).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa stroke adalah suatu
kelainan fungsi otak dimana terjadi kerusakan otak yang disebabkan oleh
berkurangnya suplai darah ke otak mengakibatkan defisit neurologis.

7
8

2. Klasifikasi Sroke
Stroke pada dasarnya terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai
berikut: (Wiwit S, 2014).
a. Stroke Iskemik
Stroke jenis ini terjadi jika aliran darah ke otak terhenti karena
aterosklerosis (penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah)
atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah ke otak
sehingga pasokan darah ke otak terganggu. Hampir sebagian besar
pasien atau sebesar 83% mengalami stroke jenis ini.
Pada dasarnya, stroke iskemik disebabkan oleh beberapa hal, di
antaranya sebagai berikut:
1) Atheroma (endapan lemak), yaitu penyumbatan yang bisa terjadi di
sepanjang arteri menuju otak. Penyumbatan bisa terjadi di sepanjang
jalur pembuluh darah arteri yang menju ke otak, yaitu dua arteri
karotis interna dan dua arteri vertebralis. Arteri-arteri ini merupakan
cabang dari lengkung aorta jantung. Suatu atheroma bisa terbentuk di
dalam pembuluh darah arteri karotis sehingga menyebabkan
berkurangnya aliran darah. Keadaan ini sangat serius karena setiap
pembuluh darah arteri karotis dalam keadaan normal memberikan
darah ke sebagian besar otak.
2) Peradangan atau infeksi yang dapat menyebabkan meyempitnya
pembuluh darah yang menuju ke otak.
3) Obat-obatan, seperti kokain dan amfetamin, juga bisa mempersempit
pembuluh darah ke otak.
4) Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba sehingga menghambat aliran
darah ke otak. Hal ini sering terjadi pada orang kehilangan darah
sangat banyak karena cedera atau pembedahan.
5) Emboli, yaitu endapan lemak yang terlepas dari dinding arteri dan
terbawa aliran darah lalu menyumbat arteri yang lebih kecil. Arteri
karotis dan arteri vertebralis beserta percabangannya juga bisa
9

tersumbat karena adanya pembekuan darah yang berasal dari tempat


lain, seperti dari jantung atau satu katupnya. Stroke semacam ini
disebut sebagai stroke emboli serebral (emboli = sumbatan, serebral
= pembuluh darah otak).

Ada dua jenis stroke iskemik yang paling banyak terjadi, yaitu sebagai
berikut:
1) Thombotik stroke, yaitu gumpalan darah (thrombus) terbentuk dalam
salah satu arteri yang menyuplai darah ke otak; dan
2) Embolik stroke, terjadi ketika gumpalan darah atau partikel lain yang
terbentuk di luar otak, biasanya di dalam jantung, terbawa aliran
darah, dan mempersempit pembuluh darah. Stroke jenis ini biasanya
terjadi mendadak dan penderitanya berusia muda.
b. Stroke Hemorragik
Jenis stroke hemorragik terjadi jika pembuluh darah pecah sehingga
menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam
suatu daerah di otak dan merusaknya. Hampir 70% kasus stroke
hemorragik terjadi pada penderita hipertensi.
c. Stroke Ringan (Transiet Ischemic Attack/TIA)
Sebenarnya, TIA termasuk dalam jenis stroke iskemik. Gejala TIA
cepat datang, hanya selama beberapa menit sampai beberapa hari. Stroke
jenis ini disebut juga mini stroke karena masih dalam kategori warning.
Karena sifat serangannya yang terjadi secara tiba-tiba dan cepat hilang.
TIA sering dianggap remeh oleh kebanyakan orang. Meskipun masih
ringan, jika diabaikan, bukan berarti TIA akan berubah menjadi parah
dan berat.
10

3. Anatomi Fisiologi Otak


a. Anatomi

Gambar 2.1 Anatomi Otak.


Sumber pustekom depdiknas

Gambar 2.2 Stroke

Sumber Heart and Stroke Foundation of Canada


11

Otak manusia kira-kira 2% dari berat badan orang dewasa (sekitar


3lbs). otak menerima 20% dari curah jantung dan memerlukan sekitar
20% pemakaian oksigen tubuh, dan sekitar 400 kilo kalori energi setiap
harinya.
Secara anatomis sistem saraf tepi dibagi menjadi 31 pasang saraf
spinal dan 12 pasang saraf cranial. Saraf perifer dapat terdiri dari neuron-
neuron yang menerima pesan-pesan neural sensorik (aferen) yang
menuju ke sistem saraf pusat, dan atau menerima pesan-pesan neural
motoric (eferen) dari sistem saraf pusat. Saraf spinal menghantarkan
pesan-pesan tersebut maka saraf spinal dinamakan saraf campuran.
Sistem saraf somatik terdiri dari saraf campuran. Bagian aferen
membawa baik informasi sensorik yang disadari maupun informasi
sensorik yang tidak disadari. Sistem saraf otonom merupakan sistem
saraf campuran. Serabut-serabut aferennya membawa masukan dari
organ-organ visceral. Saraf parasimpatis adalah menurunkan kecepatan
denyut jantung dan pernafasan, dan meningkatkan pergerakan saluran
cerna sesuai dengan kebutuhan pencernaan dan pembuangan.

b. Fisiologi
Otak merupakan alat tubuh yang sangat penting karena merupakan
pusat komputer dari semua alat tubuh. Bagian dari saraf sentral yang
terletak didalam rongga tengkorak (cranium) dibungkus oleh selaput
otak yang kuat. Otak terletak rongga cranium berkembang dari sebuah
tabung yang mulanya memperlihatkan tiga gejala pembesaran otak awal.
1) Otak depan menjadi hemifer serebri, korpus striatum, thalamus,
serta hipotalamus.
2) Otak tengah, trigeminus, korpus callosum, korpus kuadrigeminus.
3) Otak belakang, menjadi pons varoli, medulla oblongata, dan
serebellum.
12

Fisura dan sulkus membagi hemifer otak menjadi beberapa daerah.


Korteks serebri terlibat secara tidur teratur. Lakukan diantara gulungan
serebri disebut sulkus. Sulkus yang paling dalam membentuk fisura
longitudinal dan lateralis. Daerah atau lobus letaknya sesuai dengan
tulang yang berada di atasnya (lobusfrontalis, temporalis, oarientalis
dan oksipitalis).
Fisura longitudinalis merupakan celah dalam pada bidang media
laterali memisahkan lobus temporalis dari lobus frontalis sebelah
anterior dan lubos parientalis sebelah posterior. Sulkus sentralis juga
memisahkan lobus frontalis juga memisahkan lobus frontalis dan lobus
parientalis. Adapun bagian-bagian otak meliputi:
1) Cerebrum
Cerebrum (otak besar) merupakan bagian terbesar dan terluas
dari otak, berbentuk telur, mengisi penuh bagian depan atas rongga
tengkorak. Masing-masing disebut fosakranialis anterior atas dan
media. Kedua permukaan ini dilapisi oleh lapisan kelabu (zat
kelabu) yaitu pada bagian korteks serebral dan zat putih terdapat
pada bagian dalam yang mengandung serabut saraf.
Pada otak besar ditemukan beberapa serabut lobus yaitu:
a) Lobus frontalis adalah bagian dari serebrum yang terletak
dibagian sulkus sentralis.
b) Lobus parientalis terdapat didepan sulkus sentralis dan
dibelakang oleh korako oksipitalis.
c) Lobus temporalis terdapat dibawah lateral dan fisura serebralis
dan didepan lobus oksipitalis.
d) Oksipitalis yang mengisi bagian belakang dari serebrum.
Korteks serebri terdiri dari atas banyak lapisan sel saraf yang
merupakan susbtansi kelabu serebrum. Korteks serebri ini tersusun
dalam banyak gulungan-gulungan dan lipatan yang tidak teratur,
dan dengan demikian menambah daerah permukaan korteks serebri,
13

persis sama seperti melipat sebuah benda yang justru


memperpanjang jarak sampai titik ujung yang sebenarnya. Korteks
serebri selain dibagi dalam lobus juga dibagi menurut fungsi dan
banyaknya area. Cambel membagi bentuk korteks serebri menjadi
20 area. Secara umum korteks dibagi menjadi empat bagian:
a) Korteks sensori, pusat sensasi umum primer suatu hemisfer
serebri yang mengurus bagian badan, luas daerah korteks yang
menangani suatu alat atau bagian tubuh tergantung ada fungsi
alat yang bersangkutan. Korteks sensori bagian fisura lateralis
menangani bagian tubuh bilateral lebih dominan.
b) Korteks asosiasi. Tiap indra manusia, korteks asosiasi sendiri
merupakan kemampuan otak manusia dalam bidang intelektual,
ingatan, berpikir, rangsangan yang diterima diolah dan
disimpan serta dihubungkan dengan data yang lain. Bagian
anterior lobus temporalis mempunyai hubungan dengan fungsi
luhur dan disebut psikokorteks.
c) Korteks motorik menerima impuls dari korteks sensoris, fungsi
utamanya adalah kontribusi pada taktus piramidalis yang
mengatur bagian tubuh kontralateral.
d) Korteks pre-frontal terletak pada lobus frontalis berhubungan
dengan sikap mental dan kepribadian.
2) Batang otak
Batang otak terdiri:
a) Diensephalon, diensephalon merupakan bagian atas batang
otak, yang terdapat diantara sereblum dengan mesensefalon.
Kumpulan dari sel saraf yang terdapat di bagian depan lobus
temporalis terdapat kapsul interna dengan sudut mengahadap
kesamping. Fungsinya dari diensephalon yaitu:
1. Vasokonstriktor, mengecilkan pembuluh darah
2. Respirator, membantu proses pernafasan
14

3. Mengontrol kegiatan reflex


4. Membantu kerja jantung
Mesensefalon, atas dari mesensefalon terdiri dari empat bagian
yang menonjol keatas. Dua disebelah atas disebut korpus
kuadrigeminus superior dan dua sebelah bawah selaput korpus
kuadrigeminus inferior. Serat nervus toklearis berjalan kearah
dorsal menyilang garis tengah ke sisi lain. Fungsinya:
1. Membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata
2. Memutar mata dan pusat pergerakan mata
b) Pons varoli barikum pantis yang menghubungkan mesensefalon
dengan pons varoli dan dengan sereblum, terletak didepan
sereblum diantara otak tengah dan medulla oblongata. Disini
terdapat premoktosid yang mengatur gerakan pernafasan dan
reflex. Fungsinya adalah:
1. Penghubung antara kedua bagian sereblum dan juga antara
medulla oblongata dengan sereblum
2. Pusat saraf nervus trigeminus
c) Medulla oblongata merupakan bagian dari batang otak yang
paling bawah yang menghubungkan pons baroli dengan
medulla spinalis. Bagian bawah medulla oblongata merupakan
persambungan medulla spinalis ke atas, bagian atas medulla
oblongata yang melebar disebut kanalis sentralis di daerah
tengah bagian ventral medulla oblongata.
Medulla oblongata mengandung nukleus atau badan sel dari
berbagai saraf otak yang penting. Selain itu medulla
mengadung “pusat-pusat vital” yang berfungsi mengendalikan
pernafasan dan sistem kardiovaskuler. Karena itu, suatu cedera
yang terjadi pada bagian ini dalam batang otak dapat membawa
akibat yang sangat serius.
15

3) Cerebellum
Otak kecil di bagian bawah dan belakang tengkorak dipisahkan
dengan cerebrum oleh fisura transversalis dibelakangi oleh pons
varoli dan diatas medulla oblongata. Organ ini banyak menerima
serabut aferen sensoris, merupakan pusat koordinasi dan integrasi.
Bantuknya oval, bagian yang kecil pada sentral disebut vermis dan
bagian yang melebar pada lateral disebut hemisfer. Serebelum
berhubungan dengan batang otak melalui pundunkulus serebri
inferior. Permukaan luar serebelum berlipat-lipat menyerupai
serebellum tetapi lipatannya lebih kecil dan lebih teratur.
Permukaan serebellum ini mengandung zat kelabu. Korteks
serebellum dibentuk oleh substansia grisia, terdiri dari tiga lapisan
yaitu granular luar, lapisan purkinya dan lapisan granular dalam.
Serabut saraf yang masuk dan yang keluar dari serebrum harus
melewati serebellum (Evelyn C. Pearce, 2011).

4. Etiologi Stroke
Menurut Smeltzer dan Bare (2012) stroke biasanya diakibatkan oleh
salah satu dari empat kejadian dibawah ini, yaitu:
a. Thrombosis yaitu bekuan darah di dalam pembuluh darah darah otak
atau leher. Arteriosklerosis serebral adalah penyebab utama thrombosis,
yang adalah penyebab yang paling umum dari stroke. Secara umum,
thrombosis tidak terjadi secara tiba-tiba, dan kehilangan bicara
sementara, hepiplegia, atau paresthesia pada setengah tubuh dapat
mendahului paralisis berat pada beberapa jam atau hari.
b. Embolisme serebral yaitu bekuan darah atau material lain yang dibawa
ke otak dari bagian tubuh yang lain. Embolus biasanya menyumbat
arteri serebral tengah atau cabang-cabangnya yang merusak sirkulasi
serebral (Valente et al, 2015).
16

c. Iskemia yaitu penurunan aliran darah ke area otak. Iskemia terutama


karena konstriksi atheroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak
(Valente et al, 2015).
d. Hemoragi serebral yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan
perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak. Pasien
dengan perdarahan dan hemoragi mengalami penurunan nyata pada
tingkat kesadaran dan dapat menjadi stupor atau tidak responsife.

Akibat dari keempat kejadian di atas maka terjadi penghentian suplai


darah ke otak, yaitu menyebabkan kehilangan sementara atau permanen
fungsi otak dalam gerakan, berfikir, memori, bicara, atau sensasi.

5. Faktor Resiko Stroke


Faktor resiko yang dapat dikendali sebagai berikut: (Wiwit S, 2014)
a. Hipertensi
b. Penyakit jantung
c. Diabetes mellitus
d. Hyperlipidemia (peninggian kadar lipid dalam darah)
e. Gangguan pembuluh darah coroner
f. Mempunyai riwayat pernah terkena serangan stroke (stroke ringan)

Selain itu, masih ada lagi faktor ikutan yang meliputi:


a. Kadar lemak tinggi dalam darah
b. Merokok
c. Kurang olahraga
d. Kadar asam urat tinggi
e. Kadar fibrinogen tinggi
17

Faktor resiko yang tidak dapat dikendali sebagai berikut:


a. Usia
Siapa pun tidak akan pernah bisa menaklukkan usia. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa usia itu kuasa Tuhan. Beberapa penelitian
membuktikan bahwa 2/3 serangan stroke terjadi pada usia di atas 65
tahun. Meskipun demikian, bukan berarti usia muda atau produktif akan
terbebas dari serangan stroke.
b. Jenis kelamin
Penelitian menunjukkan bahwa pria lebih banyak terkena stroke dari
pada wanita, yaitu mencapai kisaran 1,25 kali lebih tinggi. Namun
anehnya, justru lebih banyak wanita yang meninggal dunia karena
stroke. Hal ini disebabkan pria umumnya terkena serangan stroke pada
usia muda. Sedangkan, para wanita justru sebaliknya, yaitu saat usianya
sudah tinggi (tua).
c. Garis keturunan
Terdapat dugaan bahwa stroke dengan garis keturunan saling berkaitan.
Dalam hal ini, hipertensi, diabetes, dan cacat pada pembuluh darah
menjadi faktor genetik yang berperan. Cadasil, yaitu suatu cacat pada
pembuluh darah dimungkinkan merupakan faktor genetik yang paling
berpengaruh. Selian itu, gaya hidup dan pola makan dalam keluarga
yang sudah menjadi kebiasaan yang sulit diubah juga meningkatkan
resiko stroke.
d. Asal usul bangsa
Berdasarkan literature, bangsa Afrika, Asia, dan keturunan Hispanik
lebih rentan terkena serangan stroke.
e. Kelainan pembuluh darah (Atrial Fibrillation)
Kelainan ini adalah suatu kondisi katika salah satu balik jantung bagian
atas berdetak tidak stabil sinkron dengan jantung. Akibatnya, terjadi
penggumpalan darah yang menyebabkan sumbatan pembuluh darah.
Gumpalan darah tersebut akan terbawa sampai ke pembuluh darah otak
18

dan menyebabkan stroke. Hasil penelitian menunjukkan, sebanyak 20%


stroke disebabkan oleh kelainan ini. Sayangnya, hanya sedikit dokter
yang menyadari hal tersebut. Kelainan pembuluh darah ini dapat
dikontrol dengan obat atau operasi.

6. Manifestasi Stroke
Tanda dan gejala stroke yang umum terjadi di masyarakat antara lain sebagai
berikut: (Wiwit S, 2014)
a. Mati rasa mendadak pada wajah, atau rasa lemah mendadak pada
lengan, tungkai kaki, terutama pada satu sisi tubuh
b. Mendadak sulit berjalan, kehilangan keseimbangan tubuh, atau
koordinasi anggota tubuh
c. Merasa lemah dan tidak bertenanga
d. Tiba-tiba pusing atau kehilangan keseimbangan
e. Tiba-tiba menderita sekit kepala yang parah (yang kadang disebut
penderita sebagai sakit kepala terparah selama hidup)
f. Bingung atau kesulitan berbicara
g. Mulut mencong ke kiri atau ke kanan
h. Separuh badan terasa pegal, kesemutan, dan panas sepeti terkena
cabai/terbakar
i. Lidah mencong bila dijulurkan
j. Bicara pelo/tidak jelas
k. Sulit menelan atau saat makan/minum mudah tersedak
l. Terasa tidak ada koordinasi antara yang dibicarakan dan yang ada di
pikiran
m. Tidak bisa atau sulit membaca dan menulis, ada beberapa hal hilang dari
ingatan
n. Penglihatan terganggu (sebagian lapangan pandang terganggu atau
penglihatannya rangkap)
o. Kemunduran pendengaran (tuli satu telinga)
19

p. Gerakan tidak terkoordinasi


q. Mendadak lumpuh setengah badan (kiri atau kanan)
r. Terjadi nyeri kepala sangat hebat dengan karakter tidak lazim
s. Kejang yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya
t. Sakit kepala berat atau vertigo parah tanpa diketahui penyebabnya.

7. Patofisiologi Stroke
Ada dua bentuk Cerebro Vascular Accident (CVA) bleeding:
a. Perdarahan intra serebral
Pecahnya pembuluh darah otak terutama karena hipertensi
mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa
atau hematom yang menekan jaringan otak dan menimbulkan edema di
sekitar otak. Peningkatan Trans Iskemik Attack (TIA) yang terjadi
dengan cepat dapat mengakibatkan kematian yang mendadak karena
herniasi otak. Perdarahan intra cerebral sering dijumpai di daerah
pituitary glad, thalamus, sub kortikal, nucleus kaudatus, pon, dan
cerebellum. Hipertensi kronis mengakibatkan perubahan struktur
dinding pembuluh darah berupa lipohyalinosis atau nekrosis fibrinoid.
b. Perdarahan sub arachnoid
Pecahnya pembuluh darah karena aneurisma atau AVM. Aneurisma
paling sering didapat pada percabangan pembuluh darah besar di
sirkulasi willisi.
Arteriovenous malformations (AVM) dapat dijumpai pada jaringan
otak dipermukaan pia meter dan ventrikel otak, ataupun didalam
ventrikel otak dan ruang subarachnoid. Pecahnya arteri dan keluarnya
darah keruang subarachnoid mengakibatkan terjadinya peningkatkan
tekanan intra kranial yang mendadak, meregangnya struktur peka nyeri,
sehingga timbul nyeri kepala hebat. Sering pula dijumpai kaku kuduk
dan tanda-tanda rangsangan selaput otak lainnya. Peningkatan tekanan
intracranial yang mendadak juga mengakibatkan perdarahan
20

subarachnoid pada retina dan penurunan kesadaran. Perdarahan


subarachnoid dapat mengakibatkan vasospasme pembuluh darah
serebral. Vasospasme ini seringkali terjadi 3-5 hari setelah timbulnya
perdarahan, mencapai puncaknya hari 5-9, dan dapat menghilang setelah
minggu ke 2-5. Timbulnya vasospasme diduga karena interaksi antara
bahan-bahan yang berasal dari darah dan dilepaskan kedalam cairan
serebrospinalis dengan pembuluh arteri di ruang subarachnoid.
Vasospasme ini dapat mengakibatkan disfungsi otak global (nyeri
kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan
hemisensorik, afasia dan lain-lain). Otak dapat berfungsi jika kebutuhan
O2 dan glukosa otak dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam
sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak punya
cadangan O2 jadi kerusakan, kekurangan aliran darah ke otak walau
sebentar akan meyebabkan gangguan fungsi.
Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar
metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70% akan terjadi gejala disfungsi serebral. Pada saat otak
hipoksia, tubuh berusaha memenuhi O2 melalui proses metabolik
anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak.
21

8. Pathway Stroke
Stroke Hemoragik Stroke Non Hemoragik

Peningkatan Trombosit/emboli
Tekanan sistemik di serebral

Aneurisma Suplai darah ke jaringan


serebral tidak adekuat
Perubahan vesospasame/
arkhnoid/ vertikel arteri serebral/
saraf serebral Perfusi jaringan
serebral tidak adekuat
Hematoma Iscemic/infark
serebral Hemifer kiri
Deficit neurologi
PTIK/Herniasi Hemiparese/plegi kanan
serebral Hemisfer kanan

Penurunan Penekanan saluran Hemiparase/plegi kiri


kesadaran pernafasan

Deficit peratawan Gangguan mobilitas


area grocca
diri fisik
Pola nafas
tidak kerusakan fungsi
efektif
N. VII dan N. XII Kerusakan integritas kulit

Gangguan komunikasi verbal Kurang pengetahuan

Resiko aspirasi Resiko trauma Resiko jatuh

Sumber: Nanda, 2013


22

9. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Tarwoto (2013), pemeriksaan diagnostik terbagi menjadi
pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan laboratorium, yaitu:
a. Radiologi
1) Computerized tomografi scaning (CT Scan): mengetahui area
infark, edema, hematoma, struktur dan struktur otak.
2) Magnetic resonance imaging (MRI) : menunjukkan daerah yang
mengalami infark, hemoragik, malformasi arteriovena.
3) Elektro encephalografi (EEG): mengidentifikasi masalah didasarkan
pada gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi
yang spesifik.
4) Angiografi serebral: membantu menentukan penyebab stroke secara
spesifik seperti perdarahan, obstruksi arteri, adanya titik oklusi atau
rupture.
5) Sinar X tengkorak: mengetahui adanya klasifikasi karotis interna
pada thrombosis cerebral.
6) Fungsi lumbal: menunjukkan adanya tekanan normal, jika tekanan
meningkat dan cairan mengandung darah menunjukkan hemoragik
subarachnoid atau perdarahan intracranial, kontrakindikasi pada
peningkatan tekanan intracranial.
7) Elektrokardogram: mengetahui adanya kelainan jantung yang juga
menjadi faktor penyebab stroke.
8) Pemeriksaan syaraf kranial menurut (Judha, M., Rahil, H.n, 2011)
a) Olfaktorusius (N.I): untuk menguji saraf ini digunakan bahan-
bahan yang mrangsang seperti kopi, tembakau, parfum atau
rempah-rempah. Letakkan salah satu lubang hidung orang
tersebut sementara lubang hidung yang lain kita tutup dan
pasien menutup matanya. Kemudian pasien diminta untuk
memberitahu saat mulai tercium baunya bahan tersebut dan
kalau mungkin mengidentifikasikan bahan yang diciumnya.
23

Hasil pemeriksaan normal mampu membedakan zat aromatis


lemah.
b) Optikus (N. II): ada enam pemeriksaan yang harus dilakukan
yaitu penglihatan sentral, kartu snellen, penglihatan perifer,
reflex pupil, fundus kopi dan tes warna. Untuk penglihatan
sentral dengan menggabungkan antara jari tangan, pandangan
mata dan gerakan tangan. Kartu snellen kartu memerlukan
jarak enam meter antar pasien dengan table, jika ruangan tidak
cukup luas bisa diakali dengan cermin. Penglihatan perifer
dengan objek yang digunakan (2 jari pemeriksa / ballpoint)
digerakan mulai dari lapang pandangan kanan dan ke kiri, atas
dan bawah dimana mata lain dalam keadaan tertutup dan mata
yang diperiksa harus menatap lurus dan tidak menoleh ke objek
tersebut. Reflek pupil dengan menggunakan penglihatan,
arahkan sinar-sinar tersebut dari samping (sehingga pasien
memfokus pada cahaya dan tidak berakomodasi) kearah satu
pupil untuk melihat reaksinya. Fundus kopi dengan
menggunakan alat oftakmoskop, mengikuti perjalanan vena
retinalis yang besar kearah diskus, dan tes warna dengan
menggunakan buku Ishi Hara’s Test untuk melihat kelemahan
seseorang dalam melihat warna.
c) Akumotoris (N.III): Meliputi gerakan ptosis, pupil dengan
gerakan bola mata. Mengangkat kelopak mata ke atas, kontriksi
pupil, dan sebagian besar gerakan ekstra okular.
d) Troklearis (N.IV): Meliputi gerakan mata ke bawah dan ke
dalam, stabimus konvergen dan diplopia.
e) Trigeminus (N.V): Mempunyai tiga bagian sensori yang
mengontrol sensori pada wajah dan kornea serta bagian
motorik mengontrol otot mengunyah.
24

f) Abdusen (N.VI): Meliputi gerakan mata kesisi kiri dan kanan


atau lateral, seperti nervus ketiga atau nervus akumotoris.
g) Fasialis (N.VII): Pemeriksaan dilakukan saat pasien diam dan
atas printah (tes kekuatan otot) saat pasien diam diperlihatkan
asimetri wajah. Mengontrol ekspresi dan simetris wajah.
h) Vestibule kokhlearis (N.VIII): Pengujian dengan gesekan jari,
detik arloji dan audiogram. Mengontrol pendengaran dan
keseimbangan.
i) Glasofaringeus (N.IX): Dengan menyentuh dengan lembut.
Sentuhan bagian belakang faring pada setiap sisi dengan
spakula. Reflex menelan dan muntah.
j) Vagus (N.X): Dengan inspeksi palatum dengan senter
perhatikan apakah terdapat gerakan uvula. Mempersarafi
faring, laring dan langit lunak.
k) Aksesorus (N.XI): Pemeriksaan dengan cara meninta pasien
mengangkat bahunya dan kemudian rabalah massa otot dan
menekan ke bawah kemudian pasien disuruh memutar
kepalanya dengan melawan tahanan (tangan pemeriksa).
Mengontrol pergerakan kepala dan bahu.
l) Hipoglosus (N.XII): Pemeriksaan dengan inspeksi dalam
keadaan diam didasar mulut, tentukan adanya artrofi dan
fasikulasi. Mengontrol gerakan lidah.
b. Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap seperti Hb, leukosit, trombosit,
erotrosit, LED.
2) Pemeriksaan gula darah sewaktu.
3) Kolesterol, lipid
4) Asam urat
5) Elektrolit
6) Masa pembekuan dan mada perdarahan.
25

10. Komplikasi
Komplikasi stroke menurut (Tarwoto, 2013) yaitu:
a. Tekanan darah yang tidak stabil akibat kehilangan kendali vasomotor.
b. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
c. Malnutrisi
d. Gangguan kemampuan sensorik
e. Penurunan tingkat kesadaran
f. Aspirasi
g. Kontraktur
h. Thrombosis vena
i. Depresi
j. Emboli paru

11. Penatalaksanaan
a. Fase akut
Fase akut stroke berakjir 48 sampai 72 jam. Pasien yang koma pada
saat masuk dipertimbangan memiliki prognosis buruk. Sebaliknya
pasien pasein sadar penuh mempunyai prognosis yang lebih dapat
diharapkan. Prioritas dalam fase akut ini adalah mempertahankan jalan
nafas dan ventilasi yang baik (Smeltzer dan Bare, 2012).
b. Fase rehabilitasi
Menurut Smeltzer dan Bare (2012), fase rehabilitas adalah fase
pemulihan pada kondisi sebelum stroke. Program pada fase ini bertujuan
untuk mengoptimalkan kapasitas fungsional pasien stroke, sehingga
mampu mandiri dalam melakukan aktivitas sehari-hari adekuat.
Sedangkan menurut Tarwoto, (2013) fase rehabilitas yaitu:
1) Pertahankan nutrisi yang adekuat
2) Program manajemen bledder dan bowel
3) Mempertahankan keseimbangan tubuh dan rentang gerak sendi
ROM
26

4) Pertahankan integritas kulit


5) Pertahankan komunikasi yang afektif
6) Pemenuhan kebutuhan sehari-hari
7) Persiapan pasien pulang.

2.1.2 Konsep Dasar Keperawatan


1. Pengkajian
Menurut Mubarak (2012), pengakjian adalah upaya mengumpulkan data
secara lengkap dan sistematis untuk dikaji dan dianalisa sehingga masalah
kesehatan dan keperawatan yang dihadapi pasien baik fisik, mental, sosial,
maupun spiritual dapat ditemukan.
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam
masuk rumah sakit, nomor register dan diagnose medis.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Status kesehatan setahun terakhir, keluhan kesehatan utama,
pengetahuan atau pemahaman, penatalaksanaan masalah kesehatan,
derajat seluruh fungsi relatife terhadap masalah kesehatan dan diagnosis
medis. Pengkajian riwayat status kesehatan klien antara lain sebagai
berikut:
1) Riwayat kesehatan masa lalu
Penyakit masa kanak-kanak, penyakit serius atau kronis, trauma
perawatan dirumah sakit, alergi (catat allergen dan reaksi spesifik),
status imunisasi dan ada atau tidaknya riwayat pemakaian obat.
2) Riwayat kesehatan keluarga
a) Riwayat psikososial dan spiritual
Tentang menggali perasaan klien dengan menanyakan siapa
orang terdekat klien, masalah yang mempengaruhi klien,
27

mekanisme koping klien tehadap stress, persepsi tentang


penyakit klien.
b) System nilai kepercayaan
Apakah kegiatan agama yang dilakukan klien frekuensinya
berapa kali, apakah klien percaya dengan adanya kematian.
c. Pola kebiasaan sehari-hari
Klien perlu ditanya apakah ada masalah-masalah atau keluhan kesehatan
yang dialami klien mengenai
1) Pola nutrisi
Nafsu makan, frekuensi makan, jenis makanan, kebiasaan seblum
makan, makanan yang tidak disukai dan berapa berat badan klien
saat ini atau setahun yang lalu.
2) Pola eliminasi
Dysuria, frekuensi berkemih, urine hanya menetes, dorongan untuk
terus berkemih, hematuria, polyuria, oliguria, nukturia,
inkontenensia, nyeri saat berkemih, keluar batu pada saat berkemih
dan infeksi.
Defekasi: frekuensi, waktu BAB, bau feses klien, warna
konsistensi, keluhan saat BAB, konsistensi, apakah ada pengalaman
pemakaian laksatif.
3) Hygine personal
Frekuensi mandi, frekuensi oral hygiene, frekuensi cuci rambut dan
menggunting kuku.
4) Istirahat dan tidur
Frekuensi kebiasaan tidur sehari-hari, apakah ada kesulitan saat
mau tidur.
5) Aktivitas dan latihan
Tentang kegiatan klien sehari-hari seperti apakah klien berolahraga,
frekuensi olahraga, apakah ada keluhan saat beraktivitas.
28

6) Kebiasaan
Tentang kebiasaan sehari-hari klien, apakah klien merokok,
meminum-minuman keras dan adanya ketergantungan obat.
d. Pemeriksaan fisik
Berikut ini adalah hal-hal yang perlu dikaji untuk mengetahui fungsi
tubuh klien yaitu:
1) Keadaan umum
Kelelahan, perubahan nafsu makan dan berat badan, demam,
berkeringat dimalam hari, kesulitan tidur, sering pilek dan mudah
terkena infeksi, penilaian diri terhadap status kesehatan,
kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari, tingkat kesadaran
secara kuantitatif dan kualitatif serta TTV.
2) Rambut
Warna rambut dan keadaan rambut, adanya rontok atau tidak
3) Mata
Perubahan penglihatan,penggunaan kacamata, lensa kontak, nyeri
air mata berlebihan, pruritus, pembengkakan disekitar mata,
pandangan kabur, fotopobhia, riwayat infeksi, dan penilaian diri
pada kemampuan olfakturius.
4) Hidung dan sinus
Rinorea, rabas epitaksis, abstruksi mendengkur, nyeri pada sinus,
allergen riwayat infeksi, dan penilaian diri pada kemampuan
olfakturius.
5) Telinga
Perubahan pendengaran, rabas, titanus, vertigo, sensitivitas
pendengaran, alat-alat proteksa, riwayat infeksi, tanggal
pemeriksaan paling akhir, kebiasaan keperawatan telinga dan
dampak terhadap aktivitas sehari-hari.
29

6) Mulut dan tenggorokan


Sakit tenggorokan, lesi atau ulkus, serak, perubahan suara, kesulitan
menelan pendarahan gusi penggunaan alat-alat protesa, riwayat
infeksi, tanggal pemeriksaan paling akhir, pola menggosok gigi,
serta masalah dan kebiasaan membersihkan gigi palsu.
7) Leher
Kaku pada daerah leher, nyeri tekan, benjolan atau masa,
keterbatasan gerak dan adanya pembesaran kelenjar tiroid.
8) Dada
Kesimetrisan bentuk dada, adanya kelainan bentuk dada. Payudara:
benjolan atau masa, nyeri tekan, bengkak, keluarnya cairan dari
puting susu, perubahan pada putting susu, pola pemeriksaan
payudara pada tanggal mamografi terakhir.
9) Pernafasan
Batuk, sesak nafas, hemoptysis, mengi, atau alergi pernafasan,
frekuensi pernafasan, auskultasi, palpasi, perkusi dan wheezing.
10) Kardiovaskular
Nyeri dan ketidaknyamanan dada, palpitasi, sesak nafas, dyspnea
pada aktivitas, ortopnea, murmur, edema, varises, kaki timpang,
parestisia, dan perubahan warna kaki.
11) Gastrointestinal
Disfagia, tidak dapat mencerna, nyeri ulu hati, pembesaran hepar,
mula muntah, hematemesis, perubahan nafsu makan, intoleransi
makanan, ulkus, nyeri, ikterik, benjolan atau masa, perubahan
kebiasaan defekasi, diare, konstipasi, melena, hemoroid, perdarahan
rectum, dan pola defekasi.
12) Genotourinaria
Dysuria, frekuensi berkemih, urine hanya memetes, dorongan untuk
terus berkemih, hematuria, polyuria, oliguria, nokturia,
30

inkontenensia, nyeri saat berkemih keluar batu pada saat berkemih,


dan infeksi.
13) Muskuloskeletal
Nyeri persendian, kekakuan, pembengkakan sendi, deforitas,
spasme, kram, kelemahan otot, masalah cara berjalan, nyeri
punggung, protesa, pola kebiasaan latihan, serta dampak pada
aktivitas pada harian klien.
14) Sistem saraf pusat
Sakit kepala, kejang, sinkop atau serangan jatung, paralisis, peresis,
gangguan dalam koordinasi, TIK/tremor/spasme, paretesia, cidera
kepala dan masalah memori.

2. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan jaringan perfusi serebral berhubungan dengan suplai
darah ke jaringan tidak adekuat.
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan deformitas dinding
dada, disfungsi neuromuskular.
3. Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
neuromuskular.
5. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan sistem
saraf pusat.
6. Resiko jatuh berhubungan dengan penurunan kekuatan ekstermitas
bawah, gangguan fungsi kognitif.
7. Defisit perwatan diri: ADL berhubungan dengan gangguan
nuromuskular, gangguan fungsi kognitif.
8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan hemiparesis /
hemiplegia, penurunan mobilitas.
9. Resiko trauma berhubungan dengan gangguan fungsi kognitif,
penurunan koordinasi otot.
31

10. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi, gangguan


memori.
3. Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional


1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakakn asuhan 1. Monitor tanda-tanda vital 1. Untuk mengetahui lebih lanjut
jaringan perfusi keperawatan diharapkan 2. Kaji tingkat kesadaran klien tindakan selanjutnya
serebral ketidakefektifan perfusi serebral teratasi 3. Berikan posisi elevasi (head up 2. Mengetahui tingkat kesadaran klien
berhubungan dengan kriteria hasil: 30˚) 3. Agar klien lebih nyaman tidak
dengan suplai 1. TTV dalam batas normal 4. Dorong keluarga untuk berbicara mengalami sakit kepala
darah ke jaringan 2. Tekanan intrakranial dengan klien 4. Agar bisa merangsang tingkat
tidak adekuat 3. Tidak sakit kepala kesadaran klien
4. Tidak mengalami penurunan
kesadaran
2. Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakakn asuhan 1. Monitor tanda-tanda vital 1. Untuk mengetahuan lebih lanjut
pola nafas keperawatan diharapkan jalan napas 2. Pertahankan kepatenan jalan napas intervensi
berhubungan klien paten dengan kriteria hasil: klien 2. Mengetahui jalan nafas klien bersih
dengan 1. Mendemonstrasikan suara nafas 3. Anjurkan klien dengan posisi 3. Agar klien bernapas dengan mudah
deformitas yang bersih, tidak ada sianosis dan semifowler 4. Agar jalan napas klien berjalan
dinding dada, dyspneu 4. Ajarkan klien tehnik pernafasan dengan bersih
disfungsi 2. Klien menunjukkan jalan napas
neuromuskular paten
3. TTV dalam batas normal

3. Resiko aspirasi Setelah dilakukan tindakakn asuhan 1. Memposisikan klien untuk 1. Agar jalan napas klien paten
berhubungan keperawatan diharapkan klien tidak memaksimalkan ventilasi 2. Agar klien bernafas dengan baik
dengan mengalami resiko aspirasi dengan 2. Anjurkan klien untuk 3. Dengan melakukan tehnik
penurunan kriteria hasil: mempertahankan kepatanen jalan fisioterapi dada agar jlan napas
tingkat kesadaran 1. Menidentifikasi faktor-faktor resiko napas klien paten
aspirasi 3. Anjurkan klien melakukan tehnik 4. Dengan posisi semifowler klien
2. Menghindari fakto-faktor resiko fisioterapi dada lebih bisa bernapas dengan baik
aspirasi 4. Berikan klien posisi semifowler
3. Memposisikan tubuh untuk tegak
maupun miring ketika makan dan
minum jika dibutuhkan
4. Hambatan Setelah dilakukan tindakakn asuhan 1. Kaji kemampuan motorik 1. Mengidentifikasi kekuatan otot
mobilitas fisik keperawatan diharapkan klien tidak 2. Ajarakan pasien untuk melakukan klien
berhubungan mengalami hambatan dalam mobilitas ROM minimal 2 kali sehari 2. Latihan ROM meningkatkan
dengan fisik dengan kriteria hasil: 3. Berikan klien alat bantu jika massa tonus dan kekuatan otot
gangguan 1. Klien mampu meningkatkan diperlukan 3. Agar klien bisa beraktivitas
neuromuskular aktivitas fisik 4. Ajarkan pasien bagaimana walaupun hanya dengan alat bantu
2. Klien mengerti tujuan dari merubah posisi dan berikan 4. Agar klien bisa menggerakkan
peningkatan mobilitas bantuan jika diperlukan tubuh klien
3. Bantu untuk mobilisasi
5. Hambatan Setelah dilakukan tindakan asuhan 1. Kaji kemampuan klien dalam 1. Untuk mengetahui kemapuan
komunikasi keperawatan klien diharapkan mampu berbicara berbicara klien untuk melakukan
verbal berkomunikasi dengan kriteria hasil: 2. Berikan satu kalimat simple setiap tindakan selanjtnya
berhubungan 1. Mengekspresikan komunikasi bertemu jika diperlukan 2. Agar klien bisa menyebutkannya
dengan gangguan dengan lisan dan tertulis meningkat 3. Dorong pasien untuk dengan benar
sistem saraf pusat 2. Penerimaan komuniaksi dengan berkomunikasi secara perlahan 3. Agar klien bisa berkomunkasi
gambar dan isyarat 4. Berikan pujian positif jika dengan benar
3. Mampu berkomunikasi dengan baik diperlukan 4. Dengan memberikan pujian klien
lebih senang saat berkomunikasi
dengan benar
6. Resiko jatuh Setelah dilakukan tindakakn asuhan 1. Mengidentifikasi deficit kognitif 1. Agar mengetahui resiko jatuh pada
berhubungan keperawatan diharapkan klien tidak atau fisik yang dapat klien
dengan mengalami resiko jatuh dengan kriteria meningkatkan potensi jatuh 2. Agar klien terhindar dari resiko
penurunan hasil: 2. Anjurkan klien untuk jatuh
kekuatan 1. Menempatkan penghalang untk menggunakan rel sisi tempat tidur 3. Dengan bantuan kebutuhan ADLS
ekstermitas mencegah jatuh untuk mencegah jatuh agar klien tidak jatuh saat
bawah, gangguan 2. Kontrol ketidakmampuan 3. Beri bantuan kebutuhan ADLs melakukan kebutuhannya
fungsi kognitif beristirahat klien jika diperlukan 4. Dengan adanya penanda tersebut
3. Menggunakan alat bantu dengan 4. Berikan penanda untuk staf atau perawat bisa membantu
benar memberikan peringantan pada staf klien dalam kebutuhannya
4. Memebrikan pencahayaan bahwa klien berisiko jatuh
7. Deficit perwatan Setelah dilakukan tindakan asuhan 1. Kaji kemampuan ADL klien 1. Untuk merencanakan intervensi
diri: ADL keperawatan diharapkan klien mampu 2. Anjurkan klien untuk melakukan selanjutnya
berhubungan melakukan ADL secara mandiri dengan sendiri perawatan dirinya jika 2. Agar klien dapat menumbuhkan
dengan gangguan kriteria hasil: mampu kemandirian dalam perawatan
nuromuskular, 1. Mendemonstrasikan perubahan 3. Berikan umpan balik positif atas 3. Untuk meningkatkan harga diri
gangguan fungsi dalam perawatan diri: mandi, BAB dirinya jika mampu klien
kognitif & BAK, berpakaian dan makan 4. Bantu klien dalam pemenuhan 4. Agar kebutuhan ADL klien
2. Mampu melakukan aktivitas kebutuhan ADL klien jika tidak terpenuhi
perawatan secara mandiri mampu
8. Kerusakan Setelah dilakukan tindakan asuhan 1. Monitor kulit jika ada kemerahan 1. Untuk melakukan tindakan
integritas kulit keperawatan diharapkan tidak terjadi 2. Anjurkan klien untuk selanjutnya
berhubungan kerusakan kulit pada klien dengan memobilisasikan diri untuk 2. Untuk mencegah kerusakan kulit
dengan kriteria hasil: mengubah posisi setiap dua jam pada klien
hemiparesis / 1. Integritas kulit yang baik bisa sekali 3. Dengan menggunakan pakaian
hemiplegia, dipertahankan 3. Anjurkan klien untuk longgar agar klien tidak mengalami
penurunan 2. Tidak adanya luka atau lesi menggunakan pakaian yang luka pada kulit
mobilitas 3. Perfusi jaringan baik longgar 4. Agar kulit klien tetap bersih dan
4. Anjurkan klien utnuk menjaga tidak luka serta klien nyaman
kebersihan kulit
9. Resiko trauma Setelah dilakukan tindakakn asuhan 1. Menidentifikasi kebutuhan 1. Untuk mengetahui resiko trauma
berhubungan keperawatan diharapkan klien tidak keamanan klien sesuai dengan pada klien supaya bisa di cegah
dengan gangguan mengalami resiko trauma dengan kondisi fisik dan fungsi kognitif 2. Agar klien tidak jatuh dan tidak
fungsi kognitif, kriteria hasil: klien serta riwayat terhadulu klien mengalami trauma
penurunan 1. Klien bebas dari trauma fisik 2. Menyediakan lingkungan yang 3. Agar klien tidak jatuh
koordinasi otot 2. Lingkungan yang aman aman untuk klien
3. Mencegah perilaku jatuh 3. Menganjurkan klien untuk
menghindari lingkungan yang
berbahaya
10. Defiits Setelah dilakukan tindakakn asuhan 1. Menjelaskan proses penyakit 1. Agar klien dan keluarga klien
pengetahuan keperawatan diharapkan klien dengan cara yang tepat mengetahui tentang penyakitnya
berhubungan mengetahui tentang penyakitnya dengan 2. Menjelaskan tanda gejala yang 2. Agar klien dan keluarga klien
dengan kurang kriteria hasil: biasa muncul pada penyakit mengetahui tanda gejala dari
informasi, 1. Klien dan keluarga menyatakan dengan cara yang benar penyakitnya
gangguan memahami tentang penyakit 3. Berikan penilaian tentang tingkat 3. Supaya klien lebih semangat untuk
memori 2. Klien dan keluarga mampu pengetahuan klien tentang proses tetap ingin mengetahui tentang
melaksanakan prosedur yang penyakit penyakitnya
dijelaskan secara benar
3. Klien dan keluarga mampu
menjelaskan kembali apa yang
dijelaskan perawat atau tim
kesehatan lainnya
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari
rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Setiadi,
2012).

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan
untuk menentukan apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana
rencana keperawatan dilanjutkan, merevisi rencana atau menghentikan
rencana keperawatan (Manurung, 2011).
2.2 Konsep Range Of Motion (ROM)
2.2.1 Pengertian Range Of Motion (ROM)
Range Of Motion (ROM) adalah suatu latihan yang menggerakkan
persendian serta memungkinkan terjadinya kontraksi serta pergerakan pada
otot, dimana latihan ini dilakukan pada masing-masing bagian persendian
sesuai dengan gerakan-gerakan normal baik secara pasif ataupun aktif (Potter &
Perry 2010).
ROM sendiri merupakan suatu istilah baku untuk menggambarkan
batasan/ besarnya gerakan pada bagian sendi baik normal. ROM juga
digunakan sebagai dasar untuk menetapkan adanya keianan batas gerak sendi
abnormal. Latihan ROM sendiri terbukti dapat menstimulus dalam
meningkatkan kekuatan otot (Helmi, 2012).
Pasien dengan stroke mendapatkan terapi lanjutan atau rehabilitasi
dengan latihan Range Of Motion (ROM) saat memasuki tahap penyembuhan.
Terapi yang dilakukan diharapkan bisa memperbaiki fungsi sensori motorik
untuk melakukan pemetaan ulang di area otak yang mengalami kerusakan
(Subianto, 2012).

2.2.2 Klasifikasi Range Of Motion (ROM)


Pengklasifikasi Range Of Motion (ROM) menurut Widyawati (2010)
terdiri dari ROM aktif , ROM aktif dengan bantuan dan ROM pasif. ROM aktif
ialah latihan yang dilakukan oleh pasien secara mandiri, pada latihan ini pasien
dipercaya dapat meningkatkan kemandirian serta kepercayaan dirinya. Latihan
yang dilakukan secara mandiri oleh pasien dan hanya dibantu oleh perawat atau
keluarga saat pasien kesulitan melakukan suatu gerakan disebut dengan ROM
aktif dengan bantuan. Sedangkan ROM pasif yaitu latihan yang dilakukan oleh
pendamping seperti perawat atau keluarga, pendamping berperan sebagai
pelaku ROM atau yang melakukan ROM terhadap pasien tersebut.
2.2.3 Manfaat Range Of Motion (ROM)
1. Gerakan tubuh yang teratur dapat meningkatkan kesegaran tubuh
2. Memperbaiki tonus otot dan sikap tubuh, mengontrol berat badan,
mengurangi ketengangan, dan meningkatkan relaksasi
3. Menjaga kebugaran (fitness) dari tubuh
4. Merangsang peredaran darah dan kelenturan otot
5. Menurunkan stress seperti hipertensi, kelebihan BB, kepala pusing,
kelelahan dan depresi
6. Merangsang pertumbuhan pada anak-anak.

2.2.4 Indikasi Range Of Motion (ROM)


Indikasi dilakukannya Latihan ROM menurut (Padhila, 2013) yaitu
pasien yang mengalami kelemahan otot, pasien dengan tahap rehabilitasi fisik,
dan pasien dengan tirah baring lama.

2.2.5 Kontra Indikasi Range Of Motion (ROM)


Kontra indikasi menurut (Padhila, 2013) yaitu pasien dengan kelainan
sendi atau tulang, pasien tahap mobilisasi karena kasus jantung, dan pasien
dengan sendi yang terinfeksi.

2.2.6 Langkah-langkah Range Of Motion (ROM)


Langkah-langkah Range Of Motion (ROM) merupakan latihan pada
sendi, selain pada ekstermitas atas terdapat pula pada ekstermitas bawah,
menurut Helmi (2012) beberapa begian sendi yang dapat diberikan latihan
Range Of Motion (ROM) pada ekstermitas bawah yakni sebagai brikut:
1. Fleksi dan ekstensi lutut dan pinggul dengan cara menggangkat kaki dan
bengkokkan lutut
2. Abduksi dan adduksi kaki dengan cara menggerakkan ke samping kiri dan
samping kanan menjauh dari pasien
3. Rotasi pingul internal dan eksternal
4. Fleksi dan ekstensi jari-jari kaki
5. Intervensi dan eversi telapak kaki

Langkah-langkah ROM menurut Padhila (2013) ekstermitas atas maupun


ekstermitas bawah adalah prediktor keberhasilan penanganan setelah stroke.
Pasien pada nilai parsen yang rendah akan lebih lama untuk kembali
beraktivitas secara mandiri.

2.2.7 Gerakan-gerakan ROM


Gerakan ROM yang sering dilakukan menurut Padhila (2013) adalah:
1. Lehar, spina, servical
Gerakan yang dilakukan dileher, spina dan servical yaitu:
a. Fleksi: menggerakkan dagu menempel ke dada dengan rentang 45˚
b. Ekstensi: mengembalikan kepala ke posisi tegak, dengan rentang 45˚
c. Hiperekstensi: menekuk kepala ke belakang sejauh mungkin dengan
rentang 40-45˚
d. Fleksi lateral: memiringkan kepala sejauh mungkin kearah setiap bahu,
dengan rentang 40-45˚
e. Rotasi: memutar kepala sejauh mungkin gerakan sirkuler dengan
rentang 180˚
2. Bahu
Pergerakan yang dilakukan di bahu yaitu:
a. Fleksi: menaikan lengan dari posisi di samping tubuh ke depan ke
posis di atas kepala, rentang 180˚
b. Ekstensi: mengembalikan lengan ke posisi di samping tubuh, rentang
180˚
c. Hiperekstensi: menggerakkan lengan ke belakang tubuh, siku tetap
lurus, rentang 45-60˚
d. Abduksi: menaikkan lengan ke posisi samping diatas kepala dengan
telapak tangan jauh dari kepala, rentang 180˚
e. Adduksi: menurunkan lengan ke samping dan menyilang tubuh sejauh
mungkin, rentang 320˚
f. Rotasi dalam: dengan siku fleksi, memutar bahu dengan
menggerakkan tangan sampai ke ibu jari mengahadap ke dalam dan ke
belakang rentang 90˚
g. Sirkumduksi: menggerakkan lengan dengan lingkaran penuh, rentang
360˚
3. Siku
a. Fleksi: menggerakkan siku sehingga lengan bahu bergerak ke depan
sendi bahu dan tangan sejajar bahu, rentang 150˚
b. Ekstensi: meluruskan siku dengan menurunkan tangan rentang 150˚
4. Lengan bawah
a. Supinasi: memutar lengan bawah dan tangan sehingga telapak tangan
menghadap ke atas, rentang 70-90˚
b. Pronasi: memutar lengan bawah sehingga telapak tangan mengahadap
ke bawah, rentang 70-90˚
5. Pergelangan tangan
a. Fleksi: menggerakkan telapak tangan ke sisi bagian dalam lengan
bawah, rentang 80-90˚
b. Ekstensi: menggerakkan jari-jari tangan sehingga jari-jari, tangan,
lengan bawah berada didalam arah yang sama, rentang 80-90˚
c. Hiperekstensi: membawa permukaan tangan dorsal ke belakang sejauh
mungkin, rentang 80-90˚
d. Abduksi: menekuk pergelangan tangan miring ke ibu jari, rentang 30˚
e. Adduksi: menekuk pergelangan tangan miring kea rah lima jari
rentang 30-50˚
6. Jari-jari tangan
a. Fleksi: membuat genggaman, rentang 90˚
b. Ekstensi: meluruskan jari tangan, rentang 90˚
c. Hiperekstensi: menggerakkan jari-jari ke tangan ke belakang sejauh
mungkin rentang 30-60˚
d. Abduksi: merenggangkan jari-jari tangan yang satu dengan yang lain,
rentang 30˚
e. Adduksi: merepatkan kembali jari-jari tangan, rentang 30˚
7. Ibu jari
a. Fleksi: menggerakkan ibu jari menyilang permukaan telapak tangan,
rentang 90˚
b. Ekstensi: menggerakkan ibu jari lurus menjauh dari tangan, rentang
90˚
c. Abduksi: menjauhkan ibu jari ke samping, rentang 30˚
d. Adduksi: menggerakkan ibu jari ke depan tangan, rentang 30˚
e. Oposisi: menyentuh ibu jari ke setiap jari-jari tangan pada tangan yang
sama
8. Pinggul
a. Fleksi: menggerakkan tungkai ke depan dan ke atas, rentang 90-120˚
b. Ekstensi: menggerakkan kembali ke samping tungkai yang lain,
rentang 90-120˚
c. Hiperekstensi: menggerakkan tungkai ke belakang tubuh, rentang 30-
50˚
d. Abduksi: menggerakkan tungkai ke samping menjauhi tubuh, rentang
30-50˚
e. Adduksi: menggerakkan tungkai kembali ke posisi media dan melebihi
jika mungkin, rentang 30-50˚
f. Rotasi dalam: memutar kaki dan tungkai ke arah tungkai lain, rentang
90˚
g. Rotasi luar: memurat kaki dan tungkai menjauhi tungkai lain, rentang
90˚
h. Sirkumduksi: menggerakkan tungkai melingkar
9. Lutut
a. Fleksi: menggerakkan tumit kearah belakang paha, rentang 120-130˚
b. Ekstensi: mengembalikan tungkai kelantai, rentang 120-130˚
10. Mata kaki
a. Dorsofleksi: menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk ke
atas, rentang 20-30˚
b. Flantarfleksi: menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk ke
bawah, rentang 45-50˚
11. Kaki
a. Inverse: memutar telapak kaki ke samping dalam, rentang 10˚
b. Eversi: memutar telapak kaki ke samping luar, rentang 10˚
12. Jari-jari kaki
a. Fleksi: menekuk jari-jari kaki ke bawah, rentang 30-60˚
b. Ekstensi: meluruskan jari-jari kaki, rentang 30-60˚
c. Abduksi: menggerakkan jari-jari kaki satu dengan yang lain, rentang
15˚
d. Adduksi: merapatkan kembali bersama-sama, rentang 15˚.
2.3 Konsep Kekuatan Otot
2.3.1 Definisi Kekuatan Otot
Kekuatan otot merupakan kemampuan otot untuk menghasilkan tegangan
dan tenaga selama usaha maksimal baik secara dinamis maupun statis atau
dengan kata lain kekuatan otot merupakan kemampuan maksimal otot untuk
berkontraksi (Trisnowiyanto, 2012).

2.3.2 Penilaian Kekuatan Otot


Table 2.3.1
Penilaian Kekuatan Otot

Derajat Kekuatan Otot Gambar Klinis


Derajat 0 Paralisis total/ tidak ditemukan
adanya kontraksi pada otot

Derajat 1 Kontraksi otot yang terjadi hanya


berupa perubahan dari tonus otot
yang dapat diketahui dengan
palpasi dan tidak dapat
menggerakkan sendi

Derajat 2 Otot hanya mampu menggerakkan


persendian tetapi kekuatannya
tidak dapat melawan pengaruh
gravitasi

Derajat 3 Disamping dapat menggerakkan


sendi, otot juga dapat melawan
pengaruh gravitasi tetapi tidak
kuat terhadap tahanan yang
diberikan oleh pengkaji
Derajat 4 Kekuatan otot seperti pada derajat
3 disertai dengan kemampuan otot
terhadap tahanan yang ringan

Derajat 5 Kekuatan otot normal

Anda mungkin juga menyukai