Anda di halaman 1dari 13

RELASI FITRAH DENGAN PENDIDIKAN

Oleh: Slamet Firdaus

1. Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk yang unik tidak pernah bebas dari sasaran pembahasan, diskusi, bahkan
penelitian yang serius hingga melahirkan berbagai disiplin ilmu yang besar manfaatnya bagi kehidupan
manusia itu sendiri, baik sisi fisik, aspek non fisik, segi sosil, sudut budaya, bagian ekonomi, wilyah
politik, maupun domain idiologi, pertahanan dan keamanan, maupun tataran agama.
Manusia dalam perspektif pendidikan tidak kalah ramainya dijadikan bahan dialog yang
berkesinambungan sepanjang masa. Setiap memperbincangkan pendidikan, khususnya pendidikan
Islam, manusia menjadi ajang perdebatan, termasuk menyangkut fiṭrah-nya yang menyebabkan
manusia didudukkan menjadi hewan yang pandai berujar, makhluk berfikir, dan ciptaan berpendidikan.
Perdebatan tentang lembaga pendidikan, regulasi, system, methode, sarana-prasarana, kurikulum,
hingga anak didik dan pendidik berikut kesejahteraannya terus menerus berlanjut dan selalu menarik,
terutama bagi pemerintah, para pakar, pemerhati, praktisi, dan pejuang pendidikan, lebih-lebih di
limgkungan para aktivis pendidikan Islam, istilah dalam bahasa Arab yang tepat untuk dilabelkan pada
pendidikan Islam sempat dibincangkan.
Term tarbiyah, ta’līm, dan ta`dīb merupakan tiga serangkai konsep bagi pendidikan Islam telah
lumrah digunakan oleh umat Islam. 1 Namun perbedaan pendapat tidak dapat dielakkan terjadi di antara
mereka, sebagian memilih kata tarbiyah,2 mungkin dianggap lebih cocok ketimbang term ta’līm dan
ta`dīb. Indikatornya yang tidak kalah penting adalah bermunculan term Tafsīr Tarbawiy,3 Hadīth
Tarbawiy,4 dan Mata Kuliah Tafsīr - Hadīth Tarbawiy. Sedangkan ssebagian yang lain, tokoh
utamanya adalah Naquib al-‘Aṭṭās5 menyebutkan ta`dīb lebih tepat dari pada kedua istilah lainnya, dan
terdapat pula dari mereka yang memilih kosakata ta’līm yang bisa jadi dinilainya lebih sesuai.6
Term yang pas belum ada yang disepakati sebagai pilihan mereka untuk dijadikan sebutan bagi
pendidikan Islam, sehingga terjadi perbedaan pilihan di antara umat Islam. Contohnya di Indonesia
menjatuhkan piilihannya menggunakan kosakata tarbiyah, baik dalam tulisan-tulisan sebagai karya
ilmiah, maupun label-label nama fakultas pendidikan di setiap Perguruan Tinggi Islam.
Persoalan yang dimusyawarahkan rata-rata berujung pada bagaimana mensukseskan usaha
pendidikan Islam dalam rangka mengamankan, menyelamatkan, menuntun, meningkatkan,
menumbuhkembangkan, dan mengarahkan fiṭrah semakin sempurna agar tetap berada pada zona tauhid
sesuai dengan ikrar manusi sejak di alam Arwah atau di alam Rahim dengan Allah swt, 7 atau dengan

1
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosopy and Practice Of Syed M. Naquib Al-Attas, (Malaysia, Kuala
Lumpur, International Institute Of Islamic Thought And Civilization (ISTAC), 1998) Terjemahan Hamid Fahmy, Arifin Ismail,
dan Iskandar Amel, Filsafat Dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Aṭṭās, (Bandung, Penerbit Mizan, 2003), 175.
2
Pengguna Istilah tarbiyah untuk makna pendidikan Islam di antaranya ialah Burhān Al-Dīn Al-Uqsuā`iy (w. 1502
M) dalam karya tulisnya berjudul Risālah fī Al-Tarbiyah wa al-Taslī. Wan Daud, Filsafat Dan Praktik Pendidikan Islam, 183.
3
Contoh kitab Al-Tafsīr Al-Tarbawiy li Al-Qur`ān Al-Karīm dalam tiga jilid tulisan Anūr Al-Bāz terbitan Dār Al-
Nashr li Al-Jāmi’āt Al-Qāhirah Miṣr pada tahun 2007 M
4
Seperti Produk pemikiran Muhammad Nūr ‘Abd Al-Ḥāfiẓ Su’ayd bertema Manhaj Al-Tarbiyah Al-Nabawiyyah li
Al-Ṭifl penerbitnya Dār Ibnu Kathīr tahun 2009 M
5
Dia memiliki nama lengkap Syed Muhammad Naquib al- al-‘Aṭṭās yang mengatakan bahwa; Struktur konsep ta`dīb
sudah mencakup unsur-unsur ilmu (’ilm), instruksi (ta’līm), dan pembinaan yang baik (tarbiyah) sehingga tidak perlu lagi
dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam ialah sebagaimana terdapat pada tiga serangkai konsep tarbiyah-ta’līm-ta`dīb. Wan
Daud, Filsafat Dan Praktik Pendidikan Islam, 175.
6
Buah pena Burhān Al-Dīn Al-Zarnūjy (w. 1203 M) bertajuk Ta’līm Al-Muta’allim. Wan Daud, Filsafat Dan Praktik
Pendidikan Islam, 183.
7
Ibrah ayatnya:
١٧٢ َ‫ي ٰاد ََم مِ نْ ظُ ُه ْو ِر ِه ْم ُذ ِريَّتَ ُه ْم َواَ ْش َه َدهُ ْم عَ ٰلْٓى اَنْفُ ِس ِه ْۚ ْم اَلَسْتُ بِ َربِكُ ْۗ ْم قَالُ ْوا بَ ٰل ۛى شَ ِه ْدنَا ۛاَنْ تَقُ ْولُ ْوا يَ ْو َم الْ ِقيٰ َم ِة اِنَّا كُنَّا عَنْ ٰه َذا ٰغ ِف ِلي َْۙن‬
ْْٓ ِ‫َواِ ْذ اَ َخ َذ َربُّكَ مِ ْۢنْ بَن‬
Artinya: 172. Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab,
“Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan,
“Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.” (QS. Al-A’rāf/7 : 172)
sebutan lain mengenai zona tauhid bahwa yang akan disasar oleh pendidikan Islam dalam konteks
fiṭrah tersebut adalah kesolehan kepribadian yang bertauhid. Jawabannya tidak pernah selesai, apalagi
tuntas dalam satu pertemuan atau beberapa tahap kajian, hingga sekarang-pun persoalan tersebut tetap
berlangsung dan mengilhami fikiran dan hati umat Islam Indonesia khususnya, yang terkadang
berujung pada kegundahan, salah satu pertanyaannya adalah mau kemana pendidikan Islam.
Tulisan ini merupakan penuangan pemeikiran ringan yang bisa dipastikan tidak mungkin
memberikan andil yang solutif dalam konteks problem solving atas eksistensi relasi pendidikan Islam
dan fiṭrah berikut problematikanya, melainkan sebatas memberikan gambaran yang dapat dijadikan
kabar gembira yang diharapkan sedikit atau banyak ikut serta melonggarkan kegundahan tersebut.
Pembahsannya akan difokuskan pada dua hal esensial, yaitu makna dan macam fiṭrah serta Pendidikan
Sebagai Fiṭrah Mukammilah yang elaborasinya dilakukan secara berurutan pada bagian-bagian berikut.
2. Makna dan Macam Fiṭrah
Kajian tentang fiṭrah manusia dalam bacaan para pakar muslim tidak akan terlepas dari penafsiran
QS. Al-Rūm/30 : 30.8 Ayat ini sering dijadikan rujukan utama oleh mereka, mengingat satu-satunya
ayat yang tertulis di dalamnya kosakata fitrah, meski dalam beberapa ayat yang tersebar dalam sejumlah
surat hanya tercantum derivasinya. Kombinasi kata fitrah berikut derivasinya terulang dalam al-Qur`an
sebanyak 20 kali yang termaktub dalam 19 ayat dan 19 surat yang secaraleksikal memiliki makna tidak
tunggal, karena termasuk dalam kategori al-Wujūh.9 Fiṭrah dalam pandangan Qurṭūbiy bermakna dīn
(agama) lantaran manusia diciptakan Allah swt semata-mata untuk beribadah ke hadirat-Nya yang
menjadi bagian inti agama. Pendapatnya di-munāsabah-kan (dikaitkan) dengan QS. Al-Dzāriyāt/51 :
5610 (Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali supaya beribadah kepada-Ku).11 Pemaknaan fiṭrah
dengan dīn (agama) kemungkinan besar terinspirasi oleh pernyataan Ibn ‘Abbās ra yang jauh-jauh
sebelumnya diutarakan ketika menafsirkan QS. Al-Rūm/30 : 30 dengan redaksi yang lebih khas, yaitu
dīn Allah (agama Allah),12 Sebagian ulama fiqih berpendapat bahwa fiṭrah berarti al-khilqah (ciptaan)
yang setiap anak dilahirkan dalam keadaan telah mengenal Tuhannya yang sepatutnya diupayakan
hingga mencapai puncak pengetahuannya mengenal Tuhan. Para pakar lainpun berkontribusi
mendefinisikan fiṭrah dengan al-bidā`ah (awal penciptaan) Pengertian ini dimaksudkan sebagai
penciptaan setiap manusia dimulai dari ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan, kematian,
kebehagiaan, dan penderitaan yang berlangsung sampai akhir hidupnya. 13 Banyak makna lainnya
tentang fiṭrah yang ditawarkan oleh para pakar, seperti al-Biqā’iy yang mengartikannya dengan
penciptaan dan tabeat awal yang manusia diciptakan di atasnya. 14 Inti pemaknaan fiṭrah dalam

8
Redaksi ayatnya:
ِ َّ‫الديْنُ الْقَيِ َۙ ُم َو ٰل ِكنَّ اَ ْكثَ َر الن‬
٣٠ َ‫اس َل يَعْلَ ُم ْو َۙن‬ ِ َ‫ّٰللا ْٰۗذلِك‬
ِ‫ق ه‬ ِ ْ‫اس عَلَيْ َه ْۗا َل تَبْدِ يْ َل ِلخَل‬ ْ ِ‫ّٰللا الَّت‬
َ َّ‫ي فَطَ َر الن‬ ْ ‫فَاَقِ ْم َوجْ َهكَ ل ِِلدي ِْن َحنِيْفً ْۗا ف‬
ِ ‫ِط َرتَ ه‬
Artinya: 30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah
menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui, (QS. Al-Rūm/30 : 30)
9
Kosakata yang memiliki arti ganda atau beragam (tidak tunggal) dalam studi ‘Ulūm al-Qur`an disebut dengan al-
Wujūh, dan dalam kajian Ushul Fiqh disebut dengan Musytarak. Imam Zarkashy mendefinisikan al-Wujūh ialah lafaẓ yang
mempunyai arti beragam yang digunakan untuk bermacam-macam arti sesuai dengan konteks redaksinya. Badr al-Dīn
Muḥammad bin ‘Abd Allah Al-Zarkashiy, Al-Burhān fī ‘Ulūm Al-Qur`ān, (Beirut, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), Jilid 1,
134.
10
Abū ‘Abd Allah Muḥammad ibn Aḥmad ibn Abī Bakr ibn Farḥ Al-Anṣāriy Al- Qurṭubiy Al-Khazraziy Al-
Andalusiy, Al-Jāmi’ li Aḥkām Al-Qur`ān (Tafsīr Al-Qurṭubiy), (Kairo, Maktabah Riyāḍ Al-Hadīthah, t.t), Jilid 14, 24.
11
Teks ayatnya:
٥٦ ‫س ا َِّل ِليَعْبُد ُْو ِن‬
َ ْ‫الن‬ ِ ْ ‫َو َما َخلَقْتُ الْ ِجنَّ َو‬
Artinya: 56. Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Al-Dzāriyāt/51 : 56)
12
Majd Al-Dīn Muhammad bin Ya’qub Fayrūz Ābādi Al-Shāfi’iy, Tanwīr Al-Miqyās fī Tafsīr Ibn ‘Abbūs, (Beirut,
Dār Iḥyā` Al-Turāth Al-‘Arabiy), 2002, 407,
13
Al- Qurṭubiy, Tafsīr Al-Qurṭubiy, Jilid 14, 25 dan 27.
14
Burhān Al-Dīn Abī Al-Ḥasan Ibrāhim bin ‘Umar Al- Biqā’iy, Naẓm Al-Durar fī Tanāsub Al-Āyāt wa Al-Suwar,
(Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2003), Jilid 5, 622.
pandangan mereka madzhab psikologi ini memandang manusia memiliki potensi baik atau sifat dasar
positif dan dorongan (motivasi) ke arah pertumbuhan dan aktualisasi diri. 15
Fitrah dalam versi ulama salaf lainnya, di antaranya adalah Syekh Ibnu Taymiyyah (661-728 H
atau 1263-1328 M) terdiri dari tiga macam, yakni fiṭrah majbūlah, fiṭrah munazzalah, dan fiṭrah
mukammilah yang ketiga tiganya memiliki makna dan keberadaan yang berbeda-beda. Fiṭrah Majbūlah
adalah fiṭrah baik yang berperan sebagai potensi kebaikan (lurus)16 dan cenderung kepada Islam.
Pemaknaan fitrahnya dengan metode penafsiran mengkaitakan (munāsabah) term fitrah yang termaktub
pada QS. Al-Rūm/30 : 30 dengan setidaknya tiga hadis' 1. Kullu maulūdin illā yūladu 'alā al-Fṭrah, fa
abawāhu yuhawwidānihi wa yunaṣṣirānihi wa yumajjisānihi (Setiap bayi yang lahir telah dibekali fitrah,
sesungguhnya kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, Nashrani, atau Majusi). 2.
Kullu maulūdin yūladu 'alā hādzih al-Millah (Setiap anak yang lahir cenderung beragama). 3. Kullu
maulūdin yūladu 'alā al-Islām (Setiap anak yang lahir cenderung beragama Islam).17
Pendapat Syekh Ibnu Taymiyyah tersebut berkenaan dengan pemaknaan Fiṭrah Majbūlah yang
eksistensinya merupakan anugerah, pemberian dari Allah sw (given) yang tidak akan mengalami
perubahan yang menjadikan manusia cenderung kepada agama berupa ajaran tauhid yang berwujud
dalam ma’rifat Allah wa maḥabbatuh (mengenal dan mencintai Allah swr)),18 yang selayaknya
dijadikan kapital, faktor internal dalam hidup dan berkehidupan agar tetap berada di jalan-Nya dengan
meralisasikan perilaku muslim yang taat sebagai pemeluk Islam yang sejati. Muslim yang sejati, pada
dasarnya adalah figur yang dituntut oleh Allah swt merealisasikan ajaran tauhid tersebut sebagai
perjanjiannya dengan Allah swt yang telah diikrarkannya bahwa Allah swt sebagai satu-satunya Tuhan
sebagaimana tercantum secara eksplisit pada QS. Al-A’rāf/7 : 17219, hal ini tidak mungkin dapat

15
Rita L Atkinson, Richard C. Atkinson, Ernest R. Hilgard, Introduction To Psychology, (8 th ed, Sandiego, Harcourt
Brace Jovanovich Internasional Edition, 1983). Edisi dalam Bahasa Indonesia, Alih Bahasa oleh Nurdjannah Taufiq, Editor
Agus Dharma, bertajuk Pengantar Psikologi, (Jakarta, Penerbit Erlangga, t.t), Edisi kedelapan, Jilid 2, 399.
16
Hal ini dapat dikaji pada pemikiran Carl Rogers seorang tokoh penting Psikologi Humanisme yang memandang
manusia pada hakekatnya baik atau sehat, setidak-tidaknya tidak jahat atau sakit. C. George Boeree, Personality Theories,
Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia, Penerjemah Inyiak Ridwan Muzir (Jogjakarta, Prismasophie, 2009), 288.
Hasil penelitian Rogers tentang orang-orang yang mengalami gangguan emosional mengantarkan Rogers terkesan pada apa
yang dilihatnya sebagai kecenderungan bawaan individu tumbuh dan berkembang ke arah pertumbuhan positif dan
kematangan. Atkinson, Introduction, Jilid 2, 399. Artinya, menurut Rogers manusia akan memenuhi potensi mereka selama
mereka tidak mengalami rintangan. Howard S. Friedman and Miriam W. Schustack, Personality, Classic Theories and Modern
Research, (Punlished Person Education, Inc, Publishing as Allyn and Bacon, Copyright, 2006). Terjemahan Fransiska Dian
Ikarini, S.Psi, Maria Hany, dan Andreas Provita Prima, Kepribadian, Teori Klasik, dan Riset Modern, (Jakarta, Erlangga,
2006), Jilid 1, 343. Demikian juga pandangn Maslow Begawan Psikologi Humanisme pila tentang motivasi bermula dari pra-
anggapan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, atau setidak-tidaknya netral, bukan jahat. Seperti halnya dengan keadaan
fisiknya, kejiwaan manusia mempunyai kebutuhan, kapasitas, dan kecenderungan yang pada prinsipnya tidak jahat. Sarlito
Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, (Jakarta, Bulan Bintang, 2000),169.
17
Taqy Al-Dīn Abī Al-‘Abbās Aḥmad ibn ‘Abd Al-Ḥalīm ibn ‘Abd Al-Salām ibn Taimiyyah Al-Ḥarrāniy Al-
Damshiqiy, Al-Tafsīr Al-Kāmil, (Beirut, Dār al-Fikr, 2002), Juz 5, 212
18
Fitrah manusia dalam Islam senantiasa diidentikkan dengan konsep tauhid, karena fitrah tersebut cenderung kepada
agama tauhid. Pemaknaan ini terlihat pada penafsiran Ibn Taimiyyah atas Q.S. Al-Rūm/30 : 30, ”Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Ibn Taimiyyah
mengkaitkannya dengan hadis Nabi saw tentang kelahiran anak ِِ‫ِط َرة‬ ْ ‫ كلِ مولودِ يولدِعلي الْف‬yang maknanya ialah setiap anak yang
dilahirkan dalam keadaan fitrah, kemudian dihubungkannya dengan hadis yan teksnya lebih sepesifik dan pesannya lebih
tendensius kepada agamaِِ‫ ِِكلِ مولودِ يولدِ عليِ هذهِ الملة‬yang berarti setiap anak yang dilahirkan cenderung kepada agama atau
memiliki naluri beragama, dan kemudia dielaborasikannya dengan hadis lainnya yang menggunakan redaksi jauh lebih khas
dan ekstrim yang tercmaktub di dalamnya nama suatu agama tauhid yakni ‫ عليِ ملةِ اإلسالم‬yang maknanya setiap anak yang
dilahirkan cenderung kepada agama Islam (agama tauhid). Ibn Taimiyyah, Al-Tafsīr Al-Kāmil, Juz 5, 212.
19
Redaksi ayatnya:
١٧٢ َ‫ي ٰاد ََم مِ نْ ظُ ُه ْو ِر ِه ْم ُذ ِريَّتَ ُه ْم َواَ ْش َه َدهُ ْم عَ ٰلْٓى اَنْفُ ِس ِه ْۚ ْم اَلَسْتُ بِ َربِكُ ْۗ ْم قَالُ ْوا بَ ٰل ۛى شَ ِه ْدنَا ۛاَنْ تَقُ ْولُ ْوا يَ ْو َم الْ ِقيٰ َم ِة اِنَّا كُنَّا عَنْ ٰه َذا ٰغ ِف ِلي َْۙن‬
ْْٓ ِ‫َواِ ْذ اَ َخ َذ َربُّكَ مِ ْۢنْ بَن‬
Artinya: 172. Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab,
“Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan,
“Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.” (QS. Al-A’rāf/7 : 172)
diwujudkan atau diaplikasikan sevara efektif kecuali dengan tuntunan-Nya, akal yang menjadi
kepemilikan manusia yang bernilai tinggi tidak akan mampu mempertahankan dan mengembangkannya
sehubungan akal hanya dapat menjangkau perkara yang material dan fisikal, sementara doktrin
ketuhanan, terutama perkara-perkara ghaib (ghaybiyyāt) tergolong ke dalam kajian sam’iyyāt (hanya
dapat didengar) dengan basis keyakinan dan aqidah, terlebih pengaruh faktor eksternal (extrinsic) dalam
perjalanan hidupnya tidak dapat dihindari, bahkan akan selalu terjadi benturan-benturan psikologis yang
ujungnya secara nyata dibuktikan oleh pilihan manusia atas tuhan selain Allah swt yang melahirkan
beberapa penganut agama, Nabi saw menyebutnya dengan Dīn al-Authān (Agama bertuhankan berhala),
Yahudi, Nasrani, dan Majusi, tidak terkecuali menyebut pula agama Islam dengan misi tauhid yang
diakui Allah sw sebagai satu-satunya agama yang absah (QS, Al-Mā`idah/5 : 320 dan QS. Ali ‘Imrān/3 :
1921). Fiṭrah Munazzalah dalam konteks ini mempunyai urgensi yang strategis dan kedudukannya
menjadi faktor eksternal sebagai pemandunya yang representative dan sepesifik.
Syekh Ibnu Taymiyyah memandang Fiṭrah Munazzalah berupa ajaran agama (syir’ah) yang
tertuang dalam kitab-kitab Allah swt, terutama al-Qur`an yang diturunkan-Nya untuk menguatkan
fiṭrah majbūlah,22 artinya ia merupakan wahyu Allah swt yang diturunkan kepada para nabi-Nya,
khususnya berupa al-Qur’an yang diterima oleh nabi Muhammad saw berperan sebagai hidayah yang
menuntun kehidupan manusia, bahkan hidayah tersebut dijelaskan di dalamnya, sehingga dapat
dibedakan dengan tedas antara yang hak dan batil (QS. Al-Baqarah/2 : 185)23 agar mengarungi
perjalanannya menuju kembali kepada Allah swt Sang Maha Penciptanya dalam keadaan selamat dan
damai (QS. Al-Fajr/78 : 27-30),24 fitrah ini mengindikasikan kehendak dan kekuasaan-Nya
berkomunikasi dengan hamba-hamba-Nya secara intens supaya hamba-Nya dapat memahami tentang
tujuan penciptaannya dan penciptaan segenap makhluk berikut fungsi dan kegunaannya bagi kehidupan
hamba-Nya yang menerima dan mendapatkan kepercayaan untuk mengemban amanat (QS. Al-

20
Teks ayatnya:
‫ب َواَنْ تَ ْستَقْ ِس ُم ْوا‬ِ ‫ص‬ُ ُّ‫ّٰللا بِ ٖه َوالْ ُمنْ َخنِقَةُ َوالْ َم ْوقُ ْو َذةُ َوالْ ُمت ََر ِديَةُ َوالنَّطِ يْ َحةُ َو َمآْ اَكَ َل السَّبُ ُع ا َِّل َما َذكَّيْتُ ْۗ ْم َو َما ُذبِ َح عَلَى الن‬ ِ ‫ح ُِر َمتْ عَلَيْكُ ُم الْ َميْتَةُ َوال َّد ُم َولَحْ ُم الْخِ نْ ِزي ِْر َو َمآْ اُ ِه َّل ِلغَي ِْر ه‬
ْ ِ‫ضطُرَّ ف‬
‫ي‬ ْ ‫الس ََْل َم دِ يْن ًْۗا فَ َم ِن ا‬
ِ ْ ‫ضيْتُ لَكُ ُم‬ ِ ‫ي َو َر‬ ْ ِ‫اخش َْو ْۗ ِن اَلْيَ ْو َم اَ ْك َملْتُ لَكُ ْم دِ يْنَكُ ْم َواَتْ َم ْمتُ عَلَيْكُ ْم نِعْ َمت‬ ْ ‫س الَّذِ يْنَ كَف َُر ْوا مِ نْ دِ يْنِكُ ْم ف َََل ت َْخش َْوهُ ْم َو‬ َ ِٕ‫ال َْز َل ِْۗم ٰذ ِلكُ ْم فِس ْْۗق اَلْيَ ْو َم يَى‬
ْ ِ‫ب‬
٣ ‫ّٰللا غَفُ ْور رَّ حِ يْم‬ َ ‫ص ٍة غَي َْر ُمتَ َجانِفٍ ِ ِلثْ ٍَۙم فَاِنَّ ه‬ َ ‫َم ْخ َم‬
Artinya: 3. Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas
(nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat
kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam
(anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu,
sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu
untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Tetapi barangsiapa
terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS, Al-
Mā`idah/5 : 3)
21
Kalimat ayatnya:
١٩ ‫ب‬ ِ ‫ّٰللا سَ ِريْ ُع الْحِ سَا‬
َ ‫ّٰللا فَاِنَّ ه‬
ِ‫ت ه‬ ِ ٰ‫ب ا َِّل مِ ْۢنْ بَعْدِ َما َج ۤا َءهُ ُم الْعِلْ ُم بَغْي ًْۢا بَيْنَ ُه ْم َْۗو َمنْ يَّ ْكفُرْ بِ ٰاي‬ َ ‫ف الَّذِ يْنَ اُ ْوتُوا الْ ِك ٰت‬ َ َ‫اختَل‬ ْ ‫الس ََْل ُم ْۗ َو َما‬ ِ ْ ‫ّٰللا‬
ِ ‫الديْنَ ِعنْ َد ه‬ ِ َّ‫اِن‬
Artinya: 19. Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali
setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka
sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya. (QS. Ali ‘Imrān/3 : 19)
22
Ibn Taimiyyah, Al-Tafsīr Al-Kāmil, Juz 5, 214.
23
Matan ayatnya:
ُ ‫ص ْمهُ ْۗ َو َمنْ كَانَ َم ِريْضًا اَ ْو عَ ٰلى سَف ٍَر فَ ِعدَّة مِ نْ اَي ٍَّام اُخ ََر ْۗ ي ُِريْ ُد ه‬
‫ّٰللا‬ ُ َ‫ان فَ َمنْ شَ ِه َد مِ نْكُ ُم الشَّ ْه َر فَلْي‬ ِ ْۚ َ‫ت مِ نَ الْ ُه ٰدى َوالْفُرْ ق‬ ٍ ‫اس َوبَيِ ٰن‬ ِ َّ‫ذِي اُنْ ِز َل فِيْ ِه الْقُرْ ٰانُ هُدًى ِللن‬ ْْٓ َّ‫ضانَ ال‬َ ‫شَ ْه ُر َر َم‬
ُ ْ ُ َّ َ
١٨٥ َ‫ّٰللا عَلى َما هَدىك ْم َولعَلك ْم تَشك ُر ْون‬ ُ ٰ ٰ َ ‫بِكُ ُم الْيُس َْر َو َل ي ُِريْ ُد بِك ُم العُس َْر ۖ َو ِلتكمِ لوا ال ِع َّدةَ َو ِلتكَبِ ُروا ه‬
ُ ْ ُ ْ ُ ْ ُ
Artinya: 185. Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib
menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-
Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah/2 : 185)
24
Teks ayatnya:
َۙ ْ ‫يٰ ْٓاَيَّتُها النَّفْس الْم‬
٣٠ ࣖ‫ي‬ ْ ِ‫ي َجنَّت‬ ْ ‫ َوا ْد ُخ ِل‬٢٩ ‫دِي‬ ْ َۙ ٰ‫ي ِعب‬ ْ ِ‫ي ف‬ ْ ‫ فَا ْد ُخ ِل‬٢٨ ْۚ ً‫ضيَّة‬ ِ ْ‫اضيَةً مَّر‬ ِ ‫ي ا ِٰلى َربِكِ َر‬ ْْٓ ‫ ارْ ِج ِع‬٢٧ ُ‫ط َمىِٕنَّة‬ ُ ُ َ
Artinya: 27. Wahai jiwa yang tenang! 28. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya. 29. Maka
masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, 30. dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. Al-Fajr/78 : 27-30)
Ahzāb/33 : 72)25 dengan kepatuhan yang optimal dan ibadah yang maksimal26 sejalan dengan predikat
yang disandangnya sebagai khalīfah27 (Pengganti Allah swr di muka bumi dan pengganti makhluk
terdahulu yang bertugas mengelola bumi) dan predikat ‘abd (hamba yang berkewajiban untuk
menjalankan tugas kekhalifahannya semata-mata menghambakan diri ke hadirat-Nya) dalam rangka
memakmurkan kehidupan segenap makhluk.
Kendati demikian fiṭrah munazzalah tidak dapat dengan mudah dimengerti dan diaplikasikan
dengan baik dalam perilaku kehidupan setiap hamba tanpa disertai dengan potensi eksternal lainnya,
yakni fiṭrah mukammilah (penyempurna) berupa seorang rasul yang diutus Tuhan secara
berkesinambungan dengan tugas pokoknya ialah mengingatkan manusia akan pentingnya fiṭrah
majbūlah, mengokohkan dan membantunya untuk mengembangkan dan menyempurnakannya, serta
melindunginya dari segala hal yang akan merubahnya dengan menjelaskan pesan-pesan Allah swt yang
tertuang dalam kitab-kitab-Nya, terutama al-Qur’an dan mencontohkannya agar sesuai dengan
keinginan-Nya serta berdaya guna dan berhasil guna.28 Alhasil, rasul yang berperan sebagai fiṭrah
mukammilah mengemban missi mulianya sebagai pendidik atau mu’allim.29 Mu’awiyah bin Ḥakam al-
Sulamiy memuji personality Nabi saw sebagai mu’allim dengan pribadi yang santun dan lembut,
disebutkan dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam suatu dialog panjang.30
25
Susunan kalimat ayatnya:
ْۗ ‫س‬
٧٢ ‫انُ اِنَّهٗ كَانَ ظَلُ ْو ًما َج ُه ْو ً َۙل‬ َ ْ‫الن‬ ِ ْ ‫ض َوالْ ِجبَا ِل فَاَبَيْنَ اَنْ يَّحْ مِلْنَ َها َواَ ْشفَقْنَ مِ نْ َها َو َح َملَ َها‬ َ ْ ‫ت َو‬
ِ ْ‫الر‬ ِ ‫علَى السَّمٰ ٰو‬ َ َ‫ال َمانَة‬ َ ْ ‫ضنَا‬ ْ ‫ع َر‬َ ‫اِنَّا‬
Artinya: 72. Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan
untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh, (QS. Al-Aḥzāb/33 : 72)
26
Fayrūz Ābādi, Tanwīr Al-Miqyās, 427.
27
QS. Al-Baqarah/2 : 30:
ۤ
٣٠ َ‫ي اَ ْعلَ ُم َما َل تَعْلَ ُم ْون‬ ُ ‫الد َم ۤا ْۚ َء َونَحْنُ نُسَبِ ُح بِ َح ْمدِكَ َونُقَد‬
ْْٓ ِ‫ِس لَكَ ْۗ قَا َل اِن‬ ِ ُ‫ض َخ ِليْفَةً ْۗ قَالُ ْْٓوا اَتَجْ عَ ُل فِيْ َها َمنْ يُّفْ ِس ُد فِيْ َها َويَ ْسفِك‬
ِ ْ‫ي َجاعِل فِى ْالَر‬ ْ ِ‫َواِ ْذ قَا َل َربُّكَ لِلْ َم ٰلىِٕكَ ِة اِن‬
Artinya: 30. Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.”
Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami
bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
28
Ibn Taimiyyah, Al-Tafsīr al-Kāmil, Juz 5, 214.
29
Tugas Nabi saw sebagai pendidik atau mu’allim tercantum secara eksplisit pada hadis berikut ini:
ِ‫ِفإذاِهو‬،‫ِفدخلِالمسجد‬،‫ِخرجِ رسولِهللاِصلىِهللاِعليهِوسلمِذاتِيومِمنِبعضِحجره‬:‫ِقال‬،‫عنِعبدِهللاِبنِعمروِ رضيِهللاِعنهما‬
ِ‫ِهؤالءِيقرءون‬،‫ِكلِعلىِخير‬:‫ِفقالِالنبيِصلىِهللا ِعليهِوسلم‬،‫ِواألخرىِيتعلمونِويعلمون‬،‫بحلقتينِإحداهماِيقرءونِالقرآنِويدعونِهللا‬
‫ِفجلسِمعهم‬،‫ِوإنماِبعثتِمعلِما‬،‫ِوهؤالءِيتعلمون‬،‫ِوإنِشاءِمنعهم‬،‫ِفإنِشاءِأعطاهم‬،‫القرآنِويدعونِهللا‬
Artinya: Bishr bin Hilāl al-Ṣawāf bercerita kepada kami yang diterimanya dari Dāwud bin al-Zibriqān dari Bakri nim Khunais
yang mendapatkan berita dari ‘Abd al-Raḥmān bin ziyād yang dikisahkan oleh ‘Abd al-Raḥmān bin Yazīd bahwasanya
Abdullah bin ‘Amr bin 'Ash mengatakan; Rasulullah saw pada suatu hari keluar dari kamarnya menuju masjid, tiba-tiba
mendapati dua kelompok sahabat. Kelompok pertama sedang membaca al-Qur`an dan berdoa kepada Allah swt, dan kelompok
kedua sedang sibuk belajar dan mengajar, seraya Nabi saw bersabda, setiap mereka tengah melakukan kebaikan. Jika Allah swt
berkehendak akan memberi pahala kepeda mereka yang sedang membaca al-Qur`an dan berdoa ke hadirat-Nya, tapi jika Dia
tidak menghendakinya, niscaya menolaknya Sedangkan kepada mereka yang tengah belajar dan mengajar, kemudian Rasul saw
bersabda (ketahuilah) sesungguhnya aku diutus sebagai pengajar (pendidik), kemudian beliau duduk bersama mereka. (HR Ibnu
Majah). Abī ‘Abd Allah Muḥammad ibn Yazīd Ibn Mājah Al-Qazwainiy, Sunan Ibn Mājah (Beirut, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah,
t.t), Jilid 1, 83.
30
Matan hadisnya sebagaimana berikut ini:
ِ‫ع ْنِ ُم َعا ِويَةَِ ب ِْنِ ْال َحك َِم‬ َ ِ،‫ار‬ ٍ ‫طاءِ ِ ب ِْنِ يَ َس‬ َ ‫ع‬ َ ِ‫ع ْن‬ َ ِ،ٍ ‫ع ِلي‬ َ ِ‫ع ْنِ ه َِال ِلِِب ِْن‬ َ ِ،ٌ‫ِ َحدَّثَنَاِ فُلَ ْيح‬،‫ع ْم ٍرو‬ َ ِ ُ‫ع ْبدُِ ْال َملِكِ ِ بْن‬ َ ِ‫ِ َحدَّثَنَا‬،‫ي‬ ُّ ِ‫ُسِ النَّ َسائ‬ َ ‫َحدَّثَنَاِ ُم َح َّمدُِ بْنُ ِ يُون‬
ِ َ‫عطسْت‬ َ َ َ
َ ِ‫ِ"ِ إِذا‬:‫عل ِْمتُ ِ أنِ قالَِ لِي‬ ْ َ َ ِ‫ِ فَكَانَ ِ فِي َما‬،‫ِاإلسْال ِم‬ َ ْ
ِِ ‫ور‬ ُ
ِ ‫وراِمِنِأ ُم‬ ْ ُ
ً ‫عل ِْمتُ ِأ ُم‬ َّ
َ ِ:‫ِِو َسل َم‬ َ ‫عل ْيه‬ َ َ ُِ‫صلىِ هللا‬ َّ َ ِ‫َِّللا‬ ِ َّ ‫ىِرسُو ِل‬ َ ‫عل‬ َ َ ِ ُ‫ِ لَ َّماِ قَد ِْمت‬:َ‫ِ قَال‬،ِ ‫ال ُّسلَمِ ي‬
ِ‫س‬ َ ‫ط‬ َ ‫ع‬ َ ِْ‫ِ ِإذ‬،ِ‫ص َالة‬ َِّ ‫ِِو َسلَّ َمِ فِيِال‬ َ ‫علَ ْيه‬ َ ُِ‫صلَّىِ هللا‬ ِ َّ ‫ِرسُو ِل‬
َ ِ‫َِّللا‬ َ ‫ِ فَبَ ْينَ َماِ أَنَاِقَائِ ٌمِ َم َع‬:َ‫ِ قَال‬،"ُِ‫َِّللا‬ َّ َ‫ِ يَرْ َح ُمك‬:ْ‫ ِفَقُل‬،‫ََِّللا‬ َ َّ ‫اطِسِ فَ َحمِ د‬ ُ ‫ِال َع‬ ْ ‫س‬ َ ‫ط‬ َ ‫ع‬ َ ِ‫ِو ِإذَا‬، َ َّ ‫فَاحْ َمد‬
َ ‫َِِّللا‬
ْ
ِ‫يِبِأ ْعي ٍُنِ شُز ٍر؟‬ َ َ ُ ْ َ ُ َ ُ‫ت‬ ْ
َّ ‫ِ َماِلك ْمِتنظ ُرونَ ِإِل‬: ‫ِفقل‬، َ‫ار ِه ْمِ َحتىِاحْ ت َملنِيِذلِك‬ ُ َ َ َ َ َّ ِِ ‫ص‬ َ
َ ‫اسِبِأ ْب‬ َّ
ُ ‫ِف ََر َمانِيِالن‬،‫ص ْوتِي‬ َ ِ‫ِرافِعًاِبِ َها‬،ُ َّ
َ ‫ِيَرْ َح ُمكَ َِّللا‬: ‫ِفقل‬،‫ََِّللا‬ ُ‫ت‬ ْ ُ َ َ ‫ِفَ َحمِ د‬،ٌ‫َر ُجل‬
َّ
َّ
ِ،‫ِِو َسل َم‬ َ ‫علَ ْيه‬ َ ُِ‫صلىِ هللا‬ َّ َِِّ ‫ِيِرسُول‬
َ ِ‫َُِّللا‬ َ ‫عا ن‬ َ َ‫ِ فَد‬،‫ي‬ َ ْ
ُّ ِ‫ِ هَذَا ِ ْاألع َْراب‬:َ‫ِ« َم ِنِال ُمتَ َك ِل ُم؟»ِ قِيل‬:َ‫ِِو َسل َمِ قَال‬ َّ َ ‫علَ ْيه‬َ ُِ‫صلىِ هللا‬ َّ ِ َّ ‫ىِرسُول‬
َ ِ‫َُِّللا‬ َ ‫ض‬ َ َ‫ِ فَلَ َّماِ ق‬،‫ِ فَ َسبَّحُوا‬:َ‫قَال‬
ِ‫صلَّى‬ َ ِ ِ ِ َّ
‫َِّللا‬ ‫ل‬ ‫ُو‬
‫س‬ ‫ِر‬
َ ْ
‫ِمِن‬ َ‫َق‬ ‫ف‬ ْ‫ر‬ َ ‫أ‬ ِ ُّ
‫ط‬ َ ‫ق‬ ِ‫ا‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ع‬
ً َِ ُ‫م‬ ِ ُ‫ْت‬ ‫ي‬َ ‫أ‬‫اِر‬
َ َ ‫م‬ َ ‫ف‬ ِ،» َ‫ك‬ ُ ‫ن‬ْ ‫َأ‬
‫ش‬ ِ َ‫ِك‬ ‫ل‬ َ ‫ذ‬
ِ ِ ْ
‫ن‬ ُ ‫ك‬ ‫ي‬ ْ
‫َل‬
َ َ ‫ف‬ ِ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ِي‬ ‫ف‬ ِ َ‫ت‬‫ن‬ْ ُ ‫ك‬ ِ‫ا‬ َ ‫ذ‬ِ ‫إ‬ َ ‫ف‬ ِ، ‫ز‬َّ ‫ع‬ ‫ِو‬ ‫ل‬ ‫ج‬ ِ َّ
‫َِّللا‬ ‫ر‬ ْ
َ َ َ ِ ِ َ ِ ْ‫ص َال ِ َ َ ِ ر‬
َّ ‫ك‬ ‫ذ‬ِ ‫ِو‬، ‫آن‬ ُ ‫ق‬ ْ
‫ِال‬ ‫ة‬ ‫ء‬ ‫ا‬ ‫ِر‬ ‫ق‬ ‫ل‬ ُِ ‫ة‬ َّ ‫ِ« ِإنَّ َماِال‬:‫فَقَالَِلِي‬
‫ِِو َسلَّ َِم‬
َ ‫علَ ْيه‬
َ ُِ‫هللا‬
Artinya: Kami mendapat cerita dari Muhammad bin Yūnus al-Nasā`iy yang menerima beritanya dari ‘Abd al-Mālik bin ‘Amr
yang khabarnya berasal dari Fulayḥ yang mendapatkan informasinya dari Hilāl bin ‘Aliy yang memperoleh ceritanya dari ‘Aṭā`
bin Yasār dari Mu’āwiyah bin al-Ḥakam al-Sulamiy yang mengisahkan bahwa; Saya setiap bersama dengan Nabi saw
senantiasa mendapat pengetahuan tentang Islam. Nabi saw bersabda kepadaku; Apabila kamu bersin ucapkanlah al-ḥamdu
lillah, dan manakala sesorang bersin, kemudian mengucapkan al-ḥamdu lillah, jawablah dengan yarḥamuka Allah, Suatu saat
Peranan ini merupakan risalah utama yang dipikulkan pada pundaknya oleh Allah swt secara elegan
sebagaimana diabadikan dalam beberapa ayat-Nya, semisal QS. Al-Baqarah/2 : 12931 dan 151.32 QS.
Ali ‘Imrān/3 : 164 33 menjelaskan hal yang sama berkaitan dengan Nabi saw sebagai pendidik
(pengajar) yang menjadi kewjiban yang melekat dan ditunaikan secara berkesinambungan hingga akhir
hayat,
Kedua faktor tersebut (internal dan eksternal) yang berasal dari Tuhan menjadi penyebab manusia
mempunyai konsekwensi untuk memenuhi tuntutan ideal Tuhan, yakni berislam dengan baik sebagai
layakan sebutan Islam sebagai nama agama tauhid yang termaktub dalam al-Qur’an yang tidak
dicampuri dengan label-label lainnya. QS. Al-Mā`idah’5 : 334 mengukuhkan sebutan Islam secara
murni dan menjadi satu-satunya agama yang diridhai-Nya.

aku shalat berjama’ah dengannya, terdapat seorang pria bersin dan mengucapkan al-ḥamdu lillah, aku menjawabnya
yarḥamuka Allah dengan suara keras, para jema’ah memandangku yang menjadikan aku kesal, sepontan aku berujar “mengapa
kalian melihatku dengan emosional, seraya aku menasihati mereka supaya bertasbih.” Setelah selesai shalat, Nabi saw bertanya;
siapa yang berbicara tadi? Mereka menyebutkan; orang ini. Nabi saw mengundangku, lalu mengajariku: Sesungguhnya shalat
itu membaca al-Qur`an, berdzikir kepada Allah swt, maka jika aku melakukannya, itulah yang kalian kerjakan. Sejenak aku
berkata: Aku belum pernah melihat seorang pendidik yang lebih santun dari Rasulullah Saw” (HR. Abū Dāwud). Abū Dāwud,
Sulaimān bin Al-Ash’ath Al-Sabahtāniy, Sunan Abī Dāwud, (Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1996), Jilid 1, 287-288.
31
Redaksi ayatnya:
١٢٩ ࣖ ‫ب َوالْحِ ْك َمةَ َويُزَ ِكيْ ِه ْم ْۗ اِنَّكَ اَنْتَ الْ َع ِزيْزُ الْ َح ِكيْ ُم‬ َ ‫علَيْ ِه ْم ٰايٰ تِكَ َويُ َع ِل ُم ُه ُم الْ ِك ٰت‬
َ ‫ث فِيْ ِه ْم َرس ُْو ًل ِمنْ ُه ْم يَتْلُ ْوا‬ ْ ‫َربَّنَا َوابْ َع‬
Artinya: 129. Ya Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan
kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan Kitab dan Hikmah kepada mereka, dan menyucikan mereka. Sungguh,
Engkaulah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah/2 : 129)
32
Teks ayatnya;
١٥١ َ‫ب َوالْحِ ْك َمةَ َويُعَ ِل ُمكُ ْم َّما لَ ْم تَكُ ْون ُْوا تَعْلَ ُم ْو ْۗن‬ َ ‫كَ َمآْ اَرْ سَلْنَا فِيْكُ ْم َرس ُْو ًل ِمنْكُ ْم يَتْلُ ْوا عَلَيْكُ ْم ٰايٰ تِنَا َويُزَ ِكيْكُ ْم َويُعَ ِل ُمكُ ُم الْ ِك ٰت‬
Artinya: 151. Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul (Muhammad) dari (kalangan) kamu yang
membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Qur'an) dan Hikmah (Sunnah), serta
mengajarkan apa yang belum kamu ketahui. (QS. Al-Baqarah/2 : 151)
QS. Ali ‘Imrān/3 : 164 mengkhabarkan hal yang persis tentang eksistensi Nabi saw selaku pendidik (pengajar) dengan redaksi
sebagai berikut:
١٦٤ ‫ض ٰل ٍل ُّمبِي ٍْن‬ ْۚ
َ ‫ي‬ ْ ‫ب َوالْحِ ْك َمةَ َواِنْ كَان ُْوا مِ نْ قَبْ ُل لَ ِف‬ َ ‫ّٰللا عَلَى الْ ُمؤْ مِ نِيْنَ اِ ْذ بَعَثَ فِيْ ِه ْم َرس ُْو ًل ِمنْ اَنْفُ ِس ِه ْم يَتْلُ ْوا عَلَيْ ِه ْم ٰايٰ ت ِٖه َويُزَ ِكيْ ِه ْم َويُعَ ِل ُم ُه ُم الْ ِك ٰت‬ ُ ‫لَقَ ْد َمنَّ ه‬
Artinya: 164. Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul
(Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya,
menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur'an) dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya,
mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. Ali ‘Imrān/3 : 164)
Demikian pula QS. Jum’at/62 : 2 dengan teks yang sedikit berbeda, tetapi memberikan pesan yang sama bahwa Nabi saw
sebagai Pendidikan (pengajar) yang mengemban misi mengajar umatnya, terutama para sahabatnya.
٢ ‫ض ٰل ٍل ُّمبِي َۙ ٍْن‬
َ ‫ي‬ ْ ‫ب َوالْحِ ْك َمةَ َواِنْ كَان ُْوا مِ نْ قَبْ ُل لَ ِف‬ َ ‫ال ِم ٖينَ َرس ُْو ًل مِ نْ ُه ْم يَتْلُ ْوا عَلَيْ ِه ْم ٰايٰ ت ِٖه َويُزَ ِكيْ ِه ْم َويُعَ ِل ُم ُه ُم الْ ِك ٰت‬ ُ ْ ‫ذِي بَعَثَ فِى‬ ْ َّ‫ه َُو ال‬
Artinya: 2. Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang
membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah
(Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
33
Susunan kalimt ayatnya:
١٦٤ ‫ض ٰل ٍل ُّم ِبي ٍْن‬ ْۚ
َ ‫ي‬ ْ ‫ب َوالْحِ ْك َمةَ َواِنْ كَان ُْوا مِ نْ قَبْ ُل لَ ِف‬ َ ‫علَيْ ِه ْم ٰايٰ ت ِٖه َويُزَ ِكيْ ِه ْم َويُ َع ِل ُم ُه ُم الْ ِك ٰت‬ َ ‫علَى الْ ُمؤْ مِ نِيْنَ اِ ْذ َب َعثَ فِيْ ِه ْم َرس ُْو ًل ِمنْ اَنْفُ ِس ِه ْم َيتْلُ ْوا‬ َ ‫ّٰللا‬ ُ ‫لَقَ ْد َمنَّ ه‬
Artinya: 164. Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul
(Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya,
menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur'an) dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya,
mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. Ali ‘Imrān/3 : 164)
34
Ibrah ayatnya:
ْ
‫ب َواَنْ تَ ْستَق ِس ُم ْوا‬ ِ ‫ص‬ ُ ُّ‫ّٰللا بِ ٖه َوالْ ُمنْ َخنِقَةُ َوالْ َم ْوقُ ْو َذةُ َوالْ ُمت ََر ِديَةُ َوالنَّطِ يْ َحةُ َو َمآْ اَكَ َل السَّبُ ُع ا َِّل َما َذكَّيْتُ ْۗ ْم َو َما ُذبِ َح عَلَى الن‬ ِ ‫ح ُِر َمتْ عَلَيْكُ ُم الْ َميْتَةُ َوال َّد ُم َولَحْ ُم الْخِ نْ ِزي ِْر َو َمآْ اُ ِه َّل ِلغَي ِْر ه‬
‫ي‬
ْ ِ‫ضطرَّ ف‬ ُ َ ْۗ َ
ْ ‫السَْل َم دِ يْنًا ف َم ِن ا‬ ْ ُ َ
ِ ‫ضيْتُ لك ُم‬ ِ ‫ي َو َر‬ ْ ِ‫س الَّذِ يْنَ كَف َُر ْوا مِ نْ دِ يْنِكُ ْم ف َََل تَخش َْوه ْم َواخش َْو ِن اليَ ْو َم اك َملتُ لك ْم دِ يْنَك ْم َوات َم ْمتُ عَليْك ْم نِعْ َمت‬
ُ َ ْ َ ُ ُ َ ْ ْ َ ْ َ ْۗ ْ ُ ْ َ ِٕ‫ال َْز َل ِْۗم ٰذ ِلكُ ْم فِس ْْۗق اَلْيَ ْو َم يَى‬ ْ ِ‫ب‬
٣ ‫ّٰللا غَفُ ْور رَّ حِ يْم‬ َ‫ه‬ َّ‫ِن‬‫ا‬َ ‫ف‬ ‫م‬
ٍَۙ ْ ‫ث‬ ‫ل‬
ِ ِ ٍ‫ِف‬ ‫ن‬ ‫ا‬‫ج‬ َ ‫ت‬
َ ُ َ ‫م‬ ‫ْر‬ ‫ي‬ ‫غ‬
َ ‫ة‬
ٍ ‫ص‬
َ َ ‫َم‬
‫م‬ ْ
‫خ‬
Artinya: 3. Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas
(nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat
kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam
(anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu,
sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu
untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Tetapi barangsiapa
terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Al-
Mā`idah/5 : 3)
Label apapun yang diberikan oleh para pakar muslim, baik secara individual atau institusional
(kolegial) lebih merupakan bentuk pemikiran berkenaan dengan pesan Islam yang dimuat dalam
sumber rujukan Islam (Qur`an dan hadis), pada dasarnya pelabelan itu semata-semata sebagai hasil
model pemahaman keislaman berdasarkan versinya, semacam Islam Kāffah, Islam Raḥmatan li al-
‘Ālamīn, Islam Nusantara, Islam Berkemajuan, Islam Liberal, Islam Terpadu, Islam Jama’ah, terlebih
Islam yang dilabeli dengan nama organisasi, semacam Islam Persis, Islam HMI, dan lain sebagainya.
Labelisasi tersebut bisa jadi merupakan gambaran pemikiran dan pemahaman yang khas umat
Islam Indonesia, terutama para cendekianya yang memiliki identitas tersendiri sekaligus
mengindikasikan kreatifitas dan kecerdasan yang spesial dibandingkan dengan pemikiran yang
berkembang di berbagai negara, terutama di negara-negara Islam di timur tengah, meskipun di Mesir
terdapat sebutan al-Islām al-Yasar (Islam Kiri) yang dicetuskan oleh Prof. Dr. Hasan Hanafi seorang
guru besar filsafat sejak 1980 di Universitas Kairo Mesir, dan dijadikannya sebagai tajuk karya
bukunya.
Kemampuan mencetuskan identitas keislaman yang dilabelkan kepada agama Islam yang
dianutnya tersebut merupakan hasil dari proses pendidikan yang ditempuhnya, yang dapat
memperkaya hazanah pemikiran dalam memahami Islam di Indonesia, sekaligus menambah
kebinekaan yang tetap dibingkai dalam tali persaudaraan (ṣilat al-raḥim) yang dapat memberi
kontribusi wawasan Bineka Tunggal Ika yang menjadi salah satu pillar kebangsaan dan kenegaraan
Indonesia. Dengan kata lain perkembangan keragaman pemikiran keislaman memberikan kontribusi
positif bagi kekayaan budaya bangsa.
3. Pendidikan Sebagai Fiṭrah Mukammilah
Adapun faktor penyebab kesuksesan atau kegagalan pendidikan yang dilakukan berbagai lembaga
pendidikan, tidak ketinggalan para pendidiknya, siapapun orangnya bagaikan seorang dokter, yang
berperanan hanya sebatas mendiagnosa penyakit, melakukan tindakan, dan memberikan obat penawar
yang dinilainya tepat bagi pasien-pasien yang ditanganinya, namun dokter tidak dapat menyembuhkan
penyakit yang tengah diderita pasiennya, sementara yang menyembuhkan adalah Allah swt Yang
Maha Penyembuh. Ungkapan nabi Ibrahim as menjadi agumen yang memadai berkaitan dengan
Penyembuh yang sesungguhnya (hakiki) adalah hanya Allah swt sebagaimana tercatat dalam QS. Al-
Syu’arā`/26 : 80,35 demikian pula do’a Nabi saw ketika menengok keluarganya yang sedang sakit,
sembari mengusapkan telapak tngannya yang sebelah kanan, beliau melafalkan do’a baginya. 36 unsur
lain yang terlibat dalam penyembuhan seseorang yang sakit, seperti dokter, urgensinya hanya sebagai
wasīlah (mediator atau perantara).
Perumpaan tersebut menguarkan bahwa ranah pendidik hanya membantu setiap anak didiknya
dengan melakukan bimbingan, pengajaran, peneladanan, dan pendampingan secara maksimal.
Pematangan diri, baik dari aspek ketrampilan, intelektual maupun spiritual yang meliputi ilmu dan
amal, serta keteladanan yang berbasis aqidah dan akhlaak mulia menjadi poin strategis (strategic point)
agar tidak terjebak dalam blender kelalaian yang tanggungan resikonya menjadi komplek. Upaya
edukatif yang optimal merupakan wilayah kewajiban pendidik atau lembaga pendidikan yang
merupakan manifestasi dari fiṭrah mukammilah (faktor eksternal) dalam menuntun anak didik
menumbuhkan dan mengembangkan fiṭrah majbūlah melalui pengajaran, penjelasana, dan
peneladanan fiṭrah munazzalah yang didesain dalam interaksi edukatif dan proses pedagogis etis,
sementara kesalehan yang selayaknya diraih oleh anak didik erat kaitannya dengan hidayah yang
35
Teks ayatnya:
٨٠ َۙ ‫َواِ َذا َم ِرضْتُ فَ ُه َو يَ ْش ِفي ِْن‬
Artinya: 80. dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku, (QS. Al-Syu’arā`/26 : 80)
36
Matan hadisnya:
َ ‫ِإالِأَ ْنتَ ِشِ فَا ًء‬
‫ِالِيُغَاد ُِرِ َس ْق ًما‬ َّ ‫ِي‬
َ ‫ِيِالِ شَاف‬ َ ْ‫ِالبَأ‬
َ ‫سِا ْشفِ ِأَ ْنتَ ِال َّشاف‬ ْ ‫ب‬ ِ ‫اسِأَذْ ِه‬ َ ‫اللَّ ُه َّم‬
ِ َّ‫ِربَّ ِالن‬
Artinya, Ya Allah Tuhanku, Tuhan manusia, hilangkanlah penyakit. berikanlah kesembuhan karena Engkau Maha Penyembuh.
Tidak ada siapa-pun yang dapat menyembuhkan penyakit kecuali Engkau dengan kesembuhan yang tidak menyisakan
sedikitpun rasa sakit, Abī Zakariyyā Yaḥyā bin Sharaf al-Nawawiy al-Dimashqiy, Al-Adzkār, (Baerut, Al-Risālah Dār al-
Mu`ayyad, 2004), 233.
menjadi hak prerogatif Allah swt yang akan diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. 37
Artinya kesalehan atau kesuksesan usaha pendidikan mengantarkan anak didiknya menjadi baik tidak
terfokus pada keterlibatan institusi pendidikan berikut para pendidik, fungsi menejemen, dan
fasilitasnya semata, meski yang tercanggih dan modern, melainkan berhubungan erat dan mutlak
dengan hidayah Allah swt.
Salah satu Indikator kesuksesan pendidikan adalah kemampuan memadukan antara jerih payah
mediator (lembaga pendidikan dan para pendidiknya) dengan faktor hidayah yang menjadi hak mutlak
Allah swt. Sejatinya pemaduan itu terletak pada penguatan ikhtiar mengkombinasikan secara integral
antara aktualisasi ketrampilan dan intelektual para pendidik dengan aktualisasi spiritualnya yang
menjadi kebutuhan yang mendesak untuk dikembangkan secara berkesinambungan.
Kolaborasi ketrampilan, intelektual, dan sepiritual semakin penting sekali ketika tujuan pendidikan
Islam dikonfigurasikan ke dalam terminologi yang lazim dalam literatur Islam, yakni kesalehan
kepribadian (manusia saleh). Kesalehan ini diberi bobot makna yang mengglobal, hingga mencakup
kesalehan diri, kesalehan keluarga, kesalehan masyarakat, kesalehan bangsa, dan kesalehan dunia,
yang diawali dari kesalehan diri yang menjadi produk garapan pendidikan Islam. Kesuksesan produk
tersebut, secara aplikatif sulit terwujud kecuali pendidikan Islam menampilkan dirinya sebagaimana
layaknya pendidikan yang saleh. Interaksi edukatif dan proses pedagogisnya berlangsung dengan basis
kesalehan akademis dan kesalehan menejemen. Apabila peranannya terebut diidentikkan sebagai
media pembersihan kepribadian dari berbagai polusi keyakinan dan prilaku kedurhakaan, kebersihan
dirinya menjadi faktor utama dan pertama.
Perumpaannya bagaikan alat pembersih lantai, konsekwensi logisnya ialah alat tersebut berupa
pembersih yang terjamin kebersihannya agar lantai yang dibersihkan tanpak benar-benar bersih
hasilnya, berbeda dengan sebaliknya, jika alat pembersih itu ternodai oleh kotoran, tidak diragukan
lagi hasilnya tidak akan bersih. Apabila perumpamaan ini dapat diterima, maka institusi pendidikan
Islam berpenampilan dengan profil yang bersih.
Perumpaan ini terkesan logis, karena dalam lingkup hukum kausalitas atau sebab akibat, kendati
dalam konteks kehidupan manusia tidak dipastikan seratus persen tepat.38 Kisah nabi Nuh as,
misalnya, yang tidak sukses mengajak putranya sendiri bernama Kan’an menjadi sosok putra yang
saleh dan patuh terhadap seruannya39 menjadi bukti historis bahwa tidak semua anak seorang nabi
dijamin menjadi nabi lagi, atau lingkungan tidak mutlak berpengaruh kepada pertumbuhan kepribadian
anak. Perjalanan hidup nabi Musa as yang sejak bayi dibesarkan dan dididik di lingkungan kerajaan

37
Nabi saw sebagai pendidikan yang mumpuni dengan fasilitas wahyu dan mu’jizat, ditambah keberadaannya yang
maksum dan memiliki sifat wajib yang ideal (sidik, amanah, yabligh dan fathanah) tidak dapat mengislamkan dan
mentauhidkan pamannya yang bernama Abu Thalib (Imran bin Abdul Muthalib) seperti yang dipaparkan QS. Al-Qashash/28 :
56. Redaksi ayatnya sebagai berikut:
٥٦ َ‫دِي َمنْ يَّش َۤا ُء َْۚوه َُو اَ ْعلَ ُم بِالْ ُم ْهتَدِ يْن‬ َ ‫دِي َمنْ اَحْ بَبْتَ َو ٰل ِكنَّ ه‬
ْ ‫ّٰللا يَ ْه‬ ْ ‫اِنَّكَ َل تَ ْه‬
Artinya: 56. Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah
memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.
38
Manusia adalah makhluk istimewa yang diciptakan oleh Allah swt dengan pola kehidupannya yang tidak monoton
tetapi sarat dinamika, berbeda jauh dengan makhluk binatang yang monoton, khususnya aspek karakter keturunannya. Harimau
akan melahirkan harimau lagi, sebagaimana induknya, walaupun dapat dilatih dengan latihan tanpa variasi yang
beranekaragam. Manusia berlainan dengan tanam-tanaman, buah-buah umpanaya akan melahirkan buah-buahan lagi, buah
ketimun akan melahirkan ketimun dengan watak yang sama dengan asalnya, dan buah pepaya akan mengeluarkan pepaya
dengan tabeat yang persis.
39
QS. Hūd/11 : 42-43
‫اص َم‬
ِ َ ‫ع‬ َ
‫ل‬ ‫ل‬
َ ‫ا‬َ ‫ق‬ ْۗ ِ‫ي مِنَ الْ َم ۤاء‬ ِ ‫ي ا ِٰلى َجبَ ٍل يَّع‬
ْ ِ‫ْص ُمن‬ ْْٓ ‫س ٰا ِو‬
َ ‫ قَا َل‬٤٢ َ‫ي ارْ كَبْ َّم َعنَا َو َل تَكُنْ َّم َع الْ ٰكف ِِريْن‬
َّ َ‫ي َمع ِْز ٍل يهبُن‬ْ ِ‫ح ِابْنَهٗ َوكَانَ ف‬ ُ ‫ج كَالْ ِجبَا ْۗ ِل َون َٰادى ن ُْو‬ٍ ‫ي َم ْو‬ْ ِ‫ي ِب ِه ْم ف‬ْ ‫ِي تَجْ ِر‬
َ ‫َوه‬
٤٣ َ‫ج فَكَانَ مِنَ الْ ُمغْ َرقِيْن‬ ُ ‫ّٰللا ا َِّل َمنْ رَّ حِ َم َْۚو َحا َل بَيْنَ ُه َما الْ َم ْو‬
ِ ‫الْيَ ْو َم مِ نْ اَ ْم ِر ه‬
Artinya: 42. Dan kapal itu berlayar membawa mereka ke dalam gelombang laksana gunung-gunung. Dan Nuh memanggil
anaknya, ketika dia (anak itu) berada di tempat yang jauh terpencil, “Wahai anakku! Naiklah (ke kapal) bersama kami dan
janganlah engkau bersama orang-orang kafir.”43. Dia (anaknya) menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang
dapat menghindarkan aku dari air bah!” (Nuh) berkata, “Tidak ada yang melindungi dari siksaan Allah pada hari ini selain
Allah yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka dia (anak itu) termasuk orang yang
ditenggelamkan. (QS. Hūd/11 : 42-43)
Fira;un yang mengaku tuham tertinggi (QS. Al-Shu;arā`/26 : 16-21)40 menjadi fakta sejarah yang
mengindikasikan bahwa teori empirisme tidak berpengaruh mutlak kepada kepribadian peserta didik,
demikian pula cerita nabi Ibrahim as yang diasuh oleh keluarga Azar penyembah berhala (QS. Al-
An’ām/6 : 74)41 mengukuhkan bahwa ketidakmutlakan setimulus eksternal bagi perkembangan
individu. Namun secara umum lingkungan mempunyai daya setimulus bagi pembentukan kepribadian
seseorng sebagaimana perumpamaan di atas. Artinya rangsangan dan pengaruh lingkungan yang
terkuat itulah yang membekas kepada pribadi peserta didik.
Perumpamaan ini dalam batas-batas tertentu, bahkan pada umumnya, tergolong ke dalam
sunnatullah.42 Banyak informasi yang mengisahkan seorang nabi melahirkan anaknya yang kemudian
dipilih oleh Allah swt selaku nabi. Nabi Ibrahim as melahirkan nabi Isma’il (QS. Al-Ṣaffāt/ : 101)43
dan nabi Ishak as (QS. Hūd/11 : 71)44 yang di kemudian hari darinya terlahir nabi Ya;qub as (QS.
Hūd/11 : 71),45 nabi Dawud as melahirkan nabi Sulaeman as yang mewarisi kenabian dan kerajannya
(QS. Al-Naml/27 : 16),46 dan dari nabi Zakaria as terwujud nabi Yahya as (QS. Maryam/19 : 747 dan QS.
Ali ‘Imrān/3 : 3948). Hal ini menandakan kesalehan diri mendatangkan profil generasi yang saleh dan
bersih diri sebagai manifestasi dari terselamatkan dan teraktualkan fiṭrah majbūlah akibat dari fiṭrah

40
Ibarat ayatnya:
َ‫ي فَ َعلْت‬
ْ ‫ت‬
ِ َّ ‫ال‬ َ‫َك‬ ‫ت‬ َ ‫ل‬‫ َوفَ َعلْتَ فَ ْع‬١٨ ْۗ َ‫ قَا َل اَلَ ْم ن َُر ِبكَ فِيْنَا َو ِليْدًا َّولَ ِبثْتَ فِيْنَا مِ نْ عُ ُم ِركَ ِسنِيْن‬١٧ ْۗ ‫ي اِس َْر ۤاءِ يْ َل‬ ْْٓ ِ‫ اَنْ اَرْ ِسلْ َم َعنَا َبن‬١٦ َۙ َ‫ب الْعٰ لَمِ يْن‬ ِ ‫ل اِنَّا َرس ُْو ُل َر‬ ْٓ َ ‫ع ْونَ فَقُ ْو‬ َ ْ‫فَأْتِ َيا فِر‬
٢١ َ‫س ِليْن‬
َ ْ‫ُر‬‫م‬ ْ ‫ال‬ َ‫مِن‬ ‫ي‬ ‫ن‬
ِ َ ‫ل‬‫ع‬
ْ َ َ َّ ً ‫ج‬‫و‬ ‫ا‬ ‫م‬ ْ
‫ك‬ ‫ح‬
ُ ‫ي‬ ‫ب‬ ‫ر‬ ‫ي‬
ْ َِ ْ َ َ ْ ‫ل‬
ِ ‫َب‬ ‫ه‬ ‫َو‬ ‫ف‬ ‫م‬ ُ ‫ك‬ُ ‫ت‬ ْ ‫ف‬ ِ‫خ‬ ‫ا‬‫م‬َّ َ ‫ل‬ ‫م‬
ْ ُ ‫ك‬ ْ ‫ن‬ ِ‫م‬ ُ‫ت‬ ْ‫ر‬ ‫َر‬
َ ‫ف‬ َ ‫ف‬ ٢٠ َ‫ْن‬ ‫ي‬ ‫ل‬
ِ ۤ
‫َّا‬
‫ض‬ ‫ال‬ َ‫مِن‬ ۠
‫َا‬ ‫ن‬َ ‫ا‬‫و‬َّ ‫ا‬ً
‫ذ‬ ‫ا‬
ِ ْٓ ‫ا‬‫ه‬ ُ
َ َ‫ت‬ ْ ‫ل‬ ‫ع‬ َ ‫ف‬ ‫ل‬
َ ‫ا‬ َ ‫ق‬ ١٩ َ‫ْن‬ ‫ي‬ ‫ِر‬
ِ ‫ف‬ ٰ
‫ك‬ ْ ‫ال‬ َ‫َواَنْتَ مِن‬
Artinya: 16. maka datanglah kamu berdua kepada Fir‘aun dan katakan, “Sesungguhnya kami adalah rasul-rasul Tuhan seluruh
alam, 17. lepaskanlah Bani Israil (pergi) bersama kami.” 18. Dia (Fir‘aun) menjawab, “Bukankah kami telah mengasuhmu
dalam lingkungan (keluarga) kami, waktu engkau masih kanak-kanak dan engkau tinggal bersama kami beberapa tahun dari
umurmu. 19. Dan engkau (Musa) telah melakukan (kesalahan dari) perbuatan yang telah engkau lakukan dan engkau termasuk
orang yang tidak tahu berterima kasih.” 20. Dia (Musa) berkata, “Aku telah melakukannya, dan ketika itu aku termasuk orang
yang khilaf. 21. Lalu aku lari darimu karena aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku menganugerahkan ilmu kepadaku serta
Dia menjadikan aku salah seorang di antara rasul-rasul. (QS. Al-Shu;arā`/26 : 16-21)
41
Susunan kalimat ayatnya:
٧٤ ‫ض ٰل ٍل ُّمبِي ٍْن‬ َ ‫ي‬ ْ ِ‫ي اَ ٰرىكَ َوقَ ْو َمكَ ف‬ ْْٓ ِ‫صنَا ًما ٰا ِل َهةً ْۚاِن‬ ْ َ‫لبِيْ ِه ٰازَ َر اَتَتَّخِ ُذ ا‬ َ ِ ‫َواِ ْذ قَا َل اِب ْٰر ِهيْ ُم‬
Artinya: 74. Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya Azar, ”Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala itu
sebagai tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-An’ām/6 : 74)
42
Artinya teori, ketentuan, dan hokum berjalan pada tataran” pada umumnya” yang berlaku di dalamnya pengecualian.
Jargon yang terkenal dan realistis dalam kajian hukum serta memiliki relevansi dengan pernyataan tersebut adalah Li Kulli
Ḥukmin Mustathnayāt (Setiap hmkum atau ketentuan terdapat pengecualian)
43
Teks ayatnya:
١٠١ ‫فَبَشَّرْ ٰنهُ ِبغ ُٰل ٍم َح ِلي ٍْم‬
Artinya: 101. Maka Kami beri kabar gembira kepadanya (Ibrahim) dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar
(Ismail). (QS. Al-Ṣaffāt/ : 101)
44
Redaksi ayatnya:
٧١ ‫ب‬ َ ‫ضحِ كَتْ فَبَشَّرْ ٰن َها بِ ِاسْحٰ َۙقَ َومِ نْ َّو َر ۤاءِ اِسْحٰ قَ يَعْقُ ْو‬ َ َ‫ام َراَتُهٗ قَ ۤاىِٕ َمة ف‬ ْ ‫َو‬
Artinya: 71. Dan istrinya berdiri lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran)
Ishak dan setelah Ishak (akan lahir) Yakub. (QS. Hūd/11 : 71)
45
Ibarat ayatnya:
٧١ ‫ب‬ َ ‫ضحِ كَتْ فَبَشَّرْ ٰن َها ِب ِاسْحٰ َۙقَ َومِ نْ َّو َر ۤاءِ اِسْحٰ قَ يَعْقُ ْو‬ َ َ‫ام َراَتُهٗ قَ ۤاىِٕ َمة ف‬ ْ ‫َو‬
Artinya: 71. Dan istrinya berdiri lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran)
Ishak dan setelah Ishak (akan lahir) Yakub. (QS. Hūd/11 : 71)
46
Nas ayatnya:
١٦ ُ‫ض ُل الْ ُمبِيْن‬ ْ َ‫ي ٍْۗء اِنَّ ٰه َذا لَ ُه َو الْف‬ ْ َ‫اس عُل ِْمنَا َمنْطِقَ الطَّي ِْر َواُ ْوتِيْنَا مِ نْ كُ ِل ش‬ ُ َّ‫َو َو ِرثَ سُلَيْمٰ نُ د َٗاو َد َوقَا َل يٰ ْٓاَيُّ َها الن‬
Artinya: 16. Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud, dan dia (Sulaiman) berkata, “Wahai manusia! Kami telah diajari bahasa
burung dan kami diberi segala sesuatu. Sungguh, (semua) ini benar-benar karunia yang nyata.” (QS. Al-Naml/27 : 16)
47
Matan ayatnya:
٧ ‫سمِ يًّا‬َ ‫يٰ زَ ك َِريَّآْ اِنَّا نُبَش ُِركَ ِبغ ُٰل ِم ِا ْس ُمهٗ يَحْ يٰ َۙى لَ ْم نَجْ َعلْ لَّهٗ مِ نْ قَبْ ُل‬
Artinya: 7. (Allah berfirman), “Wahai Zakaria! Kami memberi kabar gembira kepadamu dengan seorang anak laki-laki
namanya Yahya, yang Kami belum pernah memberikan nama seperti itu sebelumnya.” (QS. Maryam/19 : 7)
48
Susunan kalimat ayatnya:
ۤ
٣٩ َ‫صلِحِ يْن‬ ‫ص ْو ًرا َّونَبِيًّا مِ نَ ال ه‬ ُ ‫ّٰللا َوسَيِدًا َّو َح‬ِ ‫ص ِدقً ْۢا بِكَ ِل َم ٍة مِ نَ ه‬ َ ‫ّٰللا يُبَش ُِركَ بِيَحْ يٰ ى ُم‬ َ ‫ب اَنَّ ه‬ ِ َۙ ‫ي فِى الْمِحْ َرا‬ ْ ‫ص ِل‬ َ ُّ‫فَنَا َدتْهُ الْ َم ٰلىِٕكَةُ َوه َُو قَ ۤاىِٕم ي‬
Artinya: 39. Kemudian para malaikat memanggilnya, ketika dia berdiri melaksanakan salat di mihrab, “Allah menyampaikan
kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran) Yahya, yang membenarkan sebuah kalimat (firman) dari Allah, panutan,
berkemampuan menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi di antara orang-orang saleh.” (Ali ‘Imrān/3 : 39)
mukammilah berperan secara maksimal oleh mereka dalam membantu upaya perlindungan, penguatan,
pengembangan, penuntunan, dan penyempurnannya.
Kesalehan diri yang bersifat individual tidak berarti berdiri sendiri, berada di satu seberang tertentu
terpisah dari kesolehan kolegial yang terletak di seberang lainnya, melainkan kesalehan diri yang
matang dan sempurna49 menyuburkan prilaku kesalehan kolegial yang mengglobal, tidak terbatas pada
mewarnai kesalehan dalam rumah tangga, lebih dari itu, sampai ditampilkan di lingkungan masyarakat
yang melingkupinya, dan direalisasikan dalam berbangsa, bernegara, dan pergaulan global sebagai
manifestasi rahmat bagi alam semesta,50 profil kesalehan seperti ini menjadi sasaran yang hendak
dicapai pendidikan Islam, yaitu kesalehan ketrampilan, intelektual, dan spiritual.
Tujuan pendidikan yang secara eksplisit tertuang pada Umdang-undang Sistem Pendidikan
Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 tahun 200351 pada dasarnya tercakup dalam tiga kesalehan tersebut
dengan makna yang luas. Kesalehan digunakan sebagai term yang dilekatkan kepada output peserta
didik dari suatu institusi pendidikan Islam, baik yang informal, formal, maupun non formal disebabkan
oleh profil manusia yang dikehendaki Allah swt dalam al-Qur`an tidak luput dari karakter kesalehan
tersebut. Muttaqīn atau muttaqūn52 (orang yang bertakwa) misalnya berasal dari kosakata waqā
bersamaan dengan mushtaq-nya yang terulang 49 kali53 tidak terlepas dari perilaku kesalehan, begitu
juga mu`min54 (orang yang beriman) bermula dari kata āmana berikut derivasinya yang tertulis lebih
dari 800 kali,55 berhajat kepada kesalehan amal muslim56 (orang Islam) berasal dari lafaẓ aslama
dengan segala kata bentukannya yang termaktub tidak kurang dari 48 kali, 57 dan Muḥsin58 (orang yang

49
Maknanya tidak berarti sepadan dengan Insān Kāmil yang disandang oleh Nabi saw yang berbeda jauh dengan
kesempurnaan diri umatnya selaku peserta didik. Nabi saw mendapatkan wahyu dari Allah swt (QS. Fuṣṣilat/42 : 6), dipandu
setiap saat oleh-Nya (QS. Al-Najm/53 : 4, manakala melakukan kekeliruan sebagaimana layaknya manusia sepontan diluruskan
oleh-Nya (QS. Al-Kahfi/18 : 24), dilindungi-Nya sebagai figur yang ma’ṣūm (QS. Al-Ma`idah/5 : 67) dan didudukkan sebagai
sosok teladan terbaik, paripurna, dan tanpa cacat QS. Al-Aḥzāb’35 : 21)..
50
QS. Al-Anbiyā`/21 : 107
١٠٧ َ‫َو َمآْ اَرْ سَلْ ٰنكَ ا َِّل َرحْ َمةً لِلْعٰ لَمِ يْن‬
Artinya: 107. Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam. (QS. Al-
Anbiyā`/21 : 107)
51
Mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, nerakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Pasal 3 Umdang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 tahun 2003.
52
Seperti QS. Al-Baqarah/2 : 194
١٩٤ َ‫ّٰللا َم َع الْ ُمتَّ ِقيْن‬ َ ‫ّٰللا َوا ْعلَ ُم ْْٓوا اَنَّ ه‬ َ ‫علَيْ ِه ِبمِ ثْ ِل َما ا ْعت َٰدى‬
َ ‫علَيْكُ ْم ۖ َواتَّقُوا ه‬ َ ‫علَيْكُ ْم فَا ْعتَد ُْوا‬
َ ‫اص فَ َم ِن ا ْعت َٰدى‬ ْۗ ‫ص‬ َ ِ‫اَلشَّ ْه ُر الْ َح َرا ُم ِبالشَّ ْه ِر الْ َح َر ِام َوالْح ُُرمٰ تُ ق‬
Artinya: 194. Bulan haram dengan bulan haram, dan (terhadap) sesuatu yang dihormati berlaku (hukum) qisas. Oleh sebab itu
barangsiapa menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadap kamu. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
53
Jumlah tersebut tidak disertai dengan derivasinya, baik berupa kata kerja past tense (fi’il al-māḍiy), presen tense dan
future tense (fi’il al-muḍāri’) maupun kata benda jadian seperti maṣdar terulang tidak kurang dari 200 kali. Muhammad Fu`ad
Abdul Bāqi’, Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfāẓ Al-Qur`an Al-Karīm, (Indonesia, Maktabah Dahlan, t.t), 925-928.
54
Contoh tertulis pada QS. Al-Mu`minūn/ : 1
١ َۙ َ‫قَ ْد اَفْلَ َح الْ ُمؤْ مِ ن ُْون‬
Artinya:1. Sungguh beruntung orang-orang yang beriman,
55
Abdul Bāqi’, Al-Mu’jam Al-Mufahras, 103-118.
56
Semisal tertuang secara eksplisit pada QS. Ali ‘Imrān/3 : 102
١٠٢ َ‫ّٰللا َحقَّ تُ ٰقىت ِٖه َو َل تَ ُم ْوتُنَّ ا َِّل َواَنْتُ ْم ُّم ْس ِل ُم ْون‬
َ ‫يٰ ْٓاَيُّ َها الَّذِ يْنَ ٰا َمنُوا اتَّقُوا ه‬
Artinya: 102. Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah
kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.
57
Abdul Bāqi’, Al-Mu’jam Al-Mufahras, 451-454.
58
QS. Al-Mā`idah/5 : 13
ُ ‫اضع ٖ َِۙه َونَس ُْوا َحظًّا مِ َّما ُذك ُِر ْوا بِ ٖ ْۚه َو َل تَزَ ا ُل تَطَّ ِل ُع عَ ٰلى خ َۤاىِٕنَ ٍة مِ نْ ُه ْم ا َِّل قَ ِلي ًَْل ِمنْ ُه ْم ۖ فَاع‬
‫ْف عَنْ ُه ْم‬ ِ ‫ض ِه ْم ِميْثَاقَ ُه ْم لَ َعنه ُه ْم َو َج َعلْنَا قُلُ ْوبَ ُه ْم ٰق ِسيَةً ْۚ يُ َح ِرفُ ْونَ الْكَل َِم عَنْ َّم َو‬
ِ ْ‫فَبِ َما نَق‬
١٣ َ‫ّٰللا يُحِ بُّ الْ ُمحْ ِسنِيْن‬ ‫صفَحْ ْۗاِنَّ َه‬ْ ‫َوا‬
Artinya: 13. (Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka Kami melaknat mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras
membatu. Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah
diperingatkan kepada mereka. Engkau (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sekelompok
kecil di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka. Sungguh, Allah menyukai orang-
orang yang berbuat baik.
berbuat baik) yang bersumber dari aḥsana dengan berbagai derivasinya yang tercantum sebanyak 72
kali59 senantiasa menampilkan laku lampah kesalehan.
QS. Al-Nisā`/4 : 6960 memposisikan orang-orang saleh (al-ṣālihīn) menjadi profil manusia pilihan
sebagai orang yang dianugerahi nikmat khusus dari Allah swt yang disandang oleh mereka yang telah
sukses mengembangkan diri sebagai orang-orang yang patuh kepada-Nya dan kepada rasul-Nya
dengan mencintainya secara total. Ibnu ‘Abbās ra ketika menafsirkan QS. Al-Fātiḥah/1 : 7 terutama
mereka yang mendapatkan nikmat dari-Mu memasukkan orang-orang saleh (ṣāliḥīn) ke dalam
mereka,61 yang secara konteks redaksional berkaitan erat dengan ayat sebelumnya (QS. Al-Fātiḥah/1 :
6) yang berisikan permohonan kepada Allah swt tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus, sekaligus
sebagai penafsiran dan penjelasannya yang tidak samar sama sekali.62 Al-Shanqiṭiy menafsirkan QS.
Al-Fātiḥah/1 : 7 melalui cara mengkaitkannya (munāsabah) dengan QS. Al-Nisā`/4 : 69,63 yang tetera
di dalamnya secara eksplisit term al-ṣālihīn (orang-orang saleh) menjadi penafsiran atas penggalan
ayat al-ladhīna an’amta ‘alayhim (mereka yang Engkau memberikan nikmat).
Sosok pribadi saleh menjadi cita-cita nabi Ibrahim as ketika menginginkan keturunan dan di kala
beliau menghendaki dimasukkan ke dalam golongannya dengan memanjatkan do’a kepada Allah sw.
Redaksi permohonannya untuk mendapatkan keturunan di antaranya ialah Rabbī hablī min al-ṣāliḥīn64
(ya Allah anugerahkanlah kepadaku turunan yang saleh) dan teks permintaanya agar digabungkan
dalam kumpulan (clan) orang-orang saleh adalah wa alḥiqnī bi al-ṣālihīn.65 Sedangkan eksistensi
orang saleh adalah figur yang mengedepankan dan melestarikan tradisi istiqāmah dalam segala
aktivitasnya.66
Pendidikan Islam dalam konteks fiṭrah majbūlah, di satu sisi memiliki misi dan peranan yang
strategis mengembangkannya agar terbentuk pribadi yang saleh, di sisi lain mengemban amanat yang
berat, karena keberadaannya sebagai fiṭrah mukammilah berarti memikul tugas kerasulan supaya fiṭrah
munazzalah mewarnai perjalanan manusia meraih kesalehan diri. Namun suatu yang tidak dapat
dihindari adalah kesadaran akan keterbatasan dan kelemahan setiap institusi pendidikan Islam,
khususnya para pendidiknya yang tidak akan sukses melakukan misinya bila tidak bertepatan dengan

Abdul Bāqi’, Al-Mu’jam Al-Mufahras, 259-460.


59
60
Teks ayatnya:
ٰۤ ُ ٰۤ ُ
٦٩ ‫ولىِٕكَ َرفِيْقًا‬ ‫الص ِديْ ِقيْنَ َوالشُّ َه د َۤاءِ َوال ه‬
‫صلِحِ يْنَ ْۚ َو َحسُنَ ا‬ ِ ‫علَيْ ِه ْم مِ نَ النَّ ِب ٖينَ َو‬ ُ ‫ولىِٕكَ َم َع الَّ ذِ يْنَ اَنْ َع َم ه‬
َ ‫ّٰللا‬ ‫ّٰللا َوالرَّ س ُْو َل فَا‬ ِ ‫َو َمنْ ي‬
َ ‫ُّطِع ه‬
Artinya: 69. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang
diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh.
Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. Al-Nisā`/4 : 69)
61
Matan hadisnya:
‫علَ ْي ِهم من ْال َم ََلئِكَة والنبيين‬
َ ‫ط ِريق من أَ ْن َعمت‬ َ ‫{ص َراط الَّذين أَ ْن َعمت‬
َ :‫علَ ْي ِهم} يَقُول‬ ِ ‫عبَّاس فِي قَ ْوله‬
َ ‫عن ابْن‬
َ ‫َوأخرج ابْن جرير َوابْن أبي َحاتِم‬
‫صالِحِ ينَ الَّذين أطاعوك وعبدوك‬ َّ ‫َوالصديقين َوال ُّش َهدَاء َوال‬
Artinya: hadis ini disebutkan oleh Ibn Jarīr dan Ibnu Abī Ḥātim dari Ibnu ‘Abbās yang menyatakan bahwa firman Allah swt
(Ṣirāṭ al-ladhīna an’amta ‘alayhim) adalah jalannya para pihak yang Engkau anugerahkan nikmat dari kalangan malaikat, para
nabi, orang-orang yang mencintai kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh yang taat dan bakti ke
hadirat-Mu. Jalāl Al-Dīn Abdurrahman ibn Abi Bakar Al-Suyūṭiy, Al-Durr Al-Manthūr fī Al-Tafsīr Al-Ma`thūr, (Beirut, Dār
Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2000), Jilid 1, 42.
62
Nāṣir Al-Dīn Abī Sa’īd Abd Allah bin ‘Umar bin Muhammad Al-Bayḍāwiy Al-Shīrāziy, Anwār Al-Tanzīl wa Asrār
Al-Ta’wīl, Tafsīr Al-Bayḍāwīy, (Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1999), Jilid 1, 11.
63
Muḥammad Al-Amīn ibn Muḥammad Al-Mukhtār Al-Jakaniy Al-Shanqīṭiy, Aḍwā` Al-Bayān fī Iḍāḥ Al-Qur’ān bi
Al-Qur’ān, (Madīnah Munawwarah, Maktabat Al-‘Ulūm wa Al-Ḥkām, 2005), Jilid 1, 42,
64
QS. Al-Ṣaffāt/37 : 99-100:
١٠٠ َ‫صلِحِ يْن‬
‫ي مِنَ ال ه‬
ْ ‫ب هَبْ ِل‬
ِ ‫ َر‬٩٩ ‫س َي ْهدِ ي ِْن‬
َ ‫ي‬ ْ ‫ي َذاهِب ا ِٰلى َر ِب‬ ْ ِ‫َوقَا َل اِن‬
Artinya: 99. Dan dia (Ibrahim) berkata, “Sesungguhnya aku harus pergi (menghadap) kepada Tuhanku, Dia akan memberi
petunjuk kepadaku. 100. Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh.”
65
QS. Al-Shu’arā`/26 : 83:
٨٣ َۙ َ‫صلِحِ يْن‬
‫ي بِال ه‬ ْ ِ‫ي ُح ْك ًما َّواَلْحِ قْن‬
ْ ‫ب هَبْ ِل‬ ِ ‫َر‬
Artinya: 83. Ibrahim berdoa), “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku ilmu dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang
yang saleh,
66
Muhammad Ṭāhir Ibn ‘Āshūr, Tafsīr Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, (Tunis, Dār Suhnūn li al-Nashr wa al-Tauzī’, t.t), Jilid
2, Juz 5, 116.
pemberian hidayah Allah swt kepada anak didik, kesalehan diri beryalian erat dengan gidayah-Nya.
Sejarah Nabi saw yang berusaha mengislamkan pamannya bernama Abī Ṭālib hingga menjelang akhir
hayatnya memohon supaya mengucapkan lā ilāha illā Allah (tiada tuhan selain Allah),67 tetapi Allah
swt meresponnya dengan menurunkan QS. Al-Qaṣaṣ/28 : 5668 yang mengingatkan Nabi saw bahwa
kesalehan dengan meninggal tidak dalam keadaan kafir atau wafat dalam keadaan Islam tergantung
mutlak pada hidayah Allah swt.
Konsep tujuan pendidikan Islam dapat dikesankan dalam pembahasan ini mewakili pandangan
tentang pendidikan Islam yang berorientasi individual, karena lebih menekankan pada pembentukan
kesalehan diri yang seolah-olah terlepas dari pendidikan yang berorientasi kepada kemasyarakatan
(Society) suatu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan
rakyat yang baik bagi sistem pemerintahan demokratis, oligarkis, atau monarkis. Konsep orientasi
pendidikan yang kedua dibangunn di atas teori sosiologis yang melihat manusia sebagai hewan yang
bermasyarakat dan ilmu pengetahuan pada dasarnya dibina di atas dasar-dasar kehidupan
bermasyarakat.69 Pendidikan Islam dapat dipastikan berbasis pendidikan individual yang kemudian
dijadikan sebagai potensi membangun pendidikan kemasyarakatan.
QS. Al-‘Alaq//96 : 1-5 merupakan wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi saw
mencerminkan pendidikan individual, Nabi saw yang menjadi subjek utamanya dituntut menguasai al-
Qur`an untuk disampaikan kepada pihak lain yang menjadi sasaran tugas kerasulannya. Maksudnya
ialah Nabi saw berbekal diri dengan dididik oleh Allah swt menjadi teladan dan sumber informasi,
serta pusat ketentuan dengan memahami dan menguasainya secara sempurna yang kemudian
dididikkan atau disampaikan kepada masyarakat di lingkungannya agar mereka-pun memahami dan
menguasainya dengan meneladani beliau dalam pengamalannya (QS. Al-Aḥzāb/33 : 21).70
QS. Al-Taḥrīm/66 : 671 menjadi rujukan yang relevan akan pendidikan individual yang difokuskan
kepada pembinaan diri sendir hingga terwujud kesalehan diri sebagai modal utama dalam mendidik
anggota lingkungan keluarga sebagai unit terkecil dari komunitas masyarakat. Konsep ini menekankan
67
HR. Muslim, Turmudhiy, Ibnu Abī Ḥātim, Ibnu Mardawayh, dan al-Bayhaqiy dari Abī Hurayrah ra menjadi sabab
nuzūl (sebab turun) ayat tersebut. Abī Hurayrah ra berujar bahwa ketika kematian mendekati Abī Ṭālib, Nabi saw
mengunjunginya seraya bersabda; Wahai pamanku ucapkanlah lā ilāha illā Allah nanti di akhirat kelak aku akan
menyaksikan bahwa engkau relah beriman dengan kalimat tersebut di hadapan Allah, pamannya menjawab; Kalaulah orang-
orang Quraysh tidak melecehkanku dengan berkata tidak akan melakukannya dengan mengucapkanya kecuali terpaksa
menjelang kematian, sesungguhnya aku akan menyatakan kalimat itu di hadapanmu. Al-Suyūṭiy, Al-Durr Al-Manthūr, Jilid 5,
253.
68
Teks ayatnya:
٥٦ َ‫دِي َمنْ يَّش َۤا ُء َْۚوه َُو اَ ْعلَ ُم بِالْ ُم ْهتَدِ يْن‬ َ ‫دِي َمنْ اَحْ بَبْتَ َو ٰل ِكنَّ ه‬
ْ ‫ّٰللا يَ ْه‬ ْ ‫اِنَّكَ َل تَ ْه‬
Artinya: 56. Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah
memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.(
QS. Al-Qaṣaṣ/28 : 56)
69
Pandangan tentang tjuan pendidikan, pada dasarnya diilhami oleh dua teori, yaitu berorientasi kemasyarakatan dan
individual. Teori pertama menyebutkan bahwa pendidikan mempersiapkan manusia yang bisa berperan dan menyesuaikan diri
dalam masyarakatnya masing-masing. Dampaknya adalah tujuan dan target pendidikan diambil dari dan diupayakan untuk
memperkuat kepercayaan, sikap, ilmu, dan sejumlah keahlian yang sudah duterima dan berguna bagi masyarakat. Apabila hal-
hal tersebut mengalami perubahan, maka pendidikan dituntut agar dapat mempersiapkan peserta didik berkemampuan
menghadapi segala bentuk perubahan tersebut. Adapun teori kedua lebih memfokuskan pada kebutuhan, daya tamping, dan
minat peserta didik. Teori ini menekankan pada peningkatan intelektual, material, dan keseimbangan jiwa, serta meraih
kebahagiaan optimal melalui pencapaian kesuksesan kehidupan bermasyarakat dan ekonomi supaya melebihi yang pernah
dicapai oleh orang tuanya. Wan Daud, Filsafat Dan Praktik Pendidikan Islam, 163-165.
70
Redaksi ayatnya:
٢١ ‫ّٰللا كَثِي ًْر ْۗا‬ ٰ ْ ‫ّٰللا َوالْيَ ْو َم‬
َ ‫الخِ َر َو َذك ََر ه‬ َ ‫سنَة ِل َمنْ كَانَ يَرْ جُوا ه‬ َ ‫ّٰللا اُس َْوة َح‬ ِ ‫ي َرس ُْو ِل ه‬ ْ ِ‫لَقَ ْد كَانَ لَكُ ْم ف‬
Artinya: 21. Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah. (QS. Al-Aḥzāb/33 : 21)
71
Ibrah ayatnya:
ۤ
٦ َ‫ّٰللا َمآْ اَ َم َرهُ ْم َويَفْعَلُ ْونَ َما يُؤْ َم ُر ْون‬ ُ ْ‫ارةُ عَلَيْ َها َم ٰلىِٕكَة غ ََِلظ ِشدَاد َّل يَع‬
َ ‫ص ْونَ ه‬ َ ‫اس َوالْحِ َج‬ ُ َّ‫َارا َّوقُ ْو ُدهَا الن‬ً ‫يٰ ْٓاَيُّ َها الَّذِ يْنَ ٰا َمن ُْوا قُ ْْٓوا اَنْفُسَكُ ْم َواَ ْه ِليْكُ ْم ن‬
Artinya: 6. Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang
Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. Al-Taḥrīm/66 : 6)
pentingnya pendidikan individual dijadikan tahapan awal berkaitan dengan pendidikan yang
berorientasi pada kemasyarakatan sebagai tahapan berikutnya. Argumen-argumen tersebut cukup
menguatkan pendidikan Islam berorientasi pada pembentukan kesalehan individu yang bertanggung
jawab kepada kesalehan masyarakatan, baik yang terbatas ataupun mengglonal. Akan tetapi usaha ini
sulit terjelma bila tidak disertai dengan keterlibatan Allah swt Yang Maha Kuasa dan Berkehendak.
Usaha manusia dan kehendak Allah swt dalam pendidikan Islam membutuhkan integrasi keduanya
supaya memperoleh kesuksesan terwujudnya kesalehan diri, baik pendidik ataupun peserta didiknya.
Apabila keberhasilannya tidak maksimal di tengah-tengah usaha edukatif yang maksimal, maka
kesabaran merupakan kuncinya, karena menyadari bahwa Allah swt belum mengizinkan di saat ini,
bisa jadi di masa-masa berikutnya apa yang telah dididikkan teraktualisasikan dalam diri dan
kehidupannya, dan manakala sebaliknya, upaya pedagogis mencapai kesuksesan, maka bersyukur
menjadi poin strategisnya disertai dengan permintaan yang kepada Allah swt secara kontinyu hasil
didikannya tidak terkontaminasi di saat-saat mendatang. Hal ini dimaksudkan supaya tidak mengalami
putus asa dan patah harapan jika problematika interaksi edukatifnya terhambat dan keberhasilannya
terteubda, mengingat masih ada hari esok, serta tidak besar kepala kalau proses pedagogisnya tercapai
tanpa hambatan, sebab pada hakekatnya hasil campur tangan Allah swt yang kemungkinan besar Dia
akan mengekalkannya sampai akhir hayat sebagai insan yang husnul khatimah.
4. Kesimpulan
Pendidikan mempunyai urgensi sebagai fiṭrah mukammilah (fitrah penyempurna) dalam
menumbuhkembangkan fiṭrah majbūlah (fitrah yang ditanamkan) dengan mereferensi kepada fiṭrah
munazzalah (fitrah yang diturunkan) yang menjadi petunjuknya untuk mencapai kesempurnaan sebagai
insan yang memiliki kesalehan diri. Realisasinya di lapangan tidak semudah dibandingkan pada tataran
teoritis. Upaya edukatif dan pedagogis yang terintegrasi dengan keyakinan akan kehendak Allah swt
sebagai Maha Penentu merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan, di samping unsur integrasi kesalehan
ketrampilan dan intelektual para pendidik dengan aktualisasi spiritualnya.
Kesadaran diri akan kelemahan setiap melakukan langkah-langkah akademis dan menejerial yang
dilakukan oleh intitusi pendidikan, khususnya para pendidiknya semakin dibutuhkan agar muncul
kesadaran dan semangat untuk senantiasa meminta pertolongan kepada Allah swt Sang Maha Pemdidik
yang telah mendidik nabi Adam as dengan al-Asmā` (nama-nama benda yang bernama), mendidik adab
nabi Muhammad saw dengan cara yang terbaik, mendidik manusia berbagai ilmu dan pengetahuan yang
jauh jangkauannya dengan perantaraan penggunaan pena, dan telah mendidik manusia tentang
penciptaannya yang kuat dan sempurna dengan menurunkan ayat-ayat-Nya, harapannya ialah supaya
Allah swt ikut serta membantu aktivitas edukatif dan proses pedagogisnya.

Anda mungkin juga menyukai