“CITILINK”
Disusun oleh:
2021
A. Pendahuluan
Citilink berusaha memangkas biaya-biaya yang bisa diefisienkan agar total biaya
operasinya rendah dengan cara lebih banyak mengarahkan pos pengeluaran menjadi
biaya variabel yang hanya bertambah bila pemanfaatannya meningkat. Selama ini biaya
besar terutama untuk bahan bakar pesawat, dimana tentu saja tidak bisa dikontrol oleh
Citilink karena merupakan komoditas dunia. Yang bisa dilakukan adalah memilih
pesawat dengan bahan bakar efisien. Cara selanjutnya dengan efisiensi di segala bidang.
Misalnya pada sisi pemeliharaan yang menerapkan beberapa model dengan tetap
mematuhi standar keamanan. Semua proses bisnis pun dipereteli untuk mencari mana
Strategi pengadaan SDM sendiri yaitu dengan mencampur karyawan Garuda yang
dipindah ke Citilink dan karyawan baru dari luar Garuda. Komposisinya lebih banyak
karyawan baru karena ingin membangun pola pikir baru. Orang-orang luar yang sudah
berpengalaman di LCC yang dibetot masuk, karena manajemen ingin mendapat suntikan
segar dari luar dengan harapan mendapat pemikiran out of the box yang belum pernah
ada. Hanya saja untuk posisi-posisi tertentu, tetap dipegang oleh orang-orang
berpengalaman di Garuda.
Tak hanya dari sisi operasi dan SDM, aspek pemasaran juga ditata. Dalam hal
penjualan tiket digunakanlah model hybrid, yaitu kombinasi antara penjualan langsung
dan tak langsung, berbeda dengan kebanyakan LCC yang lebih mengandalkan internet
dan tanpa agen. Citilink memiliki district sales manager (DSM) yang mengelola
penjualan di rutenya dan membina para agen tiket. Selain itu juga dibuka point of sales
untuk kanal penjualan tiket yang bekerja sama dengan sejumlah mitra ritel.
Di bidang ticketing, mereka bermain di harga yang variatif dengan melakukan
monitoring dari jam ke jam, bukan hari ke hari. Dalam hal manajemen informasi
penerbangan, mereka tidak kesulitan karena dibantu oleh sistem TI Navitel yang banyak
dipakai perusahaan LCC. Dengan ini, pelanggan akan didorong untuk membeli tiket jauh
hari sebelum berangkat untuk mendapat tiket murah. Sejauh ini, demi mendapatkan
margin yang baik, digunakan kombinasi 2 sumber pendapatan. Pertama, dari tiket dan
yang kedua dari ancillary revenue—non-ticket sources of revenue (pendapatan
tambahan). Misal dari seat arrangement, ada pula layanan inflight meals dan jenis
lainnya. Dalam praktik penerbangan internasional, pola yang dijalankan Citilink juga
banyak diterapkan, seperti Ryanair (maskapai LCC terbesar di Eropa) yang mencari
pemasukan dari pay-per-view film/entertainment, onboard shopping, internet
gaming,hotel bookings dan layanan lainnya.
Dengan revenue management yang baik, operasi yang excellent, dan bermain di
rute gemuk, Citilink yakin bisa mendapatkan 20% pangsa pasar segmen LCC sesegera
mungkin. Jajaran manajemen memang penuh keyakinan dalam revitalisasi bisnisnya.
Mereka berani menargetkan saat ini terbang 56 kali per hari dan pada tahun 2015,
penerbangan sudah diatas 200 kali per hari dengan total penumpang 20 juta orang. Tentu
manajemen tak asal dalam membuat target. Seiring dengan penambahan armada baru
oleh Garuda, pada tahun 2015 ditargetkan sudah mengoperasikan 50 pesawat. Citilink
telah saling sepakat dengan Airbus untuk membeli 50 pesawat yang dating pada 2014,
inilah yang membuat mereka optimis.
Namun, terlalu dini untuk menilai potensi Citilink sekarang, tapi ada satu
kelebihan yang tak dimiliki maskapai lain, yaitu afiliasi ekuitas merek dengan Garuda
Indonesia. Ada persepsi positif seperti “lebih aman, bertanggung jawab dan
menguntungkan rakyat”. Tetapi, ekuitas merek adalah soal persepsi publik, bukan soal
low cost dan pola operasi. Artinya, Citilink harus meraih efektivitas biaya dari pola
operasinya, terutama dalam menekan 5 komponen biaya terbesar, yakni : (1) avtur, (2)
perolehan pesawat, (3) maintenance & engineering, (4) SDM dari operasi pesawat, (5)
ICE-T (reservasi, awak kabin, penjadwalan, biaya komunikasi, konektivitas dengan
proses bisnis lainnya secara real-time, inflight entertainment serta inflight on-board
sales. Ini adalah titik keuntungan kompetitif terbesar.
Sebenarnya, Citilink bisa menjalin sinergi dengan Garuda, seperti dalam
konektivitas jadwal, bertukar penerbangan (transfer), penggabungan jadwal dan dokumen
tiket, serta pemanfaatan database dari frequent flyer members. Posisi tawar Garuda
dihadapan Airbus juga mestinya berdampak telak dalam menurunkan biaya perolehan
pesawat bagi Citilink. Salah satu aspek krusial bila ingin sukses, maka Citilink harus
dikelola secara independen, mendapat kebebasan otonom di lima factor cost drivers tadi.
Soal biaya sistem reservasi, bila milik Garuda dinilai kurang kompetitif, harus diberi
kewenangan mencari solusi yang lebih tepat biaya. Lebih dari itu, faktor penentu lainnya
adalah budaya LCC yang harus berbeda dengan sang induk yang selama ini bermain di
full service. LCC harus mampu bergerak cepat dan fleksibel karena butuh perubahan
budaya yang merupakan pekerjaan tidak mudah. Namun, akan sukses bila dijalankan
dengan benar.
Manajemen Citilink sudah sangat yakin dengan masa depannya. Dalam waktu
dekat mereka akan lebih agresif berpromosi, terutama setelah izin terbangnya turun.
Mereka berani menargetkan pada tahun 2012, dengan mengoperasikan 20 pesawat,
mereka akan mampu membukukan revenue sebesar RP 2,2 Triliun. Terealisasi atau
tidaknya target ini tentu saja pasar yang akan mengujinya nanti. Namun kalau tak
optimistis, untuk apa melakukan overhaul besar-besaran seperti ini? Sekarang lah saatnya
menunggangi momentum pertumbuhan yang pesat.
B. Pokok Masalah
Apa langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Citilink untuk dapat bersaing
dengan maskapai-maskapai lain dalam bisnis penerbangan LCC (Low Cost Carrier)
dengan tetap menekan biaya operasional seefisien mungkin?
3. Menggunakan sistem rute penerbangan point to point daripada rute hub to spoke
Hub adalah sebuah bandara besar yang menjadi pusat dari sebuah kawasan atau
regional. Sedangkan spoke adalah bandara-bandara selain hub yang berada di satu
kawasan. Regional satu ke regional lain akan dihubungkan melalui penerbangan
dari hub ke hub. Semua penerbangan antar spoke akan melewati hub terlebih dahulu.
Point to point adalah sistem rute yang langsung menghubungkan satu kota ke kota
lainnya tanpa perlu melalui hub. Namun, sistem ini menekankan kesamaan infrastruktur
pada setiap bandara. Hal ini untuk menjamin bahwa setiap pesawat yang terbang dari satu
bandara dapat mendarat juga di bandara lainnya