Anda di halaman 1dari 8

STUDI KASUS

MATA KULIAH MANAJEMEN PEMASARAN

“CITILINK”

DOSEN PENGAMPU : Drs. Asmai Ishak, M.Bus. ,Ph.D

Disusun oleh:

Arfan Nopri : 20911020

Deasa Nurhausan Albana : 20911021

Rizqi Fajar : 20911030

PRODI MAGISTER MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

2021
A. Pendahuluan

PT Garuda Indonesia sukses sebagai penguasa segmen premium dengan kinerja


yang cukup stabil, tapi di segmen yang lebih rendah, tak banyak yang bisa dilahap.
Mereka punya Citilink yang bermain di segmen ini, tapi kinerjanya cenderung tak
maksimal. Di pasar menengah-bawah justru maskapai-maskapai “kemarin sore” lah yang
berpesta pora. Orang semakin banyak naik pesawat, pasar menengah semakin tumbuh
dan tidak boleh dilewatkan begitu saja. Apalagi, maskapai swasta lainnya juga sudah
mulai melirik segmen premium yang selama ini menjadi pasar Garuda.
Garuda pun pada 2012 merevitalisasi Citilink dengan memutuskan all out
bermain di LCC (Low Cost Carrier). Maka Citilink dibangun kembali dengan segala
kebaruan dan anak usaha sendiri untuk mengelolanya dengan nama PT Citilink Indonesia
yang terpisah dari manajemen Garuda. Ini merupakan strategi besar induknya untuk
memperkuat posisi di pasar penerbangan domestik dan internasional serta LCC.
Prioritas utama Citilink adalah memasuki rute-rute yang diterbangi Garuda yakni
di rute yang mendapat gangguan dari pemain LCC. Ini bagian dari strategi memproteksi
pasar Garuda. Kebijakan overhaul Garuda membuat Citilink lebih fokus dengan model
bisnis yang jelas. Sebagai konsekuensi dari model bisnis LCC, segala upaya dilakukan
untuk dapat mencapai operational excellence secara efisien. Dari prosedur pemilihan
jenis pesawat misalnya yang hanya menggunakan pesawat baru dan single aircraft yaitu
jenis Airbus 320 sehingga pemeliharaannya lebih efisien.
A-320 dengan kapasitas 180 orang dianggap lebih kompetitif untuk bersaing di
LCC. Tipe tersebut juga dinilai cocok untuk pasar domestik karena dari 220 bandara di
Indonesia, setidaknya ada 37 bandara yang bisa diterbangi A-320. Jenis ini butuh panjang
landasan minimal 2100 m. Selain itu, guna mencapai operational excellence, Citilink
menyasar rute dengan jarak terbang maksimal 2,5 jam karena jika diatas 3 jam sudah sulit
untuk LCC sebab pelanggan butuh full service.

Citilink berusaha memangkas biaya-biaya yang bisa diefisienkan agar total biaya
operasinya rendah dengan cara lebih banyak mengarahkan pos pengeluaran menjadi
biaya variabel yang hanya bertambah bila pemanfaatannya meningkat. Selama ini biaya
besar terutama untuk bahan bakar pesawat, dimana tentu saja tidak bisa dikontrol oleh
Citilink karena merupakan komoditas dunia. Yang bisa dilakukan adalah memilih
pesawat dengan bahan bakar efisien. Cara selanjutnya dengan efisiensi di segala bidang.
Misalnya pada sisi pemeliharaan yang menerapkan beberapa model dengan tetap
mematuhi standar keamanan. Semua proses bisnis pun dipereteli untuk mencari mana

saja yang masih bisa diefisienkan.


Menyadari perubahan itu, manajemen menyediakan SDM yang cocok dengan
budaya LCC. Seluruh SDM harus self arrangement, mengurus diri sendiri. Hingga Cabin
Crew termasuk pilot harus ikut LCC, kalau tidak, nanti akan banyak menuntut. Untuk itu
sistem penggajian pun juga berbeda dari Garuda. Model-model tunjangan jangka panjang
ditiadakan, sementara di Garuda ada berbagai jenis tunjangan, termasuk tunjangan
istirahat tahunan dimana Citilink hanya ada Tunjangan Hari Raya. Semua jenis tunjangan
dikemas dalam satu paket yang bernama salary, yang besarannya lebih banyak terkait
kinerja. Sebab itu, pilot misalnya, salary-nya sudah termasuk biaya kesehatan, tunjangan
transport, dll. Ini adalah bagian dari mengubah mindset & behavior agar seluruhnya
sesuai model LCC, berubah DNA ke low cost.

Strategi pengadaan SDM sendiri yaitu dengan mencampur karyawan Garuda yang
dipindah ke Citilink dan karyawan baru dari luar Garuda. Komposisinya lebih banyak
karyawan baru karena ingin membangun pola pikir baru. Orang-orang luar yang sudah
berpengalaman di LCC yang dibetot masuk, karena manajemen ingin mendapat suntikan
segar dari luar dengan harapan mendapat pemikiran out of the box yang belum pernah
ada. Hanya saja untuk posisi-posisi tertentu, tetap dipegang oleh orang-orang
berpengalaman di Garuda.
Tak hanya dari sisi operasi dan SDM, aspek pemasaran juga ditata. Dalam hal
penjualan tiket digunakanlah model hybrid, yaitu kombinasi antara penjualan langsung
dan tak langsung, berbeda dengan kebanyakan LCC yang lebih mengandalkan internet
dan tanpa agen. Citilink memiliki district sales manager (DSM) yang mengelola
penjualan di rutenya dan membina para agen tiket. Selain itu juga dibuka point of sales
untuk kanal penjualan tiket yang bekerja sama dengan sejumlah mitra ritel.
Di bidang ticketing, mereka bermain di harga yang variatif dengan melakukan
monitoring dari jam ke jam, bukan hari ke hari. Dalam hal manajemen informasi
penerbangan, mereka tidak kesulitan karena dibantu oleh sistem TI Navitel yang banyak
dipakai perusahaan LCC. Dengan ini, pelanggan akan didorong untuk membeli tiket jauh
hari sebelum berangkat untuk mendapat tiket murah. Sejauh ini, demi mendapatkan
margin yang baik, digunakan kombinasi 2 sumber pendapatan. Pertama, dari tiket dan
yang kedua dari ancillary revenue—non-ticket sources of revenue (pendapatan
tambahan). Misal dari seat arrangement, ada pula layanan inflight meals dan jenis
lainnya. Dalam praktik penerbangan internasional, pola yang dijalankan Citilink juga
banyak diterapkan, seperti Ryanair (maskapai LCC terbesar di Eropa) yang mencari
pemasukan dari pay-per-view film/entertainment, onboard shopping, internet
gaming,hotel bookings dan layanan lainnya.
Dengan revenue management yang baik, operasi yang excellent, dan bermain di
rute gemuk, Citilink yakin bisa mendapatkan 20% pangsa pasar segmen LCC sesegera
mungkin. Jajaran manajemen memang penuh keyakinan dalam revitalisasi bisnisnya.
Mereka berani menargetkan saat ini terbang 56 kali per hari dan pada tahun 2015,
penerbangan sudah diatas 200 kali per hari dengan total penumpang 20 juta orang. Tentu
manajemen tak asal dalam membuat target. Seiring dengan penambahan armada baru
oleh Garuda, pada tahun 2015 ditargetkan sudah mengoperasikan 50 pesawat. Citilink
telah saling sepakat dengan Airbus untuk membeli 50 pesawat yang dating pada 2014,
inilah yang membuat mereka optimis.
Namun, terlalu dini untuk menilai potensi Citilink sekarang, tapi ada satu
kelebihan yang tak dimiliki maskapai lain, yaitu afiliasi ekuitas merek dengan Garuda
Indonesia. Ada persepsi positif seperti “lebih aman, bertanggung jawab dan
menguntungkan rakyat”. Tetapi, ekuitas merek adalah soal persepsi publik, bukan soal
low cost dan pola operasi. Artinya, Citilink harus meraih efektivitas biaya dari pola
operasinya, terutama dalam menekan 5 komponen biaya terbesar, yakni : (1) avtur, (2)
perolehan pesawat, (3) maintenance & engineering, (4) SDM dari operasi pesawat, (5)
ICE-T (reservasi, awak kabin, penjadwalan, biaya komunikasi, konektivitas dengan
proses bisnis lainnya secara real-time, inflight entertainment serta inflight on-board
sales. Ini adalah titik keuntungan kompetitif terbesar.
Sebenarnya, Citilink bisa menjalin sinergi dengan Garuda, seperti dalam
konektivitas jadwal, bertukar penerbangan (transfer), penggabungan jadwal dan dokumen
tiket, serta pemanfaatan database dari frequent flyer members. Posisi tawar Garuda
dihadapan Airbus juga mestinya berdampak telak dalam menurunkan biaya perolehan
pesawat bagi Citilink. Salah satu aspek krusial bila ingin sukses, maka Citilink harus
dikelola secara independen, mendapat kebebasan otonom di lima factor cost drivers tadi.
Soal biaya sistem reservasi, bila milik Garuda dinilai kurang kompetitif, harus diberi
kewenangan mencari solusi yang lebih tepat biaya. Lebih dari itu, faktor penentu lainnya
adalah budaya LCC yang harus berbeda dengan sang induk yang selama ini bermain di
full service. LCC harus mampu bergerak cepat dan fleksibel karena butuh perubahan
budaya yang merupakan pekerjaan tidak mudah. Namun, akan sukses bila dijalankan
dengan benar.
Manajemen Citilink sudah sangat yakin dengan masa depannya. Dalam waktu
dekat mereka akan lebih agresif berpromosi, terutama setelah izin terbangnya turun.
Mereka berani menargetkan pada tahun 2012, dengan mengoperasikan 20 pesawat,
mereka akan mampu membukukan revenue sebesar RP 2,2 Triliun. Terealisasi atau
tidaknya target ini tentu saja pasar yang akan mengujinya nanti. Namun kalau tak
optimistis, untuk apa melakukan overhaul besar-besaran seperti ini? Sekarang lah saatnya
menunggangi momentum pertumbuhan yang pesat.

B. Pokok Masalah

Apa langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Citilink untuk dapat bersaing
dengan maskapai-maskapai lain dalam bisnis penerbangan LCC (Low Cost Carrier)
dengan tetap menekan biaya operasional seefisien mungkin?

C. Alternatif Pemecahan Masalah

Ada beberapa hal yang harus dilakukan Citilink, yaitu :

1. Melakukan penghematan dalam pemakaian avtur dengan melakukan peremajaan


pesawat dan menggunakan alternatif bahan bakar biofuel
Pertama, Citilink sebaiknya melakukan pembaruan teknologi pesawat dan
mengganti pesawat lama yang boros avtur dengan pesawat baru yang lebih hemat bahan
bakar dengan cara menerapkan kebijakan memakai satu tipe pesawat yang sama seperti
Airbus A320, karena selain lebih nyaman, Airbus A320 juga dapat menghemat bahan
bakar sehingga dapat mengurangi emisi karbon. Posisi tawar induk perusahaannya yaitu
Garuda dihadapan Airbus juga mestinya berdampak telak dalam menurunkan biaya
perolehan pesawat dari Airbus bagi Citilink.
Kedua, industri penerbangan kini beralih mencari sumber alternatif lain selain
minyak fosil atau dikenal dengan istilah energi terbaru, salah satunya biofuel. Namun.
lantaran ongkos produksi biofuel sekitar 3 kali lipat dari harga jet A1, maka diambil jalan
tengah agar biofuel dicampur dengan avtur. Lufthansa menjadi maskapai pertama di
dunia yang menguji coba biofuel pada pertengahan Juli 2011. Pesawat A321 memakai
campuran avtur dan 50% biosynthetic kerosene saat terbang reguler rute Hamburg-
Frankfurt dalam 6 bulan. Hasilnya, emisi karbon turun hingga 1.500 ton.
Terdapat tiga hal yang menjadi keuntungan dari penggunaan biofuel yakni
bandara ramah lingkungan (green airport), penerbangan ramah lingkungan (green flight),
dan green space atau upaya dalam membuat rute penerbangan lebih efisien.
Namun ada pula kekurangan dari penggunaan biofuel sendiri seperti perlunya
kelayakan teknis yang dibentuk melalui sertifikasi internasional, syarat pembuatannya
yang pelik serta ancaman konflik sosial yang akan muncul jika industri dalam negeri
belum mampu memproduksi sendiri sehingga akan melakukan impor.
2. Mengurangi penggunaan agen-agen penjual tiket penerbangan sehingga
dapat mengurangi biaya operasional
Citilink perlu meningkatkan faktor-faktor yang dianggap oleh konsumen
penerbangan akan memberikan manfaat yang lebih dalam menghemat waktu dan biaya.
Citilink perlu untuk lebih mengandalkan sistem pemesanan atau pembelian tiket
penerbangan secara online melalui website resminya. Dengan tidak menggunakan jasa
agen penjualan tiket dan lebih mengandalkan penjualan online, maka Citilink tidak akan
lagi harus mengeluarkan komisi penjualan tiket penerbangan kepada agen-agen.
Namun layanan atau fitur-fitur dari website tersebut haruslah simple dan mudah
dimengerti sehingga memudahkan konsumen dalam melakukan pemesanan dan
konsumen pun nantinya senantiasa memilih layanan penerbangan Citilink. Dengan itu,
calon penumpang juga dapat melakukan pemesanan tiket penerbangan dimana saja dan
kapan saja tanpa harus pergi ke agen penjualan tiket.

3. Menggunakan sistem rute penerbangan point to point daripada rute hub to spoke
Hub adalah sebuah bandara besar yang menjadi pusat dari sebuah kawasan atau
regional. Sedangkan spoke adalah bandara-bandara selain hub yang berada di satu
kawasan. Regional satu ke regional lain akan dihubungkan melalui penerbangan
dari hub ke hub. Semua penerbangan antar spoke akan melewati hub terlebih dahulu.

Point to point adalah sistem rute yang langsung menghubungkan satu kota ke kota
lainnya tanpa perlu melalui hub. Namun, sistem ini menekankan kesamaan infrastruktur
pada setiap bandara. Hal ini untuk menjamin bahwa setiap pesawat yang terbang dari satu
bandara dapat mendarat juga di bandara lainnya

Citilink dapat mengoperasikan rute point-to-point tanpa konektivitas antar


hub dan spoke, karena dalam layanan low cost carrier membutuhkan utilisasi pesawat yang
tinggi dan frekuensi penerbangan yang banyak. Maka dengan menerapkan sistem point to
point Citilink dapat menutupi biaya operasionalnya. Namun karena kesamaan infrastuktur
bandara-bandara belum tentu sama, maka harus dipilih lagi bandara mana saja yang
memenuhi persyaratan untuk dapat dilakukan penerbangan didalamnya.
D. Rekomendasi Alternatif
Dari 3 alternatif yang sudah di paparkan kelompok kami memilih alternative nomor
2, bahwa pengurangan agen agen penjual tiket penerbangan sangat berpengaruh untuk
mengurangi biaya operasional, di tambah layanan online dan website yang sudah tersedia
maka dari itu sekarang waktunya beralih kepada hal yang lebih mudah di akses oleh para
konsumen yaitu dengan online tanpa harus mendatangi dan berbicara langsung dengan
agen akan tetapi langsung melalui online dan website karena konsumen juga sangat
menyukai akses yang mudah dan cepat sehingga, dalam waktu bersamaan citilink dapat
membuat akses pelanggan lebih mudah dan cepat sekaligus mengurangi biaya operasional.

Anda mungkin juga menyukai