Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data yang bersifat
ilmiah mengenai implementasi model experiential learning dalam meningkatkan
ekoliterasi siswa kelas XI IPS 1 SMAN 89 Jakarta, Cakung, Jakarta Timur. Serta untuk
mengetahui meningkat atau tidaknya kemampuan ekoliterasi siswa dengan diterapkannya
model experiential learning
Manusia dan lingkungan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan,
interaksi antara manusia dengan lingkungannya menimbulkan satu kesatuan relasi yang
berdampak pada lingkungan maupun manusia itu sendiri. Kemampuan adaptasi dan
perilaku manusia terhadap lingkungan telah dijelaskan dalam paham determinisme dan
posibilisme, dimana pada paham fisik determinisme menyatakan bahwa lingkungan
alamlah yang mempengaruhi perilaku manusia dalam ruang sedangkan menurut paham
posibilisme kejadian ataupun fenomena yang terjadi di lingkungan alam merupakan
akibat dari aktivitas manusia dalam arti lain manusia mempengaruhi alam lingkungannya.
Melihat fakta bahwa rendahnya kepedulian manusia terhadap keberlangsungan dan
keseimbangan ekosistem alamnya, maka diperlukan sebuah pengetahuan yang outputnya
menimbulkan rasa kepekaan terhadap kondisi lingkungan yang disebut dengan
kemampuian ekoliterasi, salah satu cara untuk meningkatkan ekoliterasi adalah melalui
pembelajaran Geografi.
Kecenderungan yang terjadi bahwa pada peserta didik mereka memahami materi
yang terdapat pada mata pelajaran geografi tidak secara integrative dan menyeluruh
melainkan hanya parsial saja Bradbeer, dkk (2014 : 20). Materi geografi apabila dipelajari
secara integrative diharapakan akan mampu menunjang pemahaman daya nalar dan
keterampilan serta meningkatkan ekoliterasi peserta didik mengingat pentingnya
ekoliterasi untuk menjaga kelangsungan lingkungan hidup kedepannya. Kenyataannya di
lapangan kemampuan ekoliterasi peserta didik di Indonesia sangatlah rendah, hal ini
tercermin dari sikap ketidakpedulian siswa yang masih tinggi terhadap keadaan
lingkungan sekolah yang ditunjukkan dengan perilaku masih banyaknya peserta didik
yang masih membuang sampah secara sembarangan ( Kurniasari, Edu Humaniora : Jurnal
Pendidikan dasar, 2018 : 133-139). Pendidikan yang didalamnya memuat pengetahuan
akan lingkungan dan kelangsungan lingkungan hidup akan mendorong dengan baik
terciptanya siswa yang memiliki intelekual ekologi yang tinggi, sehingga siswa
diharapkan mampu tumbuh menjadi pribadi yang sadar dan bertanggungjawab atas
kondisi dan keberlangsungan lingkungan dikemudian hari.
C. Identifikasi Masalah
D. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah maka peneliti membatasi penelitian ini berfokus
pada implementasi model experiential learning dalam meningkatkan ekoliterasi siswa
kelas XI IPS 1 SMAN 89 Jakarta. Hal ini bertujuan agar penelitian ini lebih terfokus dan
hasil penelitian dapat berjalan dengan maksimal
E. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini “Bagaimanakah Implementasi
Model Experiential Learning Dalam Meningkatkan Ekoliterasi Siswa Kelas XI IPS 1
SMAN 89 Jakarta Melalui Pembelajaran Geografi ?”
F. Kegunaan Penelitain
1. Manfaat Teoritis
Memberikan pemahaman mengenai upaya peningkatan pemahaman ekoliterasi
melalui pembelajaran geografi dengan menerapkan model experiential learning
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Sekolah
Penelitian ini dapat membantu meningkatkan pemahaman ekoliterasi siswa
dan berimplikasi pada penerapan model pembelajaran experiential learning
sebagai upaya memajukan sistem pembelajaran sekolah.
b. Bagi Guru
Penelitian ini dapat memberikan inovasi baru bagi tenaga pendidik dalam
membangun kelas yang menyenangkan melalui pembelajaran berbasis
pengalaman dari peserta didik itu sendiri. Selain itu penelitian ini mampu
menambah pengetahuan dan penguasaan kelas oleh guru sebagai fasilitator
dan mediator tidak lagi berfokus pada penyampaian materi saja.
c. Bagi Siswa
Memudahkan siswa dalam upaya memahami pembelajaran karena didasarkan
pada pengalaman mereka dan turut serta mendorong siswa agar peka terhadap
lingkungannya sehingga memiliki kemampuan ekoliterasi yang baik.
d. Bagi Peneliti
Bagi peneliti manfaat penelitian ini mampu menambah khasanah pengatahuan
peneliti yang berkaitan mengenai Model Experiential Learning Theory (ELT)
dalam penerapannya untuk meningakatkan ekoliterasi siswa dan mendeteksi
permasalahan yang ditimbulkan dalam penerapannya.
G. Deskripsi Teori
1. Hakikat Pembelajaran Humanistik
Pembelajaran dalam teori humanistik sangat ditujukan dengan
tujuanmemanusiakan manusia itu sendiri. Sehingga dalam pelaksanaanya teori
humanistik lebih bersifat abstrak dan lebih mengedepankan pada pembelajaran
yang menekankan teori kepribadian, kognitif dan perkembangan psikomotorik
siswa daripada psikologi belajar peserta didik. Teori belajar humanistik lebih
menekankan pada isi dan makna dari suatu pelajaran yang dipelajari daripada
proses belajar itu sendiri. Teori belajar humanistik lebih bersifat natural dimana
proses belajar berlangsung sebagaiman apa adanya, sehingga diharapkan mampu
membetuk pembelajaran yang ideal. Pelaksanaan teori belajar humanistik nampak
pada pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausubel melalui “Meaningfull
Learning” atau pembelajaran yang bermakna dimana ini merupakan bagian dari
ranah pengetahuan dalam humanistik. Ausubel berpendapat bahwa kegiatan
belajar merupakan asimilasi yang bermakna, dimana materi belajar dihubungkan
dan diasimilisakin dengan pengetahuan yang telah melekat dan ada pada siswa
sebelumnya. Dalam mengasimilasikan hal tersebut faktor pengalaman emosional
dan motivasi sangatlah dibutuhkan. Karena pada dasarnya tanpa motivasi seorang
peserta didik tidak dapat mengasmisilasikan pengetahuan baru kedalam struktur
kognitif yang telah ada pada dirinya.
Teori belajar humanistik berpendapat bahwa segala jenis teori belajar dapat
dimanfaatkan selagi tujuan utamanya adalah untuk memanusiakan manusia. Hal
tersebut menjadikan teori belajar ini lebih bersifat eklektif dimana pembelajaran
humanistik mampu berdampingan dengan teori belajar lainnya ketika diterapkan
sehingga menimbulkan keselarasan dalam kegiatan belajar. Perbedaan antara
pandangan belajar menimbulkan perbedaan sudut pandang dalam kegiatan
belajar, sifat dari teori pembelajaran yang elektif tadi memungkinkan
pembelajaran humanistik dalam mencapai tujuannya untuk memanusikan
manusia haruslah dilakukan. Tokoh Pendidikan yang menganut paham
humanistik ini antara lain yaitu Honey dan Munford mengenai pembagian macam-
macam siswa, Huburmas dengan teori “Tiga macam tipe belajar” , Bloom dan
Karthwhol dengan “Taksonomi Bloom” , dan David Allen Kolb dengan
“Experiential Learning”. Pada penelitian ini peneliti lebih tertarik untuk
membahas model pembelajaran experiential learning dari David Kolb sebagai
bagian dari paham humanistik yang lebih menekankan pada pengalaman konkret
yang dialami oleh peserta didik.
Secara sederhana keempat tahapan belajar David Kolb tersebut dapat dipahami
dalam siklus berikut :
Concreate Experient
(emotions and feel)
Active Experimentation
Reflection Observation
(Doing)
(Watching)
Abstract Conceptualization
(Thinking)
Berlandaskan anggapan dari Piaget (dalam Surna & Pandeirot 2014 : 63) salah
satu dari empat faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif individu
adalah active experience, dimana dalam experiential learning pengalaman
mampu membentuk sebuah pembelajaran. Pada active experience proses
pembangunan pengetahuan mensyaratkan individu untuk berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya. Active experience berupaya merangsang proses
asimilasi dan akomodasi pengetahuan kognitif individu sehingga diharapkan
perkembangan kognitif dapat berjalan dengan baik. Dalam perkembangan
belajar model experiential learning, meskipun pada awal kegiatan belajar
peserta didik lebih menyukai dan condong pada tahap gaya belajar tertentu,
namun pada proses perkembangan belajar yang lebih matang selanjutnya
diharapkan siswa mampu mengintegrasikan semua proses belajar.
Pada awal kemunculan nya literasi ekologi atau ekoliterasi dikenal dengan
ecological awareness. Kegiatan ekoliterasi tidak hanya membangkitkan rasa
kesadaran untuk peka dan peduli terhadap lingkungan hidup, melaikan juga
paham akan prinsip-prinsip ekologi sebagai upaya mewujudkan kehidupan
yang berkelanjutan di permukaan bumi. Di dalam Draft Global Pilot (2011)
terdapat lima aspek-aspek penting dalam ekoliterasi yang meliputi :
1. Prinsip sistem kehidupan (Principles of living system), dalam hal ini
ekoliterasi berupaya untuk menghubungkan kembali peserta didik dengan
sistem kehidupan yang telah dialaminya sebagai suatu pengalaman berarti
dalam mengkonstruksikan dengan pembelajaran selanjutnya.
2. Inspirasi desain alam (Desain inspired by nature), ekoliterasi sebagai
desain alam berarti bahwa melalui kegiatan ekoliterasi segala sesuatu yang
ada dalam masyarakat haruslah sejajar dengan prinsip alam.
3. Sistem berpikir (systems thinking), menjelaskan bahwa ekoliterasi
memiliki kaitan dengan cara berpikir yang mengedepankan pada
keterkaitan, keterhungan dan konteks antara manusia dengan alamnya.
4. Paradigma ekologi dan transisi berkelanjutan (ecological paradigm and
transition to sustainability), ekoliterasi dimaksudkan sebagai sarana untuk
memicu perubahan pemahaman akan ekologi dalam skala yang besar
dalam bagaimana keberalngsungan kehidupan manusia dibumi.
5. Kolaborasi, pembangunan masyarakat dan warganegara (collaboration,
community building and citizenship), ekoliterasi menekankan pada
kolaborasi dan partnership antar berbagai pihak dalam mendukung
keberlangsungan lingkungan secara bersama-sama sebagai bagian dari
suatu kelompok yang peka akan lingkungan hidup.
Roth dalam Wright (2008) menyatakan bahwa ekoliterasi dinilai dari tiga
tahapan yang berkesinambungan satu sama lain yang meliputi ekoliterasi
nominal, fungsional dan operasional. Individu yang berada pada tahap nominal
ecoliteracy merupakan mereka yang memiliki sedikit pemahaman akan isu
lingkungan, rendahnya ketertarikan dan minimnya tindakan nyata dalam
menghadapi isu permasalahan lingkungan. Individu yang sudah pada tahap
functional ecoliteracy adalah mereka yang telah menggunakan pengetahuan,
pemhaman konsep dan kemampuan berpikir rasional dalam upaya
mengkonstruksikan rencana-rencana yang sesuai dalam mengatasi
permasalahan dan isu lingkungan. Sedangkan individu yang telah berada pada
tahap operasional ecoliteracy mereka telah memiliki tingkat pemahaman yang
komprehensif berdasarkan pemahaman kognitif akan isu lingkungan dan
permasalahannya sehingga akan timbul pertanyaan, analisis, deduksi, logika
dan objektivitas sebagai upaya untuk lebih memahami dan menggali isu
lingkungan. Kemampuan ekoliterasi individu yang telah sempurna berada pada
tahapan operational ecoliteracy ini.
B. Komponen Ekoliterasi
Kemampuan literasi ekologi memiliki empat komponen yang meliputi
pengetahuan, keterampilan, kecenderungan afektif, dan perilaku (Roth :
1992). Sedangkan menurut McBert & Volk (2010) komponen ecoliteracy
meliputi tiga komponen yaitu pengetahuan lingkungan (ecological
knowledge); sikap terhadap lingkungan (environmental affect) yang meliputi
komitmen verbal, sikap umum pada lingkungan dan kepekaan terhadap
lingkungan; ketiga yaitu keterampilan kognitif (cognitive skills) yang
didalamnya meliputi proses identifikasi masalah, analisis masalah, rencana
aksi dan perilaku lingkungan yang tepat. Pengetahuan ekologi memiliki arti
bahwa pemahaman akan permaslahan lingkungan akan menimbulkan rasa
kepedulian pada lingkungan yang memunculkan aksi nyata dalam mengatasi
permasalahan yang ada. Perilaku lingkungan yang erat kaitannya dengan
literasi ekologi pada individu memiliki tujuan untuk mendukung individu
tersebut dalam mempertimbangkan aksi-aksi nyata ketika mengelola
lingkungan dan menjaga keberlngsungan lingkungan tersebut.
Pengetahuan kognitif akan ekologi merupakan hal yang harus pertama kali
dimiliki atau dikuasai oleh manusia untuk menciptakan literasi ekologi. Hal
ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Karatekin (2013) bahwa “ in order
for an individual to be environmentally literate, first of all, that individual
needs to have knowledge of environment and environmental problem”. Selain
pengetahuan ekologi yang dimiliki manusia, literasi ekologi yang baik juga
terbentuk karena adanya interaksi yang saling mempengaruhi antara manusia
dengan lingkungan sekitar. Komponen ecoliteracy dirumuskan secara
sederhana oleh The Center for Ecoliteracy menjadi sebuah kompetensi untuk
membantu individu mampu menjalankan hidup dalam masyarakat yang
memegang teguh prinsip keberlanjutan. Kompetensi tersebut erat kaitannya
dengan the head (learning to know), the heart (learning to be), the hands
(learning to do) dan the spirit (learning to live together).
Berdasarkan fakta dan hasil temuan diatas maka disimpulkan bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi tingkat ecoliteracy individu meliputi latar
belakang Pendidikan, pengalaman profesi, pengalaman dalam bidang
lingkungan dan ekologi serta dipengaruhi oleh perbedaan gender
O1 x O2
Keterangan :
O1 = Pretest untuk mengetahui pemahaman ekoliterasi awal siswa kelas XI IPS 1
SMAN 89 Jakarta sebelum diberi perlakuan.
X = Perlakuan, penerapan pembelajaran dengan model experiential learning .
O2 = Posttest, untuk melihat kemampuan ekoliterasi siswa kelas XI IPS 1 setelah
diberikan perlakuan berupa model experiential learning.
J. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan secara
kuantitatif yang didalamnya meliputi kegiatann pengolahan data serta penyajian data
penelitian, perhitungan sebagai upaya mendeskripsikan data dan pengujian untuk syarat-
syarat hipotesis dan hipotesis penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Baharudin, H. dan Esa, W. N. (2007). Teori Belajar & Pembelajaran. Jogjakarta: ArRuzz
Media Group.
C. E. Roth, (1992). Environmental literacy: Its roots, evolution and directions in the
1990s. Columbus, OH: ERIC Clearinghouse for Science, Mathematics and
Environmental Education.
Capra, F. 2011. “Ecological Literacy” (Journal of Draft Global Issues Pilot August).
Goleman, Daniel. (2010). Eco Literate: How Educators are Cultivating Motional,
Social, and Ecological Intelligence. US: Jossey Bass.
Kolb, David Allen. 1984. Experiential Learning : Experience as the Source of Learning
and Development. Engelwood Cliff, NJ : Prentice Hall Publisher.
M. Wright, (2008). Web-based versus in-class: an exploration of how instructional
methods influence postsecondary students’ environmental literacy. The Journal Of
Environmental Education, 39 (1) : 33-48.
McBeth & T.L. Volk, (2010). The national environmental literacy project: a baseline
study of middle grade students in the united states. The Journal of Environmental
Education, 41 : 55–67.
Negev, G. Sagy, Y. Garb, A. Salzberg, & A. Tal, (2008). Evaluating the Environmental
Literacy of Israeli Elementary and High School Students. The Journal Of
Environmental Education, 39 (2). h. 3-21.
Ramos, A. M., & Ramos, R. (2011). “Ecoliteracy through imagery: A close reading of
two wordless picture books” (Children's Literature in Education, Vol.42, No.4) : 325.
S. Pe’er, D. Goldman, & B. Yavetz, (2007). Environmental literacy in teacher training:
attitudes, knowledge, and environmental behavior of beginning students. The Journal
Of Environmental Education, 39 (2) : 45-59.
Surna, I Nyoman & Olga D Pandeirot. 2014. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Erlangga