Anda di halaman 1dari 23

A.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data yang bersifat
ilmiah mengenai implementasi model experiential learning dalam meningkatkan
ekoliterasi siswa kelas XI IPS 1 SMAN 89 Jakarta, Cakung, Jakarta Timur. Serta untuk
mengetahui meningkat atau tidaknya kemampuan ekoliterasi siswa dengan diterapkannya
model experiential learning

B. Latar Belakang Masalah

Manusia dan lingkungan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan,
interaksi antara manusia dengan lingkungannya menimbulkan satu kesatuan relasi yang
berdampak pada lingkungan maupun manusia itu sendiri. Kemampuan adaptasi dan
perilaku manusia terhadap lingkungan telah dijelaskan dalam paham determinisme dan
posibilisme, dimana pada paham fisik determinisme menyatakan bahwa lingkungan
alamlah yang mempengaruhi perilaku manusia dalam ruang sedangkan menurut paham
posibilisme kejadian ataupun fenomena yang terjadi di lingkungan alam merupakan
akibat dari aktivitas manusia dalam arti lain manusia mempengaruhi alam lingkungannya.
Melihat fakta bahwa rendahnya kepedulian manusia terhadap keberlangsungan dan
keseimbangan ekosistem alamnya, maka diperlukan sebuah pengetahuan yang outputnya
menimbulkan rasa kepekaan terhadap kondisi lingkungan yang disebut dengan
kemampuian ekoliterasi, salah satu cara untuk meningkatkan ekoliterasi adalah melalui
pembelajaran Geografi.

Menurut Michael (2017 : 36) kemampuan ekoliterasi merupakan kecerdasan


individu untuk memahami prinsip-prinsip ekologi. Sedangkan Keraf menyatakatan
bahwa ekoliterasi memiliki makna dimana menunjukkan keadaan ketika individu sudah
tercerahkan dan memahami tentang pentingnya lingkungan hidup atau menggambarkan
kesadaran individu terhadap pentingnya suatu lingkungan hidup. Rendahnya kemampuan
ekoliterasi siswa sebagai calon penerus bangsa tentu menjadi suatu kekhawatiran sebab
dibeberapa dekade mendatang siswa-siswi inilah yang berperan dalam pengeloalaan
lingkungan kedepannya. Kemampuan ekoliterasi siswa yang rendah ditunjukkan dengan
rendahnya kepedulian terhadap lingkungan hidup, tidak patuhnya siswa untuk membuang
sampah pada tempatnya, dan rendahnya pengetahuan siswa pada materi “Lingkungan
hidup dan Pembangunan Berkelanjutan”. Kemampuan ekoliterasi pada dasarnya dapat
ditingkatkan melalui sebuah pembelajaran baik pembelajaran secara langsung pada
institusi Pendidikan, maupun pembelajaran yang diperoleh dari pengalaman pada setiap
individu manusia. Di institusi Pendidikan siswa dapat meningkat pemahaman ekoliterasi
melalui pembelajaran salah satunya pada mata pelajaran geografi.

Kemampuan ekoliterasi seseorang tentu memiliki manfaat tersendiri. Goleman, et


al (2012 : 16-17) berpendepat bahwa karakteristik individu yang paham akan ekoliterasi
adalah sebagai berikut

1. Orang-orang yang memiliki ekoliterasi yang baik menyadari bahwa mereka


merupakan anggota dari kelompok yang beragam dalam suatu komunitas dengan
tujuan yang sama.
2. Orang-orang yang paham akan ekoliterasi cenderung menyadari bahwa dalam
sistem lingkungan hidup terdapat banyak ineraksi didalamnya.
3. Orang-orang ekoliterasi selalu berpikir untuk memenuhi kebutuhan generasi saat
ini sekaligus mendukung lingkungan alam untuk mampu menyediakan dan
menopang kehidupan manusia dimasa mendatang.

Sesuai pandangan Goleman diatas menunjukkan bahwa manusia ekoliterasi


membutuhkan suatu pengakuan sebagai anggota dari suatu kelompok yang peka akan
lingkungan, selain itu manusia yang paham akan ekoliterasi berusaha untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan tetap memperhatikan keberlangsungan alam untuk dapat
memenuhi kebutuhan manusia digenerasi mendatang. Dengan demikian individivu yang
memiliki ekoliterasi tinggi tidak akan merusak lingkungan alam. Pemahaman akan
ekoliterasi tentu penting untuk diterapkan dan ditanamkan kepada peserta didik, hal
tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan pembelajaran di dalam kelas pada mata
pelajaran geografi.
Geografi sebagai sebuah ilmu yang mampu menunjang kehidupan manusia
memiliki peran penting dalam peningkatan ekoliterasi siswa. Lingkup bidang geografi
yang luas memungkin peserta didik memperoleh jawaban atas pertanyaan yang
berhubungan dengan aspek spasial dan ekologis serta hubungannya dengan manusia.
Sebagai suatu ilmu yang menekankan pada integrativitas, pemaduan dimensi alam fisik
dengan dimensi manusia sangatlah diperlukan dalam menelaah kehidupan manusia dan
interaksinya dengan lingkungan (Hana Fairuz, 2019 : 3). Mata pelajaran geografi pada
dasarnya mampu membangun dan mengembangkan pemahaman ekoliteraasi peserta
didik, pemahaman variasi spasial dan perlakuannya oleh masyarakat dan pemahaman
akan aspek dan proses fisik sebagai pembentuk geomorfologi bumi. Selain itu dengan
belajar geografi peserta didik dituntuk untuk memahami dan menelaah kedudayaan dan
pengalamanan (Experient) mempengaruhi persepsi manusia terhadap suatu region dan
lingkungannya. Healey dan Jenkins (2014 : 186) menjelaskan “with the expansion of
higher education in many countries and the increasing emphasis on acces, diversity,
retention rates, and life-long learning, there good reason to explore the nature of different
learning style. Indeed, given the increased recognition within geography of recognizing
and valuing gender and cultural diversity, the theory is particularly relevant” .

Kecenderungan yang terjadi bahwa pada peserta didik mereka memahami materi
yang terdapat pada mata pelajaran geografi tidak secara integrative dan menyeluruh
melainkan hanya parsial saja Bradbeer, dkk (2014 : 20). Materi geografi apabila dipelajari
secara integrative diharapakan akan mampu menunjang pemahaman daya nalar dan
keterampilan serta meningkatkan ekoliterasi peserta didik mengingat pentingnya
ekoliterasi untuk menjaga kelangsungan lingkungan hidup kedepannya. Kenyataannya di
lapangan kemampuan ekoliterasi peserta didik di Indonesia sangatlah rendah, hal ini
tercermin dari sikap ketidakpedulian siswa yang masih tinggi terhadap keadaan
lingkungan sekolah yang ditunjukkan dengan perilaku masih banyaknya peserta didik
yang masih membuang sampah secara sembarangan ( Kurniasari, Edu Humaniora : Jurnal
Pendidikan dasar, 2018 : 133-139). Pendidikan yang didalamnya memuat pengetahuan
akan lingkungan dan kelangsungan lingkungan hidup akan mendorong dengan baik
terciptanya siswa yang memiliki intelekual ekologi yang tinggi, sehingga siswa
diharapkan mampu tumbuh menjadi pribadi yang sadar dan bertanggungjawab atas
kondisi dan keberlangsungan lingkungan dikemudian hari.

Berdasarkan uraian diatas, dalam upaya meningkatkan pemahaman ekoliterasi


siswa tentu dibutuhkan suatu pendekatan pembelajaran atau model pembelajaran yang
diharapkan mampu meningkatkan pemahaman ekoliterasi baik pemahaman secara
kognitif maupun kemampuan ekoliterasi dalam aktivitas sehari-hari sebab menurut
Brookhart (2010) kemampuan bernalar individu salah satunya dapat ditingkatkan melalui
pembelajaran disekolah. Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam
upaya peningkatan ekoliterasi peserta didik adalah dengan model Experiential Learning.
Pemilihan model Pembelajaran Experiential Learning oleh peneliti sebab menurut
peneliti model pembelajaran ini mampu membuat proses pembelajaran menjadi lebih
menyenangkan dalam upaya mengetahui kemampuan ekoliterasi siswa karena didasarkan
pada pengalaman konkret yang dialami oleh peserta didik dalam kehidupannya.

Penerapan model pembelajaran experiential learning dalam proses pembelajaran


diharapkan mampu menimbulkan sikap terbuka pada setiap individu peserta didik,
terlibat secara langsung dan mampu berbagi pengalaman konkret mengenai materi yang
dibahas serta mendorong siswa untuk mengkonstruksikan kecerdasan kognitif dari
pengalaman yang mereka alami serta menghubungknnya dengan teori, dan pada akhirnya
peserta didik mampu menyimpulkan dan memberikan pendapat secara langsung didepan
kelas atas hasil pembelajaran yang diperoleh.

Model pembelajaran Experiential Learning pertama kali dikenalkan oleh David


Kolb. Model ini muncul seiring berkembangnya paham dan teori humanistik dalam dunia
pembelajaran. Teori belajar humanistik lebih menekankan pada isi dan makna dari suatu
pelajaran yang dipelajari daripada proses belajar itu sendiri. Selain itu teori belajar
humanistik juga menekankan pada penemuan potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh
peserta didik yang kemudian potensi dan kemampuan tersebut dikembangkan melalui
sebuah pembelajaran. Teori belajar humanistik beranggapan bahwa perilaku belajar
sangat ditentukan oleh peserta didik itu sendiri bukan berdasarkan sudut pandang pihak
ketiga. Guru hanya berperan sebagai fasilitator dan sepenuhnya membimbing siswa untuk
mengenali dirinya sebagai manusia yang unik dan menekankan pada diri individu bahwa
setiap individu memiliki potensi yang harus dikembangakan. Muara akhir dari teori
belajar humanistic ini adalah memanusiakan manusia

David Kolb (1984) menyatakan bahwa dalam experiential learning tingkat


pemahaman siswa diperoleh dari proses mentransformasikan sebuah pengalaman. Belajar
berdasarkan pengalaman berpusat pada pengalaman konkret individu sehingga akan
menimbulkan sikap terbuka pada peserta didik dan mampu membimbing dirinya sendiri
dalam upaya mencapai tujuan belajar. Exprential learning theory menekankan pada
pembelajaran dengan mengenalkan masalah dan fenomena-fenomena yang didasarkan
pada pengalaman nyata peserta didik yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan permasalahan yang disajikan diatas, peneliti ingin mencoba untuk
menjadikan pengalaman yang telah dialami peserta didik sebagai upaya untuk
meningkatkan kegiatam ekoliterasi pada diri mereka. Adapun judul yang ingin diteliti
pada penelitian ini adalah “Implementasi Model Experiential Learning Dalam
Meningkatkan Ekoliterasi Siswa Kelas XI IPS SMAN 89 Jakarta”

C. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian diatas, maka permasalahan yang


menjadi pokok penelitian dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Rendahnya kemampuan dan pemahaman ekoliterasi pada peserta didik jenjang


Sekolah Menengah Atas (SMA)
2. Belum adanya suatu proses pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan
dan meningkatkan ekoliterasi siswa
3. Perlunya suatu model pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan
ekoliterasi siswa

D. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah maka peneliti membatasi penelitian ini berfokus
pada implementasi model experiential learning dalam meningkatkan ekoliterasi siswa
kelas XI IPS 1 SMAN 89 Jakarta. Hal ini bertujuan agar penelitian ini lebih terfokus dan
hasil penelitian dapat berjalan dengan maksimal

E. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini “Bagaimanakah Implementasi
Model Experiential Learning Dalam Meningkatkan Ekoliterasi Siswa Kelas XI IPS 1
SMAN 89 Jakarta Melalui Pembelajaran Geografi ?”

F. Kegunaan Penelitain
1. Manfaat Teoritis
Memberikan pemahaman mengenai upaya peningkatan pemahaman ekoliterasi
melalui pembelajaran geografi dengan menerapkan model experiential learning
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Sekolah
Penelitian ini dapat membantu meningkatkan pemahaman ekoliterasi siswa
dan berimplikasi pada penerapan model pembelajaran experiential learning
sebagai upaya memajukan sistem pembelajaran sekolah.
b. Bagi Guru
Penelitian ini dapat memberikan inovasi baru bagi tenaga pendidik dalam
membangun kelas yang menyenangkan melalui pembelajaran berbasis
pengalaman dari peserta didik itu sendiri. Selain itu penelitian ini mampu
menambah pengetahuan dan penguasaan kelas oleh guru sebagai fasilitator
dan mediator tidak lagi berfokus pada penyampaian materi saja.
c. Bagi Siswa
Memudahkan siswa dalam upaya memahami pembelajaran karena didasarkan
pada pengalaman mereka dan turut serta mendorong siswa agar peka terhadap
lingkungannya sehingga memiliki kemampuan ekoliterasi yang baik.
d. Bagi Peneliti
Bagi peneliti manfaat penelitian ini mampu menambah khasanah pengatahuan
peneliti yang berkaitan mengenai Model Experiential Learning Theory (ELT)
dalam penerapannya untuk meningakatkan ekoliterasi siswa dan mendeteksi
permasalahan yang ditimbulkan dalam penerapannya.

G. Deskripsi Teori
1. Hakikat Pembelajaran Humanistik
Pembelajaran dalam teori humanistik sangat ditujukan dengan
tujuanmemanusiakan manusia itu sendiri. Sehingga dalam pelaksanaanya teori
humanistik lebih bersifat abstrak dan lebih mengedepankan pada pembelajaran
yang menekankan teori kepribadian, kognitif dan perkembangan psikomotorik
siswa daripada psikologi belajar peserta didik. Teori belajar humanistik lebih
menekankan pada isi dan makna dari suatu pelajaran yang dipelajari daripada
proses belajar itu sendiri. Teori belajar humanistik lebih bersifat natural dimana
proses belajar berlangsung sebagaiman apa adanya, sehingga diharapkan mampu
membetuk pembelajaran yang ideal. Pelaksanaan teori belajar humanistik nampak
pada pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausubel melalui “Meaningfull
Learning” atau pembelajaran yang bermakna dimana ini merupakan bagian dari
ranah pengetahuan dalam humanistik. Ausubel berpendapat bahwa kegiatan
belajar merupakan asimilasi yang bermakna, dimana materi belajar dihubungkan
dan diasimilisakin dengan pengetahuan yang telah melekat dan ada pada siswa
sebelumnya. Dalam mengasimilasikan hal tersebut faktor pengalaman emosional
dan motivasi sangatlah dibutuhkan. Karena pada dasarnya tanpa motivasi seorang
peserta didik tidak dapat mengasmisilasikan pengetahuan baru kedalam struktur
kognitif yang telah ada pada dirinya.

Teori belajar humanistik berpendapat bahwa segala jenis teori belajar dapat
dimanfaatkan selagi tujuan utamanya adalah untuk memanusiakan manusia. Hal
tersebut menjadikan teori belajar ini lebih bersifat eklektif dimana pembelajaran
humanistik mampu berdampingan dengan teori belajar lainnya ketika diterapkan
sehingga menimbulkan keselarasan dalam kegiatan belajar. Perbedaan antara
pandangan belajar menimbulkan perbedaan sudut pandang dalam kegiatan
belajar, sifat dari teori pembelajaran yang elektif tadi memungkinkan
pembelajaran humanistik dalam mencapai tujuannya untuk memanusikan
manusia haruslah dilakukan. Tokoh Pendidikan yang menganut paham
humanistik ini antara lain yaitu Honey dan Munford mengenai pembagian macam-
macam siswa, Huburmas dengan teori “Tiga macam tipe belajar” , Bloom dan
Karthwhol dengan “Taksonomi Bloom” , dan David Allen Kolb dengan
“Experiential Learning”. Pada penelitian ini peneliti lebih tertarik untuk
membahas model pembelajaran experiential learning dari David Kolb sebagai
bagian dari paham humanistik yang lebih menekankan pada pengalaman konkret
yang dialami oleh peserta didik.

2. Model Pembelajaran Experiential Learning Theory (ELT)


A. Pengertian Model Experiential Learning
Istilah “model” dapat diartikan sebagai sebuah kerangka atau pedoman dalam
melaksanakan suatu kegiatan. Atas dasar istilah tersebut maka model
pembelajaran memiliki arti sebagai kerangka konseptual yang tersusun secara
sistematik dalam kegiatan pembelajaran guna mecapai tujuan belajar dan
memiliki fungsi sebagai pedoman dan rujukan bagi tenaga pendidik dalam
mengelola kelas belajar agar kondusif dan menimbulkan interaksi dua arah
yang seimbang antara peserta didik dengan tenaga pendidik. Experiential
learning merupakan suatu model pembelajaran holistic yang dikemukakan
oleh David Allen Kolb dimana dalam experiential learning experient
(pengalaman) menjadi faktor utama dan berperan penting dalam kegiatan
belajar. Pengalaman inilah yang menjadi pembeda anatara experiential
learning sebagai bagian dari paham humanistik dengan teori belajar
behaviorisme dan kognitif (Kolb, 1984).

Menurut Association for Experiential Education (AEE), experiential learning


dianggap sebagai falsafah dan metode dimana guru terlibat secara langsung
dalam memberikan motivasi ke peserta didik dan merefleksikannya untuk
meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan keterampilan peserta didik
tersebut. Dalam aktivitasnya penerapan experiential learning mendorong
siswa dalam upaya meningkatkan kegiatan bertanya, lebih banyak berpikir,
mengeksplore, membuat keputusan serta menerapkan segala yang telah
dipelajari sebelumnya atau berdasrkan pengalaman terdahulu. Sebagai proses
belajar experiential learning menekankan media pembelajaran melalui proses
perubahan pengalaman individu. Menurut Kolb expetriential learning lebih
berfokus pada kegiatan belajar yang diperuntukan bagi indivual dan sebagai
pendekatan yang berpusat pada siswa yang dilandasi oleh pemikiran bahwa
pembelajaran terbaik lahir dari pengalaman. Pengalaman belajar akan efektif
bila dalam kegiatan belajar memperhatikan alur pembelajaran mulai dari
pengaturan tujuan, melaksanakan observasi dan experiment, memerikasa
ulang dan perencanaan kegiatan belajar. Apabila proses tersebut dilalui
dengan baik maka memungkinkan siswa untuk belajar keterampilan yang
baru, sikap baru bahkan berujung pada cara berpikir yang baru.
B. Konsep dan Siklus Model Experiential Learning
Experiential Learning Theory (ELT) yang dikemukan Kolb merupakan dasar
dari terbentuknya model pembelajaran experiential learning. Dalam model
belajar Kolb ini pengalaman memiliki peran yang sentral. Peserta didik
diminta untuk mengembangkan dan membangun ranah kognitif dan
psikomotorik mereka melalui sebuah pengalaman yang dialami. Dalam hal
tersebut, experiential learning berperan sebagai stimulus untuk mendorong
siswa dalam menciptakan pembelajaran yang sesuai dengan harapan. Tujuan
model pembelajaran ini adalah untuk meningkatkan belajar siswa
berdasakarkan pengalamannya melalui cara berikut :
a. Meningkatkan dan mengubah struktur pengetahuan kognitif siswa
b. Mengubah afektif peserta didik menjadi lebih baik, dan
c. Mengembangan keterampilan dan pengetahuan melalai pengalaman
yang telah dialami oleh peserta didik tersebut.
Ketiga hal diatas merupakan satu kesatuan yang utuh dalam pembelajaran
berbasis pengalaman, dimana apabila satu bagian saja tidak terpenuhi maka
pembelajaran tidak akan berjalan efektif.

David Kolb menyatakan bahwa 4 tahapan dalam proses pembelajaran


experiential learning yang dikemukannya meliputi :
- Tahap pengalaman konkrit (Concreate Experient)
Tahapan paling awal dalam proses belajar yakni individu mampu
menceritakan kembali suatu peristiwa yang dialaminya sebagaimana apa
adanya. Namun pada tahap ini individu belum memahami hakekat dari apa
yang dialaminya tersebut. Individu hanya bisa merasakan apa yang ia alami
dan belum mampu memahami dan menjelaskan bagaimana peristiwa itu
dapat terjadi. Dalam proses belajar kemampuan inilah yang dimiliki oleh
individu dalam proses belajar ditahap awal.
- Tahap pengamatan aktif dan reflektif (Reflection Observation)
Seiring beerkembang dan berjalannya proses belajar, kemampuan
seseorang dalam melakukan observasi terhadap suatu peristiwa yang terjadi
akan semakin aktif. Individu akan semakin matang dalam merefleksikan
peristiwa yang dialaminya sehingga mengembangkan kemampuan berpikir
mengenai bagaimana suatu fenomena dapat terjadi dan mengapa hal
tersebut mesti terjadi. Kemapuan inilah yang timbul pada tahap kedua
proses belajar yang dikemukan Kolb.
- Tahap Konseptualisasi (Abstract Conceptualization)
Pada tahap ini individu sudah mampu mencoba dalam hal menyusun
abstrak, mengembangkan konsep dan teori maupun prosedur terjadinya
sesuatu sesuai dengan apa yang menjadi fokus perhatiannya. Kemampuan
berpikir induktif individu terus diasah dalam tahap ini dalam upaya
merumuskan dan mengeneralisasikan peristiwa yang dialaminya.
- Tahap eksperimentasi aktif (Active Experimentation)
Pada tahap ini individu sudah memiliki kemampuan dalam
mengaplikasikan suatu konsep atau teori dalam kehidupan nyata. Berpikir
deduktif individu terus diasah dalam upaya menguji teori dan konsep
dilapangan. Indivi pada tahap ini telah mampu menggunakan teori dan
konsep tersebut dalam upaya pemecahan masalah yang dihadapinya.

Secara sederhana keempat tahapan belajar David Kolb tersebut dapat dipahami
dalam siklus berikut :

Concreate Experient
(emotions and feel)

Active Experimentation
Reflection Observation
(Doing)
(Watching)

Abstract Conceptualization
(Thinking)

Bagan Experiential Learning, Kolb (1984)


Menurut Experiential Learning Theory terdapat 4 kemampuan yang harus
dimiliki siswa dalam menjadikan pembelajarannya menjadi efektif (Nasution
dalam Burhanudin, 2007 : 167) , hal tersebut dapat dipahami pada table berikut
Kemampuan Uraian Pengutamaan
Concreate Siswa melibatkan dirinya dengan Feeling
Experient (CE) penuh pada pengalaman baru
Reflection Siswa melakukan observasi dan Watching
Observation (RO) refleksi terhadap pengalamannya
dari berbagai aspek
Abstract Siswa berupaya menyusun Thinking
conceptualization konsep yang mereka pahami dan
(AC) mengintegarsikan observasinya
menjadi sebuah teori
Active Experiment Kemampuan siswa dalam Doing
(AE) memecahkan masalahnya dan
membuat simpulan dengan
menggunakan teori yang mereka
pahami
Table 1. Kemampuan Siswa dalam Proses Experiential Learning
Berdasarkan uraian tersebut pada pembelajaran experiential learning
menekankan bahwa setiap individu merupakan bagian yang unik karena
pengalaman yang timbul dari setiap murid tentu akan berbeda-beda dari apa yang
telah individu pelajari. Hal inilah yang membedakan experiential learning
dengan model pembelajaran lainnya. Siklus belajar dalam experiential learning
seperti pada bagan diatas menunjukkan bahwa proses belajar dimulai dari
pengalaman konkrit siswa, selanjutnya pengalaman tersebut direfleksikan dan
diobservasi oleh peserta didik. Hasil dari proses refleksi akan diakomodasikan
dengan struktur pengetahuan atau kognitif siswa (konseptualisasi abstrak) yang
pada akhirnya akan bermuara pada upaya pemecahan masalah (active
experiment) oleh peserta didik. Hasil dari pemecahan masalah tersebut akan
menuntun kembali peserta didik pada tahap pengalaman konkrit dan model
experiential learning akan dirasa berhasil apabila siswa memperoleh pengalaman
konkrit baru terhadap apa yang telah dipelajarinya sebagai upaya menambah
pengalaman yang telah ada pada dirinya.

Experiential learning Theory menekankan pada pemebelajaran yang menggali


keunikan dan perbedaan pada setiap individu siswa karena pengalaman yang
dialami setiap siswa mungkin berbeda, sehingga gaya belajar pada setiap siswa
akan berbeda pula. Sehingga dengan menggunakan learning style inventory
David Kolb yang dikembangkannya Kolb membagi gaya belajar siswa menjadi
empat jenis gaya belajar, yaitu :
- Assimilator (AC/RO), kombinasi antara aspek berpikir dengan mengamati
(thinking and watching). Siswa dengan tipe ini memiliki kemampuan
dalam memahami berbagai informasi yang diamatinya dan merangkumnya
menjadi suatu yang logis, singkat dan jelas. Siswa pada tipe ini lebih
menyukai pemahaman pada konsep-konsep yang abstrak.
- Converger (AC/AE), gabungan antara aspek berpikir dan tindakan (feeling
and doing) dimana siswa dengan gaya belajar ini lebih menyukai soal
dengan jawaban tertentu, tidak mengandalkan emosional dan memiliki
minat terhadap ilmu alam dan Teknik.
- Acommodator (CE/AE), gabungan antara perasaan dan tidakan (feeling and
doing) dimana siswa dengan gaya belajar ini memiliki daya tarik pada hal-
hal konkret, memiliki intuitif yang baik, rasa sabar yang kurang dan apabila
terdapat teori yang tidak sesuai fakta maka peserta didik akan
mengabaikannya.
- Diverger (CE/RO). Kombinasi dari perasaan dan pengamatan (feeling and
watching) Siswa dengan tipe ini memiliki daya tarik terhadap hal-hal yang
imajinatif dan lebih suka dengan hal yang sifatnya humaniora sehingga
cenderung tertarik pada ilmu sosial
Secara sederhana hubungan gaya belajar David Kolb dengan siklus
pembelajaran experiential learning dapat dipahami pada gambar berikut
Gambar Kolb’s Learning Style

Hamalik (2011), hal-hal yang harus diperhatikan dalam penerapan Experiential


Learning Theory anatara lain :
1. Peran guru dalam merumuskan rencana pengalaman belajar sangatlah
penting. Rencana belajar tersebut haruslah bersifat terbuka (open minded)
sehingga hasilnya diharapkan sesuai denga tujuan belajar
2. Pemberian motivasi dan rangsangan belajar oleh guru sangat dibutuhkan
dalam penerapan experiential learning
3. Dalam penerapannya siswa dapat bekerja secara individu maupun kelompok
dalam menyusun pembelajaran berbasis pengalaman
4. Siswa aktif dalam pengalaman yang tersedia, berusaha memecahkan
permasalahan serta membuat keputusan sendiri atas sebuah permasalahan
yang sedang ia pecahkan.
5. Seluruh siswa menyeritakan kembali tentang apa yang mereka alami yang
berhubungan dengan materi pembelajaran untuk memperluas pengalaman
belajar siswa dam meningkatkan ranah kognitif mereka.

C. Perkembangan belajar dalam experiential learning


David Kolb (dalam Baharuddin 2007 : 170) menjelaskan bahwa terdapat tiga
fase dalam perkembangan belajar individu yaitu :
1. Proses pengumpulan pengetahuan (Acquisition), pada proses ini peserta
didik berusaha mengumpulkan pengetahuan dari berbagai sumber guna
memperluas kemampuan kognitif yang telah mereka miliki.
2. Proses pemusatan perhatian pada bidang tertentu yang mungkin disukai
oleh peserta didik (Specilization), pada bagian ini peserta didik akan
mencoba memusatkan pembelajarannya terhadap apa yang ia minati.
dalam tahap ini upaya meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
khusus sesuai yang minatnya sedang gencar-gencarnya, dimana
pembelajaran akan lebih menyenangkan apabila menyukai atau memiliki
minat terhadap suatu hal tersebut.
3. Menaruh minat pada bidang atau hal yang kurang diminati sehingga
muncul minat baru dan tujuan belajar yang baru.

Berlandaskan anggapan dari Piaget (dalam Surna & Pandeirot 2014 : 63) salah
satu dari empat faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif individu
adalah active experience, dimana dalam experiential learning pengalaman
mampu membentuk sebuah pembelajaran. Pada active experience proses
pembangunan pengetahuan mensyaratkan individu untuk berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya. Active experience berupaya merangsang proses
asimilasi dan akomodasi pengetahuan kognitif individu sehingga diharapkan
perkembangan kognitif dapat berjalan dengan baik. Dalam perkembangan
belajar model experiential learning, meskipun pada awal kegiatan belajar
peserta didik lebih menyukai dan condong pada tahap gaya belajar tertentu,
namun pada proses perkembangan belajar yang lebih matang selanjutnya
diharapkan siswa mampu mengintegrasikan semua proses belajar.

3. Hakikat Literasi Ekologi (Ekoliterasi)


A. Definisi Ekoliterasi
Permasalahan lingkungan secara global menjadi hal serius yang harus
diperhatikan oleh semua pihak. Pada dasarnya permasalahan lingkungan
hidup timbul karena adanya aktivitas manusia yang berusaha untuk
mengeksploitasi lingkungan hidup secara berlebihan tanpa memperhatikan
keberlanjutan dari kualitas dan kuantitas sumberdaya yang ada di lingkungan
tersebut. Hal seperti inilah yang harus diperhatikan oleh manusia sebagai
bagian lingkungan tersebut, seiring dengan penjelasan diatas maka
kemampuan pemecahan permasalahan lingkungan menjadi salah satu hal yang
harus dimiliki oleh individu dan dapat dipelajari di lingkungan sekolah
maupun instansi pendidikan lainnya dalam upaya menciptakan manusia yang
sadar akan kerberlangsungan lingkungan melalui ekoliterasi.

Pemecahan permasalahan lingkungan oleh siswa merupakan suatu proses


yang dilaksanakan oleh peserta didik dalam upaya pemahaman, perencanaan,
dan pemecahan masalah mengenai lingkungan hidup. Berlandas pada
pernyataan tersebut maka kemampuan ekoliterasi memiliki peran penting
yang harus dikuasai oleh peserta didik dalam mengatasi permasalahan
lingkungan melalui sebuah pembelajaran di kelas yang menekankan pada
pengetahuan, perilaku, dan sikap. Menurut Capra dan Keraf ( 2014 : 147 )
ekoliterasi diartikan sebagai suatu keadaan dimana individua tau kelompok
masyarakat telah paham akan prinsip-prinsip ekologi dan menjalankan
kehidupannya berlandaskan pada prinsip tersebut dengan pola pikir bahwa
manusia haruslah mampu membangun kehidupan yang berkelanjutan. Dalam
penelitian yang dilakukan Ramos (2011 : 235) menyatakan bahwa ekoliterasi
merupakan pendekatan khusus maupun simbolis yang dilakukan oleh manusia
terhadap lingkungan alamnya. Kemampuan ekoliterasi tidak hanya
menganggap suatu lingkungan hanya sebagai ruang atau space yang
berdiferensiasi dengan ruang lainnyayang hanya dihuni oleh manusia. Dalam
penelitian ini kemampuan analisis dalam upaya memcecahkan permasalahan
lingkungan hidup melalui kemampuan ekoliterasi yang peserta didik miliki
dirasa penting untuk mewujudkan generasi yang melek ekologi dari segi
kognitif, perilaku dan sikap sehingga diharapkan mampu mewujudkan
manusia ekoliterasi yang memegang teguh prinsip keberlanjutan.

Pada awal kemunculan nya literasi ekologi atau ekoliterasi dikenal dengan
ecological awareness. Kegiatan ekoliterasi tidak hanya membangkitkan rasa
kesadaran untuk peka dan peduli terhadap lingkungan hidup, melaikan juga
paham akan prinsip-prinsip ekologi sebagai upaya mewujudkan kehidupan
yang berkelanjutan di permukaan bumi. Di dalam Draft Global Pilot (2011)
terdapat lima aspek-aspek penting dalam ekoliterasi yang meliputi :
1. Prinsip sistem kehidupan (Principles of living system), dalam hal ini
ekoliterasi berupaya untuk menghubungkan kembali peserta didik dengan
sistem kehidupan yang telah dialaminya sebagai suatu pengalaman berarti
dalam mengkonstruksikan dengan pembelajaran selanjutnya.
2. Inspirasi desain alam (Desain inspired by nature), ekoliterasi sebagai
desain alam berarti bahwa melalui kegiatan ekoliterasi segala sesuatu yang
ada dalam masyarakat haruslah sejajar dengan prinsip alam.
3. Sistem berpikir (systems thinking), menjelaskan bahwa ekoliterasi
memiliki kaitan dengan cara berpikir yang mengedepankan pada
keterkaitan, keterhungan dan konteks antara manusia dengan alamnya.
4. Paradigma ekologi dan transisi berkelanjutan (ecological paradigm and
transition to sustainability), ekoliterasi dimaksudkan sebagai sarana untuk
memicu perubahan pemahaman akan ekologi dalam skala yang besar
dalam bagaimana keberalngsungan kehidupan manusia dibumi.
5. Kolaborasi, pembangunan masyarakat dan warganegara (collaboration,
community building and citizenship), ekoliterasi menekankan pada
kolaborasi dan partnership antar berbagai pihak dalam mendukung
keberlangsungan lingkungan secara bersama-sama sebagai bagian dari
suatu kelompok yang peka akan lingkungan hidup.

Roth dalam Wright (2008) menyatakan bahwa ekoliterasi dinilai dari tiga
tahapan yang berkesinambungan satu sama lain yang meliputi ekoliterasi
nominal, fungsional dan operasional. Individu yang berada pada tahap nominal
ecoliteracy merupakan mereka yang memiliki sedikit pemahaman akan isu
lingkungan, rendahnya ketertarikan dan minimnya tindakan nyata dalam
menghadapi isu permasalahan lingkungan. Individu yang sudah pada tahap
functional ecoliteracy adalah mereka yang telah menggunakan pengetahuan,
pemhaman konsep dan kemampuan berpikir rasional dalam upaya
mengkonstruksikan rencana-rencana yang sesuai dalam mengatasi
permasalahan dan isu lingkungan. Sedangkan individu yang telah berada pada
tahap operasional ecoliteracy mereka telah memiliki tingkat pemahaman yang
komprehensif berdasarkan pemahaman kognitif akan isu lingkungan dan
permasalahannya sehingga akan timbul pertanyaan, analisis, deduksi, logika
dan objektivitas sebagai upaya untuk lebih memahami dan menggali isu
lingkungan. Kemampuan ekoliterasi individu yang telah sempurna berada pada
tahapan operational ecoliteracy ini.

Ecoliteracy yang individu miliki dapat berfungsi sebagai wadah individu


tersebut dalam memecahlan isu dan permasalahan lingkungan sebagaimana
yang dikemukakan oleh Peer, Goldman dan Yavetz (2007) bahwa “one
purpose in developing environmental literacy is to empower people with a
belief in their ability to contribute to environmental solutions throught
personal behaviour, either as an individual or part of a group”. Selanjutnya
prinsip-prinsip ekologi tadi menjadi acuan bagi terciptanya komunitas belajar
yang berbasis sustainable development. Dengan demikian literasi ekologi
menjadi tanda atau tahapan pertama bagi munculnya pembangunan komunitas
yang yang paham akan keberlanjutan lingkungan. Tahapan kedua adalah
ecodesign atau rancangan berekologi dimana dalam hal ini mulai dibangunnya
rancangan akan tindakan yang mengedepankan ecological misalnya seperti
ecofarming, ecocity, ecophycology dan lain sebagainya. Dan pada tahap ketiga
yakni munculnya komunitas-komunitas berkelanjutan yang menempatkan
dirinya pada kesadaran ekologi dan memegang prinsip ekologi dengan teguh.

Berdasarkan berbagai pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa


kemampuan ecoliteracy menggambarkan akan rasa sadar individu terhadap
akan pentingnya lingkungan hidup. Individu yang telah memiliki ecoliteracy
pada dirinya dengan begitu adalah manusia yang telah menyadari akan
pentingnya lingkungan hidup sebagai bagian dari ekosistem sehingga hal
tersebut perlu dijaga sebagai tempat tinggal dan berkembangnya kehidupan
manusia di bumi. Pemahaman akan ecoliteracy akan menimbulkan pola dan
gaya hidup yang memperhatikan lingkungan dan apabila hal tersebut dilakukan
oleh kelompok masyarakat yang lebih luas maka memungkinkan akan
terciptanya masyarakat berkelanjutan

B. Komponen Ekoliterasi
Kemampuan literasi ekologi memiliki empat komponen yang meliputi
pengetahuan, keterampilan, kecenderungan afektif, dan perilaku (Roth :
1992). Sedangkan menurut McBert & Volk (2010) komponen ecoliteracy
meliputi tiga komponen yaitu pengetahuan lingkungan (ecological
knowledge); sikap terhadap lingkungan (environmental affect) yang meliputi
komitmen verbal, sikap umum pada lingkungan dan kepekaan terhadap
lingkungan; ketiga yaitu keterampilan kognitif (cognitive skills) yang
didalamnya meliputi proses identifikasi masalah, analisis masalah, rencana
aksi dan perilaku lingkungan yang tepat. Pengetahuan ekologi memiliki arti
bahwa pemahaman akan permaslahan lingkungan akan menimbulkan rasa
kepedulian pada lingkungan yang memunculkan aksi nyata dalam mengatasi
permasalahan yang ada. Perilaku lingkungan yang erat kaitannya dengan
literasi ekologi pada individu memiliki tujuan untuk mendukung individu
tersebut dalam mempertimbangkan aksi-aksi nyata ketika mengelola
lingkungan dan menjaga keberlngsungan lingkungan tersebut.
Pengetahuan kognitif akan ekologi merupakan hal yang harus pertama kali
dimiliki atau dikuasai oleh manusia untuk menciptakan literasi ekologi. Hal
ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Karatekin (2013) bahwa “ in order
for an individual to be environmentally literate, first of all, that individual
needs to have knowledge of environment and environmental problem”. Selain
pengetahuan ekologi yang dimiliki manusia, literasi ekologi yang baik juga
terbentuk karena adanya interaksi yang saling mempengaruhi antara manusia
dengan lingkungan sekitar. Komponen ecoliteracy dirumuskan secara
sederhana oleh The Center for Ecoliteracy menjadi sebuah kompetensi untuk
membantu individu mampu menjalankan hidup dalam masyarakat yang
memegang teguh prinsip keberlanjutan. Kompetensi tersebut erat kaitannya
dengan the head (learning to know), the heart (learning to be), the hands
(learning to do) dan the spirit (learning to live together).

Berdasarkan komponen-kompononen mengenai ecoliteracy diatas, dalam hal


ini peneliti menyimpulkn bahwa komponen ecoliteracy terdiri atas tiga hal
pokok yaitu pengetahuan, perilaku dan sikap terhadap lingkungan.
Pengetahuan ekologi meliputi fundamental ecological principles and
processes, global environmental issues, local environmental issues dan
strategies for environmental action. Perilaku ekologis merupakan perilaku
manusia yang berhubungan dengan keberlangsungan lingkungannya.
Sedangkan sikap ekologis didalamnya terdapat pandangan akan pentingnya
pendidikan lingkungan diintegrasikan kedalam pendidikan di sekolah,
perspektif dan pandangan guru mengenai lingkungan, dan hubungan timbal
balik lingkungan dengan manusia.

C. Faktor yang Mempengaruhi Ecoliteracy


Ecoliteracy pada setiap individu tentu akan berbeda-beda sesuai dengan faktor
yang melatarbelakanginya dimana dalam penelitian Karatekin (2013)
ecoliteracy guru yang mengajar ilmu geografi memiliki kesadaran lingkungan
dan pengetahuan akan lingkungan pada level tertinggi hal ini berkaitan dengan
fakta bahwa pelajaran geografi merupakan disiplin ilmu yang didalamnya
secara langsung belajar tentang lingkungan hidup didalam kelas mapun diluar
kelas oleh sebab itulah guru geografi dan calon guru geografi memiliki level
literasi ekologi yang baik. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa faktor pendidikan sangat mempengaruhi kemampuan ecoliteracy pada
individu. Pada hasil penelitian Negev, et al (2008) bahwa literasi ekologi
dipengaruhi oleh karakteristik etnik serta keadaan sosial ekonomi, selain itu
mahasiswa yang berlatarbelakang mempelajari lingkungan memiliki literasi
ekologi yang lebih baik dibandingkan mahasiswa lainnya. Proses
mengaplikasikan perilaku ekologi dinilai lebih sulit dibandingkan dengan
menyerap pengetahuan kognitif mengenai ecoliteracy, hal tersebut sangat
dipengaruhi oleh interaksi individu dengan alamnya secara langsung.
Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan Jenings, Smith, & Ghosh
(2015) menunjukkan bahwa pengetahuan lingkungan dan jenis kelamin
merupakan dua faktor yang sangat berpangaruh pada diri individu dalam
perhatiannya terhadap lingkungan hidup dengan fakta bahwa wanita memiliki
kesadaran dan pengetahuan akan lingkungan hidup yang lebih tinggi
dibandingkan laki-laki.

Berdasarkan fakta dan hasil temuan diatas maka disimpulkan bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi tingkat ecoliteracy individu meliputi latar
belakang Pendidikan, pengalaman profesi, pengalaman dalam bidang
lingkungan dan ekologi serta dipengaruhi oleh perbedaan gender

H. Unit Analisis Penelitian


Unit analisis dalam penelitian sangat diperlukan dalam mengetahui dan
menetukan permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini unit analisis yang digunakan
peneliti adalah mata pelajaran geografi, ekoliterasi dan siswa kelas XI SMAN 89 Jakarta.

I. Metode dan Desain Penelitian


Dalam melakukan penelitian ini peneliti menggunakan metode pra eksperimen
(pre-experiment) dengan desain penelitian yaitu penelitian dilaksanakan dalam satu
kelompok prates das postes (One Group Pretest-Posttest Design). Sehingga diperoleh
gambaran desain penelitian sebagai berikut :

O1 x O2

Keterangan :
O1 = Pretest untuk mengetahui pemahaman ekoliterasi awal siswa kelas XI IPS 1
SMAN 89 Jakarta sebelum diberi perlakuan.
X = Perlakuan, penerapan pembelajaran dengan model experiential learning .
O2 = Posttest, untuk melihat kemampuan ekoliterasi siswa kelas XI IPS 1 setelah
diberikan perlakuan berupa model experiential learning.
J. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan secara
kuantitatif yang didalamnya meliputi kegiatann pengolahan data serta penyajian data
penelitian, perhitungan sebagai upaya mendeskripsikan data dan pengujian untuk syarat-
syarat hipotesis dan hipotesis penelitian.
DAFTAR PUSTAKA

Baharudin, H. dan Esa, W. N. (2007). Teori Belajar & Pembelajaran. Jogjakarta: ArRuzz
Media Group.

BM. Jennings, R.A. Smith, S. Ghosh, (2015). An assessment of environmental knowledge


and concern of incoming freshmen at a liberal arts institution, Ressearch Report.
US: Albright College.

Brookhart, Susan M. 2010. Assess Higher-Orderb Thinking Skills In Your Classroom.


USA : ASCD Member Book.

C. E. Roth, (1992). Environmental literacy: Its roots, evolution and directions in the
1990s. Columbus, OH: ERIC Clearinghouse for Science, Mathematics and
Environmental Education.
Capra, F. 2011. “Ecological Literacy” (Journal of Draft Global Issues Pilot August).

Goleman, Daniel. (2010). Eco Literate: How Educators are Cultivating Motional,
Social, and Ecological Intelligence. US: Jossey Bass.

Hamalik, Oemar. 2011. Proses Belajar Mengajar. Jakarta : Bumi Aksara

Hana Fairuz. 2019. Tesis “Penerapan Model Experiential Learning Dalam


Meningkatkan Daya Nalar Peseta Didik Pada Mata Pelajaran Geografi.
Bandung : Respository Universitas Pendidikan Indonesia diakses pada laman
respository.upi.edu

Karatekin, (2013). Comparison of environmental literacy levels of pre-service teachers.


International Journal of Academic Research. 5(2), h. 5-14.

Kolb, David Allen. 1984. Experiential Learning : Experience as the Source of Learning
and Development. Engelwood Cliff, NJ : Prentice Hall Publisher.
M. Wright, (2008). Web-based versus in-class: an exploration of how instructional
methods influence postsecondary students’ environmental literacy. The Journal Of
Environmental Education, 39 (1) : 33-48.
McBeth & T.L. Volk, (2010). The national environmental literacy project: a baseline
study of middle grade students in the united states. The Journal of Environmental
Education, 41 : 55–67.
Negev, G. Sagy, Y. Garb, A. Salzberg, & A. Tal, (2008). Evaluating the Environmental
Literacy of Israeli Elementary and High School Students. The Journal Of
Environmental Education, 39 (2). h. 3-21.
Ramos, A. M., & Ramos, R. (2011). “Ecoliteracy through imagery: A close reading of
two wordless picture books” (Children's Literature in Education, Vol.42, No.4) : 325.
S. Pe’er, D. Goldman, & B. Yavetz, (2007). Environmental literacy in teacher training:
attitudes, knowledge, and environmental behavior of beginning students. The Journal
Of Environmental Education, 39 (2) : 45-59.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan


R&D. Bandung : Alfabeta.

Surna, I Nyoman & Olga D Pandeirot. 2014. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Erlangga

Anda mungkin juga menyukai