Anda di halaman 1dari 78

KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN

"Aspek Legal Keperawatan Kegawatdaruratan"

Oleh :

Kelompok 4

D-IV Keperawatan Tingkat III Semester V

 Putu Yeni Yunitasari (P07120214004)


 Ni Putu Erna Libya (P07120214014)
 Ni Kadek Dian Inlam Sari (P07120214018)
 Kadek Ayu Savitri (P07120214034)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

JURUSAN KEPERAWATAN

TAHUN 2016
KATA PENGANTAR

“Om Swastyastu”

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang
Widhi Wasa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah dengan judul "Aspek Legal Keperawatan
Kegawatdaruratan"mata kuliah Keperawatan Kegawatdaruratan di Politeknik Kesehatan
Denpasar tepat pada waktu yang telah ditentukan.

Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan motivasi berbagai pihak.
Untuk itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan
yang telah membantu.

Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan


kemampuan penulis. Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
konstruktif sehingga kami dapat menyempurnakan makalah ini.

“Om Santih, Santih, Santih, Om”

Denpasar, 7 November 2015

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam pelayanan kesehatan baik di rumah sakit maupun diluar rumah
sakit tidak tertutup kemungkinan timbul konflik. Konflik tersebut dapat terjadi
antara tenaga kesehatan dengan pasien dan antara sesama tenaga kesehatan
(baik satu profesi maupun antar profesi). Hal yang lebih khusus adalah dalam
penanganan gawat darurat fase pra-rumah sakit terlibat pula unsur-unsur
masyarakat non-tenaga kesehatan.
Profesi kesehatan sering mendapat kritikan-kritikan yang cukup pedas
dari berbagai lapisan masyarakat, beberapa media massapun ikut mengangkat
berita-berita ini sampai ke permukaan.Sorotan masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan dan profesi tenaga kesehatan merupakan suatu kritik yang baik
terhadap profesi kesehatan, agar para tenaga kesehatan dapat meningkatkan
pelayanan profesi kesehatannya terhadap masyarakat.Meningkatnya sorotan
masyarakat terhadap profesi kesehatan disebabkan oleh berbagai perubahan,
antara lain adanya kemajuan bidang ilmu dan teknologi kesehatan, perubahan
karakteristik masyarakat tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa, dan juga
perubahan masyarakat pengguna jasa kesehatan yang lebih sadar akan hak –
haknya. Apabila perubahan tersebut tidak disertai dengan peningkatan
komunikasi antara tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa dan masyarakat
sebagai penerima jasa kesehatan, hal tersebut dapat menimbulkan
kesalahpahaman.
Sebenarnya sorotan masyarakat terhadap profesi tenaga kesehatan
merupakan satu pertanda bahwa pada saat ini sebagian masyarakat belum puas
terhadap pelayanan dan pengabdian profesi tenaga kesehatan terhadap
masyarakat pada umumnya dan pasien pada khususnya, sebagai pengguna jasa
para tenaga kesehatan.Pada umumnya ketidakpuasan para pasien atau
keluarganya terhadap pelayanan kesehatan karena harapannya tidak dapat
dipenuhi oleh para tenaga kesehatan, atau dengan kata lain terdapat
kesenjangan antara harapan pasien dan kenyataan yang diterima.
Ketidakpuasan inilah yang memicu terjadinya konflik antara pasien dengan
tenaga kesehatan.
Praktik Keperawatan Gawat Darurat memiliki perspektif tersendiri dalam
konteks legal keperawatan. Undang-Undang yang mengaturnya tidak
membatasi kewenangan perawat terutama dalam hal mengutamakan
keselamatan nyawa pasien. Akan tetapi perawat harus memahami bukan hanya
persoalan kompetensi apa yang boleh atau tidak dilakukan dalam tindakan
kedaruratan, lebih dari itu mengutamakan hak-hak pasien disaat kritis
merupakan hal yang esensial bagi perawat di Ruangan Gawat Darurat.
Untuk mencegah dan mengatasi konflik biasanya digunakan etika dan
norma hukum yang mempunyai tolok ukur masing-masing. Oleh karena itu
dalam praktik harus diterapkan dalam dimensi yang berbeda. Artinya pada saat
kita berbicara masalah hukum, tolok ukur norma hukumlah yang diberlakukan.
Pada kenyataannya kita sering terjebak dalam menilai suatu perilaku dengan
membaurkan tolok ukur etika dan hukum Pelayanan gawat darurat mempunyai
aspek khusus karena mempertaruhkan kelangsungan hidup seseorang. Oleh
karena itu dan segi yuridis khususnya hukum kesehatan terdapat beberapa
pengecualian yang berbeda dengan keadaan biasa.Oleh sebab itu, untuk
mencegah dan mengatasi konflik ini tenaga kesehatan harus sangat mengerti
tentang aspek legal dan etik dalam kegawatdaruratan.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimanakah sejarah perkembangan profesi keperawatan?
1.2.2 Apakah yang dimaksud dengan akuntabilitas profesi?
1.2.3 Apakah yang dimaksud dengan eksistensi keperawatan?
1.2.4 Bagaimanakah peran perawat sebagai tenaga kesehatan?
1.2.5 Apa sajakah yang termasuk aspek legal dalam keperawatan?
1.2.6 Bagaimanakah eksistensi perawat di rumah sakit?
1.2.7 Bagaimanakah standar pelayanan rumah sakit?
1.2.8 Bagaimanakah pengertian perawat menurut permenkes no. 148 tahun
2010?
1.2.9 Bagaimanakah tindakan keperawatan di rumah sakit?
1.2.10 Apa sajakah syarat dari pendelegasian?
1.2.11 Apa sajakah yang termasuk dalam aspek hokum kegawatdaruratan?
1.2.12 Bagaimanakah pengaturan pelayanan kegawatdaruratan?
1.2.13 Bagaimanakah bentuk tanggungjawab perawat?
1.2.14 Bagaimanakah kode etik perawat di Indonesia?
1.2.15 Apa sajakah tanggungjawab hukum perawat?
1.2.16 Bagaimanakah doktrin tanggungjawab hukum?
1.2.17 Bagaimanakah landasan etik moral tanggungjawab perawat?
1.2.18 Bagaimanakah perizinan praktek perawat?
1.2.19 Apa sajakah kewanangan perawat?
1.2.20 Apa itu tidakan keperawatan komplemeter?
1.2.21 Kapankah perawat dapat melakukan tugas diluar kewenangannya?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk mengetahui sejarah perkembangan profesi keperawatan.
1.3.2 Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan akuntabilitas profesi.
1.3.3 Untuk mengetahuiapa yang dimaksud dengan eksistensi keperawatan.
1.3.4 Untuk mengetahui peran perawat sebagai tenaga kesehatan.
1.3.5 Untuk mengetahuiapa saja yang termasuk aspek legal dalam
keperawatan.
1.3.6 Untuk mengetahuieksistensi perawat di rumah sakit.
1.3.7 Untuk mengetahui standar pelayanan rumah sakit.
1.3.8 Untuk mengetahui pengertian perawat menurut permenkes no. 148
tahun 2010.
1.3.9 Untuk mengetahui tindakan keperawatan di rumah sakit.
1.3.10 Untuk mengetahui syarat dari pendelegasian.
1.3.11 Untuk mengetahuiapa saja yang termasuk dalam aspek hukum
kegawatdaruratan.
1.3.12 Untuk mengetahui pengaturan pelayanan kegawatdaruratan.
1.3.13 Untuk mengetahui bentuk tanggungjawab perawat.
1.3.14 Untuk mengetahui kode etik perawat di Indonesia.
1.3.15 Untuk mengetahui tanggungjawab hukum perawat.
1.3.16 Untuk mengetahui doktrin tanggungjawab hokum.
1.3.17 Untuk mengetahuilandasan etik moral tanggungjawab perawat.
1.3.18 Untuk mengetahui perizinan praktek perawat.
1.3.19 Untuk mengetahui kewanangan perawat.
1.3.20 Untuk mengetahuiapa itu tidakan keperawatan komplemeter.
1.3.21 Untuk mengetahui kapan perawat dapat melakukan tugas diluar
kewenangannya.

1.4 Manfaat Penulisan

Diharapkan mahasiswa dapat mengerti dan memahami tentang konsep


aspek legal dalam kegawatdaruratan, dan pentingnya kode etik dalam
keperawatan sehingga dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada klien,
para perawat senantiasa memberikan pelayanan yang sesuai dengan hukum
dank ode etik yang berlaku.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Profesi Keperawatan


1. Sejarah Perkembangan Keperawatan Sebelum Kemerdekaan
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, perawat berasal dari
penduduk pribumi yang disebut “velpleger” dengan dibantu “zieken
oppaser” sebagai penjaga orang sakit. Mereka bekerja pada rumah sakit
Binnen Hospital di Jakarta yang didirikan tahun 1799.
Pada masa VOC berkuasa, Gubernur Jendral Inggris Raffles (1812-
1816), telah memiliki semboyan “Kesehatan adalah milik manusia” Pada
saat itu Raffles telah melakukan pencacaran umum, membenahi cara
perawatan pasien dengan gangguan jiwa serta memperhatikan kesehatan dan
perawatan tahanan.
Setelah pemerintah kolonial kembali ke tangan Belanda, di Jakarta
pada tahun 1819 didirikan beberapa rumah sakit. Salah satunya adalah
rumah sakit Sadsverband yang berlokasi di Glodok-Jakarta Barat. Pada
tahun 1919 rumah sakat tersebut dipindahkan ke Salemba dan sekarang
dengan nama RS. Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Dalam kurun waktu 1816-1942 telah berdiri beberapa rumah sakit
swasta milik misionaris katolik dan zending protestan seperti: RS. Persatuan
Gereja Indonesia (PGI) Cikini-Jakarta Pusat, RS. St. Carolos Salemba-
Jakarta Pusat. RS. St Bromeus di Bandung dan RS. Elizabeth di Semarang.
Bahkan pada tahun 1906 di RS. PGI dan tahun 1912 di RSCM telah
menyelenggarakan pendidikan juru rawat. Namun kedatangan Jepang (1942-
1945) menyebabkan perkembangan keperawatan mengalami kemunduran.
2. Sejarah Perkembangan Pendidikan Keperawatan setelah Kemerdekaan
a. Periode 1945 -1962
Tahun 1945 s/d 1950 merupakan masa transisi pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perkembangan keperawatan pun
masih jalan di tempat. Ini dapat dilihat dari pengembanagan tenaga
keperawatan yang masih menggunakan system pendidikan yang telah
ada, yaitu perawat lulusan pendidikan Belanda (MULO + 3 tahun
pendidikan), untuk ijazah A (perawat umum) dan ijazah B untuk
perawat jiwa. Terdapat pula pendidikan perawat dengan dasar (SR + 4
tahun pendidikan) yang lulusannya disebut mantri juru rawat.
Baru kemudian tahun 1953 dibuka sekolah pengatur rawat dengan
tujuan menghasilkan tenaga perawat yang lebih berkualitas. Pada tahun
1955, dibuka Sekolah Djuru Kesehatan (SDK) dengan pendidikan SR
ditambah pendidikan satu tahun dan sekolah pengamat kesehatan sebagai
pengembangan SDK, ditambah pendidikan lagi selama satu tahun.
Pada tahun 1962 telah dibuka Akademi Keperawatan dengan
pendidikan dasar umum SMA yang bertempat di Jakarta, di RS. Cipto
Mangunkusumo. Sekarang dikenal dengan nama Akper Depkes di Jl.
Kimia No. 17 Jakarta Pusat.
Walaupun sudah ada pendidikan tinggi namun pola pengembangan
pendidikan keperawatan belum tampak, ini ditinjau dari kelembagaan
organisasi di rumah sakit. Kemudian juga ditinjau dari masih
berorientasinya perawat pada keterampilan tindakan dan belum
dikenalkannya konsep kurikulum keperawatan. Konsep-konsep
perkembangan keperawatan belum jelas, dan bentuk kegiatan keperawatan
masih berorientasi pada keterampilan prosedural yang lebih dikemas
dengan perpanjangan dari pelayanan medis.
b. Periode 1963-1983
Periode ini masih belum banyak perkembangan dalam bidang
keperawatan. Pada tahun 1972 tepatnya tanggal 17 April lahirlah
organisasi profesi dengan nama Persatuan Perawat Nasional Indonesia
(PPNI) di Jakarta. Ini merupakan suatau langkah maju dalam
perkembangan keperawatan. Namun baru mulai tahun 1983 organisasi
profesi ini terlibat penuh dalam pembenahan keperawatan melalui
kerjasama dengan CHS, Depkes dan organisasi lainnya.
c. Periode 1984 Sampai Dengan Sekarang
Pada tahun 1985, resmi dibukanya pendidikan S1 keperawatan
dengan nama Progran Studi Ilmu Keperawatan (PSIK) di Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesi di Jakarta. Sejak saat itulah PSIK-UI
telah menghasilkan tenaga keperawatan tingkat sarjana sehingga pada
tahun 1992 dikeluarkannya UU No. 23 tentang kesehatan yang
mengakui tenaga keperawatan sebagai profesi.
Pada tahun 1996 dibukanya PSIK di Universitas Padjajaran Bandung.
Pada tahun 1997 PSIK-UI berubah statusnya menjadi Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI), dan untuk meningkatkan
kualitas lulusan, pada tahun 1998 kurikulum pendidikan Ners disyahkan
dan digunakan. Selanjutnya juga pada tahun 1999 kurikulum D-III
keperawatan mulai dibenahi dan mulai digunakan pada tahun 2000 sampai
dengan sekarang.

3. Perkembangan Pelayanan Keperawatan


Perubahan sifat pelayanan dari fokasional menjadi profesional dengan
fokus asuhan keperawatan dengan peran preventif dan promotif tanpa
melupakan peran kuratif dan rehabilitatif harus didukung dengan
peningkatan sumber daya manusia di bidang keperawatan. Sehingga pada
pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan dapat terjadinya pelayanan yang
efisien, efektif serta berkualitas.
Selanjutnya, saat ini juga telah berkembang berbagai model prakti
keperawatan profesional, seperti:
a. Praktik keperawatan di rumah sakit fasilitas kesehatan
b. Praktik keperawatan di rumah (home care)
c. Praktik keperawatan berkelompok (nursing home = klinik bersama, dan
praktik keperawatan perorangan, yaitu melalui keputusan Kepmenkes
No. 647 tahun 2000, yang kemudian di revisi menjadi Kepmenkes No.
1239 tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Keperawatan.

4. Penataan Pendidikan Keperawatan


Pendidikan merupakan unsur pertama yang harus dilakukan
penataan karena  melalui pendidikan perkembangan profesi keperawatan
akan terarah dan berkembang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi
sehingga tenaga keperawatan yang dihasilkannya dapat berkualitas.
Dalam penataan pendidikan keperawatan yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut :
a. Percepatan pertumbuhan pendidikan keperawatan dalam sistem
pendidikan nasional dengan menetapkan jenjang dan jenis pendidikan
keperawatan mulai dari jenjang pendidikan diploma,sarjana,dan profesi.
b. Pengendalian dan pembinaan pelaksanaan pendidikan pada pusat-pusat
pendidikan keperawatan. Pelaksanaan pengendalian tersebut dilakukan
dengan mengadakan pelaksanaan akreditasi pendidikan serta
penyesuaian standar pendidikan sesuai dengan pendidikan profesi
keperawatn.
c. Pengembangan lahan praktek keperawatan dilakukan dengan
membentuk komunitas profesional. Upaya tersebut dapat dilakukan
dengan membentuk komunitas keperawatan seperti pembagian
komunitas perawat menjadi divisi- divisi, seperti: komunitas perawat
divisi medical bedah,divisi maternitas, divisi anak, divisi jiwa,divisi
gawat darurat,divisi gerontik dan lain-lain, sehingga keperawatan
sebagai pendidikan profesi akan lebih terarah.
d. Pengembangan dan pembinaan staf akademis menuju terbentuknya
masyarakat akademis professional. Hal tersebut dilakukan dengan
melalui berbagai pengembangan bagi staf untuk mengadakan penelitian
sehingga akan dihasilkan berbagai karya untuk kepentingan profesi
keperawatan dan pengabdian apda masyarakat dalam rangka menata
bentuk aplikasi di masyarakat bagi profesi keperawatan.

Jenis Pendidikan Keperawatan Indonesia:


a. Pendidikan Vokasi; yaitu pendidikan yang diarahkan terutama pada
kesiapan penerapan dan penguasaan keahlian keperawatan tertentu
sebagai perawat
b. Pendidikan Akademik; yaitu pendidikan yang diarahkan terutama pada
penguasaan dan pengembangan disiplin ilmu keperawatan yang
mengcakup program sarjana, magister, doktor.
c. Pendidikan Profesi; yaitu pendidikan yang diarahkan untuk mencapai
kompetensi profesi perawat.
d. Jenjang Pendidikan Tinggi Keperawatan Indonesia dan sebutan Gelar:
e. Pendidikan jenjang Diploma Tiga keperawatan lulusannya mendapat
sebutan Ahli Madya Keperawatan (AMD.Kep)
f. Pendidikan jenjang Ners (Nurse) yaitu (Sarjana+Profesi), lulusannya
mendapat sebutan Ners (Nurse),sebutan gelarnya (Ns)
g. Pendidikan jenjang Magister Keperawatan, Lulusannya mendapat gelar
(M.Kep)
h. Pendidikan jenjang Spesialis Keperawatan, terdiri dari:
1) Spesialis Keperawatan Medikal Bedah, lulusannya (Sp.KMB)
2) Spesialis Keperawatan Maternitas, Lulusannya (Sp.Kep.Mat)
3) Spesialis Keperawatan Komunitas, Lulusannya (Sp.Kep.Kom)
4) Spesialis Keperawatan Anak, Lulusannya (Sp.Kep.Anak)
5) Spesialis Keperawatan Jiwa, Lulusannya (Sp.Kep.Jiwa)
i. Pendidikan jenjang Doktor Keperawatan, Lulusannya (Dr.Kep)
2.2 Akuntabilitas Profesi
Akuntabilitas merupakan konsep yang sangat penting dalam praktik
keperawatan. Akuntabilitas mengandung arti dapat mempertanggungjawabkan
suatu tindakan yang dilakukan dan dapat menerima konsekuensi dari tindakan
tersebut (Kozier, 1991).Fry (1990) menyatakan bahwa akuntabilitas
mengandung dua komponenutama, yakni tanggung jawab dan tanggung gugat.
Ini berarti bahwa tindakan yang dilakukan dilihat dari praktik keperawatan,
kode etik dan undang-undang dapat dibenarkan.
Akuntabilitas adapat dipandang dalam suatu kerangka sistem hierarki,
dimulai dari tingkat individu, tingkat intuisi/professional dan tingkat social
(Sullivian, Decker, 1988; lih. Kozier Erb, 1991). Pada tingkat individu
atautingkat pasien, akuntabilitas direfleksikan dalam proses pembuatan
keputusan tingkat perawat, kompetensi, komitmen dan integritas. Pada tingkat
intuisi, akuntabilitas direfleksikan dalam pernyataan falsafah dan tujuan bidang
keperawatanatau audit keperawatan. Pada tingkat professional, akuntabilitas
direfleksikan dalam standar praktik keperawatan. Sedangkan pada tingkat
sosial, direfleksikan dalam undang-undang yang mengatur praktik
keperawatan.Akuntabilitas professional mempunya beberapa tujuan, antara lain:
1. Perawat harus mempertanggungjawabkan tindakannya kepada pasien,
manajer dan organisasi tempat mereka bekerja.
2. Mereka bertanggungjawab terhadap tindakan yang diambil untuk pasien
dan keluarganya, masyarakat dan juga terhadap profesinya.
3. Mengevaluasi praktek professional dan para stafnya.
4. Menerapkan dan mempertahankan standart yang telah ditetapkan dan
yang dikembangkan oleh organisasi.
5. Membina ketrampilan staf masing-masing
6. Memastikan ruang lingkup dalam proses pengambilan keputusan secara
jelas.
Mekanisme Akuntabilitas
1. Keperawatan Klinis
Kelompok perawat bekerjasama selama 24 jam, 7 hari dalam seminggu
untuk merencanakan, mengimplementasikan dan mengevaluasi asuhan
keperawatan untuk sekelompok pasiennya. Mereka mempunyai wewenang
penting untuk memenuhi tanggungjawabnya dan harus mampu menerima
akontabilitas untuk pencapaian hasil praktek keperawatan. Kewenangan
yang dimiliki perawat umtuk memberikan asuhan keperawatan diarahkan
langsung kepada pasien pada setiap saat dalam melaksanakan tugas.
Praktek klinik keperawatan merupakan instrument yang sudah biasa
dilakukan dan dapat dipergunakan dalam mempromosikan prakterk
profesionalnya. Seorang manajer dapat mengembangkannya melalui
dorongan dan kepercayaannya terhadap staf perawat, agar mereka semakin
memiliki kesadaran, dan kemampuan klinis dalam memberikan pelayanan
yang berkualitas tinggi.
2. Etika Perawat
Kerangka konsep dan dimensi moral dari suatu tanggungjawab dan
akontabilitas dalam praktek klinis keperawatan  didasarkan atas prinsip-
prinsip etika yang jelas serta diintegrasikan kedalam pendidikan dan
praktek klinis. Hubungan perawatan dengan pasien dipandang sebagai
suatu tanggungjawab dan akuntabilitas terhadap pasien yang pada
hakikatnya adalah hubungan memelihara (caring). Elemen dari hubungan
ini dan nilai-nilai etikanya merupakan tantangan yang dikembangkan pada
setiap system pelayanan kesehatan degan berfokus pada sumber-sumber
yang dimiliki. Perawat harus selalu mempertahankan filosofi keperawatan
yang mengandung prinsip-prinsip etika dan moral yang tinggi sebagai
perilaku memelihara dalam menjalani hubungan dengan pasien dan
lingkungan. Sebagai contoh, ketika seorang perawat melakukan kesalahan
dalam memberikan obat kepada pasien, dia harus secara sportif (gentle)
dan rendah hati (humble) berani mengakui kesalahan. Pada kasus ini dia
harus mempertanggungjawabkan kepada:
a. Pasien sebagai konsumen
b. Dokter yang mendelegasikan tugas kepadanya.
c. Manajer ruangan yang menyusun standart atau pedoman praktek yang
berhubungan dengan pemberian obat.
d. Direktur rumah sakit atau puskesmas yang bertanggungjawab atas semua
bentuk pelayanan dilingkup organisasi tersebut.
Mempertahankan akontabilitas profesonal dalam asuhan keperawatan
a. Terhadap diri sendiri:
1) Tidak dibenarkan setiap personal melakukan tindakan yang
membahayakan keselamatan status kesehatan pasien.
2) Mengikuti praktek keperawatan berdasarkan standart baru dan
perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi canggih.
3) Mengembangkan opini berdasarkan data dan fakta.
b. Terhadap klien atau pasien :
1) Memberikan informasi yang akurat berhubungan dengan asuhan
keperawatan.
2) Memberikan asuhan keperawatan berdasarkan standart yang menjamin
keselamatan, dan kesehatan pasien.
c. Terhadap profesinya:
1) Berusaha mempertahankan dan memelihara kualitas asuhan
keperawatan berdasarkan standart dan etika profesi
2) Mampu dan mau mengingatkan sejawat perawat untuk bertindak
professional dan sesuai etika moral profesi
d. Terhadap institusi/organisasi
Mematuhi kebijakan dan paraturan yang berlaku, termasuk pedoman
yang disiapkan oleh institusi atau organisasi.
e. Terhadap masyarakat
Menjaga etika dan hubungan interpersonal dalam memberikan
pelayanan keperawatan yang berkualitas tinggi

2.3 Eksistensi Keperawatan


Menurut UU No 36 Tahun 2009, eksistensi keperawatan adalah
sebagai berikut :
1. Upaya Kesehatan
Pasal 46
Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi
masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan
menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya
kesehatan masyarakat.
Pasal 47
Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan
pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan
secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan.
Pasal 48
(1) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
dilaksanakan melalui kegiatan:
a. pelayanan kesehatan;
b. pelayanan kesehatan tradisional;
c. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;
d. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;
e. kesehatan reproduksi;
f. keluarga berencana;
g. kesehatan sekolah;
h. kesehatan olahraga;
i. pelayanan kesehatan pada bencana;
j. pelayanan darah;
k. kesehatan gigi dan mulut;
l. penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran;
m. kesehatan matra;
n. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan;
o. pengamanan makanan dan minuman;
p. pengamanan zat adiktif; dan/atau
q. bedah mayat.
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didukung oleh sumber daya kesehatan.
Pasal 49
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab atas
penyelenggaraan upaya kesehatan.
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial,
nilai, dan norma agama, sosial budaya, moral, dan etika profesi.
Pasal 50
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab meningkatkan dan
mengembangkan upaya kesehatan.
(2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
memenuhi kebutuhan kesehatan dasar masyarakat.
(3) Peningkatan dan pengembangan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pengkajian dan penelitian.
(4) Ketentuan mengenai peningkatan dan pengembangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui kerja sama antar-Pemerintah
dan antarlintas sektor.
Pasal 51
(1) Upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya bagi individu atau masyarakat.
(2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada
standar pelayanan minimal kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 52
(1) Pelayanan kesehatan terdiri atas:
a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan
b. pelayanan kesehatan masyarakat.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
kegiatan dengan pendekatan promotif,
Pasal 53
(1) Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan
penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga.
(2) Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan
masyarakat.
(3) Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding
kepentingan lainnya.
Pasal 54
(1) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung
jawab, aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas
penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3) Pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat.
Pasal 55
(1) Pemerintah wajib menetapkan standar mutu pelayanan kesehatan.
(2) Standar mutu pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2.4 Perawat sebagai Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatanserta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upayakesehatan. Merupakan tingkah laku
yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengan
kedudukan dan system, dimana dapat dipengaruhi oleh keadaan social baik
dari profesi perawat maupun dari luar profesi keperawatan yang bersifat
konstan. Perawat sebagai tenaga kesehatan memiliki peran yaitu :
1. Pemberi Asuhan Keperawatan
Sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat membantu klien
mendapatkan kembali kesehatannya melalui proses penyembuhan. Perawat
memfokuskan asuhan pada kebutuhan kesehatan klien secara holistic,
meliputi upaya untuk mengembalikan kesehatan emosi, spiritual dan sosial.
Pemberi asuhan memberikan bantuan kepada klien dan keluarga klien
dengan menggunakan energy dan waktu yang minimal.
Selain itu, dalam perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan,
perawat memberikan perawatan dengan memperhatikan keadaan kebutuhan
dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan
dengan menggunakan proses keperawatan sehingga dapat ditentukan
diagnosis keperawatan agar bisa direncanakan dan dilaksanakan tindakan
yang tepat dan sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia, kemudian
dapat dievaluasi tingkat perkembangannya. Pemberian asuhan
keperawatannya dilakukan dari yang sederhana sampai yang kompleks.
2. Pembuat Keputusan Klinis
Membuat keputusan klinis adalah inti pada praktik keperawatan.
Untuk memberikan perawatan yang efektif, perawat menggunakan
keahliannya berfikir kritis melalui proses keperawatan. Sebelum mengambil
tindakan keperawatan, baik dalam pengkajian kondisi klien, pemberian
perawatan, dan mengevaluasi hasil, perawat menyusun rencana tindakan
dengan menetapkan pendekatan terbaik bagi klien. Perawat membuat
keputusan sendiri atau berkolaborasi dengan klien dan keluarga. Dalam
setiap situasi seperti ini, perawat bekerja sama, dan berkonsultasi dengan
pemberi perawatan kesehatan professional lainnya (Keeling dan
Ramos,1995).
3. Pelindung dan Advokat Klien
Sebagai pelindung, perawat membantu mempertahankan lingkungan yang
aman bagi klien dan mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya
kecelakaan serta melindungi klien dari kemungkinan efek yang tidak diinginkan
dari suatu tindakan diagnostic atau pengobatan. Contoh dari peran perawat
sebagai pelindung adalah memastikan bahwa klien tidak memiliki alergi
terhadap obat dan memberikan imunisasi melawat penyakit di komunitas.
Sedangkan peran perawat sebagai advokat, perawat melindungi hak klien
sebagai manusia dan secara hukum, serta membantu klien dalam menyatakan
hak-haknya bila dibutuhkan. Contohnya, perawat memberikan informasi
tambahan bagi klien yang sedang berusaha untuk memutuskan tindakan yang
terbaik baginya. Selain itu, perawat juga melindungi hak-hak klien melalui
cara-cara yang umum dengan menolak aturan atau tindakan yang mungkin
membahayakan kesehatan klien atau menentang hak-hak klien. Peran ini juga
dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam
menginterpetasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau informasi
lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang
diberikan kepada pasien, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi
hak-hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas
informasi tentang penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menentukan
nasibnya sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian.
4. Manager Kasus
Dalam perannya sebagai manager kasus, perawat mengkoordinasi
aktivitas anggota tim kesehatan lainnya, misalnya ahli gizi dan ahli terapi
fisik, ketika mengatur kelompok yang memberikan perawatan pada klien.
Berkembangnya model praktik memberikan perawat kesempatan untuk
membuat pilihan jalur karier yang ingin ditempuhnya. Dengan berbagai
tempat kerja, perawat dapat memilih antara peran sebagai manajer asuhan
keperawatan atau sebagai perawat asosiat yang melaksanakan keputusan
manajer (Manthey, 1990). Sebagai manajer, perawat mengkoordinasikan dan
mendelegasikan tanggung jawab asuhan dan mengawasi tenaga kesehatan
lainnya.
5. Rehabilitator
Rehabilitasi adalah proses dimana individu kembali ke tingkat fungsi
maksimal setelah sakit, kecelakaan, atau kejadian yang menimbulkan
ketidakberdayaan lainnya. Seringkali klien mengalami gangguan fisik dan
emosi yang mengubah kehidupan mereka. Disini, perawat berperan sebagai
rehabilitator dengan membantu klien beradaptasi semaksimal mungkin
dengan keadaan tersebut.
6. Pemberi Kenyamanan
Perawat klien sebagai seorang manusia, karena asuhan keperawatan
harus ditujukan pada manusia secara utuh bukan sekedar fisiknya saja, maka
memberikan kenyamanan dan dukungan emosi seringkali memberikan
kekuatan bagi klien sebagai individu yang memiliki perasaan dan kebutuhan
yang unik. Dalam memberi kenyamanan, sebaiknya perawat membantu klien
untuk mencapai tujuan yang terapeutik bukan memenuhi ketergantungan
emosi dan fisiknya.
7. Komunikator
Keperawatan mencakup komunikasi dengan klien dan keluarga, antar
sesame perawat dan profesi kesehatan lainnya, sumber informasi dan
komunitas. Dalam memberikan perawatan yang efektif dan membuat
keputusan dengan klien dan keluarga tidak mungkin dilakukan tanpa
komunikasi yang jelas. Kualitas komunikasi merupakan factor yang
menentukan dalam memenuhi kebutuhan individu, keluarga dan komunitas.
8. Penyuluh
Sebagai penyuluhperawat menjelaskan kepada klien konsep dan data-
data tentang kesehatan, mendemonstrasikan prosedur seperti aktivitas
perawatan diri, menilai apakah klien memahami hal-hal yang dijelaskan dan
mengevaluasi kemajuan dalam pembelajaran. Perawat menggunakan metode
pengajaran yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan klien serta
melibatkan sumber-sumber yang lain misalnya keluarga dalam pengajaran
yang direncanakannya.
9. Kolaborator
Peran perawat disini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim
kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapi, ahli gizi dan lain-lain dengan
berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk
diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.
10. Edukator
Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan
tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang
diberikan, sehingga terjadi perubahab perilaku dari klien setelah dilakukan
pendidikan kesehatan.
11. Konsultan
Peran disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau
tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas
permintaan klien tehadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan
yang diberikan.
12. Pembaharu
Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan
perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai
dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.
Selain peran perawat perawat juga memiliki fungsi yaitu :
1. Fungsi Independen
Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain,
dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri
dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan dalam rangka
memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti pemenuhan kebutuhan
fisiologis (pemenuhan kebutuhan oksigenasi, pemenuhan kebutuhan
cairan dan elektrolit, pemenuhan kebutuhan nutrisi, pemenuhan kebutuhan
aktivitas dan lain-lain), pemenuhan kebutuhan dan kenyamanan,
pemenuhan kebutuhan cinta mencintai, pemenuhan kebutuhan harga diri
dan aktualisasi diri.
2. Fungsi Dependen
Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas
pesan atau instruksi dari perawat lain. Sehingga sebagai tindakan
pelimpahan tugas yang diberikan. Hal ini biasanya silakukan oleh perawat
spesialis kepada perawat umum, atau dari perawat primer ke perawat
pelaksana.
3. Fungsi Interdependen
Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling
ketergantungan di antara satu dengan yang lainnya. Fungsi ini dapat
terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerja sama tim dalam
pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan keperawatan pada
penderita yang mempunyai penyakit kompleks. Keadaan ini tidak dapat
diatasi dengan tim perawat saja melainkan juga dari dokter ataupun
lainnya, seperti dokter dalam memberikan tindakan pengobatan
bekerjasama dengan perawat dalam pemantauan reaksi onat yang telah
diberikan. Peranan perawat sangat menunjukkan sikap kepemimpinan dan
bertanggung jawab untuk memelihara dan mengelola asuhan keperawatan
serta mengembangkan diri dalam meningkatkan mutu dan jangkauan
pelayanan keperawatan.
2.5 Aspek Legal tentang Kesehatan
1. Pasal 23 UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan berwenang
(1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan
(2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang
keahlian yang dimiliki.
(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib
memiliki izin dari pemerintah.
(4) Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.
(5) Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dalam Peraturan Menteri.
2. Pasal 24 UU No.36 Tahun 2009
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus
memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan
kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar
pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
3. Pasal 27 UU No.36 Tahun 2009
(1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan
hukum dalam melaksanakan tugas sesuai profesinya.
(2) Tenaga kesehatan dalam melaksankan tugasnya berkewajiban
mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang
dimiliki.
(3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
4. Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 32 TAHUN 1996 
TENTANG 
TENAGA KESEHATAN 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : Bahwa sebagai pelakssanaan ketentuan Undang-Undang


Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, dipandang perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Tenaga Kesehatan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
kesehatan (lembaga Negara Tahun 1992 Nomor 100,
Tambahan Lembaga Negara Nomor 3495);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG


TENAGA KESEHATAN

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan;
2. Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan;
3. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memlihara dan
meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau
masyarakat;
4. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.

BAB II
JENIS TENAGA KESEHATAN
Pasal 2
(1) Tenaga kesehatan terdiri dari:
a. Tenaga medis;
b. Tenaga keperawatan;
c. Tenaga kefarmasian;
d. Tenaga kesehatan masyarakat;
e. Tenaga gizi;
f. Tenaga keterampilan fisik;
g. Tenaga keteknisian medis.
(2) Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.
(3) Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.
(4) Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten
apoteker.
(5) Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemolog kesehatan,
entomology kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluhan kesehatan,
administrator kesehatan dan sanitarian.
(6) Tenaga gizi meliputi nutrisi dan dietisien.
(7) Tenaga keterampilan fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis
wicara.
(8) Tenaga keteknisian medis meliputi radiographer, radioterapis, teknisi
gigi, teknis elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik
prostetik, teknisitranfusi dan perekam medis.
BAB III
PERSYARATAN
Pasal 3
Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang
kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan.
Pasal 4
(1) Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga
kesehatan yang bersangkutan memiliki ijin dari Menteri.
(2) Dikecualikan dari pemilikan ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bagi tenaga kesehatan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 5
(1) Selain ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), tenaga medis
dan tenaga kefarmasian lulusan dari lembaga pendidikan di luar negeri
hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah yang bersangkutan
melakukan adaptasi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur oleh Menteri.

BAB IV
PERENCANAAN, PENGADAAN DAN PENEMPATAN
Bagian Kesatu
Perencanaan
Pasal 6
(1) Pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan tenaga kesehatan yang merata bagi seluruh masyarakat.
(2) Pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan sesuai dengan
perencanaan nasional tenaga kesehatan.
(3) Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan
faktor:
a. Jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat;
b. Sarana kesehatan;
c. Jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan
pelayanan kesehatan.
(4) Perencanaan nasional tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.

Bagian Kedua
Pengadaan
Pasal 7
Pengadaan tenaga kesehatan dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan
di bidang kesehatan.
Pasal 8
(1) Pendidkan di bidang kesehatan dilaksanakan di lembaga pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah atau masyarakat.
(2) Peyelenggaraan pendidikan di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ijin sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 9
(1) Pelatihan di bidang kesehatan diarahkan untuk meningkatkan
keterampilan ataupenguasaan pengetahuan di bidang teknis kesehatan.
(2) Pelatihan di bidang kesehatan dapat dilakukan secara berjenjang sesuai
dengan jenis tenaga kesehatan yang bersangkutan.
Pasal 10
(1) Setiap tenaga kesehatan memiliki kesempayan yang sama untuk
mengikuti pelatihan di bidang kesehatan sesuai dengan bidang tugasnya.
(2) Penyelenggara dan/atau pimpinan sarana kesehatan bertanggung jawab
atas pemberian kesempatan kepada tenaga kesehatan yang ditempatkan
dan/atau bekerja pada sarana kesehatan yang bersangkutan untuk
meningkatkan keterampilan atau pengetahuan melalui pelatihan dibidang
kesehatan. 
Pasal 11
(1) Pelatihan di bidang kesehatan dilaksanakan dib alai pelatihan tenaga
kesehatan atau tempat pelatihan lainnya.
(2) Pelatihan di bidang kesehatan dapat diselenggarakan oleh Pemerinah
dan/atau masyarakat.
Pasal 12
(1) Pelatihan di bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah
dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(2) Pelatihan di bidang kesehatan yang diselenggarakab oleh masyarakat
dilaksanakan atas dasar ijin Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur oleh Menteri.
Pasal 13
(1) Pelatihan di bidang kesehatan wajib memenuhi persyaratan tersedianya:
a. Calon peserta pelatihan;
b. Tenaga kepelatihan;
c. Kurikulum;
d. Sumber dana yang tetap untuk menjamin kelangsungan
penyelenggaraan pelatihan;
e. Sarana dan prasarana.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pelatihan di bidang
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh menteri.
Pasal 14
(1) Menteri dapat menghentikan pelatihan apabila pelaksanaan pelatihan di
bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat ternyata:
a. Tidak sesuai dengan arah pelatihan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9 ayat (1);
b. Tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalm Pasal
13 ayat (1);
(2)Penghentian pelatihan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), dapat mengakibatkan dicabutnya ijin pelatihan.
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian pelatihan dan
pencabutan ijin pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur oleh Menteri.

Bagian Ketiga
Penempatan
Pasal 15
(1)Dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan bagi seluruh
masyarakat, pemerintah dapat mewajibkan tenaga kesehatan untuk
ditempatkan pada sarana kesehatan tertentu untuk jangka waktu
tertentu.
(2)Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 91)
dilakukan dengan cara masa bakti.
(3)Pelaksanaan penempatan tenaga kesehatan sebagimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 16
Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab
menteri.
Pasal 17
Penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti dilaksanakan
dengan memperhatikan:
a. Kondisi wilayah dimana tenaga kesehatan yang berssangkutan
ditempatkan;
b. Lamanya penempatan;
c. Jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat;
d. Prioritas sarana kesehatan.
Pasal 18
(1)Penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti dilaksanakan
pada:
a. Sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah;
b. Sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang
ditunjuka oleh Pemerintah;
c. Lingkungan perguruan tinggi sebagai staf pengajar;
d. Lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
(2)Pelaksanaan ketentuan huruf c dan huruf d sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri setelah mendengar
pertimbangan dari pimpinan instansi terkait.
Pasal 19
(1)Tenaga kesehatan yang telah melaksanakan masa bakti diberikan surat
keterangan dari menteri.
(2)Surat keterangan sebgaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan
persyaratan bagi tenaga kesehatan untuk memperoleh ijin
menyelenggarakan upaya kesehatan pada sarana kesehatan.
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian surat keterangan
sebagimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 20
Status tenaga kesehatan dalam penempatan tenaga kesehatan dapat
berupa: 
a. pegawai negeri; atau 
b. pegawai tidak tetap.
BAB V
STANDAR PROFESI DAN PERLINDUNGAN HUKUM
Bagian Kesatu
Standar Profesi

Pasal 21
(1)Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban
untuk mematuhi standar profesi tenaga kesehatan.
(2)Standar profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 22
(1)Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas
profesinya berkewajiban untuk:
a. Menghormati hak pasien;
b. Menjaga kerahasiaan identitas;
c. Memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan
yang akan dilakukan;
d. Meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan;
e. Membuat dan memelihara rekam medis;
(2)Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 23
(1)Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau kematian yang
terjadi karena kesalahan atau kelalaian.
(2)Ganti rugi sebagimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Perlindungan Hukum
Pasal 24
(1)Perlindungan hokum diberikan kepada tenaga kesehatan yang
melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan.
(2)Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut oleh Menteri.

BAB VI
PENGHARGAAN
Pasal 25
(1)Kepada tenaga kesehatan yang bertugas pada sarana kesehatan atas
dasar prestasi kerja, pengabdian, kesetiaan, berjasa pada Negara atau
meninggal dunia dalam melaksakan tugas diberikan penghargaan.
(2)Penghargaan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan
oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
(3)Bentuk penghargaan dapat berupa kenaikan pangkat, tanda jasa, uang
atau bentuk lain.

BAB VII
IKATAN PROFESI
Pasal 26
(1)Tenaga kesehatan dapat membentuk ikatan profesi sebagai wadah
untuk meningkatkan dan/atau mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan martabat dan kesejahteraan tenaga kesehatan.
(2)Pembentukan ikatan profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
BAB VIII
TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA ASING
Pasal 27
(1)Tenaga kesehatan warga Negara asing hanya dapat melakukan upaya
kesehatan atas dasar ijin dari Menteri.
(2)Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur oleh Menteri dengan memperhatikan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang tenaga kerja
asing.

BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 28
(1)Pembinaan tenaga kesehatan diarahkan untuk meningkatkan mutu
pengabdian profesi tenaga kesehatan
(2)Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melaluui
pembinaan karier, disiplin dan teknis profesi tenaga kesehatan.
Pasal 29
(1)Pembinaan karier tenaga kesehatan meliputi kenaikan pangkat, jabatan
dan pemberian penghargaan.
(2)Pembinaan karier tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 30
(1)Pembinaan disipllin tenaga kesehatan menjadi tanggung jawab
penyelenggara dan/atau pimpinan sarana kesehatan yang bersangkutan.
(2)Pembinaan disiplin tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 31
(1)Menteri melakukan pembinaan teknis profesi tenaga kesehatan.
(2)Pembinaan teknis profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. Bimbingan;
b. Pelatihan di bidang kesehatan;
c. Penetapan standar profesi tenaga kesehatan.

Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 32
Menteri melakukan pengawasan terhadap tenaga kesehatan dalam
melaksanakan tugas profesinya.
Pasal 33
(1)Dalam rangka pengawasan. Menteri dapat mengambil tindakan disiplin
terhadap tenaga kesahatan yang tidak melaksanakan tugas sesuai
dengan standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan.
(2)Tindakan disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. Teguran; 
b. Pencabutan ijin untuk melakukan upaya kesehatan.
(3)Pengambilan tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) silaksanakan dengan
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 34
Barang siapa dengan sengaja menyelenggarakan pelatihan di bidang
kesehatan tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2),
dipidana sesuai dengan ketentuan Pasal 84 Undang-undangan Nomor 23
tahun 1992 tantang kesehatan.
Pasal 35
Berdasarkan ketentuan Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan, barang siapa dengan sengaja:
a. Melakukan upaya kesehatan tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1);
b. Melakukan upaya kesehatan tanpa melakukan adaptasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1);
c. Melakukan upaya kesehatan tidak sesuai dengan standar profesi tenaga
kesehatan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(1);
d. Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(1); dipidana denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 36
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tenaga kesehatan
yang telah ada masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau
belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 37
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar
setiap orang mengetahinya, memerintahkan perundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaga Negara Republik
Indonesia.

2.6 Eksistensi Perawat di Rumah Sakit


Perawat merupakan suatu profesi yang mulia. Seorang perawat
mengabdikan dirinya untuk menjaga dan merawat pasien tanpa membeda-
bedakan pasien dari segi apapun.Perawat hadir 24 jam dalam sehari
mendampingi pasien. Setiap asuhan dan intervensi yang dilakukan oleh
perawat terhadap pasien sangat menentukan keberhasilan pelayanan dalam
upaya menyelamatkan nyawa serta mempertahankan kehidupan. Oleh karena
itu, tanpa adanya pelayanan keperawatan maka rumah sakit tidak bisa
berjalan dengan baik.
Eksistensi perawat sebagai profesi dinilai dari segi tanggung jawab
profesi dan tata hukum kenegaraan (legalitas profesi) sebagai bagian dari
tenaga kesehatan di RS. Undang-Undang No. 38 Tahun 2014 Tentang
Keperawatan mempengaruhi peran perawat yang semula sebagai vokasional
atau tenaga terampil, kini berupaya meningkatkan perannya sebagai mitra
kerja dokter.
Eksistensi perawat di rumah sakit dapat diliihat dalam UU No. 40 th
2008 tentang Rumah Sakit pasal 12 ayat 1 mengenai sumber daya manusia
yang isinya yaitu Persyaratan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) yaitu Rumah Sakit harus memiliki tenaga tetap yang
meliputi tenaga medis dan penunjang medis, tenaga keperawatan, tenaga
kefarmasian, tenaga manajemen Rumah Sakit, dan tenaga nonkesehatan.
Tenaga kesehatan di RS bekerja sesuai dengan standar pelayanan RS,
standar profesi, etika profesi, keselamatan pasien dan hak dan kewajiban
pasien sehinga mereka dapat mempertahankan eksistensinya.
2.7 Standar Pelayanan Rumah Sakit
Standar Pelayanan Rumah Sakit adalah semua standar pelayanan yang
berlaku di Rumah Sakit antara lain standar prosedur operasional, standar
pelayanan medis, dan standar asuhan keperawatan. Rumah Sakit adalah
institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat
jalan, dan gawat darurat. Instrumen Akreditasi selanjutnya disebut instrumen
adalah alat ukur yang dipakai oleh lembaga independen penyelenggara
Akreditasi untuk menilai Rumah Sakit dalam memenuhi Standar Pelayanan
Rumah Sakit.
Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah Daerah adalah Gubernur,
Bupati, Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal di
lingkungan Kementerian Kesehatan yang bertanggung jawab di bidang
upaya kesehatan. Secara garis besar, standar pelayanan rumah sakit
dibedakan menjadi 3 jenis:
1. SOP
SOP merupakan suatu rangkaian instruksi tertulis yang
mendokumentasikan kegiatan atau proses rutin yang terdapat pada suatu
perusahaan. Pengembangan dan penerapan dari SOP merupakan bagian
penting dari keberhasilan sistem kualitas dimana SOP menyediakan
informasi untuk setiap individu dalam perusahaan untuk menjalankan
informasi untuk setiap individu dalam perusahaan untuk menjalankan
suatu pekerjaan, dan memberikan konsistensi pada kualitas dan integritas
dari suatu produk atau hasil akhir. Pada intinya, dengan melakukan
penerapan SOP maka perusahaan dapat memastikan suatu operasi
berjalan sesuai dengan prosedur yang ada.
Atau dengan kata lain SOP adalah Suatu standar/pedoman tertulis
yang dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan suatu kelompok
untuk mencapai tujuan organisasi. SOP merupakan tatacara atau tahapan
yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses
kerja tertentu. SOP harus sudah ada sebelum suatu pekerjaan dilakukan.
SOP digunakan untuk menilai apakah pekerjaan tersebut sudah dilakukan
dengan baik atau tidak. Uji SOP sebelum dijalankan, lakukan revisi jika
ada perubahan langkah kerja yang dapat mempengaruhi lingkungan kerja.
Fungsi SOP:
1. Memperlancar tugas petugas/pegawai atau tim/unit kerja.
2. Sebagai dasar hukum bila terjadi penyimpangan.
3. Mengetahui dengan jelas hambatan-hambatannya dan mudah dilacak.
4. Mengarahkan petugas/pegawai untuk sama-sama disiplin dalam bekerja.
5. Sebagai pedoman dalam melaksanakan pekerjaan rutin.
Tujuan SOP
1. Agar pekerja dapat menjaga konsistensi dalam menjalankan suatu
prosedur kerja.
2. Agar pekerja dapat mengetahui dengan jelas peran dan posisi mereka
dalam perusahaan.
3. Memberikan keterangan atau kejelasan tentang alur proses kerja,
tanggung jawab, dan terkait dalam proses kerja tersebut.
4. Memberikan keterangan tentang dokumen-dokumen yang dibutuhkan
dalam suatu proses kerja.
5. Mempermudah perusahaan dalam mengetahui terjadinya inefisiensi
proses dalam suatu prosedur kerja.
Manfaat SOP
1. Memberikan penjelasan tentang prosedur kegiatan secara detil dan
terinci dengan jelas.
2. Meminimalisasi variasi dan kesalahan dalam suatu prosedur
operasional kerja.
3. Mempermudah dan menghemat waktu dalam program training
karyawan.
4. Menyamaratakan seluruh kegiatan yang dilakukan oleh semua pihak.
Bentuk SOP
SOP memiliki berbagai macam jenis/bentuk sesuai dengan sistem
kerja yang dijelaskannya. Bentuk-bentuk SOP itu sendiri dapat dibagi
menjadi 4 jenis dengan bentuk yang berbeda:
a. Simple Steps
Simple steps berisi prosedur kerja yang sangat sederhana an tidak
terlalu terperinci, biasanya SOP jenis ini digunakan hanya untuk
situasi kerja dengan sedikit operator. SOP jenis ini tepat digunakan
untuk prosedur kerja dengan sedikit pengambilan keputusan, dna
kurang dari sepuluh langkah.
b. Hierarchical steps
Hierarchical steps lebih terinci daripada jenis-jenis SOP simple steps,
dimana pada SOP ini terdapat kalimat dan terdapat sub-kalimat
sehingga memudahkan operator untuk memahaminya. Jenis SOP ini
cocol untuk digunakan untuk prosedur yang cukup panjang, yakni jika
proses yang akan ditulis lebih dari 10 langkah, dan tidak mempunyai
banyak keputusan.
c. Graphic Format
Graphic format merupakan pengambangan dari SOP Hierarchical
steps, dimana dalam penulisannya SOP jenis ini menyertakan gambar-
gambar atau diagram untuk mempermudah pengertiannya. Grafik
yang digunakan dapat menyederhanakan suatu prosedur dari bentuk
yang panjang menjadi lebih singkat. SOP jenis ini biasanya dipakai
untuk prosedur yang cukup panjang, yakni jika proses yang akan
ditulis lebih dari 10 langkah. Dalam pembuatan SOP jenis ini
sebaiknya gunakan kalimat singkat yang dapat membantu untuk
menjelaskan maksud dari gambar atau diagram yang ada, dan jika
memungkinkan, gambar atau diagram yang digunakan dapat
mengilustrasikan tujuan dari prosedur tersebut.
d. Flowchart
Flowchart merupakan grafik sederhana yang menjelaskan langkah-
langkah proses dalam pembuatan suatu keputusan, flowchart berisi
pertimbangan, langkah-langkah dan juga pengambilan keputusan
dalam suatu prosedur kerja. Apabila dalam suatu prosedur kerja
dibutuhkan banyak pengambilan keputusan sebaiknya menggunakan
flowchart untuk mempermudah pengertian prosedur yang dilakukan,
dimana didalam flowchart akan dijelaskan langkah-langkah mana
yang harus dipilih dan apa yang harus dilakukan setelah langkah
tersebut diambil. Flowchart menggunakan symbol-simbol yang
mempresentasikan suatu tindakan.
2. Standar Pelayanan Medik
Pelayanan medik khususnya medik spesialistik merupakan salah
satu Ciri dari Rumah Sakit yang membedakan antara Rumah Sakit dengan
fasilitas pelayanan lainnya. Kontribusi pelayanan medik pada pelayanan di
Rumah Sakit cukup besar dan menentukan ditinjau dari berbagai aspek,
antara lain aspek jenis pelayanan, aspek keuangan, pemasaran, etika dan
hukum maupun administrasi dan manajemen Rumah Sakit itu
sendiri.Tenaga Medik : - Menurut PP No.32 Tahun 1996 Tenaga Medik
termasuk tenaga kesehatan. Pelayanan medik di Rumah Sakit : adalah salah
satu jenis pelayanan Rumah Sakit yang diberikan oleh tenaga
medik.Manajemen Pelayanan Medik di Rumah Sakit secara sederhana :
adalah suatu pengelolaan yang meliputi perencanaan berbagai sumber
daya medik dengan mengorganisir serta menggerakkan sumber daya
tersebut diikuti dengan evaluasi dan kontrol yang baik, sehingga dihasilkan
suatu pelayanan medik yang merupakan bagian dari sistem pelayanan di
Rumah Sakit.
2.8 Pengertian Perawat Menurut Permenkes 148 Tahun 2001
Permenkes No.148 tahun 2001 tentang izin dan Penyelenggaran
Praktik Perawat, menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Keperawatan dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal
1, yang dimaksud dengan Perawat adalah Seseorang yang telah lulus
pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.9 Tindakan Keperawatan di Rumah Sakit


Menurut dr.Sofwan Dahlan, SpPF(K), seorang pakar hukum kesehatan
dari Unika Soegiyopranoto Semarang menyebutkan bahwa tindakan perawat
yang bekerja di RS dapat dibagi menjadi:
1. Caring activities semua tindakan keperawatan yang memang menjadi
tanggungjawab perawat & oleh karenanya perawat yang bersangkutan
bertanggung jawab secara hukum terhadap tindakan tersebut; meliputi
keputusan (decision) yang dibuatnya serta pelaksanaan (execution) dari
keputusan tersebut
2. Technical activities adalah semua tindakan keperawatan dimana perawat
hanya bertanggung jawab secara hukum terhadap pelaksanaan
(execution) dari suatu keputusan (decision) yang dibuat oleh dokter.
Termasuk technical activities antara lain :
a. Aktivitas yang dilakukan atas perintah tertulis dokter.
b. Aktivitas yang dilakukan atas perintah lisan dokter.
c. Aktivitas yang dilakukan berdasarkan aturan (protap) yang telah
dibuat.
d. Aktivitas yang dilakukan dengan syarat ada dokter di RS yang dapat
hadir segera.
e. Aktivitas-aktivitas tertentu di tempat-tempat tertentu yang telah
ditetapkan.
f. Aktivitas tertentu yang tidak memerlukan persyaratan khusus.
3. Delegated medical activities adalah adalah suatu tindakan yang menjadi
bagian dari kewenangan medik, tetapi telah didelegasikan kepada perawat.

Tugas pokok perawat apabila bekerja di RS adalah memberikan


pelayanan berbagai perawatan paripurna. Oleh karena itu tanggung jawab
perawat harus dilihat dari peran perawat di atas. Dalam peran perawatan dan
koordinatif, perawat mempunyai tanggung jawab yang mandiri. Sementara
peran terapeutik disebutkan bahwa dalam keadaan tertentu beberapa kegiatan
diagnostik dan tindakan medik dapat dilimpahkan untuk dilaksanakan oleh
perawat. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa tanggung jawab utama tetap
pada dokter yang memberikan tuigas. Sedangkan perawat mempunyai
tanggung jawab pelaksana. Pelimpahan hanya dapat dilaksanakan setelah
perawat tersebut mendapat pendidikan dan kompetensi yang cukup untuk
menerima pelimpahan. Pelimpahan jangka panjang atau terus menerus dapat
diberikan kepada perawat kesehatan dengan kemahiran khusus, yang diatur
dengan peraturan tersendiri (standing order).
Berdasarkan uraian di atas maka perlu adanya pengaturan tentang
pelimpahan tugas yang sesuai dengan keahlian perawat, misalnya perawat
khusus gawat darurat, perawat pasien gangguan jiwa, perawat bedah, dan
seterusnya. Dalam peran terapeutik maka berlaku verlengle arm van de
arts/prolonge arm/extended role doctrine (doktrin perpanjangan tangan
dokter). Tanpa delegasi atau pelimpahan, perawat tidak diperbolehkan
mengambil inisiatif sendiri, yang berarti:
1. Dokter secara moral maupun yuridis bertanggungjawab atas tindakan-
tindakan perawat yang dilakukan berdasarkan perintah dokter
2. Dokter harus mengamati tindakan-tindakan yang dilakukan perawat
dan harus menjamin bahwa apa yang dilakukan perawat adalah benar
3. Dokter harus mampu memberikan petunjuk apabila perawat
melakukan kesalahan, dan
4. Perawat dapat menolak melaksanakan perintah bila dirasa bahwa
dirinya tidak kompeten untuk melakukan tindakan tersebut.

2.10 Syarat Pendelegasian


Menurut Marquis dan Huston (1998) dalam Nursalam (2002) bahwa
pendelegasian adalah penyelesaian suatu pekerjaan melalui orang lain. Dapat
juga diartikan sebagai suatu pemberian suatu tugas kepada seseorang atau
kelompok dalam menyelesaikan tujuan organisasi
Delegasi yang baik tergantung pada keseimbangan antara komponen
tanggung jawab, kemampuan dan wewenang. Tanggung jawab
(responsibility) adalah suatu rsa tanggung jawab terhadap penerimaan suatu
tugas, kemampuan (accountability) adalah kemampuan seseorang dalam
melaksanakan tugas limpah. Wewenang (authorirty) adalah pemberian hak
dan kekuasaan penerima tugas limpah untuk mengambil suatu keputusan
terhadap tugas yang di limpah.
Terdapat lima konsep yang mendasari efektifitas dalam pendelegasian.
Lima konsep tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :
1. Pendelegasian bukan suatu system untuk mengurangi tanggung jawab,
tetapi suatu cara untuk membuat tanggung jawab menjadi bermakna.
Manajer keperawatan sering mendelegasikan tanggung jawabnya kepada
staf dalam melakssanakan asuhan terhadap pasien.
2. Tanggung jawab dan otoritas harus didelegasikan secara seimbang.
3. Proses pelimpahan membuat seseorang melaksanakan tanggung
jawabnya, mengembangkan wewenang yang dilimpahkan dan
mengembangkan kemampuan dalam mencapai tujuan organisasi.
Keberhasilan pelimpahan ditentukan oleh :
a. Intervensi keperawatan yang diperlukan
b. Siapa yang siap dan sesuai melaksanakan tugas tersebut
c. Bantuan apa yang diperlukan
d. Hasil apa yang diharapkan
4. Konsep tentang dukungan perlu diberikan kepada anggota. Dukungan
yang penting adalah menciptakan suasana yang asertif. Empowering
meliputi pemberian wewenang seseorang untuk melaksanakan tugas
secara kritis otonomi, menciptakan kemudahan dalam melaksanakan
tugas, serta membangun rasa kebersamaan dan hubungan yang serasi.
5. Seorang delegasi harus terlibat aktif. Ia harus dapat menganalisa otonomi
yang dilimpahkan untuk dapat terlibat aktif. Keterbukaan akan
mempermudah komunikasi antara PP dan PA.

Cara-Cara Pendelegasian yaitu :


1. Seleksi dan susun tugas
Sediakan waktu yang cukup untuk menyusun daftar tugas-tugas
yang harus dilimpahkan secara rasional dan dapat dilaksanakan oleh staf.
Tahap berikutnya yang harus dikerjakan secara otomatis adalah
menyiapkan laporan yang kontinu, menjawab setiap pertanyaan,
menyiapkan jadwal berurutan, memesan alat-alat, presentasi pada komisi
yang bertanggung jawab, dan melaksanakan asuhan keperawatan dan
tugas teknis lainnya.
Hal yang terpenting dalam pendelegasian tugas adalah menentukan
suatu tugas pendelegasian dan wewenag secara bertahap, hal ini akan
menghindari terjadinya suatu penyalah gunaan wewenang.
2. Seleksi orang yang tepat
Pilih orang yang sesuai untuk melaksanakan tugas tersebut
berdasarkan kemampuan dan persyaratan lainnya. Tepat tidaknya menajer
memilih staf bergantung dari kemampuan menajer mengenal kinerja staf,
kelebihan, kelemahan, dan perilakunya.
3. Berikan arahan dan motivasi kepada staf
Salah satu kesalahan dalam pendelegasian adalah ketiadaan arahan
yang jelas. Lebih baik pendelegasian dilakukan secara tertulis, dan
ajarkan pula bagaimana melaksanakan tugas tersebut.
4. Lakukan supervise yang tepat
Manejer harus bias menentukan apa yang perlu disupervisi, kapan
dilakukan, dan bantuan apa yang dapat diberikan. Supervise merupakan
hal yang penting dan pelaksanaannya bergantung bagaimana staf
melihatnya. Ada dua macam supervise yaitu overcontrol (control yang
berlebihan) dan undercontrol (control yang kurang).

Syarat - syarat pendelegasian :


1. Untuk penentuan diagnosa/ terapi tidak boleh didelegasikan.
2. Pemberi pendelegasian harus YAKIN akan kemampuan yang didelegasikan.
3. Pendelegasian harus tertulis secara rinci dan jelas
4. Harus ada bimbingan teknis dari Pemberi Pendelegasian
5. Bila Penerima merasa YAKIN TIDAK MAMPU, maka ia wajib menolak.

2.11 Aspek Hukum dalam Kegawatdaruratan


1. Hubungan Hukum dalam Pelayanan Gawat Darurat
Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam peraturan
perundang-undangan pada hampir seluruh negara bagian. Doktrin tersebut
terutama diberlakukan dalamfase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak
yang secara sukarela beritikad baik menolong seseorang dalam keadaan
gawat darurat. Dengan demikian seorang pasien dilarang menggugat
dokter atau tenaga kesehatan lain untuk kecederaan yang dialaminya. Dua
syarat utama doktrin Good Samaritan yang harus dipenuhi adalah:
a. Kesukarelaan pihak penolong.
Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada harapan atau keinginan
pihak penolong untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun.
Bila pihak penolong menarik biaya pada akhir pertolongannya, maka
doktrin tersebut tidak berlaku.
b. Itikad baik pihak penolong.
Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan yang dilakukan
penolong. Hal yang bertentangan dengan itikad baik misalnya
melakukan trakeostomi yang tidak perlu untuk menambah keterampilan
penolong.

Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat


tenaga kesehatan karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan
diagnosis atau pemberian terapi maka pihak pasien harus membuktikan
bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi penyebab kerugiannya/cacat
(proximate cause). Bila tuduhan kelalaian tersebut dilakukan dalam
situasi gawat darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan
situasi saat peristiwa tersebut terjadi. Jadi, tepat atau tidaknya tindakan
tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang
berkualifikasi sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama pula.
Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien
(informed consent). Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU
No.23/1992 tentang Kesehatan pasal 53 ayat 2 dan Peraturan Menteri
Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis. Dalam
keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan medis
pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien, tidak perlu
persetujuan dari siapapun (pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan
No.585/1989). Dalam hal persetujuan tersbut dapat diperoleh dalam
bentuk tertulis, maka lembar persetujuan tersebut harus disimpan dalam
berkas rekam medis.
2. Undang-Undang Kesehatan Terkait
Keperawatan Gawat Darurat Ditinjau Dari Aspek Hukum
Pemahaman terhadap aspek hukum dalam Keperawatan Gawat Darurat
bertujuan meningkatkan kualitas penanganan pasien dan menjamin
keamanan serta keselamatan pasien. Aspek hukum menjadi penting
karena consensus universal menyatakan bahwa pertimbangan aspek legal
dan etika tidak dapat dipisahkan dari pelayanan medic yang baik.
Walaupun ada undang-undang yang mengatur tentang keperawatan gawat
darurat yaitu Pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan tentang : Informed
Consent menyatakan, dalam hal pasien tidak sadar/pingsan serta tidak
didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medic berada dalam
keadaan gawat darurat dan atau darurat yang memerlukan tindakan medic
segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dari siapapun.
(Per.Menkes,1989). Tetapi yang menjadi tuntutan hukum dalam praktek
Keperawatan Gawat Darurat biasanya berasal dari:
a. Kegagalan komunikasi
b. Ketidakmampuan mengatasi dilema dalam profesi
Permasalahan etik lainnya yang muncul dalam hukum Keperawatan
Gawat Darurat merupakan isu yang juga terjadi pada etika dan hukum
dalam kegawat daruratan medik yaitu:
a. Diagnosis keadaan gawat darurat
b. Standar Operating Procedure
c. Kualifikasi tenaga medis
d. Hak otonomi pasien :informed consent (dewasa,anak)
e. Kewajiban untuk mencegah cedera atau bahaya pada pasien
f. Kewajiban untuk memberikan kebaikan pada pasien (rasa sakit,
menyelamatkan)
g. Kewajiban untuk merahasiakan (etika><hukum)
h. Prinsip keadilan dan fairness
i. Kelalaian
j. Malpraktek akibat salah diagnosis, tulisan yang buruk dan kesalahan
terapi: salahobat, salah dosis
k. Diagnosis kematian
l. Surat Keterangan Kematian
m. Penyidikan medico legal untuk forensic klinik: kejahatan susila, child
abuse, aborsi dan kerahasiaan informasi pasien
Permasalahan etik dalam keperawatan gawat darurat dapat dicegah
dengan mematuhi standar operating procedure (SOP), melakukan
pencatatan dengan benar meliputi mencatat segala tindakan, mencatat
segala instruksi dan mencatat serah terima
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan
gawat darurat adalah UU No 23/1992 tentang Kesehatan, Peraturan
Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis,
dan Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit.
Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah
tegas diatur dalam pasal 51 UU No.29/ 2004 tentang Praktik
Kedokteran, di mana seorang dokter wajib melakukan pertolongan
darurat atas dasar perikemanusiaan. Selanjutnya, walaupun dalam UU
No.23/1992 tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat
darurat namun secara tersirat upaya penyelenggaraan pelayanan tersebut
sebenarnya merupakan hak setiap orang untuk memperoleh derajat
kesehatan yang optimal (pasal 4).
Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa “Pemerintah bertugas
menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh
masyarakat” termasuk fakir miskin, orang terlantar dan kurang mampu.
Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan gawat darurat, baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat (swasta). Rumah
sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan
pelayanan gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin
rumah sakit. Dalam pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk
meminta uang muka sebagai persyaratan pemberian pelayanan.
Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal pelayanan fase
pra-rumah sakit dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan gawat
darurat untuk fase rumah sakit telah terdapat dalam Peraturan Menteri
Kesehatan No.159b/ 1988 tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23
telah disebutkan kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan
pelayanan gawat darurat selama 24 jam per hari. Untuk fase pra-rumah
sakit belum ada pengaturan yang spesifik. Secara umum ketentuan yang
dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah pasal 7 UU No.23/1992
tentang Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan yang
spesifik untuk pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit. Bentuk
peraturan tersebut seyogyanya adalah peraturan pemerintah karena
menyangkut berbagai instansi di luar sector kesehatan.
3. Landasan Hukum Pelayanan Gawat Darurat
a. UU NO 9 Tahun 1960 Pokok Kesehatan
b. UU NO 6 Tahun 1963 Tenaga Kesehatan
c. UU NO 29 Tahun 2004 Praktik Kedokteran
d. UU NO 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
e. UU NO 36 Tahun 2009 Kesehatan
f. UU NO 44 TAHUN 2009 Rumah sakit
g. PP NO 32 TAHUN 1996 Tenaga Kesehatan
h. PP NO 51 Tahun 2009 Pekerjaan Kefarmasian
i. Berbagai Peraturan Menteri Kesehatan
4. Fungsi aspek hukum dan legalitas pelayanan gawat darurat bagi perawat :
a. Hukum Menyediakan kerangka kerja untuk menetapkan tindakan
asuhan keperawatan gawat darurat.
b. Hukum juga memberikan penjelasan tentang tanggung jawab perawat
gawat darurat yang berbeda dari tanggung jawab tenaga kesehatan
lainnya
c. Hukum dapat membantu perawat gawat darurat menetapkan batas batas
tindakan keperawatan mandiri (otonomi profesi)
d. Hukum membantu keperawatan dalam menjaga standar asuhan
keperawatan yang dibuat oleh profesi keperawatan.
e. Aspek aspek Hukum dan perlindungan hukum Pelayanan Gawat Darurat
oleh profesi keperawatan.
f. Dalam Undang-undang Rumah Sakit Nomor 44 tahun 2009 Bab I
Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat (1) Rumah Sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat Inap, Rawat Jalan dan Rawat Darurat. Ini
membuktikan bahwa rumah sakit wajib memberikan pelayanan gawat
darurat kepada pasien atau penderita dengan arti kata setiap rumah sakit
wajib memiliki sarana, pra sarana dan SDM dalam pengelolaan
pelayanan gawat darurat, ini membuktikan adanya kepastian hukum
dalam pelayanan gawat darurat di rumah sakit”.
g. Gawat darurat adalah suatu kondisi klinik yang memerlukan pelayanan
medis. Gawat
h. Darurat medis adalah suatu kondisi dalam pandangan penderita,
keluarga, atau siapapun yang bertanggung jawab dalam membawa
penderita ke rumah sakit memerlukan pelayanan medis segera.
Penderita gawat darurat memerlukan pelayanan yang cepat, tepat,
bermutu dan terjangkau. (Etika dan Hukum Kesehatan, Prof. Dr.
Soekijo Notoatmojo 2010).
i. Kepmenkes RI Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001 Tentang Registrasi
dan Praktik Keperawatan, Pasal 20, Dalam darurat yang mengancam
jiwa seseorang/pasien, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan
kesehatan diluar kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam pasal
15, Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam ayat
1 ditujukan untuk penyelamatan jiwa.
j. Permenkes Nomor RI HK.02.02.MENKES/148/2010, tentang regitrasi
dn izin praktik keperawatan Pasal 10 Ayat (1), Dalam darurat yang
mengancam jiwa seseorang/pasien, perawat berwenang untuk
melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangannya sebagaimana
dimaksud dalam pasal 8, Pasal 11 poin (a) Perawat berhak Memperoleh
perlindungan hukum.
k. Permenkes Nomor 152/Menkes/Per/IV/2007Tentang Izin dan
penyelenggaran Praktik Kedokteraan dan kedokteran Gigi, BAB III
Pasal 15 Ayat (I), Dokter dan dokter Gigi dapat memberilan
pelimpahan suatu tindakan kedokteran dan tindakan kedokteran gigi,
kepada perawat, bidan atau tenaga kesehatn lainnya secara tertulis.

2.12 Pengaturan Pelayanan Kegawatdaruratan


Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah
tegas diatur dalam pasal 51 UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran, di
mana seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan. Selanjutnya, walaupun dalam UU No.23/1992 tentang
Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun secara
tersirat upaya penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenarnya merupakan
hak setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal (pasal
4). Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa “Pemerintah bertugas
menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh
masyarakat” termasuk fakir miskin, orang terlantar dan kurang mampu.6
Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan gawat darurat, baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat (swasta).
Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk
menyelenggarakan pelayanan gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu
persyaratan ijin rumah sakit. Dalam pelayanan gawat darurat tidak
diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai persyaratan pemberian
pelayanan.Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal pelayanan
fase pra-rumah sakit dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan gawat
darurat untuk fase rumah sakit telah terdapat dalam Peraturan Menteri
Kesehatan No.159b/ 1988 tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23
telah disebutkan kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan
gawat darurat selama 24 jam per hari. Untuk fase pra-rumah sakit belum ada
pengaturan yang spesifik.
Secara umum ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum
adalah pasal 7 UU No.23/1992 tentang Kesehatan, yang harus dilanjutkan
dengan pengaturan yang spesifik untuk pelayanan gawat darurat fase pra-
rumah sakit. Bentuk peraturan tersebut seyogyanya adalah peraturan
pemerintah karena menyangkut berbagai instansi di luar sector kesehatan.
Dasar hukum pelayanan kegawatdaruratan
1. UU RI NO 36 TAHUN 2009 tentang Kesehatan
a. Bab II Pasal 32 ayat 1 dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan
kesehatan baiik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan
pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan
kecacatan terlebih dahulu
b. Bab II Pasal 32 ayat 2 Dalam keadaan darurat fasilitas pelayanan
kesehatan baik pemerintah dan swasta dilarang menolak pasien dan
atau meminta uang muka
c. Bab VI pasal 58 ayat 1 setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap
seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan
kesehatan
d. Bab VI pasal 58 ayat 2 Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan
penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam
keadaan darurat.
e. Bab VI pasal 58 ayat Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
f. Bab XX pasal 190 ayat 1 Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan
dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada
fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan
pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
g. Bab XX pasal 190 ayat 2 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian,
pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan
tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
2. UU RI NO 44 tentang RUMAH SAKIT
a. Pasal 1: gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan
tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan
kecacatan lebih lanjut
b. Pasal 29 ayat 1 butir c:Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban
memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan
kemampuan pelayanannya
3. UU RI no 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
a. Pasal 33: penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri dari tiga
tahap meliputi: pra bencana, saat tanggap darurat dan pasca bencana
b. Pasal 34 : penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan
prabencana sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 huruf a. meliputi :
dalam situasi tidak terjadi bencana dan dalam situasi terdapat potensi
terjadinya bencana
c. Pasal 44 : penyelenggaraan bencana dalam situasi terdapat potensi
terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 huruf b.
meliputi: kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana
d. Pasal 48 : penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat
tanggap darurat sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 huruf b
meliputi: pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan
dan sumber daya , Penentuan status keadaan darurat bencana ,
Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana, Pemenuhan
kebutuhan dasar , Perlindungan terhadap kelompok rentan , Pemulihan
dengan segera sarana dan prasarana
e. Pasal 57 : Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap
pascabencana sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 huruf c
meliputi:Rehabilitasi, rekontruksi, Informed consent
4. Permenkes No. 585 / 1989 (Pasal 11) bahwa dalam kondisi emergency
situasi yang mengancam nyawa persetujuan tindakan medis tidak diperlukan
5. Dalam pasal 56 UU no 36 tahun 2009 tentang kesehatan :hak pasien untuk
menerima atau menolak suatu tindakan tidak berlaku salah satunya ketika
pasien dalam kondisi pingsan atau tidak sadarkan diri.

2.13 Bentuk Tanggungjawab Perawat dan Tanggungjawab Profesional


Perawat
1. Pengertian Tanggung Jawab Dan Tanggung Gugat
Tanggung jawab (responsibilitas) adalah eksekusi terhadap tugas- tugas
yang berhubungan dengan peran tertentu dari perawat. Penerapan ketentuan
hukum (eksekusi) terhadap tugas-tugas yang berhubungan dengan peran
tertentu dari perawat, agar tetap kompeten dalam Pengetahuan, Sikap dan
bekerja sesuai kode etik (ANA, 1985). Tanggung jawab perawat secara
umum:
a. Menghargai martabat setiap pasien dan keluarganya
b. Menghargai hak pasien untuk menolak prosedur pengobatan dan
melaporkan penolakan tersebut kepada dokter dan orang-orang yang
tepat.
c. Menghargai hak pasien dan keluarganya dalam hal kerahasiaan
informasi
d. Apabila didelegasikan oleh dokter menjawab pertanyaan-pertanyaan
pasien dan memberikan informasi
e. Mendengarkan pasien secara seksama dan melaporkan hal-hal penting
kepada orang yang tepat.
Sementara tanggung gugat (akuntabilitas) adalah
mempertanggungjawabkan perilaku dan hasil-hasilnya termasuk dalam
lingkup peran profesional seseorang sebagaimana tercermin dalam laporan
pendidik secara tertulis tentang perilaku tersebut dan hasil-hasilnya. Baik
terhadap dirinya sendiri, pasien, profesi, sesama karyawan dan masyarakat.
Tanggung gugat dalam transaksi terapeutik :
a. Contractual Liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban
dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati
b. Vicarious Liability
Tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga
kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya
c. Liability in Tort
Tanggung gugat atas perbuatan melawan hokum.

Tanggung gugat pada setiap proses keperawatan:


a. Tahap pengkajian
Perawat bertanggung gugat mengumpulkan data atau informasi,
mendorong partisipasi pasien dan penentuan keabsahan data yang
dikumpulkan.
b. Tahap diagnosa keperawatan
Perawat bertanggung gugat terhadap keputusan yang dibuat tentang
masalah-masalah kesehatan pasien seperti pertanyaan diagnostik.
c. Tahap perencanaan
Perawat bertanggung gugat untuk menjamin bahwa prioritas pasien
juga dipertimbangkan dalam menetapkan prioritas asuhan.
d. Tahap implementasi
Perawat bertanggung gugat untuk semua tindakan yang dilakukannya
dalammemberikan asuhan keperawatan.
e. Tahap evaluasi
Perawat bertanggung gugat untuk keberhasilan atau kegagalan
tindakan keperawatan.
2. Peran Fungsi Perawat Dalam Penanganan Kasus Emergency
Peran perawat di bagian emergency telah mengalami perubahan
dalam kaitannya dengan perkembangan beberapa tahun terakhir ini yaitu
meningkatnya penggunaan bagian emergency oleh mereka yang
memerlukan pengobatan dan meningkatnya kepuasan terhadap pelayanan
yang diberikan serta mampu menekan angka kematian dan kecatatan pada
kasus emergency. Perawat-perawat di bagian emergency mempunyai
ketrampilan sebagai berikut :
a. Mengkaji dan menentukan priorotas (penyeleksi: pasien yang
memerlukan pengobatan segera)
b. Menangani pasien-pasien yang menpunyai resiko dan kecemasan yang
tinggi.
c. Ketrampilan teknik yang khusus (memberi cairan per parutral
Defrilator, resusitasi intubasi, mengoperasikan alat-alat monitoring)
d. Menginterprestasikan hasil pemeriksaan laboratorium dan EKG serta
tindakan-tindakan yang diperlukan.

2.14 Kode Etik Perawat Indonesia


1. Pengertian
Kode etik adalah pernyataan standar profesional yang digunakan
sebagai pedoman perilaku dan menjadi kerangka kerja untuk membuat
keputusan.Aturan yang berlaku untuk seorang perawat Indonesia dalam
melaksanakan tugas/fungsi perawat adalah kode etik perawat nasional
Indonesia, dimana seorang perawat selalu berpegang teguh terhadap kode
etik sehingga kejadian pelanggaran etik dapat dihindarkan.Kode etik
keperawatan di Indonesia telah disusun oleh Dewan Pinpinan Pusat
Persatuan Perawat Nasioanl Indonesia (DPP PPNI) melalui munas PPNI di
Jakarta pada tangal 29 November 1989.

2. Fungsi Kode Etik Perawat


Kode etik perawat yang berlaku saat ini berfungsi sebagai landasan
bagi status profesional dengan cara sebagai berikut:
a. Kode etik perawat menunjukkan kepada masyarakat bahwa perawat
diharuskan memahami dan menerima kepercayaan dan tanggungjawab
yang diberikan kepada perawat oleh masyarakat
b. Kode etik menjadi pedoman bagi perawat untuk berperilaku dan
menjalin hubungan keprofesian sebagai landasan dalam penerapan
praktek etikal
c. Kode etik perawat menetapkan hubungan-hubungan profesional yang
harus dipatuhi yaitu hubungan perawat dengan pasien/klien sebagai
advokator, perawat dengan tenaga profesional kesehatan lain sebagai
teman sejawat, dengan profesi keperawatan sebagai seorang
kontributor dan dengan masyarakat sebagai perwakilan dari asuhan
kesehatan
d. Kode etik perawat memberikan sarana pengaturan diri sebagai profesi.

3. Kode Etik keperawatan Indonesia


Terdiri dari 5 Bab, dan 17 pasal. yaitu:
1. Tanggung jawab perawat terhadap individu, keluarga dan masyarakat
a. Perawat dalam melaksanakan pengabdiannya senantiasa berpedoman
kepada tanggungjawab yang bersumber dari adanya kebutuhan akan
keperawatan individu, keluarga dan masyarakat.
b. Perawat dalam melaksanakan pengabdiannya di bidang keperawatan
senantiasa memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-
nilai budaya, adat-istiadat dan kelangsungan hidup beragama dari
individu, keluarga dan masyarakat.
c. Perawat dalam melaksanakan kewajibannya bagi individu, keluarga
dan masyarakat senantiasa dilandasi dengan rasa tulus ikhlas sesuai
dengan martabat dan tradisi luhur keperawatan.Tanggungjawab
terhadap tugas
d. Perawat senantiasa menjalin hubungan kerja sama dengan individu,
keluarga dan masyarakat dalam mengambil prakarsa dan
mengadakan upaya kesehatan khususnya serta upaya kesejahteraan
umum sebagai bagian dari tugas kewajiban bagi kepentingan
masyarakat.
2. Tanggungjawab terhadap tugas
a. Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang
tinggi disertai kejujuran profesional dalam menerapkan pengetahuan
serta ketrampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu,
keluarga dan masyarakat.
b. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui
sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika
diperlukan oleh yang berwenang sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku.
c. Perawat tidak akan menggunakan pengetahuan dan keterampilan
keperawatan untuk tujuan yang bertentangan dengan norma-norma
kemanusiaan.
d. Perawat dalam menunaikan tugas dan kewajibannya senantiasa
berusaha dengan penuh kesadaran agar tidak terpengaruh oleh
pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis
kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan sosial.
e. Perawat senantiasa mengutamakan perlindungan dan keselamatan
klien dalam melaksanakan tugas keperawatan serta matang dalam
mempertimbangkan kemampuan jika menerima atau
mengalihtugaskan tanggungjawab yang ada hubungannya dengan
keperawatan.
3. Tanggungjawab terhadap sesama perawat dan profesi kesehatan
lainnya
a. Perawat senantiasa memelihara hubungan baik antara sesama perawat
dan dengan tenaga kesehatan lainnya, baik dalam memelihara
kerahasiaan suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan
pelayanan kesehatan secara menyeluruh.
b. Perawat senantiasa menyebarluaskan pengetahuan, keterampilan dan
pengalamannya kepada sesama perawat serta menerima pengetahuan
dan pengalaman dari profesi lain dalam rangka meningkatkan
kemampuan dalam bidang keperawatan.
4. Tanggungjawab terhadap profesi keperawatan
a. Perawat senantiasa berupaya meningkatkan kemampuan profesional
secara sendiri-sendiri dan atau bersama-sama dengan jalan menambah
ilmu pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang bermanfaat
bagi perkembangan keperawatan.
b. Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan
dengan menunjukkan perilaku dan sifat pribadi yang luhur.
c. Perawat senantiasa berperan dalam menentukan pembakuan
pendidikan dan pelayanan keperawatan serta menerapkan dalam
kegiatan dan pendidikan keperawatan.
d. Perawat secara bersama-sama membina dan memelihara mutu
organisasi profesi keperawatan sebagai sarana pengabdiannya.
5. Tanggungjawab terhadap pemerintah, bangsa dan Negara
a. Perawat senantiasa melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai
kebijaksanaan yang diharuskan oleh pemerintah dalam bidang
kesehatan dan keperawatan.
b. Perawat senantiasa berperan secara aktif dalam menyumbangkan
pikiran kepada pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan
dan keperawatan kepada masyarakat.
2.15 Tanggungjawab Hukum Perawat
Pertanggungjawaban terhadap hukum dalam dunia kesehatan terutama
dalam pelaksanaan suatu pelayanan medis, dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Pertanggungjawaban secara HukumPerdata
Hukum perdata yang dimaksud dalam suatu pertanggungjawaban
tindakan medis adalah adanya unsur ganti-rugi jika dalam suatu tindakan
medis terdapat suatu kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh tenaga
medis. Hukum perdata ini, juga dikaitkan dengan isi Undang-undang
Republik Indonesia No 36 Tahun 2009 pasal 29 yang menyebutkan
bahwa “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam
menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih
dahulu melalui mediasi.”
Dimana yang dimaksud dalam mediasi ini adalah suatu rangkaian
proses yang harus dilewati oleh setiap perkara sebelum masuk ke
pengadilan. Mediasi ini merupakan upaya dari pihak-pihak yang
berpekara untuk berdamai demi kepentingan pihak-pihak itu sendiri.
Mengenai seberapa besar biaya yang dikeluarkan akibat suatu proses
mediasi merupakan tanggung jawab dari pihak yang memiliki perkara.
Gugatan untuk meminta pertanggung jawaban kepada tenaga kessehatan
beersumbeer kepada dua dasar hokum yaitu: pertama, berdasarkan pada
wanprestasi (contractual laibiliti) sebagaiman di atur dalam pasal 1239
KUH Perdata. Kedua, berdasarkan perbuatan melanggar hukum
(Onrechmatigedaad) sesuai dengan ketentuan pasal 1356 KUH Perdata.
Tentang apa yang di maksud dengan perbuatan melanggar hukum,
undang-undang sendiri tidak memberikan perumusannya. Namun sesuai
dengan Yurisprudensi Arrest Hoge Road, 31 januari 1919 di terapkan
adanya empat criteria perbuatan melanggar hukum yaitu:
a. Peerbuatan itu bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
b. Prbuatan itu melanggar hak orang lain
c. Perbuatan itu melanggar kaidah tata susila
d. Perbuatan itu beertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta
sikap hati-hati yang seharusnya di miliki seseorang dala pergaulan
denngan sesame warga masyarakat atau terhadap harta benda orang
lain
Dalam kaitannya dengan pelayanan kesehatan, bila pasien atau
keluarganya menganggap tenaga kesehatan telah melakukan perbuatan
melanggar hokum maka dapat mengajukan tuntutan ganti rugi menurut
ketentuan pasal 58 Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan.
Kemudian kelalaian dalam tindakan medis, diatur dalam pasal 1365-
1366 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, jika tindakan medis tersebut
hingga menimbulkan suatu kematian, maka diatur dalam pasal 1370
KitabUndang-undang Hukum Perdata dan jika terjadi kecacatan diatur
dalam pasal 1371 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Dasar hukum
yang kedua untuk melakukan gugatan adalah perbuatan melawan hukum.
Gugatan dapat diajukan jika terdapat fakta-fakta yang berwujud suatu
perbuatan yang melanggar hukum walaupun di antara para pihak tidak
terdapat suatu perjanjian. Untuk mengajukan gugatan berdasarkan
perbuatan melawan hukum harus di penuhhi 4 syarat sebagaimana di atur
dalam pasal 1365 KUH Perdata yaitu:
a. Pasien harus mengalami suatu kerugian
b. Ada kesalahan
c. Ada hubunga kausal antara kesalahan dengan kerugian
d. Perbuatan itu melanggar hokum
2. Pertanggungjawaban secara HukumPidana
Dalam suatu praktek tenaga kesehatan, tanggung jawab secara pidana
timbul jika terbukti adanya suatu tindakan dalam pelayanan kesehatan
yang memiliki unsur tindak pidana sesuai dengan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana dan Undang- undang lainnya“Azas nullum delictumnulla
poena sine praevia lege poenali” yang artinya seseorang hanya dapat
dihukum apabila telah ada ketentuan hukum yang mengatur perbuatan itu
terlebih dahulu. Ketentuan hukum pidana dapat diberlakukan dengan
keharusan memenuhi 2 persyaratan :
a. Adanya suatu perbuatan/tindakan yang dilakukan oleh seseorang dan
yang melanggar ketentuan hukum pidana, sehingga memenuhi rumusan
delik sebagaimana yang diatur dalam hukum pidana yang berlaku.
b. Pelanggar hukum pidana mampu mempertanggungjawabkan
perbuatannya
Beberapa delik yang dapat diancam kepada tenaga kesehatan :
a. Pasal 242 KUHPidana : “Keterangan palsu/keterangan tidak sesuai
dengan fakta, dipidana 7 tahun”
b. Pasal 304 KUHPidana : “Meninggalkan orang yang perlu ditolong
dipidana 2 tahun 8 bulan”
c. Pasal 322 KUHPidana : “Membuka rahasia pasien dipidana 9 bulan”
d. Pasal 333 KUHPidana : “Menahan seorang secara melawan hukum,
pidana 8 tahun/RS menahan pasien belum bayar”
e. Pasal 338 KUHPidana : “Sengaja merampas nyawa orang lain, diancam
dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”
f. Pasal 344 KHUPidana (euthanasia): “Merampas nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri, pidana penjara paling lama 12 tahun”
g. Pasal 359 KUHPidana : “Karena kealpaannya menyebabkan matinya
orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahunn”
h. Pasal 360 KUHPidana :
1) Karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka
berat, 5 tahun”
2) Karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka
sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan
pidana penjara 9 bulan.
i) Pasal 361 KUHPidana :
“Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencaharian maka pidana ditambah 1/3
dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan
pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan dan hakim dapat
memerintahkan supaya putusannya diumumkan”
Contoh dalam tindakan pidana dalam praktek kesehatan seperti
melakukan aborsi tanpa adanya indikasi medis, yang diatur dalam Pasal
194 Undang-undang RI No. 36 tahun 2009 tentang keshatan, dimana
disebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi
tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satumiliar rupiah).
3. Pertanggungjawaban secara HukumAdministrasi
Yang dimaksud dalam pelanggaran hukum administrasi adalah
pelanggaran terhadap hukum yang mengatur hubungan hukum antara
jabatan-jabatan dalam negara. Dalam lingkungan kesehatan, hukum
administrasi terkait erat dengan adanya Surat Izin Praktek yang dimiliki
oleh tenaga kesehatan baik dokter dan perawat. Dasar dari adanya hukum
administrasi ini, yaitu Undang-undang RI No 36Tahun 2009 tentang
Kesehatan, yaitu pasal 23 ayat (3) dan pasal 24 ayat (1).Bagitenaga dokter
hal tersebut diatur dalam Permenkes RI 512/2007 pasal 2 ayat (1) yang
menyebutkan bahwa “setiap dokter dan dokter gigi yang akan melakukan
praktik kedokteran wajib memiliki SIP”, sedangkan bagi tenaga
keperawatan diaturdalam Permenkes No. HK.02.02/MENKES/148/I/2010
pasal 3 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “setiap perawat yang
menjalankan praktik wajib memiliki SIPP”.
Contohnya yaitu melakukan praktek kesehatan tanpa memiliki surat izin
praktek, dimana diatur dalam Undang-undang RI Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran pasal 76 menyebutkan bahwa “setiap dokter
atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa
memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam pasal 36
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”. Selain itu, sanksi
dalam pelanggaran hukum administrasi dapat berupa teguran (lisan atau
tertulis), mutasi, penundaan kenaikan pangkat,penurunanjabatan,
skorsing bahkan pemecatan.

2.16 Doktrin Tanggungjawab Hukum


1. Personal Liability
Tanggung jawab personal dalam hukum perusahaan, istilah ini menunjuk
pada tanggung jawab pribadi pemegang saham dan direksi atas perbuatan
hukum perseroan selama belum diperoleh status sebagai badan hukum. 
2. Strict Liability
Segala unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh para pihak penggugat
sebagai dasar pembayaran ganti ruginya
3. Vicarious Liability
Vicarious liability  adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang
dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain. Menurut Barda
Nawawi Arief, vicarious liability adalah suatu konsep
pertanggungjawaban seseorang atas kesalahan yang dilakukan orang lain,
seperti tindakan yang dilakukan yang masih berada dalam ruang lingkup
pekerjaannya (the legal responsibility of one person for wrongful acts of
another, as for example, when the acts are done within scope of
employment). Sutan Remy Sjahdeini menterjemahkan vicarious
liabilitymenjadi pertanggungjawaban vikariusatau pertanggungjawaban
pengganti.
4. Respondeat Liability
Menurut doktrin respondeat superior ini, seorang majikan bertanggung
jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pegawai atau
karyawannya jika karyawan tersebut bertindak masih dalam cakupan
menjalankan pekerjaannya atau dalam lingkup pekerjaannya.

5. Corporate Liability
Sistem pertanggungjawaban korporasi adalah: Pengurus korporasi sebagai
pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab, korporasi sebagai
pembuat dan pengurus bertanggung jawab, korporasi sebagai pembuat
dan juga sebagai yang bertanggung jawab, dan pengurus dan korporasi
sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang bertanggung jawab.

2.17 Landasan Etik Moral Tanggungjawab Perawat


1. Menghargai otonomi (facilitate autonomy)
Suatu bentuk hak individu dalam mengatur kegiatan/prilaku dan tujuan
hidup individu. Kebebasan dalam memilih atau menerima suatu tanggung
jawab terhadap pilihannya sendiri. Prinsip otonomi menegaskan bahwa
seseorang mempunyai kemerdekaan untuk menentukan keputusan dirinya
menurut rencana pilihannya sendiri. Bagian dari apa yang didiperlukan
dalam ide terhadap respect terhadap seseorang, menurut prinsip ini adalah
menerima pilihan individu tanpa memperhatikan apakah pilihan seperti itu
adalah kepentingannya. (Curtin, 2002). Permasalahan dari penerapan prinsip
ini adalah adanya variasi kemampuan otonomi pasien yang dipengaruhi oleh
banyak hal, seperti tingkat kesadaran, usia, penyakit, lingkungan Rumah
SAkit, ekonomi, tersedianya informsi dan lain-lain (Priharjo, 1995). Contoh:
Kebebasan pasien untuk memilih pengobatan dan siapa yang berhak
mengobatinya sesuai dengan yang diinginkan
2. Kebebasan (freedom)
Prilaku tanpa tekanan dari luar, memutuskan sesuatu tanpa tekanan
atau paksaan pihak lain (Facione et all, 1991). Bahwa siapapun bebas
menentukan pilihan yang menurut pandangannya sesuatu yang
terbaik.Contoh : Klien mempunyai hak untuk menerima atau menolak
asuhan keperawatan yang diberikan.

3. Kebenaran (Veracity)
Melakukan kegiatan/tindakan sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika
yang tidak bertentangan (tepat, lengkap). Prinsip kejujuran menurut Veatch
dan Fry (1987) didefinisikan sebagai menyatakan hal yang sebenarnya dan
tidak bohong. Suatu kewajiban untuk mengatakan yang sebenarnya atau
untuk tidak membohongi orang lain. Kebenaran merupakan hal yang
fundamental dalam membangun hubungan saling percaya dengan pasien.
Perawat sering tidak memberitahukan kejadian sebenarnya pada pasien yang
memang sakit parah. Namun dari hasil penelitian pada pasien dalam keadaan
terminal menjelaskan bahwa pasien ingin diberitahu tentang kondisinya
secara jujur (Veatch, 1978).Contoh : Tindakan pemasangan infus harus
dilakukan sesuai dengan SOP yang berlaku dimana klien dirawat.
4. Keadilan (Justice)
Hak setiap orang untuk diperlakukan sama (facione et all, 1991).
Merupakan suatu prinsip moral untuk berlaku adil bagi semua individu.
Artinya individu mendapat tindakan yang sama mempunyai kontribusi yang
relative sama untuk kebaikan kehidupan seseorang. Prinsip dari keadilan
menurut beauchamp dan childress adalah mereka uang sederajat harus
diperlakukan sederajat, sedangkan yang tidak sederajat diperlakukan secara
tidak sederajat, sesuai dengan kebutuhan mereka.Ketika seseorang
mempunyai kebutuhan kesehatan yang besar, maka menurut prinsip ini harus
mendapatkan sumber-sumber yang besar pula, sebagai contoh: Tindakan
keperawatan yang dilakukan seorang perawat baik dibangsal maupun di
ruang VIP harus sama dan sesuai SAK
5. Tidak Membahayakan (Nonmaleficence)
Tindakan/ prilaku yang tidak menyebabkan kecelakaan atau
membahayakan orang lain.(Aiken, 2003). Contoh : Bila ada klien dirawat
dengan penurunan kesadaran, maka harus dipasang side driil.

6. Kemurahan Hati (Benefiecence)
Menyeimbangkan hal-hal yang menguntungkan dan
merugikan/membahayakan dari tindakan yang dilakukan. Melakukan hal-hal
yang baik untuk orang lain. Merupakan prinsip untuk melakukan yang baik
dan tidak merugikan orang lain/pasien. Prinsip ini sering kali sulit diterapkan
dalam praktek keperawatan. Berbagai tindakan yang dilakukan sering
memberikan dampak yang merugikan pasien, serta tidak adanya kepastian
yang jelas apakah perawat bertanggung jawab atas semua cara yang
menguntungkan pasien.Contoh: Setiap perawat harus dapat merawat dan
memperlakukan klien dengan baik dan benar.
7. Kesetiaan (fidelity)
Memenuhi kewajiban dan tugas dengan penuh kepercayaan dan
tanggung jawab, memenuhi janji-janji. Veatch dan Fry mendifinisikan
sebagai tanggung jawab untuk tetap setia pada suatu kesepakatan. Tanggung
jawab dalam konteks hubungan perawat-pasien meliputi tanggung jawab
menjaga janji, mempertahankan konfidensi dan memberikan
perhatian/kepedulian. Peduli kepada pasien merupakan salah satu dari
prinsip ketataatan. Peduli pada pasien merupakan komponen paling penting
dari praktek keperawatan, terutama pada pasien dalam kondisi terminal (Fry,
1991). Rasa kepedulian perawat diwujudkan dalam memberi asuhan
keperawatan dengan pendekatan individual, bersikap baik, memberikan
kenyamanan dan menunjukan kemampuan professionalContoh: Bila perawat
sudah berjanji untuk memberikan suatu tindakan, maka tidak boleh
mengingkari janji tersebut.
8. Kerahasiaan (Confidentiality)
Melindungi informasi yang bersifat pribadi, prinsip bahwwa perawat
menghargai semua informsi tentang pasien dan perawat menyadari bahwa
pasien mempunyai hak istimewa dan semua yang berhubungan dengan
informasi pasien tidak untuk disebarluaskan secara tidak tepat (Aiken, 2003).
Contoh : Perawat tidak boleh menceritakan rahasia klien pada orang lain,
kecuali seijin klien atau seijin keluarga demi kepentingan hukum.
9. Hak  (Right)
Berprilaku sesuai dengan perjanjian hukum, peraturan-peraturan dan
moralitas, berhubungan dengan hukum legal (Webster’s, 1998). Contoh :
Klien berhak untuk mengetahui informasi tentang penyakit dan segala
sesuatu yang perlu diketahuinya.

2.18 Perizinan Praktek


Menurut permenkes 148 tahun 2010 tentang perizinan syarat-syaratnya
1. Perawat dapat menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan
fasilitas pelayanannnya yaitu fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktek
mandiri dan atau praktek mandiri
2. Perawat yang menjalankan praktek mandiri minimal berpendidikan D III
Keperawatan
3. Setiap perawat yang menjalankan praktik wajib memiliki SIPP
4. Kewajiban memiliku SIPP dikecualikan bagi perawat yang menjalankan
praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktek mandiri
5. Untuk memperoleh SIPP perawat harus mengajukan permohonan kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan melampirkan fotocopy STR,
surat keterangan sehat, surat pernyataan memiliki tempat praktik, foto,
rekomendasi dari organisasi profesi. SIPP berlaku pada satu tempat
praktik saja
6. Dalam menjalankan praktik mandiri, perawat wajib memasang papan
nama praktik keperawatan
2.19 Kewenangan Perawat
1. Dalam menyelenggarakan Praktik Keperawatan,
Perawat bertugassebagai:
a. Pemberi AsuhanKeperawatan;
b. Penyuluh dan konselor bagiKlien;
c. Pengelola PelayananKeperawatan;
d. PenelitiKeperawatan;
e. Pelaksanatugasberdasarkanpelimpahanwewenang;dan/atau
f. Pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasantertentu.

2. DalammenjalankantugassebagaipemberiAsuhanKeperawatandibidangupayak
esehatanperorangan, Perawatberwenang:
a. Melakukan pengkajian Keperawatan secaraholistik;
b. Menetapkan diagnosisKeperawatan;
c. Merencanakan tindakanKeperawatan;
d. Melaksanakan tindakanKeperawatan;
e. Mengevaluasi hasil tindakanKeperawatan;
f. Melakukanrujukan;
g. Memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat sesuai
dengankompetensi;
h. MemberikankonsultasiKeperawatandanberkolaborasidengandokter;
i. Melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling;dan
j. Melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada Klien sesuai
dengan resep tenaga medisatau obat bebas dan obat bebasterbatas.

3. DalammenjalankantugassebagaipemberiAsuhanKeperawatandibidangupay
akesehatanmasyarakat, Perawatberwenang:
a. Melakukan pengkajian Keperawatan kesehatan masyarakat di
tingkat keluarga dankelompok masyarakat;
b. Menetapkan permasalahan Keperawatan kesehatanmasyarakat;
c. Membantu penemuan kasuspenyakit;
d. Merencanakan tindakan Keperawatan kesehatanmasyarakat;
e. Melaksanakan tindakan Keperawatan kesehatanmasyarakat;
f. Melakukan rujukankasus;
g. Mengevaluasi hasil tindakan Keperawatan kesehatanmasyarakat;
h. Melakukan pemberdayaanmasyarakat;
i. Melaksanakan advokasi dalam perawatan kesehatanmasyarakat;
j. Menjalinkemitraandalamperawatankesehatanmasyarakat;
k. Melakukan penyuluhan kesehatan dankonseling;
l. Mengelola kasus;dan
m. Melakukan penatalaksanaan Keperawatan komplementer danalternatif.

4. DalammenjalankantugassebagaipenyuluhdankonselorbagiKlien,Peraw
atberwenang:
a. Melakukan pengkajian Keperawatan secara holistik di tingkat
individu dan keluarga serta ditingkat kelompokmasyarakat;
b. Melakukan pemberdayaanmasyarakat;
c. Melaksanakan advokasi dalam perawatan kesehatanmasyarakat;
d. Menjalinkemitraandalamperawatankesehatanmasyarakat;dan
e. Melakukan penyuluhan kesehatan dankonseling.

5. DalammenjalankantugasnyasebagaipengelolaPelayananKeperawatan,Perawat
berwenang:
a. Melakukan pengkajian dan menetapkanpermasalahan;
b. Merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi Pelayanan
Keperawatan;dan
c. Mengelolakasus.
6. Dalam menjalankan tugasnya sebagai peneliti Keperawatan,
Perawatberwenang:
a. Melakukan penelitian sesuai dengan standar danetika;
b. Menggunakan sumber daya pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan atas izin
pimpinan;dan
c. Menggunakan pasien sebagai subjek penelitian sesuai dengan
etika profesi danketentuan peraturanperundang-undangan.

2.20 Tindakan Keperawatan Komplementer


a. Pengertian Terapi Komplementer
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Terapi merupakan
usaha untuk memulihkan kesehatan orang yang sedang sakit, pengobatan
penyakit, perawatan penyakit. Komplementer adalah bersifat melengkapi,
bersifat menyempurnakan.
Menurut WHO (World Health Organization), Pengobatan
komplementer adalah pengobatan non-konvensional yang bukan berasal dari
negara yang bersangkutan, misalnya jamu yang merupakan produk
Indonesia  dikategorikan sebagai pengobatan komplementer di negara
Singapura. Di Indonesia sendiri, jamu dikategorikan sebagai pengobatan
tradisional.Pengobatan tradisional yang dimaksud adalah pengobatan yang
sudah dari zaman dahulu digunakan dan diturunkan secara turun – temurun
pada suatu negara.
Terapi Komplementer  adalah cara penanggulangan penyakit yang
dilakukan sebagai pendukung atau pendamping kepada pengobatan medis
konvensional atau sebagai pengobatan pilihan lain diluar pengobatan medis
yang konvensional.
b. Tujuan Terapi Komplementer
Terapi komplementer bertujuan untuk memperbaiki fungsi dari sistem
– sistem tubuh, terutama sistem kekebalan dan pertahanan tubuh agar tubuh
dapat menyembuhkan dirinya sendiri yang sedang sakit, karena tubuh kita
sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan dirinya sendiri,
asalkan kita mau mendengarkannya dan memberikan respon dengan asupan
nutrisi yang baik lengkap serta perawatan yang tepat.
c. Jenis – Jenis Terapi Komplementer
Jenis pelayanan pengobatan komplementer – alternatif berdasarkan
Permenkes RI Nomor : 1109/Menkes/Per/2007 adalah :
1. Intervensi tubuh dan pikiran (mind and body interventions) : Hipnoterapi,
mediasi, penyembuhan spiritual, doa dan yoga
2. Sistem pelayanan pengobatan alternatif : akupuntur, akupresur,
naturopati, homeopati, aromaterapi, ayurveda
3. Cara penyembuhan manual : chiropractice, healing touch, tuina, shiatsu,
osteopati, pijat urut
4. Pengobatan farmakologi dan biologi : jamu, herbal, gurah
5. Diet dan nutrisi untuk pencegahan dan pengobatan : diet makro nutrient,
mikro nutrient
6. Cara lain dalam diagnosa dan pengobatan : terapi ozon, hiperbarik, EEC

d. Tindakan Keperawatan Komplementer


1. Aromatherapy
2. Massage
3. Reflexology
4. Hipnotherapy
5. Shiatsu
6. Bach Flower Remedies
7. Alexander Technique
8. Acupuncture
9. Herbal Meicine

e. Obat – Obat Terapi Komplementer


1. Bersifat natural yaitu mengambil bahan dari alam, seperti jamu – jamuan,
rempah yang sudah dikenal (jahe, kunyit, temu lawak dan sebagainya);
2. Pendekatan lain seperti menggunakan energi tertentu yang mampu
mempercepat proses penyembuhan, hingga menggunakan doa tertentu
yang diyakini secara spiritual memiliki kekuatan penyembuhan.

f. Aspek Legal Terapi Komplementer


1. Undang – Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan
a. Pasal 1 butir 16, pelayanan kesehatan tradisional adalah
pengobatan dan atau perawatan dengan cara dan obat yang
mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun – temurun
secara empiris yang dapat dipertanggung jawabkan dan
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat;
b. Pasal 48 tentang pelayanan kesehatan tradisional;
c. Bab III Pasal 59 s/d 61 tentang pelayanan kesehatan tradisonal.
2. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1076/Menkes/SK/2003 tentang
pengobatan tradisional;
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 120/Menkes/SK/II/2008
tentang standar pelayanan hiperbarik;
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1109/Menkes/Per/IX/2007
tentang penyelenggaraan pengobatan komplementer – alternatif di
fasilitas pelayanan kesehatan;
5. Keputusan Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik, No.
HK.03.05/I/199/2010 tentang pedoman kriteria penetepan metode
pengobatan komplementer – alternatif yang dapat diintegrasikan di
fasilitas pelayanan kesehatan.

g. Kendala Terapi Komplementer


1. Masih lemahnya pembinaan dan pengawasan;
2. Terbatasnya kemampuan tenaga kesehatan dalam melakukan
bimbingan;
3. Terbatasnya anggaran yang tersedia untuk pelayanan kesehatan
komplementer;
4. Belum memadainya regulasi yang mendukung pelayanan kesehatan
komplementer;
5. Terapi komplementer belum menjadi program prioritas dalam
penyelenggaraan pembangunan kesehatan.

2.21 Perawat dalam Melakukan Asuhan di Luar Kewenangan


Hal ini dapat dilakukan oleh perawat jika terdapat kodisi-kondisi seperti :
1. Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa sseorang dan tidak ada
dokter di tempat kejadian tersebut.
2. Bagi perawat yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki
dokter dalam rangka melaksanakan tugas pemerintah tetapi harus tetap
mempertimbangkan kompetensi, tingkat kedaruratan dan kemungkinan
untuk dirujuk.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan materi diatas, dapat disimpulkan bahwa
Keperawatan merupakan sebuah ilmu dan profesi yang memberikan
pelayanan keseahatan guna untuk meningkatkan keseahatan bagi
masyarakat. Keperawatan ternyata sudah ada sejak manusia itu ada dan
hingga saat ini profesi keperawatan berkembang dengan pesat. Sejarah
perkembangan keperawatan di Indonesia tidak hanya berlangsung di tatanan
praktik, dalam hal ini layanan keperawatan, tetapi juga di dunia pendidikan
keperawatan. Perawat dalam menjalankan tugasnya, ia dilindungi dan diatur
oleh beberapa aspek legal dalam kesehatan seperti yang tercantum dalam
Undang-undang No. 36 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah RI NO. 32
Tahun 1996.
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Standar
Pelayanan Rumah Sakit adalah semua standar pelayanan yang berlaku di
Rumah Sakit antara lain standar prosedur operasional, standar pelayanan
medis, dan standar asuhan keperawatan.
Dalam menjalankan tugasnya, perawat memiliki beberapa
tanggungjawab. Tanggung jawab perawat secara umum:
a. Menghargai martabat setiap pasien dan keluarganya
b. Menghargai hak pasien untuk menolak prosedur pengobatan dan
melaporkan penolakan tersebut kepada dokter dan orang-orang yang tepat.
c. Menghargai hak pasien dan keluarganya dalam hal kerahasiaan informasi
d. Apabila didelegasikan oleh dokter menjawab pertanyaan-pertanyaan
pasien dan memberikan informasi
e. Mendengarkan pasien secara seksama dan melaporkan hal-hal penting
kepada orang yang tepat.
Sementara tanggung gugat (akuntabilitas) adalah
mempertanggungjawabkan perilaku dan hasil-hasilnya termasuk dalam
lingkup peran profesional seseorang sebagaimana tercermin dalam laporan
pendidik secara tertulis tentang perilaku tersebut dan hasil-hasilnya. Baik
terhadap dirinya sendiri, pasien, profesi, sesama karyawan dan masyarakat.
Aturan yang berlaku untuk seorang perawat Indonesia dalam
melaksanakan tugas/fungsi perawat adalah kode etik perawat nasional
Indonesia, dimana seorang perawat selalu berpegang teguh terhadap kode etik
sehingga kejadian pelanggaran etik dapat dihindarkan.

3.2 Saran
Dalam melakukan asuhan keperawatan, hendaknya kita sebagai perawat
selalu memegang teguh kode etik dan bertanggung jawab di setiap tindakan
yang dilakukan kepada klien.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2016.Makalah Asuhan Keperawatan Gawat Darurat dan Aspek Legal


dan Etik Kegawatdaruratan Kelompok 2. (Online) Available :
http://karyatulisilmiah.com/makalah-asuhan-keperawatan-gawat-darurat-
aspek-legal-dan-etik-kegawat-daruratan-kelompok-2/ (Diakses pada
tanggal 03 November 2016, pukul 14.00 Wita)

Anonim.2016.Permenkes No.148. (Online) Available :


https://prastiwisp.files.wordpress.com/2010/11permenkes-no-148.pdf&ved
(Diakses pada tanggal 03 November, pukul 14.30 Wita)

Ami Utami, Dewa Ayu.2016.Aspek Legal Gadar. (Online) Available :


https://www.scribd.com/mobile/document/325456220/Aspek-Legal-Gadar
(Diakses pada tanggal 03 November 2015 pukul 13.30 Wita)

Bentynaaozzy.2016.Aspek Legal Keperawatan Gawat Darurat. (Online)


Available : https://zh.scribd.com/doc/107134833/Aspek-Legal-
Keperawatan-Gawat-Darurat&ved (Diakses pada tanggal 03 November
2015, pukul 13.00 Wita)

Budhiartie,Arrie,S.H.M.Hum.2010.Pertanggungjawaban Hukum Perawat


Dalam Penyelenggaran Pelayanan Kesehatan. (Online) Available :
http://jambilawclub.blogspot.co.id/2010/12/pertanggunggjawaban-hukum-
perawat-dalam.html (diakses pada tanggal 06 November, pukul 12.00
Wita)

Handayani, Fitri . 2013. Pendidikan Prodfesi Keperawatan. (Online)


Available
:http://www.academia.edu/9275103/MAKALAH_PENDIDIKAN_PROFESI
_KEPERAWATAN diakses pada tanggal 5 November 2016 pukul 20.30
WITA
Muhammad, Ichsan. 2003. Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009.
(Online) Available: http://www.slideshare.net/ichsansudjarno/uu-
kesehatan-no-36-thn-2009 diakses pada tanggal 5 November 2016 pukul
20.10 WITA
Priharjo, Robert. 2002. Pengantar Etika Keperawatan. Jakarta :Kanisius
Priharjo, Robert. 1995. Praktek Keperawatan Profesional: Konsep Dasar Dan
Hukum. Jakarta: EGC
Widiasari,Putri.2016.Delegasi Keperawatan.(Online) Available :
https://www.academia.edu/11313617/DELEGASI_KEPERAWATAN
(Diakses pada tanggal 06 November 2016, pukul 13.30 Wita)

Yuanita, Farida. 2013 https://id.scribd.com/doc/190162087/Akuntabilitas-


Perawat

Anda mungkin juga menyukai