Anda di halaman 1dari 80

EKONOMI INTERNASIONAL

(ISLAM)

ANDI TRIYAWAN

1
Daftar Isi
DAFTAR ISI ………………………………………........................................ 2

UCAPAN TERIMAKASIH.……………………………………………………..……. 3

PROLOG .…………………………………………………………………….…………… 4

1.Perdagangan Internasional Dalam Pandangan Islam ….………… 5

2.Abu Ubaid dan Perdagangan Internasional ……………..…………… 14

3. Sejarah Perdagangan Internasional pada awal Islam …………... 18

4. Rezim Perdagangan Intenasional: Transisi GATT menuju 25


WTO……………………………………………………………………………………...

5. Perdagangan Bebas Menurut Islam …………………………………….. 23

6. Mekanisme Pasar Menurut Ibnu Taimiyah ………………………….. 42

7. ACFTA – Pasar Bebas Dalam Pandangan Islam …………………….. 48

8. Imbal Dagang dan Perdagangan Internasional …………………….. 58

9. Dumping Dalam Pandangan Islam ………………………………………. 63

10. Hedging Dalam Pandangan Islam ………………………………………. 72

2
Ucapan Terima Kasih
Alhamdulillah, Kehadiran buku ini tidak lepas dari dorongan dan
bantuan banyak pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu per
satu. Diantaranya, Ika Prastyaningsih pendamping setiaku dan
putri kecilku Zafeena Aisyah yang mendorong dan
menyemangati agar buku ini bisa diterbitkan.

Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada Pimpinan


Pondok Modern Darussalam Gontor dan Rektor UNIDA Gontor
yang telah memberi kesempatan dan ilmunya kepada kami
sehingga terbitlah buku ini.

Terakhir hanya kepada Allah kami berlindung dari segala khilaf


dan salah baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Semoga buku ini bermanfaat bagi seluruh pembacanya, Amin.

Mantingan, Juli 2017

3
PROLOG
Buku ini adalah pemikiran yang berusaha untuk mengenalkan
kepada pembaca konsep Islam yang berkaitan dengan ekonomi
Internasional. Ilmu Ekonomi yang banyak dianut oleh manusia di
seluruh Negara kebanyakan masih berkutat pada jiwa-jiwa kapitalisme
yang bersifat individualis, materialis dan berusaha menghalalkan
segala cara demi kekayaan duniawi.
Lingkup yang dibahas dalam ekonomi internasional ini bersifat
makro, sehingga banyak juga mengkaji kebijakan-kebijakan Negara.
Dalam buku ini terdapat 10 bab diantaranya Perdagangan
Internasional dalam Pandangan Islam, Abu Ubaid dan Perdagangan
Internasional, Perdagangan Internasional Dalam Pandangan Islam,
Sejarah Perdagangan Internasional pada awal Islam, Rezim
Perdagangan Intenasional: Transisi GATT menuju WTO, Perdagangan
Bebas Menurut Islam, Mekanisme Pasar Menurut Ibnu Taimiyah,
ACFTA – Pasar Bebas Dalam Pandangan Islam, Imbal Dagang dan
Perdagangan Internasional, Dumping Dalam Pandangan Islam,
Hedging Dalam Pandangan Islam,

Masih banyak kekurangan yang ada dalam buku ini, semoga


kedepan menjadi lebih baik lagi, Amien.

4
1
PERDAGANGAN
INTERNASIONAL
DALAM
PANDANGAN ISLAM

5
I
slam memiliki pandangan yang berbeda dengan sistem ekonomi
lainnya dan sama sekali tidak sama dibandingkan dengan teori-
teori yang ada. Pandangan Islam dalam persoalan perdagangan
internasional antara lain adalah:
1. Asas perdagangan didasarkan pada pedagangnya, bukan komoditi
yang dijualnya.
Dalam permasalahan perdagangan, baik perdagangan domestik
maupun internasional, Islam menjadikan pedagang sebagai asas yang
akan dijadikan titik perhatian dalam kajian maupun hukum-hukum
perdagangannya. Status hukum komoditi yang diperdagangkan akan
mengikuti status hukum pedagangnya. Hukum dagang/jual-beli adalah
hukum terhadap kepemilikan harta, bukan hukum terhadap harta yang
dimilikinya. Dengan kata lain, hukum dagang/jual-beli adalah hukum
untuk penjual dan pembeli, bukan untuk harta yang dijual atau yang
dibeli. Allah Swt. berfirman:
‫َواَ َح َّل هللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَوا‬
Allah telah menghalalkan jual-beli. (QS al-Baqarah [2]: 275).
Maknanya adalah, Allah telah menghalalkan jual-beli untuk manusia.
Rasulullah saw. juga bersabda:
ِ َ‫اى بِاْل ِخي‬
«‫ار َهالَ ْن يَتَفَ َّرقَا‬ ِ ‫»اَ ْلبَ ْي َع‬
Dua orang orang yang berjual-beli boleh memilih (akan meneruskan
jual-beli mereka atau tidak) selama keduanya belum berpisah (dari
tempat aqad). (HR al-Bukhari dan Muslim).

6
Hukum bolehnya untuk memilih (khiyar) pada hadis di atas adalah
untuk penjual dan pembeli, bukan untuk komoditi yang
diperjualbelikan.
«‫لل َ ا ِا َو َْي بَي ِْع ْالل ََر ِر‬
َ ‫ ًَ َى َْي بَي ِْع ْا‬.‫اليبي صلى‬
َّ ‫»اَ َّى‬
Nabi saw. telah melarang jual beli dengan kerikil (lemparan) dan jual
beli gharar. (HR Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa‟i).
Larangan dalam hadis di atas merupakan pengharaman terhadap jenis
aktivitas jual-beli tertentu yang dilakukan oleh manusia, bukan
larangan terhadap komoditi yang diperjualbelikan manusia.
Dari pandangan yang khas inilah selanjutnya Islam memberikan
berbagai aturan yang menyangkut perdagangan, termasuk perdagangan
internasional.
2. Perdagangan internasional mengikuti politik luar negeri Islam.
Menurut pandangan Islam, status pedagang internasional mengikuti
kebijakan politik luar negeri Islam. Dalam politik luar negeri Islam,
negara-negara di luar Darul Islam dipandang sebagai darul harbi. Darul
harbi dibagi dua, yaitu darul harbi fi„lan, yaitu negara yang secara real
(de facto) sedang memerangi Islam, dan darul harbi hukman, yaitu
negara yang secara de facto tidak sedang berperang dengan Islam.
Berlandaskan pada pandangan politik luar negeri itulah, maka status
pedagang dapat dikelompokkan menjadi 4:
a. Pedagang yang berstatus sebagai warga negara.
Warga negara Islam, yaitu Muslim maupun non-Muslim (kafir
dzimmi), mempunyai hak untuk melakukan aktivitas perdagangan di
luar negeri, sebagaimana kebolehan untuk melakukan aktivitas
perdagangan di dalam negeri. Mereka bebas melakukan ekspor-impor

7
komoditi apapun tanpa harus ada izin negara, juga tanpa ada batasan
kuota, selama komoditi tersebut tidak membawa dharar.
b. Pedagang dari negara harbi hukman.
Pedagang dari negara harbi hukman, baik yang Muslim maupun yang
non-Muslim, memerlukan izin khusus dari negara jika mereka akan
memasukkan komoditinya. Izin bisa untuk pedagang dan komoditinya,
dapat juga hanya untuk komoditinya saja.
Jika pedagang dari negara harbi hukman tersebut sudah berada di
dalam negara, maka dia berhak untuk berdagang di dalam negeri
maupun membawa keluar komoditi apa saja selama komoditi tersebut
tidak membawa dharar.
c. Pedagang dari negara harbi hukman yang terikat dengan perjanjian.
Pedagang kafir mu„âhad, yaitu pedagang yang berasal dari negara harbi
hukman yang terikat perjanjian dengan Negara Islam, diperlakukan
sesuai dengan isi perjanjian yang diadakan dengan negara tersebut,
baik berupa komoditi yang mereka impor dari Negara Islam maupun
komoditi yang mereka ekspor ke Negara Islam.
d. Pedagang dari negara harbi fi„lan.
Pedagang dari negara harbi fi„lan, baik Muslim maupun non-Muslim,
diharamkan secara mutlak melakukan ekspor maupun impor. Perlakuan
terhadap negara yang secara real memerangi Islam adalah embargo
secara penuh, baik untuk kepentingan ekspor maupun impor.
Pelanggaran terhadap embargo ini dianggap sebagai perbuatan dosa.
Ketentuan Tarif/Bea Cukai
Dalam perdagangan internasional, Islam telah memberikan ketentuan
terhadap penetapan tarif, baik untuk ekspor maupun impor, yang biasa

8
dikenal dengan bea cukai. Menurut hukum Islam, bea cukai haram
diambil untuk pedagang warga negara terhadap komoditi apapun. Nabi
saw. bersabda:
َ َ ٌَّ‫» َ يَ ْ ُ ُل ْال َل‬
«‫صا ِح ُ َه ْ ٍس‬
Tidak akan masuk surga orang yang memungut bea cukai. (HR Abu
Dawud, Ahmad, al-Hakim).
«‫ ًَ ْعٌِي ْال َعا ِا ُر‬:‫اا‬ ِ ٌّ‫اح َ ْال َو ْ ِ ِي ال‬
َ َ‫ار ق‬ ِ ‫ص‬َ ‫»اِ َّى‬
Sesungguhnya orang yang memungut bea cukai itu berada dalam
neraka. Rasul berkata, “Yakni Al-„Asyir.” (HR Abu Dawud dan
Ahmad).
Adapun pedagang warga negara asing diperlakukan sesuai
dengan yang telah dikenakan terhadap pedagang warga Negara Islam
ketika memasuki negara asing tersebut. Jika pedagang warga Negara
Islam memasukkan barang dagangan dikenakan tarif bea masuk
sebesar 10% (misalnya), maka bagi
pedagang asing yang masuk ke negara Islam juga dikenakan
10%. Tarif bea masuk 10% diberlakukan sebagai balasan terhadap apa
yang telah diperlakukan terhadap pedagang warga Negara Islam di
negara asing tersebut.
Ketentuan Sistem Kurs (Exchang Rates)
Ketika negara-negara di dunia masih menjalankan sistem mata uang
emas, persoalan kurs mata uang tidak pernah muncul. Dengan sistem
emas ini, perdagangan internasional mencapai puncak kemudahannya.
Proses ekspor-impor dapat berlangsung tanpa ada kendala apapun.
Dalam sistem ini, satuan mata uang terikat dengan emas dalam kadar
tertentu yang diukur menurut berat timbangannya. Ekspor dan impor

9
yang dilakukan dengan menggunakan mata uang emas hukumnya
adalah mubah. Siapapun boleh memiliki mata uang emas, emas
batangan, bijih emas, perhiasan emas, dan bebas pula untuk
mengekspor dan mengimpornya.
Namun demikian, saat ini sistem tersebut sudah tidak berlaku lagi.
Seluruh dunia saat ini menggunakan mata uang kertas yang berbeda-
beda untuk setiap negara yang mengeluarkannya. Dengan adanya
perbedaan mata uang tersebut, menurut teori, ada tiga kemungkinan
sistem kurs yang dapat diberlakukan:
1. Sistem kurs tetap (fixed exchange rates).
2. Sistem kurs mengambang terkendali (managed floating exchange
rates).
3. Sistem kurs mengambang bebas (freely floating exchange rates).
Dari tiga sistem kurs tersebut, ternyata Islam telah memiliki
ketentuan berbeda dari ketiganya. Sistem kurs dalam Islam sepintas
hampir mirip dengan sistem kurs mengambang bebas, karena Islam
memberikan kebebasan penuh bagi rakyatnya untuk melakukan
transaksi berbagai valuta asing secara bebas (suka sama suka). Akan
tetapi, aturan tersebut tidak berhenti sampai di situ, karena masih ada
syarat lanjutannya, yaitu harus dilakukan secara kontan dan dalam satu
tempat.
Rasulullah saw. bersabda (yang artinya), “Juallah emas dengan
perak sesuka kalian, dengan (syarat harus) kontan.” Emas dan perak
yang dituju oleh hadis tersebut adalah emas dan perak sebagai mata
uang yang diberlakukan pada masa Nabi saw. Ketentuan tersebut

10
berlaku umum untuk transaksi-transaksi mata uang sebagaimana yang
berlaku saat ini.
Politik Dagang Internasional
Jika pembahasan perdagangan internasional sampai di sini,
sekilas tampaknya sistem Islam terlihat sama dengan politik ekonomi
pasar bebas. Ini tentu merupakan kesimpulan yang salah. Sebab, jika
pembahasan perdagangan internasional dilihat dalam perspektif
Negara, maka politik perdagangan internasional dalam Islam akan
berbeda, karena harus tetap tunduk pada kepentingan politik luar negeri
Islam.
Dalam politik luar negeri Islam, Negara Islam dipandang
sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk mengemban
risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. Bahkan syariat Islam
mengizinkan penggunaan kekuatan militer untuk menumpas segala
bentuk halangan fisik yang dapat mengganggu kelancaran penyebaran
dakwah tersebut.
Oleh karena itu, segala bentuk perdagangan luar negeri yang
dilakukan oleh Negara harus dalam rangka menyukseskan kepentingan
dakwah tersebut dan tidak boleh hanya untuk kepentingan ekonomi
semata. Agar risalah dakwah dapat berjalan dengan mantap,
dibutuhkan berbagai kebijakan khusus untuk melindungi kepentingan
Negara sekaligus memperkuat kemampuan Negara. Sebagai contoh:
Negara harus mengupayakan segala kebutuhan bahan baku
yang sangat diperlukan bagi pasokan industri militernya, walaupun
harus mengimpor dari luar negeri. Meskipun secara ekonomi tidak

11
menguntungkan (karena terjadi defisit neraca perdagangan dengan
negara tersebut), Negara tetap harus mengimpor bahan baku tersebut.
Negara harus senantiasa mengupayakan agar segala kebutuhan
pokok rakyat tetap dalam kondisi yang aman dan tidak ada
ketergantungan terhadap negara asing. Bahkan jika perlu, Negara harus
sampai memiliki kemampuan untuk menghadapi segala kemungkinan
embargo yang akan diterapkan oleh negara-negara asing.
Jika untuk menundukkan sebuah negara harbi diperlukan
embargo BBM, maka ekspor BBM ke negara tersebut harus
dihentikan; walaupun secara ekonomi ekspor BBM ke negara tersebut
sebelumnya sangat menguntungkan.
Jika dalam Negara Islam transaksi perdagangannya sudah
menggunakan emas dan perak, sedangkan negara-negara lain tidak
menggunakannya, maka untuk melindungi Negara dari ancaman
hilangnya emas dan perak ke luar negeri, yang dapat menimbulkan
lumpuhnya perekonomian Negara, maka Negara berhak untuk
memproteksi perdagangan emas dan perak ke luar negeri.

Daftar Pustaka
Krugman, Paul R. & Maurice Obstfeld, 1999, Ekonomi Internasional –
Teori dan Kebijakan, Terj. Faisal H. Basri, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Al-Maliki, Abdurrahman, 2001, Politik Ekonomi Islam, Terj. Ibnu
Sholah, Al-Izzah, Bangil.

12
An-Nabhani, Taqyuddin, 1990, an-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm,
Darul Ummah, Beirut, Lebanon, Cet. IV.
Samuelson, Paul A. & Nordhaus, William D., 1999, Makroekonomi,
Alih Bahasa: Haris Munandar dkk., Erlangga, Jakarta.
Zain, Samih Athif, 1988, Syariat Islam dalam Perbincangan Ekonomi,
Politik dan Sosial sebagai Studi Perbandingan, Terj. Mudzakir As.,
Hussaini, Bandung.

13
2
ABU UBAID
DAN
PERDAGANGAN
INTERNASIONAL

14
P
erdagangan Internasional adalah perdagangan antar negara
yang melintasi batas-batas suatu negara. Jauh sebelum teori
perdagangan internasional ditemukan di Barat. Islam telah
menerapkan konsep-konsep perdagangan internasional. Adalah ulama
besar yang bernama Abu Ubaid bin Salam bin Miskin bin Zaid al-Azdi
telah menyoroti praktik perdagangan internasional ini, khususnya
impor dan ekspor. Lahir tahun 774 M dan wafat 838 M, Abu Ubaid
merupakan orang pertama yang memotret kegiatan perekonomian di
zaman Rasulullah SAW, khulafaur Rasyidin, para sahabat dan tabiin-
tabiin.
Pemikiran Abu Ubaid tentang ini dapat dilihat dalam kitabnya,
Al Amwaal yang ditulisnya hampir 1000 tahun sebelum Adam Smith
(1723-1790) menelurkan teori keunggulan absolutnya. Pemikiran Abu
Ubaid tentang ekspor impor ini dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu
tidak adanya nol tarif dalam perdagangan internasional, cukai bahan
makanan pokok lebih murah, dan ada batas tertentu untuk dikenakan
cukai.
Tidak Adanya Nol Tarif
Pengumpulan cukai merupakan kebiasaan pada zaman jahiliah
dan telah dilakukan oleh para raja bangsa Arab dan non Arab tanpa
pengecualian. Sebab, kebiasaan mereka adalah memungut cukai barang
dagangan impor atas harta mereka, apabila masuk ke dalam negeri
mereka. Dari Abdurrahman bin Maqil, ia berkata, “Saya pernah
bertanya kepada Ziyad bin Hudair, Siapakah yang telah kalian pungut
cukai barang impornya? Ia berkata, “Kami tidak pernah mengenakan
cukai atas Muslim dan Mua-hid. Saya bertanya, Lantas, siapakah orang

15
yang telah engkau kenakan cukai atasnya? Ia berkata, “Kami
mengenakan cukai atas para pedagang kafir harbi, sebagaimana mereka
telah memungut barang impor kami apabila kami masuk dan
mendatangi negeri mereka”.
Hal tersebut diperjelas lagi dengan surat-surat Rasulullah,
dimana beliau mengirimkannya kepada penduduk penjuru negeri
seperti Tsaqif, Bahrain, Dawmatul Jandal dan lainnya yang telah
memeluk agama Islam. Isi surat tersebut adalah “Binatang ternak
mereka tidak boleh diambil dan barang dagangan impor mereka tidak
boleh dipungut cukai atasnya”.
Umar bin Abdul Aziz telah mengirim sepucuk surat kepada Adi
bin Arthaah yang isinya adalah “Biarkanlah bayaran fidyah manusia.
Biarkanlah bayaran makan kepada ummat manusia. Hilangkanlah
bayaran cukai barang impor atas ummat manusia. Sebab, ia bukanlah
cukai barang impor. Akan tetapi ia merupakan salah satu bentuk
merugikan orang lain, sebagaimana firman Allah, Dan janganlah kamu
merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan jangan kamu
membuat kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan (Huud85).
Dari uraian diatas, Abu Ubaid mengambil kesimpulan bahwa
cukai merupakan adat kebiasaan yang senantiasa diberlakukan pada
zaman jahiliah. Kemudian Allah membatalkan sistem cukai tersebut
dengan pe-ngutusan Rasulullah dan agama Islam. Lalu, datanglah
kewajiban membayar zakat sebanyak seperempat dari usyur (2.5%).
Dari Ziyad bin Hudair, ia berkata, “Saya telah dilantik Umar menjadi
petugas bea cukai. Lalu dia memerintahkanku supaya mengambil cukai
barang impor dari para pedagang kafir harbi sebanyak usyur (10%),

16
barang impor pedagang ahli dzimmah sebanyak setengah dari usyur
(5%), dan barang impor pedagang kaum muslimin seperempat dari
usyur (2.5%)”.
Yang menarik, cukai merupakan salah satu bentuk merugikan
orang lain, yang sekarang ini didengungkan oleh penganut
perdagangan bebas (free trade), bahwa tidak boleh ada tarif barrier
pada suatu negara. Barang dagangan harus bebas masuk dan keluar dari
suatu negara. Dengan kata lain, bea masuknya nol persen. Tetapi,
dalam konsep Islam, tidak ada sama sekali yang bebas, meskipun
barang impor itu adalah barang kaum muslimin. Untuk barang impor
kaum muslimin dikenakan zakat yang besarnya 2.5%. Sedangkan non
muslim, dikenakan cukai 5% untuk ahli dzimmah (kafir yang sudah
melakukan perdamaian dengan Islam) dan 10% untuk kafir harbi
(Yahudi dan nasrani). Jadi, tidak ada prakteknya sejak dari dahulu,
bahwa barang suatu negara bebas masuk ke negara lain begitu saja.

Cukai Bahan Makanan Pokok


Untuk minyak dan gandum yang merupakan bahan makanan
pokok, cukai yang dikenakan bukan 10% tetapi 5% dengan tujuan agar
barang impor berupa makanan pokok banyak berdatangan ke Madinah
sebagai pusat pemerintahan saat itu. Dari Salim bin Abdullah bin Umar
dari ayahnya, ia berkata, “Umar telah memungut cukai dari kalangan
pedagang luar; masing-masing dari minyak dan gandum dikenakan
bayaran cukai sebanyak setengah dari usyur (5%). Hal ini bertujuan
supaya barang impor terus berdatangan ke negeri madinah. Dan dia

17
telah memungut cukai dari barang impor al-Qithniyyah sebanyak usyur
(10%)”.
Ada Batas Tertentu untuk Cukai
Yang menarik, tidak semua barang dagangan dipungut
cukainya. Ada batas-batas tertentu dimana kalau kurang dari batas
tersebut, maka cukai tidak akan dipungut. Dari Ruzaiq bin Hayyan ad-
Damisyqi (dia adalah petugas cukai di perbatasan Mesir pada saat itu)
bahwa Umar bin Abdul Aziz telah menulis surat kepadanya, yang
isinya adalah, “Barang siapa yang melewa-timu dari kalangan ahli
zimmah, maka pungutlah barang dagangan impor mereka. Yaitu, pada
setiap dua puluh dinar mesti dikenakan cukai sebanyak satu dinar.
Apabila kadarnya kurang dari jumlah tersebut, maka hitunglah dengan
kadar kekurangannya, sehingga ia mencapai sepuluh dinar. Apabila
barang dagangannya kurang dari sepertiga dinar, maka janganlah
engkau memungut apapun darinya. Kemudian buatkanlah surat
pembayaran cukai kepada mereka bahwa pengumpulan cukai akan
tetap diberlakukan sehingga sampai satu tahun”.
Jumlah sepuluh dinar adalah sama dengan jumlah seratus
dirharn di dalam ketentuan pembayaran zakat. Seorang ulama Iraq,
Sufyan telah menggugurkan kewajiban membayar cukai apabila barang
impor ahli dzimmah tidak mencapai seratus dirharn. Menurut Abu
Ubaid, seratus dirharn inilah ketentuan kadar terendah pengumpulan
cukai atas harta impor ahli dzimmah dan kafir harbi.

18
3
SEJARAH
PERDAGANGAN
INTERNASIONAL
PADA AWAL
ISLAM

19
P
osisioning Makkah yang berada tepat pada jantung arab,
pertengahan antara Syiria dan Yaman menjadikannya sebagai
tempat yang strategis, Semenanjung arab oleh beberapa
sejarawan di bagi menjadi tiga bagian yaitu Arabia Felix, Arabia
Patraea dan Arabia Deserta yang mengubungkan tripartid kekuasaaan
pada awal abad kristen daerah Arabia Felix adalah daerah yang
merdeka, Arabia Patraea di bawah kekuasaan Roma dan Arabia
Deserta di bawah kekuasaan Parthia. Mekkah terletak antara Arabia
Deserta dan Arabia Felix, dimana daerah Arabia Felix, yang
menghubungkan daerah subur di Arabia Felix dan Daerah padang pasir
di sekitar Mesopotamia.
Dengan kondisi yang strategis memberikan keuntungan sendiri
karena di lalui rute perdagangan antara persia dan Roma, terlebih
perdagangan Roma dan India melewati bagian selatan dan Timur
Arabia selama berabad abad dan rute ini disebut degan rute
perdagangan selatan. Barang dagangan yang di peroleh dari India
menggunakan kapal Laut menuju Oman, kemudian di bawa lagi
meleluilintasan darat melalui bagian utara Arabia dan Syam dan
kemudian ke Roma. Kota kota Besar pun menjadi pusat perdagangan
bagi para kafilah dagang yang melewati jalur ini. Antara lain adalah
Lakm, Al kindah dan Gassan ketiganya terletak di sepanjang Rute
dagang Utara.
Selain rute dagang selatan dan utara, ada rute ketiga yang
berada di antara yaman dan Syam yang di kembangkan pada saat
Hasyim mengambil alih kepemimpinan bangsa Quraisy. Perdagangan
melalui rute ini merupakan hasil usaha hasyim untuk mendapatkan

20
perjanjian dan izin dari raja raja Roma, Persia, Ethiopia dan yaman
bagi Quraisy.
Hal ini menjadi satu bukti bahwa perdagangan merupakan dasar
perekonomian sebelum Islam datang. Prasyarat untuk melakukan
transaksi adalah adanya alat pembayaran yang dapat di percaya. Satuan
mata uang yang dipergunakan adalah dirham dan Dinar. Dominasi
Persia dan Roma juga tidak lepas atas berlakunya Dinar dirham di
Arabia, dengan kian kuatnya politik kedua negara itu maka alat
pembayarannya pun makin dipercaya di wilayah yang berada di bawah
pengaruh kekuasaannya. Karena faktor itulah, bangsa Persia dan
Bangsa Romawai menjadi Satu satunya Mitra dagang orang orang
Arab.
Dirham dan Dinar memiliki nilai yang tetap. Karena itu, tidak
ada masalah dalam perputaran uang. Jika dirham dinilai sebagai satuan
uang, nilai dinar adalah perkalian dari dirham dan jika diasumsikan
dinar sebagai unit moneter, nilainya adalah sepuluh kali dirham.
Walaupun demikian dirham lebih umum digunakan daripada dinar
karena hampir seluruh wilayah kekaisaran Persia yang mata uangnya
dirham dapat dikuasai angkatan perang Islam,
sementara tidak semua wilayah kekaisaran Romawi yang memiliki
mata uang dinar dapat dikuasai Islam. Karena itu, mata uang dirham
lebih Populer di dunia usaha bangsa arab.
Selain menggunakan dirham dan dinar, alat pembayaran yang
di gunakan pada awal periode islam adalah Kredit. Ekspansi
perdagangan di Arabia yang sudah berlangsung berabad abad lamanya
menuntut penggunaan kredit. Selain memiliki kelebihan yang dimiliki

21
Dinar dan Dirham sebagai alat pembayaran, kredit memiliki
keuntungan lainnya. Biasanya para pedagang yang berpengalaman dan
bereputasi tinggi akan menggunakan semacam surat wesel dagang dan
surat utang dalam transaksi bisnisnya. Meningkatnya perdagangan
antara syam dan yaman, yang berlangsung paling tidak dua kali
setahun sebelum masa kenabian dimulai, menciptakan kemungkinan
untuk menerbitkan dan menerima surat wesel tagih, cek atau surat
dagang diantara pedagang pedagang Quriasy dan Yaman.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar di terbitkan surat
pembayaran cek yang penggunannnya di terima oleh masyarakat.
Menurut Al-Yaqubi, Umar menginstruksikan untuk mengimport
sejumlah barang dagangan dari Mesir ke Madinah. Karena barang yang
diimport jumlahnya sangat besar, pendidtribusiaannya cukup besar,
pendistribusiaannya menjadi terhambat. Oleh karena itu Umar
menerbitkan sejumlah cek kepada orang orang yang berhak dan rumah
tangga sehingga secara bertahap setiap orang dapat pergi kebendahara
kaum muslimin dan mengumpulkan hartanya.

PRINSIP PRINSIP PERDAGANGAN

Perdagangan luar negeri adalah aktivitas jual beli yang


berlangsung antar bangsa dan ummat, bukan antar individu dari suatu
negara. Perdagangan luar negeri biasanya terjadi antar negara melalui
orang yang menjadi pelaku bisnisnya, sehingga seseorang bisa pergi
kenegara lain untuk mendatang suatu komoditi tertentu, kemudian dia
melakukan transaksi pembelian komoditi untuk dijual di negara lain,

22
sehingga dia akan memberikan harga komoditi untuk negaranya. Jenis
komoditi yang diperdagangkan memang mempunyai pengaruh kepada
boleh tidaknya suatu aktivitas perdagangan. Yang dilihat adalah apakah
komoditi ini berbahaya atau kah tidak, contoh perdagangan yang
dilarang adalah membawa komoditi persentajaan ke negara kufur.
Secara khusus perdagangan secara prinsip adalah
menghubungkan antara kelebihan produksi suatu negara dengan
kekurangan produk dari suatu negara (gains Of trade) dengan pola pola
perdagangan baik yang dikenakan dalam bentuk pembatasan produk
(Quota) atau pun dengan mengenakan pungutan atas produk yang
masuk (tariff).
Pengenaan tarif ini dalam pemerintahan Islam dikenal dengan
Istilah Ushr, ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua
pedagang, dibayar sekali dalam setahun dan hanya berlaku terhadap
barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Tingkat bea orang-orang
yang dilindungi adalah 5% dan pedagang muslim 2,5%. Hal ini juga
terjadi di Arab sebelum masa Islam,terutama di Mekkah, pusat
perdagangan terbesar. Menurut Dr.Hamidullah, Rasulullah S.A.W
berinisiatif mempercepat peningkatan perdagangan walaupun menjadi
beban pendapatan negara. Ia menghapuskan semua bea masuk dan
dalam banyak perjanjian dengan berbagai suku menjelaskan hal
tersebut. Ia mengatakan,”Barang-barang milik utusan dibebaskan dari
bea impor di wilayah muslim, bila sebelumnya telah terjadi tukar-
menukar barang”.
Konsepsi hubungan perdagangan akan terangkum dalam Fiqh
Muamalah dimana di dalamnya mengatur hubungan antar sesama

23
Muslim dan hubungan antar Muslim dan Muslim dalam keseharian.
Dengan mendasarkan hubungan antar negara dengan syariah seperti
dalam Fiqh muamalah akan dengan sendirinya akan memberikan satu
hubungan timbal balik antar negara yang saling menghormati dan
terjaga dari hal hal yang di haramkan.

24
4
Rezim Perdagangan
Internasional:
Transisi GATT
Menuju WTO

25
S
ejak awal tercetusnya, rezim telah bertujuan untuk menjadi
sebuah wadah yang mampu memoderasi kepentingan-
kepentingan aktor internasional. Seiring berjalannya waktu,
kepentingan-kepentingan aktor internasional menjadi semakin banyak
dan heterogen sehingga dibutuhkan rezim-rezim yang lebih spesifik,
mampu memoderasi kepentingan yang lebih luas, serta terinstitusi
dengan jelas dan legal. Munculnya kepentingan-kepentingan tersebut
secara tidak langsung telah menuntut rezim itu sendiri untuk terus
memperbaharui sistem-sistem yang terdapat di dalamnya.
Kontribusi rezim dalam mengatur kondisi internasional telah
menjamah berbagai aspek kehidupan dan menjadikan rezim sesuatu
yang cukup krusial (Puchala dan Hopkins, 1981 dalam Haggard dan
Simmons, 1987: 493). Peran rezim sebagai sebuah wadah yang
memoderasi kepentingan-kepentingan negara ini tidak terkecuali pada
bidang ekonomi. GATT merupakan salah satu contoh rezim yang
mengatur mengenai perdagangan internasional yang kemudian
menempuh dinamika-dinamika internasional hingga mengalami
pergantian menjadi WTO yang lebih lanjut akan penulis bahas pada
tulisan ini.

Penulis mengambil contoh rezim perdagangan karena dalam


rezim ini, yang menjadi aktor utamanya adalah negara, berbeda dengan
rezim-rezim yang lain (Ford, 2002: 116). Dalam rezim perdagangan,
terdapat struktur-struktur kolektif mengenai perdagangan internasional
yang kemudian disebut sebagai trading culture. Terdapat tiga perspektif

26
tradisional yang dapat digunakan dalam mengkaji rezim perdagangan
internasional, yaitu perspektif neo-realisme, neo-liberalisme, dan neo-
marxisme. Kaum neo-realis menganggap bahwa dinamika yang terjadi
dalam rezim merupakan refleksi dari kepentingan aktor tertentu demi
memperoleh keuntungan secara ekonomi.
Kaum neo-liberalis pun setuju apabila dinamika yang terjadi
dalam rezim merupakan refleksi dari akumulasi kepentingan aktor
yang tergabung dalam suatu rezim tertentu. Sedangkan menurut kaum
neo-marxis, rezim, dalam hal ini khususnya rezim perdagangan, tidak
terlepas dari eksistensi kapitalisme global. Ketiga perspektif ini
kemudian menjelaskan bagaimana rezim-khususnya rezim
perdagangan-mempengaruhi keadaan sosial, ekonomi, dan politik
internasional seperti kapitalisme, kekuatan negara, dan institusi
internasional dalam pengimplementasian perkembangan rezim
perdagangan (Ford, 2002: 117).

GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) merupakan


salah satu rezim perdagangan internasional yang lahir dari Bretton
Woods System pada tahun 1947. Kemunculan rezim GATT ini pada
awalnya adalah karena absensi aktor yang memiliki otoritas yang
terlegitimasi untuk mengatur perdagangan internasional. Sehingga
kemudian rezim ini mengatur penghapusan batas-batas perdagangan
dunia sehingga tidak ada pengistimewaan terhadap suatu negara
tertentu, meminimalisir barier, serta memberi proteksi dan konsultasi
perdagangan pada negara anggota (Ford, 2002: 117). Pasca Perang

27
Dunia II, muncul negara-negara subordinat atau negara berkembang
yang telah terdekolonisasi.
Negara-negara berkembang ini kemudian juga terlibat dalam
rezim GATT dan diberi kebebasan yang sama layaknya negara maju
untuk menjalankan perdagangan internasional semaksimal mungkin
(Ford, 2002: 118). Akan tetapi, beberapa dekade kemudian, tidak dapat
dipungkiri bahwa terdapat dominansi negara maju atas negara
berkembang yang menyebabkan hilangnya kepercayaan negara
berkembang terhadap rezim GATT.
GATT yang hanya berfokus pada pengurangan tarif barang
perdagangan internasional namun mengabaikan perbaikan kondisi
pasar itu sendiri kemudian memicu transisi MFN (Most Favored
Nation) menjadi GSP (Generalized System of Preferences) pada tahun
1968 (Chadha, 200: 1084). MFN yang hanya mengatur mengenai
penjaminan perlakuan yang setara pada seluruh anggota GATT,
digantikan oleh GSP yang juga mengatur mengenai perizinan negara
maju untuk memberi akses istimewa terhadap pasar negara
berkembang, utamanya pada barang-barang pokok dan pertanian.
Namun sayangnya, meskipun isi dari GSP ini sangat membantu
negara berkembang dalam mengembangkan dan memperbaiki
pasarnya, pada realitanya negara maju tidak benar-benar melaksanakan
GSP sehingga timbul perlawanan-perlawanan dari negara berkembang.
Negara berkembang juga sadar bahwa keberadaan rezim GATT yang
seharusnya mendahulukan kepentingan negara sebagai aktor utamanya
ini pada realitanya justru lebih menguntungkan TNC dibanding negara
berkembang (Ford, 2002: 125). Terlebih lagi, menurut penulis, rezim

28
GATT ini hanya merupakan wadah exercise of power negara dalam
sistem internasional. Mengingat pasca Perang Dunia II, kondisi
persebaran kekuatan yang mendominasi adalah multipolar.
Maka berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah terjadi,
negara-negara berkembang mulai mempelajari pola-pola perpolitikan
internasional dan berinisiatif untuk membuat sebuah rezim yang benar-
benar mampu untuk menjadi wadah, tidak hanya untuk negara maju
namun juga negara berkembang. Hal ini kemudian memunculkan sifat
rezim sebagai sebuah social learning process, di mana negara
berkembang, meskipun notabene bukan aktor yang menonjol, namun
mencoba untuk menunjukkan bahwa segala interaksi yang terjadi
dalam rezim, terlepas dari siapapun aktornya, akan membawa pengaruh
terhadap rezim itu sendiri dan sistem internasional secara keseluruhan
(Ford, 2002: 121).
Pemahaman mengenai self and other dalam kerja sama di
bidang perdagangan akan timbul dan implikasi dari timbulnya
kesadaran atas pemahaman tersebut tercermin pada perubahan rezim
GATT menjadi WTO (World Trade Organization) pada tahun 1995.
Runtuhnya Bretton Woods System yang dikarenakan terjadi exercise of
power negara-negara hegemon, di mana pada masa itu negara-negara
hegemon selain Amerika Serikat menukarkan dollar dengan emas
sebagai bentuk penolakan hegemoni Amerika Serikat yang kemudian
membawa dunia internasional menuju ketidakstabilan. GATT yang
tidak didesain untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi dan
perdagangan secara lebih lanjut ini kemudian tidak mampu mengatasi
fluktuasi yang terjadi pada masa itu (Chadha, 2000: 1084).

29
WTO, sebagai sebuah rezim yang telah terinstitusi, merupakan
perubahan fundamental yang terjadi dalam dunia internasional. Dengan
terinsitusinya WTO, regulasi-regulasi yang ada di dalamnya dapat
lebih mengikat negara-negara anggota, transparansi dan akuntabilitas
rezim dapat lebih terjamin, serta rezim perdagangan ini tidak hanya
berfungsi sebagai katalisator perdagangan internasional namun juga
memperbaiki pasar di negara berkembang. Di dalam WTO, terdapat
perbaikan-perbaikan dalam mekanisme pengambilan keputusan yang
telah ada sejak GATT.
Namun dalam rezim GATT, terdapat upaya sistematis dalam
sistem multilateralismenya untuk mengesampingkan kepentingan
negara berkembang sehingga hanya kepentingan negara maju saja yang
menjadi pertimbangan (Ford, 2002: 117). Kesetaraan dalam
pengambilan keputusan ini dibuat oleh WTO dengan sistem one dollar
one vote. Dalam WTO, negara-negara anggota secara tidak langsung
dipaksa untuk mengikuti sistem perdagangan liberal yang dianggap
lebih relevan untuk modal bersaing di ranah internasional serta demi
mendapatkan kesejahteraan nasional (Ford, 2002: 116). Prinsip NT
(National Treatment) yang terdapat dalam WTO juga merupakan
perbaikan dari sistem sebelumnya yang terdapat dalam GATT.
Dengan adanya NT, negara berkembang dapat mengembangkan
potensinya hingga menjadi negara maju karena prinsip NT adalah
menghilangkan diskriminasi yang ada dengan cara melakukan
negosiasi, prediktabilitas, serta mengutamakan kompetisi secara sehat
(Chadha, 2000: 1084). Karena bentuk dari rezim WTO yang telah
terinstitusi, sifat keanggotaan negara anggota menjadi lebih mengikat

30
dibanding rezim GATT yang tidak terinstitusi sehingga pengaturan-
pengaturan dapat dilakukan dengan lebih mudah.
Namun tetap saja terdapat penyimpangan-penyimpangan
dalam rezim WTO itu sendiri. Meskipun regulasi-regulasi dalam WTO
telah lebih jelas dibandingkan dengan GATT, serta sifatnya yang lebih
mengikat. Namun pada kenyataannya, secara keseluruhan, negara
berkembang tetap tidak dapat mendapat keuntungan sebesar yang
diperoleh negara maju. Liberalisasi pasar yang secara tidak langsung
dituntut oleh rezim WTO ini memang membawa keuntungan yang
cukup signifikan bagi negara berkembang.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa negara maju tidak benar-
benar meliberalisasikan pasarnya, negara maju justru berusaha untuk
tetap melindungi dan menjaga stabilitas dari pasar domestik mereka
dengan melakukan usaha-usaha proteksionisme (Ford, 2002: 134). Hal
ini tentu dinilai tidak adil bagi negara berkembang, akan tetapi di sisi
lain, negara berkembang mengalami dilemma karena liberalisasi pasar
memang masih menjadi solusi yang paling efisien dalam meningkatkan
perekonomian negeri. Selain itu, sistem one dollar one vote yang
diterapkan oleh WTO sebenarnya merugikan negara berkembang
karena secara tidak langsung menyiratkan bahwa stigma hegemon rules
the world masih tetap berlangsung dan negara berkembang hanya dapat
menjadi pengikut dalam proses pengambilan keputusan.
Kesimpulannya, tidak dapat dipungkiri bahwa penyimpangan-
penyimpangan dalam rezim internasional cenderung tidak dapat
dihindari. Terutama apabila telah menyentuh pada persoalan ekonomi,
di mana aspek ekonomi ini membawa dampak yang signifikan bagi

31
aspek-aspek yang lain. Meskipun terdapat penyimpangan-
penyimpangan dalam jalannya suatu rezim, rezim tetap dibutuhkan
untuk mewadahi dan memoderasi kepentingan-kepentingan negara.
Secara tidak langsung, rezim telah menjembatani antara negara core,
semi-periphery, dan periphery, namun di sisi lain, rezim juga telah
memperjelas kesenjangan diantara ketiganya.
Hal ini dapat dilihat dari transisi yang ada dalam rezim GATT
menjadi WTO. Pada awalnya, keduanya memiliki tujuan yang sama,
yaitu sebagai katalisator perdagangan internasional serta menjunjung
kesetaraan di bidang perdagangan dengan menghapuskan diskriminasi-
diskriminasi. Akan tetapi dalam pengimplementasiannya, keduanya
mengimplikasikan diskriminasi namun dalam bentuk yang berbeda.
Apabila GATT berbentuk overt hegemony, di mana ia menunjukkan
kapabilitas dominansi secara eksplisit dan terbuka. Sedangkan WTO
berbentuk de facto imposition, yaitu menunjukkan kapabilitas
dominansi secara implisit dan dilakukan melalui manipulasi insentif.

Referensi:
Chadha, Rajesh. 2000. “Understanding the WTO Regime”,
dalam Economic and Political.
Ford, Jane. 2002. “A Social Theory of Trade Regime Change:
GATT to WTO”, dalam International Studies Review.
Haggard, Stephan dan Simmons, Beth A. 1987. “Theories of
International regimes”, dalam International Organization

32
5

PERDAGANGAN
BEBAS
MENURUT
ISLAM

33
M
enurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, liberalisasi
perdagangan adalah alat negara-negara maju untuk
membuka pasar untuk produk-produk manufaktur dan
investasi negara-negara maju di negara-negara berkembang. Kebijakan
ini tidak hanya memperlemah perekonomian dalam negeri, akibat tidak
bisa bersaingnya produk-produk dalam negeri dengan produk-produk
impor, tetapi juga akan melarikan kekayaan negara-negara berkembang
ke negara-negara maju (efek dependensia). Negara-negara berkembang
akan terus menjadi konsumen utama dari komoditas dan investasi
negara-negara maju. Akibatnya, negara-negara berkembang semakin
sulit membangun fondasi ekonomi yang tangguh, akibat
ketergantungan yang besar terhadap negara-negara industri. Dengan
demikian, negara berkembang tidak akan pernah bergeser menjadi
negara industri yang kuat dan berpengaruh.
Atas dasar itu, seorang Muslim haram menerima konsep pasar
bebas yang dipropagandakan oleh Amerika, Cina, dan negara-negara
industri Barat. Pasalnya, kebijakan pasar bebas membuka jalan selebar-
lebarnya bagi negara-negara kufur untuk menguasai dan mengontrol
perekonomian negeri-negeri Islam. Padahal hal tersebut secara tegas
dilarang dalam Islam sebagaimana firman Allah SWT:
‫هللاُ لِ ْل َ ا ِ ِرييَ َ لَى ْال ُو ْؤ ِهٌِييَ َسبِيال‬
َّ ‫َولَ ْي يَلْ َع َل‬
Allah tidak memperkenankan orang-orang kafir menguasai orang-
orang Mukmin (QS an-Nisa‟ [4]: 141).

Perdagangan Luar Negeri Khilafah


Dalam pandangan ekonomi politik Islam, perdagangan luar negeri
dikontrol sepenuhnya oleh negara dan ditujukan untuk memperkuat
34
stabilitas politik dalam negeri, dakwah Islam dan perekonomian dalam
negeri. Kontrol Khilafah dalam perdagangan luar negeri mutlak
diperlukan, sebab faktor yang diperhatikan dan diatur dalam
perdagangan luar negeri bukanlah komoditas yang diperdagangkan
antara dua negara, tetapi pemilik komoditas atau negara asal dari
komoditas tersebut. Pandangan ekonomi politik seperti ini didasarkan
pada sebuah anggapan bahwa perdagangan luar negeri harus mengikuti
hukum Islam yang mengatur interaksi negara Khilafah dengan negara-
negara lain (negara kafir). Atas dasar itu, perusahaan atau warga negara
Khilafah Islamiyah tidak boleh melakukan perdagangan luar negeri
secara langsung tanpa sepengetahuan dan ijin dari negara Khilafah
Islamiyah.
Dalam pandangan politik Islam, seluruh negara yang berada di
luar Khilafah Islamiyah adalah negara kafir yang wajib diperangi
(kafir harbi). Negara kafir harbi dibagi menjadi dua macam:
kafir harbi fi’l[an] dan kafir harbi hukm[an]. Negara
kafir harbi hukm[an] adakalanya membuat perjanjian dengan negara
Khilafah (kafir mu’âhid) dan adakalanya meminta perlindungan kepada
negara Khilafah (kafir musta’min). Klasifikasi seperti ini mutlak
dilakukan untuk menetapkan ketentuan hukum perdagangan luar negeri
dengan mereka.
Adapun ketentuan perdagangan luar negeri Khilafah Islamiyah
dapat dipilah menjadi dua, yakni yang berhubungan dengan: ekspor
komoditas ke luar negeri dan impor komoditas dari luar negeri.
Berhubungan dengan ekspor komoditas ke luar negeri,
ketentuannya adalah sebagai berikut;

35
1. Warga negara Muslim atau kafir dzimmi (orang kafir yang
menjadi warga negara dalam Khilafah) dilarang menjual persenjataan,
sistem komunikasi alat-alat berat dan strategis lain kepada negara,
perusahaan, atau warga negara darul kufur jika komoditas tersebut
digunakan untuk memerangi Khilafah. Adapun barang-barang yang
tidak strategis semacam pakaian, makanan, perabotan, souvenir dan
lain-lain maka seorang Muslim atau kafir dzimmi dibolehkan
menjualnya kepada negara kafir. Namun, jika ketersediaan komoditas-
komoditas tersebut amat sedikit di dalam negeri dan akan
membahayakan ketahanan ekonomi Khilafah maka negara Khilafah
melarang warga negaranya, baik Muslim maupun kafir dzimmi,
menjualnya ke negara kafir.
2. Perdagangan luar negeri dengan negara kafir harbi fi’l[an],
yakni negara kafir yang memiliki hubungan permusuhan dan
peperangan secara langsung dengan Daulah Islam, adalah haram.
Terhadap negara seperti ini, Khilafah tidak akan mengijinkan warga
negara maupun perusahaan-perusahaan yang berada di dalam negeri
Khilafah untuk melakukan perdagangan luar negeri dengan negara
kafir harbi fi’l[an], apapun komoditasnya. Pasalnya, melakukan
perdagangan luar negeri dengan negara-negara kafir harbi
fi’l[an] termasuk dalam ta’âwunyang dilarang.
Adapun ketentuan yang berhubungan dengan impor komoditas
dari luar negeri dapat dirinci sebagai berikut;
1. Khilafah mengijinkan kaum Muslim dan kafir dzimmi untuk
mengimpor komoditas dari negara-negara kafir. Terhadap
kafir mu’ahid, yakni orang kafir yang negaranya menjalin perjanjian

36
dengan Khilafah, maka mereka akan diperlakukan sesuai dengan butir-
butir perjanjian tersebut, baik yang menyangkut komoditas yang
mereka impor dari Daulah Islamiyah, maupun komoditas yang mereka
ekspor ke Daulah Islamiyah. Hanya saja, mereka tetap tidak boleh
mengimpor persenjataan dan alat-alat pertahanan strategis dari Daulah
Islamiyah. Namun, orang kafir yang membuat perjanjian dengan
Daulah Islamiyah (kafir mu’ahid) dibolehkan memasukkan komoditas
perdagangannya ke dalam Daulah Islamiyah.
2. Terhadap negara kafir harbi fi’l[an], tidak ada hubungan
perdagangan dengan mereka. Yang ada hanyalah hubungan perang.
Atas dasar itu, kaum Muslim dibolehkan merampas harta mereka atau
memerangi mereka di manapun mereka jumpai.
3. Kafir harbi tidak dibolehkan masuk ke wilayah Khilafah,
kecuali ada ijin masuk dari negara. Jika mereka masuk tanpa ijin,
mereka diperlakukan sebagaimana halnya kafir harbi fi’lan, yakni harta
dan jiwa mereka tidak mendapatkan perlindungan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perdagangan luar
negeri Daulah Khilafah Islamiyah dikontrol sepenuhnya oleh negara.
Warga negara Khilafah, baik Muslim maupun non-Muslim, dilarang
melakukan perdagangan luar negeri dengan negara kafir, tanpa
sepengetahuan dan seijin Daulah Khilafah Islamiyah. Atas dasar itu, di
perbatasan-perbatasan wilayah Khilafah Islamiyah dengan negara-
negara kafir, harus ada pengawas (mashalih) yang bertugas memantau
lalu lintas orang yang masuk dan keluar dari Daulah Khilafah
Islamiyah.

37
Proteksionisme
Pada dasarnya proteksionisme adalah politik perdagangan luar
negeri yang dianut oleh ekonom kapitalis. Teori ini mengharuskan
keterlibatan negara untuk mewujudkan apa yang disebut keseimbangan
neraca perdagangan luar negeri. Kebijakan ini ditujukan untuk
mempengaruhi neraca perdagangan (balance of trade) dan
memecahkan masalah kelemahan ekonomi nasional.
Dalam konteks tertentu, Khilafah Islamiyyah juga melakukan
sejumlah proteksi untuk melindungi stabilitas ekonomi. Hanya saja,
proteksi yang dilakukan oleh Khilafah tidak sama dengan proteksi yang
dilakukan oleh negara kapitalis. Proteksi yang dilakukan oleh Khilafah
tidak ditujukan untuk melindungi stabilitas ekonomi saja, tetapi juga
ditujukan untuk mewujudkan stabilitas politik dan tugas mengemban
risalah Islam ke seluruh dunia.
Di sisi lain, kebijakan proteksi yang dianut Khilafah selalu sejalan
dengan prinsip kesetaraan dan keadilan dalam interaksi dengan negara-
negara kafir. Misalnya, jika negara kafir mengenakan tarif 20 persen
atas komoditas-komoditas kaum Muslim yang masuk ke negara
mereka, maka Khilafah juga akan mengenakan tarif yang sama
terhadap komoditas-komoditas mereka yang masuk ke dalam Daulah
Khilafah.
Adapun mengenai cukai (tarif) yang dikenakan atas komoditas
perdagangan yang keluar masuk di wilayah Daulah Islamiyah tentu
berbeda dengan cukai yang dipraktikkan pada perdagangan luar negeri
sekarang. Cukai dikenakan kepada pelaku perdagangan dari negara
kafir. Adapun pelaku perdagangan dari warga negara Daulah

38
Islamiyah, baik Muslim atau kafir dzimmi, maka sama sekali tidak
boleh ada cukai, baik komoditas yang mereka ekspor maupun yang
mereka impor ke negara kafir. Penetapan tarif cukai atas orang-orang
kafir ditentukan berdasarkan prinsip kesetaraan dan keseimbangan
seperti di atas.

Strategi Khilafah untuk Memperkuat Produsen Dalam Negeri


Strategi Khilafah untuk memperkuat produsen dalam negeri
adalah sebagai berikut:
1. Menyediakan sarana dan prasarana yang memadai untuk
mempermudah aktivitas perekonomian di dalam negeri, mulai dari
penyediaan sarana transportasi yang handal, manufaktur,
telekomunikasi, gudang, serta sarana-sarana penting lainnya.
2. Memberlakukan undang-undang anti hak paten dan royalti atas
penggunaan penemuan-penemuan baru di bidang sains dan teknologi.
Undang-undang ini dibuat untuk mempercepat terjadinya transfer
teknologi dan skill di seluruh kawasan negara Khilafah sehingga akan
meningkatkan kemampuan dan kualitas produksi dalam negeri.
3. Memberlakukan sanksi terhadap perusahaan-perusahaan yang
memproduksi produk-produk manufaktur yang mem-bahayakan
manusia dan merusak lingkungan. Kaedah ushul fikih
menyatakan: adh-dhararu yuzâlu (bahaya itu harus dihilangkan).
Dengan sanksi ini, standar manufaktur dan produk akan selalu
terkontrol dan terpelihara sehingga memiliki kualitas yang sangat
tinggi.

39
4. Menyediakan modal dan pinjaman tanpa bunga bagi kegiatan-
kegiatan perekonomian dalam negeri. Dengan itu niscaya pertumbuhan
ekonomi dalam negeri bisa dipacu secara maksimal. Apa lagi sistem
moneter yang digunakan oleh khilafah adalah sistem moneter yang
berbasis emas dan perak, yang memungkinkan terciptanya kestabilan
pada sektor fiskal. Jika ini terjadi, dunia usaha di dalam negeri
Khilafah akan bergerak stabil dan ekspansinya akan tumbuh secara
maksimal.
5. Menjaga mekanisme pasar di dalam negeri dengan cara menjaga
pasar dari praktik-praktik yang bisa mengguncang stabilitas pasar
semacam penimbunan, penipuan, riba, pungli dan lain sebagainya.
Negara tidak akan intervensi dengan cara menetapkan harga dengan
alasan untuk melindungi konsumen atau produsen. Cara yang ditempuh
Khilafah untuk menstabilkan harga adalah operasi pasar, bukan dengan
cara tas’îr (penetapan harga).
6. Menciptakan stabilitas politik dan keamanan dalam negeri
dengan menerapkan sanks-sanksi keras terhadap siapa saja yang
berusaha menciptakan instabilitas di dalam negeri.
7. Negara Khilafah berusaha keras untuk tidak melakukan hutang
dan penarikan investasi luar negeri. Selain justru akan memperlemah
perekonomian dalam negeri, hutang dan investasi luar negeri sering
dijadikan alat oleh negara-negara kafir untuk mendikte negara-negara
penghutang.
8. Mengelola dan mengatur sepenuhnya asset-asset milik umum
secara profesional demi kemakmuran rakyat. Khilafah tidak akan

40
melakukan privatisasi pada aset-aset strategis yang menjadi hajat hidup
orang banyak.
Dengan strategi inilah, produsen dalam negeri akan terlindungi,
dan mampu menghasilkan produk-produk yang mampu bersaing
dengan produk-produk luar negeri.

41
6
MEKANISME
PASAR
MENURUT
IBNU TAIMIYAH

42
I
bnu Taimiyah, yang nama lengkapnya Taqiyuddin Ahmad bin
Abdul Halim, lahir di Harran pada tanggal 22 Januari 1263 (10
Rabiul Awwal 661 H). Dia banyak menghabiskan umurnya di
Mesir dan Syria di mana kedua kota itu menjadi pusat perkembangan
ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Mamluk. Dia terkenal sebagai
reformis radikal yang selalu mengkritik kondisi sosial, politik dan
stagnasi perkembang - an ajaran Islam yang terjadi di sekelilingnya.
Jiwa reformis inilah yang membuatnya di penjara beberapa kali.

Bahkan ia pun meninggal dalam usia 65 tahun saat berada di penjara


Damaskus tahun 1328. Beliau menulis lebih dari 15 buku
dengan tema pembahasan yang bervariasi. Pemi-kiran ekonominya
kebanyakan dapat ditelusuri dikedua bukunya yaitu: Al-Hisbah fi‟l-
Islam dan al-Siyasah al-Shariah fi Islah alRai wal‟l-Raiyah. Ibnu
Taimiyah menggabungkan aspek philosofi, agama, etika, sosiologi dan
ekonomi dalam berbagai pemikirannya. Pada kesempatan ini, fokus
43
utama yang akan dielaborasi adalah konsep mekanisme pasar menurut
beliau.

Mekanisme Harga Harga terbentuk dari tarik-menarik antara


produsen dan konsumen baik di pasar barang (output) ataupun faktor-
faktor produksi (input). Harga merepresentasikan nilai tukar sua tu unit
benda tertentu. Ibnu Taimiyah sering kali menggunakan dua istilah saat
membahas tentang harga yaitu kompensasi yang setara („iwadh al-
mitsl) dan harga yang setara (tsa man al-mitsl). Harga yang adil
menurut dia ada lah harga yang setara. Ia mengatakan : “kompensasi
yang setara diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan inilah
makna keadilah (nafs al-„adl)” (Ghazanfar dan Islahi, 1990).

Kemudian Ibnu Taimiyah menjelaskan lebih lanjut tentang


harga yang setara (price of equivalent). Harga yang setara menurut
beliau adalah harga yang dibentuk oleh kekuatan pasar yang berjalan
secara bebas, yakni pertemuan antara kekuatan permintaan dengan
penawaran. Istilah harga setara (tsaman al-mitsl) dari Ibnu Taimiyah
sama dengan harga equilibrium (keseimbangan) dalam ilmu ekonomi
modern. Ibnu Taimiyyah pun mengelaborasi konsep harga yang adil
(fair price) dalam pembahasannya tentang hukum fiqhi. Dan melalui
hukum evolusi metamorposis, nampaknya istilah “adil” yang
merefleksikan tentang spirit etika agama Islam pada awalnya,
bertransformasi menjadi “natural” pada zaman Physiocrats, menjadi
“normal” pada zaman Classical dan terakhir menjadi istilah
“Equilibrium” di tangan Marshall dan ilmuan ekonomi Barat lainnya
(Ghazanfar, 2005).

44
Dapat disimpulkan bahwa istilah tentang harga keseimbangan
(equilibrium) yang sering dipe lajari dalam ilmu ekonomi adalah
sebenarnya hasil metamorposis dari istilah Ibnu Taimiyah tentang
“thaman al-mithl” atau harga adil dalam pembahasannya tentang
hukum fiqhi. Ibnu taimiyah sangat memahami tentang ekonomi pasar
bebas dan bagaimana harga ditentukan melalui kekuatan permintaan
dan penawaran. Dia mengatakan (Ibn Taimiyah 1983-9, vol. 8, p.583):
“naik turunnya harga tidak selalu diakibatkan oleh kezaliman orang-
orang tertentu. Terkadang, hal tersebut disebabkan oleh kekurangan
produksi atau penurunan impor barang-barang yang diminta.

Oleh karena itu, apabila permintaan naik dan penawaran turun,


harga-harga naik. Di sisi lain, apabila persediaan barang meningkat dan
permintaan terhadapnya menurun, harga pun turun. Kelangkaan atau
kelimpahan ini bukan disebabkan oleh tindakan orang-orang tertentu.
Ia bisa disebabkan oleh sesuatu yang tidak mengandung kezaliman,
atau ter kadang, ia juga bisa disebabkan oleh kezaliman. Hal ini adalah
kemahakuasaan Allah yang telah menciptakan keinginan di hati
manusia.” Kenaikan harga bisa disebabkan oleh ketidak adilan yang
dilakukan oleh pihak penjual yang kita kenal sebagai penimbunan atau
perilaku manipulasi pasar.

Di sisi yang lain, Ibnu Taimiyah mengemukakan bahwa harga


bisa naik turun akibat kekuatan pasar yaitu supply dan demand. Harga
yang terbentuk melalui hu kum supply dan demand tanpa ada unsur
ketidakadilan didalamnya maka itu disebab kan karena kehendak
Allah. “Jika penduduk menjual barang-barangnya secara normal (al-

45
wajh al-ma‟ruf) tanpa menggunakan cara-cara yang tidak adil
kemudian harga tersebut meningkat karena pengaruh kelangkaan
barang (yakni penurunan supply) atau karena pening katan jumlah
penduduk (yakni peningkatan de mand), kenaikan hargaharga tersebut
meru pa kan kehendak Allah SWT” (Ibnu Taymiyah, 1983).

Menurut Samuelson harga keseimbangan adalah “A market


equilibrium comes at that price and quantity where the force of supply
and demand are in balance”. Ini sama dengan apa yang dikemukakan
oleh Ibnu Taimiyah, perbedaannya hanya terletak pada harga
equilibrium itu terjadi bukan hanya karena hukum supply dan demand
tapi karena kehendak Allah. Ibnu Taimiyah menganalisis bahwa
kenaikan harga bisa karena penurunan supply barang atau peningkatan
jumlah penduduk (jumlah pembeli) terjadi karena kehendak Allah- atau
disebut harga pasar yang adil. Dan kenaikan harga juga bisa
disebabkan oleh perilaku zalim penjual berupa penimbunan dan
manipulasi pasar.

Pendapat ini senada dengan pendapat para ahli ekonomi


modern yang mengatakan bahwa pergeseran kurva permintaan terjadi
bisa dikarenakan oleh pertumbuhan jumlah penduduk, pendapatan,
selera, dll. Ibnu Taimiyah juga mengidentifikasi beberapa faktor yang
bisa membuat pergeseran pada kurva permintaan dan penawaran yang
akhirnya berdampak pada harga pasar, seperti: tingkat permintaan,
kelangkaan dan keberlimpahan barang, cara pembayaran dan potongan
harga (lihat Gambar 1). Beliau juga berpendapat bahwa negara harus
berperan penting dalam pemenuhan kepentingan publik. Negara harus

46
melakukan intervensi jika harga yang berlaku di pasar akibat kezaliman
supplier (penimbunan dan manipulasi pasar). Bahkan dia
memperkenalkan institusi Hisbah yang bertujuan untuk memastikan
semua pelaku ekonomi memenuhi semua kewajibannnya terhadap
pihak lain dan bertindak berdasarkan norma dan aturan yang berlaku.

47
7
ACFTA –
PASAR BEBAS
DALAM
PANDANGAN
ISLAM

48
M
ulai awal tahun ini, siap atau tidak, Indonesia harus
membuka pasar dalam negeri secara luas kepada negara-
negara ASEAN dan Cina. Sebaliknya, Indonesia dipandang
akan mendapatkan kesempatan lebih luas untuk memasuki pasar dalam
negeri negara-negara tersebut. Pembukaan pasar ini merupakan
perwujudan dari perjanjian perdagangan bebas antara negara anggota
ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina dan
Brunei Darussalam) dengan Cina, yang disebut dengan ASEAN-China
Free Trade Agreement (ACFTA). Perjanjian perdagangan bebas ini
sebenarnya sudah direncanakan sejak tahun 2002. Lantas, apakah
kebijakan pasar bebas ini akan membawa perubahan nasib rakyat
negeri ini yang masih dihimpit dengan kemiskinan. Bagaimana
sebenarnya pandangan Islam tentang hal ini ?

Silang Pendapat ACFTA

Pihak yang setuju dengan ACFTA, menyatakan dengan


ACFTA memberi peluang Indonesia untuk meningkatkan ekspor ke
Cina dan negara-negara ASEAN. Menteri Perdagangan Mari Elka
Pangestu menegaskan bahwa free trade agreement (FTA) memberikan
banyak manfaat bagi ekspor dan penanaman modal di Indonesia
(Kompas, 5/1/2010). Konsumen akan semakin diuntungkan dan
dimanjakan karena terjadi kompetisi dari para produsen. Sehingga
harga yang terjadi semurah mungkin. Husni Mubarak, (Paramadina,
10/1/2010).

Hal senada juga disampaikan oleh Marzuki Usman bahwa


Indonesia sebagai anggota ASEAN tidak dapat menolak, karena
49
kesepakatan sudah ditandatangani. Kalau menolak, berarti kita harus
keluar dari ASEAN (RMOL,10/1/2010).

Sedang pihak yang menolak, Ernovian G Ismy, Sekjen Asosiasi


Pertekstilan Indonesia menyatakan kekhawatirannya atas
pemberlakukan perdagangan bebas ASEAN-Cina, di antaranya
terjadinya perubahan pola usaha yang ada dari pengusaha menjadi
pedagang. Intinya, jika berdagang lebih menguntungkan karena faktor
harga barang-barang impor yang lebih murah, akan banyak industri
nasional dan lokal yang gulung tikar hingga akhirnya berpindah
menjadi pedagang saja (Republika, 4/1/2010).

Mantan Dirjen Bea Cukai, Anwar Surijadi, juga


mempertanyakan manfaat pemberlakukan perdagangan bebas ini bagi
masyarakat (Republika, 4/1/2010).

Hal yang sangat dikhawatirkan mengenai dominasi Cina


terhadap Indonesia juga disampaikan Menteri Perindustrian MS
Hidayat. Menurut Hidayat, dalam kerangka ACFTA yang berlatar
belakang semangat bisnis, Cina bisa berbuat apa pun untuk
mempengaruhi Indonesia mengingat kekuatan ekonominya jauh di atas
Indonesia (Bisnis Indonesia, 9/1/2010).

Masih banyak lagi kenyataan yang menunjukkan bahwa


perdagangan bebas secara liar justru akan menjerumuskan rakyat ke
dalam jurang kemiskinan dan menjadikan rakyat hanya sebatas
konsumen, jongos bahkan lebih buruk dari itu.

Bahaya ACFTA
50
Sebelum adanya perjanjian perdagangan bebas dengan Cina
saja, kita sudah mendapatkan hampir segala lini produk yang
dipergunakan di rumah dan perkantoran bertuliskan Made in China.
Seorang ekonom yang juga pejabat menteri ekonomi di Kabinet
Pemerintahan mengomentari bahwa dengan dimulainya perdagangan
bebas Indonesia-Cina, serbuan produk Cina ke Indonesia akan “seperti
air bah”.

Karena itu, pemberlakuan pasar bebas ASEAN-Cina sudah


pasti menimbulkan dampak sangat negative, diantaranya:

Serbuan produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan


kehancuran sektor-sektor ekonomi yang diserbu. Padahal sebelum
tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi
(penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri
(KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan
dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan 5
tahun ke depan penanaman modal di sektor industri pengolahan
mengalami penurunan US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh
penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM (industri kecil menegah).
Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008
mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar.
Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan
dalam menghadapi persaingan dengan produk dari Cina (Bisnis
Indonesia, 9/1/2010).

Pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas


dan harga yang sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam
51
negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi
menjadi importir atau pedagang saja. “Buat apa memproduksi tekstil
bila kalah bersaing? Lebih baik impor saja, murah dan tidak perlu
repot-repot jika diproduksi sendiri.” (Ade Sudrajat Usman. Bisnis
Indonesia, 9/1/2010)

Karakter perekomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri


dan lemah. Segalanya bergantung pada asing. Bahkan produk “sepele”
seperti jarum dan peniti saja harus diimpor. Jika banyak sektor
ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sektor-sektor vital
ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing, maka
apalagi yang bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi Indonesia?

Jika di dalam negeri saja kalah bersaing, bagaimana mungkin


produk-produk Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar
ASEAN dan Cina? Data menunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor
non-migas Indonesia ke Cina sejak 2004 hingga 2008 hanya 24,95%,
sedangkan tren pertumbuhan ekspor Cina ke Indonesia mencapai
35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat
mungkin berkembang adalah ekspor bahan mentah, bukannya hasil
olahan yang memiliki nilai tambah seperti ekspor hasil industri. Pola
ini malah sangat digemari oleh Cina yang memang sedang “haus”
bahan mentah dan sumber energi untuk menggerakkan ekonominya.

ACFTA akan membuat Indonesia mengalami deindustrialisasi,


karena produk hasil industri Indonesia kalah bersaing dengan produk
China. Dampaknya, ketersediaan lapangan kerja semakin menurun.
Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari 2 juta
52
orang, sementara pada periode Agustus 2009 saja jumlah
pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,96 juta orang.
Pengangguran besar-besaran pasti akan terjadi. Padahal salah satu cara
untuk menyerap tenaga kerja adalah melalui industri (Ismail Yusanto,
RMOL 13/1/2010) Walhasil, perdagangan bebas yang dijalani
Pemerintah Indonesia pada hakikatnya adalah „bunuh diri‟ secara
ekonomi.

Perjanjian dan Perdagangan Luar Negeri Dalam Islam

Sebelum menjelaskan hukum dari perjanjian perdagangan


bebas terlebih dahulu perlu dipahami secara global bagaimana aturan
perjanjian luar negeri Khilafah Islam. Secara umum perjanjian negara
Islam dengan negara kafir (dar al-harb) hukumnya mubah. Hal ini
didasarkan pada firman Allah SWT:

“Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada


sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian.”
(QS An Nisa‟ [4]: 90).

“Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian


(damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya.” (QS An Nisâ
[4]: 92)

Demikian pula Rasulullah SAW misalnya melakukan perjanjian


dengan Yuhanah bin Ru‟bah pemilik kota Ilah dan bani Dhamrah.

53
Syarat-syarat yang disepakati dalam perjanjian tersebut wajib
ditunaikan oleh kaum muslimin sebagaimana halnya negara lain yang
terlibat dalam perjanjian tersebut. Rasulullah SAW bersabda :

“Kaum muslimin (wajib) terikat pada syarat-syarat yang


mereka buat.”

Namun demikian syarat tersebut harus sejalan dengan Islam.


Jika bertentangan maka isi perjanjian tersebut harus ditolak dan haram
terikat padanya. Perjanjian netralitas yang bersifat permanen antara dua
negara misalnya, yakni perjanjian untuk tidak saling menyerang
sepanjang masa, perjanjian untuk menetapkan daerah perbatasan secara
permanen tidak boleh disepakati. Ini karena perjanjian tersebut akan
membatasi pelaksanaan jihad fi sabilillah. Demikian pula perjanjian
untuk menyewakan pangkalan udara dan militer kepada negara-negara
kafir juga tidak boleh ditandatangani. Ini karena perjanjian tersebut
akan memudahkan negara kafir menguasai negara Islam. Rasulullah
SAW bersabda:

“Semua syarat yang bertentangan dengan Kitabullah maka bathil.”

Adapun perjanjian luar negeri dalam bidang ekonomi,


perdagangan dan keuangan maka secara umum hukumnya mubah
karena masuk dalam kategori hukum sewa atas barang dan jasa
(ijarah), jual-beli (bai‟), dan pertukaran mata uang (sharf).

Namun demikian jika di dalam klausul perjanjian tersebut


terdapat hal-hal yang bertentangan dengan syara‟ maka tidak boleh
disepakati dan ditindaklanjuti. Sebagai contoh kesepakatan untuk
54
mengekspor komoditi yang sangat vital bagi negara Islam, mengekspor
komoditas yang justru memperkuat negara lain sehingga dapat
mengancam negara Islam atau perjanjian yang merugikan industri-
industri dalam negeri. Semua hal tersebut diharamkan karena
mengakibatkan bahaya (dharar) bagi ummat Islam. Hal ini didasarkan
pada kaedah ushul:

“Setiap individu (bagian) yang masuk dalam kategori mubah


jika mengantarkan pada dharar maka individu (bagian) tersebut
dilarang sementara individu (bagian-bagian) lain yang masuk dalam
kategori tersebut tetap mubah.”

Perdagangan Bebas: Haram.

Pada prinsipnya pasar bebas merupakan bagian dari paket


liberalisasi ekonomi. Liberalisasi ekonomi, selain berarti
menghilangkan peran dan tanggungjawab pemerintah dalam sektor
ekonomi, kemudian menyerahkan semuanya kepada individu dan
mekanisme pasar (kekuatan penawaran dan permintaan). Liberalisasi
ini sekaligus akan merobohkan hambatan untuk perdagangan
internasional dan investasi agar semua negara bisa mendapatkan
keuntungan dari perdagangan dan mengalirnya investasi.

Pandangan ini jelas bertentangan dengan Islam dilihat dari


Empat aspek (Hidayatullah Muttaqin, jurnal-ekonomi.org, 10/1/2010):

55
Dihilangkannya peran negara dan pemerintah di tengah-tengah
masyarakat, yang notabene harus berperan dan bertanggung jawab
terhadap seluruh urusan rakyatnya. Padahal dengan tegas Rasulullah
saw. bersabda: Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan
ia bertanggung jawab atas pengurusan mereka (HR Muslim).

Perdagangan bebas, dimana seluruh pemain dunia, bisa bermain


di dalam pasar domestik tanpa hambatan, tanpa lagi dilihat apakah
pemain tersebut berasal dari Dar al-Harb Fi‟lan atau tidak, juga jelas
bertentangan dengan Islam. Sebab, Islam memandang perdagangan
internasional tersebut berdasarkan pelakunya; jika berasal dari Dar al-
Harb Fi‟lan, seperti AS, Inggeris, Perancis, Rusia, dsb, jelas haram.

Perdagangan bebas, dari aspek kebebasan masuknya investasi


dan dominasi asing di dalam pasar domestik, jelas menjadi sarana
penjajahan yang paling efektif, dan membahayakan perekonomian
negeri ini. Dalam hal ini, jelas haram, karena Allah SWT berfirman:

Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-


orang kafir untuk memusnahkan orang-orang Mukmin (Q.s. an-Nisa‟
[04]: 141).

Selain itu, Nabi saw. juga bersabda:

Tidak boleh ada bahaya dan dhirar di dalam Islam (H.R. Ibn
Majah)

Perjanjian perdagangan bebas seperti ACFTA merupakan


bentuk penghianatan terhadap rakyat yang seharusnya dilindungi dari
ketidakberdayaan ekonomi. Dengan perjanjian tersebut, sengaja atau
tidak, Pemerintah telah membunuh usaha dan industri dalam negeri
56
baik skala besar apalagi skala kecil, yang tentu akan berdampak pada
makin meningkatnya angka pengangguran. Sehingga sudah seharusnya
Pemerintah membatalkan

Sesunguhnya Islam telah menawarkan kepada umat suatu


sistem ekonomi yang dapat membangun kemandirian negara sekaligus
menjamin berkembangnya industri-industri dalam negeri serta sektor
ekonomi lainnya. Sistem Ekonomi Islam mengatur kepemilikan
individu, kepemilikan negara dan kepemilikan umum. Kewajiban
negara adalah memastikan tersedianya bahan baku, energi, modal dan
pembinaan terhadap pelaku ekonomi rakyatnya.

Negara juga wajib mengatur ekspor dan impor barang sehingga


betul-betul bisa mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat. Ekspor
bahan mentah, misalnya, seharusnya dibatasi. Sebaliknya, ekspor
barang-barang hasil pengolahan yang lebih memiliki nilai tambah
harus terus ditingkatkan selama telah memenuhi kebutuhan dalam
negeri. Sebaliknya, impor barang-barang yang bisa mengancam
industri dalam negeri harus dibatasi. Impor seharusnya hanya terbatas
pada barang-barang yang bisa memperkuat industri di dalam negeri.
Semua itu dilakukan antara lain dalam melindungi berbagai
kepentingan masyarakat. Sebab, kewajiban negaralah untuk menjadi
pelindung bagi rakyatnya.

57
8
Imbal Dagang
dan
Perdagangan
Internasional

58
E
kspor-impor pada dasarnya merupakan perdagangan lintas
negara, di mana negara yang satu membeli atau menjual
barang dari atau kepada negara yang lain. Praktik
eksporimpor merupakan sesuatu yang natural, di mana perbedaan
sumber daya dan spesialisasi antarnegara mengakibatkan adanya
perbedaan jenis produk yang diproduksi. Namun, di dalam aktivitas
ekspor-impor pun terdapat praktik ketidakadilan ekonomi, yang
tecermin antara lain melalui mekanisme berbasis riba dan gharar.
Riba dalam kegiatan ekspor-impor terkait dengan pertukaran mata
uang sebagai alat transaksi dalam perdagangan internasional.
Seringkali naik-turunnya harga barang-barang ekspor-impor (sektor
riil) terjadi sebagai akibat apresiasi dan depresiasi nilai mata uang.
Sehingga, baik riba al-fadhl maupun riba an-nasiah sering terjadi
secara bersamaan dalam aktivitas ekspor-impor.
Praktik gharar dalam perdagangan internasional biasanya terlihat
dalam aktivitas pengiriman barang, di mana pada umumnya barang
yang diekspor/diimpor jumlahnya sangat banyak. Sehingga, tidak
menutup kemungkinan terdapat sejumlah barang yang memiliki cacat
produksi atau masuk dalam kategori haram.
Artikel ini mencoba mengembangkan suatu model perdagangan
internasional yang sesuai dengan syariah dengan menggunakan
pendekatan financial engineering(rekayasa keuangan) yang terdiri atas
metode imitasi, mutasi, dan adaptasi.

59
Pengertian imbal dagang
Imbal dagang merupakan praktik perdagang an internasional yang
dikemas dalam wujud barter. Praktik imbal dagang sudah dilakukan
sebelum umat manusia mengenal uang. Saat uang sudah dikenal, imbal
dagang masih dilakukan berbagai pihak sebagai taktik perdagangan
alternatif. Pelaku praktik imbal dagang saat ini pada umumnya adalah
institusi negara dan perusahaan multinasional.
Dengan imbal dagang, sebuah negara dapat menyiasati masalah
defisit neraca pembayaran dan untuk memperoleh produk dari negara
lain, meskipun infrastruktur pembayaran dengan uang dianggap sulit,
mahal, atau tidak ada. Ini dapat terjadi bilamana suatu negara
customertidak memiliki akses kepada mata uang kuat (hard currency)
ataupun jika tidak memiliki banyak devisa yang diperlukan guna
membeli barang-barang impor.
Dengan kata lain, imbal dagang dapat diandalkan untuk mengatasi
persoalan risiko nilai tukar, tekanan persaingan pasar yang berat, atau
perkembangan pasar yang kurang menggembirakan. Sehingga, ditinjau
dari perspektif diplomasi perdagangan kontemporer, praktik imbal
dagang dianggap sebagai salah satu praktik kreatif dalam upaya-upaya
diplomasi perdagangan. (Latief dan Nugent, 1992) Praktik imbal
dagang telah mengalami peningkatan sejak dasawarsa 1980-an.
Berdasarkan perkiraan yang dibuat oleh OECD pada 1983, jika
seluruh aspek imbal dagang diperhitungkan, komponen imbal dagang
mencapai 4,8 persen dari total perdagangan dunia (Miramon, 1985).
Perkiraan lain mengatakan, persentase imbal dagang dari nilai
perdagangan dunia akan mencapai lebih dari 40 persen pada awal abad

60
ini. Menurut Hill (1998), dalam sebuah survey, bentuk imbal dagang
yang paling banyak dilakukan perusahaan multinasional adalah
offset(73 persen), disusul counterpurchase(60 persen), buyback (22
persen), barter (19 persen), dan switch trading(tiga persen). Imbal
dagang memiliki praktik yang bervariasi, yang terbentuk dari jenis
kesepakatan, pihak yang dilibatkan, dan opsi barang yang
diperjualbelikan. Meski demikian, praktik imbal dagang tetap memiliki
potensi terjadinya praktik ribadan gharar.
Salah satu contoh kasus terjadinya gharar adalah masalah imbal
beli pesawat CN-235 Indonesia dengan beras ketan Thailand pada
1999. Pada praktiknya, kesepakatan ini mengandung gharar, yang
dalam hal ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti a) bureacratic
bottleneck (proses persetujuan yang tidak pasti dan berlarut-larut
sehingga berpengaruh terhadap perubahan regulasi/harga), b) kebijakan
yang bersifat jangka pendek serta tidak antisipatif terhadap risiko dan
biaya sharingdengan mitra asing, c) sikapsikap tidak fleksibel/kaku dari
para birokrat dengan program yang tidak biasa, dan d) BI ataupun
Depkeu waktu itu cenderung memprioritaskan neraca pembayaran
daripada neraca perdagangan, sehingga tuntutan peningkatan cadangan
devisa dari hasil penjualan pesawat CN-235 memiliki nuansa politis
yang lebih kental dalam tarik-menarik kepentingan kebijakan ekonomi.
Solusi imbal dagang
Untuk mencegah terjadinya masalahmasalah di atas, perlu
dipersiapkan solusi agar negara-negara yang hendak melakukan imbal
dagang sama-sama memperoleh manfaat yang baik dan tidak merusak
satu sama lain baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

61
Solusi-solusi tersebut menurut pandangan Islam merupakan upaya agar
manusia senantiasa memperhatikan manfaat atau mas lahat ketika
hendak mengambil keputusan ataupun kebijakan bagi pemerintah.
Adapun beberapa alternatif solusi yang mungkin dapat dilakukan.
Pertama, menggunakan satuan mata uang yang sama dan stabil
sebagai patokan harga dalam melakukan imbal dagang. Emas dan
perak, dengan nilainya yang stabil, berpeluang besar menjadi
komponen penting dalam transaksi imbal dagang. Kedua, menerapkan
model konsesi sharingrisiko seperti mudharabah ataupun musyarakah
dalam imbal dagang untuk produk yang akan dijual kembali pada pihak
lain. Hal ini bertujuan untuk meringankan risiko ketidakpastian usaha
dari imbal dagang, terutama yang melibatkan pihak ketiga.
Ketiga, memecah akad perjanjian imbal dagang ke dalam dua atau
lebih klausul perjanjian yang berbeda. Secara regulasi, hal ini jauh
lebih memudahkan para pejabat dalam memutuskan kebijakan imbal
dagang. Sehingga, dapat meminimalisasi persoalan bureucratic
bottleneck sebagai penyebab dominan munculnya gharar dalam imbal
dagang . Meski imbal dagang ini tidak mudah dilaksanakan karena
mengandalkan adanya mekanisme yang jelas secara keseluruhan, imbal
dagang menawarkan peluang ekspansi ekspor dan impor yang lebih
baik dibandingkan dengan skema perdagangan normal yang berbasis
riba.

62
9
Dumping
dalam
Pandangan Islam

63
D
umping dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
dengan sistem penjualan barang di pasaran luar negeri
dalam jumlah banyak dengan harga yang rendah sekali
(degan tujuan agar harga pembelian di dalam negeri tidak diturunkan
sehingga akhirnya dapat menguasai pasaran luar negeri dan dapat
menguasai harga kembali). Dalam Bahasa Arab dumping disebut ‫إغراق‬
(ighraq), yaitu menjual produk dipasar luar negeri kurang dari biaya
marginalnya, dan metode ini diikuti oleh negara yang menginginkan
menghilangkan persaingan untuk produk mereka dalam jangka
panjang.
Dalam Kamus Ilmiah Populer dumping didefinsikan dengan
politik ekspansi dagang, dimana penjualan hasil poduksi didalam
negeri sendiri lebih mahal dengan penjualan ke luar negeri.
Menurut Dr. Hamdy Hady dumping adalah suatu kebijakan
diskriminasi harga secara internasional (international price
discrimination discrimination) yang dilakukan dengan menjual suatu
komoditi di luar negeri dengan harga yang lebih murah (net of
transportation cost, tarrifs, etc.) dibandingkan yang dibayar konsumen
di dalam negeri.

Macam Macam Dumping


Dumping dapat terjadi bila dua kondisi bertemu. Pertama, industri
bersaing secara tidak sempurna sehingga perusahaan bisa menetapkan
harga (price maker), bukan mengambil harga pasar yang diberikan
(price taker). Kedua, pasar harus tersegmentasi, sehingga penduduk
dalam negri tidak dapat membeli barang yang ditujukan untuk impor

64
berdasarkan kondisi ini perusahaan yang memonopoli akan
menemukan bahwa lebih menguntungkan melakukan dumping.
Ada tiga tipe dumping, yaitu sebagai berikut:
1) Persistant dumping, yaitu kecenderungan monopoli yang
berkelanjutan dari suatu perusahaan di pasar domestik untuk
memperoleh profit maksimun dengan mentapkan harga yang lebh
tinggi di dalam negeri daripada di luar negeri.
2) Predatory dumping, yaitu tindakan perusahaan untuk menjual
barangnya di luar negeri dengan harga yang lebih murah untuk
sementara, sehingga dapat menggusur atau mengalahkan perusahaan
lain dari persaingan bisnis. Setelah dapat memonopoli pasar, barulah
harga kembali dinaikan untuk mendapat profit maksimum.
3) Sporadic dumping, yaitu tindakan perusahaan dalam menjual
produknya di luar negeri dengan harga yang lebih murah secara
sporadis dibandingkan harga di dalam negeri karena adanya surplus
produksi di dalam negeri.

Indonesia dan Dumping


Pada kurun waktu 1995- 2008 tuduhan dumping yang dituduhkan
oleh negara anggota WTO sudah mencapai 3.427 kasus, meliputi 100
negarayang dituduh dan 43 negarapenuduh. Menurut data WTO, pada
tahun 1995 terdapat 157 kasus dumping yang dituduhkan oleh
beberapa negara WTO dan puncak jumlah tuduhan dumping terjadi
pada tahun 2001 yaitu sebanyak 366 kasus.
Sementara itu pada tahun 2008 jumlah kasus dumping yang
dituduhkan oleh negara WTO berjumlah 208 kasus, mengalami

65
peningkatan sebesar 40% dari 163 kasus pada tahun 2007. Sementara
itu 5 (lima) negara WTO yang paling banyak dituduh dumping selama
periode 1995-2008, yaitu China dengan 677 kasus, diikuti dengan
Republik Korea 252 kasus, Amerika Serikat di tempat ketiga dengan
189 kasus, Taiwan dengan 187 kasus dan Indonesia berada di tempat
kelima dengan 145 kasus.
Sementara itu menurut database WTO, sepanjang kurun waktu
1995-2008 terdapat 5 (lima) negara yang paling aktif melakukan
tuduhan dumping terhadap sesama negara anggota WTO, yaitu India
dengan 564 kasus, diikuti Amerika Serikat (418 kasus), Uni Eropa (391
kasus) dan dua tempat terakhir diduduki oleh Argentina sebanyak 241
kasus dan Afrika Selatan sebanyak 206 kasus. Sedangkan Indonesia
dalam kurun waktu 1995-2008 telah melakukan tuduhan dumping
banyak 73 kali.
Berdasarkan data WTO, sejak tahun 1995-2008 ada 5 (lima) sektor
usaha yang paling sering mendapat tuduhan dumping adalah base metal
and articles of base metal (948) kasus diikuti oleh product of chemical
allied industries dengan 690 kasus, plastic and rubber 440 kasus,
machinery and mechanical appliances 313 kasus dan terakhir textiles
and article of textiles sebanyak 271 kasus.
Kemudian menurut Pascal Lamy, Direktur Jenderal Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) dari 213 kasus yang tercatat pada tahun
2008 turun ke 153 tahun 2011.
Indonesia selama kurun waktu 22 tahun (1990-November 2012)
tercatat Indonesia telah mengalami tuduhan “trade remedy” sebanyak
230 kasus yang berasal dari 26 negara, dengan rincian tuduhan

66
dumping 176 kasus, tuduhan subsidi 17 kasus dan tindakan safeguard
sebanyak 37 kasus. Dari 26 negara yang telah menuduh dumping,
subsidi maupun mengenakan tindakan “safeguard” di antaranya India
(29 kasus), Uni Eropa (29), Amerika Serikat (25), Australia (21), Turki
(19), Afrika Selatan (12), Malaysia (10), Pakistan (10), dan Filipina 10
kasus. Sisanya kurang dari 10 kasus oleh negara seperti Selandia Baru,
Argentina, China, Brazil, Thailand, Meksiko, China, Jepang dan
Vietnam serta beberapa negara lainnya. Begitulah menurut Direktur
Pengamanan Perdagangan, Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag
Ernawati S Taufiq. Dan menurutnya dari data itu diketahui bahwa saat
ini penggunaan instrumen perdagangan internasional dalam bentuk
tuduhan dumping dan sebagainya banyak dilakukan tidak saja oleh
negara maju, namun juga sesama negara berkembang.

Dumping Dalam Islam

Dumping bertujuan meraih keuntungan dengan cara menjual


barang pada tingkat harga yang lebih rendah dari pada harga yang
berlaku dipasaran. Perilaku ini secara tegas dilarang dalam Islam
karena dapat menimbulkan kemudaratan bagi masyarakat luas.
Tentang dumping M.A. Mannan mengatakan sebagai berikut:
Just for the sake of earning a huge profit by not allowing a fall in
the prices, this type of trade can hardly be justified in Islam. thus
dumping must be discouraged by Muslim countries of the world.

67
Hanya demi mendapatkan keuntungan besar dengan tidak
mengijinkan penurunan harga, jenis perdagangan tidak dapat
dibenarkan dalam Islam. Politik dumping ini mesti dilarang oleh negri
muslim di seluruh Dunia.
Dumping dalam Islam diharamkan karena dapat menimbulkan
madarat. Rasulullah saw. bersabda:

‫ضرر و ضرار‬

Umar pernah mengeluarkan orang yang melakukan praktek


dumping di pasar sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Mâlik dan al-
Baihaqi:

ُ َ‫ا َه َّر بِ َلا ِا ِ ْب ِي َبِي بَ ْلتَ َع َ َو ُ َويَبِي ُع َ بِيبًبال‬


ِ ‫َْي َس ِعي ِ ْب ِي ْال ُو َ يَّ ِ َ َّى ُ َو َر ْبيَ ْال َخ َّا‬
‫ْر َوإِ َّها َ ْى تُرْ َ َع ِه ْي سُوقٌَِا‬ ِ ‫ا إِ َّها َ ْى ت َِزي َ ِي ال ِّ ع‬
ِ ‫ُّوق َقَا َا لَ ُ ُ َو ُر بْيُ ْال َخ َّا‬
ِ ‫بِال‬

Dari Sa‟îd bin al-Musayyab bahwa Umar bin Khattab pernah


melewati Hâtib bin Abû Balta‟ah yang sedang menjual kismis di pasar
lalu Umar bin Khattab berkata kepadanya; “Ada dua pilihan buat
dirimu, menaikkan harga atau angkat kaki dari pasar kami.”
Dari uraian tersebut dumping dengan maksud membahayakan
orang lain maka adalah haram dan juga merupakan kompetisi yang
bersifat curang karena ingin mematikan produk pesaing. Namun jika
dumping dilakukan dengan prosedur dan ketentuan yang benar maka
dumping itu diperbolehkan, salah satunya dumping sporadik yang

68
sifatnya sementara dan hanya menghabiskan produk yang sudah tidak
dikehendaki.
Berbeda dengan dumping predatory dan persistant yang akan
merusak pasar, dan mematikan pesaing maka diharamkan. Dampak
dari kedua dumping tersebut maka mematikan pesaing karena negara
pengimpor kebanjiran produk dumping sebagai akibat dari kebutuhan
yang tinggi karena harga lebih murah, kondisi seperti ini bisa
menjadikan produk lain tidak mampu bersaing sehingga dimungkinkan
produsen tersebut merugi bahkan menutup usahanya sehingga
produsen pelaku dumping menjadi pemain tunggal, hal tersebut dapat
difahami karena jumlah permintaan dan tingkat harga memiliki
hubungan yang erat.
Hal tersebut didasari oleh: pertama, kenaikan harga membuat para
pembeli mencari barang lain yang dapat digunakan sebagai barang
pengganti (substitusi) dari barang yang mengalami kenaikan harga.
Kedua, kenaikan harga membuat pendapatan riil para pembeli
berkurang. Akibatnya, para pembeli berusaha untuk mengurangi
berbagai pembeliannya, terutama barang yang mengalami kenaikan
harga. Dalam kondisi seperti ini diperlukan intervensi pemerintah atau
pengenaan bea tambahan masuk untuk produk tersebut sehingga
produk tersebut memasuki pasar dengan harga wajar, dan tercipta
persaingan yang sehat.
Pemerintah tidak boleh melakukan intervensi pasar kecuali dalam
dua hal yaitu: Pertama, para pedagang yang tidak memperdagangkan
barang dengan tertentunya yang sangat dibutuhkan masyarakat
sehingga dapat menimbulkan kemudharatan serta merusak mekanisme

69
pasar. Dalam hal ini pemerintah dapat mengeluarkan para pedagang
tersebut dari pasar serta menggantikannya dengan para pedagang lain
berdasarkan kemaslahatan dan kemanfaatan umum. Kedua, para
pedagang yang melakukan praktek siyasah al-ighraq atau banting
harga (dumping) yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat
serta dapat mengancam stabilitas harga pasar.
Dalam hal ini pemerintah berhak memerintahkan para pedagang
tersebut untuk menaikan kembali harganya sesuai dengan harga yang
berlaku di pasar. Berdasarkan hal tersebut pemerintah telah mengambil
tindakan yang tepat dengan mengenakan bea masuk tambahan untuk
produk dumping atau dengan istilah Bea Masuk Anti Dumping (
BMAD ). Selain tepat menurut hukum islam juga hal yang
diperkenankan oleh GATT/WTO.
Dampak dumping bagi Industri dalam negeri negara pengimpor,
antara lain: pertama, diskriminasi harga pada perdagangan
internasional cenderung mengurangi hasil produksi dari produsen
pesaing lokal. Apabila hal ini tidak dikendalikan, akibatnya akan
mematikan industri kecil dalam negeri negara pengimpor. Namun,
disisi lain akan meningkatkan hasil produksi industri hilir. Karena,
dengan adanya produk impor dengan harga rendah (berbentuk bahan
baku) akan meningkatkan industri dalam negeri yang
menggunakannya. Kedua, berkurangnya keuntungan bagi produsen
barang sejenis. Akibatnya, para pemegang saham akan kehilangan
devidennya dan beberapa pekerja kehilangan pekerjaannya untuk
sementara waktu. Di sisi lain, harga barang-barang yang rendah, secara
langsung akan meningkatkan/menguntungkan kondisi keuangan

70
konsumen. Ketiga, dampak terhadap proses diskriminasi harga terjadi
secara horizontal atau vertikal Tujuan akhir dari dumping adalah untuk
memonopoli pasar dengan maksud mencari keuntungan sebesar-
besarnya.
Dalam ekonomi islam siapapun boleh berbisnis tanpa peduli
apakah dia satu-satunya penjual (monopoli) atau ada penjual lain. jadi
praktek ini sah-sah saja. Namun siapapun tidak boleh melakukan
ihtikar, yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan normal
dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi
atau istilah ekonominya monopolistic rent. Artinya selama dumping itu
tidak merugikan, dumping tersebut boleh saja. Akan tetapi jika
dumping sudah mulai merugikan dan merusak mekanisme pasar maka
dumping tersebut dilarang.

71
10
Hedging
Dalam
Pandangan Islam

72
A
lloh SWT memerintahkan manusia untuk selalu berusaha
mendapatkan keberuntungan dan menghindarkan diri dari
perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian,
seperti dijelaskan dalam ayat Al-Qur‟an berikut:
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan menasehati supaya
menetapi kesabaran”. (QS. Al-Ashr 1-3).
Ayat di atas merupakan sebagian dari firman Alloh SWT yang
bertujuan untuk memotivasi manusia agar selalu berupaya menghindari
kerugian dan mendapatkan keberuntungan. Petunjuk tersebut di atas
tidak hanya berlaku untuk kerugian atau keberuntungan di akhirat saja,
melainkan juga di dunia. Salah satu bentuk upaya manusia untuk
mengurangi kerugian di dalam bermuamalah adalah dengan
mengurangi berbagai risiko yang bisa terjadi. Risiko yang sering
dialami dalam bermuamalah atau dalam berinvestasi adalah risiko
perubahan nilai tukar mata uang.
Upaya manusia untuk mengurangi risiko kerugian yang
ditimbulkan dari pergerakan nilai tukar yang tidak diharapkan ini
dilakukan dengan menciptakan berbagai instrument lindung nilai
(hedging). Instrumen lindung nilai yang sering digunakan untuk
mengantisipasi kerugian akibat volatilitas nilai tukar dalam
perdagangan adalah forward, swap, option, yang disebut dengan
instrument derivatif. Produk instrument derivatif ini merupakan
turunan dari pembelian dan dsepenjualan komoditas ekspor secara spot.
Transaksi tersebut dilakukan dengan cara memenuhi kebutuhan mata

73
uang asing untuk jangka waktu tertentu di masa depan dengan fan
melakukan transaksi jual beli mata uang yang dibutuhkan tersebut
secara kontrak pada saat ini.
Akan tetapi, penggunaan instrument derivatif forward, swap,
dan option ini masih menjadi perdebatan di kalangan ulama dan pakar
ekonomi Islam. Hal ini disebabkan oleh kegiatan ekonomi harus
terbebas dari unsur maisir, gharar, dan riba. Dalam prakteknya tidak
semua instrumen derivatif sesuai dengan syariah Islam.
Dengan dikeluarkannya fatwa nomor 28/DSN-MUI/III/2002
tentang jual beli mata uang asing (as-sharf), difatwakan bahwa
transaksi valuta asing yang dibolehkan (tidak bertentangan dengan
syariah) hanya transaksi spot dan forward agreement untuk kebutuhan
yang tidak dapat dihindari (lil hajah). Dengan sedikitnya instrument
hedging yang tersedia, sementara peluang perdagangan internasional
yang semakin berkembang seiring dengan perkembangan globalisasi
maka perlu dicari alternatif alat lindung nilai lain yang sesuai dengan
prinsip syariah. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan selama
ini, terdapat beberapa alternatif hedging yang bebas dari unsur maisir,
gharar, dan riba. Alternatif instrument hedging tersebut adalah :
1. Dinar emas. Berdasarkan press released dari World Gold
Council pada tanggal 22 September 2004 mengumumkan bahwa dari
tiga penelitian yang dilakukan terhadap kemungkinan emas dijadikan
sebagai hedge instrument menunjukkan bahwa emas dalam jangka
panjang memberikan proteksi yang konsisten dalam menghadapi
fluktuasi dollar AS dan mata uang dunia kuat lainnya.

74
2. Forward Exchange Contract (FEC). Penggunaan forward
exchange contract (FEC) sebagai instrument lindung nilai, merupakan
pengembangan dari forward agreement yang dibolehkan berdasarkan
fatwa DSN-MUI tentang jual beli valuta asing (as-sharf). Unsur bunga
dalam perhitungan delivery rate instrumen lindung nilai FEC yang ada
selama ini diganti dengan nilai risiko kurs valuta asing (VaR GPD).
Penggunaan VaR GPD ini dikarenakan nilai risiko kurs bagi debitur
adalah estimasi kenaikan kurs tertinggi dalam suatu jangka waktu
tertentu (lihat Putranto, 2007).
3. Futures contract dengan akad salam. Futures contract
konvensional merupakan transaksi jual beli valas yang nilainya
ditetapkan pada saat sekarang (deal date) dan realisasi dari
transaksi/penyerahan dana (value date) di waktu yang akan datang
(future) dan lebih dari dua hari kerja. Transaksi ini diharamkan karena
harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa‟adah)
dan pembayarannya di waktu yang akan datang dimana harganya
belum tentu sama dengan nilai yang disepakati. Oleh karena itu,
digunakan akad salam. Menurut Antonio (2001, hal 108) ba‟i as-salam,
pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan
pembayarannya dilakukan di muka. Hal ini sesuai dengan hadits
Rasulullaah SAW berikut:
“Barang siapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia
melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula,
untuk jangka waktu yang diketahui. “ (Hadits riwayat Ibnu Abbas).
Dari hadits di atas jelaslah bahwa Rasulullaah membolehkan
transaksi salam dengan ketentuan takaran atau timbangan yang jelas

75
untuk jangka waktu yang telah disepakati dan masing-masing pihak
tidak ada yang melanggar kesepakatan. Mekanisme penggunaan akad
salam dengan menetapkan harga jual yang lebih rendah dari harga spot
dan pembayaran dilakukan tunai pada saat transaksi, misal 2 bulan
kemudian.
Contohnya A, orang Indonesia mengekspor kelapa sawit ke B,
orang Amerika dengan nilai transaksi pada tanggal 13 Februari 2008
USD 1.000 dengan kurs 1 USD = Rp10.000,00. Kontrak saat transaksi
kurs menjadi USD 1 = Rp 9.900,00 untuk delivery 2 bulan.
Pembayaran diterima A tunai pada tanggal 13 Februari 2008 adalah
sebesar Rp99.000.000,00 (penempatan pada a/c Murabahah) dengan
ketentuan pada tanggal 13 April 2008 A mengirim barang ke B sesuai
dengan kesepakatan pada saat transaksi.Jika pada tanggal 13 April
2008 kurs USD 1 = Rp9.500,00 maka A mendapatkan untung
Rp400,00.
Harga yang rendah merupakan kompensasi yang diberikan
penjual kepada pembeli atas pembayaran penuh. Jual beli seperti ini
dapat dibenarkan oleh syariah jika wujud barang (komoditas) yang
diperjualbelikan pasti ada menurut adat kebiasaan („urf) yang
berlaku.Dengan kata lain jual beli yang barangnya tidak ada saat
berlangsungnya akad tapi diyakini akan ada di masa yang akan datang
sesuai kebiasaannya, boleh dilakukan dan tetap sah, yang dilarang
adalah bila dalam jual beli tersebut mengandung unsur tipuan.
4. Transaksi swap dengan akad qardh. Transaksi swap
konvensional dilarang diantaranya karena terdapat unsur spekulasi dan
keharusan pembayaran premi swap dalam bentuk bunga. Motif swap

76
untuk spekulasi (speculativ motive) diharamkan, dimana rupiah ditukar
dengan dollar AS untuk mendapatkan rupiah yang lebih banyak di
akhir periode transaksi swap yaitu ketika rupiah diyakini akan semakin
melemah terhadap dollar di masa akan datang.
Ini adalah contoh dari transaksi swap yang bukan berorientasi
pada sektor riil (bisnis/usaha) dan memberikan dampak buruk pada
perekonomian. Sementara, premi swap mempresentasikan selisih
tingkat bunga investasi antara kedua mata uang yang harus dibayarkan
(Agustianto, 2008). Oleh karena itu, untuk menghilangkan unsur riba
pada transaksi swap konvensional selama ini,digunakan akaq qardh.
Menurut Antonio Al-qardh adalah pemberian harta kepada orang lain
yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain
meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan.
Eksportir (A) yang berkedudukan di Indonesia pada tanggal 1
Juli 2008 mengekspor kerajinan tangan ke Amerika senilai USD 1000
atau dengan kurs USD 1 = Rp 10.000,00 setara dengan
Rp10.000.000,00. Sementara itu, eksportir B yang berkedudukan di
Amerika juga mengekspor elektronik ke Indonesia pada hari yang sama
senilai USD 2000 setara Rp20.000.000,00. A yang mendapatkan hasil
ekspor USD 1000 khawatir akan fluktuasi (perubahan) nilai tukar
dollar terhadap rupiah 6 bulan ke depan (khawatir rupiah menguat).
Demikian pula si B mendapatkan hasil ekspor senilai Rp20.000.000,00
(khawatir dollar menguat).
Oleh karena itu, pada tanggal 1 Juli 2008 mereka sepakat
melakukan Islamic currency swap agar nilai mata uang yang mereka
pegang saat ini tetap berada pada kurs USD 1 = Rp10.000,00 pada

77
tanggal 1 Desember 2008 nanti dan terhindar dari risiko perubahan
kurs rupiah terhadap dollar. Caranya yaitu A memberikan USD 1000
kepada B dan B memberikan Rp10.000.000,00 kepada A saat ini (1
Juli 2008). Pada 1 Desember 2008 nanti A berjanji akan memberikan
kembali Rp10.000.000,00 kepada B demikian pula B akan memberikan
USD 1000 milik A tanpa adanya kewajiban membayar premi berupa
selisih suku bunga simpanan IDR dan USD kepada kedua belah pihak.

78
Catatan:

79
80

Anda mungkin juga menyukai