Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KELOMPOK

“GHARAR”

OLEH:
KELOMPOK 6

NUR FITRIANI (B1A121299)


NOVAL AGUNG PERDANA (B1A121163)
ANDI FADLY ARMY SAPUTRA (B1A121221)
LAODE JUNIARDI (B1A121275)
MUH. SUPRIANTO (B1A121287)
YAYAN AMDAN (B1A121334)
ADIMAS RAMA SANJAYA (tidak aktif)
MULIADIN (tidak aktif)
REYBALDI ARDIANSYAH (tidak aktif)

PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HALU OLEO
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa terpanjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
Dasar-Dasar Ekonomi Islam yang berjudul ” Gaharar” ini tanpa suatu halangan
apapun.
Shalawat dan salam kita panjatkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW.
yang kita nantikan syafaatnya kelak di yaumul qiyamah. Dalam penyelesaian tugas
ini, penulis haturkan terimakasih kepada Bapak dosen pengampu mata Dasar-Dasar
Ekonomi Islam . Semoga meteri ini dapat diterima oleh mahaiswa-mahasiswi, dan
khususnya dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

Kendari, November 2022

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................... 

KATA PENGANTAR............................................................................................ 

DAFTAR ISI...........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 

A.    Latar Belakang Masalah.................................................................................... 

B.     Rumusan Masalah............................................................................................. 

C.    Tujuan................................................................................................................ 

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 

A.    Pengertian Gharar.......................................................................................... .... 

B.     Hukum Gharar Dalam Perspektif Islam............................................................. 

C.    Maca-macam atau Jenis Gharar.......................................................................... 

BAB III PENUTUP................................................................................................... 

A.    Kesimpulan.......................................................................................................... 

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

 Islam melarang semua bentuk transaksi yang mengandung unsur kejahatan


dan penipuan. Di mana hak-hak semua pihak yang terlibat dalam sebuah perilaku
ekonomi yang tidak dijelaskan secara seksama (terbuka/jelas), akan mengakibatkan
sebagian dari pihak yang yang terlibat menarik keuntungan, akan tetapi dengan
merugikan pihak yang lain.

Apapun bentuknya, segala aktivitas dalam bidang ekonomi yang tidak


dihalalkan dalam Islam adalah suatu perilaku ekonomi yang mengandung unsur yang
tidak halal, atau melanggar dan merampas hak kekayaan orang lain.
Al-Qur’an difokuskan untuk mengeleminasi semua bentuk kejahatan dan
penipuan dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya. Dalam ekonomi islam itu
sendiri mempunyai norma-norma perilaku ekonomi yg di larang dan yg
diperbolehkan. Adapun Norma Prilaku Ekonomi Yang Dilarang Dalam Islam yaitu
sebagai berikut,
1.Hakikat pelarangan
2.Tidak bermewah-mewah
3.Kriteria transaksi yang dilarang
4. Maysir (judi & spekulasi), dan
5. Gharar
            Perkembangan bisnis kontemporer demikian pesat, yang menjadi tujuan
adalah mendapatkan keuntungan materi semata. Parameter agama dikesampingkan,
yang menjadi ukuran adalah mendulang materi sebanyak-banyaknya. Ini merupakan
ciri khas peradaban kapitalis ribawi yang memuja materi. Tidak mengherankan bila
dalam praktek bisnis dalam bingkai ideologi kapitalis serba bebas nilai. Spekulasi,
riba, manipulasi supply and demand serta berbagai kegiatan yang dilarang dalam
Islam menjadi hal yang wajar.
            Salah satu praktek yang dilarang dalam Islam, tetapi lazim dilakukan di bisnis
kotemporer ribawi adalah praktek gharar (uncertianty).

B. Rumusan Masalah
1.    Apakah yang dimaksud dengan gharar ?
2.    Bagaimana hukum gharar dalam persepektif islam ?
3.    Apa saja macam-macam gharar ?

C. Tujuan
1.    Untuk mengetahui dan memahami apa itu gharar.
2.    Agar mengetahui bagaimana hukum gharar dalam islam
3.    Untuk mengetahu ada berapa macam bentuk gharar.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Gharar

Gharar artinya keraguan, tipuan atau tindakan yang bertujuan untuk


merugikan pihak lain. Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah, al-khathr
(pertaruhan). Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah
yang tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah). Sedangkan menurut Syaikh As-Sa’di,
al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal
ini masuk dalam kategori perjudian.

Suatu akad mengandung unsur penipuan, karena tidak ada kepastian, baik
mengenai ada atau tidak ada objek akad, besar kecil jumlah maupun menyerahkan
objek akad tersebut.Menurut imam Nawawi, gharar merupakan unsur akad yang
dilarang dalam syari’at Islam. Imam Al-Qarafi mengemukakan gharar adalah suatu
akad yang tidak diketahui dengan tegas, apakah efek akad akan terlaksana atau tidak,
seperti melakukan jual-beli ikan yang masih di dalam air (tambak).Dalam terminologi
Ilmu Ekonomi, gharar lebih dikenal dengan ketidakpastian atau resiko (risk).
Sementara Ibnu Qayyim al-Zauziahmendefinisikan gharar ialah sebagai suatu objek
akad yang tidak mampu diserahkan, baik objek itu ada atau tidak. Dan Ibnu
Hazm memandang gharar dari segi ketidaktahuan salah satu pihak yang berakad
tentang apa yang menjadi objek akad tersebut.
Dalam masalah jual beli, mengenal kaidah gharar sangatlah penting, karena
banyak permasalahan jual-beli yang bersumber dari ketidak jelasan dan adanya unsur
taruhan di dalamnya. Imam Nawawi mengatakan : “Larangan jual beli gharar
merupakan pokok penting dari kitab jual-beli. Oleh karena itu Imam Muslim
menempatkannya di depan. Permasalahan yang masuk dalam jual-beli jenis ini sangat
banyak, tidak terhitung”
B. HUKUM GHARAR DALAM PERSEPEKTIF ISLAM

Dalam syari’at Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi:
‫صا ِة َو َع ْنبَ ْي ِع ْالغ ََر ِر‬
َ ‫صلَّىاللَّهُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َع ْنبَ ْي ِع ْال َح‬
َ ‫ىر ُسواُل للَّ ِه‬
َ َ‫نَه‬

Artinya: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah


dan jual beli gharar”.
Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain
dengan cara batil. Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara
batil sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 188.
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui”.

Pelarangan gharar juga terdapat dala Q.S An-Nisa ayat 29


Artinya :
“Hai Orang- yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil klecuali dengan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.

jula-beli gharar, menurut keterangan Syaikh As-Sa’di, termasuk dalam katagori


perjudian. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sendiri menyatakan, semua jual beli
gharar, seperti menjual burung di udara, onta dan budak yang kabur, buah-buahan
sebelum tampak buahnya, dan jual beli al-hashaah, seluruhnya termasuk perjudian
yang diharamkan Allah di dalam Al-Qur’an.Nabi SAW juga melarang adanya gharar.
Pelarangan ini dikuatkan dengan adanya pengharaman judi yeng tertera dalam Q.S
Al-Maidah ayat 90 .

C. MACAM-MACAM ATAU JENIS GHARAR


1.   Jenis Gharar
Dilihat dari peristiwanya, jual-beli gharar bisa ditinjau dari tiga sisi.

 Pertama : Jual-beli barang yang belum ada (ma’dum), seperti jual beli
habal al habalah (janin dari hewan ternak).
 Kedua : Jual beli barang yang tidak jelas (majhul), baik yang muthlak,
seperti pernyataan seseorang : “Saya menjual barang dengan harga
seribu rupiah”, tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas, atau
seperti ucapan seseorang : “Aku jual mobilku ini kepadamu dengan
harga sepuluh juta”, namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau
bisa juga karena ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang :
“Aku jual tanah kepadamu seharga lima puluh juta”, namun ukuran
tanahnya tidak diketahui.
 Ketiga : Jual-beli barang yang tidak mampu diserah terimakan. Seperti
jual beli budak yang kabur, atau jual beli mobil yang dicuri. Ketidak
jelasan ini juga terjadi pada harga, barang dan pada akad jual belinya.
Ketidak jelasan pada harga dapat terjadi karena jumlahnya, seperti
segenggam Dinar. Sedangkan ketidak jelasan pada barang, yaitu
sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun ketidak-jelasan pada akad, seperti
menjual dengan harga 10 Dinar bila kontan dan 20 Dinar bila diangsur,
tanpa menentukan salah satu dari keduanya sebagai pembayarannya.

2.   Macam-macam Gharar
 Gharar dalam transaksi, contoh : saya jual rumah ini kepada si A
tapi si A harus jual rumahnya kepada saya (terkadang mengandung
sesuatu tidak jelas).
 Gharar dalam objek transaksi, dalam barangnya, contoh : jual
tumbuh-tumbuhan yang buahnya ada di dalam tanah.
Gharardalam objek transaksi yakni:
1)        Ketidakjelasan jenis objek transaksi (‫)الجهالةفيجنسالمعقودعليه‬.
Mengetahui jenis obyek akad secara jelas adalah syarat sahnya
jual beli. Maka jual beli yang obyeknya tidak diketahui tidak sah
hukumnya karena terdapat gharar yang banyak di dalamnya. Seperti
menjual sesuatu dalam karung yang mana pembeli tidak mengetahui
dengan jelas jenis barang apa yang akan ia beli. Namun demikian
terdapat pendapat dari Mazhab Maliki yang membolehkan transaksi
jual beli yang jenis obyek transaksinya tidak diketahui, jika
disyaratkan kepada pembeli khiyar ru’ya (hak melihat komoditinya).
Begitu juga dalam mazhab Hanafi menetapkan khiyar ru’yah tanpa
dengan adanya syarat, berdasarkan hadis berikut:
“Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak
khiyar apabila telah melihat barang itu”.
Akan tetapi, ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa jual beli
barang yang gaib tidak sah, baik barang itu disebutkan sifatnya waktu
akad maupun tidak. Oleh sebab itu, menurut mereka, khiyar ru’yah
tidak berlaku, karena akad itu mengandung unsure penipuan (gharar).

2)        Ketidakjelasan dalam macam objek transaksi (


‫)الجهالةفينوعالمعقودعليه‬.
Gharar dalam macam obyek akad dapat menghalangi sahnya jual
beli sebagaimana terjadi dalam jenis obyek akad. Tidak sahnya akad
seperti ini karena mengandung unsure ketidakjelasan dalam obyeknya.
Seperti seorang penjual berkata, “saya jual kepada anda binatang
dengan harga sekian” tanpa menjelaskan binatang apa dan yang mana.
 Oleh karena itu obyek akad disyaratkan harus ditentukan secara
jelas. Dasar ketentuan ini adalah larangan Nabi saw. mengenahi jual
beli kerikil (bai’ al-Hashah) yang mirip judi dan biasa dilakukan oleh
orang jahiliyyah. Yaitu jual beli dengan cara melemparkan batu kerikil
kepada obyek jual beli, dan obyek mana yang terkena lemparan batu
tersebut maka itulah jual beli yang harus dilakukan. Dalam hal ini
pembeli sama sekali tidak dapat memilih apa yang seharusnya
dinginkan untuk dibeli.
Dari Abu Hurairah diceritakan, ia berkata: Rasulullah Saw
melarang jual beli lempar krikil dan jual beli gharar. (HR. Muslim).
3)        Ketidakjelasan dalam sifat dan karakter objek transaksi ( (
‫الجهالةفيالصفةالمعقودعليه‬.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh tentang
persyaratan dalam menyebutkan sifat-sifat obyek transaksi dalam jual
beli, akan tetapi mayoritas ulama fiqh berpendapat untuk
mensyaratkannya. Diantara perbedaan itu adalah; Mazhab Hanafiyah
melihat, bahwa jika obyek transaksinya terlihat dalam transaksi, baik
itu komoditi ataupun uang, maka tidak perlu untuk mengetahui sifat
dan karakternya. Tetapi jika obyek transaksinya tidak terlihat oleh
penjual dan pembeli, maka para ulama fiqh mazhab Hanafiyah
berselisih pendapat. Sebagian mensyaratkan penjelasan sifat dan
karakter obyek akad, dan sebagian tidak.
Mereka yang tidak mensyaratkan berpendapat bahwa
ketidaktahuan sifat tidak menyebabkan perselisihan, disamping itu
pembeli juga mempunyai hak khiyar ru’yah. Silang pendapat di atas
adalah yang berkaitan dengan komoditi bukan harga, adapun tentang
harga (tsaman) semua ulama sepakat untuk disebutkan sifat dan
karakternya. Sedang Ulama Mazhab Maliki mensyaratkan penyebutan
sifat dan karakter baik terhadap komoditi maupun harga (tsaman).
Karena tidak adanya kejelasan dalam sifat dan karakter komoditi dan
harga adalah merupakan gharar yang dilarang dalam akad. Begitu juga
ulama mazhab Syafi’I mensyaratkan penyebutan sifat dan karakter
komoditi dan mengatakan bahwa jual beli yang tidak jelas sifat dan
karakter komoditinya hukumnya tidak sah kecuali jika pembeli diberi
hak untuk melakukan khiyar ru’yah. Mazhab Hambali juga tidak
membolehkan jual beli yang obyek transaksinya tidak jelas sifat dan
karakternya.
4)        Ketidakjelasan dalam takaran objek transaksi (
‫)الجهالةفيالقدرالمعقودعليه‬.
Tidak sah jual beli sesuatu yang kadarnya tidak diketahui, baik
kadar komoditinya maupun kadar harga atau uangnya. Illat (alasan)
hukum dilarangnya adalah karena adanya unsur gharar sebagaimana
para ulama ahli fiqh dari mazhab Maliki dan Syafi’i dengan jelas
memaparkan pendapatnya.
Contoh dari transaksi jual beli yang dilarang karena unsure gharar
yang timbul akibat ketidaktahuan dalam kadar dan takaran obyek
transaksi adalah bai’ muzabanah. Yaitu jual beli barter antara buah
yang masih berada di pohon dengan kurma yang telah dipanen, anggur
yang masih basah dengan zabib (anggur kering), dan tanaman dengan
makanan dalam takaran tertentu. Adapun illat dari pengharamannya
adalah adanya unsure riba yaitu aspek penambahan dan gharar karena
tidak konkritnya ukuran dan obyek atau komoditi.
5)        Ketidakjelasan dalam zat objek transaksi (‫)الجهالةفيالذاتالمعقودعليه‬.
Ketidaktahuan dalam zat obyek transaksi adalah bentuk dari
gharar yang terlarang. Hal ini karena dzat dari komoditi tidak
diketahui, walaupun jenis, macam, sifat, dan kadarnya diketahui,
sehingga berpotensi untuk menimbulkan perselisihan dalam
penentuan. Seperti jual pakaian atau kambing yang bermacam-
macam.Mazhab Syafi’i, Hambali, dan Dhahiri melarang transaksi jual
beli semacam ini, baik dalam kuantitas banyak maupun sedikit karena
adanya unsur gharar. Sedang mazhab Maliki membolehkan baik dalam
kuantitas banyak maupun sedikit dengan syarat ada khiyar bagi
pembeli yang menjadikan unsure gharar tidak berpengaruh terhadap
akad. Adapun mazhab Hanafiyah membolehkan dalam jumlah dua
atau tiga, dan melarang yang melebihi dari tiga.
6)        Ketidakjelasan dalam waktu objek transaksi (
‫)الجهالةفيالزمنالمعقودعليه‬.
  Jual beli tangguh (kredit), jika tidak dijelaskan waktu
pembayarannya, maka ia termasuk jual beli gharar yang
terlarang.Seperti jual beli habl al-hablah, yaitu jual beli dengan sistem
tangguh bayar hingga seekor unta melahirkan anaknya, atau hingga
seekor unta melahirkan anak dan anak tersebut melahirkan juga
anaknya. Jual beli semacam ini dikategorikan dalam jual beli gharar
yang terlarang karena tidak ada kejelasan secara kongkrit dalam
penentuan penangguhan pembayaran.
7)        Ketidakjelasan dalam penyerahan objek transaksi (
‫)عدمالفدرةعلىتسليم‬
 Kemampuan menyerahkan obyek transaksi adalah syarat sahnya
dalam jual beli. Maka jika obyek transaksi tidak dapat diserahkan,
secara otomatis jual belinya tidak sah karena terdapat unsur gharar
(tidak jelas). Seperti menjual onta yang lari atau hilang dan tidak
diketahui tempatnya.Nabi Saw melarang jual beli seperti ini karena
mempertimbangkan bahwa barang itu tidak dapat dipastikan apakah
akan dapat diserahkan oleh penjual atau tidak.[3]
Dari Hakim Ibn Hizam, ia berkata: Aku bertanya kepada Nabi
Saw. kataku: wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku minta aku
menjual suatu yang tidak ada padaku. Lalu aku menjualnya
kepadanya, kemudian aku membelinya di pasar untuk aku serahkan
kepadanya. Beliau menjawab : jangan engkau menjual barang yang
tidak ada padamu. (HR. An-Nasa’i).
BAB III

PENDAHULUAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, menjadi jelaslah, bahwa tidak semua jual-
beli yang mengandung unsur gharar dilarang. Permasalahan ini, sebagaimana nampak
dari pandangan para ulama, karena permasalahan yang menyangkut gharar ini sangat
luas dan banyak. Dengan mengetahui pandangan para ulama, mudah-mudahan Allah
Subhanahu wa Ta’ala membimbing kita dalam tafquh fiddin, dan lebih dalam
mengenai persoalan halal dan haram.

Gharar artinya keraguan, tipuan atau tindakan yang bertujuan untuk


merugikan pihak lain. Suatu akad mengandung unsur penipuan, karena tidak ada
kepastian, baik mengenai ada atau tidak ada objek akad, besar kecil jumlah maupun
menyerahkan objek akad tersebut.
Syaikh As-Sa’di menyatakan : “Kesimpulan jual-beli gharar kembali kepada
jual-beli ma’dum (belum ada wujudnya), seperti habal al habalah dan as-sinin, atau
kepada jual-beli yang tidak dapat diserahterimakan, seperti budak yang kabur dan
sejenisnya, atau kepada ketidak-jelasan, baik mutlak pada barangnya, jenisnya atau
sifatnya”.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Syamsul,. 2007. Hukum Perjanjian Syariah: Study Tentang Teori Akad
Dalam Fiqih Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers.

Windi,.2017. Makalah Tentang Gharar ( Ketidakjelasan). Institut Agama Islam


Negeri Jurai siwo Metro. MAKALAH TENTANG GHARAR ( Ketidak Jelasan )
(windilailatulhusna96.blogspot.com)

Anda mungkin juga menyukai