1
Program Studi Pendidikan Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala
Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
2
Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
3
E-mail: almunawati@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian formalin secara intraperitoneal
terhadap ginjal tikus putih (Rattus norvegicus). Hewan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 24 ekor tikus putih jantan. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
(RAL) pola searah dengan 4 kelompok perlakuan. Masing-masing kelompok perlakuan terdiri
atas enam ekor tikus. Kelompok kontrol tikus hanya diberi pakan dan air minum tanpa perlakuan
apapun, kelompok 1 tikus diinjeksi formalin dengan dosis 1 mg/kg bb, kelompok 2 diinjeksi
formalin dengan dosis 2,5 mg/kg bb, kelompok 3 diinjeksi formalin dengan dosis 5 mg/kg bb.
Masing-masing kelompok diberi perlakuan selama 14 hari berturut-turut secara intraperitoneal.
Selama penelitian tikus diberi pakan dan air minum secara adlibitum. Tikus dietanasi pada hari ke
15, kemudian organ ginjal dikoleksi untuk pembuatan preparat histopatologi. Hasil analisis
statistik menunjukkan rata-rata (± SD) jumlah sel-sel tubulus ginjal pada tikus yang mengalami
degenerasi parenkim K0 (0,00 ± 0,00); K1 (2,10 ± 0,17); K2 (2,56± 0,32); dan K3 (3,00 ±0,72);
degenerasi hidropis K0 (0,00 ± 0,00); K1 (1,80 ± 0,69); K2 ( (7,23 ± 0,60); dan K3 (7,50 ± 0,26);
dan nekrosis K0 (0,06 ± 0,11); K1 (3,70 ± 0,43); K2 (7,23 ± 0,60); dan K3 (7,50 ± 0,26).
Pemberian formalin berpengaruh nyata terhadap kerusakan sel-sel tubulus ginjal tikus putih,
Disimpulkan bahwa semakin besar dosis formalin yang diberikan maka semakin besar
pengaruhnya terhadap kerusakan histopatologi ginjal tikus.
ABSTRACT
The study aims to determine the effect of formalin administration intraperitoneally on Rats
(Rattus norvegicus) kidney. Animals used in this study were 24 male rats. The research design
used was a completely randomized design (CRD) with 4 unidirectional pattern group treatments.
Each treatment group consisted of six rats. Group control was given only feed and drinking
without any treatment, group 1, 2, and 3 were injected intraperitoneally with formalin with the
dose of 1, 2.5, and 5 mg/kg bw, respectively. The treatment was carried out for 14 consecutive
days. During the reseach, rats were fed comercial feed and given drinking water adlibitum. Rat
were euthanized on day 15, then the kidney was collected for histopathological examination. The
statistical analysis showed that the average (± SD) number of renal tubular cells in rat with
degeneration of parenchyma were K0 (0.00 ± 0.00), K1 (2.10 ± 0.17), K2 (2.56± 0.32), and K3
(3.00 ±0.72) , degeneration hidropis were K0 (0.00 ± 0.00), K1 (1.80 ± 0.69), K2 (7.23 ± 0.60),
and K3 (7.50 ± 0.26), and necrosis were K0 (0.06 ± 0.11), K1 (3.70 ± 0.43), K2 (7.23 ± 0.60), and
K3 (7.50 ± 0.26). The administration in conelusion of formalin significantly affect the renal
tubular cells damage in rat, the higher the dose of formalin injected, the higher the damage of
histopathological of kidney rats.
PENDAHULUAN
424
JIMVET. 01(3): 424-431 (2017) ISSN : 2540-9492
For Research on Cancer (IARC), Agency for Toxic Substances and Disease
Registry, USA (ATSR) dan International Programme on Chemical Safety (IPCS).
Formalin telah diklasifikasikan oleh IARC ke dalam kelompok senyawa yang
beresiko menyebabkan kanker (Wulan, 2015). Secara umum ambang batas aman
di dalam tubuh adalah 1 miligram per liter. Bila formalin masuk ke tubuh
melebihi ambang batas tersebut, maka dapat mengakibatkan gangguan pada organ
dan sistem tubuh manusia. Akibat yang ditimbulkan tersebut dapat terjadi dalam
waktu singkat atau jangka pendek, dan dalam jangka panjang, baik melalui
inhalasi, kontak langsung atau tertelan(Faradila dan Elmatris, 2014).
Ginjal merupakan organ berpembuluh darah sangat banyak dan memiliki
fungsi untuk menyaring atau membersihkan darah dengan mengeluarkan zat sisa
organik, seperti urea, asam urat, kreatinin, dan produk penguraian hemoglobin dan
hormon namun karena paparan zat toksik bisa terjadi kerusakan pada ginjal
(Wijayanti dkk., 2015). Ginjal merupakan organ kedua setelah hati yang paling
sering menjadi sasaran perusakan oleh zat–zat kimia, karena organ ini menerima
25-30 % sirkulasi darah untuk dibersihkan, sehingga sebagai organ filtrasi
kemungkinan terjadinya perubahan patologik sangat tinggi. Hal ini disebabkan
banyak zat kimia yang diekskresikan melalui urin (Suhita dkk., 2013).
Peningkatan ekskresi sisa-sisa metabolit, dapat menyebabkan kerusakan ginjal,
karena keracunan yang diakibatkan kontak dengan bahan-bahan tersebut.
Kerusakan jaringan ini bila dibiarkan dapat mengakibatkan gagal ginjal yang
berakhir dengan kematian (Soepraptini dkk., 2012).
Penelitian mengenai perubahan histopatologis pada sel tubulus ginjal yang
telah dilakukan sebelumnya ditemukan adanya perubahan fisiologi ginjal,
penurunan berat badan dan organ, nekrosis hepar dan tubulus ginjal secara fokal.
Kerusakan pada tubulointerstisial berupa degenerasi dan nekrosis (Wibowo,
2012). Formalin mempunyai sifat mudah larut dalam air, sehingga akan bereaksi
dengan mudah dengan mukosa pada sel-sel yang terpapar. Formalin yang
mengenai sel akan mengkoagulasi protein yang terdapat pada protoplasma sel dan
nukleus, sehingga akan mengubah struktur mukosa yang mengakibatkan
perubahan fungsional yang dapat menyebabkan kerusakan pada sel (Santosa dkk.,
2008).
425
JIMVET. 01(3): 424-431 (2017) ISSN : 2540-9492
Tabel 1. Rata- rata (± SD) jumlah sel-sel tubulus ginjal pada tikus yang
mengalami degenerasi parenkim, degenerasi hidropis dan nekrosis yang diinjeksi
formalin dengan dosis bertingkat.
Degenerasi Degenerasi
Perlakuan Nekrosis
Parenkim Hidropis
K0 0,00 ± 0,00a 0,00 ± 0,00a 0,06 ± 0,11a
K1 2,10 ± 0,17b 1,80 ± 0,69 b
3,70 ± 0,43b
K2 2,56± 0,32bc 2,46 ± 0,50b 7,23 ± 0,60c
K3 3,00 ±0,72c 5,46 ± 0,94 c
7,50 ± 0,26c
a, b, bc, c
Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (P<0,05)
Keterangan :
K0 = tikus yang hanya diberi pakan standar tanpa perlakuan apapun
K1 = tikus yang diberi pakan pakan standar dan diinjeksi formalin secara
intraperitoneal dengan dosis 1 mg/Kgbb per hari
K2 = tikus yang diberi pakan standar dan diinjeksi formalin secara intraperitoneal
dengan dosis 2,5 mg/Kgbb per hari
K3 = tikus yang diberi pakan standar dan diinjeksi formalin secara intraperitoneal
dengan dosis 5 mg/Kgbb per hari
426
JIMVET. 01(3): 424-431 (2017) ISSN : 2540-9492
427
JIMVET. 01(3): 424-431 (2017) ISSN : 2540-9492
428
JIMVET. 01(3): 424-431 (2017) ISSN : 2540-9492
sistemik akan dibawa ke ginjal dalam kadar yang cukup tinggi. Sebagai akibatnya
akan terjadi proses perubahan struktur dari ginjal itu sendiri, terutama di tubulus
ginjal karena disinilah terjadi proses reabsorpsi dan eksresi dari zat-zat toksik
tersebut (Windhartono dan Sasmito, 2013).
Hasil pengamatan gambaran histopatologi ginjal tikus putih yang diinjeksi
formalin diamati dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin menggunakan
mikroskop cahaya perbesaran 1000 x tersaji pada Gambar 2.
K0 K1
K2 K3
429
JIMVET. 01(3): 424-431 (2017) ISSN : 2540-9492
formalin secara intraperitoneal dengan dosis 5 mg/Kg bb per hari, sel-sel tubulus
ginjal mengalami degenerasi dan nekrosis yang lebih parah dari kelompok
perlakuan 1 dan 2 serta sel epitel tubulus yang memipih, hal ini menunjukkan
bahwa besarnya paparan dosis dalam tubuh berpengaruh terhadap kerusakan yang
terjadi pada sel.
Hasil yang diperoleh antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan
menunjukkan perbedaan yang nyata yaitu antara kelompok kontrol yang tidak
diberi formalin dengan K1 yang diberi formalin dengan dosis 1 mg/Kg bb per
hari, antara kontrol dengan K2 yang diberi formalin dengan dosis 2,5 mg/Kg bb
per hari dan antara kontrol dengan K3 yang diberi formalin dengan dosis 5 mg/Kg
bb per hari. Hasil ini menunjukkan bahwa formalin yang digunakan 14 hari secara
intraperitoneal dapat mempengaruhi gambaran histopatologi ginjal dibandingkan
dengan yang tidak diberi formalin, dan pemberian formalin berpengaruh nyata
terhadap kerusakan sel-sel tubulus ginjal pada tikus putih. semakin besarnya dosis
yang masuk ke dalam tubuh maka semakin besar kerusakan yang ditimbukan pada
sel (Lee, 2003).
KESIMPULAN
Pemberian formalin dengan dosis bertingkat 1,0; 2,5; dan 5,0 mg/kg BB
secara intraperitoneal selama 14 hari pada tikus putih menyebabkan perubahan
histopatologi sel tubulus ginjal berupa degenerasi parenkim, degenerasi hidropis,
dan nekrosis. Semakin besar dosis yang diberikan, maka kerusakan yang terjadi
juga semakin besar.
DAFTAR PUSTAKA
Fahrimal, Y., Rahmiwati, D. Aliza. 2016. Gambaran histopatologis ginjal tikus
putih (rattus norvergicus) jantan yang diinfeksikan trypanosoma evansi
dan diberi ekstrak daun sernai (Wedelia biflora). Jurnal Medika
Veterinaria. 10(2):2503-1600
Faradila, Y.A., dan Elmatris. 2014. Identifikasi formalin pada bakso yang dijual
pada beberapa tempat di kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas.
3(2):156-158.
Harada T., E.A. Boorman, and R.R. Maronpot. 1999. Liver and Gallbladder. In:
Maronpot RR. Pathology of The Mouse. Reference and Atlas. Edisi 1.
Cache River Press.199-136
Istikhomah, dan Lisdiana. 2015. Efek hepatoprotektor ekstrak buah pedada
(Sonneratia caseolaris) pada tikus putih (Rattus norvegicus).Unnes
Journal Of Life Science. 4(1):1-8.
Kusumawati, F. 2004. Penetapan kadar formalin yang digunakan sebagai
pengawet dalam bakmi di pasar wilayah kota Surakarta. Jurnal Penelitian
Sains dan Teknoogi. 5(1):131-140.
Lee, W.M. 2003. Drug induced hepatotoxicity. NEJM. 349-474.
Mandia, S., N. Marusin, dan P. Santoso. 2013. Analisis histologis ginjal ikan
Asang (Osteochilus hasseltii ) di danau Maninjau dan Singkarak,
Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. Ua.). 2(3):
194-200.
430
JIMVET. 01(3): 424-431 (2017) ISSN : 2540-9492
Santosa, T.N., R.S. Tyas, dan T. Silvana. 2008. Pengaruh pemberian diazepam,
formalin dan minuman beralkohol terhadap bobot intestinum, hepar dan
ren mencit Mus musculus. Skripsi. Fakultas Sains dan Matematika.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Sarjadi. 2003. Patologi Umum. Ed 2. Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang.
Soepraptini, J., F.R. Safda, dan S.P. Koesnoto. 2012. Gambaran histopatologi
ginjal tikus putih jantan pada kasus patah tulang femur dengan terapi
ekstrak tanaman (Cissus ouadrangularis) dan kalsium karbonat. Vetmedika
J Klin Vet 5. 1(1):5-8.
Suhita, N.L.P.R., I.W. Sudira, dan I.B.O. Winaya. 2013. Histopatologi ginjal
tikus putih akibat pemberian ekstrak pegagan (Centella asiatica) peroral.
Buletin Veteriner Udayana. 5(2):71-78.
Suyanti, L. 2008. Gambaran histopatologi hati dan ginjal tikus pada pemberian
fraksi asam amino non-protein Lamtoro merah (Acacia villosa) pada uji
toksisitas akut. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor
Wibowo, M 2012. Pengaruh formalin peroral dosis bertingkat selama 12 minggu
terhadap gambaran histopatologis ginjal tikus Wistar. Skripsi. Kedokteran
Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro. Semarang.
Wijayanti, F., D.S. Latiyani, dan M. Nanik. 2015. Pengaruh Pemberian formalin
peroral terhadap kadar ureum dan kreatinin tikus Wistar. Jurnal
Kedokteran Muhammadiyah. 2 (1):39-42.
Windhartono, Z.K. dan E. Sasmito. 2013. Pengaruh infusa wortel (Daucus carota
l.) terhadap histopatologi ginjal tikus jantan yang diinduksi uranium.
Jurnal Kedokteran Yarsi. 21 (1): 033-040.
Wulan, S.R.S. 2015. Identifikasi Formalin pada bakso dari pedagang bakso di
kecamatan Panakukkang kota Makassar. Skripsi. Fakultas Kedokteran
Hewan. Universitas Hasanuddin. Makassar
431