Airway Mangement
Airway Mangement
BAB I
PENDAHULUAN
Pengelolaan jalan nafas adalah memastikan jalan napas tetap terbuka. Hal
ini menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi.
Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat
mempengaruhi keadaan jalan napas untuk berjalan dengan baik.
Salah satu penyebab utama dari hasil akhir tatalaksana pasien yang buruk
yang didata oleh American Society of Anesthesiologist (ASA) berdasarkan studi
tertutup terhadap episode pernapasan yang buruk, terhitung sebanyak 34% dari
1541 pasien dalam studi tersebut. Tiga kesalahan mekanis, yang terhitung terjadi
sebanyak 75% pada saat tatalaksanan jalan napas yaitu : ventilasi yang tidak
adekuat (38%), intubasi esofagus (18%), dan kesulitan intubasi trakhea (17%).
Sebanyak 85% pasien yang didapatkan dari studi kasus, mengalami kematian dan
kerusakan otak. Sebanyak 300 pasien (dari 15411 pasien di atas), mengalami
masalah sehubungan dengan tatalaksana jalan napas yang minimal(Guyton, 2007
dan Abhgie, 2009).
Gejala komplikasi kadang-kadang datangnya tidak diduga kendatipun
tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik. Keberhasilan dalam mengatasi
komplikasi tergantung dari deteksi gejala dini dan tindakan koreksi untuk
mencegah keadaan yang lebih buruk. Tulisan ini akan membahas tentang
pengelolaan jalan nafas (airway management) dan kesulitan dalam jalan napas
(difficult airway) dan penanganannya .
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial
(gambar 5-3). Membran mukosa dari hidung bagian anterior dipersarafi
oleh divisi ophthalmic (V1) saraf trigeminal (saraf ethmoidalis anterior)
dan di bagian posterior oleh divisi maxila (V2) (saraf sphenopalatina).
Saraf palatinus mendapat serabut saraf sensori dari saraf trigeminus (V)
untuk mempersarafi permukaan superior dan inferior dari palatum molle
dan palatum durum. Saraf lingual (cabang dari saraf divisi mandibula [V3]
saraf trigeminal) dan saraf glosofaringeal (saraf kranial yang ke 9) untuk
sensasi umum pada dua pertiga bagian anterior dan sepertiga bagian
posterior lidah. Cabang dari saraf fasialis (VII) dan saraf glosofaringeal
untuk sensasi rasa di daerah tersebut. Saraf glosofaringeal juga
mempersarafi atap dari faring, tonsil dan bagian dalam palatum molle.
Saraf vagus (saraf kranial ke 10) untuk sensasi jalan nafas dibawah
epiglotis. Saraf laringeal superior yang merupakan cabang dari saraf vagus
dibagi menjadi saraf laringeus eksternal yang bersifat motoris dan saraf
laringeus internal yang bersifat sensoris untuk laring antara epiglotis dan
pita suara. Cabang vagus yang lainnya yaitu saraf laringeal rekuren,
mempersarafi laring dibawah pita suara dan trakhea (Morgan, 2006).
5
1. Faringeal airway
Jika manuver triple airway kurang berhasil, maka dapat dipasang
jalan napas mulut-faring lewat mulut dengan Oropharyngeal
airway atau jalan napas hidung-faring lewat hidung
denganNasopharyngeal airway.
Nasopharyngeal airway (NPA) : berbentuk pipa bulat berlubang
tengahnya dibuat dari bahan karet lateks lembut. Pemasangan
harus hati-hati dan menghindari trauma mukosa hidung pipa diolesi
dengan jelly.
Oropharyngeal airway (OPA) : Berbentuk pipa gepeng lengkung
seperti huruf C berlubang ditengahnya dengna salah satu ujungnya
bertangkai dengan dinding lebih keras untuk mencegah kalau
pasien menggigit, lubang tetap paten, sehingga aliran udara tetap
terjamin. OPA juga dipasang bersama pipa trakea atau sungkup
laring untuk menjaga patensi kedua alat tersebut dari gigitan
(Latief, 2009).
2. Face mask
Fase mask (sungkup muka) yaitu untuk mengantar udara/gas
anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke jalan napas
pasien. Bentuk sungkup muka sangat beragam bergantung usia dan
pembuatnya. Ukuran 03 untuk bayi baru lahir, ukuran 02,01,1
untuk anak kecil, ukuran 2 dan 3 untuk anak besar dan ukuran 4
dan 5 untuk dewasa (Latief,2009).
3. Laringeal mask airway
Laringeal mask airway (sungkup laring) adalah alat jalan napas
berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan ujung
10
Intubasi
Intubasi adalah memasukan suatu lubang atau pipa trakea
melalui mulut ataupun hidung menuju trakhea dengan tujuan untuk
menjaga jalan napas (Latief, 2009).
Indikasi Intubasi
Secara umum, intubasi adalah indikasi untuk pasien yang
memiliki resiko untuk aspirasi dan untuk prosedur operasi meliputi
rongga perut atau kepala dan leher. Ventilasi dengan face mask
atau LMA biasanya digunakan untuk prosedur operasi pendek
seperti cytoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi, perbaikan hernia
inguinal dan lain lain
Indikasi dibagi menjadi :
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun
Kelainan anatomis, bedah khusus, bedah posisi khusus,
pembersihan sekret jalan napas dan lain-lain.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi dan ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi (Latief, 2009).
Persiapan Intubasi
Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan
dan posisi pasien. TT harus diperiksa. Sistem inflasi cuff pipa dapat
ditest dengan menggembungkan balon dengan menggunakan spuit
10 ml. Pilih TT dengan ukuran yang sesuai. Laringoskop harus
diperiksa, blade harus terkunci di atas handle laringoskop dan bola
lampu dicoba berfungsi atau tidak. Intensitas cahanya harus tetap
walaupun bola lampu bergoyang.
Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang
benar. Kepala pasien harus sejajar atau lebih tinggi dengan
pinggang dokter anestesi untuk mencegah ketegangan bagian
belakang yang tidak perlu selama laringoskopi. Rigid laringoskop
memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis
12
Intubasi Nasotrakeal
Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa TT
masuk lewat hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum
dilakukan laringoskopi. Lubang hidung yang dipilih dan digunakan
14
2. Krikotirotomi
2.6.1 Definisi
Difficult airway (Kesulitan Jalan Napas), menurut The American
Society of Anesthesiology (ASA)2003 adalah adanya situasi klinis yang
menyulitkan baik ventilasi dengan masker atau intubasi yang dilakukan
oleh dokter anestesi yang berpengalaman dan terampil.
2.6.2 Jenis Kesulitan Jalan Napas
Menurut ASA jenis kesulitan jalan napas dibagi menjadi 4 :
1. Kesulitan ventilasi dengan sungkup atau supraglottic airway (SGA)
Ketidakmampuan dari ahli anestesi yang berpengalaman untuk menjaga
SO2 > 90 % saat ventilasi dengan menggunakan masker wajah dan O2
inspirasi 100%, dengan ketentuan bahwa tingkat saturasi oksigen pra
ventilasi masih dalam batas normal.
2. Kesulitan dilakukan laringoskopi
Kesulitan untuk melihat bagianpita suara, setelah dicoba beberapa kali
dengan laringoskop sederhana.
3. Kesulitan intubasi trakea
17
Dibutuhkannya lebih dari 3 kali usaha intubasi atau usaha intubasi yang
terakhir lebih dari 10 menit
4. Kegagalan intubasi
Sindrom Alpert Hipoplasia maksila; cleft soft palate; kelainan tulang rawan
Sindrom Beckwith (infantile di tracheobronchial
gigantisme) Makroglossia
Cherubism Lesi menyerupi tumor di mandibula dan maksila di rongga
Cretinismus mulut
Hilangnya jaringan thiroid; makroglossia; goiter; penekanan
Sindrom Cri du Chat pada trakhea, deviasi laryng atau trakhea
Abnormalitas kromosom 5P; mikrosepal; mikrognathia;
Sindrom Meckel laryngomalacia, stridor
2.6.4 Diagnosis
1. Anamnesis
Klasifikasi Klinis
Kelas I Tampak uvula, pilar faring dan palatum
mole
Kelas II Pilar fausial dan palatum mole terlihat
Kelas III Palatum durum dan palatum mole masih
terlihat
Kelas IV Palatum durum sulit terlihat
3. Pemeriksaan Penunjang
Radiografi , CT-scan , fluoroskopi dapat mengidentifikasi berbagai
keadaan yang didapat atau bawaan pada pasien dengan kesulitan jalan
napas.
1. Intubasi sadar.
Ini tidak perlu dilakukan dengan cepat karena pasien sadar dapat
bernafas adekuat dan pada pasien dianestesi, jika ventilasi dan oksigenasi
tidak adekuat, FOB ditarik danlakukan ventilasi dengan face mask. Minta
asisten untuk jaw thrust atau lakukan tekanan pada krikoid dapat
membantu penglihatan pada kasus sulit. Jika pasien bernafas spontan, tarik
lidah dengan klem dapat memfasilitasi intubasi Morgan, 2006).
Sekali dalam trakea, FOB didorong masuk ke dekat carina. Adanya
cincin trakhea dan carina adalah membuktikan posisi yang tepat. TT di
dorong dari FOB. Sudut sekitar cartilago arytenoid dan epiglotis dapat
31
2.8 Ekstubasi
Ekstubasi terbaik dilakukan ketika pasien sedang teranestesi dalam
atau bangun. Pasien juga harus pulih sepenuhnya dari pengaruh obat pelemas
otot pada saat sebelum ekstubasi. Jika pelemas otot digunakan, pernapasan
pasien akan menggunakan ventilasi mekanik terkontrol, maka dari itu pasien
harus dilepaskan dari ventilator sebelumekstubasi (Morgan, 2006).
Ekstubasi selama anestesi ringan (masa antara anestesi dalam dan
bangun) harus dihindari karena meningkatnya risiko laringospasme.
Perbedaan antara anestesi dalam dan ringan biasanya terlihat saat suction/
penyedotan sekret faring : adanya reaksi pada penyedotan (tahan napas,
33
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA