Anda di halaman 1dari 36

1

BAB I
PENDAHULUAN

Pengelolaan jalan nafas adalah memastikan jalan napas tetap terbuka. Hal
ini menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi.
Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat
mempengaruhi keadaan jalan napas untuk berjalan dengan baik.
Salah satu penyebab utama dari hasil akhir tatalaksana pasien yang buruk
yang didata oleh American Society of Anesthesiologist (ASA) berdasarkan studi
tertutup terhadap episode pernapasan yang buruk, terhitung sebanyak 34% dari
1541 pasien dalam studi tersebut. Tiga kesalahan mekanis, yang terhitung terjadi
sebanyak 75% pada saat tatalaksanan jalan napas yaitu : ventilasi yang tidak
adekuat (38%), intubasi esofagus (18%), dan kesulitan intubasi trakhea (17%).
Sebanyak 85% pasien yang didapatkan dari studi kasus, mengalami kematian dan
kerusakan otak. Sebanyak 300 pasien (dari 15411 pasien di atas), mengalami
masalah sehubungan dengan tatalaksana jalan napas yang minimal(Guyton, 2007
dan Abhgie, 2009).
Gejala komplikasi kadang-kadang datangnya tidak diduga kendatipun
tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik. Keberhasilan dalam mengatasi
komplikasi tergantung dari deteksi gejala dini dan tindakan koreksi untuk
mencegah keadaan yang lebih buruk. Tulisan ini akan membahas tentang
pengelolaan jalan nafas (airway management) dan kesulitan dalam jalan napas
(difficult airway) dan penanganannya .
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. AIR WAY MANAGEMENT


1. DEFINISI

Airway Management ialah memastikan jalan napas tetap terbuka.


Tindakan paling penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera
melapangkang saluran pernapasan. yaitu dengan cara Triple airway
maneuver.
Pada Triple Airway Manuever terdapat tiga perlakuan yaitu:
1. Kepala ditengadahkan dengan satu tangan berada di bawah
leher, sedangkan tangan yang lain pada dahi. Leher
diangkat dengan satu tangan dan kepala ditengadahkan ke
belakang oleh tangan yang lain
2. Menarik rahang bawah ke depan, atau keduanya, akan
mencegah obtruksi hipofaring oleh dasar lidah. Kedua
gerakan ini meregangkan jaringan antara larings dan
rahang bawah.
3.  Menarik / mengangkat dasar lidah dari dinding pharyinx
posterior.
1.2 Anatomi Jalan Napas
Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu
hidung yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju
orofaring (pars oralis). Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada
bagian anteriornya, tapi kemudian bergabung di bagian posterior dalam
faring (gambar 5-1). Faring berbentuk U dengan struktur fibromuskuler
yang memanjang dari dasar tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan
masuk ke esofagus. Bagian depannya terbuka ke dalam rongga hidung,
mulut, laring, nasofaring, orofaring dan laringofaring (pars laryngeal).
3

Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi mengarah ke


posterior.

Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis memisahkan orofaring


dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi
dengan menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan. Laring adalah
suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun
oleh 9 kartilago (gambar 5-2) : tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang)
aritenoid, kornikulata dan kuneiforme (Morgan, 2006).
4

Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial
(gambar 5-3). Membran mukosa dari hidung bagian anterior dipersarafi
oleh divisi ophthalmic (V1) saraf trigeminal (saraf ethmoidalis anterior)
dan di bagian posterior oleh divisi maxila (V2) (saraf sphenopalatina).
Saraf palatinus mendapat serabut saraf sensori dari saraf trigeminus (V)
untuk mempersarafi permukaan superior dan inferior dari palatum molle
dan palatum durum. Saraf lingual (cabang dari saraf divisi mandibula [V3]
saraf trigeminal) dan saraf glosofaringeal (saraf kranial yang ke 9) untuk
sensasi umum pada dua pertiga bagian anterior dan sepertiga bagian
posterior lidah. Cabang dari saraf fasialis (VII) dan saraf glosofaringeal
untuk sensasi rasa di daerah tersebut. Saraf glosofaringeal juga
mempersarafi atap dari faring, tonsil dan bagian dalam palatum molle.
Saraf vagus (saraf kranial ke 10) untuk sensasi jalan nafas dibawah
epiglotis. Saraf laringeal superior yang merupakan cabang dari saraf vagus
dibagi menjadi saraf laringeus eksternal yang bersifat motoris dan saraf
laringeus internal yang bersifat sensoris untuk laring antara epiglotis dan
pita suara. Cabang vagus yang lainnya yaitu saraf laringeal rekuren,
mempersarafi laring dibawah pita suara dan trakhea (Morgan, 2006).
5

Otot laring dipersarafi oleh saraf laringeal rekuren (cabang dari


saraf laringeal superior) dengan pengecualian otot krikotiroid, yang
dipersarafi oleh saraf laringeal externa (motoris). Otot krikotiroid posterior
mengabduksi pita suara, seraya otot krikoaritenoid lateral adalah adduktor
utama (Morgan,2006).
2.3 Indikasi Bantuan Jalan Napas
1. Obstruksi jalan napas
2. Sumbatan di atas laring
3. Lidah yang jatuh ke hipofaring:
4. Pasien tidak sadar atau dalam keadaan anastesi posisi terlentang. Pada
pasien tidak sadar, tonus otot penyangga lidah menurun sehingga lidah
jatuh ke arah posterior dan menempel pada dinding posterior faring dan
menyebabkan obstruksi jalan nafas baik total atau parsial. Terutama pada
pasien gemuk, leher pendek, lidah besar pada bayi.
1. Benda asing
2. Lendir
3. Bekuan darah
4. Gigi palsu yang terlepas
5. Muntahan
6. Makanan
7. Penyakit infeksi atau tumor jalan nafas bagian atas
8. Pembesaran tonsil
9. Polip pada rongga hidung
10. Tumor rongga mulut dan dasar lidah
11. Trauma di daerah muka
12. Trauma kepala yang mengenai daerah maksilo-fasial, yang dapat merusak
anatomi regio tersebut sehingga mengganggu pasase udara melalui jalan
napas atas
6

1. Sumbatan pada laring


1. Benda asing menyumbat rima glottis
2. Reaksi alergi anafilaktik
3. Tumor laring
4. Trauma laring
5. Paralisis pita suara
6. Spasme laring,yaitu karena pita suara menutup sebagian atau
seluruhnya. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh anastesi
ringan dan mendapat rangasangan sekitar faring. Terapi yang
dapat diberikan :
1. Triple Airway Maneuver
2. Ventilasi positif dengan oksigen 10 %
3. Bila tidak perbaikan diberikan pelumpuh otot suksinil 0,5 mg/kg iv, im
deltoid, sublingual 2-4 mg/kg.

2. Sumbatan di bawah laring


1. Tumor mendesak trakea
2. Benda asing bronkus
3. Spasme bronkus’tumor bronkus
Tanda- tanda obstruksi jalan nafas
1. Stridor (mendengkur)
2. Pernafasan cuping hidung
3. Retraksi trakea
4. Retraksi torak (Latief, 2009).

5. Henti nafas : depresi pusat nafas, kelumpuhan otot pernafasan


6. Pembedahan: durasi lama, posisi khusus
7. Pencegahan terhadap regurgitasi dan aspirasi
8. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi: saat resusitasi
7

9. Tak terasa ada udara ekspirasi (latief, 2009).

2.4 Pengelolaan Jalan Nafas Tanpa Alat


1) Membuka jalan nafas dengan metode :
- Head Tilt (dorong kepala ke belakang)
- Chin Lift Manuver (perasat angkat dahu)
- Jaw Thrust Manuver (perasat tolak rahang)

Gambar 4. Teknik Jaw Thrust


Pada pasien yang diduga mengalami cedera leher dan kepala hanya
dilakukan Jaw Thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan
leher.
2) Membersihkan jalan nafas
- Finger Sweep (sapuan jari)

Gambar 5. Finger Sweep


Dilakukan bila jalan napas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga
mulut belakang atau hipofaring (gumpalan darah, muntahan, benda asing lainnya)
dan hembusan napas hilang.
8

- Abdominal Thrust (Gentakan Abdomen)

Gambar 6. Abdominal Thrust

- Chest Thrust (Pijatan Dada)

Gambar 7. Chest Thrust pada bayi

- Back Blow (Tepukan Pada Punggung)


9

Gambar 8. Back Blow pada bayi

2.5. Pengelolaan Jalan Nafas Dengan Alat

1. Faringeal airway
Jika manuver triple airway kurang berhasil, maka dapat dipasang
jalan napas mulut-faring lewat mulut dengan Oropharyngeal
airway atau jalan napas hidung-faring lewat hidung
denganNasopharyngeal airway.
Nasopharyngeal airway (NPA) : berbentuk pipa bulat berlubang
tengahnya dibuat dari bahan karet lateks lembut. Pemasangan
harus hati-hati dan menghindari trauma mukosa hidung pipa diolesi
dengan jelly.
Oropharyngeal airway (OPA) : Berbentuk pipa gepeng lengkung
seperti huruf C berlubang ditengahnya dengna salah satu ujungnya
bertangkai dengan dinding lebih keras untuk mencegah kalau
pasien menggigit, lubang tetap paten, sehingga aliran udara tetap
terjamin. OPA juga dipasang bersama pipa trakea atau sungkup
laring untuk menjaga patensi kedua alat tersebut dari gigitan
(Latief, 2009).
2. Face mask
Fase mask (sungkup muka) yaitu untuk mengantar udara/gas
anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke jalan napas
pasien. Bentuk sungkup muka sangat beragam bergantung usia dan
pembuatnya. Ukuran 03 untuk bayi baru lahir, ukuran 02,01,1
untuk anak kecil, ukuran 2 dan 3 untuk anak besar dan ukuran 4
dan 5 untuk dewasa (Latief,2009).
3. Laringeal mask airway
Laringeal mask airway (sungkup laring) adalah alat jalan napas
berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan ujung
10

menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan


seperti balon pada pipa trakea.
Dikenal dua macam sungkup laring :
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya
pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esofagus (Latief,
2009).

Ukuran Usia Berat (kg)


1.0 Neonatus <3
1.3 Bayi 3-10
2.0 Anak Kecil 10-20
2.3 Anak 20-30
3.0 Dewasa kecil 30-40
4.0 Dewasa normal 40-60
5.0 Dewasa besar >60
Tabel 1. Ukuran LMA
1. Endotracheal tube
Endotracheal tube yaitu mengantar gas anestetik langsung ke
dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-
klorida. Ukuran diameter lubang pipa trakea dalam milimeter.
Karena penumpang trakea bayi, anak kecil dan dewasa berbeda,
penampang melintang trakea bayi dan anak kecil dibawah usia 5
tahun hampir bulat, sedangkan dewasa seperti huruf D, maka untuk
bayi dan anak digunakan tanpa cuff dan untuk dewasa dengan cuff
supaya tidak bocor.
Endotracheal tube dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal
tube) atau melalui hidung ( nasotracheal tube) (Latief, 2009).
2. Laringoskop dan Intubasi
Laringoskop ialah alat yang digunakan untuk melihat laring secara
langsung supaya kita dapat memasukan pipa trakea dengan baik
dan benar
11

Intubasi
Intubasi adalah memasukan suatu lubang atau pipa trakea
melalui mulut ataupun hidung menuju trakhea dengan tujuan untuk
menjaga jalan napas (Latief, 2009).
Indikasi Intubasi
Secara umum, intubasi adalah indikasi untuk pasien yang
memiliki resiko untuk aspirasi dan untuk prosedur operasi meliputi
rongga perut atau kepala dan leher. Ventilasi dengan face mask
atau LMA biasanya digunakan untuk prosedur operasi pendek
seperti cytoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi, perbaikan hernia
inguinal dan lain lain
Indikasi dibagi menjadi :
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun
Kelainan anatomis, bedah khusus, bedah posisi khusus,
pembersihan sekret jalan napas dan lain-lain.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi dan ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi (Latief, 2009).
Persiapan Intubasi
Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan
dan posisi pasien. TT harus diperiksa. Sistem inflasi cuff pipa dapat
ditest dengan menggembungkan balon dengan menggunakan spuit
10 ml. Pilih TT dengan ukuran yang sesuai. Laringoskop harus
diperiksa, blade harus terkunci di atas handle laringoskop dan bola
lampu dicoba berfungsi atau tidak. Intensitas cahanya harus tetap
walaupun bola lampu bergoyang.
Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang
benar. Kepala pasien harus sejajar atau lebih tinggi dengan
pinggang dokter anestesi untuk mencegah ketegangan bagian
belakang yang tidak perlu selama laringoskopi. Rigid laringoskop
memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis
12

langsung untuk melihat dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi


kepala sedang (sekitar 5-10 cm diatas meja operasi) dan ekstensi
dari atlantoocipito joint menempatkan pasien pada posisi sniffing
yang diinginkan. Bagian bawah dari tulang leher adalah fleksi
dengan menempatkan kepala diatas bantal (Morgan, 2006).
Intubasi Orotrakeal
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut
pasien terbuka lebar, blade dimasukan pada sisi kanan dari
orofaring dengan hati-hati untuk menghindari gigi. Geserkan lidah
ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir blade.
Ujung dari blade melengkung dimasukkan ke valekula, dan ujung
blade lurus menutupi epiglotis.Handle diangkat menjauhi pasien
secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk melihat pita suara.
Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade serta pengungkitan
dari gigi harus dihindari. TT diambil dengan tangan kanan, dan
ujungnya dilewatkan melalui pita suara yang terbuka (abduksi).
Balon TT harus berada dalam trakea bagian atas tapi dibawah
laring. Langingoskop ditarik dengan hati-hati untuk menghindari
kerusakan gigi. Balon dikembungkan dengan sedikit udara yang
dibutuhkan agar tidak ada kebocoran selama ventilasi tekanan
positif, untuk meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada
mukosa trakea. Merasakan pilot balon bukan metode yang dapat
dipercaya untuk menentukan tekanan balon yang adekuat (Morgan,
2006).
Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera
diauskultasi dan capnograf dimonitor untuk memastikan TT ada di
intratrakeal. Jika ada keragu-raguan tentang apakah pipa dalam
esophagus atau trakea, cabut lagi TT dan ventilasi pasien dengan
face mask. Sebaliknya, jika sudah yakin, pipa dapat diplester atau
diikat untuk mengamankan posisi. Walaupun deteksi kadar CO2
dengan capnograf merupakan konfirmasi terbaik untuk menentukan
13

letak TT di trakea, kita tetap tidak dapat mengabaikan terjadinya


intubasi bronkial. Manifestasi dini dari intubasi bronkial adalah
peningkatan tekanan respirasi puncak. Lokasi pipa yang tepat dapat
dikonfirmasi dengan palpasi balon pada sternal notch sambil
menekan pilot balon dengan tangan lainnya. Balon jangan ada
diatas level kartilago krikoid, karena lokasi intralaringeal yang
lama dapat menyebabkan suara serak pada post operasi dan
meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak disengaja. Posisi pipa
dapat dilihat dengan radiografi dada, tapi ini jarang diperlukan
kecuali dalam ICU (Morgan, 2006).
Hal yang diuraikan diatas diambil dari pasien tidak sadar.
Intubasi lewat mulut ini biasanya kurang ditoleran pada pasien
yang sadar. Jika perlu, dalam kasus terakhir, sedasi intravena,
penggunaan lokal anestetik spray dalam orofaring, regional blok
saraf akan memperbaiki penerimaan pasien.
Kegagalan intubasi jangan diikuti dengan pengulangan
intubasi kembali karena hasilnya akan sama. Perubahan harus
dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan, seperti mengatur
kembali posisi pasien, penurunan ukuran pipa, pemasangan
mandrin, memilih blade yang berbeda, mencoba lewat hidung atau
meminta bantuan dokter anestesi lainnya. Jika pasien juga sulit
untuk ventilasi dengan face mask, pilihan pengelolaan jalan nafas
yang lain (contoh LMA, combitube, krikotirotomi dengan jet
ventilasi, trakeostomi). Petunjuk yang dikembangkan oleh ASA
untuk penanganan jalan nafas yang sulit, termasuk algoritma
rencana terapi (Morgan, 2006).

Intubasi Nasotrakeal
Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa TT
masuk lewat hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum
dilakukan laringoskopi. Lubang hidung yang dipilih dan digunakan
14

adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih gampang. Tetes


hidung phenylephrine (0,5 – 0,25%) menyebabkan pembuluh
vasokonstriksi dan menyusutkan membran mukosa. Akan tetapi,
pemberian tetes hidung phenyleprine yang berlebihan dapat
menimbulkan hipertensi, takikardi dan lain lain. Jika pasien sadar,
lokal anestesi secara tetes dan blok saraf dapat digunakan.
TT yang telah dilubrikasi dengan jeli yang larut dalam air,
dimasukkan dipergunakan didasar hidung, dibawah turbin inferior.
Bevel TT disisi lateral jauh dari turbin. Untuk memastikan pipa
lewat di dasar rongga hidung, ujung proksimal dari TT harus
ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur dimasukan
hingga ujungnya terlihat di orofaring, dengan laringoskop,
digunakan untuk adduksi pita suara. Seringnya ujung distal dari TT
dapat dimasukan pada trachea tanpa kesulitan. Jika ditemukan
kesulitan memasukkan ujung pipa menuju pita suara mungkin
difasilitasi dengan forcep Magil, yang dilakukan dengan hati-hati
agar tidak merusakkan balon (Morgan, 2006).
Komplikasi Intubasi
1. Selama intubasi:
1. Trauma gigi-geligi
2. Laserasi bibir, gusi, laring
3. Merangsang saraf simpatis (hipersekresi dan takikardia)
4. Intubasi bronkus
5. Intubasi esofagus
6. Aspirasi
7. Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
1. Spasme laring
2. Aspirasi
3. Gangguan fonasi
4. Edema glotis-subglotis
15

5. Infeksi laring, faring trakea (Latief,2009).

2.5.6 Penghisapan Benda Cair (Suctioning)


Bila terdapat sumbatan jalan napas karena benda cair maka
dilakukan penghisapan (suctioning). Penghisapan dilakukan dengan
menggunakan alat bantu pengisap (penghisap manual portabel, pengisap
dengan sumber listrik).

Gambar 9. Teknik Suction


Membersihkan benda asing padat dalam jalan napas: Bila pasien
tidak sadar dan terdapat sumbatan benda padat di daerah hipofaring yang
tidak mungkin diambil dengan sapuan jari, maka digunakan alat bantuan
berupa laringoskop, alat penghisap (suction) dan alat penjepit (forceps)
(Morgan, 2006).
1. Trakeostomi
Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan
atay anterior trakea untuk bernapas. Menurut letak stoma, traleostomi
dibedakan letak yang tinggi dan letak yang rendah dan batas letak ini
ada;;ah cincin trakea ketiga. Sedangkan menurut waktu dilakukan tindakan
maka trakeostomi dibagi dalam 1) trakeostomi darurat, 2) trakeostomi
berencana. Syatan kulit trakeostomi dapat vertikal di garis tengah leher
mulai di bawah krikoid sampai fosa suprasternal ata jika membuat sayatan
horizontal dilakuakn pada pertengahan jarak antara kartilago krikoid
dengan fosa suprasternal atau kira-kira 2 jari dibawah krikoid orang
dewasa (Soepardi, 2012).
16

2. Krikotirotomi

Merupakan tindakan penyayatan pada pasien dalam keadaan gawat


napas. Dengan cara membelah membran krikotiroid, diantara tulang rawan
tiroid dan kartilago krikoid (Soepardi, 2012).

2.6 Difficult Airway

2.6.1 Definisi
Difficult airway (Kesulitan Jalan Napas), menurut The American
Society of Anesthesiology (ASA)2003 adalah adanya situasi klinis yang
menyulitkan baik ventilasi dengan masker atau intubasi yang dilakukan
oleh dokter anestesi yang berpengalaman dan terampil.
2.6.2 Jenis Kesulitan Jalan Napas
Menurut ASA jenis kesulitan jalan napas dibagi menjadi 4 :
1. Kesulitan ventilasi dengan sungkup atau supraglottic airway (SGA)
Ketidakmampuan dari ahli anestesi yang berpengalaman untuk menjaga
SO2 > 90 % saat ventilasi dengan menggunakan masker wajah dan O2
inspirasi 100%, dengan ketentuan bahwa tingkat saturasi oksigen pra
ventilasi masih dalam batas normal.
2. Kesulitan dilakukan laringoskopi
Kesulitan untuk melihat bagianpita suara, setelah dicoba beberapa kali
dengan laringoskop sederhana.
3. Kesulitan intubasi trakea
17

Dibutuhkannya lebih dari 3 kali usaha intubasi atau usaha intubasi yang
terakhir lebih dari 10 menit
4. Kegagalan intubasi

Penempatan ETT gagal setelah beberapa kali percobaan intubasi (ASA,


2013).
2.6.3 Etiologi & Faktor Resiko
Tabel 1. Sindrom yang berperan sebagai penyulit dalam tatalaksana jalan napas.
Keadaan Patologis Keadaan Klinis yang Mempengaruhi Jalan Napas
Kongenital
Sindroma Pierre Robin Micrognasia, makroglossia, glossoptosis, cleft soft palate
Sindroma Treacher Collins Defek telinga dan mata, hipoplasi malar dan mandibula,
(dysostosis mandibulofacial) mikrostomia, atresia choane
Sindroma Goldenhar’s (okulo- Defek telinga dan matal; hipoplasia malar dan mandibula;
aurikula-vertebral) oksipitalisasi tulang atlas
Sindroma Down Jembatan hidung tidak terbentuk dengan baik;
makroglosia;mikrosefalus;kelainan tulang servikal
Sindrom Klippel-Feil Penyatuan tulang servikal, terbatasnya gerakan leher

Sindrom Alpert Hipoplasia maksila; cleft soft palate; kelainan tulang rawan
Sindrom Beckwith (infantile di tracheobronchial
gigantisme) Makroglossia
Cherubism Lesi menyerupi tumor di mandibula dan maksila di rongga
Cretinismus mulut
Hilangnya jaringan thiroid; makroglossia; goiter; penekanan
Sindrom Cri du Chat pada trakhea, deviasi laryng atau trakhea
Abnormalitas kromosom 5P; mikrosepal; mikrognathia;
Sindrom Meckel laryngomalacia, stridor

Von Recklinghausen disease Mikorsepalus, mikrognasia, celah pada epiglotis

Sindrom Hurler Meningkatnya kejadian pheochromocytoma; tumor dapat


18

muncul di laryng dan


Sindrom Hunter Kaku sendi, obstruksi saluran napas atas akibat infiltrasi
jaringan limfoid; abnormalitas kartilago trakeobronkial;
Sindrom Pompe ISPA berulang
DIDAPAT Sama dengan sindrom Hurler, tetapi lebih berat; pneumonia
Infeksi Deposit otot, makroglossia
Supraglotis
Croup
Abses (intraoral, retrofaringeal) Edema laryng
Edema laryng
Papilomatosis Distorsi dan stenosis jalan napas dan trismus
Ludwig’s Angina Infeksi virus kronis yang membentuk papiloma yang
Arthritis obstruktif, terutam di suprlagotis. Perlu pembedahan.
Rheumatoid arthritis Dapat berpindah ke subglotis setelah trakeostomi.
Spondilitis ankilosis Distorsi dan stenosis jalan napas dan trismus

Tumor Jinak Ankilosis sendi temporomandibula, artritis krikoarytenoid,


Kistik higroma,lipoma, deviasi laryng, terbatasnya gerakan leher
adenoma, goiter Ankilosis tulang servikal, jarang terjadi di daerah
Tumor Ganas temporomandibula, terbatasnya gerakan leher.
Karsinoma lidah, laryng, Stenosis atau distorsi jalan napas
thiroid
Trauma Stenosis atau distorsi jalan napas; laryng terfiksasi oleh
Trauma kepala, wajah, tulang jaringan fibrosis akibat radias
servikal
Lain-lain
Obesitas Rhinorrhea, edema saluran napas, perdarahan, fraktur
Akromegali maksila dan mandibula, kerusakan laryng, dislokasi vertebra
Combustio servikal
Leher pendek dan tebal, lidah yang besar
Makroglossia, prognatismus
19

Edema saluran napas (Morgan, 2006).

2.6.4 Diagnosis
1. Anamnesis

Evaluasi preoperatif harus mencakup anamnesa atau riwayat


terutama yang berhubungan dengan jalan napas atau gejala-gejala yang
berhubungan dengan saluran pernapasan atas. Bila mungkin, perlu
dilakukan dokumentasi terhadap masalah-masalah yang berhubungan
dengan saluran pernapasan atas. Tanda dan gejala yang berhubungan
dengan jalan napas harus dijelaskan misalnya snoring atau mengorok
(misalnya pada sleep apnea yang obstruktif), karies gigi, perubahan suara,
disfagi, stridor, nyeri servikal atau pergerakan leher yang terbatas,
neuropathi ekstremitas atas, nyeri atau disfungsi sendi temporo-
mandibular dan nyeri tenggorokan atau rahang yang berlangsung lama
setelah pembiusan. Banyak kelainan kongenital dan gejala yang didapat ,
berhubungan dengan penyulit tatalaksana jalan napas.
2. Pemeriksaan Fisik
Penilaian Kesulitan Ventilasi: (OBESE)  
1. Over weight (body mass index > 26 kg/m2)
2. Beard
3. Elderly (> 55 tahun)
4. Snoring
5. Edentulous (Mangku, 2009).
20

Tanda kegagalan ventilasi:


-Tidak adekuat atau tidak adanya gerakan dinding dada
-Berkurangny atau tidak adanya suara napas
-Pada auskultasi ditemukan tanda obstruksi
-Sianosis
-Dilatasi lambung atau meningkatnya udara lambung
-Berkurangnya atau tidak adanya saturasi oksigen
-Berkrangnya atau tidak adanya pengeluaran karbondioksida 
-Berkurangnya atau tidak adanya hembusan udara pada spirometri
-Perubahan hemodinamik, hipoksia atau hiperkarbia (ASA, 2013).

Penilaian Kesulitan Intubasi


1. Mallampati

Klasifikasi Mallampati/Samsoon-Young berdasarkan penampakan dari


orofaring(Morgan, 2006).
21
22

Klasifikasi Klinis
Kelas I Tampak uvula, pilar faring dan palatum
mole
Kelas II Pilar fausial dan palatum mole terlihat
Kelas III Palatum durum dan palatum mole masih
terlihat
Kelas IV Palatum durum sulit terlihat

M = Measurements 3-3-2-1 or 1-2-3-3 Fingers


3 - Fingers Mouth Opening 
3 - Fingers Hypomental Distance.
3 Fingers between the tip of the jaw and the beginning of the neck
(under the chin) 
2 - Fingers between the thyroid notch and the floor of the mandible
(top of the neck) 
1 - Finger Lower Jaw Anterior subluxation 2,3

1. Movement of the neck


Ektensi leher "normal" adalah 35° (The atlanto-oksipital/ A-O
joint). Keterbatasan ektensi sendi terdapat pada spondylosis,
rheumatoid arthritis, halo-jaket fiksasi, pasien dengan gejala yang
menunjukkan kompresi saraf dengan ekstensi servikal.2,3

2. Malformation of the Skull (S), Teeth (T), Obstruction (O),


Pathology (P)àSTOP 
S = Skull (Hydro and Mikrocephalus) 
T = Teeth (Buck, protruded, & gigi berlubang, makro dan mikro
mandibula) 
O = Obstruction (obesitas, leher pendek dan bengkak disekitar
kepala and leher) 
P =Pathologi (kraniofacial abnormal & Syndromes: Treacher
Collins, Goldenhar’s, Pierre Robin, Waardenburg syndromes) 
23

Jika score pasien 8 atau lebih, maka memungkinkan difficult airway

3. Pemeriksaan Penunjang
Radiografi , CT-scan , fluoroskopi dapat mengidentifikasi berbagai
keadaan yang didapat atau bawaan pada pasien dengan kesulitan jalan
napas.

2.7 Penanganan Difficult Airway


2.71 Evaluasi Jalan Napas
1. Memperoleh riwayat kesulitan jalan napas
13. Riwayat penyakit (kesulitan jalan napas) dapat membantu
dalam cara menghadapi kesulitan jalan nafas, riwayat
operasi atau riwayat anestesi, jika ada kemudian tanyakan
waktu pelaksanaan(ASA, 2013).
2. Pemeriksaan fisik
14. Ciri-ciri anatomi tertentu (ciri-ciri fisik dari kepala dan
leher) dan kemungkinan dari kesulitan jalan nafas (ASA,
2013). .
3. Evaluasi tambahan
15. Tes diagnostik tertentu (Radiografi , CT-scan , fluoroskopi )
dapat mengidentifikasi berbagai keadaan yang didapat atau
24

bawaan pada pasien dengan kesulitan jalan napas (ASA,


2013).

2.7.2 Persiapan Standar pada Managemen Kesulitan Jalan Napas


1. Tersedianya peralatan untuk pengelolaan kesulitan jalan napas
1. Laryngoscope dengan beberapa alternatif desain dan ukuran
yang sesuai
2. Endotrakea tube berbagai macam ukuran.
3. Pemandu endotrakeal tube. Contohnya stylets semirigid dengan
atau tanpa lubang tengah untuk jet ventilasi, senter panjang,
dan mangil tang dirancang khusus untuk dapat memanipulasi
bagian distal endotrakeal tube.
4. Peralatan Intubasi fiberoptik.
5. Peralatan Intubasi retrograd.
6. Perangkat ventilasi jalan nafas darurat nonsurgical. Contohnya
sebuah jet transtracheal ventilator, sebuah jet ventilasi dengan
stylet ventilasi, LMA, dan combitube.
7. Peralatan yang sesuai untuk akses pembedahan napas darurat
(misalnya, cricothyrotomy).
8. Sebuah detektor CO2 nafas (kapnograf).
2. Menginformasikan kepada pasien atau keluarga tentang
adanya atau dugaan kesulitan jalan nafas, prosedur yang
berkaitan dengan pengelolaan kesulitan jalan nafas, dan
risiko khusus yang kemungkinan dapat terjadi
3. Memastikan bahwa setidaknya ada satu orang tambahan
sebagai asisten dalam manajemen kesulitan jalan nafas,
4. Melakukan preoksigenasi dengan sungkup wajah sebelum
memulai manajemen kesulitan jalan nafas,
5. Secara aktif memberikan oksigen tambahan di seluruh
proses manajemen kesulitan jalan nafas. Dapat
menggunakan nasal cannule, facemask, LMA (ASA, 2013).
25

1. Strategi Intubasi pada Kesulitan Jalan Napas

1. Intubasi sadar.

Intubasi endotrakea dalam keadaanpasien sadar dengan anestesi


topikal, pilhan teknik untuk mencegah bahaya aspirasi pada kasus
trauma berat pada muka, leher, perdarahan, serta kesulitan jalan napas.
Intubasi sadar dilakukan dengan pertolongan obat penenang seperti
diazepam, fentanyl atau petidin untuk mempermudah kooperasi pasien
tanpa harus menghilangkan refleks jalan napas atas (yang harus
mencegah apirasi). Boleh spray lidokain 2% pada lidah dan farings,
tetapi jangan kena plika vocalis. Diazepam 0,1- 0,2 mg/kg iv dapat
diberikan untuk mengurangi stres penderita dan memudahkan intubasi.
Pada beberapa penelitian membuktikan bahwa intubasi sadar
pada pasien yang menderita kesulitan jalan napas memberikan hasil
yang memuaskan 88-100%.
2. Laringoskopi dengan bantuan video.
3. Intubasi stylets atau tube-changer.
4. SGA untuk ventilasi (LMA, laringeal tube)
Penggunaan LMA (laringeal mask airway) meningkat untuk
menggantikan pemakaian face mask dan TT selama pemberian
anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan pemasangan TT pada
pasien dengan jalan nafas yang sulit, dan untuk membantu ventilasi
selama bronchoscopy fiberoptic, juga pemasangan bronkhoskop.
LMA memiliki kelebihan istimewa dalam menentukan penanganan
kesulitan jalan nafas dibandingkan combitube. Ada 4 tipe LMA yang
biasa digunakan: LMA yang dapat dipakai ulang, LMA yang tidak
dapat dipakai ulang, ProSeal LMA yang memiliki lubang untuk
memasukkan pipa nasogastrik dan dapat digunakan ventilasi tekanan
26

positif, dan Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi intubasi bagi


pasien dengan jalan nafas yang sulit (Morgan, 2006).
LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir
bagian proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor
berukuran 15 mm, dan dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang
dapat dikembangkan lewat pipa. Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi
pelumas dan masukan secara membuta ke hipofaring, sekali telah
dikembangkan, balon dengan tekanan rendah ada di muara laring.
Pemasangannya memerlukan anestesi yang lebih dalam dibandingkan
untuk memasukan oral airway. Walaupun pemasangannya relatif mudah,
perhatian yang detil akan memperbaiki keberhasilan. Posisi ideal dari
balon adalah dasar lidah di bagian superior, sinus pyriforme dilateral, dan
spincter oesopagus bagian atas di inferior. Jika esophagus terletak di rim
balon, distensi lambung atau regurgitasi masih mungkin terjadi. Variasi
anatomi mencegah fungsi LMA yang adekuat pada beberapa pasien. Akan
tetapi, jika LMA tidak berfungsi semestinya dan setelah mencoba
memperbaiki masih tidak baik, kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA
lain yang ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Karena penutupan oleh
epiglotis atau ujung balon merupakan penyebab kegagalan terbanyak,
maka memasukkan LMA dengan penglihatan secara langsung dengan
laringoskop atau bronchoskop fiberoptik (FOB) menguntungkan pada
kasus yang sulit. Demikian juga, sebagian balon digembungkan sebelum
insersi dapat sangat membantu. Pipa di plester seperti halnya TT. LMA
melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak terhadap regurgitasi
lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada tempatnya sampai
reflek jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai dengan batuk
atau membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA yang dapat dipakai
lagi, dapat di autoklaf, dibuat dari karet silikon (bebas latek) dan tersedia
dalam berbagai ukuran (Morgan, 2006).
LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau
TT. Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring
27

(misalnya abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya


kehamilan, hernia hiatal), atau komplians paru rendah (misalnya penyakit
restriksi jalan nafas) yang memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih
besar dari 30 cm H2O. Secara tradisional, LMA dihindari pada pasien
dengan bronkhospasme aatau resistensi jalan nafas tinggi, akan tetapi,
bukti-bukti baru menunjukkan bahwa karena tidak ditempatkan dalam
trakea, penggunaan LMA dihubungkan dengan kejadian bronkospasme
lebih kurang dari pada dengan TT. Walaupun hal ini nyata tidak sebagai
penganti untuk trakeal intubasi, LMA membuktikan sangat membantu
terutama pada pasien dengan jalan nafas yang sulit (yang tidak dapat
diventilasi atau diintubasi) disebabkan mudah untuk memasangnya dan
angka keberhasilannya relatif besar (95-99%). LMA telah digunakan
sebagai pipa untuk jalur stylet ( gum elastik, bougie), ventilasi jet stylet,
fleksibel FOB, atau TT diameter kecil (6,0 mm) (Morgan, 2006).
5. SGA untuk intubasi (ILMA),

6. Laryngoscopic bilah rigid dari berbagai desain dan ukuran,

Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk


fasilitas intubasi trakea. Handle biasanya berisi baterai untuk cahaya bola
lampu pada ujung blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir
pada ujung blade. Cahaya dari bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak
tersebar.
28

Laringoskop dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok


digunakan diruang MRI. Blade Macintosh dan Miller ada yang
melengkung dan bentuk lurus. Pemilihan dari blade tergantung dari
kebiasaan seseorang dan anatomi pasien. Disebabkan karena tidak ada
blade yang cocok untuk semua situasi, klinisi harus familier dan ahli
dengan bentuk blade yang beragam.

7. Intubasi dengan bantuan fiberoptik

Dalam beberapa situasi, misalnya pasien dengan tulang servikal


yang tidak stabil, pergerakan yang terbatas pada temporo mandibular
joint, atau dengan kelainan kongenital atau kelainan didapat pada jalan
nafas atas- laringoskopi langsung dengan penggunakan rigid laringoskop
mungkin tidak dipertimbangkan atau tidak dimungkinkan. Suatu FOB
yang feksibel mungkin visualisasi tidak langsung dari laring dalam
beberapa kasus atau untuk beberapa situasi dimana direncanakan intubasi
sadar (awake intubation). FOB yang dibuat dari fiberglass ini mengalirkan
cahaya dan gambar oleh refleksi internal-contohnya sorotan cahaya akan
terjebak dalam fiber dan terlihat tidak berubah pada sisi yang berlawanan.
Pemasangan pipa berisi 2 bundel dari fiber, masing-masing berisi 10.000
– 15.000 fiber. Satu bundel menyalurkan cahaya dari sumber cahaya
( sumber cahaya bundel) yang terdapat diluar alat atau berada dalam
handle yang memberikan gambaran resolusi tinggi (Morgan, 2006).
29

Manipulasi langsung untuk memasangkan pipa dilakukan


dengan kawat yang kaku. Saluran aspirasi digunakan untuk suction dari
sekresi, insuflasi O2 atau penyemprotan anestesi lokal. Saluran aspirasi
sulit untuk dibersihkan, akan tetapi, sebagai sumber infeksi sehingga
memerlukan kehati-hatian pada pembersihan dan sterilisasi telah
digunakan (Morgan, 2006).
Cara intubasi Nasal Fiberoptik Fleksibel
Kedua lubang hidung dipersiapkan dengan pemberian tetes
vasokonstriktor. Identifikasi lubang hidung dimana pasien bernafas lebih
mudah. O2 dapat diinsuflasi melalui ujung suction dan saluran untuk
aspirasi dari FOB untuk memperbaiki oksigenasi dan membuang sekret
dari ujung tip (Morgan, 2006).
Pilihan lain, nasal airway ukuran besar (ukuran 36F) dapat dipasang
dalam lubang hidung kolateral. Breathing sirkuit dapat langsung
dihubungkan pada ujung dari nasal airway untuk memberikan O 2 100%
selama laringoskopi. Jika pasien tidak sadar dan tidak bernafas spontan,
mulut dapat diplester dan ventilasi dilakukan melalui nasal airway tunggal.
Bila teknik ini digunakan adekuat ventilasi dan oksigenasi harus di
konfirmasi dengan capnograph dan pulse oximetry. TT yang telah diberi
pelumas dan dimasukkan ke dalam lubang hidung lainnya sepanjang nasal
airway. Tangkai dari FOB yang telah diberi pelicin dimasukan ke dalam
lubang TT. Selama endoskopi, jangan dimajukan jika hanya dinding dari
30

TT atau membran mukosa yang terlihat. Ini juga penting untuk


mempertahankan tangkai bronkoskop relatif lurus, jadi jika kepala dari
bronkhoskop diputar secara langsung, ujung distal akan bergerak dengan
derajat yang sama. Ketika ujung dari FOB masuk ujung distal dari TT,
epiglotis dan glotis harus tampak. Ujung dari bronchoskop dimanipulasi
untuk melewati pita suara yang telah abduksi (Morgan, 2006).

Ini tidak perlu dilakukan dengan cepat karena pasien sadar dapat
bernafas adekuat dan pada pasien dianestesi, jika ventilasi dan oksigenasi
tidak adekuat, FOB ditarik danlakukan ventilasi dengan face mask. Minta
asisten untuk jaw thrust atau lakukan tekanan pada krikoid dapat
membantu penglihatan pada kasus sulit. Jika pasien bernafas spontan, tarik
lidah dengan klem dapat memfasilitasi intubasi Morgan, 2006).
Sekali dalam trakea, FOB didorong masuk ke dekat carina. Adanya
cincin trakhea dan carina adalah membuktikan posisi yang tepat. TT di
dorong dari FOB. Sudut sekitar cartilago arytenoid dan epiglotis dapat
31

mencegah mudahnya memasukan pipa. Penggunaan pipa yang berkawat


baja biasanya menurunkan masalah ini disebabkan lebih besarnya
fleksibilitas dan sudut pada bagian distal lebih tumpul. Posisi TT yang
tepat dikonfirmasi dengan melihat ujung dari pipa diatas karina sebelum
FOB ditarik (Morgan, 2006).
8. Stylets menyala atau Ligth Wand (ASA, 2013).

2.7.4Akibat dari kesulitan jalan napas


Akibat yang dapat terjadi dari kesulitan jalan napas, adalah:
1. kematian,
2. kerusakan otak,
3. cardiac arrest,
4. trauma jalan napas,
5. kerusakan gigi(ASA, 2013).

2.7.5 Algoritma Kesulitan Jalan Napas


1. Menilai kemungkinan dan dampak klinis dari
masalah pada penanganan dasar:
•Kesulitan dengan kerjasama atau persetujuan pasien
•Kesulitan ventilasi sungkup
•Kesulitan penempatan Supraglottic Airway
•Kesulitan laringoskopi
•Kesulitan intubasi
• Kesulitan akses bedah jalan napas (ASA, 2013).

2. Aktif memberikan oksigen tambahan selama proses


manajemen kesulitan jalan napas
3. Mempertimbangkan manfaat relatif dan kelayakan dari
penanganan dasar :
• Awake intubation vs intubasi setelah induksi anestesi umum
• Teknik non-invasif vs teknik invasif untuk pendekatan awal
untuk intubasi
32

• Video laringoskopi sebagai pendekatan awal untuk intubasi


• Menjaga Ventilasi spontan vs ablasi ventilasi spontan
(ASA,2013).
4. Mengembangkan strategi primer dan strategi alternative

Kotak A dipilih bila kesulitan jalan nafas diantisipasi, sedangkan


kotak B untuk situasi dimana kesulitan jalan nafas tidak diantisipasi. AAA
tidak pada retardasi mental, intoksikasi, kecemasan, penurunan derajat
kesadaran, atau usia. Pasien ini mungkin masih memasuki kotak A, tetapi
intubasi “awake” mungkin membutuhkan modifikasi teknik yang
mempertahankan ventilasi spontan contoh nya induksi inhalasi (ASA,
2013).
Pemasangan face mask, jika “facemask” adekuat, masuk jalur
nonemergensi ASA-DAA. Jika face mask gagal, lanjutkan dengan
ventilasi supraglotis dengan LMA. Jika berhasil, dilanjutkan jalur
nonemergensi ASA-DAA dan dilakukan intubasi trakea.
Bila ventilasi LMA gagal, dilanjutkan dengan jalur emergency. ASA-DAA
menyarankan penggunaan Esophageal-Tracheal Combitube, rigid
bronkoskopi, oksigenasi transtrakeal, atau jalan nafas bedah. Kegagalan
penggunaan LMA, karena; sudut oral-faring sempit, sumbatan pada level
hipofaring, sumbatan di bawah liptan fokal (ASA, 2013).

2.8 Ekstubasi
Ekstubasi terbaik dilakukan ketika pasien sedang teranestesi dalam
atau bangun. Pasien juga harus pulih sepenuhnya dari pengaruh obat pelemas
otot pada saat sebelum ekstubasi. Jika pelemas otot digunakan, pernapasan
pasien akan menggunakan ventilasi mekanik terkontrol, maka dari itu pasien
harus dilepaskan dari ventilator sebelumekstubasi (Morgan, 2006).
Ekstubasi selama anestesi ringan (masa antara anestesi dalam dan
bangun) harus dihindari karena meningkatnya risiko laringospasme.
Perbedaan antara anestesi dalam dan ringan biasanya terlihat saat suction/
penyedotan sekret faring : adanya reaksi pada penyedotan (tahan napas,
33

batuk) menandakan anestesia ringan, dimana jika tidak ada reaksi


menandakan anestesia dalam. Pasien membuka mata atau bergerak yang
bertujuan menandakan pasien sudah bangun (Morgan, 2006).
Mengekstubasi pasien yang sudah bangun biasanya berhubungan
dengan batuk pada TT. Reaksi ini meningkatkan denyut nadi, tekanan vena
sentral, tekanan darah arteri, tekanan intrakranial, dan tekanan intraokular.
Hal ini juga dapat menyebabkan dehisensi luka dan perdarahan. Adanya TT
pada pasien asma yang sudah sadar dapat memicu bronkospasme. Meskipun
konsekuensi ini dapat diturunkan dengan premedikasi 1,5 mg/kg lidokain
intravena 1-2 menit sebelum suction dan ekstubasi, ekstubasi saat anestesia
dalam lebih dianjurkan pada pasien yang tidak dapat mentolerir hal ini.
Ekstubasi menjadi kontraindikasi pada pasien yang memiliki risiko aspirasi
atau yang jalan napasnya sulit untuk dikontrol setelah pencabutan TT
(Morgan, 2006).
Pasien teranestesi dalam atau sudah sadar, faring pasien juga
sebaiknya disuction terlebih dahulu sebelum ekstubasi untuk mengurangi
risiko aspirasi atau laringospasme. Pasien juga harus diventilasi dengan 100%
oksigen sebagai cadangan apabila sewaktu-waktu terjadi kesulitan untuk
mengontrol jalan napas setelah TT dicabut. Sesaat sebelum ekstubasi, TT
dilepas dari plester dan balon dikempiskan. Pemberian sedikit tekanan positif
pada jalan napas pada kantong anestesia yang dihubungkan dengan TT dapat
membantu meniup sekret yang terkumpul pada ujung balon supaya ke luar ke
arah atas, menuju faring, yang kemudian dapat disuction. Pencabutan TT
pada saat akhir ekspirasi atau akhir inspirasi mungkin tidak terlalu penting.
TT dicabut dengan satu gerakan yang halus, dan sungkup wajah biasanya
digunakan untuk menghantarkan oksigen 100% sampai pasien menjadi cukup
stabil untuk diantar ke ruang pemulihan. Pada beberapa institusi, oksigen
dengan sungkup wajah dipertahankan selama pengantaran pasien (Morgan,
2006).
34

5.7 Perawatan Lanjut


1. Mendokumentasikan adanya dan sifat dari kesulitan jalan napas dalam
rekam medis,

2. Menginformasikan pasien atau orang yang bertanggung jawab dari


kesulitan jalan napas yang dihadapi,

3. Mengevaluasi dan mengawasi pasien tentang kemungkinan komplikasi


yang terjadi pada manajemen kesulitan jalan nafas (ASA, 2013 ).
35

BAB III

KESIMPULAN

Airway Management ialah memastikan jalan napas tetap terbuka.


Tindakan paling penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera
melapangkan saluran pernapasan.
Indikasi Bantuan Jalan Napas :
1. Obstruksi jalan napas

2. Henti nafas : depresi pusat nafas, kelumpuhan otot pernafasan


3. Pembedahan: durasi lama, posisi khusus
4. Pencegahan terhadap regurgitasi aspirasi dan regurgitasi
5. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi: saat resusitasi
6. Tak terasa ada udara ekspirasi (latief, 2009).
Pengelolaan jalan nafas ( airway management ) terdiri atas :
1. Airway management tanpa alat
2. Airway management dengan memakai alat

Difficult airway (Kesulitan Jalan Napas), menurut The American


Society of Anesthesiology (ASA)2003 adalah adanya situasi klinis yang
menyulitkan baik ventilasi dengan masker atau intubasi yang dilakukan
oleh dokter anestesi yang berpengalaman dan terampil.
Penilaian difficult airway yaitu dengan menilai : anamnesis,
pemeriksaan fisik :menilai kesulitan ventilasi dan menilai kesulitan
intubasi.Penanganan Difficult Airway dapat menggunakan algoritma
penanganan difficult airway menurut ASA.
Dampak dari kegagalan jalan nafas dapat menyebabkan kerusakan
otak bahkan mencapai kematian, karena itu penilaian secara dini terhadap
adanya obstruksi jalan nafas dengan penilaian keadaan pasien secara baik.
36

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton. Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta, 2007.


2. Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange
Medical Book. 2006
3. Latief S, Suryadi K, Dachlan M. Petunjuk Praktis Anestesologi. FKUI,
Jakarta, 2009.
4. Soepardi E, Iskandar M, Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. FK UI, Jakarta,
2012.
5. Mangku G, Senapathi T. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Indeks, Jakarta,
2009.
6. ASA. 2013. Practice Guidelines for Management of the Difficult Airway.
The American Society of Anesthesiology. V 118. No. 2. P. 1-20

Anda mungkin juga menyukai