Anda di halaman 1dari 17

DISKUSI PEMBELAJARAN DARING

LAPORAN KASUS BIDANG ILMU KONSERVASI GIGI

REQUIREMENT PERAWATAN PULP CAPPING

Dosen Pembimbing:
drg. Pratiwi Nur Widyaningsih., M. Biome d

Nama Mahasiswa : Ni Made Zatphika Jagathita, S.KG


NIM : G4B019032

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO
2021
LEMBAR PENILAIAN DISKUSI DARING
BIDANG ILMU KONSERVASI GIGI
PERAWATAN PULP CAPPING

Komponen Nilai Resume Diskusi

Nilai

Tanda Tangan
DPJP
drg. Pratiwi Nur Widyaningsih., drg. Pratiwi Nur Widyaningsih.,
M. Biomed M. Biomed
BAB I

PENDAHULUAN

A. Definisi

Pulp capping didefinisikan sebagai perawatan enutupan pada pulpa yang vital yang

nantinya akan terpapar dengan bahan bioaktif utuk menjaga kesehatan pulpa gigi dan

memfasilitasi pembentukan dentin reparatif. Hal ini dapat menjadi alternative pertama untuk

terapi saluran akar yang telah terpapar pada bagian ruang pulpa karena cidera yang dapat

disembuhkan serta tanpa tanda-tanda peradangan. Secara umum tujuan dari pulp capping

adalah memelihara kesehatan pulpa dan perawatan pulpa krisis dengan menggunakan bahan

capping untuk kemudahan pembentukan dentin reparatif. Selain itu, tujuan pulp capping juga

dapat mengendalikan bakteri, menghentikan perkembangan karies, merangsang sel-sel pulpa

untuk membentuk dentin baru dan menghasilkan penutupan yang tahan lama untuk

melindungi pulpa.

B. Jenis Pulp Capping

1. Indirect pulp capping

Indirect pulp capping dilakukan pada gigi dengan lesi karies yang telah mendekati ruang

pulpa namun tanpa gejala degenerasi pulpa. Restorasi indirect pulp capping adalah

menghilangkan karies yang telah dekat dengan ruang pulpa untuk menghindari terbukanya

ruang pulpa dan melindungi pulpa dari bahan restorasi yang dapat mengiritasi pulpa. Bahan

utama yang sering digunakan untuk pulp capping indirect adalah kalsium hidroksida karena

bahan tersebut memiliki sifat biologis dan mempunyai sifat anti mikroba dan bahan ini
merupakan bahan pilihan utama yang telah digunakan di kedokteran gigi. Pada perawatan

pulp capping diwajibkan menggunakan rubber dam sebelum proses perawatan untuk

menghindari kontaminasi silang serta pengaplikasian NaOCl atau Chlorhexidine gluconat

(CHX 2%) sebagai larutan desinfeksi. Mikroorganise yang ada dalam karies dapat

menimbulkan masalah pada pulpa, sehingga pada perawatan pulp capping harus dapat

meminimalisir jumlah mikroorganisme di sekitar kavitas yang mendekati ruang pulpa.

Prosedur pada perawatan indirect pulp capping dilakukan diawali pemasangan rubber dam

atau cotton roll sebagai isolasi namun dianjurkan menggunakan rubber dam untuk

menghindari kontaminasi dan memudahkan kinerja oprator dan dilanjutkan dengan

pembersihan karies dengan bur diamond, anestesi lokal dapat dipertimbangkan kegunaannya

pada kasus dengan pasien yang sensitif. Karies di bersihkan secara total pada dinding kavitas

dan bagian dentino enamel junction dengan menggunakan bur tungsten carbid bulat dengan

kecepatan rendah, lalu keringkan bagian kavitas dengan cotton pellet. Aplikasikan calcium

hydroxide, lalu aplikasikan base dengan menggunakan Zinc Oxyde Eugenol (ZOE) yang

diletakkan di dasar kavitas kemudian dilapisi semen fosfat. Gigi dilakukan restorasi dengan

bahan restorasi sementara. Pasien diinstruksikan kontrol 1 hingga 2 minggu untuk melakukan

pemeriksaan klinis yang meliputi pemeriksaan palpasi, perkusi dan mobilitas serta melihat

apakah adanya fistula atau edema yang muncul pada jaringan sekitar gigi, tes vitalitas

dilakukan dengan tes termal jika pada pemeriksaan vitalitas baik maka akan dilakukan

pergantian restorasi permanen dengan melepas restorasi sementara menggunakan bur hingga

bagian kavitas gigi bersih dan kering sebelum pengaplikasian bahan permanen.
Gambar : Indirect Pulp Capping

Indirect pulp capping di indikasikan untuk gigi permanen dengan beberapa kondisi, antara

lain:

a. Gigi memiliki lesi karies dalam yang kemungkinan terjadi akibat ekskavasi yang

terlalu dalam

b. Tidak ada riwayat tanda dan gejala dari perawatan gigi sebelumnya

c. Radiografi pra perawatan tidak terdapat lesi periradikuler

Indirect pulp capping tidak dapat dilakukan pada beberapa kondisi pasien. Berikut

kontraindikasi indirect pulp capping, antara lain:

a. Pasien mengeluhkan sakit spontan

b. Terdapat pembengkakan/ fistula

c. Terdapat gigi goyang patologis

d. Resorpsi akar eksternal/ internal

e. Terdapat kelainan periapeks

f. Perkusi positif (+)


2. Direct Pulp Capping

Direct pulp capping merupakan salah satu perawatan pulpa yang terpapar yang dapat

disebebkan oleh karies atau trauma gigi sehingga terbentuk kerusakan enamel yang

mendekati ruang pulpa. Indikasi perawatan direct pulp capping adalah pulpitis reversibel.

Perawatan ini dilakukan untuk menggantikan perawatan saluran akar yang terjadi pada gigi

dengan kondisi akar gigi belum terbentuk secara sempurna atau untuk sebagai perawatan

yang dapat menunda perawatan saluran akar pada kondisi tersebut. Bahan yang sering

digunakan pada direct pulp capping adalah kalsiun silikat (CSM). Mineral trioxside agregat

(MTA) merupakan jenis kalsium silikat yang pertama yang dipasarkan. MTA memiliki

keberhasilan yang lebih tinggi dan menghasilkan peradangan pulpa yang lebih ringan di

bandingkan dengan kalsium hidroksida dan beberapa penelitian meneliti MTA dapat

menghasilkan jembatan dentin keras yang lebih. Prosedur direct pulp capping diawali dengan

pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang radiografi gigi diisolasi dengan

menggunakan rubber dam dan dilakukan desinfeksi pada bagian mahkota klinis untuk

meminimalisir kontak mikroorganisme. Jaringan nekrosis karies dibersihkan dan dihilangkan

dengan menggunakan diamond bur, larutan natrium hipoklorit di gunakan untuk mengirigasi

kavitas yang telah terbentuk setelah pembuangan karies. Aplikasi bahan pulp capping

dilakukan melapisi kavitas pada bagian perbatasan ruang pulpa yang terbuka dengan

menyisakan ruang untuk bahan restorasi. Bahan restorasi diaplikasikan pada bagian atas

lapisan pulp capping dan pasien diinstruksikan agar kontrol 1 minggu kemudian untuk

memeriksa kondisi gigi. pemeriksaan dilakukan secara rutin untuk melihat perkembangan

perbaikan pada gigi dengan hasil pulp capping.


Gambar : Direct Pulp Capping

Berikut indikasi kasus yang dapat dilakukan direct pulp capping:

a. Gigi vital yang mendapatkan paparan mekanis sampai ke pulpa

b. Terdapat perdarahan pada daerah yang terkena paparan

c. Bahan material langsung diletakan pada pulpa yang terbuka

d. Pulpa terbuka karena faktor mekanis dan dalam keadaan steril

e. Isolasi adekuat pada restorasi koronal

f. Pasien telah menyetujui seluruh perawatan endodontic dari awal hingga akhir (Garg,

dkk., 2015)

Direct pulp capping tidak dapat dilakukan pada beberapa kondisi pasien. Berikut

kontraindikasi direct pulp capping, antara lain:

a. Terdapat peradangan pulpa

b. Pulpa terbuka pada orang tua karena abrasi, erosi, atau karies

c. Biasanya terdapat pada anak-anak yang menderita penyakit hemofili

d. Pulpa terbuka lebar (Garg, dkk., 2015).

Perawatan direct pulp capping dikatakan berhasil apabila terdapat beberapa kondisi

seperti usia pasien, berdasarkan vaskularisasi pulpa, pasien usia muda memiliki potensi
keberhasilan lebih tinggi dibandingkan dengan pasien dengan usia dewasa. Tipe kerusakan

kavitas: kerusakan kavitas gigi yang disebabkan oleh faktor mekanis memiliki prognosis lebih

baik dibandingkan dengan kerusakan kavitas yang disebabkan oleh karies. Hal ini di

pengaruhi oleh inflamasi pulpa dan efek toksin bakteri pada pulpa yang lebih sedikit. Ukuran

kerusakan kavitas: pada kerusakan kavitas yang besar, sulit mengontrol perdarahan. Pada

kerusakan kavitas yang kecil, mudah mengatur perdarahan dan aplikasi bahan lebih mudah

sehingga potensi kesuksesan perawatan tinggi. Riwayat nyeri: apabila nyeri tidak terjadi

setelah kunjungan 1, maka perawatan dikatakan berhasil (Garg dkk., 2015).

C. Bahan Pulp Capping

Bahan yang digunakan untuk pulp capping antara lain:

1) ZnOE

Kegunaan ZnOE yaitu mengurangi rasa sakit, melindungi pulpa dan bakterisidal dalam

jaringan karies. ZnOE cement memiliki beberapa sifat, antara lain:

a. Mudah digunakan dan memiliki pH 7

b. Tampak radiopak pada pemeriksaan radiografi

c. Mengurangi rasa sakit

d. Bersifat bakteriostatik dan bakterisid

e. Dapat digunakan sebagai basis pada restorasi logam sehingga melindungi pulpa dari

suhu panas. Disisi lain ZnOE cement dapat mengiritasi pulpa karena mengandung

arsen 0,0005% sehingga tidak digunakan pada kondisi pulpa yang terbuka (McCabe,

dkk., 2008)

2) MTA (Mineral Trioxide Agregate)


3) Resin modified calcium silicate

4) Varnish Kavitas

Varnish kavitas digunakan hanya untuk amalgam konvensional. Varnish kavitas

merupakan penyekat dan pengisi celah antara amalgam dengan gigi mencegah penetrasi

produk korosi amalgam ke dalam dentin (Soeprapto, 2017).

5) Ca(OH)2

Calcium Hydroxide terdiri dari 2 pasta yaitu base (salisilat) dan katalis (Ca(OH) 2). Kedua

pasta tersebut memiliki setting time 2,5-5,5 menit apabila dicampur. Berikut beberapa sifat

Ca(OH)2 antara lain mudah larut dalam cairan mulut, saat berkontak dengan pus/ cairan

Ca(OH)2 akan berubah menjadi Ca2+ dan OH-, memiliki pH 12 karena terdapat OH - , Tidak

digunakan sebagai liner/ basis (pulp capping) karena bersifat toksik yang dapat

menyebabkan nekross koagulasi pulpa dan dapat teresorpsi sehingga penutupan marginal

buruk dan retensi tumpatan rendah (Sooeprapto, 2017), sifat basa kuat tersebut

mempengaruhi beberapa hal, sebagai berikut.

a. Denaturasi protein pada membran sel bakteri sehingga lisis atau bersifat bakterisidal

b. Bakteri tidak dapat hidup pada suasana pH tinggi atau bersifat bakteriostatik

c. Merangsang odontoblast membentuk dentin reparatif sehingga dentinal bridge dapat

terbentuk yang tampak pada radiograf setelah 6 minggu

d. Apabila berkontak dengan pulpa yang masih steril akan menyebabkan nekrosis

koagulasi superfisial sehingga mengiritasi pulpa vital di bawahnya sehingga

menimbulkan reaksi/ respon odontoblast di bawahnya membentuk dentin tubuler

e. Menetralisir asam dan merangsang terjadinya remineralisasi

6) GIC Konvensional
Berikut merupakan sifat GIC konvensional yang digunakan untuk perawatan pulp capping.

a. Menggunakan GIC tipe III

b. Aplikasi GIC harus tipis ± 0,5 mm karena memiliki sifat fisik rendah

c. Terdapat ikatan mikromekanis dengan resin komposit yang merupakan hasil etsa

pada liner GIC

d. Tidak bisa langsung diberikan tumpatan permanen karena settingnya butuh waktu

(Soeprapto, 2017).

7) RM-GIC

RM-GIC dapat ditambahkan HEMA pada liquidnya sehingga dapat dijadikan sebagai

fotoinisiator, setting RM-GIC didapatkan dari sebagian dengan photochemical

polymerisation ketika disinar dan sebagian lagi dengan reaksi asam basa. Apabila

dibandingkan dengan GIC tipe III, RM-GIC mengalami reaksi asam basa lebih lama

Berikatan secara kimia apabila tumpatan permanennya menggunakan resin komposit RM-

GIC dapat setting sempurna tanpa perlu disinar sehingga dapat langsung di tumpat permanen

(Soeprapto, 2017).

8) MTA (Mineral Trioxide Aggregate)

MTA merupakan bahan pulp capping yang terdiri dari beberapa komposisi yakni

tricalcium silicate, dicalcium silicate, tricalcium aluminate, tetracalcium aluminoferrite,

calcium sulfate, dan bismuth oxide. Kondisi pH awal ketika powder dan liquid MTA di

campur ialah 10,2 naik menjadi 12,5 setelah 3 jam. Gel akan setting sekitar 3 jam, dan akan

butuh air sehingga harus dalam keadaan lembab. Jika kering akan tampak berpasir. MTA

memiliki beberapa sifat, antara lain.


a. Memiliki efek antibakteri karena setelah setting kondisi pH 12,5

b. Tidak mudah larut

c. Kapasitas sealing yang baik

d. Membentuk dentinal bridge lebih cepat dari Ca(OH) 2 yang akan terbentuk setelah 1

minggu

e. Biokompatibel, karena beberapa hal seperti sitotoksik rendah, apabila berkonta k

langsung dengan jaringan lunak menginduksi regenerasi jaringan sehingga tidak

menimbulkan inflamasi. Merangsang aktivasi sementoblas, osteoblast, fibroblast

sehingga akan menghasilkan regenerasi sementum, tulang, dan ligament periodontal.

MTA dapat digunakan untuk beberapa indikasi, antara lain pulp capping (direct dan

indirect), perforasi endodontic, pulpotomi, apeksifikasi, fraktur akar (Soeprapto, 2017).

9) RM- Calcium Silicate

RM-calcium silicate memiliki beberapa sifat, antara lain harus di inisiasi dengan cahaya

(light-cured), digunakan untuk direct dan indirect pulp capping, digunakan sebagai bahan

proteksi di bawah bahan basis (McCabe, dkk., 2008).


BAB II

LAPORAN KASUS

A. Kasus

Seorang anak perempuan berusia 11 tahun datang ke RSGM Prof. Soedomo bersama

ibunya, hasil ananesis menunjukan :

a. CC : anak mengeluhkan gigi depan atas kiri patah setelah terjatuh dari sepeda 2 hari

yang lalu.

b. PI : gigi tidak terasa sakit dan tidak mengalami pembengkakan, gigi tersebut terasa

ngilu apabila terkena makanan dan minuman yang dingin dan pasien merasa malu serta

ingin menambalkan giginya agar telihat seperti semula.

c. PMH : tidak tercantum pada jurnal.

d. PDH : tidak tercantum pada jurnal.

e. SH : tidak tercantum pada jurnal.

f. FH : tidak tercantum pada jurnal.

Pemeriksaan ekstra oral : tidak terdapat kelainan Pemeriksaan intra oral : gigi 21

mengalami fraktur pada bagian insisal hingga proksimal. Pemeriksaan Vitalitas dengan

menggunakan CE (+), Palpasi (-), Perkusi (-), Sondasi (-), Mobilitas (-). Pemeriksaan

penunjang radiografi pada gigi 21 memperlihatkan adanya fraktur pada sepertiga mahkota

dan meluas hingga ke interdental pada sebelah nesial, fraktur belum mencapai pulpa. Tidak

terlihat adanya fraktur akar dan tidak tampak area radiolusen pada region periapikal.

Diagnosis pada kasus adalah fraktur Ellis kelas II pada gigi 21 dengan rencana perawatan :

restorasi komposit one visit.


B. Pembahasan Kasus

Fraktur merupakan kerusakan atau pecahnya suatu bagian baik tulang maupun gigi

yang disebabkan oleh terputusnya jaringan keras yang pada umumnya disebabkan oleh

trauma. Fraktur pada gigi umumnya ditandai dengan adanya rasa nyeri yang terdapat pada

gigi yang retak. Penegakkan diagnosis fraktur gigi dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan

fisik serta pemeriksaan penunjang seperti radiografi. Setelah diagnosis fraktur gigi

ditegakkan masa jenis fraktur yang terjadi harus diklasifikasi untuk membantu menentuka n

rencana perawatan pada pasien (Lubisich, 2011). Terdapat beberapa klasifikasi untuk fraktur

gigi antara lain :

Klasifikasi Ellis fraktur di bagi menjadi :

1. Kelas I : fraktur melibatkan mahkota dan mengenai enamel. Pada kelas ini tidak terasa

nyeri maupun adanya diskolorasi pada gigi.

2. Kelas II : fraktur melibatkan enamel dan dentin. Kondisi ini menyebabkan gigi terasa

nyeri dengan rangsangan baik termal maupun sentuhan secara umum biasanya gigi akan

terlihat adanya lapisan berwarna kuning dimana hal itu merupakan lapisan dentin yang

terihat.

3. Kelas III : fraktur melibatkan enamel, dentin dan pulpa. Umumnya terasa nyeri dan

terlihat adanya darah maupun bagian tengah gigi berwarna kemerahan.

4. Kelas IV : gigi menjadi non vital dengan atau tanpa hilangnya mahkota.

5. Kelas V : gigi lepas dari soket gigi (avulsi).

6. Kelas VI : fraktur akar dengan atau tanpa hilangnya mahkota.

7. Kelas VII : gigi bergeser dari soket tanpa adanya fraktur mahkota atau akar.
8. Kelas VIII : gigi terlihat retak atau hancur.

9. Kelas IX : fraktur pada gigi desidui.

Klasifikasi WHO pada pembagian kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa dapat di

bedakan menjadi,

1) Fraktur mahkota, suatu fraktur yang hanya mngenai enamel tanpa kehilangan struktur

gigi.

2) Fraktur enamel tidak kompleks yaitu fraktur yang hanya mengenai lapisan enamel saja.

3) Fraktur enamel-dentin, yaitu fraktur yang hanya mengenai enamel dan dentin tanpa

melibatkan pulpa.

4) Fraktur mahkota yang kompleks, yaitu frkatur yang mengenai enamel, dentin dan pulpa.

Klasifikasi fraktur menurut American association of endodontis (AAE) fraktur dapat

dibedakan menjadi fraktur craze line yaitu dimana fraktur melibatkan hanya bagian enamel

saja, fraktur cusp dimana fraktur mahkota melibatkan dentin dan berakhir pada bagian

servikal gigi, gigi retak / cracked tooth adanya keretakan gigi pada permukaan oklusal ke

arah apikal tanpa membagi gigi menjadi dua fragmen, split tooth dimana kondisi keretakan

pada gigi mulai dari batas marginal kea rah mesiodental yang membelah gigi menjadi dua

fragmen yang terpisah dan klasifikasi yang terakhir adalah fraktur akar atau root fracture

adalah kondisi fraktur yang terjadi pada akar gigi yang dimana dapat berupa fraktur komplit

maupun inkomplit (Cheng, 2015).

Pada kasus ini, seorang anak usia 11 tahun datang mengeluhkan gigi nya patah karena

terjatuh dari sepeda. Gigi yang paling sering terke na trauma adalah insisivus sentral rahang

atas, karena posisinya yang paling menonjol didalam rongga mulut, sehingga sering kali
mudah terkena benturan baik langsung maupun tidak. Faktor predisposisi terhadap trauma

gigi insisivus sentral antara lain karena susunan gigi anterior yang lebih protusif dan jarak

over jet yang besar. Posisi gigi 21 yang mengalami malposisi juga merupakan faktor yang

memudahkan gigi tersebut mengalami trauma.

Diagnosis banding pada kasus adalah sindrom gigi retak atau cracked tooth syndrome.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk menegakan diagnosis pada kasus adalah dengan

melakukan anamnesis untuk mencari tahu etiologi, mekanisme trauma, faktor resiko dan

riwayat perawatan gigi yang telah dilakukan oleh pasien. Pemeriksaan fisik juga dilakukan

seperti pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi, tes vitalitas gigi, dan serangkaian tes khusus

seperti tes transiluminasi dimana tes yang dilakukan dengan memantulkan cahaya jika pada

gigi mengalami fraktur maka transmisi cahaya akan terhalang ke bagian korona gigi. Tes

wedging yaitu tes yang dilakukan untuk membedakan kondisi gigi retak dan gigi fraktur

dengan menggerakan gigi, apabila terdapat fragmen yang dapat digerakan maka

kemungkinan gigi tersebut mengalami fraktur, dan ada tes gigit dimana tes dilakukan dengan

menggigit bola kapas hasilnya, jika terdapat nyeri pada saar melepas gigi tan kemungkinan

terjadi fraktur (McTigue, 2017). Dari hasil pemeriksaan subyektif dan obyektif serta

pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan maka diagnosa dari kasus ini adalah fraktur

Ellis kelas II dimana kondisi fraktur meluas pada sebagian besar dentin tanpa mengenai

pulpa atau masuk dalam klasifikasi WHO kerusakan jaringan keras gigi dan pulpa pada kelas

3. Rencana perawatan yang dilakukan adalah restorasi dengan resin komposit yang

sebelumnya diaplikasikan bahan pulp capping dengan teknik indirect pulp capping dengan

bahan kalsium hidroksida pada bagian dentin. Indirect pulp capping dilakukan karena pada

kasus belum melibatkan pulpa atau pada bagian ruang pulpa tidak terbuka. Kalsium
hidroksida dipilih karena lebih efektif dalam pembentukan dentin sekunder yang dapat

menghasilkan suatu lapisan dentin tebal sehingga mampu melindungi pulpa. Langkah-

langkah indirect pulp capping pada kasus ini diawali dengan isolasi menggunakan rubber

dam atau cotton roll dan permukaan gigi dibersihkan dengan menggunakan larutan NaCl atau

Chlohexidine yang dicelupkan pada cotton pellet. Keringkan bagian dentin yang terbuka

dengan menggunakan cotton pellet steril dan diaplikasikan pasta kalsium hidroksida pada

selapis tipis dentin, kemudian di tutup dengan semen fosfat sebagai basis tumbatan.

Tumpatan sementara diaplikasikan jika akan menggunakan restorasi mahkota jaket sebagai

restorasi akhir atau juga dapat menggunakan resin komposit. Bahan restorasi yang dipilih

adalah bahan resin komposit dimana bahan ini memiliki kualitas estetik yang baik dan

memiliki stabilitas warna yang baik serta resin komposit memiliki daya lekat terhadap

jaringan gigi yang cukup baik. penyembuhan pulpa pada gigi permanen memakan waktu 6

hingga 8 minggu.
DAFTAR PUSTAKA

American Association of Endodontists, 2004, Guide to Clinical Endodontics 4th Edition,


www.aae.org, United States.

Bergenholtz, dkk., 2013, Textbook of Endodontology 2nd Edition, Wiley-blackwell, United


Kingdom.

Cheng, C., Peng, L., Brenner, B. 2015. Fracture Tooth. Medscape Medicine E.Journal.

Garg, N., dan Garg, A., 2015, Textbook of Operative Dentistry 3 rd Edition, Jaypee, India.

Hasan, S., Sigh, K., Salati, N. 2015. Cracked tooth syndrome : overview of literature. Int
Journal Basic Med Res.

Lubisich, E., Hilton, T., Ferrance, J. 2011. Cracked Teeth: A Review of The Literature.
Journal Esthet Resor Dent.

McCabe, J.F., dan Walls, A.W.G., 2008, Applied Dental Materials 9th Editon, Blackwell
Publishing, Oxford.

McTigue, D., Griffen, A., Bachur, R Wiley. 2017. Evaluation and Management of Dental
Injuries in Children. Wolters Dent Journal.

Soeprapto, A., 2017, Pedoman dan Tatalaksana Praktik Kedokteran Gigi, STPI Bina Insan
Mulia, Yogyakarta.

Tarigan, R., 2006, Perawatan Pulpa Gigi (endodontik), EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai