Anda di halaman 1dari 77

Laporan Status Klinis

Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Down Syndrome


dan Patent Foramen Ovale

HALAMAN JUDUL

Oleh

ERI KARUNIAWATI 151710283027

PROGRAM STUDI D4 FISIOTERAPI

FAKULTAS VOKASI

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2021
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................................. i


DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 2
1.1. Latar Belakang ..................................................................................................... 2
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................................ 3
1.3. Tujuan Penulisan .................................................................................................. 3
1.4. Manfaat Penulisan ................................................................................................ 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 4
2.1 Definisi Down Syndrome ..................................................................................... 4
2.2 Epidemiologi Down Syndrome ............................................................................ 4
2.3 Klasifikasi Down Syndrome ................................................................................. 5
2.4 Etiologi Dan Faktor Resiko Down Syndrome ...................................................... 5
2.5 Gambaran Klinis Down Syndrome ....................................................................... 7
2.6 Problematika Down Syndrome ............................................................................. 8
2.6.1 Keterlambatan Perkembangan Motorik ...................................................... 8
2.6.2 Kelainan Jantung Bawaan .......................................................................... 9
2.6.3 Tingkat Intelegensi ………………………………………………...…….10

BAB III STUDI KASUS ..................................................................................................... 11


BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................................... 30
BAB V PENUTUP............................................................................................................... 32
5.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 32
5.2 Saran................................................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 33

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Down's syndrome (DS) pertama kali dijelaskan secara rinci oleh seorang dokter
Inggris, John Langdon Down, pada tahun 1866. Ini adalah bawaan kondisi yang secara
acak mempengaruhi 1 dari setiap 700 bayi yang lahir di seluruh dunia, laki-laki dan
perempuan sama. Sebuah 'sindrom' berarti kelompok yang dapat dikenali Karakteristik
terjadi bersama-sama. Sindrom ini merupakan sindrom bawaan yang ada sejak lahir
dan tidak bisa tiba – tiba muncul dikemudian hari. Nama 'Trisomy 21' juga digunakan,
dan akan dijelaskan kemudian. Namun, Down sindrom atau DS istilah yang diketahui
secara luas .
Tubuh kita terdiri dari miliaran Sel. Dalam setiap sel terletak dasar unit warisan, yang
dikenal sebagai gen. Ini dibundel ke dalam paket yang disebut kromosom, yang dapat
dilihat di bawah mikroskop. Down Syndrome disebabkan oleh salinan tambahan pada
kromosom nomor 21 di dalam masing-masing sel-sel tubuh. Ini adalah kromosom
kecelakaan, tidak disebabkan oleh apa pun orang tua telah melakukan sebelum atau
selama kehamilan, dan hanya sangat jarang diwariskan .
Sindrom Down adalah kelainan autosomal yang paling umum di seluruh dunia
mempengaruhi sekitar 1 dari 1000 kelahiran hidup (Dunia Organisasi Kesehatan, 2018).
Pada tahun 2011, diperkirakan ada 37.000 orang dengan kondisi di Inggris dan Wales,
dengan prevalensi populasi 0,66 per 1000 (Wu dan Morris, 2013). Sindrom Down
menyumbang sepertiga dari kasus kecacatan belajar yang parah. Sudah diketahui bahwa
risiko sindrom Down secara dramatis meningkat seiring bertambahnya usia ibu di atas 30
tahun (Pinjaman et al., 2013). Seorang ibu berusia 30 tahun memiliki risiko 1 pada tahun
1000 karena memiliki. Seorang anak dengan sindrom Down (Hook dan Fabbia, 1978).
Resiko seorang ibu memiliki anak dengan sindrom Down dapat dengan membagi risiko 1
dari 1000 oleh tiga, untuk setiap 5 tahun di atas usia 30 tahun.

Down sindrom mempunyai ciri-ciri terdapat muscle hypotenia, Terdapat, Bentuk mata
yang ke atas, telinga Mongoloid face berbentuk dysplastic, Pada telapak tangan terdapat
satu garis horizontal (Simian Crease ) Hyperflexibility pada area persendian,n Matanya
cenderung juling, Lidah besar tidak sebanding dengan mulut sehingga menyebabkan
mengluarkan liur berlebih (Ngiler), Jarak yangbberlebih antara jempol kaki dan telunjuk
kaki, Terdapat lipatan pada dalam ujung mata (Epicanthal folds).
Pasien dengan diagnose down sindrom beresiko meningkat dan mengembangkan
sejumlah penyakit komorbid (Bull, 2011). Dan menyebabkan berbagai komplikasi
misalnya Hipotiroidisme, Subfertilitas, Infeksi pernapasan berulang, Gangguan
pendengaran dari telinga lem, Ketidakstabilan atlantoaxial, Spondylosis serviks.
Demensia Alzheimer, Epilepsi, Apnoea tidur obstruktif, Obesitas, dan Osteoporosis.

2
Pada kasus ini pasien mengalami gangguan terhadap berdiri dan berjalan. Hal ini yang
melatar belakangi makalah ini

1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang kasus tersebut maka rumusan masalah yang didapatkan
1. Bagaimana penatalaksanaan fisioterapi pada downsyndrome dengan gangguan
berdiri dan berjalan.

1.3. Tujuan Penulisan


1. Tujuan Umum
- Mengetahui definisi, penyebab dan epidemologi down syndrome
- Mengetahui Klasifikasi Down syndrome
2. Tujuan Khusus
- Mengimplementasikan Penatalaksanaan fisioterapi pada kasus
downsyndrome
- Untuk memenuhi tugas PKL online modul Pediatri

1.4. Manfaat Penulisan


1. Manfaat bagi penulis
- Penulis menambah pengetahuan tentang penatalaksanaan terhadap kasus
downsyndrome sehingga dapat menerapkan saat memasuki dunia kerja
2. Manfaat bagi Akademis
- Menambah pengetahuan dan dapat digunakan untuk dijadikan sebagai
pedoman untuk mahasiswa lain.
3. Manfaat bagi Masyarakat
- Masyarakat menjadi tahu tentang downsyndrome sehingga masyarakat
lebih mawas diri terhadap tumbuh kembang anak mereka

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Down Syndrome


Down syndrome ditemukan oleh John Langdon Down pada tahun 1866, down
syndrome merupakan kelainan genetic (Ropper dkk, 2020). Dikaitkan dengan perubahan
neuropatologis baik dalam proses proliferasi ataupun diferensiasi neuron, kelainan
tersebut terjadi pada kromosom 21 (Ropper dkk, 2020). Adanya kelebihan jumlah pada
kromosom 21 menyebabkan imbalance genetic atau kelebihan dosis gen kromosom 21,
ekspresi gen yang berlebihan menyebabkan penurunan jumlah sel saraf pada susunan
saraf pusat (SSP), keterlambatan mielinisasi, gangguan pengaturan siklus sel, dan
produksi protein berlebih serta neurotransmisi yang tidak normal. (Irwanto dkk, 2019).

Down syndrome merupakan kumpulan gejala yang melibatkan kelainan


neuroanatomi,, gangguan motorik, gangguan sensoris, dan gangguan intelektual.
Gangguan intelektual memiliki tingkatan ringan sampai berat tergantung dari fenotip
pasien, faktor lain yang dapat mempengaruhi tingka intelektual tersebut adalah berat
badan, pada anak dengan kelebihan berat badan terjadi penurunan 85,5 kali lebih besar
daripada anak dengan berat badan ideal (Riset Kesehatan Dasar 2016). Kelainan
kromosom autosomal ini bersifat kongenital dan paling umum terjadi. Kelainan tersebut
menyebabkan keterlambatan pertumbuhan fisik, ketidakmampuan belajar, penyakit
jantung atau bahkan kanker darah/leukemia. Perlu diperhatikan bahwa down syndrome
tidak berhubungan dengan ras, agama, negara, ataupun status sosial ekonomi.

2.2 Epidemiologi Down Syndrome


Dalam Ropper dkk 2020, prevalensi terjadinya down syndrome di seluruh dunia
adalah 1:800 kelahiran, di Amerika Serikat terjadi pada 500 kelahiran setiap tahunnya
dengan lebih dari 200.000 orang hidup dengan kelainan ini. Jumlah ini meningkat secara
drastis menjadi 95% selama pertengahan tahun 90-an sampai tahun 2000- an, dengan
harapan hidup rerata mencapai 60 tahun. Pada beberapa negara yang menerapkan aturan
aborsi itu illegal, seperti di Irlandia dan Uni Emirat Arab, prevalensi terjadinya down
syndrome lebih tinggi, hal itu di sebabkan karena percobaan penghentian kehamilan pada
janin dengan obat-obatan namun tidak berhasil gugur.

4
Sedangkan prevalensi down syndrome di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) pada tahun 2010 sebesar 0,12% pada anak usia 24-59 bulan. Jumlah
tersebut semakin meningkat hingga 0,21% pada tahun 2018 dengan usia harapan hidup
mencapai 65 tahun. Gender/ jenis kelamin laki-laki lebih banyak mengidap down
syndrome, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 0,8 % pada anak laki-laki dan
0,6% pada anak perempuan, namun pada 2017 angka tersebut mengalami kesimbangan
antara perempuan dan laki-laki.

2.3 Klasifikasi Down Syndrome


berdasarkan kelainan struktur dan jumlah kromosom, down syndrome diklasifikasikan
menjadi 3 yaitu (Irwanto dkk, 2019) :
a. Trisomi 21 klasik
Trisomi 21 klasik adalah bentuk kelainan yang paling sering terjadi pada
penderita down syndrome, di mana terdapat tambahan kromosom pada kromosom 21.
Angka kejadian trisomi 21 klasik ini sekitar 94% dari semua penderita down
syndrome
b. Translokasi
Translokasi adalah suatu keadaan di mana tambahan kromosom 21
melepaskan diri pada saat pembelahan sel dan menempel pada kromosom yang
lainnya. Kromosom 21 ini dapat menempel dengan kromosom 13, 14, 15, dan 22. Ini
terjadi sekitar 3-4% dari seluruh penderita down syndrome. Pada beberapa kasus,
translokasi down syndrome ini dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya.
Gejala yang ditimbulkan dari translokasi ini hampir sama dengan gejala yang
ditimbulkan oleh trisomi 21.
c. Mosaik
Mosaik adalah bentuk kelainan yang paling jarang terjadi, di mana hanya
beberapa sel saja yang memiliki kelebihan kromosom 21 (trisomi 21). Bayi yang lahir
dengan down Syndrome mosaik akan memiliki gambaran klinis dan masalah
kesehatan yang lebih ringan dibandingkan bayi yang lahir dengan down syndrome
trisomi 21 klasik dan translokasi. Trisomi 21 mosaik hanya mengenai sekitar 2-4%
dari penderita down syndrome.

5
2.4 Etiologi Dan Faktor Resiko Down Syndrome
Down syndrome terjadi karena kelainan susunan kromosom ke-21, dari 23
kromosom manusia. Pada manusia normal, 23 kromosom tersebut berpasang-pasangan
hingga berjumlah 46. Pada penderita down syndrome, kromosom 21 tersebut berjumlah
tiga (trisomi), sehingga total menjadi 47 kromosom (Irwanto dkk, 2019). Kelebihan satu
salinan kromosom 21 di dalam genom dapat berupa kromosom bebas yaitu trisomi 21
murni, bagian dari fusi translokasi Robertsonian yaitu fusi kromosom 21 dengan
kromosom akrosentrik lain, ataupun dalam jumlah yang sedikit sebagai bagian dari
translokasi resiprokal yaitu timbal balik dengan kromosom lain. Penyebab lainnya adalah
anaphase lag, yaitu kegagalan dari kromosom atau kromatid untuk bergabung ke salah
satu nukleus anak yang terbentuk pada pembelahan sel, sebagai akibat dari terlambatnya
perpindahan atau pergerakan selama anaphase (Irwanto dkk, 2019). Kromosom yang
tidak masuk ke nukleus sel anak akan menghilang. Ini dapat terjadi pada saat meiosis
ataupun mitosis.

Trisomi 21 dapat terjadi tidak hanya pada saat meiosis pada waktu pembentukan
gamet, tetapi juga saat mitosis awal dalam perkembangan zigot. Oosit primer yang
perkembangannya terhenti pada saat profase meiosis I, tidak berubah pada tahap tersebut
sampai terjadi ovulasi. Di antara waktu tersebut, oosit mengalami non-disjunction (salah
satu pasang sel tidak membelah, dan seluruhnya pergi ke satu lokasi. Ini berarti bahwa
dalam sel-sel yang dihasilkan, seseorang akan memiliki 24 kromosom dan yang lain
hanya akan memiliki 22 kromosom). Jika sperma atau sel telur dengan jumlah kromosom
yang abnormal menyatu dengan pasangan normal, sel telur yang dibuahi akan memiliki
jumlah kromosom yang abnormal. Beberapa faktor yang dapat meningkakan resiko
terjadinya down syndrome diantaranya (Irwanto dkk, 2019) :

a. Infeksi Virus
Rubela merupakan salah satu jenis infeksi virus tersering pada prenatal yang
bersifat teratogen lingkungan yang dapat memengaruhi embriogenesis dan mutasi gen
sehingga menyebabkan perubahan jumlah maupun struktur kromosom.
b. Radiasi
Radiasi merupakan salah satu penyebab dari nondisjunctinal pada down
syndrome. Sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan down syndrome pernah
mengalami radiasi di daerah perut sebelum terjadinya konsepsi. Kejadian reaktor

6
atom Chernobyl pada tahun 1986 dikatakan merupakan penyebab beberapa kejadian
down syndrome di Berlin.
c. Penuaan Sel Telur
Sel telur wanita telah dibentuk pada saat masih dalam kandungan yang akan
dimatangkan satu per satu setiap bulan pada saat wanita tersebut mengalami
menstruasi. Pada saat wanita memasuki usia tua, kondisi sel telur tersebut terkadang
menjadi kurang baik, sehingga pada saat dibuahi oleh spermatozoa, sel benih ini
mengalami pembelahan yang salah. Proses selanjutnya disebabkan oleh keterlambatan
pembuahan akibat penurunan aktifita seksual pada pasangan tua. Faktor selanjutnya
disebabkan oleh penuaan sel spermatozoa laki-laki dan gangguan pematangan sel
sperma itu sendiri di dalam epididimis yang akan berefek pada gangguan motilitas sel
sperma itu sendiri juga dapat berperan dalam efek ekstra kromosom 21 yang berasal
dari ayah.
d. Usia Ibu
Wanita dengan usia lebih dari 35 tahun lebih berisiko melahirkan bayi dengan
Down syndrome dibandingkan dengan ibu usia muda (kurang dari 35 tahun). Angka
kejadian Down syndrome dengan usia ibu 35 tahun, sebesar 1 dalam 400 kelahiran.
Sedangkan ibu dengan umur kurang dari 30 tahun, sebesar kurang dari 1 dalam 1000
kelahiran. Perubahan endokrin seperti peningkatan sekresi androgen, penurunan kadar
hidroepiandrosteron, penurunan konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi
reseptor hormon, peningkatan hormone LH (Luteinizing Hormone) dan FSH
(Follicular Stimulating Hormone) secara mendadak pada saat sebelum dan selama
menopause, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya nondisjunction.

2.5 Gambaran Klinis Down Syndrome


Lokasi Karakteristik Frekuensi (%)
Kepala Bracisephali 75 %
Mata a. Oblique palpebral fissure a. 85%-98%
b. Lipatan epicantus b. 57%-79%
c. Brushfield spot c. 35%-75%
Hidung Jembatan hidung rata 83%-87%
Telinga Kecil, letak rendah 34%-43%
Mulut a. Kecil, selalu terbuka a. 40%-65%

7
b. Sudut bibir ke bawah b. 84%
c. Lidah besar c. 38%-58%
d. Lidah menjulur keluar d. 22%
Leher a. Pendek a. 70%
b. Lipatan kulit b. 60%-87%
Dada a. Kelainan iga ke- 12 a. 15%-26%
b. Pectus excavatum b. 14%-18%
c. Pectus carinatum c. 6%-11%
Abdomen Hernia umbilicus 89%
Ekstrimitas a. Tangan lebar, jari pendek a. 38%-61%
b. Simian crease b. 57%-60%
c. Jari manis pendek c. 51%
d. Jari manis tertekuk ke d. 43%-51%
dalam e. 64%-96%
e. Jarak antar jari lebar
Tabel 2.1 persentase gambaran klinis down syndrome menurut Epstein CJ 1990 dalam Irwanto dkk, 2019

2.6 Problematika Down Syndrome


Problematika pada Down Syndrome meliputi gangguan sensori integrasi, retardasi
mental, gangguan intelektual, penyakit sistemik dan keterlambatan perkembangan
motorik. Pada kasus ini pasien memiliki problematika pada perkembangan motorik dan
adanya kelainan jantung bawaan.

2.6.1 Keterlambatan Perkembangan Motorik


Ada beberapa gangguan atau masalah yang menyertai down syndrome,
misalnya gangguan sensori integrasi, retardasi mental, dan keterlambatan
perkembangan motorik. Struktur dan fungsi otak mempengaruhi perkembangan
motorik dan mental. Pada individu dengan kelebihan kromosom 21, fungsi otak
terganggu dan menyebabkan perkembangan psikomotor yang terbelakang(Malak ,
2015). Gangguan psikomotor tersebut dipengaruhi oleh 3 hal berikut (Malak ,
2015) :
a. Perubahan ukuran dan jumlah neuron serta perubahan ukuran cerebrum
b. Gangguan maturasi pada sistem saraf pusat (SSP)
c. Proses patofisiologi
 Adanya proses degeneratif pada sistem saraf pusat (SSP)

8
 Gangguan regulasi pada apoptosis neuronal
 Overexpression dari gen dengan kode amyloid precursor protein (APP)
 Adanya proses yang menyebabkan penurunan pengeluaran transmitter

Ketika perkembangan sistem saraf pusat terhambat dan sistem


muskuloskeletal akan mengalami gangguan karena tonus otot yang rendah, adanya
laxity, dan instability sendi maka hal ini menyebabkan keterlambatan kemampuan
motorik. Pada beberapa penelitian menunjukkan 90% pengidap down syndrome
dapat berdiri tegak pada rentang usia 3-6 tahun, dan hanya 10% dapat berdiri
tegak pada usia di bawah 3 tahun. Sedangkan untuk memulai belajar berjalan,
rata-rata akan dicapai pada usia di atas 3 tahun. (Malak , 2015)

Keterlambatan kemampuan motorik seperti berdiri dan berjalan


disebabkan karena ukuran dan volume otak yang terganggu proses maturasinya,
khususnya cerebellum. Posisi berdiri akan dapat dicapai ketika adanya kesejajaran
postural antara kepala, tulang belakang dan hip, serta keseimbangan dalam
mempertahankan posisi tubuh (Malak, 2015).. Cerebellar hypoplasia
menyebabkan reaksi keseimbangan yang buruk, hal itu berpengaruh dengan
kemampuan berjalan yang sangat membutuhkan koordinasi serta kesembangan.
Cerebellum bukan hanya berfungsi untuk keseimbangan saja, namun sebagai
pengendali koordinasi anggota gerak tubuh serta lokomosi (Malak, 2015).
Penelitian membuktikan latihan keseimbangan dan latihan motorik berjalan dapat
menurunkan efek Cerebellar hypoplasia.

2.6.2 Kelainan Jantung Bawaan


Kelainan jantung bawaan merupakan salah satu manifestasi dari down
syndrome. Kelebihan pada kromosom 21
menyebabkan overexpression pada intercellular
mucopretein sebelum perkembangan dari
dinding endocardial, meningkatkan resiko
adhesi di antara sel dan menyebabkan fusi
endocardial dan menyababkan AVSD
(atrioventrikular septal defect) (Zhang dkk,
2019) . Diduga overexpression collagen VI yang
menjadi pemeran penting dalam petogenesis

9
AVSD di down syndrome. (Zhang dkk, 2019)
Salah satu jenis AVSD adalah patent foramen ovale (PFO), yaitu kelainan
pada foramen ovale yang tidak menutup sejak lahir. Hal ini menyebabkan adanya
lubang di antara atrium kanan dan kiri. Pada 75% individu, septum secundum dan
septum primum akan menutup ketika paru telah berfungsi yaitu ketika bayi
menghirup nafas biasanya pada 6 bulan-12 bulan setelah lahir, sedangkan 25%
tidak menutup. PFO akan menimbulkan masalah ketika adanya blood clot atau
vena thrombus, hal ini dapat merujuk terjadinya stroke, migraine hebat, dan acute
limb ischemia karena emboli (Briggs dkk, 2012) . PFO menimbulkan gejala
berupa cyanosis ketika bayi dalam kondisi menangis, namun tidak ada gejala lain.
Timbul gejala lain apabila ada kelainan jantung tambahan (Briggs dkk, 2012).
Tatalaksana PFO adalah dengan percutaneous transcatheter closure dan bedah
jantung (Briggs dkk, 2012).
2.6.3 Tingkat Intelegensi
Kelainan trisomi 21 ini berhubungan dangan gangguan intelektual dan
kesulitan dalam belajar (Drapeau dkk, 2017). Kelebihan jumlah kromosom 21 ini
menyebabkan berkembangnya histopatologi penyakit alzaimer (neuritiq plaques
and tangles), yang mana akan meningkatkan resiko dementia (Potier dkk, 2016).
Namun tingkat intelegensi ini bervariasi tergantung dengan kromosom dominan
dari orang tua. Dalam penelitian Megarbane dkk 2013, menyatakan bahwa
terdapat terdapat 2 ekspresi gen yaitu HLA-DQA1 dan HLA-DRB1 yang
overexpression pada down syndrome dengan IQ rendah. Faktor lain yang
menentukan tingkat intelegensi adalah pola belajar, gizi, dan pola asuh anak.

10
BAB III
STUDI KASUS

KETERANGAN UMUM PENDERITA :

NO REGISTER : 12732

NAMA : An. A

UMUR : 2 Tahun

JENIS KELAMIN : Perempuan

AGAMA : Islam

ALAMAT : Surabaya

PEKERJAAN :-

I. DATA-DATA MEDIS RUMAH SAKIT :

A. DIAGNOSA :
Down Syndrome + Neonatus aterm + patent foramen ovale

B. CATATAN MEDIS :
 1 Maret ibu menjalani operasi Caesar di RS Wiyung Sejahtera
 8 Maret diduga terdapat masalah di paru dan jantung, dirujuk ke RS Dr. Soetemo,
ditempatkan di RKL 2 minggu dan dilakukan foto thorax.

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. LABORATORIUM (08 Maret 2019)

No Nama Test Hasil Nilai Normal


1 GDA 92 mg/dL 100-126
2 PTT 10,1 detik 9-12
3 APTT 19,1 detik 23-33
4 Kalium 3,9 mmol/l 3,5-5,1
5 Natrium 10 mg/dL 9-11
6 Hemoglobin 13 gram/dL 9-15

11
2. HASIL FOTO (08 Maret 2019)

 Foto Thorax AP (asimetris) :


Kesan : keradangan paru, secara radiologis ukuran jantung dalam batas normal

 Foto BOF :
Kesan : foto BOF tak tampak kelainan

3. HASIL KONSULTASI
-poli penyakit dalam : disarankan untuk melakukan tindakan operasi kateterisasi untuk patent foramen
ovalenya
-Poli tumbuh kembang : didiagnosa down syndrome sejak lahir dan dikonsulkan ke
poli rehab
- Poli rehab medik : disarankan tindakan therapeutic exercise

A. TINDAKAN MEDIS
Therapeutic exercise

12
II. PEMERIKSAAN FISIOTERAPI :

A. ANAMNESIS (KELUHAN UTAMA, RPS, RPD, RPK, RP, dll)


Heteroanamnesa

Keluhan Utama : Trunk control belum maksimal, belum mampu berdiri tegak

Riwayat Penyakit Sekarang : Selama kehamilan tidak ada keluhan apapun, perkiraan bayi lahir pada
tanggal 15 maret namun pada tanggal 1 Maret sudah lahir dikarenakan ketuban pecah, pada sejak lahir
anak didiagnosa down syndrome dan anak belum mampu berkomunikasi secara verbal namun saat
diajak berinteraksi anak dapat merespon dengan menoleh maupun dengan gerakan-gerakan lainnya.
Orang tua anak operasi Caesar di RS Wiyung sejahtera 1 minggu kemudian dirujuk ke RSUD
Soetomo 2 minggu di tempatkan di RKL , oleh dokter didiagnosa anak tersebut mengalami kelainan
pada jantung + down syndrome dan anak disarankan untuk melakukan terapi pada usia 3 bulan,
selama terapi difokuskan kearah kemampuan berdiri tegak dan berjalan

Riwayat Penyaki Dahulu:Tidak ada

Riwayat Pre Natal : Selama kehamilan ibu rutin melakukan cek kehamilan dan tidak pernah
mengalami trauma jatuh saat kehamilan

Riwayat Natal :

 Pasien lahir secara caesar dengan usia kehamilan 36 minggu (prematur) , pasien
menangis spontan.

 BBL : 2000 gram (BBLR)

 TBL : 45 cm

Riwayat Post Natal : perkembangan motorik dan verbal pasien mengalami keterlambatan, memiliki
kelainan pada jantung patent foramen ovale

Riwayat Penyakit Ibu : hipertensi

Riwayat Imunisasi : Lengkap

Riwayat Nutrisi :

 nutrisi ASI : 12 bulan

 susu formula : sejak 6 bulan, frekuensi 8-10x perhari (ukuran botol 260ml)

 bubur susu : sejak usia 6 bulan, frekuensi 2-3x sehari

 nasi tim : sejak usia 8 bulan, frekuensi 2-3x sehari

Riwayat Tumbuh Kembang :

13
 mengangkat kepala : 4 bulan

 membalikkan badan : 7 bulan

 bicara : belum bisa bicara

 duduk : 10 bulan

 merangkak : 1 tahun

Status Sosial :

 pasien kesulitan dalam berinteraksi sosial dan berbicara dengan lawan bicaranya

 pasien tinggal bersama dengan ibu dan ayahnya

B. PEMERIKSAAN FISIK :
PEMERIKSAAN TANDA VITAL
- KESADARAN :4-2-6
- TENSI : 110/70 MmHg
- NADI : 90x/menit
- TEMPERATUR :36,5o C
- TINGGI BADAN :67 cm
- BERAT BADAN :6,8 kg
- FREKUENSI PERNAFASAN :25x/menit

C. PEMERIKSAAN UMUM

INSPEKSI
Statis
 Wajah tampak mongoloid
 Hidung tampak kecil mendatar
 Dada tampak pectus excavates (cekung ke dalam )
 pasien drooling
 wajah pasien kurang ekspresif
 tidak tampak kebiruan pada kulit dan kuku
 postur pasien cenderung kurus

Dinamis
 pasien belum mampu berdiri dengan tegak dan berjalan
 Ada kontak mata (sumeh) dan menanggapi saat dipanggil namanya
 Pasien cenderung aktif
 Adanya laxity

14
PALPASI
 Suhu akral dalam batas normal
 Kesan kontur otot lembek (hipotonus)

PERKUSI
Tidak dilakukan

AUSKULTASI
Auskultasi jantung menunjukkan suara jantung ke-2 (katup semilunar) melebar dan menetap pada saat
inspirasi maupun ekspirasi disertai bising ejeksi sistolik di daerah pulmonal.

PEMERIKSAAN GERAK
Aktif : Pasien mampu menggerakkan AGA dan AGB D/S Full ROM dengan kesan kekuatan otot ≥ 3
tanpa nyeri.

Pasif : AGA dan AGB D/S dapat digerakkan melebihi Full ROM tanpa nyeri. Endfeel soft.
D. PEMERIKSAAN KHUSUS (FT. A/FT. B/FT. C/FT. D)
1. Reflex Perkembangan Motorik
Reflex primitive (level spinal) Hasil
Rooting reflex -
Sucking reflex -
Palmar mandibular réflex -
Palmar grasp Reflek -
Moro reflex +
Galant reflex +
Plantar grasp +
Babinsky +
Flexor with drawl -
Automatic gait reflex +

Reflex postural (level Hasil


brainstem)
ATNR -
Tonic labyrinthine -
STNR -

Righting and protective reflex (level Hasil


midbrain)
Labyrinthime righting reflex +
Body on head righting reflex +
Neck righting reflex +

15
Landau +
Parachute +

Equilibrium (level cortical) Hasil


Equilibrium reaction supine +
Equilibrium reaction prone +
Equilibrium reaction sitting +
Equilibrium reaction quadripedal +
Equilibrium reaction see-saw +
reaction
Equilibrium reaction standing -

2. Reflex Fisiologi
Reflex Hasil
TPR -
BPR -
KPR +
APR +

3. Pemeriksaan Kekuatan Otot


AGA dan AGB X O T R
D/S
Soulder √ - - -
Elbow √ - - -
Wrist √ - - -
Hip √ - - -
Knee √ - - -
Ankle √ - - -
Head and neck √
Trunk √

4. Tes Hipermobiliti Sendi (Skala beighton)


Nama subyek : An. A

No Komponen D S

1 Dorsofleksi dan hiperekstensi pasif MCP V >90° 1 1

2 Aposisi ibu jari ke flexor aspect pada lengan bawah 1 1

3 Hiperekstensi pasif siku >10° 0 0

4 Hiperekstensi pasif lutut >10° 1 1

16
5 Forward flexion trunk dengan lutut full ekstensi hingga telapak
tangan menyenuh lantai 1

Total 7
Keterangan total:
0-3 : Normal
4-9 : Hypermobility

5. Tes Sensoris

Komponen Nilai
Auditori 2
Visual 2
Taktil 2
Proprioceptive 2
Taste SDE
Smell SDE
Vestibular 2
Keterangan :
0= tidak adaa respon
1= ada respon tapi salah
2=ada respon

6. Motor Development Milestones In Children With Down Syndrome (age in months).

Position Normal In A Patient


Aligns the head in a face-down lying 2.7 months 3 bulan
position
Vertically controls the head 4.4 months 4 bulan
Pulls to sit 6.0 months 10 bulan
Shows support reactions 8.3 months 9 bulan
Is stable when seated 9.7 months 10 bulan
Stands 13.3 months 24 bulan
Rolls over 8.0 months 7 bulan
Commences independent locomotion 12.2months -
Drags 13.6 months 11 bulan
Crawls 17.7 months 12 bulan
Shuffles 17.9months -
Walks independently 24.1 months -
Study conducted by Drs. Pilar Póo and Rosa Gassió, Neur pediatrics Department of the Hospital St.
Joan de Déu, Barcelona 2000

17
7. DDST (Denver Developmental Screening Test)
M= meragukan
G= Gagal
L= Lulus

18
III. DIAGNOSA FISIOTERAPI :
PROBLEM KAPASITAS FISIK
 Pasien belum stabil saat berdiri
 Keseimbangan pasien berlum cukup baik
 Hipotonus
 Terdapat laxity

PROBLEM KEMAMPUAN FUNGSIONAL


 Pasien belum bisa berdiri dengan seimbang
 Pasien belum bisa berjalan mandiri

PROBLEM PARTISIPASI SOSIAL


 Pasien belum bisa bermain dengan anak sebayanya, lingkup bermain hanya di dalam
rumah saja.

ICF
Body function
b1470 Psychomotor Control
b1471 Quality Of Psychomotor Functions
b429 Functions of the cardiovascular system, other specified and unspecified
b7158 Stability of joint functions, other specified
Activities and participation
d331 Non-speech vocal expression
Environmental factor
e310 Immediate family
Body structure
s7701 Joints
s7702 Muscles

IV. TUJUAN JANGKA PENDEK


 Keseimbangan pasien semakin baik
 Menghindari cedera laxity pada sendi
 Menjaga tonus otot agar tetap normal

TUJUAN JANGKA PANJANG


 Mampu berdiri serta berjalan
 Perkembangan motorik berkembang sesuai development milestone

19
V. UNDERLYING PROCCESS (Patofisiologi – Penatalaksanaan FT)

20
VI. RENCANA TINDAKAN
1. Breathing exercise
Tujuan : untuk meningkatkan pengembangan cavum thorax
2. Balance And Stability Exercise
Tujuan: untuk meningkatkan keseimbangan pasien serat meningkatkan kemampuan otot-
otot trunk
3. Postural Control
Tujuan : untuk meningkatkan keseimbangan pasien, melatih ekstensor muscle dan motor
development
4. Latihan Berdiri
Tujuan : untuk meningkatkan kemampuan pasien dalam duduk ke berdiri
5. Latihan Berjalan
Tujuan: untuk melatih kemampuan berjalan
6. Motor Coordination
Tujuan : untuk melatih kemampuan motoric kasar yang lebih kompleks misalnya berjalan
7. Proprioceptive stimulation of joints
Tujuan: Untuk memfasilitasi postural tonus sehingga dapat mengurangi laxity
8. NDT (neuro developmental treatment)
Tujuan: untuk meningkatkan tonus otot melalui proprioceptive dan taktil
9. Stimulasi Oromotor
Tujuan : untuk menstimulasi bicara
10. Edukasi
Tujuan : untuk menunjang keberhasilan terapi dan memperhatikan nutrisi anak

21
VII. PELAKSANAAN ( ditambah breathing)

Dosis untuk masing-masing latihan yaitu : 12 repetisi 3 set, 2 menit rest in between, total waktu latihan,
kurang lebih 45 menit

1. Passive Breathing Exercise


latihan pernafasan ini dapat dilakukan masing-masing sebanyak 3 kali hitungan. Pelaksanaan terapi
meliputi:
a) Pernafasan pada daerah apical costa
Posisi pasien tidur terlentang atau half laying dengan support sempurna. Terapis meletakan ujung-ujung
jari tangan dibawah clavikula. Pada saat inspirasi tekanan dikendorkan dan saat akhir ekspirasi terapis
membantu mengarahkan sesuai gerakan jalan nafas.
b) Pernafasan pada daerah upper costa
Posisi pasien tidur terlentang atau half laying dengan support sempurna. Pada saat ekspirasi terapis
membantu menekan pada daerah upper disamping lateral kearah medial.
c) Pernafasan pada daerah lower costa
Posisi pasien tidur terlentang. Pada akhir pernafasan ekspirasi diberi penekanan pada daerah lower costa.
d) Pernafasan pada daerah diafragma/ abdominal breathing exercise
Posisi pasien tidur terlentang kemudian pada akhir ekspirasi posisi pegang terapis pada sisi latero ventral
dan diberi penekanan pada daerah abdomen

2. Proprioceptive stimulation of joints


Posisi pasien : Duduk
Posisi terapis : Duduk menghadap pasien
Pelaksanaan : Terapis memberikan aproksimasi pada area sendi AGA dan AGB
Tujuan : Unuk memfasilitasi postural tonus sehingga dapat mengurangi laxity

3. Exercise With Gymball


Posisi pasien : duduk di atas gymball
Posisi terapis : berada di distal anak memberikan fiksasi pada hip
Pelaksanaan : terapis menggoyang-goyangkan gymball ke segala arah
Tujuan :untuk meningkatkan keseimbangan pasien serat meningkatkan kemampuan otot-otot
trunk

22
4. Exercise With Rocking Horses Or Swing
Posisi pasien : Sitting on the rocking horses or swing
Posisi terapis : berada disamping pasien
Pelaksanaan : terapis meletakkan tangan pasien agar berpegangan pada mainannya tersebut kemudian
terapis mengayunkan swing atau rocking horses secara perlahan.
Tujuan : untuk meningkatkan keseimbangan pasien, melatih ekstensor muscle dan motor
development

5. Exercise With Bouncing-Jumping Activities


Posisi pasien : Sit/kneeling/standing (secara bergantian)
Posisi terapis : berada dibelakang pasien
Pelaksanaan : terapis meletakkan tangan pasien agar berpegangan pada pegangan tersebut kemudian
terapis mengayunkan memantulkan pasien secara perlahan.
Tujuan : untuk meningkatkan keseimbangan pasien, melatih ekstensor muscle dan motor
development

23
6. Exercise Sit To Stand
Posisi pasien : duduk
Posisi terapis : berada belakang pasien
Pelaksanaan : terapis memegang pelvic kemudian mengarahkan pelvic untuk ke posisi kneeling,
kemudian mengulangi gerakan tersebut beberapa kali. Untuk tahap awal bisa dibantu dengan memberikan
meja kecil untuk membantu anak dalam berdiri.
Tujuan : untuk meningkatkan kemampuan pasien dalam duduk ke berdiri

7. Exercise Keseimbangan Posisi Berdiri


Posisi pasien : Berdiri
Posisi terapi : Dibelakang pasien
Pelaksanaan : Terapis memegang pada bagian pelvic, kemudian terapis menggerakkan pelvic pasien ke
berbagai arah
Tujuan : tujuannya yaitu untuk melatih kemampuan berdiri

8. Exercise Standing To Walk


Posisi pasien : Berdiri
Posisi terapi : Dibelakang pasien
Pelaksanaan : Terapis memegang pada bagian pelvic, kemudian terapis menggerakkan pelvic untuk
berjalan secara perlahan
Tujuan : tujuannya yaitu untuk melatih kemampuan berjalan

24
9. Exercise With Pushing Activities
Posisi pasien : berdiri
Posisi terapis : berada dibelakang pasien
Pelaksanaan : terapis meletakkan tangan pasien agar menggenggam pegangan pada mainan tersebut,
kemudian terapis memegangi bagian pelvic pasien dan mengarahkannya untuk berjalan secara perlahan
Tujuan : untuk meningkatkan kemampuan berjalan serta melatih ekstensor muscle dan motor
development.

10. Equilibrium Exercise With Stairs


Posisi pasien : berdiri
Posisi terapis : berada dibelakang pasien
Pelaksanaan : terapis meletakkan tangan pasien agar menggenggam pegangan tangga kemudian terapis
memegang pelvic pasien kemudian mengarahkannya untuk menaiki anak tangga satu persatu
Tujuan : untuk meningkatkan equilibrium reactions serta meningkatkan kemampuan otot-otot
trunk

25
11. Stimulasi Oromotor

Posisi pasien : duduk bersandar/ berbaring


Posisi terapis : disebelah pasien
Pelaksanaan : pada kasus ini dapat menggunakan
-makanan bertekstur seperti biscuit sayur dan buah,
-mainan kenyal untuk menstimulasi mengunyah,
-mainan kincir aingin untuk ditiup,
-massase sekitar wajah, bahu, lengan dan leher
-massase pipi dan area sekitar mulut dengan gerakan melingkar dan naik/turun untuk menstimulasi
otot rahang
Tujuan : untuk menstimulasi bicara, untuk gangguan swallowing dan breathing

12. Edukasi

-menganjurkan untuk memberi anak makan makanan yang bergizi supaya berat badannya
dapat meningkat

-bermain dengan memposisikan mainan di atas agar anak berusaha meraih mainan tersebut,

26
- latihan berjalan dengan bantuan orang tua menggunakan kedua tangan,

-berjalan dengan mendorong mainan seperti push walker,

-sering diajak komunikasi.

VIII. EVALUASI tambah milestone, gmfm


[01 Maret 2021]
S : Belum bisa berdiri mandiri
O: GCS : 4-2-6
Tensi : 100/70 MmHg
Nadi : 90x/menit
Suhu : 36,5o C
BB : 8 kg
TB : 45 cm
 MMT :
AGA dan AGB
X O T R
D/S
Soulder √ - - -
Elbow √ - - -
Wrist √ - - -
Hip √ - - -
Knee √ - - -
Ankle √ - -
Head and neck √ - - -
Trunk - - √ -

 Reflex perkembangan motorik


Equilibrium (level cortical) Hasil
Equilibrium reaction supine +
Equilibrium reaction prone +
Equilibrium reaction sitting +
Equilibrium reaction quadripedal +
Equilibrium reaction see-saw
+
reaction
Equilibrium reaction standing -

27
A : Down Syndrome + Neonatus aterm + patent foramen ovale
P:
1. Passive Breathing Exercise
2. NDT (neuro developmental treatment)
3. Balance and stability exercise
4. Postural control
5. Latihan berdiri
6. Latihan berjalan
7. Motor coordination
8. Stimulasi Oromotor
9. Edukasi

[1 April 2021]
S : Sudah bisa berjalan dengan berpegangan
O: GCS : 4-2-6
Tensi : 105/70 MmHg
Nadi : 92x/menit
Suhu : 36,0o C
BB : 8,5 kg
TB : 45 cm
 MMT
AGA dan AGB
X O T R
D/S
Soulder √ - - -
Elbow √ - - -
Wrist √ - - -
Hip √ - - -
Knee √ - - -
Ankle √ - - -
Head and neck √ - - -
Trunk √ - - -

 Reflex Perkembangan Motorik


Equilibrium (level cortical) Hasil
Equilibrium reaction supine +
Equilibrium reaction prone +
Equilibrium reaction sitting +
Equilibrium reaction quadripedal +
Equilibrium reaction see-saw +

28
reaction
Equilibrium reaction standing +

A : Down Syndrome + Neonatus aterm + patent foramen ovale

IX. PROGNOSA
Quo et vitam : baik
Quo et sanam : dubia
Quo et functionam : baik
Quo et cosmeticam : baik

X. RESUME

Pasien atas nama an. A dengan diagnosa Down Syndrome + Neonatus aterm + patent foramen
ovale setelah dilakukan pemeriksaan didapatkan problem Pasien belum stabil saat berdiri
Keseimbangan pasien berlum cukup baik, hipotonus, terdapat laxity. Pasien juga belum bisa
berdiri dengan seimbang, Pasien belum bisa berjalan mandiri, dan pasien belum bisa bermain
dengan anak sebayanya, lingkup bermain hanya di dalam rumah saja. Kemudian diberikan
intervensi fisioterapi berupa passive breathing exercise, proprioceptive stimulation of joints,
exercise with gymball, exercise with rocking horses or swing, exercise with bouncing-jumping
activities, exercise sit to stand, exercise keseimbangan posisi berdiri, exercise standing to walk,
exercise with pushing activities, dan equilibrium exercise with stairs. Didapatkan hasil
Keseimbangan pasien semakin baik, laxity pada sendi berkurang, pasien sudah bisa berdiri
mandiri dan berjalan dengan berpegangan.

29
BAB IV
PEMBAHASAN

Down syndrome merupakan kumpulan gejala yang melibatkan kelainan neuroanatomi,,


gangguan motorik, gangguan sensoris, dan gangguan intelektual. Kelainan ini merupakan
kelainan genetik, terletak pada jumlah kromosom 21 yang berlebihan. Overexpression dari
kromosom 21 tersebut menimbulkan kelainan pada sistem tubuh. Kasus Down syndrome
merupakan kelainan autosomal yang paling sering terjadi di seluruh dunia mempengaruhi sekitar
1 dari 1000 kelahiran hidup (Dunia Organisasi Kesehatan, 2018). Pada kasus Down syndrome
sering terjadi beberapa komplikasi seperti hipertiroid, kelainan jantung dan pasien down
syndrome bersiko meningkatkan penyakit komorbid.

Pada kasus ini Down syndrome disertai penyakit jantung bawaan yaitu patent foramen
ovale. Terjadi keterlambatan perkembangan motorik pada An. A, pada usia 2 tahun kemampuan
berdiri dan berjalan belum ada. Keterlamabatan perkembangan motorik disebabkan karena
fungsi otak yang terganggu, pada individu dengan Overexpression kromosom 21 ukuran dan
volume otak terganggu proses maturasinya, menimbulkan manifestasi pskimotor yang
terbelakang, khususnya bagian cerebellum menyebabkan respon kesimbangan yang buruk.
Ketika perkembangan sistem saraf pusat terhambat dan sistem muskuloskeletal akan mengalami
gangguan karena tonus otot yang rendah, adanya laxity, dan instability sendi maka hal ini
berperan penting dalam keterlambatan psikomotor.

Problem pada pasien An. A berfokus pada kemampuan berdiri dan berjalan. Posisi berdiri
akan dapat dicapai ketika adanya kesejajaran postural antara kepala, tulang belakang dan hip,
serta keseimbangan dalam mempertahankan posisi tubuh. Sedangkan kemampuan berjalan
sangat mengandalkan motorkoordinasi yang kompleks. Program fisioterapi pada pasien An. A
difokuskan pada penguatan otot trunk, fasilitasi untuk berdiri, fasilitasi untuk meningkatkan
tonus menjadi normal, mengurangi laxity sendi, fasilitasi untuk keseimbangan/equilibrium dalam
posisi berdiri dan berjalan. Program-program tersebut dapat di buktikan keabsahannya dalam
berbagai jurnal. Tidak terlupa dengan problem yang berasal dari jantung, program fisioterapi

30
yang kami berikan yaitu passive breathing exercise guna menjaga atau meningkatan kapasitas
vital paru dan pengembangan cavum thorax.

kelainan pada struktur jantung yang dialami pasien An. A sejak lahir, terjadi karena
adanya gangguan pada proses pembentukan dan perkembangan jantung saat janin berada di
dalam kandungan. Meskipun terdapat ratusan tipe kelainan, secara garis besar PJB dapat
dikelompokkan menjadi dua tipe. Tipe pertama disebut dengan PJB biru (sianotik), yaitu jenis
PJB yang menyebabkan warna kebiruan (sianosis) pada kulit dan selaput lendir terutama di
daerah lidah/bibir dan ujung-ujung anggota gerak akibat kurangnya kadar oksigen di dalam
darah. Tipe kedua disebut dengan PJB tidak biru (non-sianotik), yaitu PJB yang tidak
menimbulkan warna kebiruan pada anak. Pada pasien ini diketahui memiliki penyakit penyerta
berupa kelainan pada jantung patent foramen ovale dimana dapat dikategorikan dalam PJB biru
(sianotik). Edukasi yang dapat diberikan pada orangtua pasien yaitu berupa perawatan sehari-hari
seperti pembatasan cairan, pembatasan garam, menjaga kebersihan mulut dan gigi, mencegah
infeksi, serta menjaga konsumsi gizi anak agar dapat mencapai berat badan yang normal sesuai
anak seusianya.

Berat badan pada pasien An. A masih belum mencapai berat badan normal yaitu sebesar
6,8kg hal tersebut dapat dikarenakan adanya penyakit penyerta atau juga dapat dikarenakan oleh
orangruanya yang kurang memenuhi gizi pada anak tersebut. Maka dari itu perlu dilakukan
edukasi pada orangtua untuk memberikan konsumsi makanan yang bergizi seimbang serta
mengkonsulkan pada dokter jantung mengenai dosis makanan serta obat-obatan yang sesuai
dengan kondisi pasien saat ini agar dapat mencegah komplikasi penyakit lain serta agar dapat
menunjang pertumbuhan pada anak tersebut.

31
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penulisan dan pembahasan di atas maka kesimpulan yang dapat di

ambil adalah bahwa pemberian Neuro Developmental Treatment (NDT), Latihan berdiri

dan berjalan ,propioseptif, postural control dan latihan lainnya yang dilakukan sesuai

dosis yang tepat dinilai mampu mengurangi problem yang dialami oleh penderita pada

pasien down syndrome terutama dalam memperbaiki postur, Latihan berdiri tegak , berjalan

dan postural control yang benar.

5.2 Saran

Untuk mendapatkan hasil optimal dalam terapi, dibutuhkan motivasi tinggi dari dalam

diri pasien sendiri serta kerja sama dari berbagai pihak. Pihak-pihak tersebut diantaranya

okupasi terapi, terapi wicara, psikologi, ahli gizi dan yang paling penting adalah support

dari keluarga secara langsung dalam tiap sesi latihan dan pemberian home program dan

edukasi yang sesuai dengan kondisi pasien

32
DAFTAR PUSTAKA

Arumugam A, Raja K, Venugopalan M, Chandrasekaran B, Kovanur Sampath K,


Muthusamy H, et al. Down syndrome—A narrative review with a focus on
anatomical features. Clin Anat. 2016;29(5):568–77.

Briggs LE, Kakarla J, Wessels A. The pathogenesis of atrial and atrioventricular septal
defects with special emphasis on the role of the dorsal mesenchymal protrusion.
Differentiation [Internet]. 2012;84(1):117–30. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.diff.2012.05.006

de Rubens Figueroa J, del Pozzo Magaña B, Pablos Hach JL, Calderón Jiménez C,
Castrejón Urbina R. Heart malformations in children with Down syndrome. Rev
Española Cardiol. 2003;56(09):894–9.

Enea-Drapeau C, Carlier M, Huguet P. Implicit theories concerning the intelligence of


individuals with Down syndrome. PLoS One. 2017;12(11):1–12.

Epstein CJ. The consequences of chromosome imbalance. Am J Med Genet.


1990;37(SUPPL. 7):31–7.

irwanto, henry wicaksono, aini riefa, sunny mariana samosir. A-Z Sindrom Down.
irwanto, editor. airlangga university press;

Mégarbané A, Noguier F, Stora S, Manchon L, Mircher C, Bruno R, et al. The intellectual


disability of trisomy 21: Differences in gene expression in a case series of patients
with lower and higher IQ. Eur J Hum Genet. 2013;21(11):1253–9

Malak R, Kostiukow A, Krawczyk-Wasielewska A, Mojs E, Samborski W. Delays in


motor development in children with down syndrome. Med Sci Monit.
2015;21:1904–10.

Morais, K., Fiamenghi-Jr, G., Campos, D. and Blascovi-Assis, S., 2016. Profile of
physiotherapy intervention for Down syndrome children.

33
Potier MC, Reeves RH. Editorial: Intellectual disabilities in down syndrome from birth and
throughout life: Assessment and treatment. Front Behav Neurosci. 2016;10(JUN):1–4.

Saunders KJ. Down syndrome. Clin Cases Eye Care. 2018;158–63.

Spanò M, Mercuri E, Randò T, Pantò T, Gagliano A, Henderson S, et al. Motor and


perceptual-motor competence in children with Down syndrome: Variation in
performance with age. Eur J Paediatr Neurol. 1999;3(1):7–14.

Uyanik, M. and Kayihan, H., 2014. Down Syndrome: Sensory Integration, Vestibular
Stimulation and Neurodevelopmental Therapy Ap-proaches for
Children. ResearchGate,.

Watson-Scales S, Kalmar B, Lana-Elola E, Gibbins D, La Russa F, Wiseman F, et al.


Analysis of motor dysfunction in Down Syndrome reveals motor neuron
degeneration. PLoS Genet. 2018;14(5).

Zhang H, Liu L, Tian J. Molecular mechanisms of congenital heart disease in down


syndrome. Genes Dis [Internet]. 2019;6(4):372–7. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.gendis.2019.06.007

https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-down-
syndrom-2019-1.pdf

34
35
Management Fisioterapi pada Down Syndrome

Kelompok E – D4

Ibadillah Ayu W 151710283003


Adi Wicaksono 151710283010
Larasati 151710283012
Aldilla R. J 151710283021
Eri Karuniawati 151710283027
DEFINISI DOWN SYNDROME

Down Syndrome merupakan kelainan genetik yang dikaitkan


dengan perubahan neuropatologis baik dalam proses proliferasi
ataupun diferensiasi neuron, kelainan tersebut menyebabkan
kelebihan jumlah pada kromosom 21, sehingga terjadi imbalance
genetic atau kelebihan dosis gen kromosom 21 yang memicu
penurunan jumlah sel saraf pada SSP, keterlambatan mielinisasi,
gangguan pengaturan siklus sel, dan produksi protein berlebih
serta neurotransmisi yang tidak normal.
EPIDEMIOLOGI DOWN SYNDROME

Prevalensi terjadinya down syndrome di seluruh dunia adalah 1:800 kelahiran. Di


Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2010
sebesar 0,12% pada anak usia 24-59 bulan. Jumlah tersebut semakin meningkat
hingga 0,21% pada tahun 2018 dengan usia harapan hidup mencapai 65 tahun.
Gender/jenis kelamin laki-laki lebih banyak mengidap down syndrome yaitu 0,8%
pada anak laki-laki dan 0,6% pada anak perempuan, namun pada 2017 angka
tersebut mengalami kesimbangan antara perempuan dan laki-laki.
KLASIFIKASI DOWN SYNDROME

Trisomi 21 klasik Translokasi Mosaik

Paling sering terjadi di mana terdapat Tambahan kromosom 21 melepaskan Paling jarang terjadi, hanya beberapa sel
tambahan pada kromosom 21. Angka diri pada saat pembelahan sel dan yang memiliki trisomi 21. Bayi yang lahir
kejadian klasifikasi ini sekitar 94% dari menempel pada kromosom yang dengan down Syndrome mosaik akan
semua penderita down syndrome. lainnya dan dapat menempel pada memiliki gambaran klinis dan masalah
kromosom 13, 14, 15, dan 22. Terjadi kesehatan yang lebih ringan
sekitar 3-4% dari seluruh penderita dibandingkan bayi dengan down
down syndrome dan dapat diturunkan syndrome trisomi 21 klasik dan
dari orang tua kepada anaknya. translokasi. Terjadi sekitar 2-4% dari
seluruh penderita down syndrome.
ETIOLOGI DOWN SYNDROME

Down syndrome terjadi karena kelainan susunan kromosom ke-21, dari 23


kromosom manusia. Pada manusia normal, 23 kromosom tersebut berpasang-
pasangan hingga berjumlah 46. Pada penderita down syndrome, kromosom 21
tersebut berjumlah tiga (trisomi), sehingga total menjadi 47 kromosom. Penyebab
lainnya adalah anaphase lag, yaitu kegagalan dari kromosom atau kromatid untuk
bergabung ke salah satu nukleus anak yang terbentuk pada pembelahan sel,
sebagai akibat dari terlambatnya perpindahan atau pergerakan selama anafase.
selain itu dapat disebabkan karena oosit mengalami non-disjunction (salah satu
pasang sel tidak membelah, ditandai dengan kegagalan meiosis -> pembelahan
sel tidak merata -> gamet kelebihan satu kromosom -> trisomi 21
FAKTOR DOWN SYNDROME

Infeksi Virus Radiasi


Rubela merupakan salah satu jenis infeksi virus tersering pada Merupakan salah satu penyebab dari nondisjunctinal pada down
prenatal yang bersifat terpatogen lingkungan yang dapat syndrome. Sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan down
memengaruhi embriogenesis dan mutasi gen sehingga syndrome pernah mengalami radiasi di daerah perut sebelum
menyebabkan perubahan jumlah maupun struktur kromosom. terjadinya konsepsi

Penuaan Sel Telur Usia Ibu

Saat wanita memasuki usia tua, kondisi sel telur menjadi kurang Wanita dengan usia lebih dari 35 tahun lebih berisiko melahirkan
baik, sehingga pada saat dibuahi, akan mengalami pembelahan bayi dengan Down syndrome. Perubahan endokrin secara
yang salah. Selain itu disebabkan oleh keterlambatan pembuahan mendadak pada saat sebelum dan selama menopause, dapat
akibat penurunan aktifitas seksual pada pasangan tua meningkatkan kemungkinan terjadinya nondisjunction.
GAMBARAN KLINIS DOWN SYNDROME

Lokasi Karakteristik Frekuensi (%) Leher a.Pendek a.70%


b.Lipatan kulit
Kepala Bracisephali 75 % b. 60%-87%
Mata a.Oblique palpebral a.85%-98% a.Kelainan iga ke- 12
Dada a.15%-26%
fissure b.Pectus excavatum
b.57%-79% b.14%-18%
b.Lipatan epicantus c. Pectus carinatum
c. Brushfield spot c. 35%-75% c. 6%-11%

Abdomen Hernia umbilicus 89%


Hidung Jembatan hidung rata 83%-87% Ekstrimitas a.Tangan lebar, jari a.38%-61%
pendek
Telinga Kecil, letak rendah 34%-43% b.57%-60%
b.Simian crease
Mulut a.Kecil, selalu terbuka a.40%-65% c.51%
c.Jari manis pendek
b.Sudut bibir ke
b.84% d.Jari manis tertekuk d.43%-51%
bawah
c.38%-58% ke dalam
c.Lidah besar e. 64%-96%
e.Jarak antar jari
d.Lidah menjulur d.22% lebar
keluar
PROBLEMATIKA DOWN SYNDROME

➢ Keterlambatan Perkembangan Motorik Ketika perkembangan sistem saraf pusat


Struktur dan fungsi otak terganggu sehingga menyebabkan terhambat, sistem muskuloskeletal akan
perkembangan psikomotor yang terbelakang. Gangguan mengalami gangguan karena tonus otot yang
psikomotor dipengaruhi oleh 3 hal berikut : rendah, adanya laxity, dan instability sendi maka
1. Perubahan ukuran dan jumlah neuron serta perubahan hal ini menyebabkan keterlambatan kemampuan
ukuran cerebrum motorik.
2. Gangguan maturasi pada sistem saraf pusat (SSP)
3. Proses patofisiologi Keterlambatan kemampuan motorik seperti berdiri
• Adanya proses degeneratif pada sistem saraf pusat dan berjalan disebabkan karena ukuran dan
(SSP) volume otak yang terganggu proses maturasinya,
• Gangguan regulasi pada apoptosis neuronal khususnya cerebellum. Cerebellar hypoplasia
• Overexpression dari gen dengan kode amyloid precursor menyebabkan reaksi keseimbangan yang buruk
protein (APP)
• Adanya proses yang menyebabkan penurunan
pengeluaran transmitter
PROBLEMATIKA DOWN SYNDROME

➢ Kelainan Jantung Bawaan


Merupakan salah satu manifestasi dari down syndrome. Kelebihan pada
kromosom 21 menyebabkan overexpression pada intercellular mucopretein
sebelum perkembangan dari dinding endocardial, meningkatkan resiko
adhesi di antara sel dan menyebabkan fusi endocardial dan menyababkan
AVSD (atrioventrikular septal defect). Salah satu jenis AVSD adalah patent
foramen ovale (PFO), yaitu kelainan pada foramen ovale yang tidak
menutup sejak lahir. Hal ini menyebabkan adanya lubang di antara atrium
kanan dan kiri.
STATUS KLINIS
KETERANGAN UMUM PENDERITA

NO REGISTER : 12732

NAMA : An. A

UMUR : 2 Tahun

JENIS KELAMIN : Perempuan

AGAMA : Islam

ALAMAT : Surabaya

PEKERJAAN :-
DATA-DATA MEDIS RUMAH SAKIT

Diagnosa
Down Syndrome + Neonatus aterm + patent foramen ovale

Catatan Medis
• 1 Maret ibu menjalani operasi Caesar di RS Wiyung Sejahtera
• 8 Maret diduga terdapat masalah di paru dan jantung, dirujuk ke RS
Dr. Soetemo, ditempatkan di RKL 2 minggu dan dilakukan foto
thorax.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium (08 Maret 2019) Hasil Foto (08 Maret 2019)


Foto Thorax AP
No Nama Test Hasil Nilai Normal (asimetris):
Kesan : keradangan
1 GDA 92 mg/dL 100-126 paru, secara radiologis
2 PTT 10,1 detik 9-12 ukuran jantung dalam
3 APTT 19,1 detik 23-33 batas normal
4 Kalium 3,9 mmol/l 3,5-5,1
5 Natrium 10 mg/dL 9-11 Foto BOF :
6 Hemoglobin 13 gram/dL 9-15 Kesan : foto BOF tak
tampak kelainan
Hasil Konsultasi
-poli penyakit dalam : disarankan untuk melakukan tindakan
operasi kateterisasi untuk patent foramen ovalenya
-Poli tumbuh kembang : didiagnosa down syndrome sejak lahir
dan dikonsulkan ke poli rehab
- Poli rehab medik : disarankan tindakan therapeutic exercise

Tindakan Medis
Therapeutic exercise
PEMERIKSAAN FISIOTERAPI

Anamnesis (Heteroanamnesa)
Keluhan Utama : Trunk control belum maksimal, belum mampu berdiri tegak
Riwayat Penyakit Sekarang : Selama kehamilan tidak ada keluhan apapun, perkiraan bayi lahir pada
tanggal 15 maret namun pada tanggal 1 Maret sudah lahir dikarenakan ketuban pecah, sejak lahir anak
didiagnosa down syndrome dan anak belum mampu berkomunikasi secara verbal namun saat diajak
berinteraksi anak dapat merespon dengan menoleh maupun dengan gerakan-gerakan lainnya. Orang
tua anak operasi Caesar di RS Wiyung sejahtera 1 minggu kemudian dirujuk ke RSUD Soetomo 2
minggu di tempatkan di RKL, oleh dokter didiagnosa anak tersebut mengalami kelainan pada jantung +
down syndrome dan anak disarankan untuk melakukan terapi pada usia 3 bulan, selama terapi
difokuskan kearah kemampuan berdiri tegak dan berjalan
Riwayat Penyaki Dahulu: Tidak ada
Riwayat Pre Natal : Selama kehamilan ibu rutin melakukan cek
kehamilan dan tidak pernah mengalami trauma jatuh saat kehamilan
Riwayat Natal : Riwayat Tumbuh Kembang :
Pasien lahir secara caesar dengan usia kehamilan 36 mengangkat kepala : 4 bulan
minggu (prematur) , pasien menangis spontan. membalikkan badan : 7 bulan
BBL : 2000 gram (BBLR) bicara : belum bisa bicara
TBL : 45 cm duduk : 10 bulan
Riwayat Post Natal : perkembangan motorik dan merangkak : 1 tahun
verbal pasien mengalami keterlambatan, memiliki Status Sosial :
kelainan pada jantung patent foramen ovale pasien kesulitan dalam berinteraksi sosial dan
Riwayat Penyakit Ibu : hipertensi berbicara dengan lawan bicaranya
Riwayat Imunisasi : Lengkap pasien tinggal bersama dengan ibu dan ayahnya
Riwayat Nutrisi :
nutrisi ASI : 12 bulan
susu formula : sejak 6 bulan, frekuensi 8-10x perhari
(ukuran botol 260ml)
bubur susu : sejak usia 6 bulan, frekuensi 2-3x sehari
nasi tim : sejak usia 8 bulan, frekuensi 2-3x sehari
PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan Tanda Vital

KESADARAN :4-2-6
TENSI : 110/70 MmHg
NADI : 90x/menit
TEMPERATUR :36,5o C
TINGGI BADAN :67 cm
BERAT BADAN :6,8 kg
FREKUENSI PERNAFASAN :25x/menit
PEMERIKSAAN UMUM

INSPEKSI PALPASI
Statis Suhu akral dalam batas normal
Wajah tampak mongoloid Kesan kontur otot lembek (hipotonus)
Hidung tampak kecil mendatar
Dada tampak pectus excavates (cekung ke dalam ) PERKUSI
pasien drooling Tidak dilakukan
wajah pasien kurang ekspresif
tidak tampak kebiruan pada kulit dan kuku AUSKULTASI
postur pasien cenderung kurus Auskultasi jantung menunjukkan suara jantung ke-
2 (katup semilunar) melebar dan menetap pada
Dinamis saat inspirasi maupun ekspirasi disertai bising
pasien belum mampu berdiri dengan tegak dan berjalan ejeksi sistolik di daerah pulmonal
Ada kontak mata (sumeh) dan menanggapi saat dipanggil
namanya
Pasien cenderung aktif
Adanya laxity
.
PEMERIKSAAN GERAK

Aktif : Pasien mampu menggerakkan AGA dan AGB D/S Full ROM
dengan kesan kekuatan otot ≥ 3 tanpa nyeri.
Pasif : AGA dan AGB D/S dapat digerakkan melebihi Full ROM tanpa
nyeri. Endfeel soft.
PEMERIKSAAN KHUSUS

1. Reflex Perkembangan Motorik


Equilibrium (level cortical) Hasil
Reflex primitive (level spinal) Hasil Equilibrium reaction supine +
Rooting reflex - Equilibrium reaction prone +
Sucking reflex - Equilibrium reaction sitting +
Palmar mandibular réflex -
Palmar grasp Reflek - Equilibrium reaction quadripedal +
Moro reflex + Equilibrium reaction see-saw reaction +
Galant reflex + Equilibrium reaction standing -
Plantar grasp +
Babinsky +
Flexor with drawl -
Automatic gait reflex +

Reflex postural (level brainstem) Hasil


ATNR -
Tonic labyrinthine -
STNR -
2. Reflex Fisiologi 4. Tes Hipermobiliti Sendi (Skala beighton)
Reflex Hasil
No Komponen D S
TPR -
BPR - 1 Dorsofleksi dan hiperekstensi pasif 1 1
KPR + MCP V >90°
APR + 2 Aposisi ibu jari ke flexor aspect pada 1 1
lengan bawah
3. Pemeriksaan Kekuatan Otot 3 Hiperekstensi pasif siku >10° 0 0
4 Hiperekstensi pasif lutut >10° 1 1
AGA dan AGB D/S X O T R
Soulder √ - - - 5 Forward flexion trunk dengan lutut full
Elbow √ - - - ekstensi hingga telapak tangan 1
Wrist √ - - - menyenuh lantai
Hip √ - - - Total 7
Knee √ - - -
Ankle √ - - -
Keterangan total:
Head and neck √ - - -
0-3 : Normal
Trunk - - √ - 4-9 : Hypermobility
5. Tes Sensoris 6. Motor Development Milestones In Children With
Komponen Nilai Down Syndrome (age in months).
Auditori 2
Visual 2 Position Normal In A Patient
Taktil 2 Aligns the head in a face-down 3 bulan
2.7 months
Proprioceptive 2 lying position
Taste SDE Vertically controls the head 4.4 months 4 bulan
Smell SDE Pulls to sit 6.0 months 10 bulan
Vestibular 2 Shows support reactions 8.3 months 9 bulan
Is stable when seated 9.7 months 10 bulan
Stands 13.3 months 24 bulan
Keterangan : Rolls over 8.0 months 7 bulan
0= tidak adaa respon Commences independent -
12.2months
1= ada respon tapi salah locomotion
2=ada respon Drags 13.6 months 11 bulan
Crawls 17.7 months 12 bulan
Shuffles 17.9months -
Walks independently 24.1 months -
7. DDST (Denver Developmental Screening Test)

M= meragukan G= Gagal L= Lulus


DIAGNOSA FISIOTERAPI

PROBLEM KEMAMPUAN PROBLEM PARTISIPASI SOSIAL


PROBLEM KAPASITAS FISIK
FUNGSIONAL

• Pasien belum bisa Pasien belum bisa


• Pasien belum stabil saat
berdiri dengan bermain dengan anak
berdiri
seimbang sebayanya, lingkup
• Keseimbangan pasien
• Pasien belum bisa bermain hanya di dalam
berlum cukup baik
• Hipotonus berjalan mandiri rumah saja.
• Terdapat laxity
ICF
Body function
b1470 Psychomotor Control
b1471 Quality Of Psychomotor Functions
b429 Functions of the cardiovascular system, other specified and unspecified
b7158 Stability of joint functions, other specified
Activities and participation
d331 Non-speech vocal expression
Environmental factor
e310 Immediate family
Body structure
s7701 Joints
s7702 Muscles
Tujuan jangka pendek Tujuan jangka panjang

• Mampu berdiri serta berjalan


• Keseimbangan pasien semakin baik
• Perkembangan motorik berkembang sesuai
• Menghindari cedera laxity pada sendi
development milestone
• Menjaga tonus otot agar tetap normal
Underlying
Process
27
RENCANA TINDAKAN

1. Breathing exercise
Tujuan : untuk meningkatkan pengembangan cavum thorax
2. Balance And Stability Exercise
Tujuan: untuk meningkatkan keseimbangan pasien serat meningkatkan kemampuan otot-otot trunk
3. Postural Control
Tujuan : untuk meningkatkan keseimbangan pasien, melatih ekstensor muscle dan motor development
4. Latihan Berdiri
Tujuan : untuk meningkatkan kemampuan pasien dalam duduk ke berdiri
5. Latihan Berjalan
Tujuan: untuk melatih kemampuan berjalan
RENCANA TINDAKAN

6. Motor Coordination
Tujuan : untuk melatih kemampuan motoric kasar yang lebih kompleks misalnya berjalan
7. Proprioceptive stimulation of joints
Tujuan: Untuk memfasilitasi postural tonus sehingga dapat mengurangi laxity
8. NDT (neuro developmental treatment)
Tujuan: untuk meningkatkan tonus otot melalui proprioceptive dan taktil
9. Stimulasi Oromotor
Tujuan : untuk menstimulasi bicara
10. Edukasi
Tujuan : untuk menunjang keberhasilan terapi dan memperhatikan nutrisi anak
PENATALAKSANAAN

1. Passive Breathing Exercise (masing-masing 3x repetisi)


Pelaksanaan terapi meliputi:
a. Pernafasan pada daerah apical costa
Posisi pasien tidur terlentang atau half laying dengan support sempurna. Terapis meletakkan ujung-
ujung jari tangan dibawah clavikula. Pada saat inspirasi tekanan dikendorkan dan saat akhir ekspirasi
terapis membantu mengarahkan sesuai gerakan jalan nafas.
b. Pernafasan pada daerah upper costa
Posisi pasien tidur terlentang atau half laying dengan support sempurna. Pada saat ekspirasi terapis
membantu menekan pada daerah upper disamping lateral kearah medial.
c. Pernafasan pada daerah lower costa
Posisi pasien tidur terlentang. Pada akhir pernafasan ekspirasi diberi penekanan pada daerah lower
costa.
d. Pernafasan pada daerah diafragma/ abdominal breathing exercise
Posisi pasien tidur terlentang kemudian pada akhir ekspirasi posisi pegang terapis pada sisi latero
ventral dan diberi penekanan pada daerah abdomen
2. Proprioceptive stimulation of joints 4. Exercise With Rocking Horses Or Swing
Posisi pasien: Duduk Posisi pasien: Sitting on the rocking horses or swing
Posisi terapis: Duduk menghadap pasien
Posisi terapis: berada disamping pasien
Pelaksanaan : Terapis memberikan aproksimasi pada area sendi AGA Pelaksanaan: terapis meletakkan tangan pasien agar
dan AGB berpegangan pada mainannya tersebut kemudian terapis
Tujuan : Unuk memfasilitasi postural tonus sehingga dapat mengayunkan swing atau rocking horses secara perlahan.
mengurangi laxity Tujuan : untuk meningkatkan keseimbangan pasien,
melatih ekstensor muscle dan motor development
3. Exercise With Gymball

Posisi pasien: duduk di atas gymball


Posisi terapis: berada di distal anak memberikan fiksasi pada hip
Pelaksanaan : terapis menggoyang-goyangkan gymball ke segala arah
Tujuan : untuk meningkatkan keseimbangan pasien serta
meningkatkan kemampuan otot-otot trunk
5. Exercise With Bouncing-Jumping Activities 6. Exercise Sit To Stand
Posisi pasien : Sit/kneeling/standing (secara bergantian) Posisi pasien : duduk
Posisi terapis : berada dibelakang pasien
Posisi terapis : berada belakang pasien
Pelaksanaan : terapis meletakkan tangan pasien agar Pelaksanaan : terapis memegang pelvic kemudian mengarahkan
berpegangan pada pegangan tersebut kemudian terapis pelvic untuk ke posisi kneeling, kemudian mengulangi gerakan tersebut
mengayunkan memantulkan pasien secara perlahan. beberapa kali. Untuk tahap awal bisa dibantu dengan memberikan
Tujuan : untuk meningkatkan keseimbangan pasien, meja kecil untuk membantu anak dalam berdiri.
melatih ekstensor muscle dan motor development Tujuan : untuk meningkatkan kemampuan pasien dalam duduk
ke berdiri
7. Exercise Keseimbangan Posisi Berdiri 8. Exercise Standing To Walk
Posisi pasien : Berdiri Posisi pasien : Berdiri
Posisi terapi : Dibelakang pasien
Posisi terapi : Dibelakang pasien
Pelaksanaan : Terapis memegang pada bagian pelvic, Pelaksanaan : Terapis memegang pada bagian pelvic, kemudian terapis
kemudian terapis menggerakkan pelvic pasien ke berbagai arah menggerakkan pelvic untuk berjalan secara perlahan
Tujuan : untuk melatih kemampuan berdiri Tujuan : untuk melatih kemampuan berjalan
9. Exercise With Pushing Activities 10. Equilibrium Exercise With Stairs
Posisi pasien : berdiri Posisi pasien : berdiri
Posisi terapis : berada dibelakang pasien
Posisi terapis : berada dibelakang pasien
Pelaksanaan : terapis meletakkan tangan pasien agar Pelaksanaan : terapis meletakkan tangan pasien agar menggenggam
menggenggam pegangan pada mainan tersebut, kemudian terapis pegangan tangga kemudian terapis memegang pelvic pasien kemudian
memegangi bagian pelvic pasien dan mengarahkannya untuk mengarahkannya untuk menaiki anak tangga satu persatu
berjalan secara perlahan Tujuan : untuk meningkatkan equilibrium reactions serta
Tujuan : untuk meningkatkan kemampuan berjalan serta meningkatkan kemampuan otot-otot trunk
melatih ekstensor muscle dan motor development.

Dosis untuk masing-masing


latihan yaitu : 12 repetisi 3 set, 2
menit rest in between, total
waktu latihan, kurang lebih 45
menit
11. Stimulasi Oromotor 12. Edukasi
Posisi pasien : duduk bersandar/ berbaring -menganjurkan untuk memberi anak makan makanan yang bergizi
Posisi terapis : disebelah pasien
supaya berat badannya dapat meningkat
Pelaksanaan : pada kasus ini dapat menggunakan -bermain dengan memposisikan mainan di atas agar anak berusaha
-makanan bertekstur seperti biscuit sayur dan buah, meraih mainan tersebut,
-mainan kenyal untuk menstimulasi mengunyah, - latihan berjalan dengan bantuan orang tua menggunakan kedua
-mainan kincir aingin untuk ditiup, tangan,
-massase sekitar wajah, bahu, lengan dan leher -berjalan dengan mendorong mainan seperti push walker,
-massase pipi dan area sekitar mulut dengan gerakan melingkar
-sering diajak komunikasi.
dan naik/turun untuk menstimulasi otot rahang
Tujuan : untuk menstimulasi bicara, untuk
gangguan swallowing dan breathing
EVALUASI

[01 Maret 2021] Reflex perkembangan motorik


S : Belum bisa berdiri mandiri
O : GCS : 4-2-6 Equilibrium (level cortical) Hasil
Tensi : 100/70 MmHg Equilibrium reaction supine +
Nadi : 90x/menit
Equilibrium reaction prone +
Suhu : 36,5o C
BB : 8 kg Equilibrium reaction sitting +
TB : 45 cm Equilibrium reaction
+
MMT : quadripedal
AGA dan AGB D/S X O T R Equilibrium reaction see-saw
+
Soulder √ - - - reaction
Elbow √ - - -
Wrist √ - - - Equilibrium reaction standing -
Hip √ - - -
Knee √ - - -
Ankle √ - -
Head and neck √ - - -
Trunk - - √ -
A : Down Syndrome + Neonatus aterm + [1 April 2021]
S : Sudah bisa berjalan dengan berpegangan
patent foramen ovale
O :GCS : 4-2-6
P: Tensi : 105/70 MmHg
1. Passive Breathing Exercise Nadi : 92x/menit
2. NDT (neuro developmental treatment) Suhu : 36,0o C
3. Balance and stability exercise BB : 9 kg
4. Postural control TB : 45 cm
5. Latihan berdiri AGA dan AGB D/S X O T R
MMT Soulder √ - - -
6. Latihan berjalan Elbow √ - - -
7. Motor coordination Wrist √ - - -
8. Stimulasi Oromotor Hip √ - - -
Knee √ - - -
9. Edukasi
Ankle √ - - -
Head and neck √ - - -
Trunk √ - - -
Reflex Perkembangan Motorik
Equilibrium (level cortical) Hasil
Equilibrium reaction supine +
Equilibrium reaction prone +
Equilibrium reaction sitting +
Equilibrium reaction +
quadripedal
Equilibrium reaction see-saw +
reaction
Equilibrium reaction standing +

A : Down Syndrome + Neonatus aterm + patent foramen ovale


PROGNOSA

Quo et vitam : baik


Quo et sanam : dubia
Quo et functionam : baik
Quo et cosmeticam : baik
RESUME
Pasien atas nama an. A dengan diagnosa Down Syndrome +
Neonatus aterm + patent foramen ovale setelah dilakukan
pemeriksaan didapatkan problem pasien belum stabil saat
berdiri, keseimbangan pasien berlum cukup baik,
hipotonus, terdapat laxity. Pasien juga belum bisa berdiri
dengan seimbang, pasien belum bisa berjalan mandiri, dan
pasien belum bisa bermain dengan anak sebayanya,
lingkup bermain hanya di dalam rumah saja. Kemudian
diberikan intervensi fisioterapi berupa passive breathing
exercise, proprioceptive stimulation of joints, exercise
with gymball, exercise with rocking horses or swing,
exercise with bouncing-jumping activities, exercise sit to
stand, exercise keseimbangan posisi berdiri, exercise
standing to walk, exercise with pushing activities, dan
equilibrium exercise with stairs. Didapatkan hasil
Keseimbangan pasien semakin baik, laxity pada sendi tidak
bertambah, pasien sudah bisa berdiri mandiri dan berjalan
dengan berpegangan.
DAFTAR PUSTAKA
Arumugam A, Raja K, Venugopalan M, Chandrasekaran B, Kovanur Sampath K, Muthusamy H, et al. Down syndrome—A narrative review with a focus on anatomical
features. Clin Anat. 2016;29(5):568–77.
Briggs LE, Kakarla J, Wessels A. The pathogenesis of atrial and atrioventricular septal defects with special emphasis on the role of the dorsal mesenchymal
protrusion. Differentiation [Internet]. 2012;84(1):117–30. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.diff.2012.05.006
de Rubens Figueroa J, del Pozzo Magaña B, Pablos Hach JL, Calderón Jiménez C, Castrejón Urbina R. Heart malformations in children with Down syndrome. Rev
Española Cardiol. 2003;56(09):894–9.
Epstein CJ. The consequences of chromosome imbalance. Am J Med Genet. 1990;37(SUPPL. 7):31–7.
irwanto, henry wicaksono, aini riefa, sunny mariana samosir. A-Z Sindrom Down. irwanto, editor. airlangga university press;
Malak R, Kostiukow A, Krawczyk-Wasielewska A, Mojs E, Samborski W. Delays in motor development in children with down syndrome. Med Sci Monit. 2015;21:1904–
10.
Saunders KJ. Down syndrome. Clin Cases Eye Care. 2018;158–63.
Spanò M, Mercuri E, Randò T, Pantò T, Gagliano A, Henderson S, et al. Motor and perceptual-motor competence in children with Down syndrome: Variation in
performance with age. Eur J Paediatr Neurol. 1999;3(1):7–14.
Watson-Scales S, Kalmar B, Lana-Elola E, Gibbins D, La Russa F, Wiseman F, et al. Analysis of motor dysfunction in Down Syndrome reveals motor neuron
degeneration. PLoS Genet. 2018;14(5).
Zhang H, Liu L, Tian J. Molecular mechanisms of congenital heart disease in down syndrome. Genes Dis [Internet]. 2019;6(4):372–7. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.gendis.2019.06.007
https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-down-syndrom-2019-1.pdf
Uyanik, M. and Kayihan, H., 2014. Down Syndrome: Sensory Integration, Vestibular Stimulation and Neurodevelopmental Therapy Ap-proaches for
Children. ResearchGate,.
Morais, K., Fiamenghi-Jr, G., Campos, D. and Blascovi-Assis, S., 2016. Profile of physiotherapy intervention for Down syndrome children.

Anda mungkin juga menyukai