HALAMAN JUDUL
Oleh
FAKULTAS VOKASI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2021
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Down sindrom mempunyai ciri-ciri terdapat muscle hypotenia, Terdapat, Bentuk mata
yang ke atas, telinga Mongoloid face berbentuk dysplastic, Pada telapak tangan terdapat
satu garis horizontal (Simian Crease ) Hyperflexibility pada area persendian,n Matanya
cenderung juling, Lidah besar tidak sebanding dengan mulut sehingga menyebabkan
mengluarkan liur berlebih (Ngiler), Jarak yangbberlebih antara jempol kaki dan telunjuk
kaki, Terdapat lipatan pada dalam ujung mata (Epicanthal folds).
Pasien dengan diagnose down sindrom beresiko meningkat dan mengembangkan
sejumlah penyakit komorbid (Bull, 2011). Dan menyebabkan berbagai komplikasi
misalnya Hipotiroidisme, Subfertilitas, Infeksi pernapasan berulang, Gangguan
pendengaran dari telinga lem, Ketidakstabilan atlantoaxial, Spondylosis serviks.
Demensia Alzheimer, Epilepsi, Apnoea tidur obstruktif, Obesitas, dan Osteoporosis.
2
Pada kasus ini pasien mengalami gangguan terhadap berdiri dan berjalan. Hal ini yang
melatar belakangi makalah ini
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang kasus tersebut maka rumusan masalah yang didapatkan
1. Bagaimana penatalaksanaan fisioterapi pada downsyndrome dengan gangguan
berdiri dan berjalan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Sedangkan prevalensi down syndrome di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) pada tahun 2010 sebesar 0,12% pada anak usia 24-59 bulan. Jumlah
tersebut semakin meningkat hingga 0,21% pada tahun 2018 dengan usia harapan hidup
mencapai 65 tahun. Gender/ jenis kelamin laki-laki lebih banyak mengidap down
syndrome, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 0,8 % pada anak laki-laki dan
0,6% pada anak perempuan, namun pada 2017 angka tersebut mengalami kesimbangan
antara perempuan dan laki-laki.
5
2.4 Etiologi Dan Faktor Resiko Down Syndrome
Down syndrome terjadi karena kelainan susunan kromosom ke-21, dari 23
kromosom manusia. Pada manusia normal, 23 kromosom tersebut berpasang-pasangan
hingga berjumlah 46. Pada penderita down syndrome, kromosom 21 tersebut berjumlah
tiga (trisomi), sehingga total menjadi 47 kromosom (Irwanto dkk, 2019). Kelebihan satu
salinan kromosom 21 di dalam genom dapat berupa kromosom bebas yaitu trisomi 21
murni, bagian dari fusi translokasi Robertsonian yaitu fusi kromosom 21 dengan
kromosom akrosentrik lain, ataupun dalam jumlah yang sedikit sebagai bagian dari
translokasi resiprokal yaitu timbal balik dengan kromosom lain. Penyebab lainnya adalah
anaphase lag, yaitu kegagalan dari kromosom atau kromatid untuk bergabung ke salah
satu nukleus anak yang terbentuk pada pembelahan sel, sebagai akibat dari terlambatnya
perpindahan atau pergerakan selama anaphase (Irwanto dkk, 2019). Kromosom yang
tidak masuk ke nukleus sel anak akan menghilang. Ini dapat terjadi pada saat meiosis
ataupun mitosis.
Trisomi 21 dapat terjadi tidak hanya pada saat meiosis pada waktu pembentukan
gamet, tetapi juga saat mitosis awal dalam perkembangan zigot. Oosit primer yang
perkembangannya terhenti pada saat profase meiosis I, tidak berubah pada tahap tersebut
sampai terjadi ovulasi. Di antara waktu tersebut, oosit mengalami non-disjunction (salah
satu pasang sel tidak membelah, dan seluruhnya pergi ke satu lokasi. Ini berarti bahwa
dalam sel-sel yang dihasilkan, seseorang akan memiliki 24 kromosom dan yang lain
hanya akan memiliki 22 kromosom). Jika sperma atau sel telur dengan jumlah kromosom
yang abnormal menyatu dengan pasangan normal, sel telur yang dibuahi akan memiliki
jumlah kromosom yang abnormal. Beberapa faktor yang dapat meningkakan resiko
terjadinya down syndrome diantaranya (Irwanto dkk, 2019) :
a. Infeksi Virus
Rubela merupakan salah satu jenis infeksi virus tersering pada prenatal yang
bersifat teratogen lingkungan yang dapat memengaruhi embriogenesis dan mutasi gen
sehingga menyebabkan perubahan jumlah maupun struktur kromosom.
b. Radiasi
Radiasi merupakan salah satu penyebab dari nondisjunctinal pada down
syndrome. Sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan down syndrome pernah
mengalami radiasi di daerah perut sebelum terjadinya konsepsi. Kejadian reaktor
6
atom Chernobyl pada tahun 1986 dikatakan merupakan penyebab beberapa kejadian
down syndrome di Berlin.
c. Penuaan Sel Telur
Sel telur wanita telah dibentuk pada saat masih dalam kandungan yang akan
dimatangkan satu per satu setiap bulan pada saat wanita tersebut mengalami
menstruasi. Pada saat wanita memasuki usia tua, kondisi sel telur tersebut terkadang
menjadi kurang baik, sehingga pada saat dibuahi oleh spermatozoa, sel benih ini
mengalami pembelahan yang salah. Proses selanjutnya disebabkan oleh keterlambatan
pembuahan akibat penurunan aktifita seksual pada pasangan tua. Faktor selanjutnya
disebabkan oleh penuaan sel spermatozoa laki-laki dan gangguan pematangan sel
sperma itu sendiri di dalam epididimis yang akan berefek pada gangguan motilitas sel
sperma itu sendiri juga dapat berperan dalam efek ekstra kromosom 21 yang berasal
dari ayah.
d. Usia Ibu
Wanita dengan usia lebih dari 35 tahun lebih berisiko melahirkan bayi dengan
Down syndrome dibandingkan dengan ibu usia muda (kurang dari 35 tahun). Angka
kejadian Down syndrome dengan usia ibu 35 tahun, sebesar 1 dalam 400 kelahiran.
Sedangkan ibu dengan umur kurang dari 30 tahun, sebesar kurang dari 1 dalam 1000
kelahiran. Perubahan endokrin seperti peningkatan sekresi androgen, penurunan kadar
hidroepiandrosteron, penurunan konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi
reseptor hormon, peningkatan hormone LH (Luteinizing Hormone) dan FSH
(Follicular Stimulating Hormone) secara mendadak pada saat sebelum dan selama
menopause, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya nondisjunction.
7
b. Sudut bibir ke bawah b. 84%
c. Lidah besar c. 38%-58%
d. Lidah menjulur keluar d. 22%
Leher a. Pendek a. 70%
b. Lipatan kulit b. 60%-87%
Dada a. Kelainan iga ke- 12 a. 15%-26%
b. Pectus excavatum b. 14%-18%
c. Pectus carinatum c. 6%-11%
Abdomen Hernia umbilicus 89%
Ekstrimitas a. Tangan lebar, jari pendek a. 38%-61%
b. Simian crease b. 57%-60%
c. Jari manis pendek c. 51%
d. Jari manis tertekuk ke d. 43%-51%
dalam e. 64%-96%
e. Jarak antar jari lebar
Tabel 2.1 persentase gambaran klinis down syndrome menurut Epstein CJ 1990 dalam Irwanto dkk, 2019
8
Gangguan regulasi pada apoptosis neuronal
Overexpression dari gen dengan kode amyloid precursor protein (APP)
Adanya proses yang menyebabkan penurunan pengeluaran transmitter
9
AVSD di down syndrome. (Zhang dkk, 2019)
Salah satu jenis AVSD adalah patent foramen ovale (PFO), yaitu kelainan
pada foramen ovale yang tidak menutup sejak lahir. Hal ini menyebabkan adanya
lubang di antara atrium kanan dan kiri. Pada 75% individu, septum secundum dan
septum primum akan menutup ketika paru telah berfungsi yaitu ketika bayi
menghirup nafas biasanya pada 6 bulan-12 bulan setelah lahir, sedangkan 25%
tidak menutup. PFO akan menimbulkan masalah ketika adanya blood clot atau
vena thrombus, hal ini dapat merujuk terjadinya stroke, migraine hebat, dan acute
limb ischemia karena emboli (Briggs dkk, 2012) . PFO menimbulkan gejala
berupa cyanosis ketika bayi dalam kondisi menangis, namun tidak ada gejala lain.
Timbul gejala lain apabila ada kelainan jantung tambahan (Briggs dkk, 2012).
Tatalaksana PFO adalah dengan percutaneous transcatheter closure dan bedah
jantung (Briggs dkk, 2012).
2.6.3 Tingkat Intelegensi
Kelainan trisomi 21 ini berhubungan dangan gangguan intelektual dan
kesulitan dalam belajar (Drapeau dkk, 2017). Kelebihan jumlah kromosom 21 ini
menyebabkan berkembangnya histopatologi penyakit alzaimer (neuritiq plaques
and tangles), yang mana akan meningkatkan resiko dementia (Potier dkk, 2016).
Namun tingkat intelegensi ini bervariasi tergantung dengan kromosom dominan
dari orang tua. Dalam penelitian Megarbane dkk 2013, menyatakan bahwa
terdapat terdapat 2 ekspresi gen yaitu HLA-DQA1 dan HLA-DRB1 yang
overexpression pada down syndrome dengan IQ rendah. Faktor lain yang
menentukan tingkat intelegensi adalah pola belajar, gizi, dan pola asuh anak.
10
BAB III
STUDI KASUS
NO REGISTER : 12732
NAMA : An. A
UMUR : 2 Tahun
AGAMA : Islam
ALAMAT : Surabaya
PEKERJAAN :-
A. DIAGNOSA :
Down Syndrome + Neonatus aterm + patent foramen ovale
B. CATATAN MEDIS :
1 Maret ibu menjalani operasi Caesar di RS Wiyung Sejahtera
8 Maret diduga terdapat masalah di paru dan jantung, dirujuk ke RS Dr. Soetemo,
ditempatkan di RKL 2 minggu dan dilakukan foto thorax.
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
11
2. HASIL FOTO (08 Maret 2019)
Foto BOF :
Kesan : foto BOF tak tampak kelainan
3. HASIL KONSULTASI
-poli penyakit dalam : disarankan untuk melakukan tindakan operasi kateterisasi untuk patent foramen
ovalenya
-Poli tumbuh kembang : didiagnosa down syndrome sejak lahir dan dikonsulkan ke
poli rehab
- Poli rehab medik : disarankan tindakan therapeutic exercise
A. TINDAKAN MEDIS
Therapeutic exercise
12
II. PEMERIKSAAN FISIOTERAPI :
Keluhan Utama : Trunk control belum maksimal, belum mampu berdiri tegak
Riwayat Penyakit Sekarang : Selama kehamilan tidak ada keluhan apapun, perkiraan bayi lahir pada
tanggal 15 maret namun pada tanggal 1 Maret sudah lahir dikarenakan ketuban pecah, pada sejak lahir
anak didiagnosa down syndrome dan anak belum mampu berkomunikasi secara verbal namun saat
diajak berinteraksi anak dapat merespon dengan menoleh maupun dengan gerakan-gerakan lainnya.
Orang tua anak operasi Caesar di RS Wiyung sejahtera 1 minggu kemudian dirujuk ke RSUD
Soetomo 2 minggu di tempatkan di RKL , oleh dokter didiagnosa anak tersebut mengalami kelainan
pada jantung + down syndrome dan anak disarankan untuk melakukan terapi pada usia 3 bulan,
selama terapi difokuskan kearah kemampuan berdiri tegak dan berjalan
Riwayat Pre Natal : Selama kehamilan ibu rutin melakukan cek kehamilan dan tidak pernah
mengalami trauma jatuh saat kehamilan
Riwayat Natal :
Pasien lahir secara caesar dengan usia kehamilan 36 minggu (prematur) , pasien
menangis spontan.
TBL : 45 cm
Riwayat Post Natal : perkembangan motorik dan verbal pasien mengalami keterlambatan, memiliki
kelainan pada jantung patent foramen ovale
Riwayat Nutrisi :
susu formula : sejak 6 bulan, frekuensi 8-10x perhari (ukuran botol 260ml)
13
mengangkat kepala : 4 bulan
duduk : 10 bulan
merangkak : 1 tahun
Status Sosial :
pasien kesulitan dalam berinteraksi sosial dan berbicara dengan lawan bicaranya
B. PEMERIKSAAN FISIK :
PEMERIKSAAN TANDA VITAL
- KESADARAN :4-2-6
- TENSI : 110/70 MmHg
- NADI : 90x/menit
- TEMPERATUR :36,5o C
- TINGGI BADAN :67 cm
- BERAT BADAN :6,8 kg
- FREKUENSI PERNAFASAN :25x/menit
C. PEMERIKSAAN UMUM
INSPEKSI
Statis
Wajah tampak mongoloid
Hidung tampak kecil mendatar
Dada tampak pectus excavates (cekung ke dalam )
pasien drooling
wajah pasien kurang ekspresif
tidak tampak kebiruan pada kulit dan kuku
postur pasien cenderung kurus
Dinamis
pasien belum mampu berdiri dengan tegak dan berjalan
Ada kontak mata (sumeh) dan menanggapi saat dipanggil namanya
Pasien cenderung aktif
Adanya laxity
14
PALPASI
Suhu akral dalam batas normal
Kesan kontur otot lembek (hipotonus)
PERKUSI
Tidak dilakukan
AUSKULTASI
Auskultasi jantung menunjukkan suara jantung ke-2 (katup semilunar) melebar dan menetap pada saat
inspirasi maupun ekspirasi disertai bising ejeksi sistolik di daerah pulmonal.
PEMERIKSAAN GERAK
Aktif : Pasien mampu menggerakkan AGA dan AGB D/S Full ROM dengan kesan kekuatan otot ≥ 3
tanpa nyeri.
Pasif : AGA dan AGB D/S dapat digerakkan melebihi Full ROM tanpa nyeri. Endfeel soft.
D. PEMERIKSAAN KHUSUS (FT. A/FT. B/FT. C/FT. D)
1. Reflex Perkembangan Motorik
Reflex primitive (level spinal) Hasil
Rooting reflex -
Sucking reflex -
Palmar mandibular réflex -
Palmar grasp Reflek -
Moro reflex +
Galant reflex +
Plantar grasp +
Babinsky +
Flexor with drawl -
Automatic gait reflex +
15
Landau +
Parachute +
2. Reflex Fisiologi
Reflex Hasil
TPR -
BPR -
KPR +
APR +
No Komponen D S
16
5 Forward flexion trunk dengan lutut full ekstensi hingga telapak
tangan menyenuh lantai 1
Total 7
Keterangan total:
0-3 : Normal
4-9 : Hypermobility
5. Tes Sensoris
Komponen Nilai
Auditori 2
Visual 2
Taktil 2
Proprioceptive 2
Taste SDE
Smell SDE
Vestibular 2
Keterangan :
0= tidak adaa respon
1= ada respon tapi salah
2=ada respon
17
7. DDST (Denver Developmental Screening Test)
M= meragukan
G= Gagal
L= Lulus
18
III. DIAGNOSA FISIOTERAPI :
PROBLEM KAPASITAS FISIK
Pasien belum stabil saat berdiri
Keseimbangan pasien berlum cukup baik
Hipotonus
Terdapat laxity
ICF
Body function
b1470 Psychomotor Control
b1471 Quality Of Psychomotor Functions
b429 Functions of the cardiovascular system, other specified and unspecified
b7158 Stability of joint functions, other specified
Activities and participation
d331 Non-speech vocal expression
Environmental factor
e310 Immediate family
Body structure
s7701 Joints
s7702 Muscles
19
V. UNDERLYING PROCCESS (Patofisiologi – Penatalaksanaan FT)
20
VI. RENCANA TINDAKAN
1. Breathing exercise
Tujuan : untuk meningkatkan pengembangan cavum thorax
2. Balance And Stability Exercise
Tujuan: untuk meningkatkan keseimbangan pasien serat meningkatkan kemampuan otot-
otot trunk
3. Postural Control
Tujuan : untuk meningkatkan keseimbangan pasien, melatih ekstensor muscle dan motor
development
4. Latihan Berdiri
Tujuan : untuk meningkatkan kemampuan pasien dalam duduk ke berdiri
5. Latihan Berjalan
Tujuan: untuk melatih kemampuan berjalan
6. Motor Coordination
Tujuan : untuk melatih kemampuan motoric kasar yang lebih kompleks misalnya berjalan
7. Proprioceptive stimulation of joints
Tujuan: Untuk memfasilitasi postural tonus sehingga dapat mengurangi laxity
8. NDT (neuro developmental treatment)
Tujuan: untuk meningkatkan tonus otot melalui proprioceptive dan taktil
9. Stimulasi Oromotor
Tujuan : untuk menstimulasi bicara
10. Edukasi
Tujuan : untuk menunjang keberhasilan terapi dan memperhatikan nutrisi anak
21
VII. PELAKSANAAN ( ditambah breathing)
Dosis untuk masing-masing latihan yaitu : 12 repetisi 3 set, 2 menit rest in between, total waktu latihan,
kurang lebih 45 menit
22
4. Exercise With Rocking Horses Or Swing
Posisi pasien : Sitting on the rocking horses or swing
Posisi terapis : berada disamping pasien
Pelaksanaan : terapis meletakkan tangan pasien agar berpegangan pada mainannya tersebut kemudian
terapis mengayunkan swing atau rocking horses secara perlahan.
Tujuan : untuk meningkatkan keseimbangan pasien, melatih ekstensor muscle dan motor
development
23
6. Exercise Sit To Stand
Posisi pasien : duduk
Posisi terapis : berada belakang pasien
Pelaksanaan : terapis memegang pelvic kemudian mengarahkan pelvic untuk ke posisi kneeling,
kemudian mengulangi gerakan tersebut beberapa kali. Untuk tahap awal bisa dibantu dengan memberikan
meja kecil untuk membantu anak dalam berdiri.
Tujuan : untuk meningkatkan kemampuan pasien dalam duduk ke berdiri
24
9. Exercise With Pushing Activities
Posisi pasien : berdiri
Posisi terapis : berada dibelakang pasien
Pelaksanaan : terapis meletakkan tangan pasien agar menggenggam pegangan pada mainan tersebut,
kemudian terapis memegangi bagian pelvic pasien dan mengarahkannya untuk berjalan secara perlahan
Tujuan : untuk meningkatkan kemampuan berjalan serta melatih ekstensor muscle dan motor
development.
25
11. Stimulasi Oromotor
12. Edukasi
-menganjurkan untuk memberi anak makan makanan yang bergizi supaya berat badannya
dapat meningkat
-bermain dengan memposisikan mainan di atas agar anak berusaha meraih mainan tersebut,
26
- latihan berjalan dengan bantuan orang tua menggunakan kedua tangan,
27
A : Down Syndrome + Neonatus aterm + patent foramen ovale
P:
1. Passive Breathing Exercise
2. NDT (neuro developmental treatment)
3. Balance and stability exercise
4. Postural control
5. Latihan berdiri
6. Latihan berjalan
7. Motor coordination
8. Stimulasi Oromotor
9. Edukasi
[1 April 2021]
S : Sudah bisa berjalan dengan berpegangan
O: GCS : 4-2-6
Tensi : 105/70 MmHg
Nadi : 92x/menit
Suhu : 36,0o C
BB : 8,5 kg
TB : 45 cm
MMT
AGA dan AGB
X O T R
D/S
Soulder √ - - -
Elbow √ - - -
Wrist √ - - -
Hip √ - - -
Knee √ - - -
Ankle √ - - -
Head and neck √ - - -
Trunk √ - - -
28
reaction
Equilibrium reaction standing +
IX. PROGNOSA
Quo et vitam : baik
Quo et sanam : dubia
Quo et functionam : baik
Quo et cosmeticam : baik
X. RESUME
Pasien atas nama an. A dengan diagnosa Down Syndrome + Neonatus aterm + patent foramen
ovale setelah dilakukan pemeriksaan didapatkan problem Pasien belum stabil saat berdiri
Keseimbangan pasien berlum cukup baik, hipotonus, terdapat laxity. Pasien juga belum bisa
berdiri dengan seimbang, Pasien belum bisa berjalan mandiri, dan pasien belum bisa bermain
dengan anak sebayanya, lingkup bermain hanya di dalam rumah saja. Kemudian diberikan
intervensi fisioterapi berupa passive breathing exercise, proprioceptive stimulation of joints,
exercise with gymball, exercise with rocking horses or swing, exercise with bouncing-jumping
activities, exercise sit to stand, exercise keseimbangan posisi berdiri, exercise standing to walk,
exercise with pushing activities, dan equilibrium exercise with stairs. Didapatkan hasil
Keseimbangan pasien semakin baik, laxity pada sendi berkurang, pasien sudah bisa berdiri
mandiri dan berjalan dengan berpegangan.
29
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini Down syndrome disertai penyakit jantung bawaan yaitu patent foramen
ovale. Terjadi keterlambatan perkembangan motorik pada An. A, pada usia 2 tahun kemampuan
berdiri dan berjalan belum ada. Keterlamabatan perkembangan motorik disebabkan karena
fungsi otak yang terganggu, pada individu dengan Overexpression kromosom 21 ukuran dan
volume otak terganggu proses maturasinya, menimbulkan manifestasi pskimotor yang
terbelakang, khususnya bagian cerebellum menyebabkan respon kesimbangan yang buruk.
Ketika perkembangan sistem saraf pusat terhambat dan sistem muskuloskeletal akan mengalami
gangguan karena tonus otot yang rendah, adanya laxity, dan instability sendi maka hal ini
berperan penting dalam keterlambatan psikomotor.
Problem pada pasien An. A berfokus pada kemampuan berdiri dan berjalan. Posisi berdiri
akan dapat dicapai ketika adanya kesejajaran postural antara kepala, tulang belakang dan hip,
serta keseimbangan dalam mempertahankan posisi tubuh. Sedangkan kemampuan berjalan
sangat mengandalkan motorkoordinasi yang kompleks. Program fisioterapi pada pasien An. A
difokuskan pada penguatan otot trunk, fasilitasi untuk berdiri, fasilitasi untuk meningkatkan
tonus menjadi normal, mengurangi laxity sendi, fasilitasi untuk keseimbangan/equilibrium dalam
posisi berdiri dan berjalan. Program-program tersebut dapat di buktikan keabsahannya dalam
berbagai jurnal. Tidak terlupa dengan problem yang berasal dari jantung, program fisioterapi
30
yang kami berikan yaitu passive breathing exercise guna menjaga atau meningkatan kapasitas
vital paru dan pengembangan cavum thorax.
kelainan pada struktur jantung yang dialami pasien An. A sejak lahir, terjadi karena
adanya gangguan pada proses pembentukan dan perkembangan jantung saat janin berada di
dalam kandungan. Meskipun terdapat ratusan tipe kelainan, secara garis besar PJB dapat
dikelompokkan menjadi dua tipe. Tipe pertama disebut dengan PJB biru (sianotik), yaitu jenis
PJB yang menyebabkan warna kebiruan (sianosis) pada kulit dan selaput lendir terutama di
daerah lidah/bibir dan ujung-ujung anggota gerak akibat kurangnya kadar oksigen di dalam
darah. Tipe kedua disebut dengan PJB tidak biru (non-sianotik), yaitu PJB yang tidak
menimbulkan warna kebiruan pada anak. Pada pasien ini diketahui memiliki penyakit penyerta
berupa kelainan pada jantung patent foramen ovale dimana dapat dikategorikan dalam PJB biru
(sianotik). Edukasi yang dapat diberikan pada orangtua pasien yaitu berupa perawatan sehari-hari
seperti pembatasan cairan, pembatasan garam, menjaga kebersihan mulut dan gigi, mencegah
infeksi, serta menjaga konsumsi gizi anak agar dapat mencapai berat badan yang normal sesuai
anak seusianya.
Berat badan pada pasien An. A masih belum mencapai berat badan normal yaitu sebesar
6,8kg hal tersebut dapat dikarenakan adanya penyakit penyerta atau juga dapat dikarenakan oleh
orangruanya yang kurang memenuhi gizi pada anak tersebut. Maka dari itu perlu dilakukan
edukasi pada orangtua untuk memberikan konsumsi makanan yang bergizi seimbang serta
mengkonsulkan pada dokter jantung mengenai dosis makanan serta obat-obatan yang sesuai
dengan kondisi pasien saat ini agar dapat mencegah komplikasi penyakit lain serta agar dapat
menunjang pertumbuhan pada anak tersebut.
31
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penulisan dan pembahasan di atas maka kesimpulan yang dapat di
ambil adalah bahwa pemberian Neuro Developmental Treatment (NDT), Latihan berdiri
dan berjalan ,propioseptif, postural control dan latihan lainnya yang dilakukan sesuai
dosis yang tepat dinilai mampu mengurangi problem yang dialami oleh penderita pada
pasien down syndrome terutama dalam memperbaiki postur, Latihan berdiri tegak , berjalan
5.2 Saran
Untuk mendapatkan hasil optimal dalam terapi, dibutuhkan motivasi tinggi dari dalam
diri pasien sendiri serta kerja sama dari berbagai pihak. Pihak-pihak tersebut diantaranya
okupasi terapi, terapi wicara, psikologi, ahli gizi dan yang paling penting adalah support
dari keluarga secara langsung dalam tiap sesi latihan dan pemberian home program dan
32
DAFTAR PUSTAKA
Briggs LE, Kakarla J, Wessels A. The pathogenesis of atrial and atrioventricular septal
defects with special emphasis on the role of the dorsal mesenchymal protrusion.
Differentiation [Internet]. 2012;84(1):117–30. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.diff.2012.05.006
de Rubens Figueroa J, del Pozzo Magaña B, Pablos Hach JL, Calderón Jiménez C,
Castrejón Urbina R. Heart malformations in children with Down syndrome. Rev
Española Cardiol. 2003;56(09):894–9.
irwanto, henry wicaksono, aini riefa, sunny mariana samosir. A-Z Sindrom Down.
irwanto, editor. airlangga university press;
Morais, K., Fiamenghi-Jr, G., Campos, D. and Blascovi-Assis, S., 2016. Profile of
physiotherapy intervention for Down syndrome children.
33
Potier MC, Reeves RH. Editorial: Intellectual disabilities in down syndrome from birth and
throughout life: Assessment and treatment. Front Behav Neurosci. 2016;10(JUN):1–4.
Uyanik, M. and Kayihan, H., 2014. Down Syndrome: Sensory Integration, Vestibular
Stimulation and Neurodevelopmental Therapy Ap-proaches for
Children. ResearchGate,.
https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-down-
syndrom-2019-1.pdf
34
35
Management Fisioterapi pada Down Syndrome
Kelompok E – D4
Paling sering terjadi di mana terdapat Tambahan kromosom 21 melepaskan Paling jarang terjadi, hanya beberapa sel
tambahan pada kromosom 21. Angka diri pada saat pembelahan sel dan yang memiliki trisomi 21. Bayi yang lahir
kejadian klasifikasi ini sekitar 94% dari menempel pada kromosom yang dengan down Syndrome mosaik akan
semua penderita down syndrome. lainnya dan dapat menempel pada memiliki gambaran klinis dan masalah
kromosom 13, 14, 15, dan 22. Terjadi kesehatan yang lebih ringan
sekitar 3-4% dari seluruh penderita dibandingkan bayi dengan down
down syndrome dan dapat diturunkan syndrome trisomi 21 klasik dan
dari orang tua kepada anaknya. translokasi. Terjadi sekitar 2-4% dari
seluruh penderita down syndrome.
ETIOLOGI DOWN SYNDROME
Saat wanita memasuki usia tua, kondisi sel telur menjadi kurang Wanita dengan usia lebih dari 35 tahun lebih berisiko melahirkan
baik, sehingga pada saat dibuahi, akan mengalami pembelahan bayi dengan Down syndrome. Perubahan endokrin secara
yang salah. Selain itu disebabkan oleh keterlambatan pembuahan mendadak pada saat sebelum dan selama menopause, dapat
akibat penurunan aktifitas seksual pada pasangan tua meningkatkan kemungkinan terjadinya nondisjunction.
GAMBARAN KLINIS DOWN SYNDROME
NO REGISTER : 12732
NAMA : An. A
UMUR : 2 Tahun
AGAMA : Islam
ALAMAT : Surabaya
PEKERJAAN :-
DATA-DATA MEDIS RUMAH SAKIT
Diagnosa
Down Syndrome + Neonatus aterm + patent foramen ovale
Catatan Medis
• 1 Maret ibu menjalani operasi Caesar di RS Wiyung Sejahtera
• 8 Maret diduga terdapat masalah di paru dan jantung, dirujuk ke RS
Dr. Soetemo, ditempatkan di RKL 2 minggu dan dilakukan foto
thorax.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tindakan Medis
Therapeutic exercise
PEMERIKSAAN FISIOTERAPI
Anamnesis (Heteroanamnesa)
Keluhan Utama : Trunk control belum maksimal, belum mampu berdiri tegak
Riwayat Penyakit Sekarang : Selama kehamilan tidak ada keluhan apapun, perkiraan bayi lahir pada
tanggal 15 maret namun pada tanggal 1 Maret sudah lahir dikarenakan ketuban pecah, sejak lahir anak
didiagnosa down syndrome dan anak belum mampu berkomunikasi secara verbal namun saat diajak
berinteraksi anak dapat merespon dengan menoleh maupun dengan gerakan-gerakan lainnya. Orang
tua anak operasi Caesar di RS Wiyung sejahtera 1 minggu kemudian dirujuk ke RSUD Soetomo 2
minggu di tempatkan di RKL, oleh dokter didiagnosa anak tersebut mengalami kelainan pada jantung +
down syndrome dan anak disarankan untuk melakukan terapi pada usia 3 bulan, selama terapi
difokuskan kearah kemampuan berdiri tegak dan berjalan
Riwayat Penyaki Dahulu: Tidak ada
Riwayat Pre Natal : Selama kehamilan ibu rutin melakukan cek
kehamilan dan tidak pernah mengalami trauma jatuh saat kehamilan
Riwayat Natal : Riwayat Tumbuh Kembang :
Pasien lahir secara caesar dengan usia kehamilan 36 mengangkat kepala : 4 bulan
minggu (prematur) , pasien menangis spontan. membalikkan badan : 7 bulan
BBL : 2000 gram (BBLR) bicara : belum bisa bicara
TBL : 45 cm duduk : 10 bulan
Riwayat Post Natal : perkembangan motorik dan merangkak : 1 tahun
verbal pasien mengalami keterlambatan, memiliki Status Sosial :
kelainan pada jantung patent foramen ovale pasien kesulitan dalam berinteraksi sosial dan
Riwayat Penyakit Ibu : hipertensi berbicara dengan lawan bicaranya
Riwayat Imunisasi : Lengkap pasien tinggal bersama dengan ibu dan ayahnya
Riwayat Nutrisi :
nutrisi ASI : 12 bulan
susu formula : sejak 6 bulan, frekuensi 8-10x perhari
(ukuran botol 260ml)
bubur susu : sejak usia 6 bulan, frekuensi 2-3x sehari
nasi tim : sejak usia 8 bulan, frekuensi 2-3x sehari
PEMERIKSAAN FISIK
KESADARAN :4-2-6
TENSI : 110/70 MmHg
NADI : 90x/menit
TEMPERATUR :36,5o C
TINGGI BADAN :67 cm
BERAT BADAN :6,8 kg
FREKUENSI PERNAFASAN :25x/menit
PEMERIKSAAN UMUM
INSPEKSI PALPASI
Statis Suhu akral dalam batas normal
Wajah tampak mongoloid Kesan kontur otot lembek (hipotonus)
Hidung tampak kecil mendatar
Dada tampak pectus excavates (cekung ke dalam ) PERKUSI
pasien drooling Tidak dilakukan
wajah pasien kurang ekspresif
tidak tampak kebiruan pada kulit dan kuku AUSKULTASI
postur pasien cenderung kurus Auskultasi jantung menunjukkan suara jantung ke-
2 (katup semilunar) melebar dan menetap pada
Dinamis saat inspirasi maupun ekspirasi disertai bising
pasien belum mampu berdiri dengan tegak dan berjalan ejeksi sistolik di daerah pulmonal
Ada kontak mata (sumeh) dan menanggapi saat dipanggil
namanya
Pasien cenderung aktif
Adanya laxity
.
PEMERIKSAAN GERAK
Aktif : Pasien mampu menggerakkan AGA dan AGB D/S Full ROM
dengan kesan kekuatan otot ≥ 3 tanpa nyeri.
Pasif : AGA dan AGB D/S dapat digerakkan melebihi Full ROM tanpa
nyeri. Endfeel soft.
PEMERIKSAAN KHUSUS
1. Breathing exercise
Tujuan : untuk meningkatkan pengembangan cavum thorax
2. Balance And Stability Exercise
Tujuan: untuk meningkatkan keseimbangan pasien serat meningkatkan kemampuan otot-otot trunk
3. Postural Control
Tujuan : untuk meningkatkan keseimbangan pasien, melatih ekstensor muscle dan motor development
4. Latihan Berdiri
Tujuan : untuk meningkatkan kemampuan pasien dalam duduk ke berdiri
5. Latihan Berjalan
Tujuan: untuk melatih kemampuan berjalan
RENCANA TINDAKAN
6. Motor Coordination
Tujuan : untuk melatih kemampuan motoric kasar yang lebih kompleks misalnya berjalan
7. Proprioceptive stimulation of joints
Tujuan: Untuk memfasilitasi postural tonus sehingga dapat mengurangi laxity
8. NDT (neuro developmental treatment)
Tujuan: untuk meningkatkan tonus otot melalui proprioceptive dan taktil
9. Stimulasi Oromotor
Tujuan : untuk menstimulasi bicara
10. Edukasi
Tujuan : untuk menunjang keberhasilan terapi dan memperhatikan nutrisi anak
PENATALAKSANAAN