Anda di halaman 1dari 15

ESTETIKA HOROR DALAM RUBRIK “PURIDING PURINGKAK”

MAJALAH MANGLÉ: KAJIAN RESPONS ESTETIK


Sal Sabela Mutiara
Universitas Padjadjaran
pos-el: Salsabellam35@gmail.com

ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan ruang-ruang estetik


yang terdapat dalam rubrik Puriding Puringkak majalah Manglé, mengungkap realisasi
pembacaan secara estetis atas karya tersebut. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode deskriptif analisis. Selain itu dalam penelitian ini juga menggunakan
metode kajian yang digunakan yaitu teori respons estetik yang dikemukakan oleh
Wolfgang Iser. Hasil dari penelitian ini untuk mengungkapkan gambaran horor
menyangkut varian pemunculan makhluk gaib secara gambaran fisik (visual)
berwujud makhluk gaib menyerupai manusia, makhluk gaib utuh (pocong,
kuntilanak, tuyul, dsb), makhluk gaib jadi-jadian. Penunjukan suara (auditif) berupa
suara makhluk gaib langsung (suara makhluk gaib tertawa), suara makhluk gaib
melalui alat atau perangkat (kursi, lonceng, pintu), penunjukan indra penciuman
(olfokatif) berupa penciuman makhluk gaib melalui bau bangkai ataupun harum
bunga sedap malam dan motif pemunculannya, seperti pelanggaran terhadap
tatakrama, balas dendam, pelanggaran terhadap waktu larangan, ketidaktenangan
arwah dan penunggu. Sehingga, karya ini sangat menarik dan penting untuk diteliti.

Kata kunci: respons estetik, rubrik puriding puringkak, horor.

ABSTRACT: This study aims to describe the aesthetic spaces contained in the rubric Puriding
Puringkak of manglé Magazine, to reveal the aesthetic readings of the work. The method used
by researchers is descriptive analysis method. In addition, this study also uses the study method
used, namely the aesthetic response theory proposed by Wolfgang Iser. The results of the
research, the rubric Puriding Puringkak of Manglé Magazine is significantly a horror text,
found many horror descriptions concerning the variants of the appearance of supernatural
beings in a physical (visual) form in the form of supernatural beings resembling humans, intact
supernatural beings (pocong, kuntilanak, tuyul, etc.), occult creatures. Appointments of sound
(auditive) in the form of the voice of supernatural beings (voices of supernatural beings
laughing), voices of supernatural beings through tools or devices (chairs, bells, doors),
appointment of the sense of smell (olfocative) in the form of smell of supernatural beings
through the smell of corpses or the fragrance of tuberose flowers and the motives for its
appearance, such as violations of manners, revenge, violations of the time of prohibition,
displeasure of spirits and watchmen. So, this work is very interesting to study.

Keywords: aesthetic response, rubric puriding puringkak, horror


1. PENDAHULUAN
Horor menurut (KBBI Edisi V Cetak dan Daring tahun 2016) adalah
sesuatu hal yang menimbulkan perasaan dan sensasi ngeri yang amat sangat.
Banyak terdapat beberapa macam horor, seperti crime horor, horor yang
memiliki unsur-unsur kejahatan atau bisa disebut cerita detektif, ada juga
horor visceral, horor yang menggambarkan bentuk pembunuhan atau seperti
pembantaian. Dalam masyarakat Indonesia juga, horor sendiri banyak
ditemukan pada setiap jengkal kehidupan, seperti misalnya masyarakat Sunda
yang mempercayai adanya makhluk gaib (lelembut, dedemit) serta keyakinan
berbau sihir (santet, pesugihan, dan pelet) yang menimbulkan
ketegangan/suspense pada setiap bidang kehidupan. Begitu pula dengan cerita
horor, salah satu karya sastra yang dapat merepresentasikan segala bentuk
kehidupan masyarakat yang masih mempercayai hal-hal yang gaib. Dengan
menimbulkan reaksi emosional negative, seperti takut dan cemas pada
pembacanya dengan cara memainkan imajinasi yang dimiliki oleh pembaca.

Cerita horor selalu identik dengan cerita-cerita hantu. Di Indonesia


sendiri, jenis karya sastra bergenre cerita hantu menjadi salah satu jenis cerita
rakyat yang selalu ada dan lekat dalam setiap kebudayaan Indonesia. Selain
itu, jenis cerita hantu ini menjadi salah satu penciptaan karya sastra yang
berasal dari realitas, khayalan, dan kreativitas pengarang tentang berbagai
macam hal mengenai hantu, setan, roh jahat, dan hal-hal mistis lainnya. Cerita-
cerita hantu seperti cerita tentang keberadaan hantu atau makhluk gaib di
suatu tempat, gangguan gaib akibat pelanggaran suatu tabu, cerita tentang
siluman, dan sebagainya banyak beredar di masyarakat-masyarakat dan
menjadi bagian dari legenda alam gaib masyarakat tersebut. Kepercayaan-
kepercayaan masyarakat Indonesia tentang cerita-cerita gaib pun menjadi
salah satu tradisi tutur cerita yang tumbuh subur di Indonesia dan cerita-cerita
hantu tersebut menjadi salah satu fungsi yang meneguhkan kebenaran serta
kepercayaan masyarakat tentang takhayul.

Salah satu bentuk karya sastra yang sering merepresentasikan cerita


horor adalah cerpen. Cerpen atau cerita pendek merupakan salah satu genre
karya sastra yang berbentuk prosa fiksi. Cerpen hadir sebagai medium untuk
menggambarkan realitas sosial yang diolah secara kreatif oleh pengarang.
Pengarang biasanya menulis cerpen sesuai dengan kisah nyata yang biasa
terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi dikemas dalam bentuk tulisan
yang indah sehingga menarik untuk dibaca.

Dalam karya sastra Sunda sendiri, cerita pendek disebut carita pondok
atau carpon, yaitu salah-satu bentuk karya sastra Sunda modern yang ditulis
dalam bentuk prosa. Menurut kebanyakan orang, carpon yang paling diminati
oleh masyarakat yaitu carpon horor. Carpon horor ini tidak terlepas dari hal-hal
gaib, apalagi di dalam masyarakat Sunda masih kental dengan budayanya,
seperti halnya pamali, mantra. Carpon atau carita pondok sendiri sudah ditulis
dan disebarluaskan melalui buku, koran, majalah, media daring, dan lain-lain,
salah satunya majalah Manglé. Salah satu rubrik yang terdapat pada majalah
Manglé adalah rubrik Puriding Puringkak yang terbit tahun 1970 serta berisikan
tentang karya-karya cerita horor dengan penulis yang berbeda-beda. Di
dalamnya terdapat cerita-cerita menyeramkan yang digambarkan dengan
pemunculan sosok-sosok horor (makhluk gaib), suasana horor yang dibangun,
serta suspense/ketegangan horor pada setiap peristiwa yang hanya bisa,
dirasakan, dinikmati, dan dimaknai oleh pembacanya menjadi sebuah cerita
yang menyeramkan dan menakutkan. Dengan begitu, rubrik Puriding
Puringkak majalah Manglé dapat membuat pembacanya ikut serta terbawa
suasana dengan cerita horor tersebut. Cerita-cerita yang terdapat di dalam
rubrik Puriding Puringkak majalah Manglé memiliki satu inti cerita sehingga
mencapai fokus cerita yang sama.

Problematika yang terdapat pada rubrik Puriding Puringkak majalah


Manglé, pengarang memunculkan gambaran sosok horor yang mengakibatkan
hadirnya suasana dengan suspense/ketegangan yang dibangun dalam cerita
tersebut dengan memicu perasaan takut dan merinding bagi para
pembacanya. Suspense/ketegangan yang terbangun tersebut membuat
pembaca merasakan suasana dan efek-efek horor yang mengerikan. Atas
kondisi demikian, peneliti merasa karya tersebut menarik dan penting untuk
diteliti karena teks secara langsung memengaruhi alam bawah sadar pembaca
dengan proses pengimajinasian pembaca serta repertoar yang dimiliki setiap
pembaca dijadikan bekal dalam proses pembacaannya, sehingga dapat
memunculkan gambaran horor yang membangkitkan suspense terhadap
pembaca. Melalui pendeskripsian dari unsur-unsur estetika yang terdapat
dalam rubrik Puriding Puringkak majalah Manglé dengan mengutamakan
respons pembaca melalui cara pembacaan dan penilaian untuk menafsirkan
setiap cerita horor yang terdapat dalam rubrik Puriding Puringkak majalah
Manglé. Selain dari inti yang sudah tergambar jelas dalam cerita horor, teks
tersebut juga membutuhkan kemampuan imajinasi pembaca agar pembaca
dapat menemukan dan menikmati efek horor yang terkandung di dalamnya,
karena karya sastra tidak terlepas dari partisipasi pembaca, bagaimana karya
tersebut menjadi bermakna.

II. METODELOGI
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dasar metode penelitian
deskriptif analisis yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta
yang kemudian disusul dengan analisis. Tujuan dari metode deskriptif
analisis ini tidak hanya menguraikan melainkan juga memberikan
pemahaman dan penjelasan secukupnya.
Metode kajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian
estetika resepsi dengan teori respons estetik. Respon estetik merupakan
penelitian yang menitiberatkan pada pembaca, yaitu bagaimana pembaca
dapat memberikan makna terhadap karya sastra, sehingga memberikan reaksi
terhadap suatu teks. Dengan menggunakan metode ini, semoga tujuan dari
penelitian ini dapat terungkap. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk
mendeskripsikan gambaran horor yang terkandung dalam rubrik Puriding
Puringkak majalah Manglé, mendeskripsikan unsur-unsur estetik yang
terkandung dalam rubrik Puriding Puringkak majalah Manglé, serta
mengungkap realisasi pembacaan dalam rubrik Puriding Puringkak majalah
Manglé.
Teori yang menjadi pegangan utama penelitian ini adalah teori respon
estetik yang dikemukakan olah Wolfgang Iser, yang secara singkat
menitikberatkan pada tanggapan dan efek dalam proses pembacaan teks pada
rubrik Puriding Puringkak majalah Manglé. Respons estetik yang dikemukakan
oleh Iser memfokuskan pada bekal pembaca dalam memahami suatu karya
sastra. Sejumlah perangkat pembacanya adalah menyangkut repertoar dan
strategi pembaca. (Iser, 1987: 53 dalam Hudayat)
Aksi komunikasi, keberhasilannya terletak pada sejauh mana teks
menempatkan dirinya sebagai suatu korelat dalam kesadaran pembaca (Iser
dalam Hudayat, 2012:29). Keberhasilan transfer teks ke pembaca bergantung
pada keberhasilan teks mengaktivasi kapasitas presepsi dan pengolahan
pembaca individual (Hudayat, 2012:29).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


a. Gambaran Horor dalam rubrik Puriding Puringkak melalui varian
pemunculan sosok makhluk gaib
a. Gambaran fisik (visual)
Gambaran Horor yang terdapat dalam rubrik Puriding Puringkak
mencakup beberapa varian pemunculan sosok makhluk gaib. Pemunculan
sosok makhluk gaib yang terjadi di dalam cerita, muncul berupa gambaran
fisik (visual), seperti pemunculan sosok gaib menyerupai manusia, sosok
makhluk gaib yang muncul asli dengan wujudnya, contohya kuntilanak,
pocong, tuluy, lalu ada pemunculan sosok makhluk gaib berupa makhluk jadi-
jadian.

Gambaran fisik melalui sosok makhluk gaib yang mengisi jasad manusia
atau makhluk gaib utuh manusia. Pemunculan makhluk gaib dalam cerpen
Kantor Anyar ini adalah pada saat tokoh OB bertemu dengan seorang pegawai
kantornya juga yang sedang bekerja. Tokoh OB itu keluar, karena tidak ingin
mengganggu. Ketika membalikan badan, ternyata ada suara yang membuat
tokoh OB itu terkejut ketakutan, karena suara lelaki itu bukan suara pegawai
biasa di kantornya, dapat dibuktikan dengan cerpen pada kutipan berikut:

“Ana bray téh, katangén potongan lalaki sembada keur kutak-ketik. Bajuna
bodas. Buukna pondok. Sarimbag jeung Kang Frédi... Manéhna eureun ngetik.
Jadi printer nu disada. Tét-tét-tét, keretas bodas polos asup saeutik-saeutik ka
jero printer, laju kaluar geus aya tulisan... “Oh nuju didamel. Punten tos
ngawagel. Angga lanjengkeun..”kuring undur bisi ngagamahan. Malikeun
awak. Deuk kaluar rohangan...
“Hmmmmm....” Sora ngagerem matak nyéak. Kuring ngalieuk. Lain sora Kang
Frédi. Nu ngadéhém téh sorana mani agem jeung pikasieuneun. Awak ngadadak
ngahéab. Késang badag késang lembut ngadadak bijil.”(Sulaksana, PP, KA,
2018:65)

“Ketika melihat ada seorang laki-laki yang sedang mengetik dengan


menggunakan baju putih. Rambutnya pendek seperti Kang Fredi... Dia
berhenti mengetik. Suara printer yang bersuara tet-tet-tet, tiba-
tibakertasyang keluar dari printer itu langsung keluar dengan tulisannya.
“Oh lagi
bekerja. Maaf mengganggu. Silahkan lanjutkan”. Aku pergi takutnya
mengganggu sambil membalikkan badan untuk keluar dari ruangan
tersebut.
“Hmmmmm...” Suara mendeham membuat ketakutan. Aku menengok.
Ternyata itu bukan suara Kang Fredi. Suara bergumam itu terdengar jelas
dan menakutkan. Badan tiba-tiba mendadak panas. Keringat besar,
keringat lembut mendadak muncul.”(Sulaksana, PP, KA, 2018:65)

Pada kutipan di atas dalam cerpen Kantor Anyar, dijelaskan bahwa tokoh
OB tersebut melihat ada seorang laki-laki yang sedang mengetik dengan
rambut yang pendek mirip dengan pegawai di Kantor barunya. Tetapi, ketika
dia berbalik akan pergi meninggalkan ruangan itu, tiba-tiba lelaki itu
bergumam. Sampai akhirnya tokoh OB itu menyadari bahwa lelaki yang
dianggap pegawai di kantor barunya itu bukan Kang Fredi melainkan sosok
lain, sehingga tokoh OB itu merinding ketakutan.
Tokoh OB itu merinding ketakutan, karena apa yang dilihatnya di
ruangan itu terhadap laki-laki yang dianggap Kang Fredi yang sedang bekerja,
ternyata membalikkan badannya dengan wajah yang menyeramkan, dapat
dibuktikan pada kutipan di bawah ini:
“Lalaki nu tadi nonggongan téh ngalieuk ka kuring. Awakna teu obah. Sirahna
wungkul nu muih. Parat nepi ka tonggong. Nembongkeun matana nu bencelok
hurung beureum. Irungna dempes. Sihung ranggéténg. Kulitna bodas sepa.”
“Gusti... Gusti Nu agung...jurig... jurig siah!”(Sulaksana, PP, KA, 2018:65)
“Laki-laki yang tadi membelakangiku tadi, kini sekarang melihatku.
Badannya tidak berubah, tetapi hanya kepalanya yang berputar sampai
ke punggung dengan memperlihatkan matanya yang melotot dan
berwarna merah, hidungnya yang pesek, gigi taring dan kulitnya yang
putih seperti orang yang meninggal.”
“Tuhan...Tuhan yang maha besar.. hantu...hantuuuu!”(Sulaksana, PP,
KA, 2018:65)

Pada kutipan di atas, peristiwa pemunculan makhluk gaib yang


menampakkan wujudnya utuh sebagai manusia, membuat tokoh OB
ketakutan. Karena awalnya dia menganggap seseorang yang sedang bekerja
di ruangan itu adalah kang Fredi, tapi ternyata itu adalah makhluk gaib
dengan kepala yang berputar tanpa badan, memperlihatkan matanya yang
merah sambil melotot, hidungnya yang pesek serta gigi dan kulitnya seperti
orang yang sudah meninggal. Dengan kejadian seperti itu tokoh OB kaget
sampai terbata-bata berbicara hantu.

b. Penunjukan Suara (Auditif)

Kedatangan sosok makhluk gaib pun tidak hanya muncul melalui


gambaran fisik saja, akan tetapi bisa muncul melalui tanda-tanda seperti
auditif atau penunjukan suara. Dalam rubrik Puriding Puringkak penunjukan
suara ini bisa melalui suara makhluk gaib secara langsung, seperti suara
seorang yang tertawa, dll atau pun bisa suara makhluk gaib melalui perangkat
atau pun alat, seperti suara pintu, suara piano, suara lonceng, dll.

Penunjukan suara makhluk gaib secara langsung dalam cerpen Kantor


Anyar yaitu, ketika tokoh OB baru saja akan tidur, terdengarlah suara seorang
yang sedang berjalan di tangga, dapat diuktikan pada kutipan di bawah ini:

“Bug! Gedebug! Bug! Karék gé deuk ngagolér jol ngarénjag deui. Sora jelema
leumpang nu beuki ngajauhan. Bug! Bug! Kawas nu leumpang kana tangga, ka lanté
dua.” (Sulaksana, PP, KA, 2018:64)

”Bug! Gedebug! Bug! Suara orang jalan semakin menjauh. Bug! Bug! Seperti
yang jalan ke tangga lantai dua.” (Sulaksana, PP, KA, 2018:64)
Dalam kutipan berikut pada cerpen Kantor Anyar, menjelaskan bahwa
terdengar suara-suara yang menyeramkan, ketika tokoh OB tersebut akan
tertidur, suara orang yang sedang jalan menjauh seperti jalan ke arah lantai
dua. Bagaimana tidak membuat kaget, tokoh OB pun langsung bangun
memperhatikan suara dari mana.

c. Penunjukan Indra Penciuman (Olfaktif)


Kedatangan sosok makhluk gaib pun muncul melalui penunjukan indra
penciuman (Olfaktif) yang terasa oleh tokoh pada cerpen-cerpen tersebut,
misalnya tercium bau bangkai, bunga sedap malam, dsb.
Dalam cerpen Kuburan Lembang Jambe pemunculan sosok makhluk gaib
melalui penunjukan indra penciuman (Olfaktif) yaitu di mana ketika tokoh
laki-laki penjual roti yang berada di kuburan mencium bau busuk dan bau
bunga sedap malam yang menyatu, dapat dibuktikan pada kutipan d bawah
ini:

”Seungit kembang sedep malem kaambeunna ku manéhna bet angger paselang


jeung bau hangru.”(Sudarajat Ajat, PP, KLJ, 2018: 65)

“Wangi bunga sedap malam yang tercium olehnya, tetapi tersilang


dengan bau busuk.” (Sudarajat Ajat, PP, KLJ, 2018: 65)

Pada kutipan di atas menjelaskan bahwa tokoh laki-laki penjual roti itu
mencium bau kembang sedap malam dan bau busuk yang bersilang serta
menyengat di hidungnya.

Melalui pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemunculan


sosok horor melalui indra penciuman (Olfaktif), muncul ketika tercium bau
bangkai dan wangi bunga sedap malam. Pemunculan makhluk gaib karena
bau bangkai dan wangi sedap malam karena bau bangkai identik dengan bau
orang yang sudah meninggal dan bau bunga sedap malam ini dianggap
sebagai penangkal sihir, santet ataupun guna-guna serta bunga ini sering
muncul untuk menenangkan hati saat dalam kondisi berkabung, seperti dalam
upacara pemakaman. Bahkan bunga ini menandakan adanya keberadaan
makhluk gaib.
B. Unsur-Unsur Estetika
Dalam hal ini, peneliti melakukan penelitian yang berhubungan dengan
unsur-unsur estetik. Unsur estetik yang dimaksud adalah unsur-unsur yang
terdapat dalam teks yang menimbulkan atau dapat menghadirkan proses
pengimajinasian dan pembayangan yang kreatif oleh pembaca. Kemudian
unsur-unsur estetik sangat terasa kehadirannya melalui ruang-ruang estetik
yang terjadi dalam rubrik Puriding Puringkak yaitu berdasarkan teknik
penceritaan, latar cerita, serta motif cerita.
Fokus cerita sangat penting dalam membentuk ruang-ruang estetik
dalam rubrik Puriding Puringkak. Menurut Sa’adah (2016:56) Penciptaan focus
cerita oleh pengarang dimaksudkan untuk membatasi pembaca agar tidak bisa
keluar dari dengan bebas dari apa yang diinginkan oleh pengarang. Dalam
rubrik Puriding Puringkak, cara pengarang menciptakan fokus cerita pun
menjadi keestetikan. Ceritanya banyak mengangkat tentang perilaku manusia,
jika manusia itu tidak mengganggu mahluk lain maka dia tidak akan diganggu
begitupun sebaliknya. Kemudian, dalam rubrik Puriding Puringkak banyak
mengangkat cerita yang berhubungan dengan gambaran pemunculan sosok
horor berupa gambaran fisik (visual), seperti dalam carpon Kantor Anyar, tokoh
OB menjadi titik fokus cerita, di mana cerita bergerak karena ia hadir sebagai
tokoh OB yang mendiami kantor baru, dengan kondisi kantor yang
menyeramkan. Dalam carpon Di Hiji Basisir, yang menjadi fokus ceritanya
adalah sekelompok rombongan yang berpisah dari rombongan lain sehingga
salah seorang rombongan mendapatkan mala petaka karena dianggap telah
mengganggu tempat tanah karuhun di tepi pantai tersebut. Dalam carpon Ojeg
Peuting-Peuting yang menjadi fokus cerita yaitu tukang ojek yang
mendapatkan penumpang sosok makhluk gaib berupa penumpang wanita
hamil yang sudah meninggal. Dalam carpon Nu Nembongan di Sawah yang
menjadi fokus cerita yaitu tokoh ayah dan anak yang pergi ke sawah dengan
mengalami kejadian yang sama, sama-sama melihat sosok makhluk gaib yang
menyerupai manusia.

Latar cerita yang terdapat dalam rubrik Puriding Puringkak tentunya


berbeda beda, misalnya yaitu latar gedung yang baru. Bayangkan saja kantor
yang luas, besar, tingkat tiga, bahkan bisa memilih ruangan-ruangannya
sendiri. Tetapi untuk di lantai tiga, tidak ada yang berani pergi malam-malam
ke lantai tiga, mau malam atau siang pun tidak ada yang berani. Hal ini dapat
dibuktikan pada kutipan di bawah ini:

“Di kantor sementara nu di kontrak dua tauneun téh lumayan lalega. Sawareh
mah bisa milih rohangan sorangan-sorangan, da aya tilu lantai jeung lalega
pisan...Tara aya nu wani ngulampreng ka lantai tilu peuting-peuting mah,
beurang-beurang ogé rada geueuman, da eweuh nu nempatan téa”(Akasa, PP,
DJ, 2018: 64)

”Di kantor semestara yang hanya di sewa dua tahun saja ternyata
lumayan besar. Karena ada tiga lantai dan besar-besar, sebagian bisa
memilih ruangannya sendiri-sendiri. Tapi tidak ada yang berani ke lantai
tiga malam-malam, siang-siang pun lantai tiga itu menyeramkan karena
memang tidak ada yang menempati.”(Akasa, PP, DJ, 2018: 64)

Pembaca menggunakan imajinasinya, bahwa sebuah gedung atau kantor


yang luas, besar bahkan bertingkat tinggi pasti akan merasa sepi, takut, bahkan
untuk masuk ke ruangannya pun tidak akan berani, apalagi malam-malam,
siang-siang pun akan merasa takut.

Latar pada carpon Sabada Bubar Bioskop ini yaitu tempat yan gelap dan
banyak pepohonan dengan suasana yang membuat tokoh merinding
ketakutan, bisa dilihat dari kutipan di bawah ini:

“Saacan pasar Tanjungsari, Euis nuduhkeun jalan mengkol ka katuhu. Jalan


nanjak, pararoék da geuning teu hiji-hiji acan aya imah. Dapuran awi,
tatangkalan jarangkung ngahalangan bulan, matak leuwih patingpuringkak.
Kuring sababaraha kali ngagorowok ngabéjaan Joy sangkan balik atawa mobil
bawa ka anu loba jelema,...”(Yosep R, PP, SBB, 2018: 65)

”Sebelum pasar Tanjungsari, Euis nunjuk jalan belok ke arah kanan, jalan
yang nanjak, gelap dan tidak ada satu pun rumah di sana. Hanya ada
pepohonan kayu yang tinggi menutupi bulan. Beberapa kali aku teriak
memberitahu Joy untuk kembali lagi atau membawa mobil ke tempat
yang ramai,..”(Yosep R, PP, SBB, 2018: 65)

Pada kutipan di atas, menjelaskan di mana sebelumnya dalam cerita


sosok Euis tersebut yang cantik berubah jadi makhluk yang menyeramkan,
sedangkan ketika akan diantarkan pulang dia malah mengajak ke tempat yang
gelap, sepi tidak ada rumah satu pun. Pembaca menggunakan imajinasinya,
bahwa sudah jelas tempat yang sepi, gelap, tidak ada rumah satu pun, apalagi
ini hanya ada pohon-pohon kayu, di mana dalam kehidupan sehari-hari
pohon kayu identik dengan pohon yang selalu di tempati makhluk gaib seperti
kuntilanak. Pembaca dengan imajinasinya melihat sosok Euis ini adalah
makhluk gaib seperti kuntilanak yang berubah menjadi sosok wanita yang
cantik, kenapa pembaca menyangka sosok Euis itu makhluk gaib, karena
sudah jelas dia menunjuk jalan ke arah rumahnya adalah jalanan yang sepi
tidak ada rumah satu pun di sana.

Latar pada carpon Sabot Ngabuburit ini yaitu Curug yang angker. Di mana
dalam kehidupan nyata pun Curug di akui dengan tempat yang angker,
meskipun memang benar Curug tempat yang sangat indah, alami dan terjaga.
Tetapi jika curug di salah gunakan bukan lagi menjadi curug yang indah,
malah menjadi curug yang tidak terawat dan sebuah tempat apapun itu tanpa
di rawat pasti akan memunculkan sosok makhluk gaib, karena makhluk gaib
tidak menyukai tempat yang tidak terawat, dapat dilihat dari kutipan di
bawah ini:

“Sangétna Curug Cilampit sok diparaké méakeun hirup alias maéhan manéh.
Kunsi kajadian aya awéwé ngagantung manéh dina tangkal kai di luhur
curug,..”(Citrawarga, PP, SN, 2018: 64)

”Angkernya Curug Cilampit ini suka dipakai untuk orang yang bunuh
diri. Dulu pernah kejadian ada wanita yang gantung diri di pohon kayu
di atas curug,..”(Citrawarga, PP, SN, 2018: 64)

Pada kutipan di atas, pembaca disuguhkan dengan imajinasina yang


berjalan bahwa angkernya curug ini karena mungkin curug ini sudah menjadi
tempat yang tidak terawat lagi, seperti halnya dalam kutipan ada seorang
perempuan yang gantung diri. Itu semua menjadikan curug ini tempat yang
angker, sudah angker ditambah tidak terjaga, maka semakinlah angker.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa rubrik Puriding


Puringkak ini memiliki latar yang variatif. Latar-latar tersebut mempengaruhi
karakteristik tokoh, alur, unsur-unsur cerita secara keseluruhan. Latar-latar
yang terdapat dalam karya tersebut merupakan ruang-ruang estetis yang
dihasilkan dari proses daya bauang atau pembayangan yang dilakukan oleh
pembaca. Proses daya bayang atau pembayangan menyebabkan ruang-ruang
estetis terproduksi dalam pikiran pembaca, menghasilkan latar variatif.
Ruang-ruang estetis tersebut diolah melalui pemberdayaan imajinasi kreatif
pembaca dengan menggunakan repertoar dan strategi yang dimiliki pembaca.

C. Realisasi Pembacaan
Realisasi menurut (Iser dalam Hudayat, 2012:85) merupakan
perwujudan hubungan antar teks dan pembacanya. Iser menyebutkan bahwa
deskripsi apa pun tentang hubungan antara teks dan pembaca, harus
menginkonforasi baik efek-efek teks maupun struktur respons (pembaca).
Menurutnya, sebuah teks harus memiliki interaksi, interaksi yang dimaksud
yaitu untuk mengkomunikasikan karya sastra dalam kepentingan
pembicaraan fungsinya, pendekatannya harus fokus pada dua bidang dasar
yang saling bergantung: pertama, titik pertemuan antara teks dan realitas; titik
pertemuan antara teks dan pembaca. Dalam realisasi, bagaimana pembaca
dapat menangkap, mengolah dan memaknai teks.

Kumpulan carpon dalam rubrik Puriding Puringkak di dalamnya


membahas tentang pemunculan sosok makhluk gaib berupa gambaran fisik,
penunjukan suara, penunjukan terhadap indra penciuman yang menyebabkan
terjadinya sesuatu yang menegangkan, menakutkan hingga menyeramkan
terasa oleh pembaca.

Realisasi pembacaan : teks-pembaca yang terdapat dalam kumpulan


cerpen Puriding Puringkak di cermati lewat unsur instrinsik dan ekstrinsik yang
membangun cerita, sehingga ditemukan satu kesatuan stuktur yang padu di
dalamnya. Rubrik Puriding Puringkak merupakan cerpen yang berhasil
merepresentasikan realita dalam gambaran horor suatu keadaan masyarakat
yang hadir dengan segala problematikanya. Isu-isu cerita di dalamnya
merupakan potret dari kehidupan masyarakat sunda, sehingga menghasilkan
cerita-cerita yang beragam dan unik. Keberagaman dan keunikannya itu
sendiri memberikan efek-efek estetis yang berbeda di setiap cerpennya.

III. PENUTUP
Hasil dari penelitian rubrik Puriding Puringkak ini adalah bahwa rubrik
Puriding Puringkak memiliki gambaran horor dengan pemunculan sosok horor
(makhluk gaib) di dalamnya yang kemudian berdampak estetik bagi pembaca.
Dalam rubrik Puriding Puringkak ini juga memiliki ruang-ruang estetis karena
memiliki cerita yang beragam tetapi masih dalam konteks pemunculan sosok
horor (makhluk gaib). Menurut peneliti, rubrik Puriding Puringkak dapat
diterima oleh pembacanya yang notabene menghadirkan pemunculan sosok
horor (makhluk gaib).
Gambaran horor dapat ditujukan melalui varian pemunculan sosok
horor baik itu melalui gambaran fisik (visual), penunjukan suara (auditif),
penunjukan terhadap indra penciuman (olfaktif). Melalui gambaran fisik
(visual) pembaca dapat mengetahui pemunculan sosok makhluk gaib
menyerupai manusia, sosok makhluk gaib yang muncul asli dengan
wujudnya, contohya kuntilanak, pocong, tuluy, lalu ada pemunculan sosok
makhluk gaib berupa makhluk jadi-jadian. Melalui penunjukan suara (auditif)
pembaca dapat mengetahui suara makhluk gaib secara langsung, seperti suara
seorang yang tertawa, dll atau pun bisa suara makhluk gaib melalui perangkat
atau pun alat, seperti suara pintu, suara piano, suara lonceng, dll serta
pemucnulan sosok horor (makhluk gaib) dapat dilihat dari penunjukan
terhadap indra penciuman (olfaktif) pembaca dapat mengetahui pemunculan
sosok horor (makhluk gaib) yang tercium oleh tokoh yang ada di dalam cerita,
seperti tercium bau bangkai, bau bunga sedap malam, dll. Adapun motif
pemunculan sosok horor, pembaca dapat mengetahui bagaimana alasan sosok
horor (makhluk gaib) itu muncul bergetayangan kepada tokoh sehingga
memberikan dampak estetis bagi pembacanya dengan penunjukan langsung
melalui kutipan-kutipan.
Ruang-ruang estetik dalam rubrik Puriding Puringkak dapat terungkap
melalui teknik penceritaan, latar cerita, dan motif cerita. Melalui teknik
penceritaan pembaca dapat mengetahui penarasian yang dilakukan oleh
pembaca sehingga memberikan dampak estetis, pembaca mendapatkan
penggambaran peristiwa yang memunculkan adanya gambaran horor berupa
pemunculan sosok makhluk gaib yang terjadi dalam cerita dan didukung oleh
pendeskripsian yang dapat diimajinasikan oleh pembaca. Pembaca juga
mendapatkan penggambaran fokus cerita dari setiap rubrik Puriding Puringkak
seperti makhluk gaib yang menampakkan, baik itu melalui fisik, suara atau
pun melalui indra penciuman. Latar dalam rubrik Puriding Puringkak
digambarkan dengan sedemikian rupa agar mendukung adanya pemunculan
sosok horor (makhluk gaib), sehingga hal tersebut memberikan dampak atau
ruang-ruang estetik pada pembaca. Adapun latar yang digunakan dalam
rubrik Puriding Puringkak memiliki variasi yang menarik seperti
penggambaran latar kuburan yang menyeramkan penuh dengan makhluk-
makhluk gaib, sebuah Curug yang angker, dll. Motif cerita dalam rubrik
Puriding Puringkak dapat dikelompokan menjadi lima motif, yaitu motif balas
dendam, pelanggaran terhadap tatakrama, pelanggaran terhadap waktu
larangan, pikiran yang kosong, dan ketidaktenangan arwah.
Realisasi pembacaan dalam rubrik Puriding Puringkak dapat diterima oleh
pembaca dengan hubungan antar teks dan pembaca yang saling memahami
dan menyesuaikan. Dalam rubrik Puriding Puringkak pembaca dapat
memahami, mengolah dan memaknai teks dengan baik. Dengan adanya,
sesuatu yang horor seperti pemunculan sosok horor (makhluk gaib) dalam
rubrik Puriding Puringkak ini sangat berdampak estetik bagi pembacanya.
Pembaca pun dapat menentukan kualitas yang dirasakannya, seperti
ketakutan, menyeramkan, menjijikan, jantung berdebar-debar, serta
merinding saat pembaca melalukan proses pembacaan. Pada rubrik Puriding
Puringkak banyak bahasa yang disesuaikan dengan realitas yang ada di dalam
masyarakat Sunda. Namun, tidak menghilangkan makna teks kepada
pembaca dan pembaca dapat dengan mudah memahami teks tanpa melebih-
lebihkannya.

DAFTAR PUSTAKA
Abaydillah, Farhan. 2018. Ruang-ruang estetik Dalam Kumpulan 1000 Carpon
jeung 75 Carpon Juara : Kajian Respon Estetik. Jatinangor. Program
Studi Sastra Sunda. Universitas Padjadjaran.
Fathiyyah, Adilla. 2019. Humor dan Potret Sosial dalam Kolom Barakatak Majalah
Manglé : Kajian Respon Estetik. Jatinangor. Program Studi Sastra
Sunda. Universitas Padjadjaran.
Happy H, Gracecia. 2016. Motif dan Makna Horor dalam Cerpen-Cerpen Karya
Intan Paramaditha. Sastra Indonesia. Universitas Airlangga.
Hudayat, Asep Yusup. 2012. Novel Sunda dalam Jaring-Jaring Estetika Suara-
Suara Kelas. Bandung. Fakultas Sastra. Universitas Padjadjaran.
Hudayat, Asep Yusup. 2017. Metode Penelitian Sastra Ancangan Untuk
Penyusunan Proposal Penelitian Sastra. Jatinangor. Fakultas Ilmu
Budaya. Universitas Padjadjaran.
Iser, Wolfgang. 2007. The Act of Reading. Terjemahan Bahasa Indonesia.
Penerjemah : Noer Fitriyani. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada
Iser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading: A theory of Aesthetic Respons: 4th
Printing. Baltimore & London: The John Hopkins University Press.
Noel E. Carroll, 1991. The Philosophy of Horor, Or, Paradoxes of the Heart.
London: Routledge.
Ningsih, Putri. 2017. Mitologi Hantu Dalam Kepercayaan Masyarakat Sunda
(Analisis Semiotika Cerita Hantu pada Rubrik “Puriding Puringkak” di
majalah Manglé. Skripsi. Yogyakarta. Fakultas Sosial dan Ilmu Politik
Budaya. Universitas Islam Indonesia.
Sya’adah Tresna Siti. 2017. Estetika Misteri dalam Novel Terjemahan Kembang Beureum
karya Baroness Emmuska Orzcy : Kajian Respon Estetik. Jatinangor.
Program Studi Sastra Sunda. Universitas Padjadjaran.

Anda mungkin juga menyukai