ABSTRACT: This study aims to describe the aesthetic spaces contained in the rubric Puriding
Puringkak of manglé Magazine, to reveal the aesthetic readings of the work. The method used
by researchers is descriptive analysis method. In addition, this study also uses the study method
used, namely the aesthetic response theory proposed by Wolfgang Iser. The results of the
research, the rubric Puriding Puringkak of Manglé Magazine is significantly a horror text,
found many horror descriptions concerning the variants of the appearance of supernatural
beings in a physical (visual) form in the form of supernatural beings resembling humans, intact
supernatural beings (pocong, kuntilanak, tuyul, etc.), occult creatures. Appointments of sound
(auditive) in the form of the voice of supernatural beings (voices of supernatural beings
laughing), voices of supernatural beings through tools or devices (chairs, bells, doors),
appointment of the sense of smell (olfocative) in the form of smell of supernatural beings
through the smell of corpses or the fragrance of tuberose flowers and the motives for its
appearance, such as violations of manners, revenge, violations of the time of prohibition,
displeasure of spirits and watchmen. So, this work is very interesting to study.
Dalam karya sastra Sunda sendiri, cerita pendek disebut carita pondok
atau carpon, yaitu salah-satu bentuk karya sastra Sunda modern yang ditulis
dalam bentuk prosa. Menurut kebanyakan orang, carpon yang paling diminati
oleh masyarakat yaitu carpon horor. Carpon horor ini tidak terlepas dari hal-hal
gaib, apalagi di dalam masyarakat Sunda masih kental dengan budayanya,
seperti halnya pamali, mantra. Carpon atau carita pondok sendiri sudah ditulis
dan disebarluaskan melalui buku, koran, majalah, media daring, dan lain-lain,
salah satunya majalah Manglé. Salah satu rubrik yang terdapat pada majalah
Manglé adalah rubrik Puriding Puringkak yang terbit tahun 1970 serta berisikan
tentang karya-karya cerita horor dengan penulis yang berbeda-beda. Di
dalamnya terdapat cerita-cerita menyeramkan yang digambarkan dengan
pemunculan sosok-sosok horor (makhluk gaib), suasana horor yang dibangun,
serta suspense/ketegangan horor pada setiap peristiwa yang hanya bisa,
dirasakan, dinikmati, dan dimaknai oleh pembacanya menjadi sebuah cerita
yang menyeramkan dan menakutkan. Dengan begitu, rubrik Puriding
Puringkak majalah Manglé dapat membuat pembacanya ikut serta terbawa
suasana dengan cerita horor tersebut. Cerita-cerita yang terdapat di dalam
rubrik Puriding Puringkak majalah Manglé memiliki satu inti cerita sehingga
mencapai fokus cerita yang sama.
II. METODELOGI
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dasar metode penelitian
deskriptif analisis yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta
yang kemudian disusul dengan analisis. Tujuan dari metode deskriptif
analisis ini tidak hanya menguraikan melainkan juga memberikan
pemahaman dan penjelasan secukupnya.
Metode kajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian
estetika resepsi dengan teori respons estetik. Respon estetik merupakan
penelitian yang menitiberatkan pada pembaca, yaitu bagaimana pembaca
dapat memberikan makna terhadap karya sastra, sehingga memberikan reaksi
terhadap suatu teks. Dengan menggunakan metode ini, semoga tujuan dari
penelitian ini dapat terungkap. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk
mendeskripsikan gambaran horor yang terkandung dalam rubrik Puriding
Puringkak majalah Manglé, mendeskripsikan unsur-unsur estetik yang
terkandung dalam rubrik Puriding Puringkak majalah Manglé, serta
mengungkap realisasi pembacaan dalam rubrik Puriding Puringkak majalah
Manglé.
Teori yang menjadi pegangan utama penelitian ini adalah teori respon
estetik yang dikemukakan olah Wolfgang Iser, yang secara singkat
menitikberatkan pada tanggapan dan efek dalam proses pembacaan teks pada
rubrik Puriding Puringkak majalah Manglé. Respons estetik yang dikemukakan
oleh Iser memfokuskan pada bekal pembaca dalam memahami suatu karya
sastra. Sejumlah perangkat pembacanya adalah menyangkut repertoar dan
strategi pembaca. (Iser, 1987: 53 dalam Hudayat)
Aksi komunikasi, keberhasilannya terletak pada sejauh mana teks
menempatkan dirinya sebagai suatu korelat dalam kesadaran pembaca (Iser
dalam Hudayat, 2012:29). Keberhasilan transfer teks ke pembaca bergantung
pada keberhasilan teks mengaktivasi kapasitas presepsi dan pengolahan
pembaca individual (Hudayat, 2012:29).
Gambaran fisik melalui sosok makhluk gaib yang mengisi jasad manusia
atau makhluk gaib utuh manusia. Pemunculan makhluk gaib dalam cerpen
Kantor Anyar ini adalah pada saat tokoh OB bertemu dengan seorang pegawai
kantornya juga yang sedang bekerja. Tokoh OB itu keluar, karena tidak ingin
mengganggu. Ketika membalikan badan, ternyata ada suara yang membuat
tokoh OB itu terkejut ketakutan, karena suara lelaki itu bukan suara pegawai
biasa di kantornya, dapat dibuktikan dengan cerpen pada kutipan berikut:
“Ana bray téh, katangén potongan lalaki sembada keur kutak-ketik. Bajuna
bodas. Buukna pondok. Sarimbag jeung Kang Frédi... Manéhna eureun ngetik.
Jadi printer nu disada. Tét-tét-tét, keretas bodas polos asup saeutik-saeutik ka
jero printer, laju kaluar geus aya tulisan... “Oh nuju didamel. Punten tos
ngawagel. Angga lanjengkeun..”kuring undur bisi ngagamahan. Malikeun
awak. Deuk kaluar rohangan...
“Hmmmmm....” Sora ngagerem matak nyéak. Kuring ngalieuk. Lain sora Kang
Frédi. Nu ngadéhém téh sorana mani agem jeung pikasieuneun. Awak ngadadak
ngahéab. Késang badag késang lembut ngadadak bijil.”(Sulaksana, PP, KA,
2018:65)
Pada kutipan di atas dalam cerpen Kantor Anyar, dijelaskan bahwa tokoh
OB tersebut melihat ada seorang laki-laki yang sedang mengetik dengan
rambut yang pendek mirip dengan pegawai di Kantor barunya. Tetapi, ketika
dia berbalik akan pergi meninggalkan ruangan itu, tiba-tiba lelaki itu
bergumam. Sampai akhirnya tokoh OB itu menyadari bahwa lelaki yang
dianggap pegawai di kantor barunya itu bukan Kang Fredi melainkan sosok
lain, sehingga tokoh OB itu merinding ketakutan.
Tokoh OB itu merinding ketakutan, karena apa yang dilihatnya di
ruangan itu terhadap laki-laki yang dianggap Kang Fredi yang sedang bekerja,
ternyata membalikkan badannya dengan wajah yang menyeramkan, dapat
dibuktikan pada kutipan di bawah ini:
“Lalaki nu tadi nonggongan téh ngalieuk ka kuring. Awakna teu obah. Sirahna
wungkul nu muih. Parat nepi ka tonggong. Nembongkeun matana nu bencelok
hurung beureum. Irungna dempes. Sihung ranggéténg. Kulitna bodas sepa.”
“Gusti... Gusti Nu agung...jurig... jurig siah!”(Sulaksana, PP, KA, 2018:65)
“Laki-laki yang tadi membelakangiku tadi, kini sekarang melihatku.
Badannya tidak berubah, tetapi hanya kepalanya yang berputar sampai
ke punggung dengan memperlihatkan matanya yang melotot dan
berwarna merah, hidungnya yang pesek, gigi taring dan kulitnya yang
putih seperti orang yang meninggal.”
“Tuhan...Tuhan yang maha besar.. hantu...hantuuuu!”(Sulaksana, PP,
KA, 2018:65)
“Bug! Gedebug! Bug! Karék gé deuk ngagolér jol ngarénjag deui. Sora jelema
leumpang nu beuki ngajauhan. Bug! Bug! Kawas nu leumpang kana tangga, ka lanté
dua.” (Sulaksana, PP, KA, 2018:64)
”Bug! Gedebug! Bug! Suara orang jalan semakin menjauh. Bug! Bug! Seperti
yang jalan ke tangga lantai dua.” (Sulaksana, PP, KA, 2018:64)
Dalam kutipan berikut pada cerpen Kantor Anyar, menjelaskan bahwa
terdengar suara-suara yang menyeramkan, ketika tokoh OB tersebut akan
tertidur, suara orang yang sedang jalan menjauh seperti jalan ke arah lantai
dua. Bagaimana tidak membuat kaget, tokoh OB pun langsung bangun
memperhatikan suara dari mana.
Pada kutipan di atas menjelaskan bahwa tokoh laki-laki penjual roti itu
mencium bau kembang sedap malam dan bau busuk yang bersilang serta
menyengat di hidungnya.
“Di kantor sementara nu di kontrak dua tauneun téh lumayan lalega. Sawareh
mah bisa milih rohangan sorangan-sorangan, da aya tilu lantai jeung lalega
pisan...Tara aya nu wani ngulampreng ka lantai tilu peuting-peuting mah,
beurang-beurang ogé rada geueuman, da eweuh nu nempatan téa”(Akasa, PP,
DJ, 2018: 64)
”Di kantor semestara yang hanya di sewa dua tahun saja ternyata
lumayan besar. Karena ada tiga lantai dan besar-besar, sebagian bisa
memilih ruangannya sendiri-sendiri. Tapi tidak ada yang berani ke lantai
tiga malam-malam, siang-siang pun lantai tiga itu menyeramkan karena
memang tidak ada yang menempati.”(Akasa, PP, DJ, 2018: 64)
Latar pada carpon Sabada Bubar Bioskop ini yaitu tempat yan gelap dan
banyak pepohonan dengan suasana yang membuat tokoh merinding
ketakutan, bisa dilihat dari kutipan di bawah ini:
”Sebelum pasar Tanjungsari, Euis nunjuk jalan belok ke arah kanan, jalan
yang nanjak, gelap dan tidak ada satu pun rumah di sana. Hanya ada
pepohonan kayu yang tinggi menutupi bulan. Beberapa kali aku teriak
memberitahu Joy untuk kembali lagi atau membawa mobil ke tempat
yang ramai,..”(Yosep R, PP, SBB, 2018: 65)
Latar pada carpon Sabot Ngabuburit ini yaitu Curug yang angker. Di mana
dalam kehidupan nyata pun Curug di akui dengan tempat yang angker,
meskipun memang benar Curug tempat yang sangat indah, alami dan terjaga.
Tetapi jika curug di salah gunakan bukan lagi menjadi curug yang indah,
malah menjadi curug yang tidak terawat dan sebuah tempat apapun itu tanpa
di rawat pasti akan memunculkan sosok makhluk gaib, karena makhluk gaib
tidak menyukai tempat yang tidak terawat, dapat dilihat dari kutipan di
bawah ini:
“Sangétna Curug Cilampit sok diparaké méakeun hirup alias maéhan manéh.
Kunsi kajadian aya awéwé ngagantung manéh dina tangkal kai di luhur
curug,..”(Citrawarga, PP, SN, 2018: 64)
”Angkernya Curug Cilampit ini suka dipakai untuk orang yang bunuh
diri. Dulu pernah kejadian ada wanita yang gantung diri di pohon kayu
di atas curug,..”(Citrawarga, PP, SN, 2018: 64)
C. Realisasi Pembacaan
Realisasi menurut (Iser dalam Hudayat, 2012:85) merupakan
perwujudan hubungan antar teks dan pembacanya. Iser menyebutkan bahwa
deskripsi apa pun tentang hubungan antara teks dan pembaca, harus
menginkonforasi baik efek-efek teks maupun struktur respons (pembaca).
Menurutnya, sebuah teks harus memiliki interaksi, interaksi yang dimaksud
yaitu untuk mengkomunikasikan karya sastra dalam kepentingan
pembicaraan fungsinya, pendekatannya harus fokus pada dua bidang dasar
yang saling bergantung: pertama, titik pertemuan antara teks dan realitas; titik
pertemuan antara teks dan pembaca. Dalam realisasi, bagaimana pembaca
dapat menangkap, mengolah dan memaknai teks.
III. PENUTUP
Hasil dari penelitian rubrik Puriding Puringkak ini adalah bahwa rubrik
Puriding Puringkak memiliki gambaran horor dengan pemunculan sosok horor
(makhluk gaib) di dalamnya yang kemudian berdampak estetik bagi pembaca.
Dalam rubrik Puriding Puringkak ini juga memiliki ruang-ruang estetis karena
memiliki cerita yang beragam tetapi masih dalam konteks pemunculan sosok
horor (makhluk gaib). Menurut peneliti, rubrik Puriding Puringkak dapat
diterima oleh pembacanya yang notabene menghadirkan pemunculan sosok
horor (makhluk gaib).
Gambaran horor dapat ditujukan melalui varian pemunculan sosok
horor baik itu melalui gambaran fisik (visual), penunjukan suara (auditif),
penunjukan terhadap indra penciuman (olfaktif). Melalui gambaran fisik
(visual) pembaca dapat mengetahui pemunculan sosok makhluk gaib
menyerupai manusia, sosok makhluk gaib yang muncul asli dengan
wujudnya, contohya kuntilanak, pocong, tuluy, lalu ada pemunculan sosok
makhluk gaib berupa makhluk jadi-jadian. Melalui penunjukan suara (auditif)
pembaca dapat mengetahui suara makhluk gaib secara langsung, seperti suara
seorang yang tertawa, dll atau pun bisa suara makhluk gaib melalui perangkat
atau pun alat, seperti suara pintu, suara piano, suara lonceng, dll serta
pemucnulan sosok horor (makhluk gaib) dapat dilihat dari penunjukan
terhadap indra penciuman (olfaktif) pembaca dapat mengetahui pemunculan
sosok horor (makhluk gaib) yang tercium oleh tokoh yang ada di dalam cerita,
seperti tercium bau bangkai, bau bunga sedap malam, dll. Adapun motif
pemunculan sosok horor, pembaca dapat mengetahui bagaimana alasan sosok
horor (makhluk gaib) itu muncul bergetayangan kepada tokoh sehingga
memberikan dampak estetis bagi pembacanya dengan penunjukan langsung
melalui kutipan-kutipan.
Ruang-ruang estetik dalam rubrik Puriding Puringkak dapat terungkap
melalui teknik penceritaan, latar cerita, dan motif cerita. Melalui teknik
penceritaan pembaca dapat mengetahui penarasian yang dilakukan oleh
pembaca sehingga memberikan dampak estetis, pembaca mendapatkan
penggambaran peristiwa yang memunculkan adanya gambaran horor berupa
pemunculan sosok makhluk gaib yang terjadi dalam cerita dan didukung oleh
pendeskripsian yang dapat diimajinasikan oleh pembaca. Pembaca juga
mendapatkan penggambaran fokus cerita dari setiap rubrik Puriding Puringkak
seperti makhluk gaib yang menampakkan, baik itu melalui fisik, suara atau
pun melalui indra penciuman. Latar dalam rubrik Puriding Puringkak
digambarkan dengan sedemikian rupa agar mendukung adanya pemunculan
sosok horor (makhluk gaib), sehingga hal tersebut memberikan dampak atau
ruang-ruang estetik pada pembaca. Adapun latar yang digunakan dalam
rubrik Puriding Puringkak memiliki variasi yang menarik seperti
penggambaran latar kuburan yang menyeramkan penuh dengan makhluk-
makhluk gaib, sebuah Curug yang angker, dll. Motif cerita dalam rubrik
Puriding Puringkak dapat dikelompokan menjadi lima motif, yaitu motif balas
dendam, pelanggaran terhadap tatakrama, pelanggaran terhadap waktu
larangan, pikiran yang kosong, dan ketidaktenangan arwah.
Realisasi pembacaan dalam rubrik Puriding Puringkak dapat diterima oleh
pembaca dengan hubungan antar teks dan pembaca yang saling memahami
dan menyesuaikan. Dalam rubrik Puriding Puringkak pembaca dapat
memahami, mengolah dan memaknai teks dengan baik. Dengan adanya,
sesuatu yang horor seperti pemunculan sosok horor (makhluk gaib) dalam
rubrik Puriding Puringkak ini sangat berdampak estetik bagi pembacanya.
Pembaca pun dapat menentukan kualitas yang dirasakannya, seperti
ketakutan, menyeramkan, menjijikan, jantung berdebar-debar, serta
merinding saat pembaca melalukan proses pembacaan. Pada rubrik Puriding
Puringkak banyak bahasa yang disesuaikan dengan realitas yang ada di dalam
masyarakat Sunda. Namun, tidak menghilangkan makna teks kepada
pembaca dan pembaca dapat dengan mudah memahami teks tanpa melebih-
lebihkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abaydillah, Farhan. 2018. Ruang-ruang estetik Dalam Kumpulan 1000 Carpon
jeung 75 Carpon Juara : Kajian Respon Estetik. Jatinangor. Program
Studi Sastra Sunda. Universitas Padjadjaran.
Fathiyyah, Adilla. 2019. Humor dan Potret Sosial dalam Kolom Barakatak Majalah
Manglé : Kajian Respon Estetik. Jatinangor. Program Studi Sastra
Sunda. Universitas Padjadjaran.
Happy H, Gracecia. 2016. Motif dan Makna Horor dalam Cerpen-Cerpen Karya
Intan Paramaditha. Sastra Indonesia. Universitas Airlangga.
Hudayat, Asep Yusup. 2012. Novel Sunda dalam Jaring-Jaring Estetika Suara-
Suara Kelas. Bandung. Fakultas Sastra. Universitas Padjadjaran.
Hudayat, Asep Yusup. 2017. Metode Penelitian Sastra Ancangan Untuk
Penyusunan Proposal Penelitian Sastra. Jatinangor. Fakultas Ilmu
Budaya. Universitas Padjadjaran.
Iser, Wolfgang. 2007. The Act of Reading. Terjemahan Bahasa Indonesia.
Penerjemah : Noer Fitriyani. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada
Iser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading: A theory of Aesthetic Respons: 4th
Printing. Baltimore & London: The John Hopkins University Press.
Noel E. Carroll, 1991. The Philosophy of Horor, Or, Paradoxes of the Heart.
London: Routledge.
Ningsih, Putri. 2017. Mitologi Hantu Dalam Kepercayaan Masyarakat Sunda
(Analisis Semiotika Cerita Hantu pada Rubrik “Puriding Puringkak” di
majalah Manglé. Skripsi. Yogyakarta. Fakultas Sosial dan Ilmu Politik
Budaya. Universitas Islam Indonesia.
Sya’adah Tresna Siti. 2017. Estetika Misteri dalam Novel Terjemahan Kembang Beureum
karya Baroness Emmuska Orzcy : Kajian Respon Estetik. Jatinangor.
Program Studi Sastra Sunda. Universitas Padjadjaran.